Anda di halaman 1dari 11

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diare adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali
perhari, disertai perubahan konsistensi tinja menjadi cair dengan atau
tanpa lendir dan darah yang berlangsung kurang dari satu minggu.
Pada bayi yang minum ASI sering frekuensi buang air besarnya lebih
dari 3-4 kali per hari, keadaan ini tidak dapat disebut diare, tetapi
masih bersifat fisiologis atau normal. Selama berat badan bayi
meningkat normal, hal tersebut tidak tergolong diare, tetapi
merupakan intoleransi laktosa sementara akibat belum sempurnanya
perkembangan saluran cerna. Untuk bayi yang minum ASI secara
ekslusif definisi diare yang praktis adalah menigkatnya frekuensi
buang air besar atau konsistensinya menjadi cair yang menurut ibunya
abnormal atau tidak seperti biasanya. Kadang kadang pada seorang
anak buang air besar kurang dari 3 kali perhari, tetapi konsistensinya
cair, keadaan ini sudah dapat disebut diare (Juffrie dkk, 2012).
Diare merupakan defekasi encer lebih dari tiga kali sehari dengan atau
tanpa darah dan atau lendir dalam tinja (Maryunani 2010). Pada bayi
berumur kurang dari satu bulan, dinyatakan diare bila frekuensi buang
air besar sudah lebih dari empat kali sehari, sedangkan untuk bayi di
atas satu bulan, bila frekuensi buang air besar lebih dari tiga kali
(Suharyono, 2008).
Cara penularan diare pada umumnya melalui cara fekal-oral yaitu
melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh enteropatogen,
atau kontak langsung tangan dengan penderita atau barang-barang
yang telah tercemar tinja penderita atau tidak langsung melalui lalat,
melalui 4 F = finger, flies, fluid, field. Faktor resiko yang dapat

meningkatkan penularan enteropatogen antara lain : tidak memberikan


ASI secara penuh untuk 4-6 bulan pertama kehidupan bayi, tidak
memadainya penyediaan air bersih, pencemaran air oleh tinja,
kurangnya sarana kebersihan (MCK), kebersihan lingkungan dan
pribadi yang buruk penyiapan dan penyimpanan makanan tidak
higienisdan cara penyapihan yang tidak baik. Selain hal-hal tersebut,
beberapa factor pada penderita dapat meningkatkan kecenderungan
untuk dijangkiti diare antara lain : gizi buruk, imunodefisiensi,
berkurangnya keasaman lambung, menurunnya motilitas usus,
menderita campak dalam 4 minggu terakhir dan factor gentetik.
(Juffrie dkk, 2012).
Sampai saat ini penyakit diare masih menjadi masalah kesehatan
dunia terutama di negara berkembang. Besarnya masalah tersebut
terlihat dari tingginya angka kesakitan dan kematian akibat diare.
WHO memperkirakan 4 milyar kasus terjadi di dunia pada tahun 2000
dan 2,2 juta diantaranya meninggal, sebagian besar anak-anak
dibawah umur 5 tahun. Hal ini sebanding dengan 1 anak meninggal
dalam 15 detik. Menurut data WHO (2013) di dunia ada sekitar 1,7
miliar kasus penyakit diare terjadi setiap tahunnya. Diare merupakan
penyebab kematian nomor dua pada anak dibawah 5 tahun di Negara
dengan penghasilan ekonomi yang rendah. Sekitar 1,3 juta anak
meninggal setiap tahunnya, terutama di Negara Afrika dan Asia
(Wilson et al 2012).
Sepuluh data kesehatan anak dunia tahun 2011 menyebutkan bahwa :
1) Resiko tinggi kematian pada anak terjadi pada satu bulan awal
kehidupan, 2) Hampir 3 juta anak meninggal pada satu bulan awal
kehidupan, 3) Pneumonia merupakan penyebab kematian terbesar
pada anak usia dibawah lima tahun, 4) Diare merupakan gejala
terbanyak yang mengakibatkan kesakitan dan kematian anak di negara
berkembang, 5) Setiap menitnya satu anak meninggal akibat malaria,

6) Lebih dari 90% anak dengan HIV didapatkan dari transmisi ibu
atau pengasuh utama ke anak, 7) Sekitar 20 juta anak termasuk
kedalam kategori malnutrisi, 8) 80% dari dari jumlah kematian balita
terjadi di 25 negara, dan setengahnya terjadi di 5 negara berkembang,
9) Dua pertiga dari kematian balita diakibatkan oleh hal-hal yang
sebenarnya dapat dicegah, 10) Investasi kesehatan yang lebih besar
merupakan kunci utama (WHO 2012).
Penyakit diare masih merupakan masalah global dengan derajat
kesakitan dan kematian yang tinggi di berbagai Negara terutama di
Negara berkembang, dan sebagai salah satu penyebab utama tingginya
angka kesakitan dan kematian anak di dunia menurut WHO. Diare
adalah penyebab nomor satu kematian balita diseluruh dunia, dimana
setiap tahun 1,5 juta balita meninggal dunia akibat diare. Meskipun
mortalitas dari diare dapat diturunkan dengan program rehidrasi/terapi
cairan namun angka kesakitannya masih tetap tinggi. Berdasarkan
survei morbiditas yang dilakukan oleh Subdit Diare, proporsi terbesar
penderita diare pada balita adalah kelompok umur 6-11 bulan yaitu
sebesar 21,65%, lalu kelompok umur 12-17 bulan sebesar 14,43%,
kelompok umur 24-29 bulan sebesar 12,37%. Hal ini merupakan
masalah keehatan yang perlu diperhatikan terutama diare yang
umumnya diderita oleh bayi dan balita dapat menjadi penyumbang
kematian terbesar.Menurut hasil Riskesdas tahun 2013, insiden
penyakit diare pada balita adalah 10,2%, CFR Kejadian Luar Biasa
(KLB) diare di Indonesia pada tahun 2011 0,29% menigkat menjadi
2,06% di tahun 2012 lalu mengalami penurunan pada tahun 2013
menjadi 1,08% (Depkes 2011).
Di Indonesia, diare masih menjadi salah satu masalah kesehatan utama
dalam masyarakat. Hal ini disebabkan masih tingginya angka
kesakitan dan menimbulkan banyak kematian terutama pada bayi dan

balita, serta sering menimbulkan kejadian luar biasa (Adisasmito,


2007).
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), Studi Mortalitas dan
Riset Kesehatan Dasar dari tahun ke tahun diketahui bahwa diare
masih menjadi penyebab utama kematian balita di Indonesia.
Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2007, diare menjadi penyebab
utama kematian balita yaitu sebanyak 25,2% dibandingkan pneumonia
yang hanya 15,5%. Angka kesakitan diare balita tahun 2000-2010
tidak

menunjukkan

pola

kenaikan

maupun

pola

penurunan

(berfluktuasi). Pada tahun 2000 angka kesakitan balita 1,278 per 1000
sedangkan pada tahun 2010 menjadi 1,310 per 1000 dengan proporsi
terbesar penderita pada usia 6-36 bulan karena pada usia tersebut anak
mulai aktif bermain dan beresiko infeksi (Depkes 2011).
Angka kematian anak di Indonesia masih cukup tinggi. Data survei
Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 menunjukkan
bahwa angka kematian anak di Indonesia tidak banyak mengalami
penurunan dibanding hasil SDKI 2007. Angka kematian balita hanya
turun dari 44 per 1000 kelahiran hidup menjadi 40 per 1000 kelahiran
hidup. Hal ini masih jauh dari tujuan pencapaian MDGs ke 4 yang
menyebutkan bahwa target angka kematian balita diharapkan turun
mencapai 23/1000 kelahiran hidup pada tahun 2015 (SDKI 2012).
Provinsi Kalimantan Selatan masih banyak ditemui kasus diare,
sebagai perbandingan kasus diare pada tahun 2008 sebanyak 54.316
kasus, 2009 sebanyak 72.020 kasus, 2010 sebanyak 52.908 kasus,
serta tahun 2011 sebanyak 66.765 kasus (Profil Kesehatan Provinsi
Kalimantan Selatan Tahun 2012).
Profil kesehatan Puskesmas Cempaka Banjarmasin tahun 2015, Kasus
diare tergantung dengan musim dan bersifat situasional. Saat musim
kemarau dan menjelang hujan biasanya angka kasus diare mengalami
peningkatan. Terlebih pada musim kemarau dan bencana kabut asap

selama beberapa bulan tahun 2015 maka kasus diare diprediksi


cenderung meningkat. Hal tersebut dipengaruhi oleh perilaku hidup
bersih dan sehat pada individu. Selama tahun 2015 angka penderita
diare yang berkunjung ke puskesmas masih relatif tinggi, terutama
kunjungan luar wilayah kerja Puskesmas Cempaka Banjarmasin yang
mencapai 3,2 kali lipat pasien diare dalam wilayah. Kunjungan dalam
wilayah hanya 1,2% dari target 10% x 411/1000 x jumlah penduduk
atau secara kinerja capaian bernilai 28,5%.
Kasus pada penyakit diare, beberapa perilaku masyarakat dalam
penatalaksanaan

diare

pada

balita

di

rumah

tangga

belum

menunjukkan perbaikan dan belum sesuai dengan harapan. Menurut


laporan hasil survey morbiditas dan perilaku tata laksana diare oleh
Depkes tahun 2010, balita yang mengalami diare dan dibawa ke
petugas kesehatan hanya 73%. Sementara itu penanganan diare
dengan oralit juga masih tergolong rendah yaitu hanya 36,18 %. Hal
ini menunjukan bahwa masih perlunya peningkatan kemampuan tata
laksana balita dengan diare terutama di rumah tangga (Depkes 2011).
Diare dapat berakibat fatal apabila tidak ditangani secara serius karena
tubuh anak sebagian besar terdiri dari air, sehingga bila terjadi diare
sangat mudah terkena dehidrasi (Depkes 2010).
Menurut Sutoto 2010 hal yang bisa menyebabkan bayi mudah
terserang penyakit diare adalah perilaku hidup masyarakat yang
kurang baik dan keadaan lingkungan yang buruk. Selain itu faktor
tingkat pengetahuan ibu juga memiliki peran penting karena akan
berpengaruh pada pengetahuan ibu dalam berperilaku hidup bersih.
Keluarga menjadi fokus perhatian dalam memaksimalkan potensi
anak. Pengetahuan dan kesadaran keluarga serta masyarakat
memegang peranan yang sangat penting dalam memenuhi kebutuhan
esensial anak seperti kebutuhan gizi, pelayanan kesehatan, kasih
sayang, stimulasi perkembangan, pendidikan dan perlindungan anak
(Depkes RI 2011).

Ibu atau pengasuh utama merupakan bagian terdekat dari kehidupan


anak. Partisipasi Ibu atau pengasuh utama dan keluarga sangat penting
dalam penatalaksanaan balita sakit (Setyani, 2011). Ibu atau pengasuh
utama akan mencari pelayanan kesehatan jika merasa penyakit
anaknya serius (Goleman, 2000).
Peranan ibu dalam penanganan diare sangat penting, dimana ibu
adalah orang pertama melihat dan menghadapi anaknya yang sedang
menderita diare. Perilaku ibu dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya diperlukan suatu pengetahuan yang benar tentang
penanganan diare tersebut. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu
yang terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu
objek tertentu. Peningkatan pengetahuan tidak selalu menyebabkan
terjadinya perubahan sikap dan perilaku tetapi mempunyai hubungan
yang positif, yakni dengan peningkatan pengetahuan maka terjadinya
perubahan perilaku akan cepat (Notoatmodjo, 2012).
Program Pemerintah untuk mengatasi diare salah satunya dengan
mengadakan (Lintas Diare) Lima Langkah Tuntas Diare, yang terdiri
dari pemberian oralit osmolaritas rendah untuk mencegah terjadinya
dehidrasi, pemberian zinc untuk mengurangi lama dan tingkat
keparahan diare, pemberian ASI yang bertujuan untuk memberikan
makanan yang kaya nutrisi pada anak dengan diare cair agar
mendapatkan kembali nafsu makan anak setelah dehidrasi diperbaiki,
pemberian antibiotika hanya atas indikasi, pemberian nasihat kepada
ibu atau keluarga sangat diperlukan (Kemenkes RI 2011).
Departemen Kesehatan mulai melakukan sosialisasi Panduan Tata
Laksana Pengobatan Diare pada balita yang baru didukung oleh Ikatan
Dokter Anak Indonesia, dengan merujuk pada panduan WHO. Tata
Laksana ini sudah mulai diterapkan di rumah sakit rumah sakit.
Rehidrasi bukan satu-satunya strategi dalam penatalaksanaan diare.

Memperbaiki kondisi usus dan menghentikan diare juga menjadi cara


untuk

mengobati

pasien.

Untuk

itu,

Departemen

Kesehatan

menetapkan lima pilar penatalaksanaan diare bagi semua kasus diare


yang diderita anak balita baik yang dirawat di rumah maupun sedang
dirawat di rumah sakit, yaitu : 1) Rehidrasi dengan menggunakan
oralit baru, 2) Zinc diberikan selama 10 menit berturut turut, 3) ASI
dan makanan tetap diteruskan, 4) Antibiotik selektif, 5) Nasihat
kepada orang tua (Juffrie dkk, 2012).
Oralit adalah larutan untuk merawat diare. Larutan ini mempunyai
komposisi

campuran

anhidrat, dan natrium

natrium

klorida, kalium

bikarbonat.

Larutan

klorida, glukosa

rehidrasi

oral

ini

mempunyai nama generik oralit dan larutan ini sekarang dijual dengan
berbagai merek dagang seperti Alphatrolit, Aqualyte, Bioralit dan
Corsalit. Larutan ini sering disebut rehidrasi oral. Berikan segera bila
anak diare, untuk mencegah dan mengatasi dehidrasi.
Oralit dikembangkan dari kejadian luar biasa diare di Asia Selatan
yang terutama disebabkan disentri, yang menyebabkan berkurangnya
lebih banyak elektrolit tubuh, termasuk natrium. Sedangkan diare
yang lebih banyak terjadi akhir akhir ini dengan tingkat sanitasi
yang lebih baik adalah disebabkan oleh karena virus. Diare karena
virus tersebut tidak menyebabkan kekurangan elektrolit seberat pada
disentri (Juffrie dkk, 2012).
Diare dapat menyebabkan dehidrasi sedang dan berat. Sementara itu
dehidrasi dapat menyebabkan kematian padahal berbagai upaya telah
dilakukan untuk menurunkan kejadian diare. Kekurang berhasilan
masyarakat dalam melaksanakan tatalaksana diare khususnya oralit
antara lain karena perbedaan konsep antara pekerja kesehatan dan
masyarkat (Malikah, 2013).
Petugas kesehatan menganggap oralit adalah obat diare, sehingga saat
ibu-ibu melihat bahwa oralit tidak menghentikan diare ibu-ibu juga
berhenti

menggunakan

oralit.

Selain

itu

masalah

kurangnya

pengetahuan masyarakat, ketidaktepatan konsentrasi larutan dan tidak


tersedianya sumber informasi yang jelas dan manfaat oralit kurang
bermakna untuk diare ini. Fakta di atas menunjukan masih banyak
yang harus dipelajari dalam penanganan diare di masyarakat.
Mengingat dampak diare bermakna pada keadaan gizi dan kesehatan
bahkan kelangsungan hidup bayi dan anak, perlu diterapkan cara
penanggulangan diare yang cepat dan tepat oleh masyarakat. Kata
tepat disini berarti bahwa penanggulangan diare yang mujarab, baik
untuk pengobatan maupun untuk pencegahan diterapkan dalam
lingkungan sosial budaya setempat (Mahalanabis, 2005)
Latar belakang diatas tingkat pengetahuan ibu memiliki peran penting
dalam penatalaksanaan balita sakit, peranan ibu dalam penanganan
diare sangat penting, dimana ibu adalah orang pertama melihat dan
menghadapi anaknya yang sedang menderita diare, diperlukan suatu
pengetahuan yang benar tentang penanganan diare tersebut. Oralit
merupakan salah satu pilihan untuk mencegah dan mengatasi
dehidrasi karena oralit sudah dilengkapi dengan elektrolit sehingga
dapat mengganti elektrolit yang ikut hilang bersama cairan.
Studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 4-5 agustus 2016
diperoleh dengan wawancara 10 orang responden di wilayah
Puskesmas Cempaka Banjarmasin, diperoleh 6 ibu yang anaknya
menderita diare dengan mengetahui cara pengolahan cairan rehidrasi
oral (oralit) serta mengetahui kegunaannya bagi anak diare, sedangkan
4 ibu yang anaknya menderita diare tidak mengetahui cara pengolahan
cairan rehidrasi oral (oralit) dan kurang pengetahuan tentang kegunaan
cairan rehidrasi oral (oralit).
Dari uraian diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
tentang Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Pemberian Cairan Oralit
dengan Kesembuhan Diare Pada Balita di Puskesmas Cempaka
Banjarmasin tahun 2016.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang tersebut dapat dirumuskan masalah penelitian
sebagai berikut apakah ada hubungan pengetahuan ibu tentang
pemberian cairan

oralit dengan kesembuhan diare pada balita di

Puskesmas Cempaka Banjarmasin tahun 2016.


1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui
hubungan antara pengetahuan ibu tentang pemberian cairan
oralit dengan kesembuhan diare pada balita di Puskesmas
Cempaka Banjarmasin.
1.3.2

Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mengidentifikasi pengetahuan ibu tentang pemberian
cairan oralit pada balita di Puskesmas Cempaka
Banjarmasin.
1.3.2.2 Mengidentifikasi kesembuhan diare pada balita di
Puskesmas Cempaka Banjarmasin.
1.3.2.3 Menganalisis hubungan pengetahuan ibu tentang
pemberian cairan oralit dengan kesembuhan diare
pada balita di Puskesmas Cempaka Banjarmasin.

10

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Bagi Puskesmas
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan
bagi jajaran petugas kesehatan Puskesmas yang selama ini
telah melakukan penatalaksanaan pemberian cairan oralit
sebagai terapi diare pada balita.

1.4.2

Bagi Profesi Keperawatan


Hasil penelitian ini dapat diaplikasikan dalam penerapan
asuhan keperawatan pada balita diare.

1.4.3

Bagi Perguruan Tinggi


Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kepustakaan
bagi

seluruh

mahasiswa

Universitas

Muhammadiyah

Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan.


1.4.4

Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan acuan bagi
peneliti selanjutnya yang melaksanankan penelitian yang
berhubungan dengan pemberian oralit pada balita diare.

1.5 Penelitian Terkait


Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya yang berhubungan
dengan penelitian ini yaitu :
1.5.1 M. Ade Rahmadani 2010. Gambaran perilaku ibu Balita dalam
Penggunaan Oralit Sebagai Upaya Penanganan Diare di Desa
Sungai Pandan Tengah Kabupaten Hulu Sungai Utara.
Metode penelitian ini adalah deskriptif mengenai perilaku ibu
balita yang terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan
penggunaan oralit. Dalam arti untuk melihat gambaran
bagaimana seseorang yang telah mengetahui stimulus atau
objek, kemudian memberikan penilaian atau pendapat terhadap
stimulus tersebut, serta bagaimana pelaksanaan atau praktinya.
Atas apa yang diketahui atau disikapinya tersebut (dinilai
baik). Populasi penelitian ini adalah semua ibu balita yang

11

terdapat di Desa Sungai Pandan Tengah dengan sampel


sebanyak 37 orang. Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner
berjumlah 30 pertanyaan dengan mempertimbangkan validitas
dan relibilitasnya. Hasil penelitian dari 37 ibu balita,
didapatkan bahwa karakteristik perilaku ibu balita dalam
penggunaan oralit sebagai upaya awal penanganan diare adalah
termasuk kategori baik yaitu sebanyak 20 ibu balita (54,1%)
dengan memiliki pengetahuan yang tinggi sebanyak 22 ibu
balita (59,5%) sikap yang positif 20 ibu balita (54,1%), dan
tindakan dengan kategori tepat 18 ibu balita (48,6%).
1.5.2

Winda Novianti 2009. Gambaran Tentang Pendidikan Ibu


Balita yang Menderita Penyakit Diare di Puskesmas Cempaka
Banjarmasin 2009. Penelitian ini menggunakan metode
Deskriptif, sampel dalam penelitian ini adalah semua ibu yang
mempunyai balita diare di wilayah puskesmas cempaka
Banjarmasin.

1.5.3

Erma Yuli Astuti, 2011. Gambaran Peran Ibu dalam


Pencegahan Diare pada Balita Usia 6-24 Bulan yang Mendapat
Pengganti Air Susu Ibu (PASI) di Puskesmas Cempaka Putih
Banjarmasin. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode Deskriptif, populasinya adalah seluruh ibu yang
mempunyai Balita usia 6-24 bulan yang mendapat PASI di
puskesmas

cempaka

putih

Banjarmasin,

penelitian

ini

bertujuan untuk mengetahui peran ibu dalam pencegahan diare


pada Balita usia 6-24 bulan yang mendapat PASI di puskesmas
cempaka putih Banjarmasin.
Perbedaan penelitian ini dengan peneliti sebelumnya terletak pada
variabel, tempat, dan waktu penelitian. Variabel yang akan diteliti
adalah pengetahuan ibu tentang pemberian cairan oralit dan
kesembuhan diare pada balita di Puskesmas Cempaka Banjarmasin
2016.

Anda mungkin juga menyukai