LINGKUNGAN HIDUP (Perman, Kurnianto, Sugiyanto dan Suherman, IPB, 2016 dan dari berbagai sumber lainnya)
Berlakunya UU No. 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) secara otomatis mencopot peraturan sebelumnya, yaitu UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Lingkungan Hidup dan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Digantikannya No. 4 Tahun 1982 menjadi UU No. 23 Tahun 1997 kemudian diterbitkan UU No. 32 Tahun 2009 sebagai peraturan lingkungan hidup yang digunakan saat ini memiliki kekuatan yang mestinya tidak dimiliki oleh peraturan sebelumnya. UU No. 4 Tahun 1987 dan UU No. 23 Tahun 1997 tidak relevan lagi dengan kondisi kerusakan lingkungan saat ini. Dibutuhkan pengelolaan yang lebih komprehensif termasuk struktur pengelolaan yang ada di dalamnya. Sumber kerusakan sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan di Indonesia banyak berpangkal pada dua masalah utama, yakni masalah kelembagaan/ struktural dan lemahnya pentaatan hukum. Berikut merupakan kekuatan yang ada di UU No. 32 Tahun 2009 yang tidak ada di UU sebelumnya:
UU No. 32 tahun 2009 mengatur mengenai
perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup sedangkan dalam UU sebelumnya tidak mengatur
hal itu. UUPPLH mengatur pula tentang pemanfaatan sedangkan UU sebelumnya tidak mengatur tentang itu. Begitu halnya untuk Anggaran Berbasis Lingkungan Hidup, Analisis Risiko Lingkungan Hidup, Kewajiban setiap orang dalam hal penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, kewajiban Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dalam hal pemulihan fungsi lingkungan hidup, system informasi, Gugatan Administratif, Penyidik terpadu, Tugas dan wewenang pemerintah dan pemerintah daerah, dsb. Semua yang telah disebutkan itu tidak ditemukan dalam UU. No.23 tahun 1997.
UU No. 32 Tahun 2009 terdapat pengaturan yang jelas
antara kewenangan pusat dan daerah dalam hal pengawasan LH. Penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, yang meliputi; instrumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), tata ruang, baku mutu lingkungan hidup, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, AMDAL, upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, perizinan, instrumen ekonomi lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup, anggaran berbasis lingkungan hidup, analisis risiko lingkungan hidup, dan instrumen lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pendayagunaan perizinan sebagai instrumen
pengendalian. Perizinan lingkungan menjadi syarat utama berdirinya suatu badan usaha, ketika suatu perusahaan tidak memenuhi syarat lingkungan maka dinyatakan tidak bisa menjalankan usaha. Izin lingkungan yang bermasalah bahkan bisa membatalkan pendirian usaha.
Adanya pendayagunaan pendekatan ekosistem (eco
region) juga menjadi fokus utama UU No 32 tahun 2009. Memuat pula tentang kepastian dalam merespons dan mengantisipasi perkembangan lingkungan global dan penguatan demokrasi lingkungan melalui akses
informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan serta
penguatan hak-hak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Hal paling mendasar adalah penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidana secara lebih jelas. Ditunjang pula dengan penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih efektif dan responsif dan penguatan kewenangan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) lingkungan hidup. UUPPLH menyebutkan alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak pidana lingkungan hidup yang terdiri atas: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa; dan/atau f. alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sedangkan UU sebelumnyatidak diatur mengenai alat bukti. Undang-Undang ini memberikan kewenangan yang luas kepada Menteri untuk melaksanakan seluruh kewenangan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta melakukan koordinasi dengan instansi lain. Pemerintah memberi kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah daerah dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah masing-masing yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Kaitannya dengan AMDAL, UU No. 32 Tahun 2009 mengatur dengan baik dan detail yang tidak diatur oleh UU sebelumnya karena hanya diatur melalui Peraturan Pemerintah. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 pasal 20 ayat 2 telah mengklasifikasi Baku Mutu Lingkungan Hidup ke dalam 6 bentuk baku mutu yaitu air, air limbah, air laut, udara ambien, emisi, gangguan dan baku mutu lainnya yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 menegaskan setiap usaha atau kegiatan yang wajib memiliki AMDAL
adalah yang berdampak besar dan penting. Hal ini
dapat dimaknai jika tidak berdampak besar maka tidak diwajibkan untuk memiliki AMDAL. Pada UU No. 32 Tahun 2009, kegiatan dan/atau usaha yang memiliki dampak penting saja yang wajib memiliki AMDAL.
