Referat Hipertiroid Gestasional
Referat Hipertiroid Gestasional
PENDAHULUAN
Kelainan tiroid merupakan kelainan endokrin tersering kedua yang ditemukan
selama kehamilan. Berbagai perubahan hormonal dan metabolik terjadi selama
kehamilan, menyebabkan perubahan kompleks pada fungsi tiroid maternal.
Hipertiroid adalah kelainan yang terjadi ketika kelenjar tiroid menghasilkan hormon
tiroid yang berlebihan dari kebutuhan tubuh. (Williams Obstetrics 23rd. 2010)
Disfungsi tiroid autoimun umumnya menyebabkan hipertiroidisme dan
hipotiroidisme pada wanita hamil. Kelainan endokrin ini sering terjadi pada wanita
muda dan dapat mempersulit kehamilan. Sekitar 90% dari hipertiroidisme disebabkan
oleh penyakit Grave, struma nodosa toksik baik soliter maupun multipel dan adenoma
toksik. Penyakit Grave pada umumnya ditemukan pada usia muda yaitu antara 20
sampai 40 tahun, sedang hipertiroidisme akibat struma nodosa toksik ditemukan pada
usia yang lebih tua yaitu antara 40 sampai 60 tahun. Oleh karena penyakit Grave
umumnya ditemukan pada masa subur, maka hampir selalu hipertiroidisme dalam
kehamilan adalah hipertiroidisme Grave, walaupun dapat pula disebabkan karena
tumor trofoblas, molahidatidosa, dan struma ovarii. Prevalensi hipertiroidisme di
Indonesia belum diketahui. Di Eropa berkisar antara 1 sampai 2 % dari semua
penduduk dewasa. Hipertiroidisme lebih sering ditemukan pada wanita daripada lakilaki dengan ratio 5:1. Kekerapannya diperkirakan 2 : 1000 dari semua kehamilan,
namun bila tidak terkontrol dapat menimbulkan krisis tiroid, persalinan prematur,
abortus dan kematian janin. Tiroiditis postpartum adalah penyakit tiroid autoimun
yang terjadi selama tahun pertama setelah melahirkan. Penyakit ini memberikan
gejala tirotoksikosis transien yang diikuti dengan hipotiroidisme yang biasanya terjadi
pada 8-10% wanita setelah bersalin. (Girling, Joanna. 2008, Inoue, Miho, et al. 2009)
Pengelolaan penderita hipertiroidisme dalam kehamilan memerlukan perhatian
khusus, oleh karena baik keadaan hipertiroidismenya maupun pengobatan yang
diberikan dapat memberi pengaruh buruk terhadap ibu dan janin.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
pembesaran kelenjar tiroid adalah hal yang fisiologis, merupakan kompensasi adaptasi
terhadap peningkatan kebutuhan iodin yang berhubungan dengan kehamilan.
c. Thyroxine Binding Globulin
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, peningkatan TBG menyebabkan
peningkatan ikatan tiroksin, yang merupakan faktor ketiga yang mempengaruhi fungsi
tiroid selama kehamilan. Hormon tiroid dalam serum diangkut oleh tiga protein, yaitu
Thyroxine Binding Globulin (TBG), albumin, dan Thyroxine Binding Prealbumin
(TBPA) atau transtiretin. Dari ketiga protein tersebut, TBG memiliki afinitas yang
lebih tinggi terhadap tiroksin. Pada pasien tidak hamil, sekitar 2/3 dari hormon
tiroksin diikat oleh TBG. Pada kehamilan normal, terjadi peningkatan dari konsentrasi
TBG sekitar dua kali lipat dari normal selama kehamilan sampai 6-12 bulan setelah
bersalin. Hal ini menggambarkan peningkatan kadar hormon tiroksin total (TT4) pada
semua wanita hamil, namun kadar tiroksin bebas (FT4) dan indeks tiroksin total (FTI)
normal. Untuk menjamin kestabilan kadar hormon bebas, mekanisme umpan balik
merangsang pelepasan TSH yang bekerja untuk meningkatkan pengeluaran hormon
dan menjaga kestabilan hemostasis kadar hormon bebas. Peningkatan konsentrasi
TBG merupakan efek langsung dari meningkatnya kadar estrogen selama kehamilan.
