Anda di halaman 1dari 15

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit muskuloskeletal telah menjadi masalah yang banyak dijumpai di
pusat pelayanan kesehatan di seluruh dunia yang salah satunya adalah fraktur.
Dengan makin pesatnya kemajuan lalu-lintas di Indonesia baik dari segi jumlah
pemakai jalan, jumlah kendaraan, jumlah pemakai jalan, jumlah pemakai jasa
angkutan, dan bertambahnya jalan serta kecepatan kendaraan, maka mayoritas
fraktur adalah akibat kecelakaan lalu-lintas.1 Kecelakaan lalu lintas selain
menyebabkan fraktur, menurut WHO, juga menyebabkan kematian 1,25 juta
orang setiap tahunnya,dimana sebagian besar korbannya adalah remaja atau
dewasa muda.2
Fraktur adalah terputusnya hubungan/kontinuitas struktur tulang atau
tulang rawan bisa komplet atau inkomplet atau diskontinuitas tulang yang
disebabkan oleh gaya yang melebihi elastisitas tulang. Kebanyakan fraktur akibat
dari trauma, beberapa fraktur sekunder terhadap proses penyakit seperti
osteoporosis, yang menyebabkan fraktur yang patologis.3
Penegakan diagnosis fraktur dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan
fisik, yang ditunjang dengan pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan pencitraan
diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis fraktur dan mengevaluasi
komplikasi yang terjadi dalam rangka menunjang pengambilan keputusan terapi
pada pasien.

1.2 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk menambah wawasan
penulis juga pembaca mengenai kasus fraktur.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fraktur
2.1.1 Definisi Fraktur
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang di tandai oleh rasa nyeri,
pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan dan krepitasi. 4,5

2.1.2 Etiologi Fraktur


Penyebab fraktur Menurut Reksoprodjo(2010)1 :
a) Trauma
-. Trauma langsung : benturan pada tulang secara langsung dan
mengakibatkan terjadi fraktur di tempat itu.
-. Trauma tidak langsung : titik tumpu benturan dengan terjadinya
fraktur berjauhan.
b) Fraktur patalogis

disebabkan

karena

proses

penyakit

seperti

osteoporosis, kanker tulang.


c) Degenerasi
Terjadi kemunduran patologis dari jaringan itu sendiri atau usia lanjut.
2.1.3 Klasifikasi Fraktur
A. Berdasarkan ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan dunia
luar6:
a) Fraktur tertutup (closed)
Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen

tulang dengan dunia luar, disebut dengan fraktur bersih tanpa


komplikasi. Pada fraktur ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan
keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu :
Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera

jaringan lunak.
Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan

jaringan subkutan.
Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan
lunak bagian dalam dan pembengkakan.

Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang

nyata dan ancaman sindroma kompartement.


b) Fraktur terbuka (open/compound fraktur)6
Dikatakan terbuka bila tulang yang patah menembus otot dan kulit yang
memungkinkan / potensial untuk terjadi infeksi dimana kuman dari luar
dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang patah. Derajat patah
tulang terbuka,yaitu :
Derajat I : Laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen

minimal.
Derajat II : Laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya,

dislokasi fragmen jelas.


Derajat III : Luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan
sekitar.

B. Berdasarkan derajat kerusakan tulang 6


a) Patah tulang lengkap (Complete fraktur)
Dikatakan lengkap bila patahan tulang terpisah satu dengan yang lainya,
atau garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari tulang
dan fragmen tulang biasanya berubah tempat.
b) Patah tulang tidak lengkap ( Incomplete fraktur )
Bila antara patahan tulang masih ada hubungan sebagian. Salah satu sisi
patah yang lainya biasanya hanya bengkok yang sering disebut green
stick.
C. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme
trauma6 :
a) Fraktur Transversal
Fraktur yang arahnya malintang pada tulang dan merupakan akibat
trauma angulasi atau langsung.
b) Fraktur Oblik
fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu
tulang dan merupakan akibat dari trauma angulasi juga
c) Fraktur Spiral
Fraktur yang arah garis patahnya spiral yang di sebabkan oleh trauma
rotasi.
d) Fraktur Kompresi
Fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang
kearah permukaan lain.
e) Fraktur Avulsi

Fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada
insersinya pada tulang.