Undang-Undang No 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup FEBRUARY 10, 20142 COMMENTS
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)
menurut UU no 32 tahun 2009 pasal 1 ayat (2) adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. UU disahkan di Jakarta, 3 Oktober 2009 oleh Presiden dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Andi Mattalatta. Mengapa dibuat UU ini? Karena saat ini segala aktivitas manusia untuk meningkatkan taraf hidup seringkali tidak bertanggung jawab dan merusak alam. Maka UU ini dibuat sebagai tindakan pemerintah untuk mencegah semakin rusaknya lingkungan dan untuk mengelola lingkungan menjadi lebih baik. Dalam UU ini tercantum jelas dalam Bab X bagian 3 pasal 69 mengenai larangan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang meliputi larangan melakukan pencemaran, memasukkan benda berbahaya dan beracun (B3), memasukkan limbah ke media lingkungan hidup, melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar, dan lain sebagainya. Larangan-larangan tersebut diikuti dengan sanksi yang tegas dan jelas tercantum pada Bab XV tentang ketentuan pidana pasal 97-123. Salah satunya adalah dalam pasal 103 yang berbunyi: Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak
melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
59, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Apa buktinya lingkungan kita rusak? Pada UU no 32 tahun 2009 pasal 21, disebutkan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang meliputi kerusakan ekosistem dan kerusakan iklim. Yang termasuk kerusakan ekosistem adalah kerusakan tanah, terumbu karang, mangrove, gambut, dan yang berkaitan dengan kebakaran hutan. Sedangkan kerusakan iklim adalah kenaikan temperatur, kenaikan air laut, badai, atau kekeringan. Kasus kerusakan lingkungan yang terjadi di Indonesia: 1.
Rabu, 18 Desember 2013 dari Merdeka.com. Kolam
Dermaga Mirah, Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur tercemar limbah oli. Penyebabnya, perahu Primkopal yang mengangkut limbah oli ditabrak Landing Craft Tank (LCT) Adinda Hira, Selasa (17/12) malam. 2. DAS Citarum kondisinya makin memprihatinkan dengan banyaknya sampah dan limbah pabrik yang mencemari. Menurut wakil gubernur Deddy Mizwar, pembuangan sampah dan limbah ke sungai tentu ada penyebabnya. Perlu dilakukan evaluasi terhadap kemungkinan belum terpenuhinya sarana prasarana oleh pemerintah seperti Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dan tempat pengolahan sampah. Dia menambahkan, hingga kini, kualitas air sungaisungai di Jawa Barat sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap tujuh sungai utama yang terkait dengan DAS Citarum yaitu Cimanuk, Citarum, Cisadane, Kali Bekasi, Ciliwung, Citandui dan Cilamaya, menunjukkan status mutu D atau kondisi sangat buruk. Bagaimana peran pemerintah dalam menangani kasus lingkungan hidup? 1.
Data dari menlh.go.id. Selama tahun 2013, Kementerian
Lingkungan Hidup telah melakukan penanganan terhadap 109 kasus lingkungan hidup, termasuk di dalamnya kasus pembakaran lahan dan kasus impor limbah B3.
2.
Kasus yang diambil dari web mongabay.co.id. 43 kasus
kejahatan sumber daya alam (SDA) dan lingkungan di hutan dan lahan gambut ditangani Mabes Polri dan Polda. Modus kejahatan berupa kegiatan perkebunan atau pertambangan di kawasan hutan tanpa izin dari Menteri Kehutanan, sampai pembukaan lahan dengan cara membakar. Namun, walaupun telah dibuat peraturan dan sanksi yang tegas, masih ada oknum pemerintahan yang lalai dalam tugasnya untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup. Data dari merdeka.com. Kamis, 11 April 2013. PT Jasa Marga (Persero) cabang Jakarta-Tangerang dilaporkan ke Polres Metro Tangerang oleh Yayasan Peduli Lingkungan Hidup (Yapelhi) karena lalai dalam menangani limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) ke Sungai Cisadane hingga mencemari sampai 60 kilometer. Hal ini terjadi berkaitan dengan tumpahnya muatan sebuah truk tangki yang berisi oli yang diduga bekas terperosok di kilometer 21 arah ke Jakarta. Jasa Marga lalai dalam penanganan kecelakaan kendaraan yang memuat bahan berbahaya dan beracun. Seharusnya, kecelakaan dengan barang bawaan khusus tersebut, Jasa Marga memperlakukannya juga secara khusus agar tidak berdampak terhadap pencemaran yang sangat luas. Padahal pemerintah memiliki wewenang untuk melakukan audit lingkungan hidup yang tercantum pada pasal 48 dan 49 ayat (1). Selain itu pada pasal 63, pemeintah daerah memiliki tugas dan wewenang untuk melaksanakan pengendalian pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup.