Anda di halaman 1dari 103

See

discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/295909059

Perbedaan hiperresponsif bronkus antara PPOK


dan bukan PPOK perokok
Research Proposal December 2015
DOI: 10.13140/RG.2.1.4003.8165

CITATIONS

READS

296

2 authors, including:
Alfian Nur Rosyid
Airlangga University
6 PUBLICATIONS 0 CITATIONS
SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Alfian Nur Rosyid on 26 February 2016.
The user has requested enhancement of the downloaded file.

Proposal Penelitian Karya Akhir

Perbedaan hiperresponsif bronkus


antara PPOK dan bukan PPOK perokok

Oleh:
Alfian Nur Rosyid

Pembimbing:
Daniel Maranatha

Departemen / SMF Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi


Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
RSUD Dr.Soetomo Surabaya
2015

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

PPOK atau Penyakit Paru Obstruktif Kronik menjadi masalah kesehatan


global dunia dan di Indonesia.1,2,3 Kasus PPOK terus meningkat tiap tahun
terkait makin dini dan lamanya pajanan partikel atau gas yang beracun /
berbahaya khususnya rokok.3,4,5,6,7 PPOK merupakan penyakit tidak menular,
dapat dicegah dan diobati yang menjadi penyebab kesakitan dan kematian
seluruh dunia. PPOK menjadi penyebab keenam kematian dunia (1990),
meningkat menjadi kelima (2002) dan diperkirakan meningkat menjadi ketiga
(2020).1,6,8 Angka mortalitas PPOK sebesar 16,3%.9 Prevalensi PPOK pada
laki-laki lebih besar dibanding wanita.8 Perokok berisiko menjadi PPOK
sebesar 20-25% dan 90% dari kasus PPOK adalah perokok atau mantan
perokok.2
PPOK terjadi karena interaksi antara host dan lingkungan.2 Faktor host
yaitu genetika (defisiensi -1 antitripsin), jenis kelamin, hiperresponsif
bronkus, tumbuh kembang paru, riwayat penyakit saat balita dan diet.4,5
Kebiasaan merokok menjadi faktor lingkungan yang menjadi risiko utama
terjadinya PPOK dibanding faktor lain seperti polusi udara, debu kerja, kimia,
infeksi saluran napas berulang.3,10 PPOK berdampak besar terhadap
masyarakat, namun komponen patofisiologi penyakit dan manifestasi klinis
yang multipel belum dapat dipahami secara lengkap.11 Merokok merupakan
faktor risiko terjadinya PPOK melalui berbagai mekanisme. Keterkaitan
rokok terhadap peningkatan risiko hiperresponsif bronkus telah banyak
diteliti.12 Hiperresponsif bronkus merupakan faktor risiko gejala pernapasan,
penurunan faal paru dan berkembangnya PPOK.13 Patogenesis hiperresponsif
bronkus pada PPOK penting namun sampai saat ini belum jelas.11
Hiperresponsif bronkus adalah respons bronkokonstriksi berlebihan
terhadap berbagai stimulus.14,15,16,17 Hiperresponsif bronkus merupakan tanda

kardinal asma karena hampir didapati pada semua penderita Asma, namun
pada orang normal, perokok dan PPOK dapat pula ditemukan hiperresponsif
bronkus

dengan

hiperresponsif

mekanisme

bronkus

tidak

berbeda.18

yang
terkait

faal

Pada

paru

asma,

derajat

baseline18

namun

menggambarkan derajat asma.19 Pada PPOK hiperresponsif bronkus diduga


merupakan konsekuensi dari penyempitan saluran napas yang berhubungan
dengan

derajat

obstruksi

saluran

napas,18,20,21

sehingga

terjadinya

penyempitan saluran napas menjadi predisposisi hiperaktivitas bronkus pada


pasien PPOK4,5 yang dipengaruhi fenotip seseorang.18
Hiperresponsif bronkus pada perokok dan PPOK merupakan hal yang
penting untuk dikaji terkait hanya sekitar seperempat saja perokok yang
menjadi PPOK. Hiperresponsif bronkus pada perokok menjadi predisposisi
terjadinya PPOK.18 Prevalensi hiperresponsif bronkus pada PPOK mantan
perokok cukup tinggi (48-94%).18,22,23,24,25

Pada PPOK GOLD 1 dan 2

didapati hiperresponsif bronkus derajat ringan sampai sedang,2,26 sedangkan


hiperresponsif bronkus pada perokok prevalensinya 11-14%.23 Pada populasi
umum didapati hiperresponsif bronkus asimptomatis (2,2-14,3%) dan
simptomatis (6-35%).13,22,27 Hal ini menjadi penting dan menarik karena pada
penderita hiperresponsif bronkus asimptomatis yang diikuti selama 11 tahun
didapati gejala pernapasan dan kasus PPOK baru terkait bertambahnya usia
dan pajanan rokok.28 Merokok memberikan risiko hiperresponsif bronkus28
melalui mekanisme remodeling saluran napas terkait inflamasi kronis dan
usia.29,30 Pajanan asap rokok pasif pada tikus terbukti memperantarai
terjadinya hiperresponsif bronkus.12
Hiperresponsif bronkus adalah karakter independen yang memberikan
informasi tentang heterogenisitas fenotip26,31 dan aktivitas penyakit terkait
peningkatan Residual Volume (RV).26,32 Program berhenti merokok 12 bulan
memperbaiki hasil tes provokasi bronkus PPOK23,33 dan sebaliknya didapati
peningkatan hiperresponsif bronkus pada perokok.34 Steroid menurunkan
hiperresponsif bronkus pada PPOK terutama dengan sputum eosinofilik.35
Hiperresponsif bronkus merupakan prediktor kematian pada PPOK.36

Uji hiperresponsif bronkus atau provokasi bronkus adalah tes yang aman,
cepat dan mudah dilakukan selama mengikuti prosedur dan menghindari
kontraindikasi,37 dapat dilakukan di laboratorium faal paru, klinik atau kantor
seorang dokter.38 Tes provokasi bronkus cara langsung dengan metakolin
merangsang kontraksi otot polos saluran napas.16,22 Tes provokasi bronkus
tidak langsung memerlukan jalur intermediet inflamasi untuk terjadinya
brokonkontriksi. Metakolin lebih disukai dibandingkan histamin karena tidak
menyebabkan inflamasi saluran nafas, eosinofilia, flushing / kemerahan dan
efek samping sistemik lainnya.16 Tes metakolin cukup sensitif (Sn=80,3,
Sp=65,2)37,39 dengan nilai prediksi negatif (NPV) yang tinggi, artinya tes ini
lebih mudah menyingkirkan diagnosis asma dibandingkan mendiagnosis
asma.16 Hasil tes positif bila didapati penurunan FEV1 lebih dari 20% pasca
inhalasi

metakolin
39

Concentration).

konsentrasi

tertentu

(PC20

Provocation

Terdapat dua metode tes metakolin, yaitu tidal breathing

dan five-breathing dengan perbedaan hasil yang tidak bermakna.40

FDA

menyetujui tes metakolin tehnik five-breath dengan konsentrasi 0,0625; 0,25;


1; 4 dan 16 mg/ml.16,37,40 Intepretasi hasil derajat hiperresponsif brokus
menurut ATS yaitu PC20 >16mg/ml sebagai hasil negatif, 4-16mg/ml sebagai
borderline dan 4mg/ml sebagai hasil positif.16,37,39
Pada penelitian ini dilakukan tes provokasi bronkus dengan metakolin
pada PPOK GOLD 1 dan 2 dan bukan PPOK perokok untuk menilai
perbedaan hiperresponsif bronkus pada keduanya.

1.2 Rumusan Masalah


Apakah terdapat perbedaan hiperresponsif bronkus antara PPOK dan
bukan PPOK perokok?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Membuktikan terdapat perbedaan hiperresponsif bronkus antara PPOK dan
bukan PPOK perokok.

1.3.2 Tujuan khusus


1.3.2.1. Mengukur hiperresponsif bronkus dengan tes metakolin pada PPOK
GOLD 1 dan GOLD 2
1.3.2.2. Mengukur hiperresponsif bronkus dengan tes metakolin pada bukan
PPOK perokok
1.3.2.3. Membandingkan hiperresponsif bronkus dengan metakolin pada PPOK
GOLD 1 dan GOLD 2 dan bukan PPOK perokok.

1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat terhadap pengembangan ilmu
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan baru
tentang gambaran perbedaan hasil tes provokasi bronkus dengan metakolin pada
penderita PPOK dan bukan PPOK perokok terkait pajanan rokok. Penelitian ini
juga diharapkan dapat dipakai sebagai landasan penelitian lainnya yang
berhubungan dengan hiperresponsif bronkus, rokok, PPOK maupun hubungan
diantara ketiganya.

1.4.2 Manfaat praktis


1.4.2.1. Manfaat terhadap pelayanan kesehatan
Diharapkan dapat digunakan sebagai pemeriksaan terapan hiperresponsif bronkus
dengan metakolin pada pasien di Departemen / SMF Pulmonologi dan Ilmu
Kedokteran Respirasi FK Unair RSUD Dr.Soetomo Surabaya. Sehingga
diharapakan dapat meningkatkan pelayanan penderita bergejala pernapasan dan
obstruksi saluran napas guna menurunkan morbiditas serta mortalitas.

1.4.2.2 Manfaat bagi penderita


Diharapkan dengan pemeriksaan ini maka pasien PPOK dan bukan PPOK
perokok dapat mengetahui hiperresponsif bronkus pada dirinya sehingga dapat
dilakukan pencegahan agar tidak menjadi PPOK bagi perokok dan mencegah
kekambuhan dan perburukan bagi penderita PPOK. Diharapkan bahwa pasien
bukan PPOK perokok yang memiliki hiperresponsif bronkus mengetahui bahwa

dirinya berisiko menjadi PPOK bila melanjutkan merokok. Sedangkan penderita


PPOK dengan hiperresponsif bronkus diharapkan dapat mengetahui bahwa risiko
eksaserbasi, morbiditas dan mortalitas akan meningkat bila melanjutkan
merokok.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PPOK
2.1.1 Definisi PPOK
PPOK atau Penyakit Paru Obstruktif Kronik adalah penyakit yang dapat
dicegah dan diobati, ditandai dengan hambatan aliran udara yang tidak
sepenuhnya reversibel, bersifat progresif dan berhubungan dengan respons
inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun / berbahaya. Penyakit
ini disertai dengan efek ekstraparu yang berkontribusi terhadap derajat berat
penyakit. Eksaserbasi dan berbagai komorbid berkontribusi terhadap severitas
penderita PPOK.1,2,3
PPOK terdiri dari emfisema, bronkitis kronis dan penyempitan saluran
napas kecil. Secara anatomis terjadi kerusakan dan pelebaran alveoli yang
disebut emfisema. Batuk dan dahak yang kronis secara klinis disebut sebagai
bronkitis kronis. Disebut sebagai PPOK bila terdapat obstruksi saluran napas
namun kondisi bronkitis kronis tanpa adanya obstruksi saluran napas tidak
disebut sebagai PPOK.3,4,5

Kerusakan saluran napas kecil


Inflamasi & Fibrosis saluran napas
Plug dalam lumen

Peningkatan resistensi saluran napas

Kerusakan parenkim
Hilangnya kaitan alveolar

Penurunan elastik recoil

Keterbatasan aliran udara


Gambar 2.1 Mekanisme yang mendasari keterbatasan aliran udara pada
PPOK.1

2.1.2 Prevalensi PPOK


PPOK merupakan penyakit tidak menular yang masalah kesehatan global
di dunia dan di Indonesia. Prevalensinya terus meningkat terkait pajanan
faktor risiko serta meningkatnya usia harapan hidup.1, 2, 3 Prevalensinya lebih
tinggi pada negara dengan angka kebiasaan merokok yang tinggi.6,7 Pada
tahun 1990, WHO menyebutkan prevalensi PPOK dunia sebesar 9,34/1.000
(laki-laki) dan 7,33/1.000 (wanita) serta menempati urutan keenam penyebab
kematian di dunia. Pada tahun 2002, PPOK menjadi penyebab kematian
ketiga di dunia setelah penyakit kardivaskular dan kanker. Di Amerika
tercatat 16 juta kasus PPOK dengan lebih 100 ribu kematian. Pada tahun
2006, PPOK di Asia mencapai 56,6 juta dengan prevalensi 6,3%. Di
Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta kasus PPOK dengan prevalensi
5,6%.2
Jumlah kasus PPOK cenderung meningkat karena makin banyaknya
perokok sejak usia dini sehingga sering timbul pada usia pertengahan.2 Kasus
PPOK diperkirakan terjadi pada laki-laki 14,2% perokok; 6,9% mantan
perokok dan 3,3% pada orang yang tidak pernah merokok. Sedangkan pada
wanita 13,6% perokok; 6,8% mantan perokok dan 3,1 % wanita yang tidak
pernah merokok.4 Sekitar 20-25% perokok akan menjadi PPOK. Sekitar 90%
kasus PPOK adalah perokok atau mantan perokok. Hubungan rokok dengan
PPOK merupakan dose-response, makin banyak dan makin lama merokok
maka risiko penyakit makin besar.2 BOLD (the Burden of Obstructive Lung
Disease) study tahun 2007 (sampel 12 senter, n=9.425 orang) menyebutkan
prevalensi PPOK stadium II sebesar 10,1% (laki-laki lebih tinggi 11,8%
dibandingkan wanita 8,5%), sedangkan pada bukan perokok sebesar 3-11%.8
Menurut WHO, kematian PPOK pada tahun 2002 menjadi penyebab
kelima kematian dunia dan diperkirakan meningkat pada tahun 2030 sebagai
penyebab kematian ketiga dunia.6 UPLIFT study mendapatkan kematian
karena PPOK sebesar 14,4% (observasi 4 tahun dengan menggunakan
tiotropium) dan 16,3% (dengan plasebo).9

2.1.3 Faktor risiko PPOK


Identifikasi faktor risiko penting dilakukan guna pencegahan dan
tatalaksana PPOK. Semua faktor risiko PPOK merupakan interaksi antara
lingkungan dan genetik. Faktor risiko terjadinya PPOK di antaranya asap
rokok, polusi udara didalam maupun luar ruangan, stres oksidatif, genetik,
tumbuh kembang paru dan sosial ekonomi.2

Gambar 2.2 Faktor risiko PPOK terkait inhalasi berbagai zat berbahaya.3
Kebiasaan merokok menjadi satu-satunya penyebab terpenting dibanding
faktor yang lain. Risiko tersebut tergantung dosis rokok yang dihisap, usia
mulai merokok, jumlah batang rokok pertahun dan lamanya merokok.
Perokok pasif atau Environmental Tobacco Smoke (ETS) juga berkontribusi
timbulnya gejala respirasi dan PPOK. Indeks Brinkman dipakai untuk
mengukur derajat berat merokok yaitu perkalian rata-rata jumlah batang
rokok yang dihisap setiap hari dengan lama merokok dalam tahun. Perokok
dikelompokkan menjadi derajat merokok ringan (0-199), sedang (200-599)
dan berat (>600).2
Selain asap rokok, polusi udara dari berbagai partikel dan gas dengan
ukuran dan macam partikel berbeda akan memberikan efek yang berbeda
terhadap timbul dan beratnya PPOK. Polusi udara dapat berasal dari dalam
ruangan / indoor (asap rokok, asap kompor, kayu, serbuk gergaji, batu bara),
polusi di luar ruangan (gas buang kendaraan bermotor, debu jalanan) dan
polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun). Polusi udara

10

indoor dengan ventilasi kurang menjadi faktor penting PPOK bukan perokok
dengan

prevalensi

lebih

besar

daripada

polusi

kendaraan,

namun

prevalensinya lebih kecil dibanding pajanan asap rokok.2


Infeksi saluran napas bawah yang berulang baik karena virus maupun
bakteri berkontribusi terhadap patogenesis dan progresifitas PPOK.
Kolonisasi kuman menyebabkan inflamasi saluran napas dan timbulnya
eksaserbasi. Seringnya infeksi saluran napas yang berat pada anak menjadi
penyebab dasar timbulnya hiperresponsif saluran napas sebagai faktor risiko
PPOK.2
Asap rokok, polusi udara dan infeksi saluran napas merupakan stress
oksidatif yang menimbulkan efek kerusakan paru. Selain itu menimbulkan
aktifitas molekuler sebagai promotor inflamasi. Hal ini menjadi penyebab
ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan yang berperan pada PPOK.2
Tidak semua perokok akan menjadi PPOK, hal ini terkait genetik
seseorang. Faktor genetik yang sering terjadi adalah defisiensi -1 antitripsin,
kelainan genetik ini sering dijumpai pada individu di Eropa Utara.1, 2 Dengan
adanya defisiensi tersebut maka fungsi inhibisi protease serin terganggu
sehingga mudah terjadi kelainan emfisema dan penurunan fungsi paru. Gen
yang mengkode MMP-12 (Matrix Mettaloproteinase) berhubungan dengan
penurunan fungsi paru.1 Diteliti juga keterlibatan kromosom 2q7, TGF-1,
mEPHX1 dan TNF namun belum pasti dalam patogenesis PPOK.2

