Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

OPTIMASI PABRIK
(HMKB 766)

Disusun Oleh :
FAJAR ANUGERAH PERDANA P.

(H1F113061)

PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2016

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Penggunaan

Energi

fosil

yang

terus

meningkat

setiap

tahunnya,

menyebabkan tingkat ketergantungan terhadap energi fosil tersebut menjadi


semakin tinggi dan tidak terkendali. Hal ini akan berdampak buruk pada tingkat
ketersediaan energi bahan bakar fosil tersebut, karena dibutuhkan waktu yang
sangat lama untuk mengurai fosil yang ada di dalam tanah menjadi bahan bakar
yang dapat digunakan oleh manusia. Dan membuat harga bahan bakar fosil
tersebut menjadi lebih mahal.
Keadaan tersebut akan berdampak terhadap biaya produksi pada berbagai
macam sektor industri, seperti pada industri pengolahan pertanian, petrokimia,
dan aneka tambang. Dan didalam makalah ini, akan dibahas tentang optimasi
pabrik di bidang pertanian, khususnya pada industri pengolahan Pabrik Gula
(PG) dan yang masih kekurangan ampas dan minyak residu sebagai bahan
bakar suplesi untuk ketel. Kekurangan ampas pada pabrik gula selayaknya dapat
diatasi, karena tebu memiliki kadar ampas yang cukup untuk digunakan sebagai
bahan bakar ketel, dengan instalasi yang seimbang, peralatan yang efisien,
jumlah dan kualitas tebu giling yang memadai, maka pada pabrik dapat diperoleh
kelebihan ampas atau energi yang bermanfaat sebagai bahan baku industri.
Untuk menghindari pemakaian minyak residu, belakangan banyak pabrik
gula telah berupaya menggunakan bahan bakar alternatif seperti : kayu, daduk
dan sekam. Bahkan untuk menekan biaya produksi di beberapa pabrik gula telah
di coba menggunakan batubara, namun hasilnya nampak bahwa tidak serta
merta ketel yang ada dapat digunakan batubara secara efisien. Pembakaran
batubara pada ketel pembakaran ampas dapat menimbulkan over heating dalam
dapur, proses pembakaran sulit di kontrol, sebagian abu menggumpal dalam
dapur dan sulit untuk pembersihan dan hingga 40 % batubara tidak terbakar atau
terbakar di bawah grate dan merusak rangka bakar. Untuk mengatasi
permasalahan kekurangan energi, langkah langkah tersebut dirasa tentunya
kurang bijaksana.

Ampas tebu merupakan sumber energi yang terbarukan dan tersedia


cukup besar (Hugot. 1986; Paturao. 1989).

Ampas tebu biasa disebut hasil

samping dari proses ekstraksi tebu. Selama ini ampas tebu hanya menjadi
limbah yang tidak dimanfaatkan. Bahkan limbah itu menjadi sumber pencemaran
lingkungan di sekitar pabrik gula. Pemanfaatan energi pada pabrik gula dapat
berlangsung efisien karena melalui sistem pembangkitan ganda atau yang
populer disebut dengan sistem cogeneration. Dimana uap yang diproduksi dari
ketel pembakaran ampas pertama digunakan untuk turbin penggerak generator
listrik atau penggerak gilingan, yang secara simultan dihasilkan uap bekas untuk
proses pemanasan nira, penguapan nira pada evaporator dan kristalisasi pada
vacuum pan. Bersamaan dengan penerapan sistem bleeding di evaporator, dan
digunakan uap nira untuk proses pemanasan dan kristalisasi, maka dapat
diperoleh kelebihan ampas hingga 29 %. Dan jika, Digunakan cogeneration
tekanan tinggi dengan turbin uap tipe kondensasi ekstraksi ganda dan sistem
elektrifikasi untuk penggerak seluruh peralatan, kelebihan ampas tersebut dapat
mencapai hingga 60 %, sehingga dapat memberi peluang PG untuk menjual
tenaga listrik sepanjang tahun dengan melewati jaringan listrik negara (Kong, at
al. 1999; Miguel. 1994; Reviere. 1989).
Suplesi bahan bakar termasuk pemakaian listrik PLN di beberapa pabrik
gula yang tidak efisien, dapat menyebabkan biaya produksi gula bertambah
hingga mencapai 10 % dan bahkan lebih (Kurniawan dkk. 2006). Ciri ciri dari
pabrik yang kurang efisien tersebut dapat ditandai mempunyai produksi uap per
kg ampas rendah mencapai sekitar 1,8 kg (normalnya > 2,2 kg) dan konsumsi
uap per tebu tinggi mencapai hingga > 60 % (normalnya < 50 %). Potensi energi
yang ada pada pabrik gula dapat diwujudkan apabila dilakukan optimasi
terhadap jumlah dan kualitas ampas di gilingan, produksi uap di stasiun ketel dan
penggunaan uap dalam pabrik.
1.2

