Anda di halaman 1dari 10

KONSERVASI SUMBER DAYA PESISIR DALAM MENINGKATAN EKONOMI

SUMBER DAYA ALAM


Oleh Yusran Kapludin. 2011
Pendahuluan
Fokus pengembangan ekonomi di Indonesia bergerak dari sumberdaya terrestrial
ke sumberdaya laut dan pesisir dalam PJP II (1993-2018). Pergeseran itu sendiri
didukung oleh fakta bahwa : (1) 63% (3.1 juta km) dari wilayah Indonesia adalah
lautan yang kaya akan sumberdaya alam, dan (2) sumberdaya daratan akan
semakin bekurang dan sulit untuk dikembangkan. Pengalaman dalam
pengembangan sumber daya pesisir dan laut selama PJP I (1967-1992)
menghasilkan tidak hanya pertumbuhan ekonomi tetapi juga degradasi sumberdaya
alam.
Di wilayah pesisir degradasi akan sampai pada level yang mengancam
kelangsungan ekosistem pesisir dan laut untuk mensupport pengembangan ekonomi
Indonesia kedepan. Meskipun terjadi degradasi lingkungan, Indonesia tidak dapat
menghentikan pembangunan sumberdaya pesisir dan laut karena Negara ini masih
membutuhkan pertumbuhan ekonomi untuk mencapai masyarakat yang makmur.
Tantangan untuk manajer dan perencana pesisir di Indonesia sekarang adalah
mengembangkan sumberdaya pesisir dan laut untuk mencapai manfaat yang
maksimum dan saat yang bersamaan merawat kapasitas lestari dari ekosistem,
tidak berarti melebihi daya dukung ekosistem (Dahuri, 1998).
Wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan (Dahuri
dkk., 2004). Wilayah pesisir merupakan daerah yang memiliki fungsi sangat
penting, karena menyediakan berbagai sumberdaya alam (SDA) baik yang dapat
pulih (renewable resource) maupun sumberdaya alam yang tidak dapat 2 pulih (non
renewable resource). Menurut Mulyadi (2005), sumberdaya yang dapat pulih terdiri
atas : hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan rumput laut serta
sumberdaya perikanan laut. Hutan mangrove merupakan ekosistem utama
pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir. Sumberdaya tidak dapat
pulih meliputi seluruh mineral dan geologi, juga memiliki berbagai macam jasa
lingkungan yang sangat potensial bagi kepentingan pembangunan dan bahkan
kelangsungan hidup manusia. Jasa-jasa lingkungan yang dimaksud meliputi fungsi
kawasan pesisir dan lautan sebagai tempat rekreasi dan pariwisata, media
transportasi dan komunikasi, sumber energi, sarana pendidikan dan pelatihan,
pertahanan dan keamanan, pengatur iklim, kawasan perlindungan.
Dengan terbatasnya luas lahan dan sumberdaya di daratan serta meningkatnya
jumlah penduduk, maka banyak kegiatan pembangunan dialihkan dari daratan ke
arah pesisir dan lautan. Sehubungan dengan semakin banyaknya pembangunan
yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta dan masyarakat yang mengambil
tempat di wilayah pesisir, antara lain untuk budidaya perikanan, pelabuhan,
pariwisata, industri dan perluasan kota, maka sering timbul adanya konflik. Konflik
dalam pemanfaatan sumberdaya oleh berbagai sektor yang terjadi pada lokasi yang
sama, pada akhirnya menimbulkan kerusakan ekosistem seperti erosi, pencemaran
lingkungan dan degradasi lahan. Pengelolaan kawasan yang bersifat sektoral yang
hanya bertujuan untuk memaksimumkan produksi tanpa memperhitungkan
keterbatasan daya dukung dan daya tampung lingkungan serta keterbatasan

kemampuan daya asimilasinya, maka akan memicu terjadinya degradasi lingkungan


dan menurunnya nilai sumberdaya alam itu sendiri.
Oleh karena itu dalam pengelolaan pembangunan wilayah pesisir diperlukan
keterpaduan dalam perencanaannya agar sumberdaya bersangkutan terjaga
keberlanjutannya. Kegiatan pembangunan di kawasan pesisir dan daratan yang
antara lain meliputi pemanfaatan sumberdaya lahan, selain memberikan dampak
lingkungan yang positif juga memberikan dampak yang negatif. Hal positif dari
perubahan itu adalah kemajuan yang dirasakan oleh masyarakat, melalui
peningkatan ekonomi. Sedangkan dampak negatif dari perubahan itu adalah
tingginya tingkat erosi tanah, timbulnya pencemaran yang mengakibatkan
lingkungan menjadi terdegradasi yang berdampak pada perubahan kesejahteraan
masyarakat. Setiap eleman masyarakat akan menanggung peningkatan /penurunan
kesejahteraan yang berbeda-beda tergantung pada tingkat aksesibilitas
masyarakat terhadap sumberdaya pesisir tersebut yang dicerminkan dari pola
usaha yang dilakukan oleh masyarakat selama ini.
Penurunan kualitas lingkungan dan munculnya berbagai konflik kepentingan akan
menimbulkan gangguan pada keseimbangan ekosistem yang pada gilirannya akan
menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Atas dasar hal
tersebut, masyarakat dan pemerintah semakin menyadari perlunya melakukan
pembangunan berkelanjutan untuk menjamin kehidupan yang berkelanjutan pula.
Menurut (UNEP dan WWF, 1993. dalam laporan PT. Intermulti Planindo, 2004),
Pembangunan berkelanjutan diartikan sebagai kegiatan yang menyeimbangkan
antara pembangunan ekonomi dengan kepentingan menjaga kualitas lingkungan
dan ekosistem sehingga tidak melampaui batas kemampuannya, serta
keseimbangan pemanfaatan SDA dan sumberdaya lahan (SDL) antara generasi
sekarang dengan generasi yang akan datang termasuk keadilan sosial dan suatu
lingkungan yang sehat. Salah satu strategi dalam pembangunan berkelanjutan
adalah perlunya melakukan suatu konservasi sumberdaya alam pesisir.
Wilayah laut dan pesisir beserta sumberdaya alamnya memiliki makna strategis bagi
pengembangan ekonomi Indonesia, karena dapat diandalkan sebagai salah satu
pilar ekonomi Nasional.
B.
Permasalahan
Dari Latar belakang diatas adapun permasalahan yang di angkat dalam makalah ini
meliputi:
1)

Apa yang dimaksudkan dengan Konservasi sumberdaya alam pesisir

2)
Mengapa konservasi sumber daya alam pesisir sangat di perlukan untuk
menjaga keberlangsungan ekonomi sumber daya alam
3)
Bagaimana konservasi sumber daya alam pesisir dalam meningkatkan
ekonomi sumber d
Pengertian dan tujuan Konservasi sumber daya alam pesisir
Konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati
yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan
persediaannya
dengan tetap memelihara
dan meningkatkan kualitas
keanekaragaman dan nilainya. UU Lingkungan hidup No. 5 tahun 1990.

Konservasi sumber daya pesisir merupakan salah satu implementasi pengelolaan


ekosistem sumber daya pesisir dari kerusakan akibat aktivitas manusia.
Pemenfaatan sumber daya alam di lingkungan konservasi pesisir diatur melalui
zona-zona yang ditetapkan sehingga kegiatan kegiatan yang boleh maupun yang
tidak boleh dilakukan termasuk pengunan alat yang dapat merusak populasi ikan
dan biota dan menjamin pelestarian perlindungan yang lebih baik untuk
keberlanjutan sumber daya alam pesisir. (Supriharyono, 2009; 290).
Konservasi sumberdaya pesisir memiliki tujuan untuk
melindungi dan
menyelamatkan ekosistem sumberdaya pesisir. Menurut IUCN(1994) dalam
(Supriharyono, 2009; 290-291). Bahwa tujuan kawasan konservasi pesisir yaitu:
1)
Melindungi dan mengelola sistem laut dan eustaria supaya dapat bermanfaat
secara terus-menerus dalam jangka waktu panjang dan mempertahanan
keanekaragaman genetik 2)
Untuk melindungi penurunan, tekanan, populasi dan
spesies langka, terutama pengawetan habitat untuk kelangsungan hidup organisme
3)
Melindungi dan mengelola kawasan yang secara nyata merupakan siklus
hidup spesies ekonomi penting, 4)
Mencegah aktivitas luar yang memungkinkan
kerusakan kawasan konservasi pesisir. 5)
Memberikan kesejahteraan secara
terus-menerus kepada masyarakat dengan menciptakan kawasan konservasi peisir,
menyelamatkan, melindungi dan mengelola kawasan yang mempunyai nilai estetika,
budaya serta sejarah, untuk generasi yang aka datang,6)
Mempermudah dalam
menginterprestasikan sistem kawasan pesisir untuk tujuan konservasi, pendidikan
dan para
Pentingya Konservasi sumber daya alam pesisir dalam menjaga keberlanjutan
ekonomi sumber daya alam.
Wilayah pesisir merupakan kawasan yang paling padat dihuni oleh manusia serta
tempat berlangsung berbagai macam kegiatan pembangunan. Konsentrasi
kehidupan manusia dan berbagai kegiatan pembangunan di wilayah tersebut
disebabkan oleh tiga alasan ekonomi yang kuat, yaitu bahwa wilayah pesisir
merupakan kawasan yang paling produktif di bumi, wilayah pesisir menyediakan
kemudahan bagi berbagai kegiatan, dan wilayah pesisir memiliki pesona yang
menarik bagi obyek pariwisata. Hal-hal tersebut menyebabkan kawasan pesisir di
dunia termasuk Indonesia mengalami tekanan ekologis yang parah dan kompleks
sehingga menjadi rusak. Di Indonesia kerusakan wilayah ini terutama disebabkan
oleh pola pembangunan yang terlalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tanpa
ada perhatian yang memadai terhadap karakteristik, fungsi, dan dinamika ekosistem.
Padahal wilayah pesisir dan lautan beserta segenap sumberdaya alam dan jasa-jasa
lingkungan yang terkandung di dalamnya diharapkan akan menjadi tumpuan
pembangunan nasional pada abad ke-21.
Oleh karana itu diperlukan perbaikan yang mendasar di dalam perencanaan dan
pengelolaan pembangunan sumberdaya alam pesisir. Pola pembangunan yang
hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi perlu diganti dengan pembangunan
berkelanjutan. Pendekatan dan praktek pengelolaan pembangunan wilayah pesisir
yang selama ini dilaksanakan secara sektoral dan terpilah-pilah, perlu diperbaiki
melalui pendekatan pengelolaan secara terpadu dan berkelanjutan.
Sementara itu, banyak kawasan- kawasan pesisir di dunia termasuk Indonesia telah
mengalami tekanan ekologis yang semakin parah dan kompleks, baik berupa
pencemaran, over- eksploitasi sumberdaya alam dan pengikisan keanekaragaman

hayati, degradasi fisik habitat pesisir, maupun konflik pennggunaan ruang dan
sumberdaya. Bahkan, di beberapa daerah pesisir tingkat kerusakan ekologis
tersebut telah mencapai atau melampaui daya dukung lingkungan dan kapasitas
keberlanjutan (sustainable capacity) dari ekosistem wilayah pesisir untuk menopang
kegiatan pembangunan dan kehidupan manusia di masa-masa mendatang.
Hal ini terutama disebabkan oleh paradigma dan pola pembangunan yang selama ini
terlampau berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tanpa adanya perhatian yang
memadai terhadap karakteristik, fungsi, dan dinamika ekosistem wilayah pesisir
yang menyusun daya dukung dan kapasitas ekosistem ini bagi kelangsungan
pembangunan. Padahal seiring dengan pertambahan jumlah penduduk Indonesia,
yang diperkirakan akan mencapai 276 juta jiwa pada tahun 2010, dan kenyataan
bahwa sumberdaya di daratan (lahan atas) semakin menipis, maka wilayah pesisir
dan lautan beserta segenap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan
(environmental services) yang terkandung di dalamnya diharapkan menjadi pilar
dalam pengembangan perekonomian nasional
Oleh karena itu, jika bangsa Indonesia hendak memanfaatkan dan
mendayagunakan sumberdaya wilayah pesisir bagi sebesar-besar kemakmuran
rakyat dan kemajuan bangsa secara berkesinambungan, maka diperlukan perbaikan
mendasar di dalam perencanaan dan pengelolaan pembangunan sumberdaya
wilayah pesisir. Paradigma pembangunan yang hanya berorientasi pada
pertumbuhan ekonomi perlu diganti dengan pembangunan berkelanjutan
(sustainable development) yang sudah menjadi kesepakatan hampir seluruh
bangsa-bangsa di dunia sejak KTT Bumi di Rio de Jenairo 1992. Pendekatan dan
praktek pengelolaan pembangunan wilayah pesisir yang selama ini secara dominan
dilaksanakan secara sektoral dan terpilah-pilah, perlu diperbaiki melalui pendekatan
pengelolaan secara terpadu. (Dahuri, 1998)
Menurut Suparmoko (2008;179) bahwa sumber daya pesisir merupakan sumber
daya milik umum sehingga untuk menentukan harga sangat sukar ditentukan ada
dua syarat yang mencirikan sumber daya alam milik bersama atau umum yaitu:
1)
Tidak terbatasnya cara-cara pengambilan, 2)
Terdapat interaksi di antara
para pemakai sumber daya itu sehingga terjadi saling berebut satu sama lain dan
terjadi eksternalitas biaya yang sifatnya disekonomis.
Pada ciri yang pertama dari sumber daya milik umum orang atau perusahan bebas
masuk untuk mengambil manfaat, sedangkan untuk ciri kedua adanya orang atau
perusahaan yang berdesakan karena mereka bebas masuk, maka terjadi interaksi
yang tidak menguntungkan yang secara kuantitatif berupa biaya tambahan yang
harus diderita oleh masing-masing pengusaha sebagai akibat keadaan yang
berdesakan itu, misalnya karena banyaknya perusahan atau orang yang berlalu
lalang mengunakan jalan raya maka kelancaran transportasi menjadi terhambat
sehingga menimbulkan kerugian dari segi waktu dan hilangnya bahan bakar secara
ekstra dalam hal ini biaya eksternal (external cost) .hal ini pada prinsipnya
menimbulkan biaya eksternal yang pada akhirnya menimbulkan kecendrungan
pengelolaan ke arah deplesi.
Sumberdaya alam pesisir yang juga merupakan sumberdaya milik bersama
(common property) dan terbuka untuk umum (open acces) maka pemanfaatan
sumberdaya alam pesisir dan laut dewasa ini semakin meningkat di hampir semua
wilayah. Pemanfaatan yang demikian cenderung melebih daya dukung sumberdaya
(over eksploitatiton). Perkembangan eksploitasi sumberdaya alam laut dan pesisir
dewasa ini (penangkapan, budidaya, dan ekstraksi bahan-bahan untuk keperluan

medis) telah menjadi suatu bidang kegiatan ekonomi yang dikendalikan oleh pasar
(market driven) terutama jenis-jenis yang bernilai ekonomis tinggi, sehingga
mendorong eksploitasi sumberdaya alam laut dan pesisir dalam skala dan intensitas
yang cukup besar.( Stanis Stefanus dkk, 2007;67)
Hal ini terjadi karena banyaknya perusahan konsumen yang bebas masuk untuk
memanfaatkan sumber daya alam pesisir dengan keinginan untuk memperoleh
keuntungan yang sebesar-besarnya, sehingga terjadi ekspansi produksi yang besar
menyebabkan terjadi penumpukan hasil produksi, maka harga jual menjadi turun
sementara permintaan terhadap produk atau sumber daya menjadi naik. Sementara
dari sisi biaya produksi dengan adanya ekspansi yang berlebihan menyebabkan
biaya produksi menjadi meningkat disebabkan adanya biaya marginal yang
meningkat karena penyusutan persediaan /cadangan sumber daya alam dan juga
tambahan biaya untuk mencari sumber daya baru, dan biaya marginal meningkat
karena berdesaknya perusahan dalam merebut sumber daya alam sehingga terjadi
eksternalitas dalam biaya. (Suparmoko, 2008;177-178).
Menurut Purwanto (2003;34), mengatakan bahwa ketersediaan (stok) sumberdaya
ikan pada beberapa daerah penangkapan (fishing ground) di Indonesia ternyata
telah dimanfaatkan melebihi daya dukungnya sehingga kelestariannya terancam.
Beberapa spesies ikan bahkan dilaporkan telah sulit didapatkan bahkan nyaris
hilang dari perairan Indonesia. Kondisi ini semakin diperparah oleh peningkatan
jumlah armada penangkapan, penggunaan alat dan teknik serta teknologi
penangkapan yang tidak ramah lingkungan. Secara ideal pemanfaatan sumberdaya
ikan dan lingkungan hidupnya harus mampu menjamin keberlangsungan fungsi
ekologis guna mendukung keberlanjutan usaha perikanan pantai yang ekonomis dan
produkstif.
3. Konservasi sumber daya alam pesisir dalam meningkatkan ekonomi
sumber daya alam
1) Perencanaan Konservasi sumber daya alam pesisir
Berbagai aktivitas pembangunan terhadap ekosistem sumber daya pesisir maka
perlu adanya pengelolaan yang baik dan bijaksana termasuk didalamnya konservasi
sumberdaya alam pesisir. Menurut (Supriharyono, 2009; 298-302) bahwa setiap
perencanaan dan pengelolaan sumber daya pesisir perlu mempertimbangkan
beberapa pertimbangan yaitu yang bersifat ekonomi, lingkungan dan sosial budaya.
Disamping itu perencana harus menentukan juga informasi atau data penting yang
akan di perlukan untuk pengelolaan wilayah pesisir.
1. Pertimbangan ekonomis
Pertimbangan ekonomis adalah pertimbangan yang berkaitan dengan masalah nilai
ekonomis dari pada sumber daya alam yang ada di daerah pesisir yang akan
dikelola antara lain:
a)
Apakah daerah tersebut penting untuk masyarakat sehari-hari baik berupa
sumber bahan makanan dan bangunan
b)
Apakah daerah tersebut penting sebagai penghasil barang-barang yang dapat
dipasarkan baik berupa bahan makanan maupun jasa
c)
Apakah daerah tersebut penting untuk rekreasi atau parawisata yang
menghasilkan uang selain berupa barang
1. Pertimbangan Lingkungan

Pertimbangan lingkungan di sini adalah apakah lingkungan pesisir tersebut penting


untuk hal-hal berikut:
a)
Stabilitas fisik pantai seperti adanya hutan mangrove yang memperkuat
pantai dari gelombang laut atau menjaga kemungkinan terjadinya bahaya abrasi.
b)
Tujuan Ekonomi, apakah di daerah- daerah tersebut memiliki barang-barang
dan / jasa yag mempunyai nilai ekonomis penting untuk dilindungi
c)
Tujua budaya, apakah daerah tersebut mempunyai norma-norma atau situssitus budaya yang patut untuk dipertahankan atau dilindungi
d)
Apakah daerah tersebut penting untuk mempertahankan stok hewan dan
tumbuhan yang mempunyai potensi untuk dimanfaatkan serta plasma nutfah.
Pertimbangan Sosial Budaya
Untuk pertimbangan sosial budaya adda beberapa hal perlu diketahui
a)

Untuk pengakuan tradisi

b)

Nilai sosial dan budaya

c)

Untuk mempertahankan tradisi untuk generasi yang akan datang

d)

Untuk sasaran keagamaan.

2). Pengelolaan sumber daya Pesisir Secara Terpadu dan Berkelanjutan


Untuk dapat mengelola pembangunan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan
secara berkelanjutan (on a sustainable basis), perlu pemahaman dan penguasaan
yang mendalam tentang batasan dan karakteristik utama dari wilayah tersebut.
Menurut (Dahuri, 1998) bahwa pengelolaan pembangunan sumberdaya wilayah
pesisir dan lautan secara berkelanjutan, terdapat lima karakteristik utama dari
ekosistem pesisir dan lautan yang harus dipahami oleh para perencana dan
pengelola, serta kemudian dijadikan sebagai landasan dalam proses perencanaan
dan pengambilan keputusan tentang pembangunan kedua wilayah tersebut.
Pertama, bahwa komponen hayati dan nir-hayati dari suatu wilayah pesisir
membentuk suatu sistem alam (ekosistem) yang sangat kompleks. Keadaan yang
kompleks ini disebabkan oleh kondisi lingkungan yang unik yang tersusun oleh
berbagai ragam proses biofisik (ekologis) dari ekosistem daratan dan lautan. Faktorfaktor lingkungan (seperti angin, gelombang, pasang-surut, suhu, dan salinitas) di
perairan pesisir sangat bervariasi dan secara gradual berubah dari arah darat ke
laut. Oleh karena itu, ekosistem pesisir telah beradaptasi dengan keadaan
lingkungannya, dan ekosistem pesisir dapat sangat tahan atau sebaliknya sangat
rentan terhadap gangguan (perubahan) kondisi lingkungan baik yang disebabkan
oleh kegiatan manusia maupun bencana alam.
Contoh kasus, terumbu karang sangat tahan terhadap gempuran gelombang dan
badai, tetapi ekosistem pesisir ini sangat rentan terhadap sedimentasi
(pelumpuran). Hewan karang seringkali sangat sensitif terhadap perubahan kecil
dari salinitas atau suhu perairan, bahkan terhadap perubahan suhu perairan.
Sebaliknya, ekosistem hutan mangrove sangat tahan terhadap perubahan suhu,
salinitas, dan kandungan sedimen perairan.

Contoh Kasus, ekosistem mangrove sangat rentan terhadap perubahan aliran air
tawar, sirkulasi air, dan tumpahan minyak. Lebih dari itu, terdapat keterkaitan
ekologis (hubungan fungsional) baik antar ekosistem di dalam kawasan pesisir
maupun antara kawasan pesisir dengan lahan atas dan laut lepas. Dengan
demikian perubahan yang terjadi pada suatu ekosistem pesisir (misalnya mangrove),
cepat atau lambat, akan mempengaruhi ekosistem lainnya. Begitu pula halnya, jika
pengelolaan kegiatan pembangunan (industri, pertanian, pemukiman, dan lain-lain)
di lahan atas suatu DAS (Daerah Aliran Sungai) tidak dilakukan secara arif
(berwawasan lingkungan), maka dampak negatifnya akan merusak tatanan dan
fungsi ekologis kawasan pesisir dan lautan.
Fenomena inilah yang kemungkinan besar merupakan faktor penyebab utama bagi
kegagalan panen tambak udang yang akhir-akhir ini menimpa kawasan Pantai Utara
Jawa. Karena, untuk kehidupan dan pertumbuhan udang secara optimal diperlukan
kualitas perairan yang baik, tidak tercemar seperti Pantai Utara Jawa. Contoh lain
adalah pembuatan bendungan (damming) di daerah hulu suatu sungai akan
memutus (memblokir) jalur migrasi dari jenis-jenis organisme perairan (seperti ikan
salmon, sidat, dan udang galah), sehingga merugikan kegiatan perikanan pesisir
yang letaknya mungkin mencapai ratusan kilometer dari lokasi bendungan tersebut
Kedua, dalam suatu kawasan pesisir (Kalianda Bandar Lampung, misalnya),
biasanya terdapat lebih dari dua macam sumberdaya alam dan jasa-jasa
lingkungan yang dapat dikembangkan untuk kepentingan pembangunan, seperti
tambak, perikanan tangkap, pariwisata, pertambangan, industri dan pemukiman.
Ketiga, dalam suatu kawasan pesisir, pada umumnya terdapat lebih dari satu
kelompok masyarakat (orang) yang memiliki ketrampilan/keahlian dan kesenangan
(preference) bekerja yang berbeda, sebagai petani, nelayan, petani tambak, petani
rumput laut, pendamping pariwisata, industri dan kerajinan rumah tangga, dan
sebagainya. perubahan suhu perairan dan penyediaan unsur hara dapat
menurunkan populasi (stok) ikan di perairan pesisir, seperti yang telah ditunjukkan
oleh dampak El Nino terhadap stok ikan sardine di Samudra Pasifik (UNESCO,
1993) padahal, sangat sukar atau hampir tidak mungkin, untuk mengubah
kesenangan bekerja (profesi) sekelompok orang yang sudah secara mentradisi
menekuni suatu bidang pekerjaan.
Keempat, baik secara ekologis maupun ekonomis, pemanfaatan suatu kawasan
pesisir secara monokultur (single use) adalah sangat rentan terhadap perubahan
internal maupun eksternal yang menjurus pada kegagalan usaha. Contohnya, lagilagi pembangunan tambak udang di Pantai Utara Jawa, yang sejak tahun 1982
mengkonversi hampir semua pesisir termasuk mangrove (sebagai kawasan lindung)
menjadi tambak udang. Sehingga, pada saat akhir 1980-an sampai sekarang terjadi
peledakan wabah virus, sebagian besar tambak udang di kawasan ini terserang
penyakit yang merugikan ini. Kemudian, pada tahun 1988 ketika Jepang
memberhentikan impor udang Indonesia selama sekitar 3 bulan, karena kematian
kaisarnya (rakyat Jepang berkabung, tidak makan udang), maka mengakibatkan
penurunan harga udang secara drastis dari rata-rata Rp. 14.000,- per kg menjadi Rp
7.000,- per kg, sehingga banyak petani tambak yang merugi dan frustasi.
Kelima, kawasan pesisir pada umumnya merupakan sumberdaya milik bersama
(common property resources) yang dapat dimanfaatkan oleh semua orang (open
access). Padahal setiap pengguna sumberdaya pesisir biasanya berprinsip
memaksimalkan keuntungan. Oleh karenanya, wajar jika pencemaran, overeksploitasi sumberdaya alam dan konflik pemanfaatan ruang seringkali terjadi di
kawasan ini. Isu tentang hak kepemilikan lahan dan alokasi sumberdaya merupakan

sumber utama konflik di kebanyakan daerah pesisir. Lahan pasang-surut (tanah


timbul), dasar laut pesisir, dan perairan pesisir pada umumnya tidak adak
pemiliknya. Demikian juga tentang hak terhadap pemanfaatan sumberdaya yang
terdapat di ketiga daerah tersebut, kebanyakan belum ada sistem pengaturannya.
Oleh karena itu, sebagaimana diungkapkan di atas, daerah pesisir ini biasa disebut
sebagai sumberdaya milik bersama, dimana berlaku azas pemanfaatan secara
bebas oleh siapa saja (open acces). Memang, azas open acces ini sesuai untuk
kondisi, dimana permintaan masyarakat terhadap sumberdaya jauh lebih kecil dari
pada kemampuan ekosistem pesisir untuk menyediakannya. Akan tetapi, ketika
tingkat permintaan terhadap sumberdaya lebih besar ketimbang jumlah yang dapat
disediakan oleh alam, maka sistem alokasi sumberdaya menjadi sangat penting
untuk diterapkan. Apabila sistem alokasi sumberdaya semacam ini tidak
diberlakukan, maka persaingan tidak sehat antar pengguna sumberdaya (resource
users) akan muncul, kemudian menciptakan mentalitas free-for- all diantara
pengguna sumberdaya, dan pada gilirannya akan mengakibatkan pengikisan
sumberdaya (resource depletion) serta konflik sosial yang menjurus pada
pembangunan yang tidak berkelanjutan.
Lebih jauh, suatu pola penggunaan sumberdaya pesisir dan lautan yang
menguntungkan masyarakat secara keseluruhan acap kali bertentangan dengan
pola penggunaan yang dapat memberikan keuntungan maksimal bagi sektor swasta.
Fenomena semacam ini terjadi, karena banyak produk dan jasa-jasa lingkungan
yang disediakan oleh ekosistem pesisir bersifat intangible (tidak dapat dirasakan
langsung atau belum mempunyai nilai pasar) bagi pihak swasta. Misalnya, hutan
mangrove dapat memberikan keuntungan ekonomis yang sangat besar bagi
masyarakat secara keseluruhan, jika dikonservasi sebagai habitat dan daerah
pemijahan bagi biota perairan (perikanan); sebagai pelindung pantai dari gempuran
ombak, tsunami dan badai; sebagai pelindung lahan darat dari perembesan air laut
(salt interusion); sebagai pembersih alamiah pencemaran pantai; sebagai sumber
plasma nutfah; dan lain sebagainya. Akan tetapi, dari sudut pandang pengusaha
swasta, lahan hutan mangrove akan memberikan keruntungan ekonomis maksimal,
jika dikonversi secara total menjadi pertambakan udang, pemukiman (semacam
Pantai Indah Kapuk), kawasan industri, atau peruntukan pembangunan lainnya.
Konsep pengelolaan wilayah pesisir adalah fokus pada karakteristik wilayah dari
pesisir itu sendiri, dimana inti dari konsep pengelolaan pengelolaan wilayah adalah
kombinasi dari pembangunan adaptif, terintegrasi, lingkungan, ekonomi dan sistem
sosial. Strategi dan kebijakan yang diambil didasarkan pada karakteristik pantai,
sumberdaya, dan kebutuhan pemanfaatannya. Oleh karena itu dadalam proses
perencanaan wilayah pesisir, dimungkinkan pengambilan keputusan diarahkan pada
pemeliharan untuk generasi yang akan datang (pembangunan berkelanjutan).
Idealnya, dalam sebuah proses pengelolaan kawasan pesisir yang meliputi
perencanaan, implementasi dan evaluasi, harua melibatkan minimal tiga unsur yaitu
ilmuwan, pemerintah, dan masyarakat. Proses alam lingkungan pesisir dan
perubahan ekologi hanya dapat dipahami oleh ilmuan dan kemudian pemahaman
tersebut menjadi basis pertimbangan bagi pemerintah untuk melaksanakan program
pembangunan yang menempatkan masyarakat pesisir sebagai pelaku dan tujuan
meningkatkan sosial ekonomi kawasan.
perencanaan pembangunan pesisir secara terpadu harus memperhatikan tiga
prinsip pembnagunan berkelanjutan untuk pengelolaan wilayah pesisir yang dapat
diuraikan sebagai berikut ;

1. Instrumen ekonomi lingkungan telah menjadi bagian dari pengambilan


keputusan, yang memasukkan parameter lingkungan untuk melihat analisis
biaya manafaat (cost benefit analysis). Misalnya pembangunan pabrik di
wilayah pesisir harus memperhitungkan tingkat pencemarannya terhadap
laut, perlunya pengelolaan limbah ikan di Tempat Pelelangan Ikan, dan lainlain.
1. Isu lingkungan seperti konservasi keanekaragaman hayati menjadi
perhatian utama dalam pengambilan keputusan.
2. Pembangunan berkelanjutan sangat memperhatikan kualitas hidup
manusia pada saat sekarang dan masa yang akan datang, termasuk
didalamnya adalah sarana pendidikan bagi masyarakat pesisir,
penyediaan fasilitas kesehatan dan sanitasi yang memadai, dan
mitigasi bencana.
Sumber daya pesisir adalah merupakan integrasi dari semua potensi alam, potensi
manusia, potensi buatan dan potensi kelembagaan. Menurut Adisasmita (2006)
sumber daya merupakan semua potensi yang disediakan oleh alam dan manusia,
baik dalam bentuk tanah, bahan mentah, modal, tenaga kerja, keahlian, keindahan
alam maupun sosial budaya. Pengelolaan sumber daya pesisir dalam menghasilkan
barang untuk kebutuhan pangan, peralatan, dan hiasan belum optimal. Para nelayan
masih melakukan usaha ekstratif yang diperoleh dari generasi sebelumnya dengan
fokus penangkapan, dan pada usaha generatif, masih keterbatasan manajemen
dalam usaha, yang membuat mereka tetap dalam belenggu kemiskinan. Sumber
daya alam ikan dan hutan bakau bersifat replenishable resource (sumber daya yang
selalu ada dan muncul secara alami) dan renewable yang berlimpah, kekayaan
sumber daya alam belum dimanfaatkan untuk komoditi apa yang harus
diproduksikan. Sumber daya perikanan meskipun dapat pulih, perlu dikelola dengan
prinsip dan kaidah yang benar agar tidak mengalami deplasi degradasi dan
kepunahan Nikijuluwu, 2006 (dalam Ramli, 2008)
Teori ekonomi sebagai landasan pengambilan keputusan, apa yang harus di
produksi, bagaimana caranya, dan bagaimana distribusinya, belum dilakukan secara
optimal atas sumber daya pesisir dan laut yang berlimpah. Pemberdayaan
masyarakat pesisir terhadap pengolahan sumber daya pesisir dan laut yang
berlimpah adalah bagian yang tak terlepas dari pembangunan desa. Pada umumnya
pemberdayaan masyarakat bertujuan membantu masyarakat untuk dapat
membangun dan berkembang atas kemampuan dan kekuatan sendiri dengan
berbasis pada pengembangan potensi alam dan lingkungan (Dahuri, dkk, 2004).
Menurut Budiharsono (2005) dalam (Ramli, 2008) bahwa pembangunan wilayah
pesisir dan lautan dengan menggunakan pendekatan pembangunan wilayah terpadu
sekurang-kurangnya memperhatikan enam aspek, yang merupakan pilar-pilar
pembangunan wilayah.
Aspek biogiofisik meliputi kandungan sumber daya hayati, sumber daya non hayati,
jasa-jasa kelautan maupun sarana dan prasarana yang ada di wilayah pesisr dan
lautan. Aspek ekonomi meliputi kegiatan ekonomi yang terjadi di wilayah pesisir dan
lautan. Aspek sosial budaya politik dan hankam meliputi kependudukan, kualitas
sumber daya manusia, posisi tawar (dalam bidang politik) budaya masyarakat
pesisir dan lautan serta pertahanan dan keamanan. Aspek lokasi meliputi ruang
(spasial) yang berkaitan dengan tempat komoditi kelautan diproduksi, dan
bagaimana memperoleh sarana produksi, diolah, dan dipasarkan. Aspek lokasi juga
menunjukan keterikatan antara wilayah yang satu dengan wilayah lainnya yang

berhubungan dengan aspek sarana produksi, produksi, pengolahan maupun


pemasaran. Aspek lingkungan meliputi kajian mengenai bagaimana proses
mengambil input dari ekosistem, dapat menimbulkan eksternalitas negatif terhadap
kelestarian lingkungan. Aspek kelembagaan meliputi kelembagaan masyarakat yang
ada dalam pengelolaan wilayah pesisir dan lautan, dapat juga serangkaian
peraturan pusat maupun peraturan daerah dan lembaga-lembaga sosial ekonomi di
wilayah pesisir dan laut. Apakah dapat memberikan respon yang positif terhadap
pembangunan ekonomi wilayah pesisir dan laut.
Pengelolaan sumber daya perairan laut dengan paradigma baru dalam sistem
pemerintahan dari sentralisasi ke disentralisasi, mempunyai makna (Adisasmita R;
2006) dalam (Ramli, 2008) .
1)
Pengelolaan berorientasi pada mekanisme pasar (dimand and market driven)
2)
Pengelolaan berbasis sumber daya dan masyarakat (Resource and
Commonity based Development)
3)
Pengelolaan tidak harus seragam tetapi harus sesuai kepentingan dan budaya
masyarakat lokal.
4)
Pengelolaan secara berkeadilan (harus memperhatikan kebutuhan dan
kemampuan seluruh masyarakat).
Pendekatan pada paradigma baru dalam pengelolaan sumber daya perairan laut
harus:
1) Pendekatan komprehensif (holistik), Multisiktinal dan terpadu
2) Pendekatan skema spesial
3) Pendekatan Partisipatif
4) Pendekatan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Banyak kegiatan pembangunan ekonomi kawasan pesisir yang berlangsung tanpa
perencanaan dan pemahaman yang baik dan benar mengenai sumber daya alam
dan manusia di kawasan pesisir, akibatnya banyak masalah sosial ekonomi
lingkungan yang muncul di kawasan pesisir yang akhirnya mempengaruhi tingkat
kesejahteraan masyarakat.
Menurut Fauzi Adam Anna. S (2005) dalam (Ramli, 2008) Sumber daya perairan
menyediakan barang dan jasa yang dapat dikonsumsi baik langsung maupun tidak
langsung untuk kesejahteraan manusia, jika pemanfaatan yang berlebihan dapat
mengakibatkan timbulnya degradasi pada sumber daya perairan, untuk itu
pengenalan terhadap metode optimasi ekonomi sumber daya selama langsung
maupun tidak langsung oleh mereka yang terlibat dalam pemanfaatan sumber daya
tersebut.
http://www.bio.unidar.ac.id/downloads-materi/ekonomi-sumberdaya-alam/

Anda mungkin juga menyukai