2.1.4 Patogenesis, patologi dan patofisiologi PPOK


Inhalasi partikel berbahaya dari asap rokok dan bahan berbahaya lainnya
menyebabkan inflamasi saluran napas dan paru pada pasien PPOK. Respons
inflamasi mengalami amplifikasi terkait genetik yang akan menyebabkan
kerusakan parenkim yang berakibat emfisema dan fibrosis saluran napas kecil
(bronkiolus). Inflamasi paru diperberat oleh stres oksidatif dan kelebihan
proteinase.2
Asap rokok mengandung berbagai zat berbahaya seperti karbon dioksida,
karbon monoksida, formaldehid dan lainnya akan mengaktivasi makrofag

11

pada saluran napas sehingga melepaskan berbagai faktor kemotaksis untuk


menarik neutrofil dan monosit. Sel tersebut akan melepaskan enzim protease
yang memecah jaringan ikat parenkim paru sehingga menyebabkan emfisema
serta memicu stimulasi hipersekresi mukus pada PPOK.10
Patofisiologi kelainan paru akibat rokok berupa ganguan saluran napas,
gangguan alveoli dan kapiler serta gangguan sistem imunitas.1,10 Rokok
mempengaruhi saluran napas besar, kecil (2mm) dan alveoli. Perubahan
saluran napas besar berupa pembesaran kelenjar mukus dan hyperplasia sel
goblet yang menyebabkan batuk dan produksi mukus. Perubahan ini memberi
gejala sebagai bronkitis kronis yang tidak terkait dengan obstruksi saluran
napas. Perubahan saluran napas kecil berupa metaplasia sel goblet,
penggantian sel Clara yang memproduksi surfaktan dengan sel inflamasi
mononuklear dan sel yang memproduksi mukus serta terjadi hipertrofi otot
polos. Hal ini menyebabkan penyempitan kaliber saluran napas kecil.
Berkurangnya surfaktan menyebabkan peningkatan tekanan permukaan
saluran napas sehingga mudah menyempit dan kolaps. Fibrosis dinding
saluran napas menyebabkan penyempitan saluran napas yang menjadi
predisposisi hiperaktivitas bronkus.4
Perubahan patologi terjadi karena inflamasi kronis yang ditandai dengan
peningkatan sel inflamasi spesifik pada lokasi yang berbeda tiap bagian paru.
Perubahan struktur ini merupakan hasil dari cedera dan perbaikan yang
berulang.1 Ketebatasan aliran udara merupakan perubahan patologis yang
utama pada PPOK yang disebabkan oleh obstruksi saluran napas kecil dan
emfisema.4 Udara terperangkap dalam alveoli dan terjadi keterbatasan aliran
udara yang bersifat progresif. Inflamasi dan perubahan struktur saluran napas
tersebut berpengaruh pada peningkatan severitas penyakit. Inflamasi tersebut
akan menetap meskipun penderita berhenti merokok, mekanismenya tidak
diketahui dan diduga pengaruh autoantigen dan mikroorganisme yang
menetap berperan pada inflamasi tersebut.1,2
Kelainan patologi pada PPOK akan menyebabkan gangguan pernapasan.
Inflamasi, fibrosis, penyempitan saluran napas perifer karena cairan eksudat

12

di lumen saluran napas berkorelasi terhadap penurunan FEV1 dan rasio


FEV1/FVC. Semakin banyak batang rokok yang dihisap maka semakin besar
penurunan FEV1.4,5 Sumbatan saluran napas perifer ini menyebabkan udara
terperangkap (air trapping) dan menyebabkan hiperinflasi. Hiperinflasi akan
mengurangi kapasitas inspirasi seperti FRC (Functional Residual Capacity)
terutama saat latihan, disebut sebagai hiperinflasi dinamis. Gejala yang terjadi
adalah sesak napas dan keterbatasan kapasitas latihan. Kerusakan parenkim
paru pada emfisema akan menyebabkan penurunan transfer gas. Hal inilah
yang menjelaskan patofisiologi gangguan pernapasan pasien PPOK tersebut.2
Penderita PPOK juga memberikan gambaran sistemik terutama pada
penyakit yang berat. Gambaran sistemik yang timbul seperti kakeksia,
osteoporosis, depresi, diabetes, sindroma metabolik, penyakit jantung
iskemia, gagal jantung dan anemia kronis terkait mediator inflamasi
termasuk TNF-, IL-6 dan radikal bebas. Pengaruh sistemik ini akan
berdampak pada mortalitas dan penyakit komorbid.1

2.1.5 Diagnosis PPOK


Diagnosis klinis penderita PPOK dicurigai pada penderita dengan gejala
sesak napas, batuk kronis, produksi sputum dan riwayat terpajan faktor risiko.
Gejala tersebut bersifat progresif (makin bertambah seiring waktu dan
aktifitas) dan persisten (menetap sepanjang hari). Adanya mengi dan dada
terasa berat merupakan gejala yang tidak khas. Mengi bisa terdengar saat
inspirasi dan ekspirasi. Tidak terdapatnya mengi dan dada terasa berat tidak
menyingkirkan diagnosis PPOK.1,2,3
Pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan sampai ditemukan kelainan
yang jelas dan tanda inflamasi paru. Penderita PPOK awalnya tidak ada
kelainan. Pada inspeksi didapati pursed-lips breathing, barrel chest,
penggunaan dan hipertrofi otot bantu napas, pelebaran sela iga dan lainnya.2
Pemeriksaan faal paru / spirometri untuk mendukung gejala klinis. Disebut
PPOK bila didapati pasca bronkodilator hasil spirometri FEV1/FVC <70%
yang menunjukkan keterbatasan aliran udara yang persisten.1,41 Sedangkan

13

FEV1 digunakan untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan


penyakit. Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak bisa dilakukan,
pemeriksaan APE (Arus Puncak Ekspirasi) atau PEFR (Peak Expiratory Flow
Rate) dapat dipakai sebagai alternatif meskipun kurang tepat. Variabilitas
harian pagi dan sore dinilai tidak lebih dari 20%.2 Rekomendasi dari ATS,
ERS, ACP (American College of Physicians) dan ACCP (American College
of Chest Physicians) menyebutkan perlunya pemeriksaan spirometri pada
penderita at-risk (berisiko) PPOK tanpa gejala. The COPD Foundation
Guide menyarankan pemeriksaan spirometri pada individu at-risk PPOK
yang memiliki komorbid terkait PPOK.41 Namun pemeriksaan at-risk tidak
lagi dilakukan menurut panduan GOLD terbaru.1
Tabel 2.1 Indikator kunci dalam mendiagnosis PPOK.2
Gejala
Sesak

Batuk kronik
Batuk kronik
berdahak
Riwayat terpajan
faktor risiko

Keterangan
Progresif (sesak bertambah berat seiring berjalannya
waktu)
Bertambah berat dengan aktivitas
Persisten (menetap sepanjang hari)
Pasien mengeluh berupa, perlu usaha untuk bernapas
Hilang timbul dan mungkin tidak berdahak
setiap batuk kronik berdahak dapat mengindikasikan
PPOK
Asap rokok
Debu
Bahan kimia di tempat kerja
Asap dapur

2.1.6 Penilaian dan klasifikasi PPOK


Tujuan penilaian PPOK adalah untuk menilai severitas penyakit sehingga
mempengaruhi status penyakit penderita dan risiko dikemudian hari seperti
eksaserbasi, rawat inap, dan kematian. Penilaian penderita PPOK berdasarkan
pada gejala, derajat obstruksi dengan spirometri, risiko eksaserbasi dan
komorbid.1
Gejala PPOK dinilai dengan CAT (COPD Assessment Test), skala sesak
mMRC (the Modified British Medical Research Council) atau CCQ (the
Clinical COPD Questionnaire). Klasifikasi derajat obstruksi PPOK dinilai

14

dengan spirometri setelah penderita didapati hasil spirometri pasca


bronkodilator FEV1/FVC<70%.1
Pembagian sebelumnya menambahkan GOLD 0 sebagai at risk yaitu
penderita dengan batuk dan dahak kronis namun hasil faal paru yang normal.4
Kriteria spirometri yang berbeda diajukan oleh The COPD Foundation Guide
yaitu rasio FEV1/FVC<70% seperti ATS / ERS namun gradingnya berbeda.
Derajat ringan (SG-1 / Spirometry Grade-1) bila FEV160% prediksi, derajat
sedang (SG-2) bila FEV1 di bawah 60% namun 30% prediksi dan derajat
berat (SG-3) bila FEV-1 <30% prediksi.41
Tabel 2.2 Derajat obstruksi pada PPOK.1
Kriteria

Derajat

Nilai FEV1

GOLD 1

Ringan

FEV1 80% prediksi

GOLD 2

Sedang

50% FEV1 80% prediksi

GOLD 3

Berat

30% FEV1 50% prediksi

GOLD 4

Sangat berat

FEV1 < 30% prediksi

Eksaserbasi PPOK didefinisikan sebagai kejadian akut yang ditandai


perburukan gejala pernapasan di antara variasi normal tiap hari. Prediktor
untuk menilai frekuensi eksaserbasi adalah serangan dua kali atau lebih tiap

4
3
2
1

(C)

(D)

(A)

(B)

1
0

Risiko
Eksaserbasi
(tiap tahun)

Risiko
Derajat
GOLD

tahun.1

mMRC 0-1
mMRC 2
CAT <10
CAT 10
Gejala
(skor mMRC atau CAT)
Gambar 2.3 Penilaian PPOK dengan menggunakan kombinasi tiga faktor
yaitu gejala, derajat obstruksi dan tingkat eksaserbasi.1
Komorbid pada penderita PPOK yang dinilai yaitu penyakit kardiovaskuler,
depresi, ansietas, disfungsi otot rangka, sindroma metabolik dan kanker paru.
Faktor komorbid tersebut berpengaruh terhadap mortalitas dan morbiditas.1

15

2.2 Hiperresponsif Bronkus


2.2.1 Definisi hiperresponsif bronkus
Hiperresponsif bronkus didefinisikan sebagai penyempitan bronkus yang
berlebihan dan bermanifestasi berupa bronkokonstriksi berlebihan sebagai
respons terhadap berbagai stimulus seperti inhalasi agen konstriktor di mana
orang normal tidak terjadi. Hiperresponsif bronkus secara historis dikenal
berhubungan dengan fenotip asma sehingga dianggap sebagai tanda kardinal
pada asma.14,15

Gambar 2.4 Kurva perubahan faal paru terhadap konsentrasi inhalasi


metakolin/histamine pada orang normal, asma ringan dan asma berat.14,17
Hiperresponsif bronkus dikenal juga sebagai Airway Hyperresponsiveness
(AHR) atau Bronchial hyperresponsiveness (BHR). Hiperresponsif bronkus
hampir didapati pada semua penderita asma dengan hasil tes provokasi
bronkus yang positif. Derajat Hiperresponsif bronkus bervariasi tiap individu
dan berkorelasi dengan derajat asma.14,16 Hal ini menggambarkan regulasi
mekanisme yang terjadi dan berkorelasi terhadap penyakit paru yang
mendasari. Makin berat derajat hiperresponsif bronkus menggambarkan
makin berat derajat asma.19
Hiperresponsif bronkus dikenal mendasari asma dan ditemukan pada anak
maupun dewasa. Studi epidemiologi menunjukkan terdapat hubungan antara
hiperresponsif bronkus terhadap gejala pernapasan. Prevalensi penderita
dengan gejala menyerupai asma seperti mengi, sesak malam hari, dada terasa
berat didapati lebih banyak pada penderita dengan hiperresponsif bronkus.
Penderita asymptomatic yang memiliki hiperresponsif bronkus lebih memiliki

16

risiko menjadi asma atau gejala serupa asma. Hiperresponsif bronkus


merupakan tanda asma dan berhubungan dengan progresifitas penyakit.
Bertambahnya usia pada penderita dengan hiperresponsif bronkus akan
berpengaruh terhadap penurunan faal paru.20

2.2.2 Dutch hypotesis dan british hypotesis


Disebutkan dalam postulat Dutch hypothesis tahun 1960 bahwa asma,
PPOK, emfisema, bronkitis kronis merupakan satu penyakit yang sama
dengan ekspresi yang berbeda, adanya hiperresponsif bronkus menjadi
predisposisi berkembangnya kondisi klinis.4 Perokok yang memiliki alergi
akan memiliki predisposisi PPOK yang berat. Penyempitan saluran napas
berkembang pada individu dengan hiperreaktif bronkus karena efek rokok
atau polusi.42 Pada hipotesis tersebut diduga bahwa faktor genetik
(hiperresponsif bronkus dan atopi), faktor endogen (kelamin dan usia) dan
faktor eksogen (allergen, infeksi, polusi dan rokok) berperan dalam
patogenesis penyakit paru kronis. Fenotip seseorang merupakan kombinasi
dari genetik dan lingkungan yang dipengaruhi oleh usia dan kelamin.
Manifestasi atopi dan hiperresponsif bronkus terdapat pada asma dan PPOK
yang diaktifasi oleh stimuli lingkungan.16
Peneliti Amerika dan Inggris memiliki pendapat yang berbeda yaitu bahwa
asma dan bronkitis kronis, emfisema, PPOK merupakan penyakit yang
berbeda dengan mekanisme kausal yang berbeda.43 British hypothesis
menyebutkan bahwa asma dipicu oleh alergi sedangkan PPOK disebabkan
oleh inflamasi dan kerusakan karena asap rokok.4 Hipersekresi mukus kronis
merupakan marker infeksi bronkus berulang yang memicu obstruksi saluran
napas.42
Asma dan PPOK menggambarkan dua pola obstruksi saluran napas terkait
reversibilitas dan respons terhadap terapi.44 Asma biasanya ditandai dengan
episodik serangan terkait alergen, dimulai sejak kecil, tidak progresif dan
memberikan respons yang baik terhadap bronkodilator dan steroid.
Sedangkan pada PPOK cenderung progresif, sering didapati pada usia tua,

17

dan kurang respons terhadap bronkodilator dan steroid. Terjadi tumpang


tindih fenotip antara asma dan PPOK, yaitu penderita PPOK yang reversibel
dan membaik dengan pemberian bronkodilator atau steroid atau penderita
asma yang progresif dan kurang respons terhadap bronkodilator atau steroid.
Pada kondisi ini Dutch hypothesis berperan menjelaskan kondisi asma yang
menyerupai PPOK dan sebaliknya.43
Penderita penyakit paru dengan karakter obstruksi saluran napas dapat
menunjukkan hiperresponsif bronkus dan derajatnya berhubungan dengan
derajat obstruksi saluran napas dasarnya. Jadi tidak hanya penderita asma saja
yang terdapat hiperresponsif bronkus. Pada asma, hiperresponsif bronkus
relatif tidak terkait dengan faal paru baseline. Hal ini berbeda dengan
mekanisme

hiperresponsif

pada

PPOK,

sehingga

diduga

bahwa

hiperresponsif bronkus merupakan konsekuensi dari penyempitan saluran


napas dan bukan cenderung karena penyakit yang mendasarinya.18

2.2.3 Patogenesis hiperresponsif bronkus


Hiperresponsif bronkus diketahui berhubungan dengan inflamasi saluran
napas besar dan kecil.20,21 Sebelum membahas tentang hiperresponsif brokus
pada orang normal, perokok dan PPOK, ada baiknya dibahas tentang
inflamasi dan hiperresponsif bronkus yang mendasari pada asma serta melihat
perbedaan inflamasi pada asma dan PPOK.
Mekanisme hiperresponsif bronkus pada asma merupakan interaksi antara
faktor lingkungan dan faktor genetik. Hipotesa tersebut tampak pada skema di
bawah ini. Skema hipotesa hiperresponsif bronkus pada asma ini mungkin
serupa pada PPOK.14

18

Gambar 2.5 Skema hipotesis interaksi genetik dan lingkungan terhadap


terjadinya hiperresponsif bronkus pada asma.14
Untuk lebih mempermudah pemahanan tentang hiperresponsif bronkus,
para peneliti membagi faktor yang berperan menjadi dua komponen, yaitu
komponen persisten dan komponen variabel / transient. Komponen persisten
terdiri dari perubahan anatomi dan struktur. Sedangkan komponen variabel
terkait dengan pengaruh dari luar (lingkungan) dan proses inflamasi.
Inflamasi saluran napas yang menetap berkontribusi terhadap perubahan
struktur saluran napas.16,45 Efek akut inflamasi berperan pada komponen
variabel

sedangkan

kronisitas

penyakit

menggambarkan

komponen

persisten.19
Komponen persisten terdiri dari penebalan subendotel, penebalan subbasemen, hipertrofi otot polos, deposisi matrik, deposisi kolagen (fibrosis)
dan perubahan vaskuler. Hal ini yang menyebabkan saluran napas menjadi
lebih tebal, kaku dan sempit. Perubahan struktur tersebut tampak pada
pemeriksaan histopatologi.45 Komponen persisten hiperresponsif bronkus
diperankan oleh kontraksi otot polos saluran napas (airway smooth muscle /
ASM), penebalan dinding saluran napas, penyempitan saluran napas dan
berbagai mekanisme yang terkait.19 Ada hipotesis yang menyebutkan bahwa
terdapat perubahan fenotip otot polos saluran napas (airway smooth muscle /
ASM) yang bertanggung jawab terjadinya hiperresponsif bronkus.18

19

Components

AHR

Gambar 2.6 Komponen perubahan saluran napas pada asma yang


berkontribusi terhadap hiperresponsif bronkus.45
Penebalan otot polos saluran napas dapat berupa hiperplasi maupun
hipertrofi. Terjadi peningkatan jumlah sel otot polos serta fungsinya sehingga
kontraktilitasnya juga meningkat. Ini kemungkinan salah satu yang
menjelaskan bahwa pada penderita dengan hiperresponsif brokus lebih mudah
terjadi bronkonkonstriksi dibandingkan orang normal.19

Gambar 2.7 Faktor yang berpengaruh terhadap komponen persisten dan


variabel pada hiperresponsif bronkus.45
Sedangkan komponen variabel sifatnya berubah sesuai dengan pengaruh
lingkungan dan inflamasi yang terjadi. Komponen variabel berubah terkait
alergen, infeksi pernapasan dan terapi (misalnya pemberian anti inflamasi).
Hubungan inflamasi dan hiperresponsif bronkus menurut beberapa peneliti
tidak sepenuhnya dipahami secara jelas.45

20

Terdapat tiga karakter klinis yang paling sering ditemui pada Asma,
PPOK, dan ACOS yaitu inflamasi saluran napas, obstruksi saluran napas dan
hiperresponsif bronkus.28
Chronic
inflammation

Airway Obstruction

Airway Remodeling

Airway Edema
Mucus Plugging

Airway
Hyperrsponsiveness

Bronchospasm

Gambar 2.8 Komponen patofisiologi obstruksi dan hiperresponsif pada asma,


PPOK, dan ACOS.46
Inflamasi pada saluran napas menjadi dasar kelainan obstruksi pada Asma
dan PPOK namun berbeda dalam hal sel inflamasi dan mediator yang
berperan. Inflamasi akut merupakan respons jaringan terhadap jejas yang
didesain untuk mempertahankan dan mengembalikan jaringan ke fungsi
semula. Pada asma terjadi peningkatan CD4, limfosit Th2, sel mast teraktivasi
dan eosinofil pada mukosa saluran napas serta fibrosis subepitel. Sedangkan
pada PPOK terjadi peningkatan CD8, limfosit Th1, makrofag di mukosa
saluran napas serta neutrofil di lumen tanpa fibrosis subepitel.43,44
Inflamasi saluran napas, remodeling paru dan hiperresponsif bronkus
merupakan hal yang penting pada Asma dan PPOK. Respons infamasi
terhadap alergen, polusi udara menjadi kunci perubahan struktur saluran
napas termasuk otot polos saluran napas dalam hal aksi imunomodulator,
kontraktilitas serta terjadinya hiperresponsif bronkus pada asma.47
Pemberian terapi anti inflamasi (kortikosteroid) dan kontrol lingkungan
(alergen atau zat toksik lain) akan memperbaiki inflamasi saluran napas dan
hiperresponsif bronkus. Pemberian anti inflamasi (steroid) inhalasi dapat
mengurangi matrik protein ekstrasel di bawah membran basemen.14

21

Sedangkan komponen persisten cenderung kurang berespon terhadap anti


inflamasi dan kontrol lingkungan.19

2.2.4 Airway smooth muscle dan hiperresponsif bronkus


Pada Asma dan PPOK yang keduanya terjadi inflamasi kronis didapati
penebalan otot polos saluran napas.48 Saat terjadi inflamasi baik karena
allergen, infeksi, rokok atau polusi, maka sel akan merilis berbagai mediator
seperti histamine dan leukotriens yang akan merangsang kontraksi otot polos
saluran napas (Airway Smooth Muscle).47
Kemokine dan sitokin yang dirilis akan menyebabkan remodeling saluran
napas. Pada asma, inhalasi allergen akan menyebabkan inflamasi saluran
napas terutama inflamasi eosinofilik yang berhubungan dengan peningkatan
hiperresponsif bronkus.47 Mediator inflamasi seperti TNF-, IL-1 dan
Growth Factor (TGF, bFGF dan PDGF) yang dirilis pada inflamasi kronis
akan memberikan efek mitogeni dan berhubungan dengan remodeling. Efek
remodeling tersebut melalui jalur PI3K dan MAPK. Peningkatan proliferasi
sel otot polos saluran napas tersebut lebih cenderung pada bronkus
dibandingkan pada trakea.48

Gambar 2.9 Peran otot polos saluran napas terhadap remodeling.49


Hiperresponsif bronkus diperankan utama oleh otot polos saluran napas.47
Otot polos saluran napas pada hiperresponsif bronkus mengalami hipertrofi

22

dan hiperplasi yang berakibat peningkatan kuantitas pemendekan maksimal,


peningkatan kecepatan pemendekan, dan pengurangan relaksasi.18
Otot polos saluran napas (ASM) berperan dalam remodeling saluran napas
penderita dengan inflamasi kronis. Berbagai substansi dapat dihasilkan oleh
otot polos saluran napas tersebut, di antaranya adalah kolagen, fibronektin,
MMPs (matrix metalloproteinases), TIMPs (Tissue Inhibitors) yang
mempengaruhi matriks ekstrasel. ASM juga menghasilkan sitokin pro-anti
inflamasi, growth factor (BDNF) dan faktor angiogenesis (VEGF). ASM juga
memiliki mekanisme intraselular (STIM1, Orai1, miRNAs) berupa hipertrofi
dan hiperplasi yang berpengaruh terhadap peningkatan massa otot.49
INNERVATION

INFLAMMATORY
CELLS

Acetylcholine, substance P, etc

AIRWAY SMOOTH MUSCLE


Ca2+

Leukotrienes,
histamines,
cytokines, etc.
Endothelin,
etc.

Contraction
2+

Ca
Rho, ROCK

EPITHELIUM

Gambar 2.10 Skema jalur sinyal kontraksi otot polos saluran napas.50
Inflamasi pada epitel saluran napas akan menghasilkan endothelin yang
akan merangsang kontraksi otot polos saluran napas. Sitokin dan mediator
inflamasi seperti leukotrien, histamin juga akan merangsang reseptor pada sel
otot polos saluran napas untuk berkontraksi. Histamin akan merangsang
melalui reseptor H1. Selain itu melalui jalur neurogenik akan merilis
substansi P, asetilkolin yang juga merangsang kontraksi otot polos melalui
reseptor muskarinik. Rangsangan pada reseptor tersebut akan mengaktifasi
kaskade phosphoinositida yang akan menyebabkan influk Calsium ke intrasel
dan jalur Rho/Rho Kinase sehingga terjadi kontraksi.5,50
Kontraksi otot polos saluran napas dipengaruhi oleh sistem saraf
parasimpatik. Asetilkolin dirilis oleh fiber pasca ganglionik kolinergik dan

23

berikatan dengan reseptor muskarinik (M3) otot polos saluran napas.


Rangsangan tersebut akan menyebabkan sinyal intrasel yang memicu aktivasi
miosin dan kontaksi otot polos saluran napas.51

2.2.5 Hiperresponsif bronkus pada asma


Pajanan terhadap allergen, mikroba, virus dan faktor lingkungan seperti
rokok menyebabkan penebalan epitel dengan hiperplasi sel goblet, hipertrofi
(peningkatan ukuran sel) dan hiperplasi (peningkatan jumlah sel) otot polos
saluran napas (ASM), dan perubahan matrik ekstrasel. Tampak penebalan dan
penambahan otot polos saluran napas49, fibroblas menjadi fibrosis. Hal ini
menyebabkan penebalan dinding saluran napas dan berakibat penyempitan
saluran napas. Saluran napas menjadi kaku dan hiperkontriksi yang berakibat
obstruksi saluran napas dan penurunan kapasitas pernapasan.52
Otot polos saluran napas terdapat pada saluran napas sentral dan perifer.
Relatif lebih banyak pada saluran napas perifer dengan perbandingan rata-rata
sentral:perifer sebesar 2,6:10 (dewasa) dan 2,8:10 (anak-anak). Di saluran
napas sentral, otot polos tersebut lebih transversal, sedangkan di perifer lebih
longitudinal serta tersusun helik. Otot polos ini akan mengalami hipertrofi
dan hiperplasi pada penderita asma.53
Pemeriksaan histopatologi saluran napas pada penderita asma didapati
hipertrofi dan hiperplasi otot polos saluran napas dibandingkan penderita
bukan asma. Penelitian lebih lanjut mendapati dua tipe hipertrofi yaitu
hipertrofi pada saluran napas besar dan hipertrofi pada saluran napas besar
dan kecil. Didapati pula kepadatan sel otot polos yang meningkat, sedangkan
volume satu sel otot polos makin berkurang ke arah perifer cabang bronchial
tree. Selain itu juga didapati peningkatan jumlah sel otot polos pada penderita
asma dibandingkan bukan asma.53

24

Epithelium
ASM
ECM

Thickened Epithelium
Immune Cell Infiltration
Fibroblasts

ASM Hypertrophy and Hyperplasia

Altered ECM Composition and Deposition

Gambar 2.11 Skematik saluran napas orang normal dan penderita asma.
ASM: Airway smooth muscle, ECM: Extracellular Matrix.49
Pada kasus asma akut, terjadi peningkatan respons otot polos terhadap
stimuli kontraksi dari luar melalui peningkatan sinyal Calsium. Sedangkan
pada asma kronis yang terjadi bukan hanya peningkatan sinyal Calsium untuk
berkontraksi saja, namun terjadi hipertrofi dan hiperplasi yang juga
meningkatkan rilis sitokin dan kemokin.5
Inflamasi eosinofilik dan neutrofilik yang ditemukan pada sputum
penderita asma berperan dalam patogenesis obstruksi saluran napas dengan
ditandai penurunan FEV1. Inflamasi eosinofilik cenderung didapati pada
asma akut atau eksaserbasi. Inflamasi neutrofil diduga berperan dalam
penebalan kaliber saluran napas penderita asma kronis.54
Severitas hiperresponsif bronkus berkorelasi kuat terhadap gejala yang
berat dan penurunan FEV1 yang hebat pada pasien Asma. Hiperresponsif
bronkus terkait dengan risiko peningkatan gejala pernapasan seperti batuk
kronis, dahak, sesak napas, mengi menetap, serangan asma dan bronkitis.28
Pemicu eksaserbasi seperti infeksi virus, pajanan alergen, pajanan inhalasi di
tempat kerja dapat meningkatkan hiperresponsif bronkus. Hiperresponsif
bronkus pada penderita asma bervariasi tiap waktu, mengalami peningkatan
saat eksaserbasi dan berkurang dengan pemberian terapi anti inflamasi. Disisi

25

lain, terapi asma dapat memperbaiki obstruksi saluran napas, mengurangi


gejala dan memperbaiki hiperresponsif bronkus.45 Selain itu diyakini bahwa
penderita dengan hiperresponsif bronkus terhadap berbagai stimuli akan
memberikan respons setelah diberikan terapi brokodilator yang sesuai.28

2.2.6 Hiperresponsif bronkus pada perokok


Hiperresponsif bronkus merupakan faktor risiko terhadap penurunan
FEV1 dan berperan pada terjadinya asma dan PPOK. Hal ini tidak terkait
dengan status atopi penderita. Hiperresponsif bronkus dapat menjadi faktor
risiko progresifitas PPOK khususnya penderita tanpa alergi yang dipicu oleh
inflamasi saluran napas terkait asap rokok.26,27
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa hiperresponsif bronkus lebih
banyak pada perokok dibandingkan bukan perokok. Beberapa penelitian
menyebutkan prevalensi hiperresponsif bronkus pada perokok berkisar 1114%. Pada perokok aktif menunjukkan keterkaitan yang kuat terhadap
hiperresponsif bronkus khususnya populasi usia lebih dari 40 tahun.11,

22

Hiperresponsif bronkus pada perokok tanpa gejala lebih tinggi bila


dibandingkan dengan bukan perokok. Perbedaan tersebut lebih terlihat pada
penderita usia tua terkait makin lamanya merokok.29 Semakin banyak rokok
yang dihisap maka berkorelasi terhadap hiperresponsif bronkus pada
perokok.11 Merokok memberikan risiko terjadinya hiperresponsif bronkus.28
Sebuah studi multisenter terhadap perokok didapati obstruksi borderline
sampai sedang. Hasil provokasi bronkus didapati dua pertiga positif dengan
sampel wanita lebih banyak dibandingkan laki-laki (85% dibanding 59%).23
Penelitian yang lain menyebutkan 14,3% hiperresponsif bronkus pada lakilaki dan 27,7% pada wanita.11
Beberapa

faktor

menjelaskan

efek

rokok

terhadap

terjadinya

hiperresponsif bronkus. Terdapat dua mekanisme terjadinya, yang pertama


rokok menyebabkan inflamasi kronis dan kerusakan epitel yang berakhir
dengan timbulnya hiperresponsif bronkus. Penyebab kedua yaitu kaliber

26

saluran napas yang makin menyempit pada usia tua sehingga menyebabkan
lebih mudah terjadinya hiperresponsif bronkus.29
Rokok

selain

menginduksi

PPOK

juga

berkontribusi

terhadap

hiperresponsif bronkus melalui jalur inflamasi. Induksi inflamasi saluran


napas dan perubahan geometrik saluran napas berupa hipertrofi otot polos
bronkiolus, hipersekresi mukus dan kerusakan alveoli.30 Pajanan asap rokok
memiliki hubungan yang kuat dengan terjadinya hiperresponsif bronkus. Jalur
sinyal

MAPK

(Mitogen-activation

Protein

Kinase)

intrasel

diduga

berhubungan dengan kerusakan saluran napas pada hiperresponsif bronkus.


Pajanan asap rokok pasif menginduksi upregulasi transkripsi reseptor 5hydroxytriptamine pada otot polos tikus yang memperantarai terjadinya
hiperresponsif bronkus.12
Penelitian oleh Dima dkk 2010 terhadap orang sehat, perokok, asma bukan
perokok, asma perokok, PPOK dan PPOK yang reversibel memberikan hasil
yang menarik. Pada PPOK didapati peningkatan neutrofil sputum, IL-8, TNF dibandingkan pada asma perokok. Pada PPOK dan asma perokok terjadi
peningkatan neutrofil yang berhubungan dengan penurunan FEV1. Inflamasi
neutrofilik berkontribusi terhadap obstruksi aliran udara yang irreversibel
pada asma perokok.31 Hal ini berakibat terjadi resistensi steroid pada pasien
asma perokok dengan peningkatan neutrofil. Disisi lain terdapat penderita
PPOK dengan eosinophilia sputum yang membaik dengan steroid.28
Pada asma perokok terjadi penurunan eosinofil, hal ini diduga bahwa
nitric oxide (NO) pada rokok dapat meningkatkan apoptotis eosinofil yang
teraktifasi. Selain itu nikotin menyebabkan efek imunomodulator sekunder
terhadap fungsi eosinofil melalui penghambatan rilis sitokin pro-inflamasi
dari makrofag. Hal ini yang menyebabkan peningkatan neutrofil saluran
napas pasien asma perokok yang berhubungan dengan obstruksi saluran napas
yang persisten dan penurunan FEV1.31
Program berhenti merokok dapat menurunkan hiperresponsif bronkus. Hal
ini karena berkurangnya inflamasi pada saluran napas perokok.23 Penelitian
Piccilo dkk tahun 2008 terhadap perokok (yang memiliki rinitis alergi dengan

27

atau tanpa asma, dengan hasil skin tes positif) yang menjalani program
berhenti merokok (n=30 orang). Didapati 16 orang berhasil berhenti merokok
selama periode pengamatan 12 bulan. Tes provokasi bronkus langsung
(metakolin) dan tidak langsung (adenosine 5-monophosphat / AMP)
dilakukan pada 6 bulan dan 12 bulan dengan hasil teradapat perbaikan
hiperresponsif bronkus pada perokok yang berhasil berhenti. Pada
pengamatan 6 bulan, hasil tes provokasi bronkus dengan AMP lebih
bermakna dibandingkan dengan metakolin, namun pada pengamatan 12 bulan
keduanya terdapat perbaikan yang bermakna.33

Gambar 2.12 Perubahan hiperresponsif bronkus tidak langsung (AMP) dan


langsung (Mch) pada perokok yang berhasil dan gagal berhenti merokok,
diamati pada 6 bulan dan 12 bulan.33
Hiperresponsif bronkus berhubungan dengan mortalitas pada laki-laki
menurut penelitian Becker dkk. 2013 (OR=2,6 CI 95%:1,3-5,3 dengan adjust
usia dan BMI). Faktor potensial yang menjelaskan hubungan hiperresponsif
bronkus dengan mortalitas adalah rokok, PPOK dan asma. Hal ini
mengindikasikan bahwa hiperresponsif bronkus merupakan prediktor tak
langsung dari mortalitas tersebut, sedangkan penurunan FEV1 merupakan
prediktor independen terhadap semua kasus kematian.11

28

2.2.7 Hiperresponsif bronkus pada PPOK


Secara umum hiperresponsif bronkus sering didapati pada penderita asma,
namun tidak menutup kemungkinan bahwa penderita PPOK juga didapati
hiperresponsif bronkus. Pada sebagian kecil penderita PPOK terdapat
hiperresponsif bronkus derajat ringan.2 Peningkatan hiperresponsif bronkus
menjadi prediktor bermakna terhadap penurunan fungsi paru sehingga
hiperresponsif bronkus merupakan salah satu faktor risiko PPOK.4 Penderita
dengan hiperresponsif bronkus dapat berkembang menjadi asma maupun
PPOK.11
Hiperresponsif bronkus merupakan karakteristik berbagai penyakit
inflamasi paru bukan hanya asma.24 Karakteristik hiperresponsif bronkus
pada PPOK tidak sepenuhnya dipahami. Hiperresponsif bronkus pada PPOK
ini terkait mekanisme yang bervariasi seperti penurunan fungsi paru dan
status merokok yang menyebabkan penyempitan saluran napas.23,25
Beberapa penderita PPOK dan obstruksi saluran napas yang menetap akan
menghasilkan tes metakolin yang positif tanpa gejala asma dan tidak
memberikan

respons

terhadap

bronkodilator.

Keduanya

dibedakan

berdasarkan riwayat klinis seperti usia penderita, riwayat merokok, alergi dan
pemicu.16
Dilaporkan bahwa setengah sampai dua pertiga penderita PPOK memiliki
hiperresponsif bronkus.18,23,25 Sebuah studi multisenter penderita PPOK (the
Lung Health study) menyebutkan tes metakolin positif sebesar 63% sampel
laki-laki dan 87% sampel wanita. Hal ini terkait kaliber saluran napas wanita
yang diduga lebih sempit dari laki-laki.22 Penelitian GLUCOLD (Groningen
Leiden Universities Corticosteroids in Obstructuive Lung Disease) terhadap
114 subjek PPOK didapati 94% dengan tes metakolin yang positif dan
berhubungan dengan jenis kelamin wanita, eosinofilia, penutupan saluran
napas (rasio RV/TLC), respons terhadap bronkodilator, dan penurunan faal
paru.24

29

Pada penelitian Hantera 2013, dua puluh empat (48%) dari 50 penderita
PPOK GOLD 1 atau GOLD 2 didapatkan hasil tes provokasi bronkus dengan
metakolin yang positif. Pada penelitian ini dipakai batas PC20 1-4mg/ml
sebagai hiperresponsif bronkus sedang.25 Pada sebagian kecil penderita PPOK
terdapat hiperresponsif bronkus dengan derajat ringan.2 Hiperresponsif
bronkus ringan sampai sedang pada PPOK tersebut terkait pengurangan
diameter kaliber saluran napas yang disebabkan pemendekan otot polos
saluran napas.26
Pada pasien PPOK bisa didapati hasil uji provokasi bronkus yang positif.
Hal ini disebabkan karena secara klinis tidak jarang didapati tumpang tindih
antara PPOK dengan dengan penyakit paru lainnya terutama asma. Terdapat
penderita PPOK dengan fenotip terkait hiperresponsif bronkus.25 Dan
sebaliknya terdapat penderita asma dengan fenotip yang menyerupai PPOK
sehingga ada peneliti yang mengistilahkan sebagai smoking asthmatic dan
PPOK reversible.31 Tumpang tindih tersebut akhir-akhir ini sering
diistilahkan sebagai ACOS (Asthma-COPD overlap syndrome) terutama pada
pasien tua dengan prevalensi kejadian sekitar 15-25% kasus. Panduan PPOK
Spanyol membagi fenotip PPOK menjadi empat untuk kepentingan terapi
yaitu non-eksaserbator dengan emfisema dan bronkitis kronis, campuran
asma-PPOK, eksaserbator dengan emfisema dan eksaserbator dengan
bronkitis kronis.28
Mekanisme yang mendasari hiperresponsif bronkus pada asma berbeda
dibandingkan pada PPOK.18,23 Pada asma dan PPOK terdapat obstruksi,
remodeling dan inflamasi saluran napas, namun keduanya memiliki klinis,
patofisiologi, sel inflamasi dan mediator yang berbeda. Remodeling pada
asma dan PPOK berbeda, pada asma dimulai sejak dini dan pada PPOK
dimulai pada umur yang lebih tua.44 Remodeling saluran napas mengacu pada
perubahan struktur yang kronis dan irreversibel yang didasari oleh inflamasi
kronis.19 Remodeling terdiri dari edema mukosa, inflamasi, hipersekresi
mukus, pembentukan plug mukus, hipertrofi dan hiperplasi otot polos saluran
napas yang berakibat penebalan dinding saluran napas.28

30

PPOK berbeda dengan asma dalam hal terjadinya hiperresponsif bronkus.


Penurunan FEV1 merupakan konsekuensi dari pengurangan kaliber saluran
napas dan penebalan dinding saluran napas. Penurunan FEV1 pada PPOK
cenderung karena penyempitan kaliber saluran napas (komponen persisten).
Pada asma pengaruh komponen persisten secara minor mempengaruhi
hiperresponsif bronkus dibandingkan pada PPOK. Karakter penderita PPOK
kurang berespon terhadap stimulus tidak langsung dalam menghasilkan
hiperresponsif bronkus karena stimulus tidak langsung lebih berperan melalui
jalur inflamasi.19

Gambar 2.13 Skema mekanisme hiperresponsif bronkus pada PPOK. AHR:


Airway hyperresponsiveness, ASM: Airway smooth muscle, AW: Airway
wall, DI: Deep inspiration.23
Penelitian oleh van den Berge melaporkan bahwa hiperresponsif bronkus
adalah karakter independen pada PPOK yang memberikan informasi tentang
heterogenisitas fenotip dan aktivitas penyakit. Hiperresponsif bronkus pada
PPOK terkait dengan peningkatan Residual Volume (RV) atau Total Lung
Capacity (TLC) sebagai tanda adanya air trapping dan inflamasi saluran
napas yang ditunjukkan dengan peningkatan jumlah neutrofil, makrofag dan
limfosit pada sputum dan biopsi bronkus.32 Penelitian Walker dkk tahun 2008
terhadap penderita PPOK derajat sedang-berat (n=25 orang) didapati

31

penurunan FEV1 yang bermakna pasca inhalasi metakolin yang diduga


karena peningkatan residual volume karena adanya air trapping pada PPOK.26
Hiperresponsif bronkus pada PPOK melalui berbagai mekanisme yang
diringkas pada skema di atas. Rokok merupakan faktor inflamasi yang
memicu kaskade terjadinya hiperresponsif bronkus. Faktor inflamasi dan
genetik berperan dalam patogenesis hiperresponsif bronkus pada PPOK.23
Program berhenti merokok terbukti memperbaiki hasil tes provokasi
bronkus baik langsung dan tidak langsung pada penderita PPOK. Program
selama 1 tahun menunjukkan perbaikan hiperresponsif bronkus, namun tidak
bermakna terhadap inflamasi sputum dan faal paru penderita PPOK. Hal ini
terkait berkurangnya stimulasi reseptor iritan, perubahan dinding saluran
napas dan hipersekresi mukus. Namun jumlah sel neutrofil tetap meningkat
setelah 12 bulan program berhenti merokok.30 Penelitian prospektif 5 tahun
the Lung Health Study terhadap pasien PPOK ringan usia 35-60 tahun
(n=4.201 orang) didapati peningkatan hiperresponsif bronkus pada penderita
yang terus merokok dan hal ini berhubungan dengan penurunan FEV1.34
Tes provokasi bronkus pada PPOK dikontraindikasikan bila obstruksi
berat dengan FEV<50% prediksi. Hal ini karena sulit menilai hasil tes
provokasi bronkus yang positif bila spirometri dasar menunjukkan obstruksi
saluran napas (FEV1/FVC yang rendah dan FEV1 yang rendah). Hal ini
disebabkan bahwa hiperresponsif brokus berkorelasi kuat dengan derajat
obstruksi dasar pada PPOK.37 Terdapat korelasi positif antara FEV1/FVC
dengan PD20 pada pasien PPOK yang tidak didapati pada asma. Hal ini
menunjukkan bahwa hiperresponsif pada PPOK tergantung pada kaliber
saluran napas.23
Penelitian multisenter terhadap 1.000 penderita PPOK dilaporkan gejala
pasca tes metakolin di antaranya batuk (25%), sesak (21%), mengi (10%),
pusing (6%), dan sakit kepala (2%). Secara keseluruhan dua pertiga penderita
tidak bergejala ketika meninggalkan klinik. Efek samping yang terlambat
jarang terjadi, hanya 0,3% penderita mengeluhkan nyeri dada beberapa hari
setelah tes metakolin.37

32

Sekitar 25% penderita PPOK memberikan respons yang baik terhadap


terapi steroid. Diduga pada penderita PPOK dengan tampilan menyerupai
asma didapatkan respons terhadap terapi steroid. Dilaporkan penderita PPOK
dengan peningkatan eosinofil pada sputum mendapat manfaat pada
pemberian steroid. Penelitian Verhoeven dkk tahun 2002 terhadap penderita
PPOK yang diberikan steroid inhalasi dan diamati pada bulan ketiga dan
enam didapati penurunan hiperresponsif bronkus dibandingkan placebo
meskipun tidak signifikan.35

Gambar 2.14 Persentase kematian pada PPOK dibandingkan tes provokasi


bronkus dengan histamin.36
Hiperresponsif bronkus merupakan prediktor kematian pada PPOK.
Semakin berat hiperresponsif bronkus pada PPOK semakin tinggi tingkat
mortalitasnya. Tingkat mortalitas pada hiperresponsif bronkus pasien PPOK
dikaitkan dengan makin banyaknya jumlah rokok yang dikonsumsi.36

2.3 Tes Spirometri


2.3.1 Definisi tes spirometri
Tes spirometri atau dikenal sebagai tes faal paru merupakan tes fisiologi
untuk mengukur volume inspirasi dan ekspirasi udara seseorang dikaitkan
dengan waktu. Pengukuran yang dinilai adalah volume dan flow.55
Pemeriksaan faal paru yang sering dilakukan adalah FVC (Forced Expiratory

33

Capacity) yaitu penderita diminta melakukan inhalasi maksimal lalu ekshalasi


pakasa secara cepat dan sekuat mungkin.56
Pemeriksaan spirometri digunakan untuk pemeriksaan volume paru statis
dan dinamik. Volume udara di dalam paru pada keadaan statis terdiri dari: 57
1. Tidal volume (TV) yaitu jumlah udara yang dihisap (inspirasi) tiap kali
pada pernapasan tenang.
2. Expirasi reserve volume (ERV) yaitu jumlah udara yang dapat
dikeluarkan secara maksimal setelah ekspirasi biasa.
3. Inspirasi reserve volume (IRV) yaitu jumlah udara yang bisa dihisap
maksimal setelah inspirasi biasa.
4. Residual volume (RV) yaitu jumlah udara yang tertinggal di dalam paru
pada akhir ekspirasi maksimal.
Gabungan dari beberapa volume paru disebut sebagai kapasitas paru
yang terdiri dari:57
5. Vital capacity (VC) yaitu jumlah udara yang bisa dikeluarkan maksimal
setelah inspirasi maksimal, yakni gabungan TV + IRV + ERV.
6. Slow vital capacty (SVC) sama dengan VC tapi dilakukan secara pelan.
7. Inspiratory capacity (IC) yaitu jumlah udara yang bisa dihisap
maksimal setelah ekspirasi hasil, yakni gabungan TV + IRV.

Gambar 2.15 Grafik faal paru statik volume perwaktu.56


8. Functional residual capacity (FRC) yaitu udara yang ada di dalam paru
pada akhir ekspirasi biasa, yakni gabungan ERV + RV.

34

9. Total lung capacity (TLC) yaitu jumlah udara yang ada di dalam paru
pada akhir inspirasi maksimal, yakni gabungan IRV + TV + ERV +
RV.
Sedangkan volume dinamik faal paru terdiri dari:57
1. Forced expiratory volume 1 (FEV1) yaitu jumlah udara yang dapat
dikeluarkan sebanyak-banyaknya dalam 1 detik pertama pada waktu
ekspirasi maksimal setelah inspirasi maksimal. Dalam 1 detik pertama,
sekitar 80% udara yang diinhalasi dapat dikeluarkan.
2. Forced vital capacity ( FVC )
Adalah volume gas yang dapat dikeluarkan dengan sekuat - kuatnya dan
secepat-cepatnya setelah suatu inspirasi maksimal. Udara ekspirasi akan
habis dalam waktu 4-6 detik.
3. Forced expiratory volume ( FEVT)
Forced expiratory volume adalah volume gas yang dikeluarkan selama
interval waktu yang ditentukan , diukur pada saat melaksanakan pengukuran
forced vital capacity/ FVC. Interval dapat 0.5 , 1 , 2, atau 3 detik sehingga
diperoleh FEV 0.5 , FEV1.0 , FEV 2.0 dan FEV 3.0.
4. Forced expiratory flow200-1200 /FEF 200-1200
Adalah flow rate rata - rata untuk liter gas yang dikeluarkan setelah 200 ml
gas yang pertama, diukur saat melaksanakan manuver forced expiratory
volume dan disebut juga sebagai maximal expiratory flow rate / MEFR

200-

1200.

5. Forced expiratory flow25%-75% / FEF 25%-75%


Adalah flow rate rata - rata pada saat pertengahan forced expiratory volume
dan disebut juga sebagai maximal mid -flow rate / MMFR.
6. Peak expiratory flow rate / PEFR
Peak flow adalah flow rate maksimal yang dapat dicapai selama manuver
forced expiratory volume.
7. Maksimal voluntary ventilation / MVV
Yaitu jumlah udara yang bisa dikeluarkan sebanyak-banyaknya dalam 1
menit dengan bernapas cepat dan dalam secara maksimal.

35

8. Volume dinamik spirometri biasa hanya dapat mengukur IRV, TV ERV,


VC dan IC Untuk pengukuran RV, FRC dan TLC diperlukan spirometer
khusus atau dengan pletismograf.

FVC

Gambar 2.16 Grafik faal paru dinamik volume perwaktu dan Flow
pervolume.56

2.3.2 Indikasi dan kontraindikasi


Pemeriksaan spirometri diindikasikan untuk diagnosis, monitoring,
evaluasi, dan surveilens. Indikasi tes spirometri dapat dilihat pada tabel 2.3 di
bawah ini.55
Kontraindikasi pemeriksaan faal paru di antaranya adalah infark miokar,
angina unstable, pasca operasi torako-abdominal, pasca operasi mata,
aneurisma toraks atau abdomen dan pneumotoraks.58
Tabel 2.3 Indikasi tes spirometri.55
Diagnosis
- Evaluasi gejala, pemeriksaan fisik, hasil laboratorium dan foto
rongsen yang abnormal (misal batuk, mengi, sesak, rongki dan
lainnya).58
- Mengukur efek penyakit terhadap fungsi pernapasan
- Skrining risiko individu mempunyai penyakit paru
- Menilai risiko pre-operatif (misalnya operasi paru, abdomen,
kardiotoraks).58
- Menilai prognosis
- Menilai status kesehatan sebelum memulai program aktivitas fisik
yang berat
Monitoring
- Menilai progresivitas dan intervensi terapi (misal pada fibrosis
interstitial, PPOK, Asma, Penyakit pembuluh darah paru).58
- Menjelaskan perjalanan penyakit yang mempengaruhi fungsi paru
- Monitor orang yang terpajan agen berbahaya (misalnya radiasi, terapi,

36

pajanan lingkungan atau pekerjaan).58


- Monitor efek samping obat yang toksik terhadap paru
Evaluasi disabilitas
- Menilai pasien dalam program rehabilitasi paru
- Menilai risiko terkait evaluasi asuransi
- Menilai individu untuk alasan hokum
Kesehatan masyarakat
- Survei epidemiologi
- Sumber referensi sebuah persamaan
- Penelitian klinis
2.3.3 Pelaksanaan tes spirometri
Pemeriksaan spirometri harus dilakukan dengan teknik yang standar.
Pemeriksaan spirometri perlu kerja sama antara pasien dan petugas. 2
Berikut adalah skema langkah pemeriksaan spirometri.5
Kriteria alat spirometer
Validasi alat
Kontrol kualitas
Manuver pasien

Prosedur pengukuran
Akseptabilitas
Repetabilitas
Nilai rujukan / intepretasi

Penilaian klinis
Penilaian
kualitas

Umpan balik untuk tehnisi

Gambar 2.17 Skema alur tes spirometri.53


Untuk mendapatkan spirogram yang baik diperlukan usaha (effort) pasien
yang baik, maneuver yang baik (onset cepat dan penuh tenaga), tidak batuk,

37

dan tidak ada terminasi awal waktu ekspirasi (minimal ekshalasi 6 detik
dengan tidak ada perubahan volume dalam waktu 1 detik terakhir).59

2.3.4 Intepretasi hasil tes spirometri


Sebelum mengintepretasi harus diamati apakah hasil memenuhi salah satu
syarat yaitu reprodusibiliti. Reproducible effort harus dalam rentang 5% atau
100ml dibandingkan dengan effort yang lain.59
Pemeriksaan faal paru yang sering dilakukan adalah menilai volume
terhadap waktu. Faal paru dinamik yang dinilai adalah FEV1, FVC, rasio
FEV1/FVC. Hasil yang didapatkan dibandingkan dengan prediksi.58
Pengukuran spirometri dievaluasi dengan membandingkan hasil pengukuran
terhadap nilai prediksi yang tepat berdasarkan usia, tinggi badan, jenis
kelamin dan ras. Nilai FEV1 pasca bronkodilator <80% prediksi serta nilai
FEV1/FVC <70% memastikan adanya obstruksi saluran napas yang tidak
sepenuhnya reversibel.2
Berdasarkan pemeriksaan airflow dan volume paru, kelainan respirasi
dapat dikelompokkan menjadi kelainan restriksi, obtruksi atau campuran.
Kelainan restriktif adalah setiap keadaan sebagai akibat kemampuan distensi
paru sebagian atau seluruhnya berkurang, sehingga pembagian udara yang
masuk paru mengalami gangguan. Kelainan restriksi ditandai dengan
pengurangan volume paru terutama TLC <80% prediksi. Penurunan TLC
menentukan derajat keparahan restriksi. Pada kelainan restriksi, pengurangan
volume paru menyebabkan pernurunan airflow FEV1, namun rasio airflow
terhadap volume paru meningkat sehingga FEV/FVC normal atau meningkat.
Contoh kelainan restriksi adalah fibrosis intra pulmonal, edema paru, kelainan
dinding dada (kyphoscoliosis), kelainan neuromuskuler.58,59

38

Tabel 2.4 Kelainan respirasi restriksi dan obstruksi menurut ATS/ERS


2005.60
Abnormalitas

Diagnosis

Obstruksi

FEV1/FVC <5 persentil prediksi


Penurunan volume paru karena flow yang rendah tidak spesifik
pada penyakit saluran napas kecil
Penurunan FEV1 dan VC paling sering disebabkan oleh manuver
yang tidak adekuat dan jarang menggambarkan obstruksi aliran
udara.
Pengukuran volume paru diperlukan untuk mengkonfirmasi
obstruksi jalan napas guna membantu diagnosis emfisema, asma
bronkial, bronkitis kronis dan hiperinflasi paru
Pengukuran resistensi aliran udara dapat digunakan pada pasien
yang tidak mampu melakukan manuver spirometri

Restriksi

TLC <5 persentil prediksi


Penurunan VC tidak membuktikan kelainan paru restriktif,
namun dicurigai terjadi restriksi bila FEV1 / VC normal atau
meningkat

Campuran

FEV1/FVC dan TLC <5 persentil prediksi

Gambar 2.18 Skema sederhana untuk menilai faal paru pada penggunaan
klinis.60

39

Sedangkan penurunan FEV1 menunjukkan obstruksi saluran napas, dapat


juga mencerminkan reduksi TLC (penyakit paru restriksi) dan untuk
membedakannya dengan kelainan restriksi dapat digunakan rasio FEV1/FVC.
Kelainan obstruktif adalah setiap keadaan sebagai akibat hambatan aliran
udara karena adanya sumbatan atau penyempitan saluran pernapasan,
contohnya pada asma bronkial, bronkitis, PPOK, emfisema. Rasio
FEV1/FVC <70% dengan penurunan

FEV1 menggambarkan kelainan

obstruksi. Tingkat obstruksi dilihat dari persentase FEV1 dibandingkan


prediksi.58
Tabel 2.5 Derajat obstruksi berdasarkan FEV1.58
FEV1

Derajat obstruksi

>80%

Ringan

50-79%

Sedang

30-49%

Berat

<30%

Sangat berat

Hasil tes spirometri dapat ditampilkan dalam bentuk grafik volume per waktu
atau flow per volume.