Tujuan Penulisan
1. Mengetahui kegunaan Optimasi dalam menjalankan Produksi pada
Perusahaan/Pabrik.
2. Memahami manfaat dari Energi Limbah Ampas Tebu.

BAB II
HASIL dan PEMBAHASAN
2.1

Definisi Optimasi
Kalimat optimasi sifatnya termasuk global, karena banyak digunakan
sebagai kata kunci paling populer, oleh karena itu saya akan menjelaskan apa itu
optimasi yang sepertinya masih banyak yang bingung. Optimasi secara umum
adalah untuk memaksimalkan atau mengoptimalkan sesuatu hal yang bertujuan
untuk mengelola sesuatu yang dikerjakan, sehingga optimasi bisa dikatakan kata
benda yang berasal dari kata kerja, dan optimasi bisa dianggap baik sebagai
ilmu pengetahuan dan seni menurut tujuan yang ingin dimaksimalkan. Menurut
definisi, optimasi adalah "proses produksi lebih efisien (lebih kecil dan / atau lebih
cepat) program melalui seleksi dan desain struktur data, algoritma, dan urutan
instruksi dan lain-lainnya.

2.2

Hubungan Teknik Industri Dengan Optimasi


Teknik Industri dan bagaimana perannya pada peradaban saat ini.
Umumnya orang setelah mendengar Teknik Industri pikiran mereka langsung
mengerucut pada satu hal, yaitu membangun pabrik. Hal ini tidak salah karena
membangun pabrik, atau dalam istilah ke-teknikannya adalah instalasi plant layout merupakan salah satu dari beberapa konsentrasi yang diemban pada disiplin
ilmu Teknik Industri. Namun demikian ekspertisi Teknik Industri tidak hanya
berkutat pada masalah membangun pabrik, Teknik Industri memiliki kompetensi
pada 4 bidang, yaitu Production Engineering, Operations Research, Human
Factors (Ergonomika), dan Manufaktur.

Menurut Institute of Industrial Engineers (IIE), Teknik Industri berkaitan dengan


desain, perbaikan, dan instalasi sistem terintegrasi dari manusia, material,
informasi, perlengkapan, dan energi. Hal ini mengacu pada pengetahuan khusus
dan keterampilan dalam matematika, fisika, dan ilmu sosial bersamaan dengan
prinsip-prinsip dan metode analisis rekayasa dan desain untuk menentukan,
memprediksi, dan mengevaluasi hasil yang akan diperoleh dari sebuah sistem.
Dalam ruang lingkup optimasi, definisi Teknik Industri oleh IIE diatas
menjelaskan kepada kita bahwa Teknik Industri berperan terhadap perbaikan

sistem terintegrasi yang terdiri dari 5 variable utama yang saling berkaitan, yaitu
manusia, material, informasi, perlengkapan, dan energi. Tugas utama dari
praktisi optimasi adalah menetapkan level yang optimum dan mengalokasikan
kelima variable tersebut pada posisi yang tepat agar menghasilkan suatu sistem
terintegrasi yang optimal.

2.3

Optimasi Pabrik
Optimasi pabrik adalah salah satu metode/cara memaksimalkan hasil
produksi dan efisiensi pabrik. Memaksimalkan efisiensi pabrik merupakan
masalah memahami hal-hal seperti energi, tenaga kerja, penggunaan fasilitas,
dan menerapkan prosedur-prosedur yang membuat penggunaan terbaik dari
mereka. Memaksimalkan hasil adalah cara terbaik yang didefinisikan dengan
menyatakan pemanfaatan limbah menjadi energi alternatif (dalam hal Pabrik
pertanian). Tujuannya di sini adalah untuk menghasilkan sebanyak mungkin
produk akhir dari bahan baku sesedikit mungkin. melibatkan evaluasi proses dan
mengambil langkah yang diperlukan untuk memastikan bahwa tanaman memiliki
peralatan yang terbaik dalam produksi menggunakan bahan baku, dan bahwa
peralatan ini digunakan dengan cara yang paling efisien.