Estrogen merangsang peningkatan sintesis TBG, memperpanjang waktu paruh dalam
sirkulasi, dan menyebabkan peningkatan konsentrasi TBG serum. Estrogen juga
merangsang hati untuk mensintesis TBG dan menyebabkan penurunan kapasitas
TBPA. Pada akhirnya, proporsi hormon tiroksin dalam sirkulasi yang berikatan
dengan TBG meningkat selama kehamilan, dan dapat mencapai 75%. Kadangkala
perubahan hormonal ini dapat membuat pemeriksaan fungsi tiroid selama kehamilan
sulit diinterpretasikan.
2.2 Epidemiologi
Prevalensi hipertiroid di Amerika Serikat diperkirakan sebesar 1%. Penyebab
tersering adalah penyakit Grave, yang 5-10 kali lebih sering dialami wanita dengan
puncaknya pada usia reproduktif. Prevalensi hipertiroid dalam kehamilan 0,1-0,4%,
85% dalam bentuk penyakit Grave. Sama halnya seperti penyakit autoimun lain,
tingkat aktivitas penyakit Grave dapat berfluktuasi saat trimester pertama dan
membaik perlahan setelahnya; dapat mengalami eksaserbasi tidak lama setelah
melahirkan. Walaupun jarang, persalinan, seksio sesarea, dan infeksi dapat memicu
hipertiroid atau bahkan badai tiroid (thyroid storm). (Prawirohardjo, S. 2011)
2.3
Etiologi
Hipertiroid dalam kehamilan dapat berupa penyakit Graves, hiperemesis
gravidarum, tirotoksikosis gestasional sementara, dan kehamilan mola. Di antara
keempat penyebab hipertiroid dalam kehamilan, penyakit graves paling sering terjadi,
sekitar 1 dari 500 kehamilan. (Inoue, Miho, et al. 2009)
Penyakit graves merupakan kelainan autoimun kompleks dengan tanda
tirotoksikosis, oftalmopati (lid lag, lid retraction, dan eksoftalmus), dan dermopati
(miksedema pretibial). Hal ini dimediasi oleh immunoglobulin yang merangsang
tiroid. Pasien dengan riwayat penyakit graves dimana cenderung terjadi remisi pada
kehamilan dan relaps kembali setelah bersalin. (Garry, Dimitry. 2013)
Selain penyakit graves, hipertiroid dalam kehamilan juga dapat disebabkan
oleh hiperemesis gravidarum. Hiperemesis gravidarum ditandai dengan ditemukannya
gejala
muntah
berlebihan
pada
awal
kehamilan
yang
menyebabkan
Gejala Klinis
6
Wanita yang memiliki riwayat keluarga dengan kelainan tiroid atau penyakit
autoimun memiliki resiko yang lebih tinggi mengidap penyakit hipertiroid. Gejala
yang sering timbul biasa adalah intoleransi terhadap panas, berkeringat lebih banyak,
takikardi, dada berdebar, mudah lelah namun sulit untuk tidur, gangguan saluran
cerna, berat badan menurun meskipun asupan makan cukup, mudah tersinggung,
merasa cemas dan gelisah. Selain itu dapat juga timbul tanda-tanda penyakit graves,
seperti perubahan mata, tremor pada tangan, miksedema pretibial dan pembesaran
kelenjar tiroid. (Rull, Gurvinder. 2010, Williams Obstetrics 23rd. 2010)
2.5
Diagnosis
Diagnosis klinis hipertiroid pada wanita hamil biasanya sulit ditegakkan. Hal
ini dikarenakan wanita dengan hipertiroid memiliki beberapa tanda-tanda sistem
hiperdinamik seperti peningkatan curah jantung dengan bising sistolik dan takikardi,
kulit hangat, dan intoleransi terhadap panas. Tanda hipertiroid seperti berat badan
turun, dapat menjadi tidak jelas oleh kenaikan berat badan karena kehamilan.
Mengingat kebanyakan kasus disebabkan oleh penyakit Grave, dicari tanda-tanda
oftalmopati Grave (tatapan melotot, kelopak tertinggal saat menutup mata,
eksoftalmos) dan bengkak tungkai bawah (pretibial myxedema). Adanya onkilosis
atau pemisahan kuku distal dari nailbed, dapat juga membantu dalam menegakkan
diagnosis klinis hipertiroid. (Garry, Dimitry. 2013)
Peningkatan kadar T3 serum dapat meningkatkan densitas reseptor adrenergik sel miokardium sehingga curah jantung meningkat walaupun saat istirahat
dan terjadi aritmia (fibrilasi atrium). Denyut nadi saat istirahat biasanya di atas 100
kali per menit dan jika denyut nadi tetap atau tidak menjadi lambat selama melakukan
manuver Valsava, diagnosis tirotoksikosis menjadi lebih mungkin. (Williams
Obstetrics 23rd. 2010)
Diagnosis hipertiroid dalam kehamilan dapat ditegakkan melalui pemeriksaan
fisis dan laboratorium, terutama pemeriksaan fungsi tiroid. Pada kehamilan, kadar T 3
total dan T4 total meningkat seiring meningkatnya konsentrasi TBG. Kadar FT 3 dan
FT4 dalam batas normal tinggi pada kehamilan trimester pertama dan kembali normal
pada trimester kedua. Nilai T4 total tidak bermanfaat pada wanita hamil karena
nilainya yang tinggi merupakan respon terhadap estrogen yang meningkatkan
konsentrasi TBG. FT3 sebaiknya diperiksa ketika nilai TSH rendah tetapi kadar FT4
normal. Peningkatan kadar T3 menunjukkan toksikosis T3. Pemeriksaan TSH saja
7
Penyebab
Penyakit
Graves
HIPERTIROID GESTASIONAL
Gejala
Tanda
Laboratorium
Intoleran pada Takikardi > 100 T4, FT4
Curah jantung TSH
panas
(+) anti-tiroid
Berat badan Tekanan nadi
Bising sistolik
Palpitasi
antibody
Oftalmopati Berkeringat
Hiperemesis
dermopati
Mual / muntah Keadaan
Gravidarum
yang
berlebihan
Berat badan
eutiroid
Dehidrasi
Keterangan
Remisi
selama
kehamilan
Postpartum
flare
Sembuh
dalam 18
atau sedikit
Tidak jelas
peningkatan T4
terapi
minggu tanpa
50.000 IU/L
TSH minimal
hCG
Ketonuria,
elektrolit tidak
seimbang,
kelainan hati
Kehamilan
Mola
Mual / muntah
Perdarahan
Toksemia
Tidak ada
trimester
perkembangan
pertama
bayi
dan ginjal
T4, FT4
TSH
(ditekan)
bhCG
Evakuasi
Hipertiroid
menghilang
sejalan
dengan
normalnya
bhCG
2.6
Penatalaksanaan
Hipertiroid yang ringan (peningkatan kadar hormon tiroid dengan gejala
minimal) sebaiknya diawasi sesering mungkin tanpa terapi sepanjang ibu dan bayi
dalam keadaan baik. Pada hipertiroid yang berat, membutuhkan terapi, obat anti-tiroid
adalah pilihan terapi, dengan PTU sebagai pilihan pertama. Tujuan dari terapi adalah
9
menjaga kadar T4 dan T3 bebas dari ibu dalam batas normal-tinggi dengan dosis
terendah terapi anti-tiroid. Target batas kadar hormon bebas ini akan mengurangi
resiko terjadinya hipotiroid pada bayi. Hipotiroid pada ibu sebaiknya dihindari.