2.4 Tes Provokasi Bronkus


2.4.1 Definisi tes provokasi bronkus
Uji Provokasi bronkus adalah tes untuk menilai hiperresponsif bronkus.
Kebanyakan penderita bergejala asma akan memberikan hasil provokasi
bronkus yang positif.37 Tes provokasi bronkus merupakan tes yang sensitif,
reliable,

reproducible,

aman,

cepat

dan

mudah

dilakukan

selama

memperhatikan persiapan dan kontraindikasinya. Tes metakolin dapat


dilakukan di laboratorium faal paru, klinik atau kantor seorang dokter.38
Tes provokasi bronkus sering digunakan dalam mendiagnosa asma
terutama kasus penderita dengan gejala menyerupai asma namun hasil faal
paru normal.14,23,40 Hasil tes provokasi bronkus yang positif menunjukkan
saluran

napas

yang

lebih

responsif

terhadap

stimulasi

dari

luar.

Hiperresponsif bronkus bermanfaat dalam menentukan dosis steroid inhalasi

40

yang optimal karena terapi berdasarkan gejala dan faal paru saja tidak cukup.
Derajat hiperresponsif bronkus pada asma dapat memberikan informasi
tentang prognosis. Kejadian eksaserbasi lebih tinggi pada penderita asma
dengan hiperresponsif bronkus yang berat.23
Ada dua jenis tes provokasi bronkus yaitu cara langsung dan tidak
langsung. Cara langsung dengan menggunakan agen farmakologi seperti
histamin dan metakolin (analog asetilkolin). Sedangkan cara tidak langsung
dengan stimulus fisik (latihan, hiperventilasi eukapnik, udara dingin, salin
hipertonis,

air

suling)

dan

stilmulus

kimiawi

(manitol,

adenosine

seperti

metakolin

monophosphate).22
Stimulus

bahan

tidak

spesifik

pada

bronkus

menyebabkan otot polos bronkus berkontraksi (bronkokonstriksi) secara


langsung. Inhalasi metakolin akan berinteraksi dengan reseptor muskarinik
M3 otot polos saluran napas sedangkan inhalasi histamin akan merangsang
kontraksi melalui reseptor histaminergik H1.19,51 Sedangkan stimulus tidak
langsung akan berpengaruh pada sel inflamasi saluran napas yang akan
merilis berbagai mediator seperti prostaglandin, leukotriene dan histamine
yang berpengaruh pada reseptor otot polos bronkus untuk berkontraksi.16,39
Stimulus tidak langsung tersebut menyebabkan degranulasi dari sel mast.51
Stimulus langsung merefleksikan komponen persisten melalui kontraksi
otot polos saluran napas. Sedangkan stimulus tidak langsung merefleksikan
komponen variabel hiperresponsif bronkus melalui mekanisme inflamasi.19,38
Hasil penelitian penderita asma menyebutkan sensitivitas dan spesifisitas
tes provokasi brokus metakolin lebih tinggi dibandingkan dengan manitol.
Metakoline dengan cut point PC20 (mg/ml) memiliki sensitifitas sebesar 80,3
dan spesifisitas sebesar 65,2. Sedangakan manitol dengan cut point PD20
(mg) dengan sensitifitas 78.6 dan spesifisitas 60,2. Disebutkan juga bahwa
manitol lebih sensitif dibandingkan latihan dalam menilai hiperresponsif
bronkus. Namun penderita asma dengan hasil tes metakolin atau manitol yang
negatif, dua puluh persen di antaranya memiliki hasil tes latihan positif, ini
dikenal sebagai Exercise-induced bronchoconstriction (EIB) yang merupakan

41

tanda awal asma. Oleh karena itulah beberapa peneliti sering menggunakan
tes kombinasi untuk mendiagnosis atau menyingkirkan asma. Tes latihan ini
sering digunakan pada atlit, pemadam kebakaran, penyelam, perokok, anak,
evaluasi batuk, konfirmasi asma dan menilai terapi (seperti kortikosteroid).39
Tes Provokasi bronkus

Langsung

Tidak Langsung

Latihan
Salin Hipertonik
Adenosin monophosphat (AMP)
Manitol
Hiperventilasi Eukapnik Volunter (EVH)

Metakolin
Histamin

Gambar 2.19 Diagram tes provokasi bronkus langsung dan tidak langsung.16
Tes provokasi bronkus dengan metakolin atau dikenal dengan Metacholine
Challenget Test (MCT) dan kita singkat sebagai tes metakolin merupakan
salah satu tipe dari tes provokasi bronkus langsung. Metakolin adalah
termasuk

agonis

muskarinik

yang

sangat

sensitif

mengidentifikasi

hiperresponsif bronkus. Tes metakolin lebih dominan menilai kontraksi otot


polos bronkus dan komponen terkait remodeling saluran napas.16
Tes Metakolin adalah tes yang sensitif dengan nilai prediksi

negatif

(NPV) lebih tinggi dibanding nilai prediksi positif (PPV), artinya tes ini lebih
mudah dalam menyingkirkan diagnosis asma dibandingkan mendiagnosis
asma.16,40 Penderita dengan hasil tes metakolin yang negatif akan mendukung
diagnosis bahwa penderita bukan asma sedangkan hasil yang positif tidak
selalu penderita memiliki asma. Hasil tes metakolin positif menggambarkan
adanya jejas saluran napas yang bukan hanya didapati pada penderita asma

42

saja.39 Tes metakolin merupakan tes yang telah terbukti lebih baik dibanding
yang lainnya.37
Tes provokasi bronkus dapat digantikan dengan tes bronkodilator
khususnya pada obstruksi berat. Penderita dengan obstruksi berat dengan
FEV1<50% prediksi merupakan kontraindikasi dilakukan tes provokasi
bronkus.46

2.4.2 Indikasi dan kontraindikasi


Tes metakolin merupakan salah satu metode pemeriksaan hiperresponsif
bronkus. Tes ini diindikasikan untuk pemeriksaan penderita asma dan asma
kerja. Namun karena hiperresponsif bronkus bisa didapati secara luas pada
berbagai penyakit seperti PPOK (obstruksi yang diinduksi oleh asap rokok),
gagal jantung, kistik fibrosis, bronkitis, dan rinitis alergi maka tes provokasi
bronkus dengan metakolin dapat dipakai.37
Tampilan klinis asma berupa mengi, batuk, peningkatan total eosinofil
darah tidak spesifik sebagai diagnosis asma. Tes metakolin sering dipakai
untuk penderita dengan gejala menyerupai asma namun hasil faal paru yang
normal / mendekati normal atau tes bronkodilator dengan peningkatan FEV1
tidak melebihi 12% atau 200ml.38
Kontraindikasi tes provokasi brokus terdiri dari kontraindikasi absolut dan
relatif yang ditampilkan pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.6 Kontraindikasi Tes Provokasi Bronkus.37
Kontraindikasi Absolut dan Relatif
Absolut - Obstruksi saluran napas berat (FEV1<50% prediksi atau <1 L)
- Serangan jantung atau stroke dalam 3 bulan terakhir
- Hipertensi tidak terkontrol, tekanan sistol>200 atau diastol>100
- Aneurisma Aorta
Relatif
- Obstruksi saluran napas sedang (FEV1<60% prediksi atau <1,5 L)
- Tidak bisa melakukan pemeriksaan spirometri dengan baik
- Hamil / menyusui
- Dalam pengobatan Cholineesterase Inhibitor
Penderita dengan hiperresponsif bronkus akan didapati hasil provokasi
bronkus yang positif yaitu terdapat penurunan FEV1 lebih dari 20% setelah
dilakukan tes provokasi. Penurunan FEV1 yang drastis kadang terjadi selama

43

tes provokasi bronkus. Risiko penurunan FEV1 tersebut dapat meningkat


pada penderita dengan fungsi paru awal yang rendah. Terdapat perbedaan
pendapat batas (cut-off) FEV1 penderita yang diperbolehkan melakukan tes
provokasi bronkus. Beberapa peneliti menggunakan batas 80%, 70%, 65%
dan 60%.37 Pada penelitian ini dipakai FEV1 baseline >50% yang dapat
menjalani tes metakolin.
Penderita yang akan menjalani tes provokasi bronkus harus dapat
melakukan pemeriksaan faal paru / spirometri dengan baik. Pemeriksaan
spirometri harus dapat diterima / acceptable. Bila penderita tidak dapat
melakukan spirometri dengan baik maka tes provokasi bronkus ditunda dan
dijadwalkan ulang pada waktu yang lain. Sulit untuk menilai hasil tes
provokasi bronkus yag positif bila spirometri dasar menunjukkan obstruksi
saluran napas (FEV1/FVC yang rendah dan FEV1 yang rendah).37
Penderita dengan hipertensi tak terkontrol, serangan jantung dan stroke
tidak dapat dilakukan tes provokasi brokus karena tes ini dapat memicu stres
kardiovaskuler. Bronkospasme menyebabkan mismatch perfusi-ventilasi yang
akan menyebabkan hipoksemia arteri. Hal ini akan berakibat kompensasi
perubahan tekanan darah, cardiac output, dan denyut jantung. Aritmia dapat
terjadi saat dilakukan manuver FVC.37
Metakolin merupakan obat dengan kategori C sehingga perlu dihindarkan
pada ibu hamil dan menyusui. Metakolin tidak diketahui apakah dapat
disekresi melalui ASI sehingga dapat menyebabkan gangguan fetal.37

2.4.3 Kualifikasi tehnisi


Tehnisi yang melakukan tes metakolin tidak diperlukan memiliki
sertifikasi khusus. Direktur laboratorium paru bertanggung jawab untuk
mengevaluasi dan memverifikasi kualifikasi orang yang melakukan tes
tersebut. Seorang tehnisi tes metakolin harus mengenal pedoman dan
pengetahuan tentang prosedur tes metakolin, mampu mengelola peralatan,
verifikasi fungsi, pemeliharaan, dan pembersihan. Selain itu seorang tehnisi
harus ahli dalam hal spirometri, mengetahui kontraindikasi tes metakolin,

44

mengetahui prosedur keselamatan dan darurat, mengetahu kapan harus


menghentikan tes metakolin serta mahir dalam administrasi bronkodilator
inhalasi dan evaluasi respons penderita yang menjalani tes metakolin.37
Disebutkan bahwa persyaratan di atas diperlukan untuk menghasilkan
kualitas hasil tes metakolin yang baik dan keselamatan penderita yang
menjalani tes. Setidaknya seorang tehnisi baru harus menjalani pelatihan 4
hari dan telah melakukan 20 kali tes yang diawasi oleh supervisor untuk
menjadi tehnisi yang mahir.37
Tehnisi yang memiliki asma sebaiknya tidak melakukan tes metakolin
karena risiko terhirup metakolin yang menyebabkan bronkokonstriksi.
Tehnisi harus membaca instruksi dari perusahaan yang tercantum pada label
metakolin. Alat tes metakolin harus juga dilakukan kalibrasi.38

2.4.4 Keamanan tes


Tes metakolin telah dipakai lebih dari 30 tahun dan telah dilakukan
berbagai penelitian dan publikasi. Pada tahun 1999, ATS mempublikasikan
panduan tes metakolin yang kemudian direvisi bersama antara ATS dan ERS.
Inhalasi metakolin akan menyebabkan bronkokonstriksi sehingga keamanan
bukan hanya ditujukan kepada penderita saja namun juga untuk tehnisi. Hal
ini akan mempengaruhi ruang tes metakolin dan prosedur pengujiannya.
Pencegahan merupakan tindakan untuk keselamatan penderita yang menjalani
tes metakolin.37
Direktur medis laboratorium, dokter lain, atau orang lain yang terlatih
untuk menangani bronkospasme akut (termasuk penggunaan peralatan
resusitasi) harus cukup dekat untuk merespon dengan cepat keadaan darurat.
Pasien tidak boleh ditinggalkan selama prosedur setelah dimulai pemberian
metakolin.37,38
Obat dan perlengkapan keselamatan harus tersedia di tempat tes
metakolin. Obat untuk mengatasi bronkospasme berat harus tersedia di area
pengujian tes metakolin seperti injeksi subkutan epinephrine dan atropine
atau inhalasi salbutamol dan ipratropium. Harus tersedia oksigen dan

45

nebulizer untuk pemberian inhalasi bronkodilator. Sebuah stetoskop,


sphygmomanometer, dan pulse oksimetri harus juga tersedia.37
Efek samping tes metakolin terkait bronkokonstriksi sehingga seorang
tehnisi harus mengetahui dan waspada terhadap gejala yang terjadi. Gejala
umum termasuk mengi, batuk, dan sesak napas ringan yang umum pada
pasien yang menjalani tes metakolin. Dari laporan tidak diketahui terdapat
kematian terkait tes metakolin, namun bronkospasme berat dapat terjadi
sehingga harus diminimalisir dengan persiapan yang baik.16,37,38
Pencegahan efek samping kebocoran metakolin yang terhirup tehnisi harus
juga diperhatikan. Ruang tes metakolin harus memiliki ventilasi yang
memadai. Metode pilihan lain untuk meminimalisir pajanan metakolin adalah
menggunakan filter pernapasan, laboratorium lemari asam, ventilasi
tambahan lokal atau HEPA (high-efficiency particulate air) filter. Selain itu
tehnisi dapat berdiri agak jauh dari pasien saat nebulisasi metakolin. Tehnik
dosimeter lebih meminimalisir pajanan metakolin karena hanya 0,6 detik
yang dikeluarkan oleh nebuliser tiap inhalasi.37
Berbagai penelitian terdahulu telah mempublikasikan tentang efek
samping dan keamanan tes metakolin. Pada tahun 1979, Townly et.al
melakukan pemeriksaan 1500 pasien dan tidak didapatkan efek samping yang
berat pada awal atau delay yang membutuhkan rawat inap.61 Pada tahun 1982,
penelitian oleh Ramsell et al. melaporkan keamanan tes metakolin pada
penderita bronkitis kronis obstruktif dengan FEV1 baseline yang rendah
(0,45-1,66 liter).62 Pratter et.al tahun 1984 melaporkan hal yang serupa pada
penelitian lebih dari 1000 orang. Pada tahun 1993, Pratter et.al melaporkan
pada studi prospektif pada 62 sampel dengan FEV1 2,6 liter (93% prediksi),
didapati efek samping bronkospasme yang dapat membaik dengan pemberian
albuterol MDI atau spacer. Faal paru penderita kembali ke nilai baseline
setelah 30 menit pemberian albuterol sehingga tidak diperlukan intervensi
lebih lanjut termasuk rawat inap.63 Pada tahun 1997, penelitian oleh R.Martin
et al. melakukan penelitian tentang keamanan tes metakolin dengan analisa
restrospektif pada 88 sampel dengan FEV1<60% (rentang 22-59%) prediksi,

46

didapati 4 sampel yang FEV1-nya tidak kembali menjadi 90% baseline


setelah diberikan beta agonis pasca tes metakolin, namun setelah diberikan
beta agonis yang kedua maka didapati FEV1 kembali kenilai baseline.
Sehingga pada penelitian ini disebutkan tidak terdapat efek samping lebih
lanjut.64 Program Manajemen Asma Anak (CAMP, the Childhood Asthma
Management Program) mengevaluasi keamanan tes metakolin selama 11
tahun pada anak dengan FEV1 baseline >70% prediksi. Lebih dari 8000 tes
metakolin telah dilakukan pada anak dengan asma ringan sedang dengan
protokol standar, didapati 0,4% penderita tidak kembali FEV1 >90% pasca
tes metakolin. Penelitian lain oleh The Lung Health Study melaporkan
keamanan tes metakolin pada lebih dari 5000 pasien dengan obstruksi saluran
napas ringan sedang. Meskipun begitu, efek samping bronkokonstriksi tetap
harus mendapat perhatian sehingga standard operating procedure (SOP) tes
metakolin harus menjadi perhatian demi keamanan penderita yang menjalani
tes. Selain itu perlengkapan dan respons yang cepat dan tepat untuk
menangani efek samping harus dipersiapkan sebelum tes.65

2.4.5 Persiapan penderita


Sebelum tes metakolin dilakukan perlu persiapan penderita agar hasil tes
maksimal. Ada beberapa faktor yang meningkatkan dan menurunkan tes
hiperresponsif bronkus sehingga hasil tes metakolin bisa bias. Berikut
beberapa faktor yang mempengaruhi hasil tes metakolin.37
Tabel 2.7 Beberapa faktor yang mengurangi hiperresponsif bronkus.37
Faktor
Obat-obatan
Bronkodilator
Inhalasi short-acting (isoproterenol, isoetharine,
metaproterenol, salbutamol, or terbutaline)
Inhalasi medium-acting (ipratroprium)
Inhalasi long-acting (salmeterol, formoterol,
tiotroprium)
Oral:
Liquid theophylline 12 h

Waktu minimal
sebelum tes

8 jam
24 jam
48 jam*)

12 jam

47

Intermediate-acting theophyllines 24 h
Long-acting theophyllines 48 h
Tablet standar 2-agonis 12 h
Tablet Long-acting 2-agonis
Natrium Kromolin
Nedokromil
Hidroxazin, Cetirizine
Leukotrien modifier
Makanan
Kopi, Teh, Cola, Coklat
Keterangan:

24 jam
48 jam
12 jam
24 jam
8 jam
48 jam
3 hari
24 jam
Pada hari tes
metakolin

*) Untuk tiotropium: 1 minggu


Tidak disebutkan bahwa steroid baik oral maupun inhalasi dilarang
sebelum pengujian, namun efek anti inflamasi steroid dapat mengurangi
hiperresponsif bronkus. Ada laporan lain yang menyarankan penghentian
steroid 3 minggu sebelum menjalani tes metakolin.37,38
Tabel 2.8 Beberapa faktor yang meningkatkan hiperresponsif bronkus.37
Faktor
Pajanan antigen lingkungan
Sensitiser pekerjaan
Infeksi pernapasan
Polusi udara
Asap rokok
Iritan kimia

Durasi efek
1-3 minggu
Beberapa bulan
3-6 minggu
1 minggu
Belum pasti (lebih baik dihindari beberapa
jam)
Beberapa hari sampai bulan
Faktor yang meningkatkan hiperresponsif tersebut akan menyebabkan tes
metakolin menjadi positif palsu.16
Sebelum tes dilakukan penderita harus dijelaskan tentang metode tes dan

gejala efek samping ringan seperti batuk dan sesak napas yang dapat terjadi.
Kebanyakan penderita tanpa gejala sampingan. Hanya sedikit penderita yang
terjadi gejala berat. Penderita diminta menandatangani informed consent
sebelum tes. Kuisioner tentang kontraindikasi dan obat-obatan yang
digunakan penderita dievaluasi sebelum tes. Penderita diminta buang air kecil
sebelum tes.37
Saat tes, penderita harus mengetahui dan memahami prosedur pemeriksaan
baik spirometri maupun tes metakolin. Penderita diuji dalam posisi duduk dan

48

dapat dilakukan pemeriksaan fisik dada / pernapasan sebelum tes dimulai.


Pemeriksaan spirometri dilakukan sebelum dan sesudah inhalasi metakolin.37

2.4.6 Tes metakolin


Metakolin

(acetyl--methylcholine

chloride)

adalah

sintetik

dari

neurotrasmiter asetilkoline (parasimpatomimetik) yang dapat menyebabkan


kontraksi otot polos bronkus sehingga terjadi bronkokonstriksi. Metakolin
tersedia dalam bentuk bubuk kristal kering. FDA (Food and Drug
Administration) menyetujui Provocholine sebagai metakolin 100mg yang
tersedia dalam bentuk paket vial 20ml tersegel.37,38 Metakolin memiliki onset
yang cepat dengan efek puncak 1-4 menit. Durasi kerja metakolin 15-75
menit dan berkurang menjadi 5 menit bila ditambahkan -agonis.38
Metakolin bentuk bedak sangat higroskopis, sebagai pelarutnya adalah
normal salin (NaCl 0,9%) steril. Ada juga yang menggunakan pelarut normal
salin ditambah dengan phenol 0,4% untuk mengurangi kontaminasi bakteri.
Namun keduanya memberikan hasil yang sama dan tanpa efek samping
terkait penambahan phenol. Kadar pH metakolin dalam pelarut normal salin
adalah sedikit asam sampai sedang tergantung konsentrasi metakolin.37
Metakolin termasuk substansi yang secara alami terdapat didalam tubuh.
Metakolin dimetabolisme dalam tubuh secara lambat oleh kolinesterase dan
efeknya dapat dihambat atau diperlambat oleh atropin atau antikolinergik
yang serupa. Metakolin lebih dipilih dibandingkan histamin karena histamin
menyebabkan efek samping sistemik seperti sakit kepala, kemerahan, dan
suara parau. Sehingga pemeriksaan dengan histamin sulit diulang.37
Larutan metakolin harus dicampur oleh tenaga farmasi atau dokter yang
terlatih secara steril. Vial larutan harus diberi label konsentrasi metakolin dan
tanggal kadaluarsanya. Vial larutan konsentrasi 0,125mg/ml yang disimpan
pada suhu 40c dapat bertahan selama 3 minggu. Larutan metakolin yang akan
dipakai harus dipanasi sesuai suhu ruangan. Metakolin yang tidak terpakai
dalam nebulizer harus dibuang.37

49

CMS (The Centers of Medicare and Medicaid Services), sebuah badan


asuransi kesehatan pemerintah Amerika, menyebutkan bahwa tes metakolin
adalah pelayanan tingkat 2 yang harus mendapat supervisi langsung oleh
dokter. Biaya pemeriksaan tes metakolin sebesar $175. Kode pemeriksaan tes
metakolin menurut koding CMS adalah 94070 (pemeriksaan faal paru serial),
95070 (inhalasi agen provokasi bronkus) dan J7674 (provocholin 100U).38
2.4.7 Metode pemeriksaan
Metode Tes metakolin
Napas biasa selama 2 menit
(2-min tidal breathing)

Dosimeter 5 kali bernapas


(Five-breath dosimeter)

Gambar 2.20 Dua metode pemeriksaan tes metakolin.37


ATS telah mempublikasikan dua metode tes metakolin yaitu tidal
breathing dan five-breathing. Keduanya hanya memiliki perbedaan dalam hal
pola inhalasi metakolin dan peningkatan dosis metakolin selebihnya tidak ada
perbedaan. Keduanya sama dalam hal konsentrasi metakolin yang dipakai,
waktu antar inhalasi, pemeriksaan spirometri FEV1, dan cara penghitungan
konsentrasi provokasi (PC20).40
Kedua metode di atas adalah yang paling sering digunakan dan keduanya
telah diteliti menghasilkan perbedaan yang tidak bermakna.40 Kedua metode
paling sering dipakai di Amerika utara dan Eropa. Namun penelitian
selanjutnya menyebutkan bahwa metode tidal breathing menghasilkan PC20
yang lebih rendah.16 Metode tidal breating disebutkan lebih sensitif karena
jarak peningkatan konsentrasi yang lebih pendek. Sementara metode fivebreathing dengan peningkatan konsentrasi 4 kali lipat lebih menghemat biaya
karena penggunaan konsentrasi metakolin yang lebih sedikit.38
FDA menyetujui metakolin produksi Metapharm (Provocholine) dengan
tehnik five-breath dan konsentrasi metakolin yang dipakai 0,0625; 0,25; 2,5;
10 dan 25mg/ml. Komite ATS lebih menyukai menggunakan tehnik tidal
breathing dengan peningkatan metakolin 10 tingkat konsentrasi.37

50

Ukur spirometri baseline

tidak

FEV1 >70%
prediksi?
ya
beri pengencer atau dosis
metakolin pertama, lalu tes
spirometri setelah beberapa menit

ya

FEV1 turun
>20%
tidak
beri dosis metakolin
selanjutnya, lalu tes spirometri
setelah beberapa menit

ya

FEV1 turun
>20%
tidak
tidak

beri dosis
16mg/ml ?
ya
FEV1 turun
>10%
tidak

ya

Catat gejala dan tanda,


beri salbutamol, tunggu
10 menit dan tes
spirometri

Tes selesai
Gambar 2.21 Alur pemeriksaan tes metakolin.37

51

Dosis metakolin yang sampai ke saluran napas harus terstandar sehingga


bisa dipakai untuk diagnosis maupun penelitian. Perlu diperhatikan beberapa
faktor yang mempengaruhi aerosol sampai ke paru seperti output nebulizer,
ukuran partikel aerosol dan pola pernapasan. Tes ini memerlukan waktu,
usaha dan pemahaman.38 Pada penelitian ini digunakan metakolin dengan
metode five-breath.
Tabel 2.9 Konsentrasi Metakolin dengan metode five-breath.37
Label metakolin

Ambil

Tambah NaCl
Larutan yang
0,9%
diharapkan
100mg
100mg
6,25 ml
E: 16mg/ml
3 ml larutan E
9 ml
D: 4mg/ml
3 ml larutan D
9 ml
C: 1mg/ml
3 ml larutan D
9 ml
B: 0,25mg/ml
3 ml larutan B
9 ml
A: 0,0625mg/ml
Metode five-breath dosimeter sering dipakai dalam penelitian. Dosis yang
digunakan merupakan kelipatan 4 yaitu 0,0625; 0,25; 1; 4; dan 16 mg/ml.
Langkah dari metode five-breath dosimeter adalah:37
1. Siapkan dan cek dosimeter
2. Siapkan lima konsentrasi metakolin dalam vial steril dan simpan dalam lemari
es suhu 40C
3. Keluarkan vial isi metakolin dari lemari es 30 menit sebelum tes metakolin
dimulai
4. Ambil 2ml metakolin dosis terendah dari vial steril dengan menggunakan
spuit steril dan masukkan ke dalam nebulizer
5. Pasien dalam posisi duduk saat dilakukan tes
6. Pasien diminta memegang nebuliser dengan mouth piece di mulut dank lip
hidup.
7. Pasein diminta menghirup aerosol metakolin secara pelan dan dalam
kemudian pasien diminta menahan napas selama 5 detik (napas TLC / Total
Lung Capacity) lalu ekshalasi. Langkah 7 ini diulangi sebanyak 5 kali namun
tidak boleh melebihi 2 menit.
8. Lakukan tes spirometri setelah 30-90 detik kemudian. Tes spirometri harus
adekuat dan dapat diulang 3-4 kali namun tidak boleh melebihi 3 menit. Untuk

52

menjaga efek kumulatif dari metakolin maka jarak tiap inhalasi metakolin
sekitar 5 menit.
9. Tiap konsentrasi inhalasi metakolin diberikan harus dilakukan tes spirometri
untuk menilai FEV1
10. Jika FEV1 turun >20% FEV1 awal / baseline maka tes metakolin dihentikan,
catat gejala dan tanda yang terjadi lalu diberi inhalasi salbutamol. Lakukan tes
spirometri 10 menit setelah inhalasi salbutamol untuk melihat peningkatan
FEV1 >90% baseline.
Penderita dengan hasil tes metakolin positif memiliki kecenderungan
terjadi mengi, penurunan saturasi oksigen, takikardi. Tekanan darah dan nadi
harus dimonitor selama pemeriksaan. Setelah didapati hasil tes metakolin
yang positif harus segera diberikan bronkodilator (misalnya salbutamol) dan
diulangi faal paru setelah 10 menit. Bronkospasme segera membaik dengan
bronkodilator. Bila hasil faal paru kembali >90% dibandingkan sebelum
inhalasi salbutamol, maka tes dinyatakan selesai. Namun bila FEV1 belum
melebihi 90% maka inhalasi bronkodilator dapat diulangi lagi untuk
meyakinkan fungsi pernapasan kembali seperti semula.38

2.4.8 Nebuliser dan dosimeter


Nebuliser untuk tes metakolin masing-masing metode pemeriksaan
berbeda. Pada metode tidal breathing, nebuliser harus dapat menghasilkan
aerosol dengan diameter partikel (MMD / mass median diameter) 1,0 3,6
m. Contoh nebulisernya adalah nebuliser English Wright atau nebuliser lain
yang serupa. Flow aerosol dari nebuliser sebesar 0,13ml/menit dalam 10%.
Pada metode ini pasien akan mendapatkan aerosol sekitar 90l tiap
konsentrasi metakolin.16,37,40

53

Gambar 2.22 Skematis nebuliser dengan dua metode: A.Nebuliser English


Wright (napas biasa / tidal breathing selama 2 menit) B. Nebuliser DeVilbiss
model 646 (dosimeter 5 kali bernapas). Keduanya memiliki filter ekshalasi.37
Sedangkan pada metode five-breath dosimeter, nebulizer harus dapat
menghasilkan 9l (0,00ml) 10% solusi dalam 0,6 detik inhalasi metakolin.
Nebuliser untuk metode ini yang sering dipakai adalah DeVilbiss model 646,
namun nebuliser yang lain dengan spesifikasi serupa dapat dipakai. Pada
metode ini penderita akan mendapatkan aerosol sekitar 45L tiap konsentrasi
metakolin.16,37,40

2.4.9 Spirometri dan pengukuran hasil


Pada tes metakolin, pemeriksaan spirometri yang perlu dinilai adalah
FEV1. Pemeriksaan spirometri harus sesuai dengan panduan ATS. Manuver
pemeriksaan spirometri yang baik diperlukan untuk menghindari hasil tes
metakolin positif palsu / negatif palsu. Kurva flow per volume harus diperiksa
setelah manuver inhalasi metakolin, effort FVC dilakukan sampai 6 detik.
Namun bila hanya nilai FEV1 yang dibutuhkan maka effort FVC cukup
dilakukan 2 detik saja. Spirometri diperiksa 30-90 detik setelah dilakukan
inhalasi metakolin. Hal ini dilakukan agar konsentrasi metakolin terakumulasi
sebelum spirometri selanjutnya.37

54

2.4.10 Menampilkan hasil tes dan intepretasinya


Penilaian utama hasil tes metakolin adalah PC20 (Provocation
consentration) yaitu konsentrasi metakolin yang menyebabkan penurunan
FEV1>20% dibandingkan dengan baseline. Tes faal paru dapat juga
dilakukan dengan body pletismograf, disebut tes metakolin positif bila
didapati sGaw (specific airway conductance) berkurang 35-45% baseline.38
PC20 = antilog [log C1 +

(log C2 log C1)(20 1)


]
2 1

Keterangan:37
PC20 : Provocation concentration / konsentrasi provokasi yang menyebabkan
penurunan FEV1>20%
C1 : konsentrasi metakolin sebelum terakhir (konsentrasi sebelum c2)
C2 : konsentrasi metakolin terakhir yang menghasilkan penurunan FEV1
>20%
R1 : persentase penurunan FEV1 setelah konsentrasi C1

penurunan FEV1 (% baseline)

R2 : persentase penurunan FEV1 setelah konsentrasi C2

-10
-20
-30

PC20= 3,7
AHR ringan

-40
-50
-60
-70

0,0625
1
0,25
konsentrasi metakolin (mg/ml)

16

Gambar 2.23 Contoh grafik penurunan FEV1 terhadap konsentrasi metakolin.

Terdapat berberapa faktor yang diperhatikan saat mengintepretasi hasil tes


metakolin PC20, diataranya pretest probability asma (termasuk gejala akut

55

asma), adanya derajat obstruksi borderline, kualitas manuver spirometri yang


adekuat, faktor yang meningkatkan dan mengurangi hasil tes, gejala pada
akhir tes, derajat perbaikan setelah pemberian bronkodilator, sensitivitas dan
spesifisitas tes, serta tes metakolin ulangan.37 Pada penderita asma, pretes
probability asma 30-70% akan menghasilkan tes metakolin yang baik.38
Pada awalnya cut-off yang dipakai untuk menilai hasil tes metakolin
positif adalah 8mg/ml, meskipun sensitifitasnya tinggi namun spesifisitasnya
rendah. Beberapa peneliti memilih cut-off 8-16mg/ml yang memiliki nilai

prediksi positif dan negatif yang tertinggi berdasarkan analisa kurva


ROC sebagai hasil tes metakolin yang positif.16 Hasil tes metakolin
disebut negatif bila cut-off 16 mg / ml.14,39
Tabel 2.10 Hasil tes metakolin menurut ATS 1999.37
PC20 (mg/ml)

Intepretasi hasil tes metakolin

>16

Normal

4-16

Hiperresponsif bronkus borderline

1-4

Hiperresponsif bronkus ringan (tes positif)

<1

Hiperresponsif bronkus sedang sampai berat

Sebelum menerapkan skema intepretasi di atas, harus diperhatikan tidak


adanya obstruksi saluran napas borderline, kualitas spirometri yang adekuat
dan terjadi perbaikan FEV1 pasca tes metakolin yang maksimal.37
2.4.11 Mengatasi efek samping bronkospasme
Penderita yang mendapatkan inhalasi metakolin akan mengalami
ketidaknyamanan

terkait

bronkokonstriksi

saluran

napas

dan

dapat

mengalami keluhan selama atau pasca inhalasi metakolin. Efek samping yang
bronkokonstriksi yang berat dapat terjadi sehingga tes ini tidak boleh
dilakukan pada penderita dengan kondisi eksaserbasi akut terutama asma.
Efek samping yang pernah dilaporkan adalah nyeri kepala, iritasi
tenggorokan,

gatal,

kepala

terasa

ringan

dan

dapat

menyebabkan

56

vasokonstriksi pembuluh koroner pada penderita sakit jantung. Dari


penelitian yang lain dilaporkan bahwa secara keseluruhan dua pertiga
penderita tidak bergejala ketika meninggalkan klinik setelah tes provokasi
bronkus dengan metakolin. Data penelitian tes metakolin multisenter terhadap
1.000 penderita PPOK dilaporkan terdapat gejala pasca tes metakolin di
antaranya batuk (25%), sesak (21%), mengi (10%), pusing (6%), dan sakit
kepala (2%). Efek samping yang terlambat jarang terjadi, hanya 0,3%
penderita mengeluhkan nyeri dada beberapa hari setelah tes metakolin.37
Keterangan efek samping dan keamanan tes metakolin disebutkan pada
materi 2.4.4 Keamanan tes. Sehingga beberapa peneliti menyebutkan bahwa
tes metakolin aman dengan sedikit efek samping tes metakolin yang serius
bahkan beberapa menyebutkan tanpa gejala efek samping. Meskipun begitu
tetap harus diwaspadai terjadinya efek samping pemberian bronkokonstriktor
metakolin karena terdapat juga laporan tentang efek bronkokonstriksi yang
berat meskipun sedikit kasusnya.37,61,62,63,64
Tatalaksana efek samping pasca inhalasi metakolin adalah terkait
bronkokonstriksi sehingga tatalaksana bronkodilator yang optimal harus
dipersiapkan sebelum tes metakolin dilakukan. Pemberian bronkodilator yaitu
beta agonis kerja cepat seperti salbutamol inhalasi serta antikolinergik
ipatroprium bromide inhalasi dipersiapkan sebelum tes dimulai. Terapi
suportif seperti pemberian oksigenasi juga dipersiapkan dengan berbagai
device (nasal, masker simple, masker non rebreathing, dan jacksen rees). Bila
terjadi efek bronkokonstriksi yang berat maka disiapkan juga terapi yang
lebih

lanjut

berupa

pemberian

inhalasi

glukokortikoid

(fluticasone

proprionat), injeksi glukokortikoid (metil prednisolone), injeksi xantin


(aminofilin). Bila setelah pemberian tatalaksana diatas namun masih
didapatkan efek samping maka akan dilakukan pemasangan infus dan rawat
inap.37,40
Tatalaksana yang lain yaitu terkait iritasi pemberian inhalasi metakolin
berupa iritasi tenggorokan. Selama tes metakolin, sampel penelitian diberikan
waktu istirahat 30-90 detik sebelum dilakukan pemeriksaan faal paru. saat

57

istirahat tersebut, sampel diperbolehkan untuk minum untuk mengurangi


iritasi yang terjadi pada tenggorokan. Akibat dari efek iritasi tersebut,
penderita dapat mengalami batuk dalam 30-60 menit setelah tes, sehingga
setelah melakukan tes metakolin, sampel penelitian diminta untuk menunggu
maksimal 2 jam sebelum pulang. Efek samping nyeri kepala dan kepala terasa
ringan dapat disebabkan oleh hipoksia sesaat selama pemeriksaan sehingga
suplementasi oksigen diharapkan dapat memperbaiki kondisi sampel
penelitian. Efek samping gatal, jarang terjadi karena metakolin adalah zat
yang secara alami terdapat dalam tubuh manusia dan bekerja spesifik pada
reseptor M3 otot polos saluran napas, berbeda dengan histamin yang dapat
berefek sistemik keseluruh tubuh.19 Namun persiapan efek samping tersebut
harus dipersiapkan tatalaksananya dengan pemberian antikolinergik inhalasi
serta glukokortikoid baik inhalasi maupun injeksi. Kemungkinan efek
samping harus dijelaskan pada penderita atau keluarga sebelum dimulai tes
metakolin.37 Penjelasan tersebut tertera dalam information for consent. Detail
tatalaksana efek samping pada subjek penelitian dijelaskan lebih detail pada
lampiran 9 (tatalaksana efek samping subjek penelitian).

58

BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESA PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual

Usia
bertambah

Rokok
Amplifikasi

Genetik
(Fenotip,
Atopi)

Inflamasi

Imunitas
menurun

Respons
imunitas

Respons
Th1

Infeksi Mikroba

Inflamasi

Remodeling
Saluran
Napas Kecil

Edema saluran
napas
Hipersekresi
mukus

Kerusakan
Parenkim
Paru

Emfisema
paru

Aktivasi
T-reg

Air trapping
Hiperresponsif
bronkus

Faktor
persisten

Faktor
variabel

Obstruksi
saluran
napas

Inflamasi
tanpa
amplifikasi

Bronko
spasme

Gejala
pernapasan

Penurunan
Faal Paru

PPOK

Bukan PPOK Perokok

Variabel diteliti
Variabel tidak diteliti

57

59

3.2 Keterangan
Pajanan asap rokok menyebabkan inflamasi pada paru serta penurunan
sistem imunitas seseorang. Terjadinya inflamasi paru terkait rokok dipengaruhi
oleh faktor genetik seseorang seperti fenotip dan atopi. Faktor genetik ini
mempengaruhi amplifikasi respons inflamasi seseorang. Pada perokok yang
suseptibel, maka terjadi amplifikasi yang menyebabkan terjadinya inflamasi
berulang.
Bertambahnya usia menyebabkan sistem imunitas seseorang cenderung
turun. Imunitas yang turun disebabkan faktor pajanan asap rokok dan
pertambahan usia mempermudah terjadinya infeksi mikroba (virus dan bakteri)
pada paru. Infeksi ini akan memicu terjadinya inflamasi berulang selain faktor
pajanan asap rokok. Pada kondisi PPOK, infeksi mikroba akan memicu terjadinya
eksaserbasi dengan manifestasi kambuhnya gejala pernapasan.
Inflamasi berulang pada paru menyebabkan gangguan pada saluran napas
dan parenkim paru. Terjadi perubahan berupa edema saluran napas, hipersekresi
mukus, remodeling saluran napas kecil dan kerusakan parenkim paru. Remodeling
saluran napas kecil menyebabkan penyempitan kaliber saluran napas kecil yang
merupakan faktor persisten hiperresponsif bronkus. Sementara edema saluran
napas dan hipersekresi mukus merupakan faktor variabel hiperresponsif bronkus.
Adanya remodeling faktor persisten dan variabel ditambah dengan faktor genetik
maka

hiperresponsif

bronkus

akan

menyebabkan

lebih

mudah

terjadi

bronkospasme dan hal ini berhubungan dengan faal paru. Faktor variabel akan
berperan pada gejala pernapasan kronis pada penderita PPOK. Obstruksi saluran
napas yang persisten disebabkan oleh perubahan faktor persiten. Semakin lama
merokok maka remodeling akan terus berjalan disertai dengan hiperresponsif yang
semakin berat. Kerusakan dinding alveoli dan parenkim paru akan berakibat
terjadinya emfisema paru dan air trapping yang menyebabkan terjadinya
peningkatan residual volume dan penurunan faal paru.
Pada perokok yang tidak terjadi PPOK, inflamasi dapat direspons oleh
imunitas tubuh penderita melalui respons Th1 yang akan mengaktivasi sel limfosit
T-reg. Inflamasi karena asap rokok yang kronis oleh tubuh masih dapat

60

dikompensasi melalui system imunita penderita. Berbeda halnya dengan perokok


PPOK, pada bukan PPOK perokok inflamasi kronis yang jadi karena pajanan asap
rokok yang kronis tidak mengalami amplifikasi sehingga tidak terjadi remodeling
saluran napas atau minimal sehingga tidak berakibat terjadinya obstruksi saluran
napas maupun hiperresponsif bronkus. Hiperresponsif bronkus pada bukan PPOK
perokok diduga terkait faktor genetik seseorang dan bukan sebagai konsekuensi
dari remodeling saluran napas seperti halnya pada PPOK.

3.3 Hipotesa Penelitian


Terdapat perbedaan hiperresponsif bronkus pada PPOK GOLD 1 dan
GOLD 2 dibandingkan dengan bukan PPOK perokok.

61

BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian


Jenis penelitian ini adalah studi cross-sectional analitik observasional

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


Pengambilan sampel populasi dilakukan di poli Paru di RSUD Dr. Soetomo
Surabaya dan Poli RS Haji Surabaya. Pemeriksaan hiperresponsif brokus dengan
metakolin dilakukan dilakukan di Laboratorium Faal Paru lantai 3 RSUD
Dr.Soetomo Surabaya. Pengambilan sampel dilakukan sejak bulan Februari 2016
sampai jumlah sampel terpenuhi.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian


Populasi
Populasi penelitian ini adalah perokok yang akan dibagi menjadi dua kelompok:
4.3.1. Kelompok PPOK stabil GOLD 1 atau GOLD 2 adalah penderita rawat jalan
di poli Paru RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan poli Paru RS Haji Surabaya
baik perokok maupun mantan perokok
4.3.2. Kelompok bukan PPOK perokok adalah perokok aktif tanpa disertai
kelainan faal paru obstruktif yang mendukung diagnosis PPOK yang
merupakan orang di dalam maupun sekitar rumah sakit

Sampel
Sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi diambil dari masingmasing kelompok populasi dengan jumlah yang sama.
Besar sampel
Besarnya sampel pada penelitian ditentukan berdasarkan rumus rumus uji
hipotesis terhadap dua proporsi:66
n1 = n2 = ( Z1-/2 2PQ + Z1- P1Q1 + P2Q2) 2
(P1-P2)2
60

62

Di mana P = P1 + P2
2

Q = Q1 + Q2
2

n = jumlah sampel
Interval kepercayaan 95% sehingga tingkat kemaknaan = 0,05
Z1-/2= 1,96
Kuat uji (1-) = 80% sehingga power =20%
Z1- = 0,842
Proporsi hiperresponsif bronkus pada perokok = 11-14%.22
P1 = 0,11 Q1= 1-P1 = 0,86
Proporsi hiperresponsif bronkus pada PPOK = 48-94%.18
P2 = 0,48 Q2= 1-P2 = 0,52
P = 0,295

Q = 0,205

n1 = n2 = 22,63 ~ 23

Besar sampel 23 untuk masing-masing populasi. Sampel populasi PPOK


GOLD 1 atau GOLD 2 sebanyak 23 orang dan sampel populasi bukan
PPOK perokok sebanyak 23 orang. Total sampel adalah 46 orang.

Tehnik pengambilan sampel


Tehnik

pengambilan

sampel

penelitian

dilakukan

non-probability

sampling secara accidental sampling, artinya populasi yang kebetulan bertemu


dengan peneliti akan dipilih menjadi sampel sesuai kriteria.66

4.4 Kriteria Inklusi


Semua pasien yang menjadi sampel penelitian harus memenuhi kriteria inklusi
sebagai berikut:
1. PPOK stabil (GOLD 1 atau GOLD 2) dan bukan PPOK perokok
2. Bersedia mengikuti penelitian dengan menandatangani informed consent
3. Laki-laki
4. Usia lebih dari 40 tahun
5. Merokok lebih dari 10 pack years

63

4.5 Kriteria Eksklusi


Eksklusi dilakukan pada pasien yang memenuhi kriteria inklusi namun
memiliki keadaan sebagai berikut:
1. Penderita asma, ACOS
2. Penderita TB atau pasca TB
3. Penderita tumor paru
4. Pasien dengan hasil FEV1<50% prediksi atau FEV1<1 liter
5. Sakit jantung (Infark miokard) dalam 3 bulan terakhir
6. Stroke dalam 3 bulan terakhir
7. Infeksi saluran napas atas / bawah dalam 3-6 minggu sebelumnya
8. Hipertensi dengan sistolik >200mmHg atau diastolik >100mmHg
9. Dalam terapi beta bloker atau kolinesterase inhibitor
10. Mantan pekerja pabrik rokok dengan pajanan polusi udara pabrik
11. Mengalami penurunan FEV1>10% setelah inhalasi dengan NaCl 0,9%
(dilakukan sebelum mendapat inhalasi metakolin)

4.6 Variabel Penelitian

Variabel penelitian independen yaitu rokok yang dinilai sebagai PPOK dan
bukan PPOK perokok. Hasil ditampilkan sebagai data nominal (PPOK dan
bukan PPOK perokok).

Variabel dependen yaitu hiperresponsif bronkus. Hasil ditampilkan


sebagai:

Rata-rata nilai PC20 tiap kelompok populasi ditampilkan sebagai data


interval.

Nilai PC20 tiap kelompok populasi dikelompokkan menjadi empat


kriteria hiperresponsif bronkus (normal, borderline, ringan dan
sedang-berat) ditampilkan sebagai data ordinal.

Variabel perancu yaitu asma, alergi, infeksi virus maupun bakteri dan
pajanan polusi udara pabrik yang telah dieksklusi.

64

4.7 Instrumen Penelitian


Penelitian ini menggunakan instrument pemeriksaan faal paru / spirometri
dan tes metakolin. Perlengkapan tes tertera dalam lampiran 6 (Perlengkapan dan
Obat Penelitian).

4.8 Definisi Operasional


4.8.1.

Penderita PPOK adalah penderita dengan gejala klinis keluhan


pernapasan kronis (sesak, batuk, berdahak) disertai adanya faktor risiko
(rokok, asap, polusi udara) yang dikonfirmasi hasil faal paru FEV1/FVC
<70%. Penderita PPOK yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
dengan hasil GOLD 1 dan GOLD 2 yaitu FEV1>50% atau >1 liter.
Penderita PPOK adalah perokok aktif atau mantan merokok (pernah
merokok dan sudah berhenti merokok sejak kapanpun).

4.8.2.

Bukan PPOK perokok adalah orang yang saat penelitian masih merokok
berapapun banyaknya, baik disertai dengan keluhan maupun tanpa
keluhan yang bukan termasuk dalam diagnosis PPOK

4.8.3.

10 pack years adalah merokok 1 pak (20 batang rokok) per hari selama
10 tahun atau 2 pak (40 batang rokok) per hari selama 5 tahun. Bila 1 pak
isi 12 batang rokok maka membutuhkan waktu 16 tahun. Bila 1 pak isi
16 batang rokok maka membutuhkan waktu 12 tahun.

4.8.4.

4.8.5.

Penderita PPOK stabil adalah2

Tidak dalam kondisi eksaserbasi

Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik

Sputum tidak berwarna atau jernih

Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat PPOK

Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan

Tidak menggunakan bronkodilator tambahan.

Derajat keparahan PPOK dibagi berdasarkan kategori A, B, C dan D.


Dilakukan penilaian derajat keparahan berdasarkan gejala, tes faal paru
(FEV1, FVC dan FEV1/FVC), dan riwayat eksaserbasi per tahun.

65

Berdasarkan klasifikasi GOLD 2015, penderita PPOK dibagi menjadi


empat kategori, yaitu:

Kategori A : Risiko rendah dan gejala sedikit, pada pasien dengan


GOLD 1 atau GOLD 2 dengan derajat obstruksi ringan-sedang,
dan/atau 0-1 kali eksaserbasi dalam satu tahun tanpa perawatan rumah
sakit dan CAT < 10 atau mMRC 0 - 1.

Kategori B : Risiko rendah dan gejala banyak, pada pasien dengan


GOLD 1 atau GOLD 2 dengan derajat obstruksi ringan sedang,
dan/atau 0 1 kali eksaserbasi dalam 1 tahun tanpa perawatan rumah
sakit dan CAT 10 atau mMRC 2.

Kategori C : Risiko tinggi dan gejala sedikit, pada pasien dengan


GOLD 3 atau GOLD 4 dengan derajat obstruksi berat atau sangat
berat, dan atau 2 kali eksaserbasi per tahun atau 1 kali eksaserbasi
dengan perawatan rumah sakit dan CAT < 10 atau mMRC 0 - 1.

Kategori D : Risiko tinggi dan gejala banyak , pada pasien dengan


GOLD 3 atau GOLD 4 dengan derajat obstruksi berat atau sangat
berat, dan 2 kali eksaserbasi pertahun atau 1 kali eksaserbasi dengan
perawatan rumah sakit dan CAT 10 atau mMRC 2.

Pada penelitian ini hanya diambil pasien PPOK kategori A dan B saja
(GOLD 1 dan GOLD 2)
4.8.6.

Usia adalah umur seseorang yang dihitung berdasarkan tanggal lahir


ditampilkan dalam satuan tahun

4.8.7.

Jenis kelamin hanya laki-laki

4.8.8.