2.4

Quality Control
Pengendalian kualitas mutu dalam proses produksi sangat penting untuk
diperhatikan dalam menjamin kualitas produk yang dihasilkan bekualitas
sehingga dapat memberikan kepuasan kepada konsumen atau pemakai dari
produk tersebut. Mengontrol proses manufaktur yang sebenarnya memenuhi
persyaratan yang ditetapkan oleh designer dapat dipahami juga sebagai
pengendali kualitas. Meskipun banyak perusahaan mempromosikan kualitas
sebagai faktor penentu keberhasilan, tidak ada kesepakatan umum tentang
definisi apa dan bagaimana menghitung biaya kualitas (Schiffauerova dan
Thomson, 2006). Proses standar kontrol kualitas didefinisikan dan ditentukan
oleh Quality control serta idealnya didukung dan divalidasi melalui proses audit
yang dirancang untuk menjamin kepatuhan yang tepat untuk standar tersebut.
Standar laporan yang ditetapkan adalah tonggak penunjuk dimana penilaian

harus diselesaikan. Standar ini harus ditulis dan dipahami dengan jelas oleh staf
produksi.
Quality control memberikan ruang lingkup dan minimalnya diulas dengan
mengidentifikasi masalah umum dan bagian-bagian penting yang harus dikaji
secara rinci untuk memastikan bahwa produk cacat dapat dikoreksi. Proses
Quality control yang efektif melibatkan audit. Meskipun standar dipahami dengan
baik, namun tidak akan berguna jika parameter yang telah ditentukan tidak
diikuti. Tujuan dari proses Quality control adalah untuk membantu pengiriman
jaminan penilaian yang secara konsisten memenuhi atau melebihi harapan
pelanggan sementara mengikuti standar industri dan peraturan yang berlaku.
Proses ini harus didokumentasikan dan jelas referensi dan memasukkan laporan
perusahaan dan standar Quality control. Tinjauan Quality control adalah tentu
"baris pertahanan terakhir" untuk menangkap dan memperbaiki produk cacat
yang mungkin telah masuk selama proses produksi.

2.5

Efisiensi produksi
Pengertian efisiensi adalah komponen produktivitas dan mengacu pada
perbandingan aktual dan jumlah optimal dari input dan output (Lovell, 1993), di
mana produktivitas merupakan hubungan antara output dan input dalam bentuk
rasio. Susantun (2000) menyatakan bahwa pengertian efisiensi dalam produksi
adalah perbandingan output dan input berhubungan dengan tercapainya output
maksimum dengan sejumlah input, artinya apabila rasio output/input besar maka
efisiensi dikatakan tinggi. Soekartawi (1990) mengartikan efisiensi sebagai upaya
penggunaan input yang sekecil-kecilnya untuk mendapatkan produksi yang
sebesar-besarnya, di mana situasi tersebut dapat terjadi apabila proses produksi
membuat suatu upaya kalau nilai produk marginal untuk suatu input sama
dengan harga input tersebut. Pada umumnya bertambahnya efisiensi disebabkan
karena (Komaruddin, 1986):
a

Penggunaan manajemen modern

Penggunaan sumber-sumber yang bukan manusia

Mekanisme yang dengan sendirinya dapat menyesuaikan diri

Pemakaian bagian-bagian alat-alat yang distandarisasikan dan dapat


ditukarkan satu sama lain

Meninggalkan proses produksi yang kompleks dan menggantinya dengan


pekerjaan dan produksi yang repetitif.

Pengkhususan tugas-tugas dan pembagian kerja dan wewenang.


