Anda di halaman 1dari 4

PERTENGAHAN Juni 1948, jamuan makan malam istimewa digelar para saudagar Aceh di

Kutaraja (kini Banda Aceh) untuk menyambut kedatangan Presiden Sukarno dan tim
propaganda pembelian pesawat angkut sipil Indonesia.
Namun suasana perjamuan di Hotel Aceh samping Masjid Raya itu terasa kaku. Sukarno
lebih banyak diam. Dia tak menyentuh hidangan apalagi menyantapnya. Padahal sang
Presiden sudah berkali-kali dipersilakan makan. Sikap Sukarno sudah barang tentu membuat
para saudagar sungkan sekaligus memendam tanya.
Di tengah kebingungan itu, Sukarno tiba-tiba bersuara. Dengan nada berat berwibawa, dia
berkata, Saya tidak akan makan sebelum orang Aceh berjanji menyumbang sebuah pesawat
terbang kepada pemerintah untuk memperlancar perjuangan mempertahankan
kemerdekaan.
Sukarno berpidato penuh semangat sambil menunjukkan miniatur pesawat kepada para
saudagar Aceh. Saya berharap agar pesawat model yang terbuat dari kayu ini lekas
menjelma menjadi pesawat terbang sungguhan.
Miniatur pesawat yang dipamerkan Sukarno itu buatan Wiweko Soepono, Kepala Biro
Rencana dan Konstruksi Angkatan Udara Republik Indonesia.
Sebelum Sukarno berangkat ke Aceh, Wiweko dan timnya seharian sibuk di Bengkel Teknik
Pangkalan Udara Maospati, Madiun (kini Lanud Iswahjudi). Mereka merancang dan
membuat miniatur pesawat Dakota dari ukiran kayu. Dakota ialah pesawat angkut asal
Amerika Serikat yang kerap digunakan Sekutu selama Perang Dunia II.
Hanya dalam waktu 24 jam, Tim Wiweko berhasil membuat 25 miniatur pesawat. Wiweko
amat antusias lantaran proposal penggalangan dana pesawat Dakota yang diajukan Kepala
Staf Angkatan Udara Komodor Suryadi Suryadarma diterima oleh Presiden. Sukarno bahkan
bersedia memimpin langsung tim propaganda penghimpunan dana pesawat angkut RI itu.
Memiliki pesawat angkut sipil dianggap mendesak karena kondisi geografis Indonesia yang
terdiri dari banyak pulau. Maka Sukarno, saat melakukan perjalanan keliling Sumatra,
sekaligus sambil menggelar kampanye pengumpulan Dana Dakota.
Diceritakan dalam buku Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950,
penggalangan dana dilakukan di Sumatra Lampung, Bengkulu, Pekanbaru, Bukittinggi,
Tapanuli, Aceh karena pulau itu telah diakui sebagai wilayah Republik Indonesia,
menyimpan kekayaan alam luar biasa, dan para pedagangnya mendukung perjuangan RI.
Sementara pulau-pulau di timur Indonesia saat itu dalam kondisi masih rawan karena Belanda
memblokade hampir seluruh Laut Jawa.

Permintaan Sukarno agar Aceh menyumbang dana untuk membeli pesawat, disambut tepuk
tangan oleh para saudagar. Bisnis saudagar-saudagar Aceh kala itu sedang gemilang dan
berkembang hingga ke luar negeri.
Keinginan pemerintah pusat memiliki pesawat terbang untuk mendukung perjuangan
sebagaimana disampaikan Bung Karno, Insya Allah dapat segera terpenuhi, kata perwakilan
saudagar Aceh, seperti dikisahkan dalam buku Dari Blitar ke Kelas Dunia: Wiweko Soepono
Membangun Penerbangan Indonesia.
Mendengar kesediaan Aceh membantu, Sukarno langsung menyantap hidangan. Suasana
perjamuan sekejap berubah ceria.
Untuk memenuhi dana pembelian pesawat, 13 perusahaan ekspor impor Gabungan Saudagar
Indonesia Daerah Aceh (Gasida) sepakat urunan. Sebagian keuntungan penjualan kopra ke
Malaysia disisihkan sebesar 200 Ringgit. Dalam dua bulan, terkumpul 120 ribu Ringgit atau
senilai 20 kilogram emas. Itu cukup untuk membeli satu pesawat.
Agustus 1948, Wiweko berangkat ke Burma untuk mengurus pembelian pesawat. Dua bulan
kemudian, Dakota tiba di Lanud Maguwo Yogyakarta melewati Pekanbaru dan Jambi. Dalam
penerbangan itu, Wiweko berperan sebagai navigator. Ia memberi petunjuk soal rute mana
yang harus ditempuh untuk menghindari blokade Belanda.
Pesawat angkut yang dibeli dari dana Aceh itu kemudian diberi nomor registrasi RI-001, dan
dinamakan Seulawah yang berarti Gunung Emas. Seulawah memang nama gunung di Aceh.
Diberi nama demikian sebagai penghormatan terhadap rakyat Aceh yang bersusah payah
membantu perjuangan RI.
Dia (Wiweko) menganggap hubungan baik antara pusat dan daerah itu bagian dari
ketahanan nasional. Prinsip itu terus dia pegang sampai dia di Garuda, bagaimana
menghubungkan pulau-pulau yang terpisah ini, ujar Bodhidarma Wiweko, putra Wiweko,
kepada CNNIndonesia.com di kantornya, Bintaro, Tangerang Selatan, Selasa 22 Maret.
Penerbangan sipil selalu menjadi perhatian Wiweko. Saat sudah tak lagi berkiprah di
Angkatan Udara, ia ditunjuk Presiden Soeharto menjadi Direktur Garuda Indonesia untuk
menyelamatkan perusahaan penerbangan nasional yang kala itu hampir bangkrut tersebut.
Wiweko pun memperketat manajemen sektor keuangan dan meremajakan armada. Dia
memimpin Garuda Indonesia selama 16 tahun, dari 1968 sampai 1984.
Seorang kawan, Suharto, mengingat Wiweko sebagai sosok yang spontan dan ceplas-ceplos.
Wiweko juga merupakan penggagas konsep kokpit untuk dua awak pesawat (two-man crew
cockpit) yang kini digunakan di seluruh dunia.
Sekarang kokpit pesawat terbang kan diisi pilot dan kopilot. Kalau dulu ada flight engineer,
orang ketiga di belakang pilot dan kopilot. Orang ketiga ini, menurut Wiweko, tidak perlu.
Memenuhi tempat saja, kata Suharto di kediamannya, Depok, Jawa Barat, Jumat (18/4).

Maka Wiweko yang waktu itu menjabat Dirut Garuda Indonesia memesan pesawat kepada
Airbus dengan syarat kokpit didesain untuk dua orang saja. Pikiran Wiweko itu mungkin
dulu dianggap seenaknya sendiri, tapi permintaannya dipenuhi dan kemudian malah ditiru
pemesan lain, ujar Suharto yang kini berusia 83 tahun.
Two-man crew cockpit bermula pada 1977, ketika Wiweo bertandang ke pabrik Airbus di
Perancis untuk memesan pesawat berbadan lebar untuk penerbangan jarak pendek-menengah
Airbus A300. Wiweko yang juga pilot lantas menguji A300.
Usai uji coba, Wiweko mengemukakan pendapatnya, bahwa peran flight engineer sebagai
orang ketiga di kokpit tak diperlukan karena teknologi pesawat sudah demikian canggih.
Jumlah awak di kokpit, menurut Wiweko, tak mempengaruhi keselamatan penernangan.
Apalagi sebelum itu Wiweko pernah memodifikasi Beechcraft Super 18 dengan peralatan
canggih sehingga hanya perlu diterbangkan satu pilot. Dia juga mengurangi jumlah awak
kokpit Douglas DC-8 milik Garuda dari lima orang menjadi hanya tiga orang. Bagi Wiweko,
efisiensi sumber daya manusia dalam perusahaan itu penting.
Airbus bersama Wiweko kemudian merancang pesawat dengan kokpit untuk dua awak. Peran
yang selama ini dipegang flight engineer jadi dapat dilakukan hanya oleh dua orang pilot.
Garuda lantas memesan sembilan unit pesawat model itu meski kokpit model baru itu
ditentang dunia karena dinilai membahayakan.
Namun protes itu perlahan lenyap saat Airbus kembali memproduksi pesawat dengan kokpit
untuk dua awak. Hal yang sama bahkan dilakukan Boeing. Wiweko menjadi pelopor desain
kokpit efisien di dunia.
Dulu ada simulator di Kosambi, Cengkareng, sebagai tempat pilot berlatih two-man crew
cockpit. Pilot-pilot luar negeri latihannya di situ. Sekarang terbukti Wiweko benar. Dengan
sistem elektronik yang maju sekali, pesawat bahkan bisa dibilang terbang sendiri sehingga
orang ketiga di kokpit tak diperlukan, kata Suharto yang lulusan Universitas Teknologi
Braunschweig, Jerman.
Wiweko sudah pandai mengutak-atik pesawat sejak remaja. Pada masa awal bergabung
dengan AURI saat Indonesia belum lama merdeka, 1947, Wiweko bersama kawannya
Nurtanio Pringgoadisurjo membuat pesawat glider. Pesawat pertama karya putra Indonesia
itu diberi nama NWG-1 (Nurtanio-Wiweko Glider). Enam pesawat luncur sejenis lalu dibuat.
Wiweko tak peduli dengan keterbatasan tenaga ahli, minimnya komponen maupun peralatan,
serta blokade Belanda yang masih berlangsung. Dia terus membuat pesawat.
Pesawat ringan berkursi tunggal dengan mesin motor Harley-Davidson 750 cc, Wiweko
Experimental Lightplane atau RI-X, berhasil dibuat pada 1948. Sayang pesawat itu lantas
hancur terkena ledakan granat di gerbong kereta usai mengikuti pameran di Yogyakarta.

Wiweko menentang ketergantungan asing di bidang penerbangan. Dia menegaskan


perhubungan udara amat penting bagi negara merdeka, dan yakin Indonesia mampu
mengelola transportasi udaranya sendiri.
Putra Wiweko, Bodhidarma, memahami jalan pikiran sang ayah. Prinsip dia, Indonesia itu
tidak kalah dengan asing, dan tidak perlu tunduk pada Barat.

Anda mungkin juga menyukai