Anda di halaman 1dari 58

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang KKN-P


Selama dua dasawarsa awal abad ke-21, persoalan yang sama berkenaan
dengan ketimpangan, kemiskinan dan pengangguran masih menjadi isu yang
sentral, tetapi dengan penekanan yang agak berbeda dari sebelumnya.
Penekanan yang dimaksud mencakup pengarusutamaan daya saing yang
ditempuh melalui berbagai bentuk integrasi ekonomi (dalam hal hal ini termasuk
Masyarakat Ekonomi ASEAN). Integrasi ekonomi yang tidak memerhatikan daya
saing akan mengeliminir peran masyarakat kelas menengah ke bawah. Selain
itu, ketidakpastian global semakin intensif sebagaimana dapat dilihat pada dua
episode krisis: sub-prime mortgage crisis pada 2008 dan Krisis Zona Euro pada
2010. Krisis ekonomi merupakan faktor eksternal yang notabene tidak dapat
langsung dikendalikan oleh pemerintah tetapi pengaruhnya merambah ekonomi
domestik.
Gambar 1.1 Dinamika Perekonomian Indonesia 1970-2012
Dalam hal merespons daya saing dan mengantisipasi ketidakpastian global,
indikator

kesejahteraan

ekonomi

tidak

sekadar

didesain

dari

kuantitas

pertumbuhan ekonomi, melainkan dari segi kualitas pertumbuhan ekonomi suatu


negara. Kualitas pertumbuhan ekonomi yang dimaksud yakni pertumbuhan
ekonomi yang mampu mengurangi ketimpangan, menurunkan kemiskinan dan
membuka kesempatan kerja baru. Gagasan tersebut memunculkan lanskap baru
dalam studi ekonomi pembangunan dengan apa yang disebut sebagai
pertumbuhan ekonomi inklusif (inclusive growth).
Sumber: Badan Kebijakan Fiskal, 2015 (diolah).
Untuk dipahami, Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu RI)
melalui visi yang diusung, mendeklarasikan diri sebagai institusi penggerak
utama pertumbuhan ekonomi yang inklusif di abad ke-21. Visi tersebut sejalan

dengan realitas bahwa meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia selama


periode 2004-2013 relatif tinggi dan stabil tetapi berimplikasi pada kesenjangan
pendapatan orang kaya dan miskin yang semakin lebar. Pada tahun 2004
ketimpangan yang hanya sebesar 32% terus mengalami peningkatan hingga
mencapai 41,3% pada tahun 2013 atau hampir mengalami peningkatan 1% per
tahunnya

(Amir,

2015).

Potensi

untuk

mencapai

pertumbuhan

inklusif

dimungkinkan dengan peran Kemenkeu RI sebagai satu-satunya otoritas fiskal


(penyelenggara urusan pemerintahan di bidang keuangan negara di Indonesia.
Kebijakan fiskal yang antisipatif dan responsif diyakini dapat merealisasikan
kesejahteraan masyarakat Indonesia dengan terlebih dahului melakukan analisis
pada level ekonomi makro. Analisis ekonomi makro diperlukan sebab kebijakan
fiskal harus berjalan selaras dengan kebijakan moneter. Dengan adanya analisis
tersebut, kondisi perekonomian dapat bergerak secara stabil, untuk kemudian
dicapai pemerataan pembangunan, pengentasan kesmiskinan dan penurunan
tingkat kemiskinan secara agregat. Tepat pada titik ini, Badan Kebijakan Fiskal
(BKF) menjadi suatu badan setara kedirijenan yang fokus terhadap hal-hal yang
disebutkan di atas.
Secara spesifik, BKF yang didalamnya terdapat Pusat Kebijakan Ekonomi
Makro (PKEM), Bidang Analisis Fiskal memiliki beberapa tugas pokok. Adapun
tugas-tugas

yang

dimaksud

diantaranya:

(i)

melaksanakan

analisis,

pemanatauan, evaluasi, perumusan rekomendasi kebijakan dan proyeksi asumsi


dasar ekonomi makro, sektor pemerintah, kesejahteraan, dam ketenagakerjaan;
(ii) melakukan sinkronisasi bahan ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan
fiskal dan bahan penyusunan nota keuangan dan RAPBN, laporan semester I
dan prognosa semester II pelaksanaan APBN, RAPBN Perubahan, bahan pidato
dan lampiran pidato presiden, jawaban pemerintah atas pertanyaan DPR dan
DPD, jawaban pertanyaan dan bahan konsultasi dengan lembaga internasional
dan regional di bidang ekonomi makro.

Pada akhirnya, kegiatan KKN-P yang diajukan pada institiusi bersangkutan


merujuk kepada Visi Jurusan Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya yakni menjadi
lembaga pendidikan yang bertaraf internasional di bidang ekonomi terapan yang
bersesuaian dengan dinamika masyarakat. Kesesuaian dengan dinamika
masyarakat salah satunya dapat dimaknai bahwa mahasiswa mampu memahami
mekanisme dan perumusan kebijakan fiskal terkini di lapangan serta teknis kerja
di sub bidang berkaitan sehingga dapat dijadikan bahan diskusi dan kajian
setelah kembali ke universitas. Sigkatnya, kegiatan KKN-P diselenggarakan
sebagai upaya mendekatkan mahasiswa dengan dunia kerja nyata.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang sebelumnya, rumusan masalah yang
hendak diajukan yakni: Bagaimana peran Badan Kebijakan Fiskal (BKF) dalam
mendorong pertumbuhan inklusif?
1.3 Tujuan KKN-P
Sebagaimana dipaparkan secara eksplisit pada sub-bab sebelumnya,
pelaksanaan KKN-P memiliki tujuan baik secara umum maupun khusus. Adapun
tujuan penulisan laporan KKN-P ini diantaranya:
a. Tujuan umum
1. Untuk memberikan gambaran berkenaan dengan dunia kerja serta
proses perumusan kebijakan di instansi terkait.
2. Untuk memberikan uraian kegiatan selama

proses

KKN-P

berlangsung di instansi terkait


b. Tujuan khusus
Untuk memahami peran Badan Kebijakan Fiskal (BKF) dalam
mendorong pertumbuhan inklusif
1.4 Manfaat KKN-P
Dalam hal pelaksanaan, kegiatan KKN-P ini memiliki manfaat yang
bersinggungan langsung dengan berbagai stakeholder. Manfaat dari KKN-P
dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Bagi mahasiswa
1. Sebagai bentuk pengaplikasian pengetahuan teoritis di perkuliahan
dengan kondisi sebenarnya di lapangan

2. Sebagai sarana untuk menguji kemampuan pribadi dalam berkreasi


pada ilmu yang dimiliki serta tata cara hubungan dengan masyarakat
di lingkungan kerja
3. Sebagai sarana untuk mempersiapkan langkah-langkah yang
diperlukan untuk menyesuaikan diri dalam dunia kerja di masa yang
akan datang.
4. Sebagai sarana

untuk

memperoleh

pengalaman

kerja

guna

meningkatkan kemampuan diri.


5. Untuk menciptakan pola pikir yang lebih maju dalam menghadapi
berbagai permasalahan.
b. Bagi instansi yang bersangkutan
1. Membantu menyelesaikan tugas dan pekerjaan sehari-hari di instansi
tempat pelaksanaan KKN-P.
2. Sebagai salah satu sarana penghubung antara pihak instansi dengan
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang.

c. Bagi fakultas
1. Sebagai bahan evaluasi atas laporan hasil KKNP yang dilakukan
oleh mahasiswa untuk penyesuaian kurikulum di masa yang akan
datang agar menjadi lebih baik.
2. Sebagai sarana pengenalan instansi pendidikan Jurusan Ilmu
Ekonomi kepada badan usaha yang membutuhkan lulusan atau
tenaga kerja yang dihasilkan oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya Malang.
3. Sebagai media untuk menjalin hubungan kerja dengan instansi yang
dijadikan sebagai tempat KKNP.
4. Sebagai tolak ukur kemampuan mahasiswa dalam mengaplikasikan
ilmu pengetahuan di lapangan.
5. Mencetak tenaga kerja yang terampil dan jujur dalam menghadapi
tugas dan pekerjaan di lapangan.
1.4 Sistematika Penulisan Laporan KKN-P

Laporan KKN-P ini terdiri atas empat bagian utama meliputi pendahuluan,
rencana kegiatan, pelaksanaan penugasan dan penutup, dengan garis besar
masing-masing bagian sebagai berikut:
BAB I: Pendahuluan
Bab ini berupaya untuk menguraikan motivasi penulis mengangkat
topik laporan KKN-P, menjelaskan tujuan dan manfaat KKN-P, serta
sistematika laporan.
BAB II: Rencana Kegiatan
Bab ini menjelaskan mengenai tempat,waktu dan jadwal pelaksanaan
serta rencana kegiatan yang akan dilaksanakan selama berlangsungnya
proses KKN-P.
BAB III: Pelaksanaan Program KKN-P
Dalam Bab III hal yang hendak dijelaskan mencakup gambaran umum
objek KKN-P penulis. Objek KKN-P ini lalu diuraikan dalam dua bagian:
pertama, Kementerian Keuangan RI sebagai kementerian terkait yang
menaungi institusi terkait. Kedua, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) sebagai unit
eselon I di Kementerian Keuangan, tugas pokok dan fungsi serta pusatpusat kebijakan yang mendukung berjalannya Badan Kebijakan Fiskal
(BKF). Juga dipaparkan seluruh pejabat eselon dan unit terkait. Selanjutnya,
akan diuraikan mengenai proses berlangsungnya kegiatan KKN-P, outcome
yang di dapatkan, serta evaluasi untuk kegiatan KKN-P yang lebih baik ke
depannya
BAB IV: Penutup
Sebagai penutup, BAB IV merupakan bagian terakhir dari dari
keseluruhan laporan KKN-P ini. BAB IV berisi ringkasan dan kesimpulan
atas analisis pembahasan masalah. Selanjutnya diberikan saran dan
masukan terkait masalah yang ditemukan pada objek KKN-P sebagai
tindaklanjut dan temuan atau pembahasan pada BAB III.

BAB II
RENCANA KEGIATAN

Pada bab ini, akan disajikan ringkasan rencana kegiatan selama 25 hari
kerja (termasuk di dalamnya tempat dan waktu pelaksanaan). Rencana kegiatan
ini penting guna membimbing penulis dalam mencapai tujuan dan manfaat dari
KKN-P. Di samping itu, rencana kegiatan dimaksudkan dapat meminimalisasi
ketidakpastian yang terjadi selama kegiatan di lapangan berlangsung.
2.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan KKN-P
Sebagaiman dengan rencana kegiatan yang dirancang, Kuliah Kerja Nyata
Profesi (KKN-P) dilaksanakan berdasarkan kebijakan institusi terkait yakni:

Tempat Pelaksanaan
Tempat
: Kompleks Kementerian Keuangan Republik Indonesia,
Badan

Kebijakan

Notohamiprodjo

Fiskal

Lt.8

(BKF),

(Pusat

Gedung

Kebijakan

R.M

Ekonomi

Makro).
Alamat
: Jalan Dr. Wahidin Raya Nomor 1, Jakarta 10710.
Waktu Pelaksanaan
Dalam hal waktu pelaksanaan merujuk kepada peraturan yang
dikeluarkan oleh pihak jurusan yakni minimal 25 hari kerja. Adapun

pelaksanaan KKN-P ini dimulai pada 17 Oktober 2016 sampai dengan

18 November 2016.
Jadwal Pelaksanaan
Kegiatan KKN-P dilaksanakan pada hari efektif kerja merujuk Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 211/PM.01/2014 tentang Hari dan Jam Kerja
di Lingkungan Kementerian Keuangan yakni Senin sampai dengan
Jumat, dimulai dari pukul 07.30 dan berakhir pada 17.00 WIB.

2.2 Rencana Kegiatan KKN-P


Adapun rencana kegiatan yang akan dilaksanakan disajikan secara ringkas
pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Matriks Rencana KKN-P dan Rentang Waktu
Rentang Waktu
Minggu I
(17-21 Oktober 2016)

Uraian Rencana Kegiatan


1. Introduksi tentang institusi Kementerian
Keuangan dan Badan Kebijakan Fiskal
(BKF) secara umum
2. Perkenalan dengan seluruh jajaran staf
Pusat Kajian Ekonomi Makro (PKEM)
3. Mengetahui deksripsi kerja selama

Minggu II

proses KKN-P.
Mengetahui lebih jauh tugas pokok dan

(24-28 Oktober 2016)

fungsi yang berlaku di dalam unit-unit


eselon di bawah Pusat Kajian Ekonomi
Makro (PKEM) terutama Bidang Analisis
Fiskal

Minggu II
(31 Oktober-4 November 2016)

dan

Sub-Bidang

Analisis

Kesejahteraan dan Ketenagakerjaan


1. Memahami proses analisis kebijakan
fiskal dan dinamika perekonomian yang
berkembang
2. Berpartisipasi dalam pelaksanaan tugas

Rentang Waktu
Minggu IV
(7-11 November 2016)

dan fungsi unit terkait.


Uraian Rencana Kegiatan
1. Berpartisipasi dalam pelaksanaan
tugas dan fungsi unit terkait
2. Mencari referensi sebagai bahan kajian

Minggu V

KKN-P dan skripsi


Mendiskusikan topik dan materi yang

(14-18 November 2016)

relevan untuk dijadikan sebagai bahan

menulis laporan KKN-P dan skripsi


Catatan: Rencana kegiatan mempertimbangkan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 211/PM.01/2014 tentang Hari dan Jam Kerja di Lingkungan
Kementerian Keuangan
Sumber: Lembar Sistematika Penulisan Laporan KKN-P, 2016

BAB III

PELAKSANAAN PROGRAM KKN-P

Bab ini akan mengulas gambaran umum instansi yang mewadahi penulis
selama berlangsungnya proses KKN-P yakni Badan Kebijakan Fiskal (BKF)
Kementerian Keuangan RI, Pusat Kebijakan Ekonomi Makro (PKEM), Bidang
Analisis Fiskal. Guna memberikan penjelasan yang utuh, penulis akan terlebih
dahulu menyajikan profil Kementerian Keuangan lalu dilanjutkan dengan profil
Badan Kebijakan Fiskal (BKF). Selain itu, bab ini hendak menjelaskan proses
KKN-P penulis termasuk didalamnya kegiatan yang pernah diikuti. Terakhir,
beberapa evaluasi yang kiranya dapat memberikan feedback kepada kedua
belah pihak
3.1

Gambaran Umum Objek KKN-P

3.1.1

Kementerian Keuangan Sebagai Penggerak Utama Pertumbuhan


Inklusif

Merujuk kepada Peraturan Presiden Republik Indonesia (PERPRES) No. 28


Tahun 2005, Kementerian Keuangan mempunyai tugas menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang keuangan negara untuk membantu Presiden
dalam menyelenggarakan pemerintahan negara. Sedangkan, keuangan negara
adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta
segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan
milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Dalam hal lain, Kementerian Keuangan juga sering disebut sebagai
bendahara

negara

dengan

ruang

lingkupnya

sebagai

otoritas

fiskal

(penghimpunan sumber pendapatan yang sah, rekomendasi alokasi belanja


negara, dan penentuan keseimbangan neraca keuangan). Hal tersebut secara
eksplisit sejalan dengan motto Nagara Dana Rakca, yang berarti Penjaga
Keuangan Negara.

10

Untuk diketahui, dalam perjalanannya, Kementerian Keuangan telah


menapaki dua peristiwa penting. Pertama, pasca kemerdekaan Indonesia, untuk
pertama kalinya Indonesia memiliki emisi pertama uang kertas yang disebut
Oeang Republik Indonesia (ORI) pada 30 Oktober 1946. Peristiwa ini menandai
perayaan Hari Keuangan Republik Indonesia. Kedua, berubahnya nomenklatur
secara resmi dari Departemen Keuangan menjadi Kementerian Keuangan sesuai
amanat Undang-Undang Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara
juncto Peraturan Presiden Nomor 47 tahun 2009 tentang pembentukan dan
Organisasi Kementerian Negara, serta merujuk pada surat edaran Sekretaris
Jenderal Departemen Keuangan Nomor SE-11 MK.1/2010.
Selanjutnya yang tidak kalah penting Cetak Biru Program Transformasi
Kelembagaan Kementerian Keuangan Tahun 2014-2025 yang memuat visi dan
misi yang diusung Kementerian Keuangan. Adapun visinya yakni Menjadi
Penggerak Utama Pertumbuhan Ekonomi Indonesia yang Inklusif di Abad
ke-21. Visi tersebut relevan mengingat maraknya eksklusifitas pembangunan
yang ditandai oleh pertumbuhan ekonomi yang tidak mengindahkan pemerataan
dan pembangunan sosial ekonomi. Kemudian, visi dijabarkan ke dalam misi
yakni:
1. Mencapai tingkat kepatuhan pajak, bea dan cukai yang tinggi melalui
2.
3.
4.
5.

pelayanan prima dan penegakan hukum yang ketat;


Menerapkan kebijakan fiskal yang prudent;
Mengelola neraca keuangan pusat dengan risiko minimum;
Memastikan dana pendapatan didistribusikan secara efisien dan efektif;
Menarik dan mempertahankan talent terbaik di kelasnya dengan

menawarkan proposisi nilai pegawai yang kompetitif.


Secara normatif, Kementerian Keuangan digerakkan oleh lima Nilai-Nilai
Kementerian Keuangan meliputi:
a. Integritas: berpikir, berkata, berperilaku dan bertindak dengan baik dan
benar serta memegang teguh kode etik dan prinsip-prinsip moral;

11

b. Profesionalisme: bekerja tuntas dan akurat atas dasar kompetensi


terbaik dengan penuh tanggung jawab dan komitmen yang tinggi;
c. Sinergi: membangun dan memastikan hubungan kerjasama internal
yang produktif serta kemitraan yang harmonis dengan para pemangku
kepentingan,

untuk

menghasilkan

karya

yang

bermanfaat

dan

berkualitas;
d. Pelayanan: memberikan layanan yang memenuhi kepuasan pemangku
kepentingan yang dilakukan dengan sepenuh hati, transparan, cepat,
akurat dan aman;
e. Kesempurnaan: Senantiasa melakukan upaya perbaikan di segala
bidang untuk menjadi dan memberikan yang terbaik.
Adapun struktur organisasi dan profil pejabat di lingkungan Kementerian
Keuangan diantaranya:
Menteri Keuangan
: Sri Mulyani Indrawati;
Wakil Menteri Keuangan
: Mardiasmo;
Inspektur Jenderal
: Kiagus Ahmad Badaruddin;
Sekretariat Jenderal
: Hadiyanto;
Staf Ahli Bidang Organisasi, Birokrasi dan
Teknologi Informasi
: Susiwijono;
Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara
: Purwiyanto;
Staf Ahli Bidang Makro Ekonomi dan
Keuangan Internasional
: Andin Hadiyanto;
Staf Ahli Kebijakan Penerimaan Negara : Astera Primanto Bhakti;
Staf Ahli Bidang Kebijakan dan
Regulasi Jasa Keuangan dan Pasar Modal: Isa Rachmatarwata;
Staf Ahli Bidang Pengawasan Pajak
: Puspita Wulandari;
Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak
: Suryo Utomo;
Direktur Jenderal Anggaran
: Askolani;
Direktur Jenderal Pajak
: Dwi Jugiasteadi;
Direktur Jenderal Bea dan Cukai
: Heru Pambudi;
Direktur Jenderal Perbendaharaan
: Marwanto Harjowiryono;
Direktur Jenderal Kekayaan Negara
: Vincentius Sonny Loho;
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan : Boediarso Teguh Widodo;
Direktur Jenderal Pengelolaan

Pembiayaan dan Risiko


Kepala Badan Pendidikan dan
Pelatihan Keuangan
Kepala Badan Kebijakan Fiskal

: Robert Pakpahan;
: Sumiyati;
: Suahasil Nazara.

Untuk mengetahui posisi Badan Kebijakan Fiskal (unit eselon I yang


mewadahi penulis), dapat dilihat pada Gambar 3.1. Berkenaan dengan

12

penjelasan rinci mengenai Badan Kebijakan Fiskal (BKF), akan disajikan pada
sub-bab berikutnya.

13

Gambar 3.1 Struktur Organisasi Kementerian Keuangan RI

Sumber: www.kemenkeu.go.id

14

3.1.2

Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Sebagai Unit Terpercaya dalam


Perumusan Kebijakan Fiskal dan Moneter

Badan Kebijakan Fiskal (BKF) merupakan unit setingkat eselon I di bawah


Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang memiliki peran strategis
sebagai perumus kebijakan fiskal dan sektor keuangan, dengan lingkup tugas
meliputi ekonomi makro, pendapatan negara, belanja negara, pembiayaan,
sektor keuangan dan kerja sama internasional.
Cikal bakal berdirinya BKF tidak bisa lepas dari penyusunan Nota Keuangan
dan RAPBN di awal orde baru, yaitu Repelita I tahun anggaran 1969/1970 oleh
Staf Pribadi Menteri Keuangan, yang selanjutnya sejak tahun 1975 dilakukan
oleh Biro Perencanaan dan Penelitian, Sekretariat Jenderal Departemen
Keuangan. Untuk mendukung perkembangan pembangunan yang semakin
pesat, pada tahun 1985 dibentuk suatu unit organisasi setingkat eselon II yang
khusus menangani penyusunan Nota Keuangan dan RAPBN, yaitu Pusat
Penyusunan dan Analisa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (PPAAPBN), yang bertanggungjawab langsung kepada Menteri Keuangan.
Sesuai dengan perkembangan zaman, maka dirasakan Penyusunan Nota
Keuangan dan RAPBN sangat erat kaitannya tidak saja dengan perkembangan
keuangan negara, tetapi juga dengan perkreditan dan neraca pembayaran.
Karena itu pada tahun 1987 dibentuklah unit setingkat eselon I, yaitu Badan
Analisa Keuangan Negara, Perkreditan dan Neraca Pembayaran (BAKNP&NP).
Unit ini melaksanakan tugas dan fungsi yang merupakan penggabungan tugas
dan fungsi PPA-APBN dengan sebagian tugas dan fungsi Direktorat Jenderal
Moneter Luar Negeri dan Direktorat Pembinaan Kekayaan Negara, Direktorat
Jenderal Moneter Dalam Negeri.

15

Tahun 1993, BAKNP&NP lebih dikembangkan dengan menambahkan fungsi


penelitian dan pengembangan, dan namanya berubah menjadi Badan Analisa
Keuangan dan Moneter (BAKM), yang terdiri dari lima unit eselon II, yaitu Biro
Analisa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Biro Analisa Moneter, Biro
Analisa Keuangan Daerah, dan Biro Pengkajian Ekonomi dan Keuangan, serta
Sekretariat Badan.
Seiring dengan berjalannya waktu, BAKM mengalami penajaman dan
pergeseran fungsi. Pada tahun 2001 berubah nama menjadi Badan Analisa
Fiskal (BAF). Penataan organisasi ini memisahkan Biro Analisa Keuangan
Daerah dan mengembangkan Pusat Analisa APBN, menjadi dua Pusat, yaitu
Pusat Analisa Pendapatan Negara dan Pembiayaan Anggaran dan Pusat Analisa
Belanja Negara.
Untuk menyesuaikan dengan kondisi yang cepat berubah, serta dalam
rangka meningkatkan kinerja dan efisiensi, maka pada tahun 2004 dilakukan
penataan organisasi di lingkungan Departemen Keuangan. Badan Pengkajian
Ekonomi, Keuangan, dan Kerjasama Internasional (BAPEKKI) dibentuk dengan
menggabungkan beberapa unit eselon II yang berasal dari Badan Analisa Fiskal
(BAF) dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dan Pendapatan Daerah
(Dirjen PKPD) serta Biro Kerjasama Luar Negeri dari Sekretariat Jenderal
Departemen Keuangan. BAPEKKI terdiri dari enam unit eselon 2, yaitu Pusat
Pengkajian Ekonomi dan Keuangan (Puspeku), Pusat Pengkajian Perkajian
Perpajakan, Kepabeanan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (Puspakep),
Pusat Pengkajian Ekonomi dan Keuangan Daerah (Puspekda), Pusat Evaluasi
Pajak dan Retribusi Daerah (Puseparda), Pusat Kerjasama Internasional
(Puskerin), serta Sekretariat Badan.

16

Pada tahun 2006 kembali dilakukan penyempurnaan. BAPEKKI berubah


menjadi Badan Kebijakan Fiskal (BKF) dengan tugas utama menjadi unit
perumus rekomendasi kebijakan dengan berbasis analisis dan kajian atau lebih
dikenal dengan research based policy. BKF memiliki enam unit eselon 2, yaitu
Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Pusat Kebijakan Belanja Negara, Pusat
Kebijakan Ekonomi dan Keuangan, Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, Pusat
Kerjasama Internasional serta Sekretariat Badan. Tahun 2008, BKF melakukan
sedikit penyesuaian tugas dan fungsi sehingga struktur organisasi di lingkungan
BKF menjadi Pusat Kebijakan Pendapatan Negara, Pusat Kebijakan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Pusat
Pengelolaan Risiko Fiskal, Pusat Kebijakan Kerja Sama Internasional, dan
Sekretariat Badan Kebijakan Fiskal.
Selanjutnya di tahun 2009 dilakukan kembali penyesuaian tugas dan fungsi
BKF. Perubahan utama adalah memecah Pusat Kerja Sama Internasional
menjadi dua unit eselon II dengan pertimbangan beban kerja yang semakin tinggi
dan penambahan fungsi terkait kebijakan pembiayaan perubahan iklim. Pusat
Kerja Sama Internasional dipecah menjadi Pusat Kebijakan Pembiayaan
Perubahan Iklim dan Multilateral dan Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral.
Sejalan dengan perkembangan perekonomian yang sangat dinamis, BKF
kembali melakukan evaluasi organisasi dengan pertimbangan peningkatan
beban kerja dan adanya tambahan fungsi-fungsi yang harus dilaksanakan.
Berdirinya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan dihapuskannya Bapepam LK
menjadi landasan utama BKF harus melakukan perubahan. Sejak 2015 fungsi
perumusan kebijakan sektor keuangan yang sebelumnya dilakukan oleh

17

Bapepam LK diamanatkan untuk dilaksanakan oleh BKF, di bawah Pusat


Kebijakan Sektor Keuangan.
Dengan demikian, secara utuh Badan Kebijakan Fiskal (BKF) pada saat ini
terdiri atas tujuh unit eselon 2, yaitu :
1. Sekretariat Badan (Setban);
2. Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN);
3. Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (PKAPBN);
4. Pusat Kebijakan Ekonomi Makro (PKEM);
5. Pusat Kebijakan Sektor Keuangan (PKSK);
6. Pusat

Kebijakan

Pembiayaan

Perubahan

Iklim

dan

Multilateral

(PKPPIM);
7. Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral (PKRB);
Visi Badan Kebijakan Fiskal adalah Menjadi Unit Terpercaya dalam
Perumusan Kebijakan Fiskal dan Sektor Keuangan yang Antisipatif dan
Responsif untuk Mewujudkan Masyarakat Indonesia Sejahtera. Visi
tersebut lalu dijelaskan dalam beberapa butir misi yakni:
1. Merumuskan analisis ekonomi makro serta harmonisasi kebijakan fiskal

dan

moneter

dalam

rangka

pemerataan pembangunan;

mendukung

stabilitas

ekonomi

dan

18

2. Mengembangkan kebijakan penerimaan negara yang kredibel dalam

rangka penciptaan iklim ekonomi yang kondusif dan optimalisasi


penerimaan negara;
3. Mengembangkan

kebijakan

anggaran

negara

yang

sehat

dan

berkelanjutan dengan memperhatikan risiko fiskal yang terukur;


4. Mengembangkan kebijakan pembiayaan yang mendukung percepatan

pertumbuhan ekonomi dan fiskal yang berkelanjutan;


5. Mengembangkan kebijakan kerja sama keuangan internasional yang

bermanfaat bagi perekonomian nasional;


6. Mengembangkan

kebijakan

sektor

keuangan

yang

mendukung

pendalaman pasar, keuangan inklusif, serta stabilitas sistem keuangan;


7. Mewujudkan SDM yang memiliki integritas dan kompetensi tinggi dengan

didukung teknologi informasi dan komunikasi yang andal, serta kinerja


perencanaan dan penganggaran yang suportif.
Sebagai tambahan, fungsi yang dijalankan oleh Badan Kebijakan Fiskal
dintaranya:

Penyusunan kebijakan teknis, rencana dan program analisis dan


perumusan rekomendasi kebijakan fiskal dan sektor keuangan serta kerja
sama ekonomi dan keuangan internasional;

Pelaksanaan analisis dan perumusan rekomendasi kebijakan fiskal dan


sektor keuangan;

19

Pelaksanaan kerja sama ekonomi dan keuangan internasional;

Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi kebijakan fiskal dan sektor


keuangan serta kerja sama ekonomi dan keuangan internasional;

Pelaksanaan administrasi Badan Kebijakan Fiskal;

Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.

20

Gambar 3.2 Struktur Organisasi Badan Kebijakan Fiskal

Sumber: fiskal.kemenkeu.go.id

21

Gambar 3.3 Struktur Pusat Kebijakan Ekonomi Makro

Keterangan:

Bidang yang mewadahi KKN-P penulis

22

Sumber: fiskal.kemenkeu.go.id

23

3.2 Proses Berlangsungnya KKN-P


Guna memberikan penjelasan yang utuh mengenai proses berlangsungnya
KKN-P, maka akan diberikan uraian kegiatan sebagaimana tersaji dalam Tabel
3.1.
Tabel 3.1 Uraian Kegiatan yang Dilakukan
No
.
1.

Hari
Senin

Tanggal
17 Oktober 2016

Uraian Pelaksanaan Kegiatan


1. Pengenalan Badan Kebijakan Fiskal dan
Pusat Kebijakan Fiskal secara umum
(termasuk pengenalan jajaran staf), serta
penjelasan tugas pokok dan fungsi pada
unit eselon terkait.
2. Pengenalan Kerangka Kebijakan Ekonomi
Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal.
3. Pengenalan Penggunaan data Bloomberg.
4. Berdiskusi dengan pihak peneliti Korea
Selatan dalam rangka Knowledge Sharing

2.

Selas

18 Oktober 2016

a
3.

Rabu

Program.
Pelatihan Oxford Economic Model di Ruang
Diskusi Besar Gedung R.M Notohamiprodjo

19 Oktober 2016

Lt.3 (Lampiran I).


Kunjungan ke DPR
pembahasan

4.

Kamis

20 Oktober 2016

draft

Hari

Tanggal

dalam

RUU

APBN

rangka
2017

(Lampiran II).
1. Merekapitulasi data kesejahteraan dan
ketenagakerjaan

No
.

RI

untuk

keperluan

kajian.
Uraian Pelaksanaan Kegiatan
2. Menyusun laporan KKN-P sehingga dapat

5.

Jumat

21 Oktober 2016

meringkas waktu pembuatan laporan.


1. Merekapitulasi data kesejahteraan dan

24

ketenagakerjaan untuk keperluan kajian.


2. Menyusun laporan KKN-P sehingga dapat

6.

Senin

24 Oktober 2016

meringkas waktu pembuatan laporan.


3. Mengumpulkan data Bloomberg.
1. Merekapitulasi data kesejahteraan dan
ketenagakerjaan untuk keperluan kajian.
2. Mempelajari buku berjudul Era Baru
Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep, dan
Implementasi (2009) guna memberikan
pemahaman terkait dinamika kebijakan

7.
8.

Selas
a
Rabu

25 Oktober 2016
26 Oktober 2016

fiskal dari Orde Baru hingga Reformasi.


1. Perkenalan penggunaan data CEIC.
2. Menyusun laporan KKN-P.
1. Mengikuti
Focus
Group
Discussion
bersama dengan pihak Australia Indonesia
Partnership for Economic Governance di

9.

Kamis

27 Oktober 2016

Ruang Rapat PKEM Lt.8 (Lampiran III).


2. Menyusun laporan KKN-P.
Mengikuti Focus Group Discussion bersama
dengan

pihak

Kementerian

Perindustrian,

Kementerian Pertanian, GAPKI, dan INDEF di


Ruang Rapat PKEM Lt.8 (Lampiran IV).
No
.
10.

Hari
Jumat

Tanggal
28 Oktober 2016

Uraian Pelaksanaan Kegiatan


1. Berkomunikasi dengan pihak Pemerintah
Provinsi Bali dan BPPK Kemenkeu RI
dalam rangka persiapan 2nd International
Forum on Economic Development and
Public Policy.
2. Mempelajari buku berjudul Bunga Rampai
Ekonomi Keuangan (2014) yang ditulis

11.

Senin

31 Oktober 2016

oleh peneliti-peneliti di lingkungan BKF.


1. Menyaksikan livestreaming, Bedah Buku:

25

Menumbuhkan

Ekonomi

Memenangkan

Masyarakat

ASEAN.
2. Menggunakan

Aplikasi

Kerakyatan,
Ekonomi

Analisis

Situasi

Kemiskinan Berbasis Excel yang dibuat


oleh TNP2K sebagai salah satu rujukan
pemutakhiran data kemiskinan.
3. Mendiskusikan basis data yang kredibel
dalam rangka penyempurnaan penyaluran
Program

Indonesia

Indonesia

Sehat,

Pintar,

Program

Program

Keluarga

Harapan (termasuk Evaluasi PBDT yang


secara teknis dilaksanakan oleh TNP2K
12.

No
.

Selas
a

Hari

1 November 2016

dan Kementerian Sosial RI).


1. Menghadiri diskusi panel yang diselenggarakan oleh Bappenas bersama dengan

Tanggal

Uraian Pelaksanaan Kegiatan


Pengurus Pusat ISEI (Lampiran V).
2. Mengolah

data

ketenagakerjaan

dari

SAKERNAS, BPS RI.


3. Mendiskusikan terkait kerangka pikir yang
akan
13.

Rabu

2 November 2016

diajukan

sebagai

laporan

akhir

(skripsi).
1. Mengikuti acara pisah sambut pejabat
struktural di lingkungan PKEM.
2. Refresh materi pelatihan STATA: National

14.

Kamis

3 November 2016

Transfer Account.
1. Menyaksikan livestreaming, Bedah Buku:
Ekonomi

Indonesia

dalam

Lintasan

26

15.

Jumat

4 November 2016

Sejarah.
2. Mengerjakan laporan KKN-P.
1. Berdiskusi bersama supervisor mengenai
tema yang diangkat dalam skripsi dan
perkembangan fiskal pada Era Reformasi.
2. Mengikuti
arahan
terkait
disposisi,
dikarenakan supervisor akan melakukan
kunjungan

16.

Senin

7 November 2016

ke

Korea

Selatan

beberapa hari ke depan.


1. Mempelajari buku berjudul
Fiskal:

Pemikiran,

dalam

Kebijakan

Konsep,

dan

Implementasi (2004) guna memberikan

No
.
17.

Hari
Selas

Tanggal
8 November 2016

gambaran mengenai dinamika fiskal.


2. Mengerjakan laporan KKN-P
Uraian Pelaksanaan Kegiatan
Diskusi incidental bersama dengan seluruh
jajaran Bidang Analisis Fiskal dan Kepala
PKEM terkait pemetaan, tantangan, dan
strategi

PIP,

PKH,

program-program
Diskusi

ini

JKN,

bantuan

dimaksudkan

subsidi,
sosial
sebagai

serta

lainnya.
bahan

presentasi Kepala Badan Kebijakan Fiskal


18.

Rabu

9 November 2016

yang akan disampaikan pada Rapat Terbatas.


1. Mengikuti
Focus
Group
Discussion
bersama dengan pihak Dirjen Tanaman
Pangan (Kementerian Pertanaian); Pusat
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
(Kementerian

Pertanian);

dan

Direktur

Pemantauan, Evaluasi, dan Pembangunan


Sektoral

(Bappenas)

di

Ruang

Rapat

27

PKEM Lt.8 (Lampiran VI).


2. Mempelajari buku berjudul
Fiskal:

Pemikiran,

Kebijakan

Konsep,

dan

Implementasi (2004) guna memberikan


19.

Kamis

10 November 2016

gambaran mengenai dinamika fiskal.


1. Merekapitulasi
dan
mengolah
ketenagakerjaan
penelitian

dan

untuk

data

kepentingan

presentasi

Bapak

Dr.

Cornelius Tjahjapriadi.
2. Mengikuti Focus Group Discussion (FGD)
No
.

Hari

Tanggal

Uraian Pelaksanaan Kegiatan


bersama

dengan

pihak

Badan

Pusat

Statistik RI di Ruang Rapat PKEM Lt.8


(Lampiran VII).
3. Menyaksikan Konferensi Pers APBN 2017
melalui channel Kementerian Keuangan
20.

Jumat

11 November 2016

RI.
1. Merampungkan

data

ketenagakerjaan

Indonesia untuk selanjutnya dikirimkan ke


Bapak Dr. Cornelius Tjahjapriadi dalam
rangka Knowledge Sharing Program (KSP)
bersama dengan peneliti-peneliti Korea
Selatan.
2. Mendaftarkan

diri

pada

sertifikasi

IndonesiaX guna mengikuti kursus yang


dibawakan oleh Prof. Iwan Jaya Azis,
Economic

Integration:

ASEAN.
3. Mendiskusikan

The

mengenai

Case

of

permodelan

ekonometrika bersama staf sub-bidang

28

analisis kesejahteraan dan kemiskinan,


21.

Senin

14 November 2016

Ahmad Fikri Aulia.


1. Refresh materi pelatihan STATA: National
Transfer Account.
2. Membuat tulisan popular untuk dimuat di
media cetak, Palopo Pos (media cetak di
bawah Jawa Pos).

No
.
22.

Hari

Tanggal

Selas

15 November 2016

23.

Rabu

Uraian Pelaksanaan Kegiatan


1. Penyelesaian tulisan popular untuk dimuat
di media cetak, Palopo Pos (media cetak di

16 November 2016

bawah Jawa Pos).


2. Mengerjakan laporan KKN-P
Diskusi kebijakan bersama dengan Pusat
Kebijakan

Pendapatan

Negara

(PKPN)

mengenai

Simulasi

Penggunaan

Metode

Bertahap

dan

perbandingannya

dengan

metode yang ada saat ini (Metode Tunggal)


24.

Kamis

17 November 2016

dalam pengenaan PPN pada rokok.


Membaca tulisan Mohamad Ikhsan (2009)
berjudul

Menciptakan

Percepatan

dan

Pertumbuhan

Mendorong

Ekonomi

yang

Inklusif dalam Jurnal Keuangan Negara yang


25.

Jumat

diterbitkan Departemen Keuangan.


18 November 2016 1. Membuat
powerpoint
tentang

teori

kemiskinan untuk keperluan presentasi


Bapak Prof. Suahasil Nazara, S.E., M.Sc.,
PhD.
2. Merampungkan proses administrasi guna
mendapatkan

surat

keterangan

telah

melaksanakan KKN-P dan penyampaian

29

perpisahan kepada
lingkungan

Pusat

seluruh
Kebijakan

jajaran di
Ekonomi

Makro
Sumber: Buku Kegiatan Harian Pelaksanaan KKN-P, 2016.
3.3 Evaluasi Hasil Kegiatan KKN-P
Untuk memberikan output agar tercapainya tujuan dan manfaat program
KKN-P ke depan maka perlu kiranya dilakukan evaluasi. Pada bagian ini evaluasi
hasil kegiatan KKN-P menjelaskan permasalahan secara teknis pelaksanaan
KKN-P dan persoalan terkait tema yang diangkat. Berikutnya, akan pula
dijelaskan pembahasan yang relevan dengan tema yang diangkat dan beberapa
solusi yang ditawarkan oleh penulis, kemudian diakhiri dengan berbagai
pengalaman yang dapat dipelajari penulis selama proses berjalannya program
KKN-P.
3.3.1 Permasalahan
Kendala teknis yang dihadapi oleh penulis yakni pada hari pertama
pelaksanaan terdapat beberapa penataan kelembagaan (mutasi pejabat
struktural di lingkungan BKF). Penataan tersebut juga menyentuh supervisor
penulis, Bapak Ali Moechtar, S.E., M.E., yang beralih dari staf Sub-Bidang
Analisis Kesejahteraan dan Ketenagakerjaan menjadi Kepala Sub-Bidang
Analisis Kesejahteraan dan Ketenagakerjaan menggantikan Ibu Arti Dyah
Woroutami, S.E., M.E., yang menjabat sebagai Kepala Bidang Kebijakan
Penerimaan Perpajakan.
Di samping permasalahan di atas, dua minggu sebelum berakhirnya
pelaksanaan KKN-P supervisor penulis mendisposisikan wewenangnya ke
Bapak Fathul Kamil Tumbriyantoro, S.E., M.A. selama berada di Korea Selatan
dalam Knowledge Sharing Program. Namun, secara umum, pelaksanaan KKN-P
telah berjalan dengan baik. Tidak ada kendala berarti yang dihadapi penulis

30

selama proses berlangsungnya KKN-P. Seluruh tugas yang diberikan, mampu


diselesaikan dengan lancar serta lingkungan kerja yang begitu mendukung
sedikit banyak telah membantu penulis.
Sementara itu, dalam hal

mendorong pertumbuhan inklusif, terdapat

berbagai kendala yang harus dihadapi. Pertama, dalam satu dekade terakhir,
pengurangan kemiskinan berjalan lambat. Perlambatan pengurangan kemiskinan
mulai terjadi pada tahun 2013, serta ketidakmampuanya dalam bergeser di
bawah 10 persen (masih berada dalam kategori hardcore poverty).
Gambar 3.4 Realisasi dan Target Tingkat Kemiskinan dan Rasio Gini
(a) Tingkat Kemiskinan

(b) Rasio Gini

Sumber: Kemenkeu RI, 2016


Kedua,rasio gini yang relatif stagnan pada level 0,41 persen, lalu kemudian
menurun menjadi 0,40 persen pada 2016. Sejak 2015, tingkat kemiskinan dan
rasio gini berada di bawah target Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2015-2019. Pemerintah harus melakukan penyesuaian
terhadap target-target pembangunan sehingga dapat menjadi lebih realistis.
Pada gilirannya, pemerintah juga harus melakukan evaluasi terhadap program
penanggulangan kemiskinan seperti subsidi dan asistensi sosial sehingga
kebijakan fiskal yang digunakan dapat berjalan efektif dalam mencapai targettarget pembangunan.

31

Sejalan dengan target-target pembangunan, asumsi ekonomi makro yang


dijalankan pada dua tahun pemerintahan awal Jokowi-JK terutama pertumbuhan
ekonomi, selalu berhadapan dengan mismatch. Asumsi pertumbuhan ekonomi
yang dipatok terlalu tinggi daripada realisasi yang terjadi pada akhir tahun dapat
menjadikan instrumen fiskal yang disusun menjadi tidak kredibel. Seperti
diketahui, asumsi ekonomi makro dapat dijadikan tolak ukur bagi dunia usaha
dalam menyusun langkah ekspansi ataupun

3.3.2 Pembahasan
Pada sub-bab ini, hal-hal yang disajikan berupa pembahasan menyangkut
peran Badan Kebijakan Fiskal (BKF) dalam mendorong pertumbuhan inklusif.
Penulisan pembahasan ini menggunakan pendekatan kualitatif, yang didasarkan
kepeduliannya terhadap seluruh aspek yang melekat dalam kelembagaan
(termasuk didalamnya output atas pengambilan kebijakan ekonomi). Sedangkan,
pembahasan disajikan dalam bentuk deskriptif, yang difokuskan pada analisis
dan penyajian data secara sistematik agar mudah dipahami serta ditarik
kesimpulan atas berbagai fenomena ekonomi yang telah terjadi (dalam hal ini
pertumbuhan inklusif).

Fungsi anggaran:
Tiga strategi utama: peralihan sumber pendapatan dari sumber ekstraktif menuju
ke sumber non-ekstrakti; peralihan orientasi belanja dari aspek non-produktif ke
aspek produktif; pembiayaan yang sustain
3.3.3 Solusi
3.4 Pengalaman Belajar
Selama penulis melaksanakan program KKN-P di Pusat Kebijakan Ekonomi
Makro (Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan RI) terdapat beberapa

32

pengalaman dan tambahan wawasan. Adapun pengalaman dan wawasan


tersebut antara lain:
1. Mengetahui business process yang berlangsung di internal instansi
tempat penulis melakukan KKN-P.
Di dalam menjalankan business process, Badan Kebijakan Fiskal
(BKF) terikat dengan kerangka acuan kerja (term of reference)
keluaran. Sebagai contoh, untuk mengukur kinerja dan capaian dari
kegiatan Perumusan Kebijakan Ekonomi Makro, digunakan Deviasi
Proyeksi Indikator Kebijakan Ekonomi Makro. Dengan kata lain,
semakin dekat hasil proyeksi variabel ekonomi makro yang dibuat
terhadap kenyataan yang terjadi, maka dapat dikatakan kinerja dan
capaian Badan Kebijakan Fiskal,

dalam

hal

ini

Pusat

Kebijakan

Ekonomi Makro, relatif baik dari waktu ke waktu (Badan Kebijakan


Fiskal, 2016).
Hal ini menjadi kesulitan tersendiri selama tiga tahun terakhir di
instansi terkait untuk membuat proyeksi yang akurat dan presisi.
Padahal proyeksi tersebut penting untuk digunakan menentukan asumsi
ekonomi makro yang digunakan pada tahun berjalan. Sehingga, ke
depan, terhitung sejak pengesahan UU APBN 2017 dan perayaan Hari
Oeang ke 70, APBN yang kredibel, berkelanjutan dan berkeadilan
menjadi fokus utama.
2. Terlibat dalam pengumpulan dan pengolahan data kesejahteraan dan
ketenagakerjaan.
Dalam berbagai

kesempatan,

penulis

di

libatkan

dalam

pengumpulan dan pengolahan data kesejahteraan dan ketenagakerjaan


untuk keperluan penelitian supervisor penulis (Bapak Ali Moechtar, S.E.,
M.E.) dan peneliti BKF (Bapak Dr. Cornelius Tjahjaprijadi) dalam rangka

33

Knowledge Sharing Program bersama dengan peneliti lain dari Korea


Selatan.
3. Mengenal berbagai software pengolah data ekonomi dan mengetahui
akses ke portal data makroekonomi.
Di hari kedua pelaksanaan KKN-P, penulis diperkenalkan dengan
software pengolah data Oxford Economics Model. Pada software
tersebut pada intinya menggabungkan permodelan Error Correction
Model dan Computable General Equilibrium. Beberapa hari setelahnya,
penulis diperkenalkan pula dengan STATA yang secara spesifik
digunakan untuk mengolah data National Transfer Account. Sedangkan,
portal data yang dapat diakses termasuk CEIC dan Bloomberg.
4. Terlibat dalam berbagai diskusi yang dapat memperkaya wawasan
penulis mengenai fiskal dan sektor riil.
Penulis terlibat aktif dalam beberapa Focus Group Discussion
(FGD) yang diadakan oleh Pusat Kebijakan Ekonomi Makro dan diskusi
panel yang diselenggarakan oleh Bappenas. Setelah kegiatan tersebut,
supervisor memberikan arahan untuk membuat ringkasan-ringkasan
yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Hal ini merupakan pengalaman
yang berharga bagi penulis untuk melatih keterampilan kepenulisan.
5. Mengetahui etika dan tata cara berkomunikasi dengan pejabat publik.
Penulis pernah dilibatkan dalam hal berkomunikasi dengan
Pemerintah Provinsi Bali dan BPPK Kemenkeu RI. Komunikasi itu
dimaksudkan untuk memastikan kesiapan kegiatan 2nd International
Forum on Economic Development and Public Policy. Kegiatan tersebut
diselenggarakan secara teknis oleh Pusat Kebijakan Ekonomi Makro di
Bali pada Desember 2016.
BAB IV
PENUTUP

Bab ini akan mengulas

34

DAFTAR PUSTAKA
Badan Kebijakan Fiskal. 2015. Economic Challenges Lead to Budget Reforms.
Dalam Seminar Budget Reform to Support Inclusive Growth, Jakarta,
September 2015.
Badan Kebijakan Fiskal. 2016. Kerangka Acuan Kerja/Term Of Reference
Keluaran (Output) Kegiatan Tahun Anggaran 2016. Jakarta.

Lampiran I: Ringkasan Pelatihan Oxford Economics Model

Dalam lingkungan ekonomi global yang semakin kompleks dan volatile hari
ini, pihak eksekutif dalam hal ini pemerintah, perlu untuk memiliki alat peramalan
variabel ekonomi yang canggih yang mampu menilai

dampak dari asumsi

ekonomi dan berbagai alternatif yang ditempuh. Sedangkan bagi pihak


perusahaan, perlu untuk membuat rencana bisnis dan strategi investasi yang
terukur. Pada titik ini, model Oxford Economics memiliki urgensinya terutama
dalam membuat skenario kebijakan dan stress testing terhadap berbagai variabel
ekonomi makro. Sebagai contoh, pemerintah dalam pengambilan kebijakan
harus diidukung dengan peramalan anggaran sehingga dapat diukur shock

35

terhadap variabel ekonomi makro yang lain. Adapun dalam pelatihan ini poinpoin yang dijelaskan diantaranya:

Memperkenalkan properties untuk membangun model di dalam software


Oxford Economics. Model ekonometrika dalam software ini telah
ditentukan sebelumnya sehingga hanya membutuhkan modifikasi sesuai

dengan kebutuhan.
Menentukan shock atau perubahan variabel ekonomi. Dalam model
Oxford Economics, kita dapat melihat dampak ekonomi makro global
terhadap variabel ekonomi domestik. Juga dilengkapi dengan forecast

dari tiap variabel.


Melihat perbedaan model ex-ante dan non ex-ante serta bagaimana

cara mendownload tabel dan data grafis dari model yang diteliti.
Penggunaan unfixing base dan melihat skenario yang dibuat oleh
model Oxford Economics.

Lampiran II: Dokumentasi Pembahasan Draft RUU APBN 2017

Suasana Rapat Pembahasan Draft UU APBN 2017, dipimpin oleh Jazilul Fawaid
Sumber: Dokumentasi Penulis.

36

Lampiran III: Ringkasan Focus Group Discussion (FGD) I

Financial Technology and the Prospect in Indonesia


Tujuan pokok dari pembangunan adalah mendorong masyarakat berada
pada kesejahteraaan. Kesejahteraan dapat dicapai salah satunya melalui akses
yang meluas terhadap institusi keuangan. Tidak dapat dimungkiri, setiap sendi
kehidupan masyarakat selalu bersinggungan dengan uang. Akan tetapi,
berdasarkan hasil survei yang dirilis oleh Financial Inclusion Insight per 2015,
mencatat bahwa hanya 24 persen dari populasi Indonesia yang betul-betul
terpapar oleh institusi keuangan. Bila dirinci lebih mendalam, Lembaga
Keuangan Bank masih mendominasi dengan 23 persen, disusul Lembaga
Keuangan Non-Bank dan Mobile Money dengan capaian masing-masing sebesar
3 persen dan 0,3 persen. Itu berarti, 73 persen dari seluruh penduduk Indonesia
belum bersinggungan secara langsung dengan institusi keuangan. Kondisi ini

37

dapat dikatakan sangat eksklusif.

Dengan hadirnya gagasan Financial

Technology, setidaknya menjadi salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan


di atas.
Financial Techonology (selanjutnya disingkat Fintech) atau secara harfiah
berarti teknologi di bidang keuangan. Dalam artian luas, Fintech merupakan
salah satu ekosistem dalam start up yang fokus untuk memaksimalkan teknologi
untuk mengubah, mempercepat, serta memperdalam berbagai aspek dalam
layanan keuangan yang ada saat ini. FinTech juga dapat dikatakan persilangan
antara teknologi mutakhir dengan beragam layanan keuangan yang tersedia saat
ini. Hal ini menjadi penting karena dua hal pokok. Pertama, pengunaan ponsel
mencapai angka penggunaan yang relatif besar. Pada 2015, 62 persen dari total
populasi telah memiliki mobile phone. Lebih menarik lagi, meskipun berada pada
rata-rata penghasilan di bawah 2,5 dollar per hari, 52 persennya mampu memiliki
mobile phone. Kedua, aspek perilaku keuangan. 73% persen dari total jumlah
penduduk memiliki kecenderungan untuk menggunakan fasilitas keuangan untuk
menabung

(have

savings),

sementara

61%

memilih

untuk

melakukan

peminjaman uang (borrow money).


Pertumbuhan PDB ADHK Indonesia Menurut Lapangan Usaha 2011-2015

Sumber: Macroeconomic Dashboard UGM, 2015; BPS, 2015

38

Prospek Fintech relatif potensial untuk membangun perekonomian Indonesia


ke depannya, di samping mendorong inklusi keuangan. Berdasarkan data yang
dipublikasikan Macroeconomic Dashboard UGM, sektor jasa mengalami
pertumbuhan sektoral rata-rata di atas 5 persen, jauh melampau pertumbuhan
sektor-sektor lain. Perlu untuk diketahui, sektor jasa di dalamnya terdapat sektor
jasa keuangan. Optimisme ini berpijak pada kasus berkembangnya E-Commerce
dan perusahaan start-up di Indonesia, yang bisa jadi merintis jalan ke depannya
bagi FinTech.
Untuk mencapai hal tersebut, pemerintah harus menjamin ekosistem yang
menstimulus lahirnya start up baru yang konsern terhadap pengenatasan
masalah literasi keuangan. Hal yang dapat ditempuh yakni melalui pengaturan
kelembagaan hukum guna memperkuat pelaku usaha dan konsumen yang
secara langsung bersinggung. Di samping itu, ketiadaan akses ini perlu diatasi
dengan peran aktif pemerintah melalui sosialisasi dan edukasi secara
menyeluruh. Dalam titik ini, program LAKUPANDAI semestinya diperluas,
sehingga terjadi shifting paradigm di tataran masyarakat, utamanya kelas
menengah ke bawah. Layanan keuangan perlu diperkenalkan sebagai sebuah
layanan yang tidak menuntut si konsumen untuk secara fisik hadir di tempat
pelayanan keuangan itu sendiri. Terakhir, perlu di luruskan bahwa FinTech
bukanlah suatu hal yang instant, perlu dukungan infrastruktur informasi dan
telekomunikasi yang memadai.

Suasana Sesi Tanya Jawab dan Slide Presentasi tentang Financial Technology
Sumber: Dokumentasi Penulis.

39

Lampiran IV: Ringkasan Focus Group Discussion (FGD) II

Evaluasi Kebijakan dalam Upaya Pendalaman dan Penguatan Industri


Berbasis Kelapa Sawit dalam Rantai Nilai Global
Arah kebijakan ekonomi Indonesia di dorong untuk bertranformasi dari
sektor pertanian ke sektor Industri. Sebagai contoh, industri pengolahan yang
menyumbangkan sekitar 28% terhadap PDB diharapkan dapat mencapai sekitar
40% pada tahun 2045. Tetapi masalah yang muncul kemudian adalah
pertumbuhan ekonomi sektor pertanian dan industri mengalami penurunan
selama setengah dasawarsa, sedangkan sektor jasa mendapatkan tempatnya.
Sehingga memunculkan istilah deindustrialisasi guna menunjukkan penurunan
peran sektor industri. Belum lagi, orientasi industri domestik lebih mengarah
pada bentuk forward linkage (keterkaitan ke depan). Padahal keseimbangan

40

pada orientasi backward linkage (keterkaitan belakang) perlu dilakukan guna


mendukung kandungan lokal bahan baku. Pada titik ini, industri berbasis kelapa
sawit perlu untuk di dorong.
Industri berbasis kelapa menjadi penting sebab memiliki paling kurang tiga
keunggulan. Pertama, bersifat indispensable (dapat digunakan hampir di seluruh
kehidupan seperti untuk pangan, non-pangan, dan bahan bakar nabati. Kedua,
bersifat terbarukan (renewable), berkelanjutan (sustainable), dan ramah
lingkungan (green product) sejalan dengan tren global di masa mendatang.
Ketiga, mempunyai nilai hilir yang panjang: semakin ke hilir nilai tambah yang
dihasilkan semakin tinggi. Hilirisasi dilakukan mengarah pada empat industri
turunan: refinery, biodiesel, fatty acid, dan fatty alcohol.
Berdasarkan data yang dipublikasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit
Indonesia (GAPKI), produksi kelapa sawit Indonesia mencapai 33,4 mmt.
Besaran produksi Indonesia ini menjadikannnya pemasok terbesar di dunia
mengalahkan Malaysia (19,9 mmt), Thailand (1,8 mmt), Kolombia (1,2 mmt), dan
Nigeria (0,94 mmt). Perlu diketahui Crude Palm Oil bersifat buyer driven
(bergantung pada konsumen). Sementara, China dan Uni Eropa sebagai sasaran
ekspor komoditas ini sedang mengalami kelesuan ekonomi sejalan dengan
gejala yang disebut sebagai VUCA (volatility, uncertainty, complexity, and
ambiguity) dalam rantai nilai global.
Di lain hal, hilirisasi industri kelapa sawit mendapatkan berbagai persoalan
diantaranya:

Hasil-hasil kelapa sawit kurang terserap oleh industri domestik dan


sebagian besar di ekspor ke luar negeri sebab industri domestic
belum memiliki kesiapan yang mumpuni

41

Lambatnya perbaikan atau pengembangan teknologi pada industri

nasional
Minimnya infrastruktur yang berkualitas untuk mendukung proses

hilirisasi.
Sulitnya menembus rantai pasok global sebab harus berhadapan
dengan

perusahaan

multinasional

yang

bergerak

di

bidang

perdagangan dan industri berbasis kelapa sawit (seperti Unilever dan


P&G).
Agar proses hilirisasi berjalan dengan baik dan mampu mengatasi masalah
di atas, telah dirancang tahapan pengembangan hilirisasi industri kelapa sawit
nasional. Dalam jangka pendek (2011-2015) difokuskan pada optimalisasi
kapasitas terpasang, refinery, dan biodiesel, serta penguatan iklim usaha
investasi. Dalam jangka menengah (2015-2020) diarahkan pada produksi hilir
dengan distinctive aspect untuk mendukung ketahanan pangan, memenuhi
kecukupan nutrisi dan higienitas masyarakat. Terakhir, dalam jangka panjang
(2020-2050) di pusatkan pada produk canggih tutrunan minyak sawit sebagai
substritusi produk sejenis yang tidak terbarukan.
Pada aspek fiskal pemerintah telah mengeluarkan insentif fiskal berupa
fasilitas tax holiday, tax allowance, pembebasan bea masuk atas impor, pusat
logisitik berikat, perpajakan dan kepabeanan di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
dan kawasan industri, serta PPN dibebaskan/tidak dipungut. Sedangkan proteksi
yang dilakukan berupa tarif bea masuk, BMAD/safeguard, dan bea keluar untuk
penguatan ekspor.

42

Slide Presentasi dari Pihak GAPKI dan Suasana Focus Group Discussion (FGD)
Sumber: Dokumentasi Penulis.

Lampiran V: Ringkasan Diskusi Panel oleh Bappenas dan PP ISEI.


Tantangan Penciptaan Dua Juta Lapangan Kerja yang Baik (Decent Job)
Perkembangan ekonomi di Indonesia dalam penciptaan lapangan kerja,
paling tidak dipengaruhi oleh faktor eksternal (dinamika perekonomian global)
dan internal (kondisi ekonomi domestik).

Secara umum, meskipun sudah

terdapat tanda-tanda pemulihan dan peningkatan daya tahan perekonomian di


sejumlah negara, tetap saja ekonomi dunia masih mengalami perlambatan.
Beberapa negara yang bergantung terhadap komoditas juga belum dapat
memulihkan perekonomiannya. Sebagai contoh, pertumbuhan ekonomi Tiongkok
mengalami titik terendah selama 25 tahun. Melambatnya ekonomi Tiongkok
bersumber dari melemahnya sektor manufaktur sejak tahan 2010.
Untuk Indonesia, pertumbuhan tertinggi berasal dari sektor jasa keuangan
sebesar 13,5 persen, kemudian disusul oleh sektor informasi dan komunikasi
(mencapai 8,5 persen), serta sektor jasa lainnya (mencapai 7,9 persen).

43

Sementara, dalam hal share sektoral terhadap PDB masih dikuasai oleh industri
pengolahan dengan mencatatkan 20,5 persen, lalu diikuti oleh sektor pertanian
(sebesar 14,3 persen) dan sektor perdagangan (sebesar 13,3 persen).
Selama rentang waktu 2015-2019, pemerintahan Jokowi menargetkan
tingkat pengangguran terbuka (TPT) hanya tersisa sebesar 4-5 persen,
sementara pada tahun 2015 telah mampu ditekan menjadi 6,18 persen. Itu
berarti diperlukan sekitar 10-11 juta lapangan kerja baru, atau 2 juta/tahun.
Tetapi, pertanyaan yang muncul kemudian adalah jenis pekerjaan apa yang
harus tercipta. Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, setidaknya ada dua isu
penting mengenai pasar tenaga kerja di Indonesia: tenaga kerja sektor informal
dan produktivitas tenaga kerja yang rendah.
Proporsi pekerja formal dan informal dalam pasar tenaga kerja masingmasing sekitar 40 persen dan 60 persen pada tahun 2015. Ada kecenderungan
mengalami perlambatan dalam 3 tahun terakhir dan tumbuh negative pada
Februari 2015 - Februari 2016. Sebaliknya, terdapat peningkatan lapangan kerja
informal. Jika dipetakan secara mendalam, sektor formal yang salah satunya
diwakilkan oleh industri manufaktur mempekerjakan 13,5 persen dari total
keseluruhan pekerja. Fakta yang menarik, meningkatnya perkerja informal ini
salah satunya berasal dari limpahan tenaga kerja industri manufaktur yang masih
terkendala banyak masalah seperti deindustrialisasi. Pada gilirannya, indikasi
bahwa sektor manufaktur sedang tumbuh ke arah padat modal dan otomatisasi
menjadi semacam fenomena yang perlu diselesaikan.
Di lain hal, berdasarkan laporan berjudul Global Competitiveness Report
yang dikeluarkan oleh World Economic Forum, efisiensi pasar tenaga kerja di
Indonesia lebih buruk jika dibandingkan dengan Singapura, Malaysia, Vietnam,

44

dan Thailand, bahkan Laos, Brunei Darussalam, serta Kamboja sekalipun.


Inefisiensi tenaga kerja di Indonesia ditengarai oleh adanya kekakuan pasar
tenaga kerja. Hal yang menarik adalah regulasi yang terlalu ketat kian
memperburuk kekakuan tersebut.
Untuk mengatasi masalah tersebut, ada tiga langkah yang digagas oleh
Bappenas. Pertama, penataan regulasi yang berkaitan dengan UU No.13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial, dan UU. No.4 Tahun 2004 tentang SJSN. Spirit
yang dianut dalam penataan regulasi ini yakni penciptaan lapangan kerja di satu
sisi, dan perlindungan kerja di sisi lain. Kedua, merancang skema Asuransi Bagi
Penganggur (unemployment insurance). Tujuan yang hendak dicapai dari skema
ini yakni memberikan solusi jangka panjang bagi permasalahan saat pekerja
mengalami PHK/mengganggur/sementara tidak bekerja, menyediakan financial
support

selama menganggur, dan mengembalikan fungsi jaminan hari tua.

Terakhir, merancang skema Dana Pengembangan Keahlian (Skill Development


Fund). Terdapat beberapa Negara semisal Korea Selatan, Singapura, dan
Malaysia yang telah menerapkan skema ini. Skema ini muncul guna
menindaklanjuti PP No.31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional.
Tujuan

yang

ingin

dicapai

diantaranya:

mendukung

industri

dalam

memperbaharui Standar Kompetensi Kerja Nasional sesuai kebutuhan terkini,


mendukung lembaga pendidikan vokasi dan pelatihan kerja menerapkan diklat
berbasis kompetensi, dan memudahkan siswa didik memperoleh keahlian sesuai
kebutuhan industri.

45

Suasana Diskusi Panel dan Slide Menteri PPN/Bappenas


Sumber: Dokumentasi Penulis.

Lampiran VI: Ringkasan Focus Group Discussion (FGD) III

Tantangan Peningkatan Produksi Sektor Pertanian Tanaman Pangan


di Tengah Proses Transformasi Struktural
Penyelenggaraan pangan di Indonesia merujuk kepada dua filosofi penting:
kedaulatan dan kemandirian pangan. Kedaulatan pangan berarti Negara
berkewajiban

mencukupi

kebutuhan

pangan

rakyat

melalui

kedaulatan

menenentukan kebijakan pangan, tanpa di dikte oleh vested interest. Di lain hal,
kemandirian pangan dimaknai sebagai perwujudan kecukupan pangan nasional
melalui produksi pangan dengan memanfaatkan secara optimal potensi sumber
daya dan kearifan lokal. Dua filosofi ini kemudian memunculkan term ketahanan
pangan sebagai sebuah tolak ukur. Ketahanan pangan sendiri di refleksikan
dalam hal terpenuhinnya pangan masyarakat sampai perseorangan sesuai
persyaratan.

46

Di tengah proses menuju ketahanan pangan tersebut, ada sebuah masalah


yang cukup serius dihadapi oleh sektor pertanian, yakni transformasi struktural.
Secara sederhana, tranformasi struktural mengacu pada proses pergeseran
kontribusi sektor pertanian (dalam bentuk share PDB dan

tenaga kerja) ke

sektor industri maupun jasa. Berdasarkan data yang dikeluarkan SIPP, share
PDB sektor pertanian pada tahun 2015 sekitar 12 persen. Pada tahun 2045, hasil
tersebut diproyeksikan kian menyusut hanya sebesar 4 persen. Trend penurunan
tersebut sebenarnya bisa dilihat pada tahun 2010. Yang jadi persoalan kemudian
adalah lebih dari sepertiga dari total tenaga kerja masih menggantungkan
hidupnya pada sektor pertanian (on-farm), meskipun sebenarnya akan terkoreksi
sangat drastis pada tahun 2045. Hal ini semestinya menjadi catatan penting bagi
sektor pertanian terutama tanaman pangan guna mendukung ketahanan pangan.
Untuk melihat tantangan yang dihadapi oleh sektor pertanian terutama
tanaman pangan secara mendalam dapat dilihat dari struktur mikro-makro
ekonomi. Dari sisi mikroekonomi, struktur ongkos sektor pertanian tanaman
pangan yang mengkhawatirkan dari waktu ke waktu (lihat nilai BCR yang
semakin menurun dari tahun 2004 ke 2013 dari seluruh komoditas). Biaya
terbesar yang mesti ditanggung mencakup tenaga kerja beserta jasa pertanian
dan sewa lahan yang semakin mahal.

Tenaga kerja yang mahal ditengarai

profesi petani yang semakin tidak diminati, apalagi umur petani saat ini mulai
memasuki fase penuaan. Sementara sewa tanah erat kaitannya dengan semakin
menyempitnya lahan pertanian akibat konversi lahan, belum lagi berbagai
regulasi yang mengatur, tanah ulayat misalnya.
Struktur Ongkos Sektor Pertanian Tanaman Pangan

47

Sumber: Kalkulasi Bappenas, 2016; Slide Presentasi Bappenas.


Dari sisi makroekonomi, output atau total produksi tanaman pangan secara
kewilayahan masih relatif timpang. Pada tahun 2015, 51 persen total produksi
padi masih disumbangkan oleh Pulau Jawa. Dominasi Pulau Jawa juga terjadi
pada tanaman pangan lain seperti jagung mencapai 53 persen dan kedelai
malah lebih dominan lagi, yakni 62 persen. Kekhawatiran mengenai timpangnya
produksi tersebut beralasan sebab menjadi semakin berat jika dikaitkan dengan
aspek disitribusi ke berbagai wilayah dan pulau. Sebagai contoh, jalur pelayaran
Tanjung Perak ke Sorong lebih mahal Rp. 2 juta/TEU jika dibandingkan ketika
mengubah jalur pelayaran menjadi Tanjung Perak-Makassar dan MakasssarSorong.
Paling tidak, terdapat sembilan upaya yang dilakukan untuk meningkatkan
produksi dan pangan lain. Dari sembilan upaya tersebut ada beberapa aspek
yang menjadi titik tekan. Pertama, aspek infrastruktur penunjang pertanian.
Infrastruktur pertanian yang dimaksud mencakup rehabilitasi dan perluasan
jaringan irigasi, DAS Hulu, pembangunan waduk dan embung. Capaian dalam
hal pembangunan irigasi pada 2016 yakni 21,28 persen dari target 1 juta ha,
rehabilitasi irigasi 27,9 persen dari target 3 juta ha, pembangunan bendungan
sebanyak 37 dari 65 yang ditergetkan pada tahun 2019. Kedua, aspek fiskal
yang mendukung kegiatan pertanian. Aspek fiskal yang dimaksud yakni subsidi

48

pupuk dan subsidi benih. Salah satunya subsidi pupuk, akan mengalami
reformasi dari non-organik ke organik agar mengurangi resiko degradasi
lingkungan.

Suasana Focus Group Discussion (FGD) dan Slide Dirjen Tanaman Pangan
Sumber: Dokumentasi Penulis.
Lampiran VII: Ringkasan Focus Group Discussion (FGD) IV

Review Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Kuartal III Tahun 2016


Pada triwulan III/2016, perekonomian Indonesia dapat tumbuh 5,02 persen
(y-on-y). Capaian pertumbuhan ini lebih rendah jika dibandingkan dengan
pertumbuhan pada triwulan 2016 yang direvisi menjadi 5,19 persen namun
masih lebih tinggi daripada pertumbuhan pada triwulan III setahun sebelumnya
yang hanya mencapai 4,74 persen. Pertumbuhan ekonomi setidaknya dapat
dilihat pada tiga aspek: sisi pengeluaran, produksi, dan pendapatan. Untuk yang
terakhir disebutkan, hanya ditemui pada tabel input-output (terakhir pada tabel IO
2010). Sementara itu, pertumbuhan ekonomi sisi pengeluaran dan produksi
dijadikan sebagai bahan analisis untuk menangkap struktur pertumbuhan
ekonomi di Indonesia.
SISI PENGELUARAN

49

Konsep dari pendapatan nasional sendiri dijabarkan dalam persamaan


identitas Y=C+I+G+X+M. Persamaan tersebut diadaptasi oleh BPS dengan
beberapa penyesuain. Komponen pendapatan nasional terdiri dari pengeluaran
konsumsi RT, pengeluaran konsumsi LNPRT, pengeluaran konsumsi pemerintah,
PMTB, ekspor dan impor.
Pertama, komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga pada triwulan
III/2016 tumbuh 5,01 persen (y-on-y), menguat dibanding triwulan III/2015 yang
tumbuh 4,95 persen. Penguatan konsumsi terutama terjadi pada kelompok
makanan dan minuman (sebesar 5,21 persen) serta kelompok kesehatan dan
pendidikan (sebesar 6,41 persen). Hal ini beralasan sebab pada rentang waktu
tersebut terdapat perayaan keagamaan, ibadah haji, dan tahun ajaran baru.
Kedua, komponen pengeluaran konsumsi lembaga non-profit pada triwulan
III 2016 tumbuh 6,65 persen (y-on-y), menguat dibanding triwulan III/2015 yang
tumbuh 6,56 persen. Penguatan konsumsi terutama dipicu oleh meningkatnya
kegiatan organisasi bantuan kemanusiaan dan perkumpulan olahraga amatir.
Kegiatan tersebut diantaranya mencakup penyelenggaraan kegiatan organisasi
berskala nasional seperti konferensi, muktamar, dan PON; serta persiapan parpol
menjelang pilkada serentak 2017.
Ketiga, pertumbuhan komponen pengeluaran konsumsi pemerintah (PK-P)
pada triwulan III/2016 (y-on-y) mengalami kontraksi dibanding triwulan III/2015.
Hal ini dipicu oleh turunnya semua realisasi belanja, yaitu belanja pegawai,
belanja barang, dan belanja bantuan sosial. Sebagai contoh, penurunan realisasi
belanja pegawai pada belanja upah/gaji PNS yang diakibatkan oleh pergeseran
pencairan gaji ke-13, serta uang lembur.

50

Keempat, komponen PMTB pada triwulan III/2016 tumbuh 4,06 persen,


melambat dibanding triwulan III/2015 yang tumbuh sebesar 4,79 persen (y-on-y).
Pertumbuhan pada komponen ini sebagian besar disumbangkan oleh barang
modal berupa bangunan, CBR, produk kekayaan intelektual dan peralatan
lainnya. Sementara itu, perlambatan bersumber dari barang modal jenis mesin
yang berasal dari impor menurun.
Kelima, kinerja ekspor pada triwulan III/2016 terkontraksi lebih dalam
(tumbuh negatif sebesar 6 persen), seiring dengan pertumbuhan ekonomi
negara-negara tujuan ekspor utama yang belum stabil. Seperti diketahui, ekspor
Indonesia terbesar ditujukan ke Amerika Serikat, Tiongkok, dan Jepang.
Kontraksi terjadi baik pada barang ekspor migas (tumbuh negatif sebesar 8,15
persen) maupun non-migas (tumbuh negatif sebesar 7,58 persen).
Terakhir, kinerja impor pada triwulan III/2016 terkontraksi. Impor jasa
terkontraksi seiring dengan penurunan impor jasa angkutan untuk ekspor dan
impor barang.

Impor Indonesia terutama berasal dari Tiongkok, Jepang,

Thailand, dan Amerika Serikat. Impor barang dan jasa terkontraksi sebesar 3,87
persen (y-on-y).
Hal yang dapat dianalisis dari capaian di atas, pertumbuhan ekonomi
menjadi sulit pada tahun 2016 yang dipatok sebesar 5,19 persen menjadi sulit
untuk terwujud. Kesulitan tersebut terjadi sebab tiga diantara engine of growth
guna mengakselerasi pertumbuhan seperti ekspor dan pengeluaran konsumsi
pemerintah mengalami koreksi yang cukup dalam, hanya PMTB yang mampu
tumbuh secara positif. Hal yang menjadi ancaman bagi bergeraknya PMTB
sendiri adalah aspek daya saing tenaga kerja dan barang input lainnya masih
kalah ketimbang Vietnam dan negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Juga

51

sebagai tambahan bahwa untuk menaikkan 1 persen pertumbuhan dibutuhkan


peningkatan pendapatan masyarakat sedikitnya 1,3 trilliun rupiah
SISI PRODUKSI
Secara umum, pertumbuhan ekonomi menurut lapangan usaha paling besar
berada pada sektor informasi dan komunikasi (mencapai 9,20 persen); jasa
keuangan dan asuransi (mencapai 8,83 persen); serta transportasi dan
pergudangan (mencapai 8,20 persen). Sedangkan kontribusi sektoral terhadap
pembentukan PDB yang paling utama berasal industri pengolahan tercatat 19,90
persen. Kemudian disusul oleh sektor pertanian, perdagangan, dan konstruksi
masing-masing sebesar 14,42 persen, 12,98 persen, dan 10,47 persen.

Dapat dikatakan bahwa pertambangan dan penggalian mulai tumbuh positif.


