Anda di halaman 1dari 16

TUMBUHAN KIRINYU Chromolaena odorata (L) (Asteraceae: Asterales) SEBAGAI

INSEKTIDA NABATI UNTUK MENGENDALIKAN


ULAT GRAYAK Spodoptera litura

M.Thamrin, S. Asikin dan M. Willis


Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa
Jl. Kebun Karet Loktabat Utara Banjarbaru Kalsel
E-mail: balittra@litbang.deptan.go.id dan thamrin_balittra@yahoo.com

ABSTRAK
Ulat grayak adalah hama yang sulit dikendalikan karena perkembangbiakannya yang cepat serta mempunyai kisaran inang yang luas, yaitu hampir semua jenis
tanaman pangan dan hortikultura. Insektisida sintetik seringkali digunakan untuk
mengendalikan hama ini bahkan melebihi dari dosis yang ditentukan. Akan tetapi
yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu semakin meningkatnya populasi hama sasaran.
Hal ini disebabkan terjadinya resistensi dan resurgensi, oleh karena itu perlu dicari
pengganti insektisida sintetik agar penggunaannya dapat dikurangi. Insektisida
nabati adalah salah satu pengganti yang dapat mengurangi frekuensi penggunaan
insektisida sintetik. Makalah ini menguraikan tentang potensi tumbuhan kirinyu
(Chromolaena odorata) sebagai insektisida nabati untuk pengendalian ulat grayak.
Ekstrak daun kirinyu efektif membunuh ulat grayak dengan mortalitas 80-100%,
serta dapat menekan tingkat kerusakan kedelai hingga 55,2%. Sedangkan racun
yang terkandung di dalam ekstrak tumbuhan tersebut bersifat racun perut. Selain
kirinyu, ada lima jenis tumbuhan yang juga berpotensi sebagai bahan untuk
pembuatan insektisida nabati. Kelima jenis tumbuhan tersebut adalah sungkai,
gelam, cambai, kepayang dan kalalayu.
Kata kunci: Kirinyu, insektisida nabati, ulat grayak
ABSTRACT

Siam weed as botanical insecticide for controlling armyworm


The armyworm is a pest that is difficult to control because it can lives in some
food crops and horticulture. Synthetic insecticides are often used in high doses to
control the pest however the population is increasing. This is due to the occurrence
of resistance and resurgence, therefore the synthetic insecticides must be to find a
replacement, botanical insecticide is one component that can reduce the frequency
of use of synthetic insecticides. This paper describes about the potential of siam
weed (Chromolaena odorata) as botanical insecticides for controlling armyworm.
Siam weed extract is effective against armyworms with 80-100% mortality, and can
reduce the level of damage to soybeans 55.2%. While the poison contained in the
plant extracts are toxic stomach. In addition, there are five types of plants are also
potential for botanical insecticides, these plants are sungkai, gelam, cambai,
kepayang and kalalayu.
Keywords: Siam weed, botanical insecticide, armyworm

Ulat grayak

Spodoptera litura

F. (Lepidoptera: Noctuidae) (Gambar 4)

adalah hama serangga yang sulit dikendalikan karena perkembangbiakannya yang


cepat serta mempunyai kisaran inang yang luas, yaitu hampir semua jenis tanaman
pangan dan hortikultura (Laoh, et al., 2003). Kehilangan hasil akibat serangan ulat
grayak pada tanaman kedelai berumur 30 hari mencapai 28,8% dan pada umur 79
hari mencapai 60,2% (Arifin, 1986). Sedangkan Willis, et al. (2003), mengemukakan
bahwa kerusakan kedelai yang disebabkan oleh ulat grayak di lahan rawa pasang
surut berkisar 20-60% bahkan di beberapa lokasi lain yang tidak dikendalikan dapat
mencapai 80%.
Sampai saat ini pengendalian terhadap hama serangga masih bertumpu pada
insektisida

sintetik,

termasuk

pengendalian

terhadap

ulat

grayak.

Padahal

penggunaan pestisida kimia dalam pengendalian hama tanaman saat ini banyak
menimbulkan dampak negatif. Masalah pencemaran lingkungan merupakan akibat
yang jelas terlihat, selain itu penggunaan pestisida secara terus menerus juga dapat
menyebabkan resistensi hama dan bahkan meninggalkan residu pestisida pada
produk hasil pertanian yang bisa berbahaya apabila dikonsumsi manusia (Thamrin
dan Asikin, 2007). Selain itu, insektisida sintetik tidak hanya berdampak negatif
terhadap kehidupan serangga tetapi juga sistem flora dan fauna serta kesehatan
manusia (Manuwoto, 1999). Insektisida sintetik juga memiliki sifat non spesifik
karena dapat membunuh organisme lain diantaranya adalah musuh alami yang harus
dipertahankan keberadaannya (Arinafril dan Muller, 1999; Thamrin et al, 1999).
Untuk itu insektisida sintetik yang merupakan komponen penting dalam
pengendalian hama terpadu perlu dicari penggantinya. Alternatif yang perlu
dikembangkan adalah produk alam hayati yang pada umumnya merupakan senyawa
kimia yang berspektrum sempit terhadap organisme sasaran (Sastrodiharjo et al.,
1992). Alternatif lain untuk pengendalian hama yaitu dengan memanfaatkan
senyawa beracun yang terdapat pada tumbuhan yang dikenal dengan insektisida
nabati. Insektisida nabati secara umum diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan
aktifnya berasal dari tumbuh-tumbuhan yang bersifat racun bagi organisme
pengganggu, mempunyai kelompok metabolit sekunder yang mengandung berbagai
senyawa bioaktif.

Hasil penelitian lain juga menyatakan bahwa ekstrak bagian

tanaman ada yang bersifat toksik terhadap hama (Balfas, 1994; Mudjiono et al,
1994). Berbagai jenis tumbuhan telah diketahui mengandung senyawa bioaktif
seperti alkaloid, terpenoid, steroid, asetogenin, fenil propan, dan tannin yang dapat
berfungsi sebagai insektisida dan repelen (Campbell, 1933; Burkill, 1935). Sedikitnya

2000 jenis tumbuhan dari berbagai famili telah dilaporkan dapat berpengaruh buruk
terhadap organisme pengganggu tanaman (Grainge dan Ahmed, 1987; Prakash dan
Rao, 1977), diantaranya terdapat paling sedikit 850 jenis tumbuhan yang aktif
terhadap serangga (Prakash dan Rao, 1977).
Hasil penelitian yang telah dilakukan di laborarotium Balai Penelitian
Pertanian Lahan Rawa, diketahui beberapa jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai
insektisida nabati, akan tetapi setelah dilakukan beberapa kali percobaan ternyata
kirinyu memiliki efektivitas yang lebih baik untuk mengendalikan ulat grayak. Oleh
karena itu tulisan ini dibuat dengan tujuan untuk menguraikan potensi tumbuhan
kirinyu sebagai bahan utama insektisida nabati karena diduga kandungan racunnya
cukup tinggi.
HABITAT DAN PENYEBARANNYA
Kirinyu Chromolaena odorata (L) (Asteraceae:

Asterales) dalam bahasa

Inggris disebut siam weed merupakan gulma padang rumput yang sangat luas
penyebarannya di Indonesia. Gulma ini diperkirakan sudah tersebar di Indonesia
sejak tahun 1910-an (Sipayung et al., 1991), dan tidak hanya terdapat di lahan
kering atau pegunungan tetapi juga banyak terdapat di lahan rawa dan lahan basah
lainnya (Thamrin dan Asikin, 2007) (Gambar 1-3)
Kirinyu adalah gulma yang awalnya diketahui berasal dari Amerika Selatan
dan Tengah, kemudian menyebar ke daerah tropis Asia, Afrika dan Pasifik, dimana ia
digolongkan sebagai gulma invasif. Gulma ini dicirikan sebagai semak berkayu yang
dapat berkembang dengan cepat, juga dikenal sebagai gulma siam, berdiri
membentuk padat yang dapat mencegah pembentukan jenis tumbuhan lainnya.
Gulma ini merupakan pesaing agresif dan mungkin memiliki efek allelopati. Gulma ini
juga sangat merugikan karena dapat mengurangi kapasitas tampung padang
penggembalaan, menyebabkan keracunan, bahkan mungkin sekali mengakibatkan
kematian bagi ternak serta dapat menimbulkan bahaya kebakaran (Prawiradiputra,
2007).

MORFOLOGI
Tumbuhan kirinyu termasuk ordo Asterales, keluarga Asteraceae. Bentuk
daun oval dan bagian bawahnya lebih lebar, makin ke ujung makin runcing. Panjang
daun 610 cm dan lebarnya 36 cm. Tepi daun bergerigi, menghadap ke pangkal,
letaknya juga berhadap-hadapan (Gambar 1 dan 2). Karangan bunga terletak di
ujung cabang (terminal), dan setiap karangan terdiri atas 2035 bunga. Warna
bunga pada saat muda kebiru-biruan, semakin tua menjadi coklat (Gambar 3).
Waktu berbunga serentak pada musim kemarau selama 34 minggu. Pada saat biji
masak tumbuhan akan mengering kemudian bijinya pecah dan terbang terbawa
angin. Kurang lebih satu bulan setelah awal musim hujan, potongan batang, cabang
dan pangkal batang akan bertunas kembali. Biji-biji yang jatuh ke tanah juga mulai
berkecambah sehingga dalam waktu dua bulan berikutnya kecambah dan tunastunas telah terlihat mendominasi area (Prawiradiputra, 1985).
Perkembangan kirinyu sangat cepat, selain itu tumbuhan ini juga membentuk
komunitas yang rapat sehingga dapat menghalangi berkembangan tumbuhan lain
(FAO, 2006). Pada komunitas yang rapat, kepadatan tanaman bisa mencapai 36
tanaman dewasa per m2 ditambah dengan tidak kurang dari 1300 kecambah,
padahal setiap tanaman dewasa masih berpotensi untuk menghasilkan tunas (Yadav
dan Tripathi, 1981). Kemampuannya mendominasi area dengan cepat disebabkan
oleh produksi bijinya yang sangat banyak. Setiap tumbuhan dewasa mampu
memproduksi sekitar 80.000 biji setiap musim (Department of Natural Resources,
Mines and Water, 2006).
Kirinyu dapat tumbuh pada ketinggian 1000-2800 m dpl, sedangkan di
Indonesia banyak ditemukan di dataran rendah (0-500 m dpl) seperti di perkebunanperkebunan karet dan kelapa serta di padang-padang penggembalaan (FAO, 2006).
Tinggi tumbuhan dewasa dapat mencapai lebih dari 5 m (Departmen of Natural
Resources, Mines and Water, 2006). Batang muda agak lunak dan berwarna hijau
kemudian berangsur-angsur menjadi coklat dan keras (berkayu) apabila sudah tua.
Letak cabang biasanya berhadap hadapan dan jumlahnya sangat banyak.
Cabangnya yang rapat menyebabkan berkurangnya cahaya matahati kebagian
bawah, sehingga menghabat pertumbuhan spesies lain, termasuk rumput yang
tumbuh di bawahnya.

Gambar 2. Daun kirinyu

Gambar 1. Tumbuhan kirinyu

Gambar 3. Bunga Kirinyu

Gambar 4. Ulat grayak

EKPLORASI DAN EFIKASI


Menurut Takahashi (1981), pada dasarnya bahan alami yang mengandung
senyawa bioaktif pada tanaman dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu (a) bahan
alami dengan kandungan senyawa antifitopotogenik (antibiotika pertanian), (b)
bahan alami dengan kandungan senyawa bersifat fitotoksik atau mengatur tumbuh
tanaman (fitotoksin, hormon tanaman dan sejenisnya) dan (c) bahan alami dengan
kandungan senyawa bersifat aktif terhadap serangga (hormon serangga, feromon,
antifidan, repelen, atraktan dan insektisidal).
Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra) telah melakukan serangkaian
kegiatan penelitian yang tujuannya untuk mendapatkan bahan pestisida yang berasal
dari tumbuhan yang langkah awalnya adalah melakukan eksplorasi terhadap
beberapa jenis tumbuhan di daerah rawa di Kalimatan Selatan dan Tengah. Syaratsyarat tumbuhan yang dikoleksi dicirikan seperti berikut : (a) mempunyai bau yang
menyengat (b) tidak rusak akibat serangan hama dan penyakit, (c) digunakan
sebagai

obat

tradisional

untuk

menyembuhkan

penyakit

atau

bersifat

membahayakan bagi kesehatan manusia atau hewan dan juga (d) telah digunakan
oleh masyarakat untuk mengendalikan hama dan penyakit.
Koleksi tumbuhan yang mengandung bahan bioaktif (repelen, atraktan atau
berdaya racun) telah dilakukan di Kalimantan Selatan dan Tengah.

Hasil koleksi

terdiri dari gulma golongan rumputan, teki dan berdaun lebar serta tanaman
tahunan. Sebagian nama-nama tumbuhan yang dikoleksi belum diketahui bahasa
umumnya (Bahasa Indonesia), sehingga masih menggunakan bahasa daerah
setempat, terutama bahasa dari suku Banjar dan Dayak. Tumbuhan yang dikoleksi
pada umumnya berhasiat sebagai obat, namun ada juga yang dapat meracun
terutama pada kulit dan sebagian lagi mempunyai bau yang menyengat. Dari hasil
eksplorasi tersebut diperoleh 122 jenis tumbuhan yang diduga dapat berperan
sebagai insektisida (Thamrin et al., 2007). Diantara tumbuhan tersebut, sebanyak 17
jenis yang telah dicobakan daya racunnya terhadap hama ulat jengkal, ulat buah,
ulat plutela dan ulat grayak di Laboratorium Balittra. Setelah beberapa kali dilakukan
percobaan, ternyata tumbuhan kirinyu memiliki daya racun yang tingggi terhadap
beberapa jenis hama terutama ulat grayak, oleh karena itu penelitian difokuskan
terhadap tumbuhan tersebut.

Percobaan efikasi insektisida nabati ini dimulai sejak tahun 2003 dengan
menggunakan beberapa jenis tumbuhan terutama yang berasal dari lingkungan
rawa, akan tetapi hasilnya kurang sesuai dengan yang diharapkan karena beberapa
jenis tumbuhan yang semula diduga efektif utuk membunuh hama ternyata belum
juga didapatkan, namun secara tidak sengaja menggunakan kirinyu sebagai
makanan ulat grayak, ternyata semua larva dari ulat grayak yang memamakannya
mati, maka percobaan efikasi tumbuhan ini selalu dilakukan dengan menyertakan
jenis tumbuhan lainnya terutama gelam yang populasinya sangat banyak di lahan
rawa.
Pada tahun 2004 dan 2005 percobaan efikasi kirinyu dan gelam serta
beberapa jenis tumbuhan lainnya sebagai insektisida nabati, ternyata hasilnya cukup
baik. Pada percobaan ini menggunakan delapan jenis tumbuhan untuk diketahui
efektifitasnya terhadap ulat jengkal (pada saat itu jumlah larva dari ulat grayak
terbatas). Sebagai pembanding pertama adalah insektisida sintetik (-sihalotrin) dan
yang kedua tanpa dikendalikan (hanya disemprot dengan air). Dari hasil percobaan
diketahui bahwa kirinyu, gelam, kalalayu, cambai dan sungkai efektif membunuh ulat
jengkal dengan mortalitas 80-85% (Tabel 1). Diantara tumbuhan tersebut, gelam
adalah yang paling efektif membunuh ulat jengkal. Menurut Kardinan (1998) ekstrak
daun gelam secara visual dan dari tanda-tandanya kalau dikocok memperlihatkan
busa maka ekstrak tersebut mengandung racun saponen. Seperti tanaman gadung,
selain sebagai pil kontrasepsi, umbi gadung juga sering digunakan sebagai bahan
pencuci rambut (sampo). Hal ini disebabkan karena tingginya kandungan saponin
dalam umbi juga toksik untuk membunuh kutu kepala.
Tabel 1. Efikasi beberapa jenis ekstrak tumbuhan terhadap mortalitas ulat jengkal
Perlakuan

Mortalitas (%)

Kirinyu (Chromolaena odorata)

80

Gelam (Melaleuca cajuputi)

85

Kalalayu (Erigioseum rubiginosum)

80

Jingah (Glutha rengas)

70

Lukut (Patycerium bifurcatum)

70

Cambai (Piper sarmentosum)

80

Jengkol (Phitecellobium lobatum)

70

Sungkai (Peronema canescen)

80

Kontrol 1 (-sihalotrin)

100

Kontrol 2 (tanpa dikendalikan)

10

Sumber : Askin dan Thamrin (2006)

Pada tahun berikutnya (2006), dicoba lagi efektifitas lima jenis tumbuhan
sebagai insektisida nabati terhadap ulat buah paria, ternyata gelam kurang efektif
membunuh ulat buah paria, tetapi kirinyu dan kepayang lebih efektif membunuh ulat
buah tersebut dengan mortalitas 80% (Tabel 2). Percobaan lainnya adalah efikasi
empat jenis tumbuhan terhadap ulat grayak, ternyata ekstrak kirinyu mampu
membunuh ulat grayak dengan mortalitas 100% pada saat 72 jam setelah aplikasi
(Tabel 3). Menurut Biller et al., (1994), kirinyu mengandung pryrrolizidine alkaloids
yang bersifat racun, dan kandungan ini menyebabkan tanaman berbau menusuk,
rasa pahit, sehingga bersifat repellent dan juga mengandung allelopati.
Tabel 2. Efikasi beberapa jenis ekstrak tumbuhan terhadap mortalitas ulat buah
Perlakuan

Mortalitas (%)

Kirinyu (Chromolaena odorata)

80

Gelam (Melaleuca cajuputi)

65

Kalalayu (Erigioseum rubiginosum)

75

Kepayang (Pangium edule)

80

Maya (Amorphophallus campanulatus)

65

Kontrol 1 (Deltametrin)

100

Kontrol 2 (tanpa dikendalikan)


Sumber : Thamrin et al., (2007)

10

Tabel 3. Efikasi perlakuan ekstrak tumbuhan sebagai insektisida nabati terhadap ulat grayak
Perlakuan
Kirinyu (Chromolaena odorata)
Gelam (Melaleuca cajuputi)
Lukut (Patycerium bifurcatum)
Jingah (Glutha rengas)
Kontrol 1 (-sihalotrin)
Kontrol 2 (tanpa insektisida)
Sumber : Thamrin et al., (2007)

24 jam
73,3
25,0
15,0
5,0
70,0
0,0

48 jam
98,3
38,3
23,3
25,0
96,7
0,0

Mortalitas
72 jam
100,0
45,0
36,7
30,0
100,0
0,0

96 jam
100,0
60,0
50,0
58,3
100,0
5,0

120 jam
100,0
75,0
70,0
70,0
100,0
10,0

Percobaan pada tahun 2007 adalah melakukan efikasi tiga jenis tumbuhan
sebagai insektisida nabati terhadap ulat plutela. Dalam percobaan ini menggunakan
dua pembanding, yaitu Deltametrin (insektisida sintetik) dan tanpa dikendalikan
(hanya disemprot dengan air). Hasil percobaan menunjukkan bahwa kirinyu dan
kepayang mampu membunuh larva dari plutela dengan mortalitas masing-masing
80%. Menurut Rumphius (1992) dalam Wardhana (1997) bahwa seluruh bagian
pohon kepayang mengandung asam sianida yang sangat beracun dan dapat
digunakan sebagai bahan

pencegah busuk dan senyawa pembunuh serangga.

Adapun sifat astiri dari racunnya memiliki keuntungan apabila digunakan karena
tidak menimbulkan bau dan rasa apapun yang tertinggal pada tanaman yang
diperlakukan.
Tabel 4. Efikasi beberapa jenis ekstrak tumbuhan terhadap mortalitas ulat plutela
Perlakuan

Mortalitas (%)

Kirinyu (Chromolaena odorata)

80

Kalalayu (Erigioseum rubiginosum)

70

Kepayang (Pangium edule)

80

Kontrol 1 (Deltametrin)

100

Kontrol 2 (tanpa dikendalikan)

Sumber : Thamrin dan Asikin (2009)

Percobaan yang dilakukan pada tahun 2008 dan 2009, dengan


menggunakan empat jenis tumbuhan sebagai insektisida nabati untuk mengetahui
efektifitasnya terhadap ulat grayak. Sebagai pembanding pertama adalah perlakuan
dengan menggunakan insektisida nabati (-sihalotrin) dan kedua tanpa dikendalikan
(hanya disemprot dengan air). Dari percobaan tersebut diketahui bahwa kirinyu
efektif membunuh larva dari ulat grayak dengan mortalitas 85%, sedangkan ekstrak
daun sungkai ternyata lebih efektif (Tabel 5), namun menurut Samharinto dan
Pramudi (2009) bahwa ekstrak daun sungkai hanya mampu membunuh larva ulat
grayak sebesar 31,6%. Sehubungan dengan hasil penelitian yang berbeda ini, maka
tumbuhan ini perlu diteliti lebih lanjut, karena menurut Dadang dan Prijono (2008)
bahwa kandungan bahan aktif dalam tumbuhan sering beragam, tergantung
keadaan geografis daerah asal tumbuhan tersebut dan musim saat pemanenan
bagian yang mengandung bahan insektisida. Selain itu cara penanganan bagian
tumbuhan tersebut dan cara ekstraksi dapat mempengaruhi keefektifan ekstrak yang
diperoleh.
Tabel 5. Efikasi beberapa jenis ekstrak tumbuhan terhadap mortalitas ulat grayak
Perlakuan

Mortalitas (%)

Kirinyu (Chromolaena odorata)

85

Maya (Amorphophallus campanulatus)

75

Cambai (Piper sarmentosum)

75

Sungkai (Peronema canescen)

90

Kontrol 1 (-sihalotrin)

100

Kontrol 2 (tanpa dikendalikan)

10

Sumber : Asikin dan Thamrin (2010)

Penelitian yang dilakukan di rumah kasa Balai Penelitian Pertanian Lahan


Rawa (Balittra) yang berlangsung selama 6 minggu, diketahui bahwa ekstrak kirinyu
efektif digunakan untuk mengendalikan ulat grayak, karena kerusakan yang
disebabkannya hanya 8,3%, sedangkan perlakuan kontrol (tanpa dikendalikan)
kerusakannya mencapai 63,5%, sehingga dapat dinyatakan bahwa penggunaan
ekstrak kirinyu mampu menekan tingkat kerusakan kedelai yang disebabkan ulat
grayak sebesar 55,2%. Pada saat pengamatan pertama dan kedua (1 dan 2 minggu
setelah infestasi) kerusakan daun kedelai cenderung meningkat pada semua
perlakuan, maka penyemprotan dilakukan kembali sesuai perlakukan, dan satu
minggu kemudian terlihat intensitas kerusakan daun menurun sampai minggu
keempat, kecuali pada perlakuan kontrol (tanpa dikendalikan) (Gambar 5). Hal ini
disebabkan mortalitas larva yang tinggi bahkan pada saat pengamatan keempat,
mortalitas larva mencapai 90-100% (Gambar 6). Akan tetapi sebagian larva pada

tingkat kerusakan daun (%)

perlakuan kontrol, mengalami perubahan untuk menjadi pupa (Thamrin, 2009).