D. Berdasarkan jumlah garis patahan1 :


a) Fraktur Komunitif
Fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
b) Fraktur Segmental
Fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
c) Fraktur Multiple
Fraktur diman garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang
sama.
2.1.4 Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis fraktur adalah7 :
1) Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
di imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar
fragmen tulang.
2) Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan
cenderung bergerak tidak alamiah bukan seperti normalnya,
pergeseran fraktur menyebabkan deformitas, ekstremitas yang bisa
diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas yang normal.
Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal
otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
3) Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat
fraktur.
4) Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
yang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen
satu dengan yang lainya.
5) Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai
akibat dari trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini
biasanya baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
2.1.5 Diagnosis
Harus disebut jenis tulang atau bagian tulang yang mempunyai nama
sendiri, kiri atau kanan, bagian mana dari tulang 1/3 proksimal,tengah, atau distal,

komplit atau tidak, bentuk garis patah, bergeser tidak bergeser, terbuka atau
tertutup dan komplikasi bila ada1.
Diagnosa fraktur ditegakkan berdasarkan :
1) Anamnesa : ada trauma
Bilamana tidak ada trauma berarti fraktur patologis. Trauma harus
terperinci jenisnya, besar-ringannya, arah trauma dan posisi penderita atau
ekstremitas yang bersangkutan (mekanisme trauma).
2) Pemeriksaan umum
Dicari kemungkinan komplikasi umum, misalnya: syok pada fraktur
multiple, fraktur pelvis atau fraktur terbuka, tanda-tanda sepsis pada
fraktur terbuka terinfeksi.
3) Pemeriksaan status lokalis
a) Look
Deformitas
Fungsio laesa
b) Feel
Terdapat nyeri tekan dan nyeri sumbu
c) Move
Krepitasi : terasa bila fraktur digerakkan, tetapi ini bukan cara
yang baik dan kurang halus. Krepitasi timbul oleh pergeseran
atau beradunya ujung-ujung kortikal. Pada tulang spongiosa

atau tulang epifisi tidak terasa krepitasi.


Nyeri bila digerakkan, baik aktif maupun pasif
Memeriksa seberapa jauh gangguan-gangguan fungsi, gerakangerakan yang tidak mampu dilakukan, range of motion dan

kekuatan
Gerakan yang tidak normal. Hal ini penting untuk visum,
misalnya bila tidak ada fasilitas pemeriksaan rontgen.

Pada look-feel and move ini juga dicari komplikasi lokal dan keadaan
neurovaskuler distal.
4) Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk melengkapi deskripsi fraktur dan
dasar untuk tindakan selanjutnya, seperti rontgen biasa ataupun MRI. Foto
rontgen minimal harus dua proyeksi yaitu AP dan lateral. Posisi yang salah
akan memberikan interpretasi yang salah.

2.1.6 Komplikasi
1) Komplikasi dini
1. Lokal
Vaskuler : Compartment syndrom, trauma vaskuler
Neurologis : lesi medula spinalis atau saraf perifer
2. Sistemik : emboli lemak
2) Komplikasi lanjut
Lokal :
Kekakuan sendi / kontraktur
Atrofi otot
Malunion
Nonunion
Gangguan pertumbuhan
Osteoporosis post trauma
2.1.7 Pengobatan
Pilihan pengobatan adalah terapi konservatif atau operatif. Pilihan harus
mengingat tujuan pengobatan fraktur yaitu : mengembalikan fungsi tulang yang
patah dalam jangka waktu sesingkat mungkin.
1. Terapi Konservatif
Proteksi saja
Immobilisasi saja tanpa reposisi
Misalnya dengan pemasangan gips atau bidai
Reposisi tertutup dan fiksasi dengan gips
Reposisi dapat dilakukan dengan anestesi umum atau anestesi lokal
dengan menyuntikkan obat anestesi dalam hematoma fraktur. Fragmen
distal dikembalikan pada kedudukan semula terhadap fragmen

proksimal dan dipertahankan dalam kedudukan yang stabil dalam gips.


Traksi
Traksi dapat untuk reposisi secara perlahan dan fiksasi hingga sembuh

atau dipasang gips setelah tidak sakit lagi.


2. Terapi Operatif

2.2 Fraktur Tulang Tiba dan Fibula (Fraktur Cruris)


2.2.1 Definisi Fraktur Cruris
Fraktur cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya, terjadi pada tulang tibia dan fibula 8. Fraktur cruris merupakan
akibat terbanyak dari kecelakaan lalu lintas. Melihat susunan anatomis cruris
dimana permukaan medial tibia hanya dilindungi jaringan subkutan, hal ini
menyebabkan mudahnya terjadi fraktur cruris terbuka yang menimbulkan masalah
dalam pengobatan.1
2.2.2 Anatomi
Osteum tibialis dan fibularis (tulang kering dan tulang betis) merupakan
tulang pipa yang terbesar sesudah tulang paha yang membentuk persendian lutut
dengan OS femur, pada bagian ujungnya terdapat tonjolan yang disebut OS
maleolus lateralis. OS tibia bentuknya lebih kecil dari pada bagian pangkal
melekat pada OS fibula pada bagian ujung membentuk persendian dengan tulang
pangkal kaki dan terdapat taju yang disebut OS maleolus medialis.

Gambar : Anatomi tulang tiba dan fibula

Terdapat empat otot yang penting di cruris, yaitu otot ekstensor, otot
abduktor, otot trisep surae, otot fleksor. Keempat otot tersebut membentuk tiga
kompartemen. Otot ekstensor membentuk kompartemen anterior, otot abduktor
membentuk kompartemen lateral sedangkan otot trisep surae dan otot fleksor
membentuk kompartemen posterior yang terdiri dari kompartemen superfisial dan
kompartemen dalam.
Arteri yang memperdarahi yaitu a. Tibialis anterior, a. Tibialis posterior,
a.peroneus. Yang mempersarafi adalah nervus tibialis anterior dan nervus
peroneus untuk mensarafi otot ekstensor dan abduktor sedangkan nervus tibialis
posterior dan nervus poplitea untuk mensarafi otot fleksor dan otot trisep surae.

BAB 3
LAPORAN KASUS

3.1 Anamnesa Pribadi


Nama
Umur
Jenis Kelamin

: Tn. R
: 47 tahun
: Laki-laki

Agama
Status Perkawinan
Alamat
Pekerjaan
Tanggal Masuk
No. R.M

: Islam
: Kawin
: Jl. Pala 3
: Wiraswasta
: 21 Agustus 2016
: 04-44-43

3.2 Anamnesa Penyakit


Keluhan utama : Nyeri pada tungkai kaki kiri setelah kecelakaan lalu lintas.
Telaah

: Pasien datang ke IGD RSUD Kumpulan Pane dengan keluhan

nyeri pada tungkai kaki kiri. Hal ini dialami Os setelah mengalami kecelakaan lalu
lintas. Nyeri terasa berdenyut-denyut dan kaki sulit untuk digerakkan. Pasien
langsung dibawa ke RS dengan keadaan sadar. Muntah(-), keluar darah dari
hidung dan telinga (-).
Riwayat penyakit dahulu
(-)
Riwayat penyakit keluarga
(-)
3.3 Pemeriksaan fisik
Status generalis
Kesadaran : Kompos mentis
Vital sign :

TD : 90/70 mmHg
HR : 100 x/m
RR : 22 x/m
T : 370 C

Kepala-Leher
Kepala

: Udem (-).

Mata

: Pupil isokor, diameter 2mm/2mm, reflek cahaya +/+.

Hidung

: Deformitas (-), darah mengalir (-).

Telinga

: Perdarahan dari liang telinga (-), hematom retroaurikuler


(-)

Leher

: Tidak didapatkan peningkatan TVJ

Thoraks
Paru
Inspeksi

: Gerakan dada simetris

Palpasi

: Vocal fremitus kanan=kiri

Perkusi

: Sonor/sonor

Auskultasi

: vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi

: Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi

: Ictus cordis tidak teraba

Perkusi

: Batas jantung
Dextra

: SIC V linia sternalis dextra

Sininstra : SIC V 2 jari medial LMCS


Auskultasi

: Bunyi jantung I dan II normal

Abdomen
Inspeksi

: perut tampak datar, scar (-), jejas (-)

Auskultasi

: bising usus (+) normal

Palpasi

: supel, nyerti tekan (-), pembesaran hepar dan lien (-).

Perkusi

: timpani

Ekstremitas
Status lokalis
Ekstremitas Atas
- Bengkak

: (- /-)

- Merah

: (- /-)

- Eritema Palmaris

: (- /-)

- Stand Abnormal

: (- /-)

- Gangguan Fungsi

: (- /-)

- Reflex

: - Biceps
- Triceps

(+/+), Kanan = Kiri

(+/+), Kanan = Kiri

Regio cruris
Dextra dan sinistra
Look : sianosis pada bagian distal (-/-), bengkak (-/+)
Feel

: nyeri tekan (-/+) , akral hangat (+/+)

Move :pergerakan aktif dan pasif terbatas oleh karena nyeri (-/+),
pergerakan jari-jari (+/+)
3.4 Diagnosa kerja
Fraktur Tertutup Tibia et Fibula Dextra Distal
3.5 Rencana pemeriksaan penunjang
-

Darah rutin
Foto rontgen cruris sinistra AP/Lateral

3.6 Hasil pemeriksaan penunjang


Darah rutin
22 Agustus 2016
WBC : 5.200/uL
HGB : 12,6 mg/dL
RBC

: 4,11 x 1012/L

HCT

: 38,1 %

PLT

: 132.000/ul

Pemeriksaan Radiologi

Tampak fraktur komplit oblig pada distal os tibia dan fraktur komplit pada
proksimal diafisis os fibula.
Tidak tampat spur formation
Celah sendi tidak tampak menyempit
Tampak penebalan jaringan lunak di regio cruris
Kesan:
Fraktur distal diafisis os tibia dan proksimal os fibula disertai soft tissue swelling
disekitarnya.

3.7 Penatalaksanaan
Non Medikamentosa

Bed Rest
Bidai

Medikamentosa

Diet MB
IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/i
Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam
Inj. Lactopain/8jam
Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam
B comp 2x1

Follow up
22-08-2016

KU/

Terapi

Sens: compos mentis Nyeri pada kaki sebelah


kiri (+)
TD : 120/80mmHg
Kaki sebelah kiri terasa
HR : 84 x/i
berdenyut (+)

Diet MB

RR : 24 x/i

Bengkak pada kaki


sebelah kiri (+)

Inj. Lactopain/8jam

BAB (-)

P/o

BAK (+)

B.Comp 2x1

KU/

Terapi

T : 36,5 0C

23-08-2016

IVFD NaCl 0,9% 20gtt/i


Inj.Ceftriaxone 1gr/12jam

Inj Ranitidin 1amp/12 jam

Sens: compos mentis Nyeri pada kaki sebelah


kiri (+)
TD : 120/80mmHg
Kaki sebelah kiri terasa
HR : 60 x/i
berdenyut (+)

Diet MB

RR : 20 x/i

Bengkak pada kaki


sebelah kiri (+)

Inj Ranitidin 1amp/12 jam

BAB (-)

B.Comp 2x1

T : 36,5 0C

Inj.Ceftriaxone 1gr/12jam
Inj. Lactopain/8jam

P/o

BAK (+)
Konsul Orthopedi
23-08-2016

KU/

Terapi

Sens: compos mentis

Nyeri pada kaki sebelah


kiri (+)

Diet MB

TD : 120/80mmHg
HR : 60 x/i
RR : 20 x/i
T : 36,5 0C

Kaki sebelah kiri terasa


berdenyut (+)

IVFD NaCl 0,9% 20gtt/i


Inj.Ceftriaxone
1gr/12jam

Bengkak pada kaki


sebelah kiri (+)

Inj. Lactopain/8jam

BAB (-)

Inj Ranitidin 1amp/12


jam

BAK (+)

P/o
B.Comp 2x1
Pasien PAPS jam 20.00 WIB
3.8 Resume
Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien datang ke IGD RSUD Kumpulan
Pane dengan keluhan nyeri pada tungkai kaki kiri. Hal ini dialami Os setelah
mengalami kecelakaan lalu lintas. Nyeri terasa berdenyut-denyut dan kaki sulit
untuk digerakkan. Pasien langsung dibawa ke RS dengan keadaan sadar. Muntah
(-) , keluar darah dari hidung dan telinga (-).
Pada pemeriksaan regio cruris sinistra didapati, Look: sianosis pada bagian
distal (-) ,bengkak (+) ; Feel : nyeri tekan (+) , akral hangat (+); Move :
pergerakan aktif dan pasif terbatas oleh karena nyeri (+), pergerakan jari-jari (+)
Penatalaksanaan pada pasien ini dengan melakukan pemasangan bidai
pada regio cruris dan pemberian medikamentosa.

BAB 4
KESIMPULAN

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang di tandai oleh rasa nyeri,
pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan dan krepitasi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Reksoprodjo.S. 2010. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran UI: Jakarta..
2. Richard, Buckley. (2012). General Principles of Fracture Care. Diakses dari
http://emedicine.medscape.com/article/1270717-overview.
3. jamsuhidajat R, De Jong Wim. (2011). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
4. Rasjad, C. Buku pengantar Ilmu Bedah Ortopedi ed. III. Yarsif Watampone.
Makassar: 2007. pp. 352-489
5. Doenges, M E dkk (2010) . Nursing Care Plan Guidelines for
individualizing

Client

Care

Across

The

Life

Span.Edition

8.

Philadhelpia:F.A. Davis Company.


6. Mansjoer A et al (editor) 2001., Kapita SelektaKedokteran., Jilid 1, Edisi
III, Media Esculapius, FKUI, Jakarta
7. Brunner and Suddart. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8.
Editor: Suzanne C. Smeltzer, Brenda G. Bare. Jakarta: EGC. 2001. Diakses
darihttp://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/108/jtptunimus-gdl-sitifatima5395-2-07.bab-r.pdf.
8. Muttaqin.A. & Sari. K. 2008. Asuhan keperawatan perioperatif, Konsep,
Proses dan Aplikasi. Jakarta. Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai