Anda di halaman 1dari 2

Bahasa Cermin Identitas dan Karakter Bangsa

Nov. 29 Refleksi no comments


Oleh :Elly Delfia, S.S.,M.Hum*
Bahasa adalah cermin identitas sebuah bangsa. Identitas berkaitan dengan karakter
(sikap atau kepribadian) bangsa, seperti yang diungkapkan Widjono bahwa salah satu fungsi
bahasa adalah sebagai alat untuk membangun karakter. Karakter berkaitan dengan sikap
cerdas, lamban, bodoh, malas, atau rajin (Widjono, 2001:16). Dalam tulisan ini, karakter yang
dimaksud adalah berkaitan dengan kecerdasan berbahasa (kecerdasan linguistik). Kecerdasan
berbahasa meliputi kemampuan untuk memilah-milah kata-kata baik untuk digunakan dalam
berkomunikasi dan berinteraksi.
Dari cara berbahasa dan cara memilih kata untuk diucapkan, dapat dipahami seperti apa
karakter dan kepribadian seorang individu, sekelompok masyarakat, dan sebuah bangsa.
Apakah mempunyai karakter keras, mudah emosi, lemah-lembut, santun atau penyayang?
Topik mengenai bahasa cermin identitas dan karakter bangsa erat hubungannya dengan bulan
Oktober. Sepintas memang tidak banyak yang bisa diingat dari Oktober selain hujan yang
turun tak henti-henti, khususnya di kampus hijau Limau Manih. Kesibukan pun masih
berjalan seperti biasa. Mahasiswa, dosen, tenaga kependidikan, dan seluruh civitas akademika
kampus masih tetap menjalani rutinitas seperti biasa. Namun 84 tahun silam, Oktober
menjadi bulan bersejarah bagi bangsa ini. Pada Oktober, tepatnya 28 Oktober 1928 setengah
dari kedaulatan bangsa ini menyumbulkan tunasnya.
Para pemuda dari seluruh nusantara berkumpul untuk menyamakan visi dan menyatukan diri
dalam sebuah sumpah yang dikenal dengan Sumpah Pemuda masa itu. Kemudian salah satu
butir Sumpah Pemuda yang berbunyi, Kami Putra-Putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa
persatuan bahasa Indonesia. mengabadikan Oktober sebagai bulan bahasa.
Meskipun bulan bahasa sudah ditetapkan, hari ini, bahasa Indonesia tetap saja menghadapi
berbagai persoalan. Mulai dari perkembangan teknologi yang membuat perkembangan
bahasa Indonesia tidak menentu sampai ke persoalan munculnya beragam bentuk bahasa di
kalangan anak muda, seperti jargon, slank hingga bahasa alay. Persoalan tersebut cukup
menjadi ujian bagi eksistensi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang dikukuhkan
oleh para pemuda 84 tahun silam. Bagi generasi 1928 maupun generasi 1945, bahasa
Indonesia adalah bahasa perjuangan dan persatuan untuk merebut kemerdekaan bangsa ini
dari kolonialisme. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 menjadi simbol luar biasa ajaib yang
menyatukan para pemuda dari seluruh pelosok negeri ini di bawah naungan bangsa yang
bernama Indonesia. Kemudian muncul pertanyaan, bagaimana generasi muda sekarang
memaknai bahasa Indonesia yang menjadi penanda identitas diri dan karakter bangsanya.
Dari hasil penelitian sebelumnya yang berjudul, Afiksasi Bahasa Indonesia pada Istilah
Berbahasa Asing pada Media Massa di Sumbar (Delfia, 2010) diperoleh kesimpulan bahwa
kecenderungan generasi muda sekarang merasa rendah diri menggunakan bahasa Indonesia
dan mereka menganggap bahasa Aing (bahasa Inggris) lebih hebat, lebih gaul, gaya, dan
intelektual. Orang yang berbicara dalam bahasa Inggris dianggap lebih hebat dan lebih pintar
daripada yang menggunakan bahasa Indonesia. Kemudian dalam berkomunikasi sehari-hari

pun, tidak sedikit generasi muda yang mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris
(bahasakompasiana.com).
Kenyataan ini cukup memiriskan hati dan jadi petanda makin memudarnya rasa nasionalisme
generasi muda. Nasionalisme yang tergerus globalisasi, perkembangan ilmu pengetahuan,
dan teknologi. Teknologi terkadang tidak hanya memberikan efek positif, tetapi juga negatif.
Segala kebaruan yang tercipta dari teknologi telah mengalienasi manusia dari kehidupan dan
identitas dirinya, seperti yang ramalkan ahli sosial, Karl Max bahwa teknologi yang
diciptakan manusia akan mengalienasi (mengasingkan dan mengendalikan) manusia dari
dirinya (Lauer, 2001).
Penggunaan bahasa Indonesia yang mencerminkan ketidakdisiplinan dalam berbahasa marak
digunakan di kalangan anak muda, khususnya mahasiswa dan pelajar, misalnya peristiwa
mencampurkodekan beberapa bahasa dalam sebuah kalimat. Peristiwa campur kode beberapa
bahasa yang sering dituturkan mahasiswa dapat dilihat pada contoh tuturan berikut: Ndak
tau gue doh. Jangan malu-maluin gua donk. Aden lagi download lagu di net, nih. Mo
browsing dulu ah.
Maraknya peristiwa campur kode yang digunakan oleh mahasiswa dalam berkomunikasi baik
dengan sesamanya, maupun di kelas, di seminar-seminar, dan di ruang-ruang ilmiah cukup
membingungkan dalam hal penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dengan
peristiwa campur kode di atas, kalimat-kalimat yang dituturkan mahasiswa ataupun pelajar
sulit untuk diidentifikasi dan dikenali. Bahasa yang mereka gunakan tidak jelas karena dalam
satu kalimat mengandung lebih dari satu unsur bahasa. Dalam kalimat, Aden lagi download
lagu di net nih terkandung empat unsur bahasa, yaitu bahasa Minangkabau, bahasa Inggris,
dan bahasa Indonesia baku dan tidak baku. Unsur bahasa Minangkabau terdapat pada kata
Aden, unsur bahasa Inggris ada pada kata download dan net, unsur bahasa Indonesia baku
terdapat pada kata di dan kata lagu, sedangkan unsur bahasa Indonesia tidak baku terdapat
pada kata lagi dan nih.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak disertai dengan kearifan dalam
bersikap dan bertindak akan menjauhkan manusia dari dirinya sendiri. Hal demikianlah yang
terjadi pada bahasa Indonesia, seperti contoh di atas. Dari peristiwa campur kode di atas
dapat disimpulkan bahwa bahasa Indonesia jadi asing di mata anak bangsa sendiri disebabkan
oleh berbagai faktor, di antaranya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
memunculkan istilah-istilah terbaru yang belum ada padanannya dalam bahasa Indonesia,
minimnya pendidikan yang berisi kesadaran akan arti penting penggunaan bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional yang menjadi identitas bangsa, kurangnya kepedulian terhadap
penggunaan istilah-istilah yang berasal dari luar bahasa Indonesia, dan sungguh tidak
disiplinnya anak bangsa ini dalam berbahasa yang berarti juga mencerminkan
ketidakdisiplinan bangsa untuk berbagai hal dalam kehidupannya, termasuk dalam berbahasa.
Pada akhirnya, semoga persoalan ini dapat jadi buah perenungan bersama agar bangsa ini
tidak kehilangan identitas dan karakter yang jadi membedakan bangsa ini dari bangsa lain di
dunia.
- See more at: http://gentaandalas.com/bahasa-cermin-identitas-dan-karakterbangsa/#sthash.vQp52R8d.dpuf

Anda mungkin juga menyukai