Fungsi produksi frontier menggambarkan produksi maksimum yang dapat

dihasilkan untuk sejumlah masukan (input) produksi yang dikorbankan. Fungsi


produksi Frontier pertama kali dikembangkan oleh Aigner et al.(1977) dan
Meeusen dan Van den Broek (1977) melalui pendekatan Stochastic Production
Frontier (SPF). Spesifikasi asli mencakup fungsi produksi dispesifikasi untuk data
silang (cross-sectional data) yang mempunyai error term yang mempunyai dua
komponen, satu disebabkan oleh random effects dan yang lain disebabkan oleh
inefisiensi teknis. Soekartawi (2003) menjelaskan bahwa aplikasi fungsi produksi
ini digunakan untuk mengukur bagaimana fungsi produksi sebenarnya terhadap
posisi frontier. Pada awalnya fungsi atau model ini diaplikasikan untuk
menganalisis

ekonomi

produksi

pertanian

yang

kemudian

aplikasinya

berkembang pada bidang-bidang lain seperti keuangan, perikanan, manufaktur,


dan lainnya. Battese dan Coelli (1992) mengajukan fungsi produksi frontier
stokhastik untuk panel data (yang tidak seimbang) yang mempunyai pengaruh
terhadap perusahaan yang diasumsikan didistribusikan sebagai truncated normal
random variables, yang juga dibolehkan bervariasi dengan waktu. Dalam banyak
kenyataan, penggunaan fungsi produksi frontier dipakai untuk mengukur
tingkatan efisiensi teknik dari suatu usaha.
2.6

Peningkatan Produktivitas
Lean manufacturing dapat didefinisikan sebagai suatu pendekatan sistemik dan
sistematik untuk mengidentifikasi dan menghilangkan pemborosan (waste) atau
aktivitas-aktivitas yang tidak bernilai tambah (non-value-adding activities) melalui
peningkatan terus menerus secara radikal (radical continuous improvement)
dengan cara mengalirkan produk (material, work in process, output) dan
informasi menggunakan sistem tarik (pull system) dari pelanggan internal dan
eksternal untuk mengejar keunggulan dan kesempurnaan dalam industri
manufaktur.

Tujuan

dari

penerapan

Lean

Manufacturing

adalah

untuk

meningkatkan kinerja manufaktur lainnya. Sebagai gambaran, industri yang


menerapkan Lean Manufacturing secara keseluruhan (Plant Wide) mencapai
kemajuan berikut ini:
a

Meningkatkan ketersediaan tenaga kerja langsung,

Meningkatkan keterpakaian tenaga kerja langsung,

Pengurangan persediaan (inventory).

Value stream mapping adalah sebuah metode visual untuk memetakan jalur
produksi dari sebuah produk yang di dalamnya termasuk material dan informasi
dari masing-masing stasiun kerja.Value stream mapping ini dapat dijadikan titik
awal bagi perusahaan untuk mengenali pemborosan dan mengidentifikasi
penyebabnya. Menggunakan value stream mapping berarti memulai dengan
gambaran besar dalam menyelesaikan permasalahan bukan hanya pada prosesproses tunggal dan melakukan peningkatan secara menyeluruh dan bukan
hanya pada proses-proses tertentu saja. Peta atngan kiri dan kangan kanan
merupakan suatu alat dari studi gerakan untuk menentukan gerakan yang efisien
yaitu gerakan-gerakan yang diperlukan untuk melaksanakan suatu pekerjaan.
Peta ini sangat praktis untuk memperbaiki suatu pekerjaan manual dimana tiap
siklus dari pekerja terjadi dengan cepat dan terus berulang. Kegunaan peta
tangan kanan dan tangan kiri :
a

Menyeimbangkan gerakan kedua tangan dan mengurangi kelelahan.

Menghilangkan atau mengurangi gerakan-gerakan yang tidak efisien dan


tidak produktif, sehingga bisa mempersingkat waktu kerja.

Sebagai alat untuk menganalisa tata letak stasiun kerja.

Sebagai alat untuk melatih pekerjaan baru dengan cara yang ideal.
Karyawan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dapat

menyeimbangkan produksi yang lebih efektif untuk menghilangkan hambatan


atau interupsi dari proses produksi (Appelbaum et al. (2000)). Meningkatkan
keterlibatan

karyawan

dan

insentif

keuangan

tampaknya

meningkatkan

produktivitas perusahaan dalam estimasi cross-sectional. Oleh karena itu, untuk


membuat proses produksi mereka lebih efisien, perusahaan yang menghadapi
masalah produktivitas struktural cenderung menggunakan keterlibatan karyawan
yang lebih tinggi sehingga keterlibatan karyawan tampaknya mendorong
produktivitas. Hasil ini juga ditemukan oleh Huselid (1995), Ichniowski et al.
(1997), Godard (1999), Hitam dan Lynch (2001), dan Zwick (2004). Meskipun
keterlibatan