Pemberian terapi sebaiknya dipantau sesering mungkin selama kehamilan dengan
melakukan tes fungsi tiroid setiap bulannya. Obat-obat yang terpenting digunakan
untuk mengobati hipertiroid (propiltiourasil dan metimazol) menghambat sintesis
hormon tiroid. Laporan sebelumnya mengenai hubungan terapi metimazol dengan
aplasia kutis, atresia oesophagus, dan atresia khoana pada fetus tidak diperkuat pada
penelitian selanjutnya, dan tidak terdapat bukti lain menyangkut obat lain yang
berefek abnormalitas kongenital. Oleh karena itu, PTU sebaiknya dipertimbangkan
sebagai obat pilihan pertama dalam terapi hipertiroid selama kehamilan dan
metimazol sebagai pilihan kedua yang digunakan jika pasien tidak cocok, alergi, atau
gagal mencapai eutiroid dengan terapi PTU. Kedua obat tersebut jarang menyebabkan
neutropenia dan agranulositosis. Oleh karena itu, pasien sebaiknya waspada terhadap
gejala-gejala infeksi, terutama sakit tenggorokan, dapat dihubungkan dengan supresi
sumsum tulang dan harus diperiksa jumlah neutrofil segera setelah menderita.
(Girling, Joanna. 2008, Marx, Helen, et al. 2009, Williams Obstetrics 23rd. 2010)
Propiltiourasil dan metimazol keduanya dapat melewati plasenta. Namun,
PTU menjadi pilihan terapi pada ibu yang hipertiroid karena kadar transplasentalnya
jauh lebih kecil dibandingkan dengan metimazol. TSH reseptor stimulating antibodi
juga melalui plasenta dan dapat mempengaruhi status tiroid fetus dan neonatus.
(Girling, Joanna. 2008)
10
Wanita yang sedang dalam terapi antitiroid sebaiknya tidak berhenti menyusui
bayinya karena kedua obat anti tiroid tersebut aman. Keduanya ada dalam air susu ibu
(metimazole kadarnya lebih besar dibandingkan PTU), tetapi hanya dalam konsentrasi
yang lebih rendah. Jika pasien mengkonsumsi lebih dari 15 mg karbimazol atau 150
mg propiltiourasil sehari, bayi sebaiknya diperiksa dan mereka sebaiknya tidak
disusui sebelum ibunya mendapatkan terapi dengan dosis terbagi. (Garry, Dimitry.
2013)
Beta-blocker khususnya propanolol dapat digunakan selama kehamilan untuk
membantu mengobati palpitasi yang signifikan dan tremor akibat hipertiroid. Untuk
mengendalikan tirotoksikosis, propanolol 20 40 mg setiap 6 jam, atau atenolol 50
-100 mg/hari selalu dapat mengontrol denyut jantung ibu antara 80-90 kali per menit.
Esmolol, -blocker kardio seleketif, efektif pada wanita hamil dengan tirotoksikosis
yang tidak berespon pada propanolol. Obat-obat ini hanya digunakan sampai
hipertiroid terkontrol dengan obat anti tiroid. (Marx, Helen, et al. 2008)
Pada pasien yang tidak adekuat diterapi dengan pengobatan anti-tiroid seperti
pada pasien yang alergi terhadap obat-obat, pembedahan merupakan alternatif yang
dapat diterima. Pembedahan pengangkatan kelenjar tiroid sangat jarang disarankan
pada wanita hamil mengingat resiko pembedahan dan anestesi terhadap ibu dan bayi.
Jika tiroidektomi subtotal direncanakan, pembedahan sering ditunda setelah
kehamilan trimester pertama atau selama trimester kedua. Alasan dari penundaan ini
adalah untuk mengurangi resiko abortus spontan dan juga dapat memunculkan resiko
tambahan lainnya. (Inoue, Miho, et al. 2009, Williams Obstetrics 23rd. 2010)
11
(Sumber
2.7
Komplikasi
Hipertiroid yang tidak terkontrol, terutama pada pertengahan masa hamil,
dapat memicu beberapa komplikasi. Komplikasi maternal di antaranya keguguran,
12
infeksi, preeklamsia, persalinan preterm, gagal jantung kongesti, badai tiroid, dan
lepasnya plasenta. Komplikasi fetus dan neonatus di antaranya prematur, kecil untuk
masa kehamilan, kematian janin dalam rahim, dan goiter pada fetus atau neonatus dan
atau tirotoksikosis. Pengobatan yang belebihan juga dapat menyebabkan hipotiroid
iatrogenik pada fetus. (Williams Obstetrics 23rd. 2010)
Jika wanita dengan penyakit graves atau yang pernah diobati untuk penyakit
graves sebelumnya, antibodi tiroid-stimulating yang dihasilkan ibu dapat melewati
plasenta sehingga masuk ke dalam aliran darah fetus dan merangsang tiroid fetus. Jika
ibu dengan penyakit graves sedang diobati dengan obat anti tiroid, hipertiroid pada
bayi kurang bermakna karena obat-obatan tersebut juga dapat melintasi plasenta.
Namun, jika ibunya diobati dengan pembedahan atau radioaktif iodin, kedua metode
terapi tersebut dapat menghancurkan seluruh tiroid, namun pasien masih dapat
memiliki antibodi dalam darahnya. (Marx, Helen, et al. 2008)
Pada kebanyakan kasus, bayi tetap eutiroid. Namun, pada sebagian dapat
terjadi hiper- atau hipotiroidisme dengan atau tanpa gondok. Hipertiroidisme klinis
terjadi pada sekitar 1% neonatus yang lahir dari wanita dengan penyakit Graves. Jika
dicurigai terjadi penyakit tiroid pada janin maka tersedia sonogram untuk mengukur
volume tiroid secara sonogravis. Neonatus yang terpajan ke tiroksin ibu secara
berlebihan memperlihatkan gambaran klinis berikut. (Williams Obstetrics 23rd. 2010):
1. Janin atau neonatus dapat memperlihatkan tirotoksikosis gaitrosa akibat
penyaluran thyroid stimulating immunoglobulin melalui plasenta. Hidrops non
imun dan kematian janin pernah dilaporkan pada tirotoksikosis janin.
2. Terpajannya janin ke tionamid yang diberikan kepada ibu dapat menyebabkan
hipotiroidisme graitosa. Jika dijumpai hipotiroidisme maka janin dapat diobati
dengan mengurangi obat antitiroid ibu dan penyuntikan tiroksin intra-amnion jika
diperlukan.
3. Janin dapat mengalami hipotiroidisme non-goitrosa akibat penyaluran antibodi
penghambat reseptor tirotropin ibu melalui plasenta.
4. Bahkan setelah ablasi kelenjar tiroid ibu, biasanya dengan iodium radioaktif
I,
131
meliputi
pemberian
cairan
intravena,
hidrokortison,
propanolol, iodin oral, dan karbimazol atau propiltiourasil dalam dosis tinggi. Terapi
badai tiroid terdiri dari rangkaian pengobatan berupa (Williams Obstetrics 23rd. 2010):
a. Terapi suportif secara umum sebaiknya dilakukan
b. Terapi spesifik :
1. PTU 1000 mg per oral atau melalui nasogastric tube. Dilanjutkan dengan
200 mg per oral setiap 6 jam. Jika pemberian melalui oral tidak
memungkinkan, dapat digunakan metimazol suppositoria.
2. 1 jam setelah pemberian PTU, diberikan yodium untuk menghambat
pelepasan hormone tiroid. Dapat diberikan dalam bentuk sodium iodide
5001000 mg secara intravena setiap 8 jam, atau saturated solution of
potassium iodide (SSKI) 5 tetes per oral setiap 8 jam, atau larutan lugol 10
tetes setiap 8 jam.