70
60
50
40

kirinyu
kirinyu+deltametrin
deltametrin
tanpa dikendalikan

30
20
10
0
1

waktu pengamatan (minggu setelah infestasi larva)


Gambar 5. Pengaruh pemberian ekstrak daun kirinyu terhadap intensitas kerusakan
daun kedelai yang disebabkan oleh ulat grayak (Thamrin, 2009)

10

100
mortalitas larva (%)

90
80
70
60

kirinyu
kirinyu+deltametrin
deltametrin
tanpa dikendalikan

50
40
30
20
10
0
1

waktu pengamatan (minggu setelah infestasi larva)


Gambar 6. Mortalitas larva ulat grayak yang dikendalikan dengan ekstrak kirinyu
deltametrin pada tanaman kedelai (Thamrin, 2009)

Percobaan efikasi ekstrak kirinyu, tembelekan (Lantana camara), pilantus


(Phyllanthus urinaria), jambu hutan (Eugenia sp),

insektida sintetik (-sihalotrin)

dan tanpa dikendalikan (pembanding) terhadap ulat grayak di Laboratorium Balittra,


diketahui bahwa ekstrak kirinyu paling efektif membunuh larva ulat grayak dengan
mortalitas 85%, namun belum mencapai 100%

seperti perlakuan penggunaan

insektisida sintetik (Gambar 7). Pada hari pertama terjadi kontak, larva belum
memperlihatkan gejala keracunan, namun gejala keracunan terlihat setelah makan
yang ditandai dengan gerakan yang lambat atau aktivitas makannya berkurang,
kemudian perubahan warna menjadi kehitaman, sampai hari ketiga semua larva
mati. Hal ini

mengindikasikan bahwa kandungan racun dari tumbuhan kirinyu

mortalitas larva (%)

bersifat racun perut terhadap ulat grayak (Asikin dan Thamrin, 2010).

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
kirinyu

tembelekan

pilantus

jambu hutan

-sihalotrin tanpa insektisida

Gambar 7. Efikasi beberapa ekstrak tumbuhan terhadap mortalitas larva ulat grayak
(Asikin dan Thamrin, 2010)

11

Percobaan berikutnya yang juga dilakukan di Laboratorium Balittra, diketahui


bahwa ekstrak kirinyu paling efektif membunuh larva ulat grayak dengan mortalitas
90% untuk instar 2-3, dan 70% untuk instar 3-4, sedangkan perlakuan lainnya dapat
membunuh larva berkisar 0-60%, kecuali pada perlakuan -sihalotrin yang dapat
membunuh larva ulat grayak dengan mortalitas 100% (Tabel 6). Dalam percobaan
ini hanya kirinyu yang efektif membunuh larva dari ulat grayak, sedangkan tiga
perlakuan lainnya memiliki daya racun yang rendah.
Tabel 6. Efikasi perlakuan ekstrak tumbuhan sebagai insektisida nabati terhadap larva ulat
grayak
Perlakuan

Bagian tumbuhan

Sisik naga (Drymoglossum piloselloides)


Kirinyu (Chromolaena odorata)
Manggis (Garcinia mangostana)
Kalangkala (Litsea sebifera)
Kontrol 1 (-sihalotrin)
Kontrol 2 (tanpa insektisida)

daun
daun
kulit buah
biji
-

Mortalitas larva (%)


(Instar 2-3)
(Instar 3-4)
60
40
90
70
10
10
20
0
100
100
10
0

Sumber : Asikin dan Thamrin (2010)

Percobaan yang menggunakan ekstrak kirinyu, cambai dan sungkai, ternyata


ekstrak kirinyu paling efektif membunuh larva ulat grayak dengan mortalitas 85%
(Gambar 8). Mortalitas larva pada hari pertama ditunjukkan oleh perlakuan
insektisida sintetik (BPMC) dan pada hari kedua mortalitasnya mencapai 100%,
sedangkan kematian larva pada perlakuan insektisida nabati terlihat setelah hari
kedua dan ketiga, namun setelah hari keempat tidak terlihat kematian larva, bahkan

mortalitas larva (%)

larva-larva tersebut berhasil menjadi dewasa (Asikin dan Thamrin, 2010).