Peningkatan produksi minyak mentah dan kondensat serta panas bumi, masingmasing 5,05 persen dan 10,85 persen menjadi kontributor utama. Juga
peningkatan produksi beberapa komoditas tambang seperti emas dan tembaga.
Struktur PDB dan Pertumbuhan Ekonomi Triwulan III/2016

Sumber: Kalkulasi BPS, 2016; Slide Presentasi BPS RI.

52

Hal yang sama juga terjadi pada sektor industri pengolahan dan sektor
informasi dan komunikasi. Industri pengolahan tumbuh stabil diakibatkan oleh
permintaan domestik hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Hal tersebut terlihat dari
tumbuhnya industry berbasis food and baverage mencapai 9,82 persen.
Sementara sektor informasi dan komunikasi mencatatkan pertumbuhan 9,20
persen. Indikasi pertumbuhan tersebut dapat dilihat dari pendapatan data,
internet dan jasa TI dari PT Telkomsel Tbks.d. bulan September 2016 (9 bulan)
tumbuh 37% persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Selain itu, PT XL
Axiata Tbk mencatat total traffic data sampai dengan bulan September 2016 (9
bulan) meningkat 146% dibanding periode yang sama tahun lalu.
Pertumbuhan signifkan terjadi pada sektor transportasi dan pergudangan.
Ditengarai, peningkatan ini terjadi karena adanya liburan hari raya Idul Fitri dan
Idul Adha yang berdampak pada peningkatan jumlah penumpang yang diangkut
oleh perusahaan transportasi, terutama angkutan udara. Pada moda angkutan
udara, mencatat pertumbuhan jumlah penumpang sebesar 17,49 persen dan
pertumbuhan jumlah barang yang diangkut sebesar 8,47 persen.
Terakhir, sektor yang mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi pada
triwulan III/2016 yakni jasa perantara keuangan, meskipun tetap berada di atas 8
persen. Perlambatan tersebut terjadi ditengarai pertumbuhan kredit yang
semakin melambat. Pertumbuhan kredit tercatat sebesar 6,65 persen (y-on-y).
Selain itu, pertumbuhan negatif terkait jenis penyaluran dana berbentuk antar
bank aktiva sebesar 10,39 persen. Sementara penghimpunan dana selain pihak
ketiga mengalami pertumbuhan negative pula yakni sebesar 9,13 persen.

53

Slide Tim Neraca Pengeluaran BPS dan Suasana Focus Group Discussion
Sumber: Dokumentasi Penulis.

Lampiran VII: Tulisan Populer di Palopo Pos Edisi 24 November 2016

Merapal Mantra Pembangunan

Sumber: Dokumentasi Penulis dan Palopo Pos, 24 November 2016, hal. 4


Pernahkah Anda berpikir, apa yang hendak dicapai dengan pembangunan?
Apakah hasil perut bumi dapat membimbing kita menuju kesejahteraan? Atau

54

perlukah menanggalkan sektor pertanian untuk mengejar ketertinggalan


terhadap negara maju?
Seluruh pertanyaan di atas tampak mudah di permukaan. Akan tetapi
dengan segera, pertanyaan berikutnya muncul. Setidaknya, perdebatan mulai
digagas oleh Julius Herman Boeke, profesor ekonomi politik Universitas Leiden,
Belanda.
Dalam buku berjudul Economie Van Indonesie (1951), Boeke menunjukkan
Indonesia saat itu berada pada struktur ekonomi dualistik. Pada struktur ekonomi
dualistik, corak ekonomi tradisional dan modern ibarat dua sisi logam yang saling
berdampingan tetapi tak melebur.
Dualisme ekonomi, lanjut Boeke, menjadi ikhwal gagalnya konsep ekonomi
Barat untuk diterapkan di Indonesia. Beberapa pihak mengklaim corak ekonomi
tradisional digambarkan oleh sektor pertanian, sementara ekonomi modern
diwakilkan oleh sektor industri. Tidak ada tanda-tanda transisi dari pertanian
menuju industri kala itu.
Pelajaran dari Era Soeharto
Fenomena yang ditangkap oleh Boeke, sebenarnya merefleksikan kondisi
ekonomi

Indonesia

sebelum

kemerdekaan.

Tetapi

setelahnya,

gaung

pembangunan ekonomi nyaris tak begitu nyaring di Era Soekarno. Pemerintahan


kala itu disibukkan dengan urusan politik (mempertahankan Indonesia dari agresi
militer).
Suksesor berikutnya adalah Soeharto. Pemerintah berhasil menjinakkan
inflasi mencapai 650 persen yang diwariskan rezim sebelumnya. Di era ini,
pembangunan mulai menampakkan wujudnya. Indonesia disanjung sebagai

55

salah satu Keajaiban Asia, dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata berada di


atas 5 persen selama kurun waktu 1967 hingga 1997.
Motor penggerak pertumbuhan ekonomi Era Soeharto bersumber dari
ekspor migas ke negara lain, sambil terus membangun industri dalam negeri.
Munculnya Oil Boom pada awal 80an telah meningkatkan devisa Indonesia
hingga 70 persen. Di samping meningkatnya devisa negara, penerimaan negara
melonjak

sehingga

bisa

mempercepat

tercapainya

sasaran-sasaran

pembangunan.
Majalah Time yang berbasis di Amerika Serikat, menyebut

dunia untuk

sementara mengapung dalam banjir minyak. Terang saja, pada tahun 1986,
harga minyak dunia terus mengalami pemburukan. Negara-negara seperti
Meksiko, Ekuador, dan Malaysia harus rela melakukan pengetatan anggaran
pembangunan. Juga tidak ketinggalan pula Indonesia, melakukan hal yang
sama.
Kutukan SDA dan Sebuah Peringatan
Secara teorititis, negara yang memiliki SDA yang berlimpah memiliki
kemampuan untuk meraih tingkat perekonomian yang lebih baik ketimbang
negara yang miskin SDA. Sehingga, kesejahteraan hanya dapat dicapai jika
suatu negara memfokuskan diri pada keunggulan SDA yang dimiliki, yang
kemudian memunculkan konsep spesialisasi ekonomi. Postulat tersebut telah
tegak bahkan sejak digulirkannya teori perdagangan klasik. Banyak negara
berkembang yang notabene kaya SDA mengadopsi

pola pembangunan

semacam itu.
Pada tahun 1993, anggapan tersebut dipersoalkan oleh Richard Auty.
Dengan tegas, ia mengungkap bahwa SDA bisa berbuah kutukan, alih-alih

56

anugerah ekonomi. Belakangan, tesis Auty terbukti. Negara di Timur Tengah


berkali-kali dirundung konflik, sementara Venezuela masih berkutat dengan krisis
yang berkepanjangan. Padahal, keduanya tergolong sebagai anggota OPEC,
negara dengan kategori net export minyak terbesar di dunia.
Peringatan Auty, sekali lagi disuarakan oleh Menteri Bappenas, Bambang
P.S Brodjonegoro. "Indonesia sekarang kondisinya modern, tetapi jika melihat
sejarah, mirip dengan keadaan saat dijajah Belanda, tutur Bambang,
sebagaimana diwartakan harian Kompas pada 12 November 2016.
Kekhawatiran Bambang telah terkonfirmasi melalui data yang dirilis BPS.
Luwu Timur dapat kita jadikan sebagai sebuah contoh betapa bergantungnya
suatu wilayah terhadap pertambangan. Pada tahun 2015, lebih dari 60 persen
PDRB Luwu Timur berasal dari sektor pertambangan dan penggalian. Besaran
PDRB Luwu Timur dengan memasukkan sektor tambang nikel 4 kali lipat lebih
besar ketimbang tanpa memasukkan komponen tambang nikel (lihat publikasi
BPS Luwu Timur dalam berbagai tahun).
Katub Pengaman dan Nilai Tambah
Ketergantungan yang begitu besar terhadap sektor ekstraktif ini menjadi
sebuah ancaman. Bagaimana pun, daerah yang begitu banyak menumpukan
kekuatannya pada ekstraksi sumber daya alam harus terus berhadapan dengan
ketidakpastian harga komoditas tambang dunia.
Katub pengaman yang bisa dipersiapkan dengan mendorong terciptanya
transisi menuju industri bernilai tambah tinggi. Sebagai contoh, jenis ferro nickel
dan nickel matte dapat diproses lebih lanjut menjadi produk antara berupa
stainless steel. Dari stainless steel, dapat diciptakan industri hilir yang dapat

57

memproduksi HRC (Hot Rolled Coils) stainless, batang kawat baja, tabung atau
pipa, dan peralatan rumah tangga.
Kementerian ESDM (2011) mencatat manfaat dari penyerapan tenaga kerja
melalui industri pengolahan mineral logam dasar sebanyak kurang lebih
2.402.600 orang. Dari pemanfaatan tembaga, bauksit, dan nikel saja potensi
peningkatan nilai tambah yang diperoleh kurang lebih 268 milliar dollar AS.
Riak-riak berupa tuntutan warga terhadap perusahaan tambang nikel di
Sorowako

(Luwu

Timur),

semestinya

menjadi

momentum

bagi

seluruh

pemerintahan daerah untuk berbenah. Salah satunya dengan menentukan


kembali format ekonomi yang hendak di tuju. Semoga kita tak terlalu sering
memunggungi sektor-sektor yang memberi nilai tambah ekonomi, sosial dan
budaya yang lebih kaya.

Ini penting, sebab kita kerap merapal mantra

pembangunan tapi enggan belajar dari kegagalan masa lalu.

58

Lampiran .. :

INDIKATOR MAKRO

2014

2018

Sasaran Akhir RPJMN


2019

7,5

8,0

4,6-5,1

4,0-5,0

7,5-8,5

7,0-8,0

0,38

0,37

0,36

75,3

75,7

76,1

76,3

n.a.

n.a.

n.a.

meningkat

2015

2016

2017

5,1

5,8

6,6

7,1

(5,0)

(4,8)

(5,21)

(5,2 5,62)

Tingkat Pengangguran (%)

5,6-5,9

5,5-5,8

5,2-5,5

5,0-5,3

(Angka Realisasi & Penyesuaian Target)

(5,94)

(6,18)

(5,6 5,9)

(5,3 5,6)

Angka Kemiskinan (%)

9,0-10,0

9,5-10,5

9,0-10,0

8,5-9,5

(Angka Realisasi & Penyesuaian Target)

(10,96)

(11,13)

(10,0 10,8)

(9,5-10,5)

n.a

0,40

(0,41)

(0,403)

0,39

Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

73,8

74,8

Indeks Pembangunan Masyarakat (IPMAS)

0,55

n.a.

(Baseline)

Pertumbuhan Ekonomi (%)


(Angka Realisasi & Penyesuaian Target)

Gini ratio (indeks)


(Angka Realisasi & Penyesuaian Target)

Catatan: 1 APBN-P 2016


2
Hasil Kesepakatan Rapat Banggar DPRI RI 19 Juli 2016
3
Angka Realisasi Terakhir

Sumber: Kemenkeu RI, 2016

Anda mungkin juga menyukai