3. Dexamethasone 2 mg secara intravena setiap 6 jam untuk 4 dosis, untuk
mencegah konversi dari T4 menjadi T3 di jaringan perifer.
4. Propanolol 20-80 mg per oral setiap 4-6 jam.
5. Phenobarbital 30-60 mg per oral setiap 6-8 jam, diperlukan pada gelisah
yang berlebihan.
6. Fetus sebaiknya dievaluasi dengan tepat dengan USG atau pemeriksaan
nonstress tergantung umur kehamilan.
BAB III
KESIMPULAN
Kehamilan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap regulasi fungsi tiroid pada
wanita sehat dan pada pasien dengan kelainan tiroid. Pengaruh ini perlu dikenali dengan
seksama, didiagnosis dengan jelas, dan diterapi dengan tepat. Kelainan fungsi tiroid terjadi
dalam 1-2% kehamilan, namun kelainan fungsi tiroid subklinik baik itu hipertiroid mungkin
14
lebih banyak yang tidak terdiagnosis jika tidak diskrining lebih awal. Kehamilan
meningkatkan kecepatan metabolisme, aliran darah, denyut jantung, curah jantung, dan
beberapa gejala subjektif seperti kelelahan, dan intoleran terhadap panas yang dapat
menunjukkan kemungkinan adanya tirotoksikosis. Perubahan metabolik lain yang juga
berefek pada aksis hipotalamus-hipofisis-tiroid adalah rangsangan langsung hCG terhadap
tiroid ibu yang kemudian berakibat peningkatan metabolisme tiroksin. Penyebab utama
tirotoksikosis dalam kehamilan diantaranya penyakit Graves dan hipertiroid gestasional nonautoimun.
Perjalanan
penyakit
Graves
selama
kehamilan
berubah-ubah,
dengan
kecenderungan membaik pada trimester kedua dan ketiga, dan mengalami eksaserbasi selama
masa postpartum. Perubahan ini merupakan akibat dari supresi sistem imun selama
kehamilan. Dampak buruk akibat hipertiroid dalam kehamilan seperti resiko preeklamsia
yang tinggi dan gagal jantung kongestif adalah beberapa komplikasi yang mungkin terjadi
pada pasien dengan pengendalian kondisi yang rendah. Wanita hamil dengan hasil TSI positif
atau yang sedang menggunakan obat anti tiroid sebaiknya diperiksa juga kemungkinan
terjadinya kelainan fungsi tiroid pada fetus. Perlu diingat dalam mengobati pasien hipertiroid
bahwa semua obat-obat anti tiroid dapat melewati plasenta dan dapat berefek terhadap fungsi
tiroid fetus.
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham, F. Gary, Leveno, Kenneth J., Bloom, Steven L., Hauth, John C., Rouse,
Dwight J. & Spong, Catherine Y. eds. (2010) Williams Obstetrics. 23rd. United States :
The McGraw Hill Companies, Inc.
2. Garry, Dimitry. (2013) Penyakit Tiroid pada Kehamilan. CDK-206/ vol. 40 no. 7, th.
3. Girling, Joanna. (2008) Thyroid Disease in Pregnancy. The Obstetrician &
Gynaecologist, 10, pp. 237-243.
15
4. Inoue, Miho, Arata, Naoko, Koren, Gideon & Ito, Shinya. (2009) Hyperthyroidism
during Pregnancy. Canadian Family Physician, Vol 55 July, pp. 701-703.
5. Marx, Helen, Amin, Pina & Lazarus, John H. (2008) Hyperthyroidism and Pregnancy.
British Medical Journal, Vol 336 March, pp. 663-667.
6. Prawirohardjo, S. 2011. Kehamilan dan Gangguan Endokrin dalam ilmu kandungan
Edisi Ketiga. Jakarta Pusat: Yayasan Bina Pustaka hl; 201-208
16