karyawan

tampaknya

setidaknya

meningkatkan

produktivitas

pembentukan, kita tidak memperhitungkan pengaruh tindakan sumber daya


manusia yang inovatif pada karyawan, seperti intensifikasi kerja, tanggung jawab
yang lebih tinggi, dan ketidakamanan (Ramsay et al. (2000)). Kami juga tidak
melihat biaya yang lebih tinggi, misalnya, karena insentif yang dibayarkan di

samping gaji biasa, atau program pelatihan mahal menemani pengenalan


teamwork (Godard (2004)).

2.7

Jumlah Ampas
Pada Pabrik gula (PG) ampas sebagai sumber energi tersedia sebagai
keluaran dari stasiun gilingan. Ampas dari gilingan akhir melalui elevator dan
distributor conveyor dibawa menuju stasiun ketel, dengan pengaturan sebagian
ampas akan diumpankan ke dalam dapur dan sisanya menuju gudang. Jumlah
ampas dipengaruhi oleh kadar sabut yang terkait dengan varitas, karena tinggi
rendahnya kadar sabut adalah bawaan genetik varitas. Tebu redemen tinggi
cenderung mempunyai kadar sabut rendah. Disamping kadar sabut juga
dipengaruhi oleh umur tebu, tebu muda umumnya memiliki kadar sabut rendah
dan sebaliknya tebu semakin masak memiliki kadar sabut tebu yang lebih tinggi.
Dari hasil audit energi di beberapa pabrik gula diperoleh kadar sabut tebu di
giling berkisar antara 11 sd. 16 % atau dengan kadar ampas tebu antara 27 sd.
38 % . Pada awal giling kebanyakan kadar sabut tebu masih rendah sekitar 11
%, sehingga pabrik gula cenderung kekurangan ampas. Hal tersebut perlu
dihindari dengan penataan varietas masak awal dan penggunanan tebu berkadar
sabut tinggi.

2.8

Kualitas Ampas
Yang

dimaksudkan disini adalah, sebagai bahan bakar ketel bahwa

semakin tinggi kualitas ampas berarti semakin tinggi kalorinya. Kualitas ampas
dipengaruhi oleh kadar air. Dengan meningkatkan supervisi pada gilingan
diharapkan kadar air ampas keluar gilingan akhir lebih kecil dari 50 % dan kadar
gula (pol) 2,5 %. Menurut rumus Pritzelwitz (Hugot, 1986); NCV = 4250 48w
10 pol kkal/kg, maka tiap kilogram ampas dengan kadar air 50 % dan pol 2,5 %
memiliki nilai bakar rendah ampas (net calorific value = NCV) 1825 kkal. Dengan
meningkatnya kadar air, nilai bakar ampas akan menurun. Pada Tabel I
ditunjukkan pengaruh ampas yang semakin basah terhadap penurunan kalori.
Pada pabrik yang memiliki kapasitas 5500 TCD dengan waktu giling 160 hari,

dari kadar air ampas 51 % naik 54 % akan terjadi penurunan kalori setara minyak
IDO hingga 3.960 t. senilai Rp. 23,76 milyar.

Tabel I. Pengaruh kadar air ampas terhadap penurunan kalori.


Kadar air ampas (%)

52

53

54

Kalori ampas
(kkal/kg)

1729

1681

1633

Penurunan kalori
ampas {kkal/160 hr.
gil.
(x 10 ) 9}
Penurunan kalori
ampas setara
minyak IDO, t

10,5
60

21,12
0

31,680

1.32
0

2.640

3.960

Penurunan kalori
ampas setara harga
IDO, Rp. milyard

7,92
0

15,84
0

23,760

Keterangan : Diasumsikan kandungan pol ampas 2,5 %; Kandungan ampas


tebu 25 %; Kalor minyak IDO 8000 kkal/kg; Harga minyak IDO Rp. 6
juta/ton.

Untuk optimasi kualitas ampas dapat ditempuh dengan menurunkan


kadar air ampas melalui penerapan teknologi pengeringan, yaitu dengan
memanfaatkan energi panas dari gas buang cerobong ketel yang masih memiliki
suhu hingga diatas 225 C. Dengan penurunan kadar air ampas dari 50 %
menjadi 40 % maka nilai bakar per kg ampas akan dapat meningkat hingga
2305 kkal, atau nilai bakar per kg ampas relatif akan meningkat hingga 6 %.
Sehingga untuk bahan bakar ketel di pabrik gula akan dapat meningkatkan
produksi uap hingga 10 %. Penerapan teknologi pengeringan ampas tersebut
telah banyak diandalkan oleh banyak pabrik gula (Sugar Company)

di luar

negeri (Maranhao. 1980; Miller. 1977; Abilio. and Faul. 1987). Kualitas ampas
sebagai bahan bakar juga dipengaruhi oleh tingkat kelembutan dan kandungan
tanah atau pasir dalam ampas (Lamb, 1977 & 1980). Stasiun pembangkit uap
akan dapat bekerja secara optimal apabila ampas yang dibakar memiliki
kelembutan yang sesuai dengan sistem pembakaran dari ketel yang digunakan.

Ketel jenis lama dengan dapur Step Grate, Ward, Hourse Shoe dan Dutch Oven
lebih sesuai untuk ampas kasar yang dihasilkan gilingan dengan Crusher,
sedangkan jenis ketel Spreader Stoker lebih sesuai untuk ampas halus yang
dihasilkan gilingan dengan Unigrator atau shreader (Magaziner. 1989). Ampas
dengan kadar abu kurang dari 2,5 % dapat dikatagorikan sebagai ampas yang
berkualitas baik sebagai bahan bakar. Kehadiran tanah atau pasir dalam ampas
akan meningkatkan kadar abu, menurunkan efisiensi ketel dan menimbulkan
kesulitan seperti rate pembakaran menurun serta timbulnya abrasi pada
perpipaan dan blower IDFan.
2.9

Penggunaan Uap
Uap yang digunakan dapat dibedakan dan dibagi dalam dua kategori
yaitu,uap baru (UBA) dan uap bekas (UBE). UBA adalah uap yang keluar dari
ketel pada tekanan sesuai desain operasi ketel dan UBE adalah uap bekas yang
keluar dari mesin atau turbin penggerak turboalternator, gilingan, peralatan di
stasiun ketel dengan tekanan uap hingga 1kg/cm.

2.9.1 Penggunaan UBA


Kecuali untuk turbin penggerak gilingan dan turboalternator, penggunaan
UBA akan menjadi kurang optimal apabila masih banyak peralatan yang
digerakkan langsung oleh mesin uap atau turbin, yaitu seperti untuk penggerak
air injeksi, pompa vakum serta kompresor di stasiun proses, penggerak pompa
air pengisi ketel (BFWPump), blower udara bakar (FDFan) serta blower gas
cerobong (IDFan) di stasiun ketel. Sebaliknya penggunaan UBA akan menjadi
optimal

apabila

menggunakan

penggerak

elektromotor.

peralatan
Pada

menuju

prinsipnya

ke

sistem

penggunaan

elektrifikasi
UBA

dapat

berlangsung optimal dalam sistem cogeneration, dan akan semakin efektif


apabila digunakan ketel dan turbin yang bertekanan semakin tinggi ( 45 kg/cm).
Dalam perkembangan sistem cogeneration, untuk optimasi penggunaan UBA
pada mesin atau turbin jenis mesin (1) (3) memiliki konsumsi uap yang
semakin rendah, untuk mesin uap torak dan turbin tipe back pressure antara 26
13,5 kg/kW, untuk turbin tipe multy stage dan AC antara 15 9,5 kg/kWh. Dan
pada jenis mesin (4) dengan tekanan tinggi memiliki konsumsi uap yang sangat
rendah hingga antara 4,2 7,5 kg/kWh. Konsumsi uap mencapai 4,2 kg/kWh
ketika sistem condensing bekerja penuh pada tekanan vakum 0,05 kg/cm dan

7,5 kg/kWh ketika sebagian uap di ekstraksi pada tekanan 17,5 kg/cm untuk
kebutuhan turbin tipe back pressure penggerak gilingan (Paturao,1989; Reviere,
1998).

Tabel II. Optimasi Penggunaan UBA Pada Mesin Turbin di PG.


Jenis Mesin

(-) Mesin
Uap Torak
(-) Turbin
uap, Tipe
Back
pressure :
1 Single
Stage
2 Multi
Stage
(-) Turbin
Uap
(Atmospher
ic
Condenser)
(-) Double
Extraction
Condesing
Turbine
(DECT)

Uap Baru
Tekanan
(Kg/cm
)
8

Suhu
(C)

Uap Bekas
(kondensat*)
Tekanan
Suhu (C)
(Kg/cm)

Konsumsi
uap
(kg/kWh)

170

0,6

130

26

15 17,5

250 325

0,8

170

13,5 - 20

15 17,5

250
325

0,6

135

10-5 - 15

17,5

325

0,3 0,8

95* - 135

9,5 10,5

30 - 70

450 500

0,0517,5

40* - 325

4,2 7,5

2.9.2 Penggunaan UBE


Dalam proses produksi gula, peralatan utama yang menggunakan UBE
adalah pemanas pendahuluan (juice heater), bejana penguapan (evaporator)
dan pan masak (vacuum pan). Pada umumnya UBE yang digunakan memiliki
tekanan antara 0,5 sd. 1 kg/cm , pada suhu antara 125C sd. 155C. Untuk

optimasi penggunaan UBE ini dapat ditempuh dengan penerapan sistem


bleeding uap nira di stasiun evaporator (multy effect evaporator), dengan luas
pemanas pada masing-masing badan yang memadahi, vacuum di condensor
yang baik, maka uap nira yang dihasilkan dari masing-masing badan akan dapat
digunakan sebagai sumber pemanas untuk juice heater dan vacuum pan. Pada
kondisi tersebut kebutuhan UBE hanya diperuntukkan pada eveporator badan I,
dan disertai penataan sistem cogenerator yang efisien, maka konsumsi uap
persen tebu akan dapat diturunkan sampai minimal (Hansjoachim, et al. 1999).
Berbagai pengalaman menunjukkan bahwa penggunaan bleeding total pada
susunan quadraple effect evaporator mampu menurunkan kebutuhan UBE dari
sekitar 56 % tebu menjadi sekitar 50 % tebu. Sedangkan penggunaan bleeding
total pada susunan quintuple effect evaporator mampu menurunkan kebutuhan
UBE menjadi sekitar 45 % tebu. Bahkan penggunaan bleeding total pada
susunan sextuple effect evaporator mampu menurunkan kebutuhan UBE menjadi
sekitar 30 % tebu (Kong, et al. 1999; Lora, et al. 2000; Kurniawan dkk. 2008).

2.10 Faktor Lain


Untuk optimasi pemanfaatan energi ampas, juga tidak terlepas dari faktor
kehilangan panas akibat radiasi, kondensasi, kebocoran pada pipa distribusi uap
dan bejana proses karena, isolasi, pengerakan, korosi dan flends yang kurang
sempurna. Dari pengalaman, kerugian panas akibat dari hal-hal tersebut diatas
dapat mencapai 5 % dan pada kondisi terburuk dapat mencapai hingga 12 %
dari produksi uap. Melalui penanganan yang optimal kehilangan tersebut dapat
ditekan hingga kondisi normal 1 %, keadaan tersebut antara lain dapat ditandai
oleh dinginnya udara dalam pabrik sehingga para operator dapat bekerja dengan
nyaman dan tidak gerah.
Jam berhenti giling dapat menyebabkan pemanfaatan energi di pabrik
kurang optimal. Dengan pola jam berhenti terjadwal yang dapat dimanfaatkan
untuk program perawatan terjadwal, maka jam berhenti giling dapat ditekan
kurang dari 5 % (Purnomo dan Sugiarto. 2006). Jam berhenti giling tersebut
dapat disebabkan oleh faktor dalam pabrik, yaitu kerusakan peralatan atau
gangguan proses. Dan faktor luar pabrik, yaitu transportasi dan tenaga tebang
sehingga pasok tebu terganggu.

BAB III
PENUTUP
3.1

Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa :
1. Optimasi Pabrik berguna untuk memaksimalkan hasil produksi, hasil
2.

samping dari bahan baku, efisiensi mesin, dan efisiensi pabrik.


kekurangan ampas pada pabrik gula (PG) selayaknya dapat dicegah, dan
hal tersebut dapat diatasi melalui optimasi ampas tebu dari produksi gula
pada pabrik, optimasi produksi dan konsumsi uap, serta memaksimalkan
instalasi dan kelancaran giling. Tebu mempunyai kadar ampas cukup besar
dimana sebagian dapat digunakan untuk memenuhi total kebutuhan bahan
bakar di ketel, dengan instalasi yang seimbang, peralatan yang efisien,
jumlah dan kualitas tebu giling yang memadai, maka pada pabrik gula, dapat
diperoleh kelebihan ampas atau energi yang bermanfaat sebagai bahan
baku industri.

3.2

Saran
Agar lebih memperhatikan tanda baca dan penulisan kalimat yang benar
dalam menulis jurnal. Dapat disertai dengan gambar yang jelas agar pembaca
lebih memahami dan memiliki gambaran mengenai artikel didalam jurnal
tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Abilio, A and F. Faul, 1987, Bagasse drying, Sugar Journal, Vol. 89, No. 1060
: 68-71.
Hugot, E. 1986, Handbook of Cane Sugar Engineering, (3rd ed), Elsevier,
New York, 1165 p.
Hansjoachim, Wunsch and Pedro, Avram Walganoff, (1999), Technology
transfer between beet and cane sugar industries, Possibilities for
energy savings including cogeneration, Proc.

of XXIII

th

ISSCT

congress, New Delhi, India.


Kong Win Chang, K.T.K.F. at all, (1999), Optimising steam utilization at a
typical sugar factory, Possibilities for energy savings including
cogeneration, Proc. of XXIII ISSCT th congress, New Delhi, India, 270
279.
Kassiap, D, 2000, Progress in Bagasse energy Development in Mauritius and
Short Term Prospects, Sugar Y Azucar, Vol. 95, No. 7.
Kurniawan, Y,. M. Saechu, Mirzawan dan Nahdodin, 2006,Potensi energi
pabrik gula di tengah krisis energi, Seminar IKAGI, Yogya, 13 hal.
Kurniawan, Y. M. Saechu, dan B.E. Santoso. 2008. Optimalisasi energi di
pabrik gula, Seminar sehari, Peran teknologi dalam mendukung
industrigula yang tangguh dan berdaya saing, P3GI, 28 Agustus, 17 hal.

Lamb, B.W; Bilger, R.W, 1977,Combustion ofbagasse,Sugar Tech. Reviews


4:12.
Lamb, B. W, 1980, Investigation in to foundamentals of bagasse
combustionin step grate furnace, Proc. of XVIIth ISSCT congress, 3 :
1931-1962.
Lora, E. S, F.P. Arrieta, R. Carrasco, LAN. Nogueira, 2000, Clean production :
Efficiency and Environment, Int. Sugar Journal, 102.
Miguel, R, 1994, The Evolution of Power Cogeneration in Guatemala, Sugar
Y Azucar, No. 3, Vol. 89, 19 p.
Magaziner, N, 1989, Boiler plant as an integral part of a cane sugar factory,
Hand out in ISSCT Energy Workshop. Berlin. 37 p.
Maranhao, LEC, 1980, Individual bagasse drying system, Proc. of XVII
ISSCT congress, 3 : 2000-2011.

th

Miller, C.F, 1977, Economic study of bagasse dehydration, Proc. ASSCT,


148.
Purnomo, S dan Y. Sugiarto, 2006, Pengelolaan energi di PG Gunung Madu
Plantations, Seminar IKAGI, Yogya.
Reviere, M.P, 1989, Power Co-generation in Reunion Island, hand out at
sugar manufacture training in MSRI, Mauritius, 8 p.
Saechu. M, 2005a, Tindakan yang perlu dilakukan untuk meningkatkan
kinerja ketel dan efisiensi pemakaian energi di PG Candi Baru, Lap.
Teknis intern P3GI, 10 hal.
Anonim1, 2016
http://www.biodieselmagazine.com/articles/8356/what-is-plant-optimization
diakses pada tanggal 10 November 2016.
Saechu. M, 2009, Optimasi Pemanfaatan Energi Ampas Di Pabrik Gula
(Bagasse Energy Optimation At Sugar Cane Plant), Jurnal Teknik Kimia
Vol.4 No.1.

Anda mungkin juga menyukai