100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
kirinyu

Gambar 8.

cambai

sungkai

BPMC

tanpa
insektisida

Efikasi beberapa ekstrak tumbuhan terhadap mortalitas larva ulat grayak


(Asikin dan Thamrin, 2010)

12

KESIMPULAN
Setelah dilakukan beberapa kali percobaan efikasi ekstrak tumbuhan terhadap
ulat grayak, dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun kirinyu efektif membunuh ulat
grayak dengan mortalitas 80-100%, serta dapat menekan tingkat kerusakan kedelai
hingga 55,2%. Sedangkan racun yang terkandung di dalam ekstrak tumbuhan
tersebut bersifat racun perut.
Selain kirinyu, ada lima jenis tumbuhan yang juga berpotensi sebagai bahan
untuk pembuatan insektisida nabati. Kelima jenis tumbuhan tersebut adalah sungkai,
gelam, cambai, kepayang dan kalalayu.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, M. 1986. Kerusakan dan hasil kedelai orba pada berbagai umur tanaman dan
populasi ulat grayak (Spodoptera litura). Seminar Balai Penelitian Tanaman
Pangan Bogor.
Arinafril dan P. Muller. 1999. Aktivitas Biokimia Ekstrak Mimba terhadap
Perkembangan Plutela xylostella. Prosiding Seminar Nasional: Peranan
Entomologi dalam Pengendaian Hama yang Ramah Lingkungan dan
Ekonomis. Perhimpunan Entomologi Indonesia. p. 381-386.
Asikin. S., dan M.Thamrin. 2006. Pengendalian Hama Serangga Sayuran Ramah
Lingkungan di Lahan Rawa Pasang Surut. Dalam Noor, M., I. Noor dan S.S.
Antarlina (Ed). 73-86. Sayuran di Lahan Rawa: Teknologi Budidaya dan
Peluang Agribisnis. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya
Lahan Pertanian.
______________________. 2009. Ekstrak tumbuhan potensial sebagai insektisidda
nabati dalam mengendalikan hama perusak daun. Seminar Nasional Inovasi
untuk Petani dan Peningkatan Daya Saing Produk Pertanian. Kerjasama Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur dengan FEAT dan Dinas
Pertanian Jawa Timur. p. 126-137
______________________. 2010. Pengendalian ulat grayak (Spodoptera litura)
dengan menggunakan ekstrak bahan tumbuhan liar rawa. Seminar Nasional
Perlindungan Tanaman. Pusat Pengkajian Pengendalian Hama Terpadu
Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. p.
178-192.
Balfas, R. 1994. Pengaruh ekstrak air dan etanol biji mimba terhadap mortalitas dan
pertumbuhan ulat pemakan daun handeuleum, Doleschalia polibete. Prosiding
Seminar Hasil Penelitian Dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati. p. 203207.

13

Biller, A., M. Boppre, L. Witte and T. Hertman. 1994. Pyrrolizidine alkaloids in


Chromolaena odorata. Phytochemistry. http//www.ens.cau.au//Chromolaena/
o/o mod.html. Diakses 26 Agustus 2005
Burkill, J.H. 1935. A dictionary of economic products of the Malay Peninculla.
Government of the Straits Settlement. Milbank. London S.W. 340 hal.
Campbell, F.L., and W.W. Sullivan. 1933. The relative toxicity of nicotine, methyl
anabasine and lupinine for culicine mosquito larvae. J.Con. Entomol. 26 (3) :
910-918.
Dadang dan D. Prijono. 2008. Insektisida nabati: prinsip, pemanfaatan dan pengembangan. Institut Pertanian Bogor. 163 hal.
Departmen Of Natural Resources, Mines And Water. 2006. Siam Weed Declared no.
1. Natural Resources, Mines And Water, Pesr. Series, Queensland, Australia
pp 1-4.
FAO. 2006. Alien Invasive Species: Impacts on Forests and Forestry - A Review.
http://www.fao.org//docrep/008/ j6854e/j6854e00.htm. (25 Oktober 2007)
Grainge, M and S. Ahmed. 1987. Handbook of Plants with Pest Control Properties.
New York: J. Wiley. 470 pp.
Kardinan, A., 1998. Prospek penggunaan pestisida nabati di Indonesia.
Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vo. XVII No. 1.

Jurnal

Laoh, J.H., F. Puspita dan Hendra. 2003. Kerentanan larva Spodoptera litura F.
Terhadap virus nuklear polyedrosis. Fakultas Pertanian, Universitas Riau.
Pekanbaru. http://www.Unri.ac.id/jurnal/jurnalnature/vo/15(2) Henni. Pdf
Manuwoto, S. 1999. Pengendalian hama ramah lingkungan dan ekonomis. Dalam
Prasadja, I., M. Arifin., I.M. Trisawa., I.W. Laba., E.A. Wikardi., D. Sutopo.,
Wiranto dan E. Karmawati (Ed). 1-12. Prosiding Seminar Nasional Peranan
Entomologi dan Pengendalian Hama yang Ramah Lingkungan dan Ekonomis.
Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Bogor.
Mudjiono, A., Suyanto dan W. Prihayana. 1994. Kemampuan insektisida nabati,
mikroba dan kimia sintetis terhadap ulat Plutela xylostella. Prosiding Seminar
Hasil Penelitian Dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati. p. 86-90.
Prakash, A and J. Rao. 1997. Botanical Pesticides in Agriculture. Boca Raton: Lewis
Publishers.
Prawiradiputra, B.R. 1985. Bahan komposisi vegetasi padang rumput alam akibat
pengendalian kirinyu (Chromolaena odorata (L) R.M. King and H. Robinson)
di Jonggol, Jawa Barat. Thesis, Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor. 79 hlm.
_______________. 2007. Kirinyu (Chromolaena odorata (L) R.M. King dan H.
Robinson): Gulma padang rumput yang merugikan. Bulletin Ilmu Peternakan
Indonesia ( WARTAZOA), Volume 17 No. 1 (2007)

14

Samharinto, S., dan M.I. Pramudi. 2009. Eksplorasi dan efikasi tumbuhan rawa yang
berpotensi sebagai insektisida nabati terhadap ulat grayak (Spodoptera litura
F.). Agrosceintiae: 2 (16). Hal. 124-132.
Sastrodihardjo,S., I. Ahmad., Tri Koesumaningtyas dan S. Manaf.
1992.
Penggunaan Produk alam dalam pengendalian hama terpadu. PAU Ilmu
Hayati ITB.
Sipayung, A., R.D. De Chenon And P.S. Sudharto. 1991. Observations on
Chromolaena odorata (L.) R.M. King and H. Robinson in Indonesia. Second
International Workshop on the Biological Control and Management of
Chromolaena
odorata.
Biotrop,
Bogor.
http://www.ehs.cdu.edu.au/chromolaena/2/ 2sipay. (13 Januari 2006)
Takahashi, N.

1981. Applicati of BiologicallyNatural Products in Agricultural Fields.

Dalam Proc. Of Reg. Seminar on Recnet Trend in Chemistry of Natural


Product Research, M.Wirahadikusumah and A.S Noer (Eds.).
Penerbit ITB, Bandung.

110 132.

Thamrin, M. 2009. Pemanfaatan insektisida nabati asal tumbuhan rawa untuk


pengendalian ulat grayak dan plutela pada pertanaman kedelai dan sayuran
di lahan rawa pasang surut yang berwawasan lingkungan. Kerjasama
Kementerian Riset dan Teknologi dengan Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. 14p.
Thamrin, M., M. Willis dan S. Asikin. 1999. Parasitoid dan predator penggerek batang
padi di lahan rawa pasang surut Kalimantan Selatan. Dalam Prasadja, I., M.
Arifin., I.M. Trisawa., I.W. Laba., E.A. Wikardi., D. Sutopo., Wiranto dan E.
Karmawati (Ed). 175-181. Prosiding Seminar Nasional Peranan Entomologi
dan Pengendalian Hama yang Ramah Lingkungan dan Ekonomis.
Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Bogor.
Thamrin, M dan S.Asikin. 2006. Alternatif pengendalian hama serangga sayuran
ramah lingkungan di lahan lebak. Dalam Noor, M., I. Noor., A. Supriyo.,
Mukhlis dan R.S.Simatupang (Ed) Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan
Lahan Terpadu. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya
lahan Pertanian. P. 375-386
___________________. 2009. Ekstrak tumbuhan yang berpotensi mengendalikan
ulat kubis Plutela xylostella. Dalam Prosiding Seminar Nasional Perlindungan
Tanaman. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. p. 230-233

Thamrin, M., S.Asikin, Mukhlis dan A.Budiman. 2007. Potensi ekstrak flora lahan
rawa sebagai pestisida nabati. Dalam Supriyo, A., M. Noor, I. Ar-Riza dan D.
Nazemi (Ed). Monograf: Keanekaragaman Flora dan Buah-buahan Eksotik
Lahan Rawa. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan
Pertanian. Hal 23-31.
Wardhana, A., Gt. 1997. Penetapan LC 50 Ekstrak Pucuk Daun Kepayang (Pangium
edule Rein W.) Terhadap Ulat Pemakan Daun Kubis (Plutella xylostella Linn.)
Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Lambung Mangkurat.

15

Willis, M., M. Thamrin dan S. Asikin. 2003. Evaluasi Status Hama Utama Tanaman
Palawija di Lahan Rawa Pasang Surut. Laporan Hasil Penelitian, Balai
Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru
Yadav, A.S. and R.S. Tripathi. 1981. Population dynamic of the ruderal weed
Eupatorium odoratum and its natural regulation. Oikos No. 36. Copenhagen.

16

Anda mungkin juga menyukai