Keluhan pernapasan adalah gejala seperti batuk, berdahak, sesak, mengi,


dada terasa berat

4.8.9.

Tes Spirometri / Faal paru adalah pemeriksaan untuk mengukur volume


paru dinamik seseorang dengan alat spirometer. Indikator yang dinilai
adalah FEV1, FVC, FEV1/FVC.

4.8.10. FEV1 (Force Expiratory Volume) adalah volume udara ekspirasi paksa
selama 1 detik pertama

66

4.8.11. FVC (Force Vital Capacity) adalah volume udara paksa maksimal
setelah dilakukan inspirasi maksimal
4.8.12. FEV1/FVC adalah rasio volume udara ekspirasi paksa selama 1 detik
pertama dengan volume udara paksa maksimal setelah dilakukan
inspirasi maksimal yang digunakan untuk menilai derajat obstruksi
saluran napas
4.8.13. Tes metakolin adalah tes provokasi bronkus dengan menggunakan
metakolin dimulai dengan dosis terendah 0,0625 sampai tertinggi
16mg/ml. Setiap selesai inhalasi metakolin, sampel penelitian dilakukan
tes faal paru untuk melihat perubahan terhadap FEV1. Dosis metakolin
yang diberikan adalah 0,0625; 0,25; 1; 4; dan 16 mg/ml. Tes metakolin
akan dihentikan bila terdapat penurunan FEV1>20% dibandingkan
baseline.
4.8.14. PC20 adalah konsentrasi provokasi yang menyebabkan penurunan FEV1
>20% dibandingkan dengan FEV1 baseline.
4.8.15. FEV1 baseline adalah FEV1 dasar yang dihasilkan oleh sampel populasi
sebelum diberikan inhalasi metakolin dan setelah diberikan inhalasi
pelarut (Normal salin / NaCl 0,9%).

67

4.9 Alur dan Prosedur Penelitian


Alur penelitian
Populasi: Pasien Poli Paru, poli
Asma-PPOK RSUD Dr.Soetomo
dan Poli Paru RS Haji Surabaya

- Anamnesa: riwayat penyakit, riwayat aktivitas sehari-hari, riwayat merokok,


riwayat alergi, riwayat asma, riwayat pekerjaan, riwayat keluarga
- Pemeriksaan fisik penderita (Vital sign, BB, TB, BMI)
- Faal Paru (FEV1, FVC, FEV/FVC)
- Derajat merokok: Indeks Brinkman
Kriteria
eksklusi

Kriteria inklusi
Menandatangani
persetujuan mengikuti
penelitian
Sampel penelitian

PPOK
(GOLD 1, 2)

Bukan PPOK
Perokok

Tes dilakukan di Laboratorium Faal Paru RSUD Dr.Soetomo


- Tes Faal Paru FEV1, FVC, FEV1/FVC
- Tes Metakolin (PC20)

Analisis Data

Karya akhir

Gambar 4.1 Alur penelitian perbedaan hiperresponsif bronkus antara PPOK dan
bukan PPOK perokok.

68

Prosedur penelitian
Sampel yang terpilih dalam penelitian akan menjalani pemeriksaan faal paru dan
tes metakolin. Tes faal paru dilakukan berdasarkan panduan dari ATS dan dinilai
FEV1, FVC, rasio FEV1/FVC. Setidaknya dilakukan 3-4 manuver tiap tes faal
paru, lalu dinilai akseptabilitas dan reprodusibilitasnya.
Sampel akan diberikan inhalasi normal salin (NaCl 0,9%) lalu diuji faal parunya.
Hasil faal paru pasca inhalasi normal salin dicatat sebagai FEV1 baseline. Bila
terdapat penurunan FEV1>10% dibandingkan sebelum inhalasi normal salin,
maka sampel diekslusi dari penelitian. Sampel dengan hasil FEV1 baseline <50%
atau <1 liter sebelum pemberian inhalasi metakolin dieksklusi dari penelitian.
Penderita akan diberikan inhalasi metakolin bertahap dimulai dengan konsentrasi
terendah 0,0625mg/ml sampai tertinggi 16mg/ml. Peneliti menggunakan tehnik
five-breathing dalam pemberian inhalasi metakolin. Sampel penelitian diminta
menghisap inhalasi metakolin melalui mulut (dengan hidung dijeput klip hidung)
secara pelan dan dalam. Lalu sampel diminta untuk menahan napas selama 5 detik
kemudian menghembuskan napas secara perlahan. Pola bernapas ini diulang
sebanyak 5 kali, namun inhalasi metakolin tidak boleh melebihi 2 menit.
Penderita diberi waktu 30-90 detik sebelum dilakukan tes faal paru.
Setelah diberikan inhalasi metakolin, sampel akan diuji faal paru lagi dan dinilai
perubahan FEV1. Tes faal paru dilakukan 3-4 kali untuk menilai FEV1 dan tidak
boleh melebihi 3 menit. Setelah didapati hasil faal paru, penderita istirahat
sebentar selama 5 menit sebelum diberikan inhalasi metakolin konsentrasi di
atasnya. Hal ini agar terjadi konsentrasi kumulatif metakolin. Tes metakolin dan
faal paru diulangi seperti di atas.
Tes metakolin akan dihentikan bila terdapat penurunan FEV1>20% dibandingkan
dengan FEV1 baseline. Konsentrasi metakolin yang menyebabkan penurunan
FEV1>20% tersebut akan dimasukkan rumus untuk menghasilkan nilai PC20.
Kemudian dinilai derajat hiperresponsif bronkus sampel tersebut.

69

4.10 Alur pemeriksaan metakolin

ekslusi
ya

Faal paru
awal
FEV1<50?

tidak

Inhalasi
NaCl0,9% 2cc
20 menit

Faal paru FEV1


<10% FEV1 awal?
ya

dipakai sebagai FEV1 baseline

tidak
ekslusi

Inhalasi metakolin
0,0625mg/ml 2 menit

Faal paru FEV1


<20% baseline?
tidak

Inhalasi metakolin
0,25mg/ml 2 menit

Faal paru FEV1


<20% baseline?
tidak

Inhalasi metakolin
1mg/ml 2 menit

Inhalasi metakolin
16mg/ml 2 menit

AHR sedang
-berat

ya

AHR ringan

Faal paru FEV1


<20% baseline?

tidak

ya

Faal paru FEV1


<20% baseline?

tidak
metakolin
D Inhalasi
4mg/ml 2 menit

AHR sedang
-berat

ya

ya

AHR borderline

Faal paru FEV1


<20% baseline?
tidak

ya

Normal AHR

Normal AHR

Inhalasi Salbutamol

Rawat Inap
tidak
Tes selesai

ya

Faal paru FEV1


>90% baseline?

Gambar 4.2 Alur pemeriksaan metakolin dengan tehnik five-breath, inhalasi metakolin
diberikan 5 kali hisap dan masing-masing ditahan 5 detik, 5 kali inhalasi tidak boleh
melebihi 2 menit. Tes Faal paru untuk menilai FEV1<20% baseline dinilai 30-90 detik
setelah inhalasi metakolin selesai. Tes faal paru diulang 3-4 kali, tidak melebih 3 menit. Lalu
dinilai penurunan FEV1 dan ditentukan langkah selanjutnya. Inhalasi metakolin konsentrasi
berikutnya diberikan 5 menit setelah selesai tes faal paru. Tes faal paru setelah inhalasi
salbutamol dilakukan setelah 10 menit inhalasi, inhalasi salbutamol dapat diulang 3 kali.
Tes metakolin memerlukan waktu sekitar 90 menit tiap orang.

70

4.11 Cara Pengolahan dan Analisa Data


Data yang diperoleh dicatat dan dikumpulkan, kemudian diolah secara
manual dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Data FEV1 dan PC20
masing-masing sampel penelitian ditampilkan dalam bentuk grafik penurunan
FEV1 terhadap peningkatan konsentrasi metakolin. Grafik yang menampilkan
penurunan FEV1 terhadap konsentrasi metakolin dapat dilihat pada gambar
2.23. Dengan menggunakan rumus yang ada, hasil PC20 dapat dihitung dan
dapat

ditentukan

derajat

hiperresponsif

bronkus.

Data

PC20

dan

Hiperresponsif bronkus masing-masing kelompok ditampilkan dalam bentuk


tabel dan grafik.
Analisa data menggunakan komputer program statistik SPSS. Data PC20
ditampilkan sebagai data interval. Data diuji normalitasnya dengan
menggunakan Uji Kolmogrov Smirnov, bila data berdistribusi normal maka
data akan dilakukan uji parametrik komparasi antar sampel independen (2
sampel) dengan uji t 2 sampel, bila data tidak berdistribusi normal maka
dilakukan uji Wilcoxon 2 sampel.
Data sampel dapat juga ditampilkan sebagai data nominal yaitu nilai PC20
diubah menjadi tingkat hiperresponsif bronkus (normal, borderline, ringan dan
sedang-berat). Bila data ditampilkan dalam bentuk nominal, tidak perlu
dilakukan uji normalitas. Uji statistik yang dipilih adalah uji non-parametrik
komparasi antar sampel independen (2 sampel) dengan tes Chi-Square (X2
test). Hipotesa diterima bila nilai signifikan p<0,05.

4.12 Etika Penelitian


4.12.1.

Keamanan subjek penelitian

Pemeriksaan provokasi bronkus dengan metakolin meskipun dalam


laporan

penelitian

merupakan

pemeriksaan

yang

aman

dengan

memperhatikan kontraindikasinya namun tetap harus diperhatikan


keamanan subjek penelitian. Subjek PPOK yang memiliki gangguan
obstruksi saluran napas (FEV/FVC) kurang dari 50% atau kurang dari 1
liter dikeluarkan dari subjek penelitian. Subjek PPOK dengan obstruksi

71

saluran

napas

(FEV1/FVC)

antara

50-70%

yang

mengalami

bronkokonstriksi setelah diberikan metakolin dengan hasil lebih dari 20%


akan segera dihentikan pemberian metakolin konsentrasi lanjutan. Subjek
akan diberikan bronkodilator short acting (Salbutamol) dan terapi lain
sebagai tatalaksana efek samping.
Pencegahan penularan infeksi sekunder terkait penggunaan alat spirometri
dihindarkan

melalui

penggunaan

mouth

piece

personal

dengan

penggunaan satu subjek penelitian sekali pakai. Penularan Infeksi


sekunder melalui alat provokasi bronkus dicegah dengan sterilisasi basah
tabung nebulizer dan mouth piece khusus. Hasil pemeriksaan tes
metakolin hanya diberitahukan kepada subjek penelitian dan keluarga
terdekat. Identitas subjek penelitian tidak dipublikasikan.
4.12.2.

Keamanan teknis peneliti

Metakolin dapat pula terhirup oleh tehnisi pemeriksa sehingga perlu


pencegahan guna menghindari efek samping. Tehnisi dapat berdiri agak
jauh dari pasien saat nebulisasi metakolin. Ruang tes metakolin harus
memiliki ventilasi yang memadai. Tes ini dihindarkan bagi tehnisi yang
memiliki asma karena dapat menyebabkan hiperresponsif bronkus saat
melakukan tes metakolin.
4.12.3.

Kualitas bahan penelitian

Metakolin tersedia dalam bentuk bubuk / powder. Sebelum dipakai tes,


metakolin harus diencerkan terlebih dahulu sesuai dengan konsentrasi
yang dibutuhkan. Penyediaan metakolin yang steril dan presisi menjadi
prioritas untuk menjaga kualitas dan keamanan penelitian. Penyediaan
dan peracikan metakolin dilakukan di laboratorium farmasi rumah sakit,
detail dapat dilihat pada lampiran 7.
4.12.4.

Tatalaksana efek samping

Efek samping pemberian inhalasi metakolin terkait bronkospasme yang


terjadi dapat akut maupun tipe lambat. Dari penelitian disebutkan bahwa
tes metakolin aman dan tanpa efek samping yang serius. Literatur lain
menyebutkan tanpa adanya gejala efek samping. Meskipun begitu tetap

72

harus diwaspadai terjadinya efek samping. Lebih detail mengenai efak


samping dan tatalaksananya dijabarkan dalam lampiran 9. Berbagai alat
dan perlengkapan disiapkan untuk menangani efek samping yang dapat
terjadi, detail dijabarkan dalam lampiran 6.

73

DAFTAR PUSTAKA

1.

GOLD Scientific Committee. Global strategy for the diagnosis, management,


and prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disesase. updated 2015.

2.

PDPI. PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik): Diagnosis


Penatalaksanaan. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011.

3.

Rabe K, Hurd S, Anzueto A, et al. Global Strategy for the Diagnosis,


Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease
(Gold Executive Summary). Am J Respir Crit Care Med, 2007; 176: 532-555.

4.

Reilly J, Silverman E, & Shapiro S. Chronic Obstructive Pulmonary Disease.


In J. Lascalzo, Harrison's Pulmonary and Critical Care Medicine (17th ed.).
2008, pp. 178-189. New York: McGrawHill Medical.

5.

Fishman A, Elias J, Fishman J, Grippi M, Senior R, & Pack A. Fishman's


Pulmonary Diseases and Disorders (Fourth edition ed.). 2008, New York:
McGrawHill Medical.

6.

Rai IB. Inflamasi Kronik Jalan Napas dan eksaserbasi pada Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK). In Wibisono MJ, Maranatha D, & Marhana IA,
Majalah Kedokteran Respirasi. 2012; Vol. 3 Supl: pp. 71-77. Surabaya: PDPI
Jatim.

7.

Menezes AM. Chronic Obstructive Lung Disease in five Latin American


cities (the PLATINO study): a prevalence study. Lancet, 2005; 366: 18751881.

8.

Buist AS. International variation in the prevalence of COPD (the BOLD


study): a population-based prevalence study. Lancet, 2007; 370: 741-750.

9.

Decramer M. Clinical trial design considerations in assesing long-term


functional impact of tiotropium in COPD: the UPLIFT trial. J Chronic
Obstructive Pulm Dis, 2004; 1: 303-312.

dan

10. PDPI. Berhenti merokok: pedoman penatalaksanaan untuk dokter di


Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011.
11. Becker EC, Wolke G & Heinrich J. Bronchial responsiveness, spirometry and
mortality in a cohort of adults. Journal of Asthma, 2013; 504: 427-432.
12. Cao L, Zhang Y, Cao Y, Edvinsson L, & Xu C. Secondhand smoke exposure
causes bronchial hyperreactivity via transcriptionally upregulated endothelin
and 5-hydroxytryptmine 2A receptors. PLoS ONE, 2012; 78: 1-9.

74

13. Haynes JM. A positive methacholine challenge test in the absence of


symptoms. Respiratory Care, 2007; 526: 759-762.
14. O'Byrne PM, & Inman MD. Airway hyperresponsiveness. Chest, 2003; 1233:
411S-416S.
15. Tordera MP, Rio FG, Gutierrez FJ, et al. Guidelines for study of nonspesific
bronchial hyperresponsiveness in Asthma. Arch Bronconeumol, 2013; 4910:
432-446.
16. Beckert L, & Jones K. Bronchial challenge testing. In E. Sapey, Bronchial
Ashma - Emerging Therapeutic Strategies (pp. 19-36). 2012. Croatia: InTech.
17. O'Byrne PM, Gauvreau GM, Brannan JD. Provoked models of asthma: what
have we learn? Clin Exp Allergy, 2009; 392: 181-192.
18. Pascoe C, Wang L, Syyong H, & Pare P. A Brief history of airway smooth
muscle's role in airway hyperresponsiveness. Journal of Allergy, 2012; pp. 18. doi:10.1155/2012/768982
19. Cockroft D, & Davis B. Mechanism of airway hyperresponsiveness. J Alergy
Clin Immunol, 2006; 118: 551-9.
20. Posma DS, & Boezen HM. Rationale for the Dutch hypothesis. Allergy and
airway hyperresponsiveness as genetic factors and their interaction with
environment in the development of Asthma and COPD. Chest, 2004; 126:
96S-104S
21. Brannan JD, & Lougheed M. Airway hyperresponsiveness in asthma:
mechanisms, clinical significance, and treatment. Frontiers in Physiology,
2012; 3(460): 1-11.
22. Torok S, & Leuppi F. Bronchial hyper-responsiveness and exhaled nitric
oxide in Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Swiss med wkly, 2007; 137:
385-391.
23. Scichilone N, Battaglia S, La Sala A, & Bellia V. Clinical implication of
airway hyperresponsiveness in COPD. International Journal of COPD, 2006;
11: 49-60.
24. Irvin C. Neutrophils, airway hyperresponsiveness and COPD: true, true and
related? Eur.Respir.J 2012; 40: 1067-1069.
25. Hantera, M., & Abdel-Hafiz, H. Methacholine chellenge test as indicator for
add on inhaled corticosteroids in COPD patients. Egyptian Journal of Chest
Diseases and Tuberculosis 2014; 63: 351-354.

75

26. Walker PP, Hadcroft J, Costello RW, & Calverley PM. Lung function
changes following methacholine inhalation in COPD. Respiratory Medicine,
2009; 103: 535-541.
27. Brutsche M, Downs S, Schindler C, et al. Bronchial hypperresponsiveness
and the development of asthma and COPD in asymptomatic individuals:
SAPALDIA Cohort study. Thorax, 2006; 61: 671-677.
28. Papaiwannou A, Zarogoulidis P, Porpodis K, et al. Asthma - chronic
pulmonary disease overlap syndrome (ACOS): current literature review. J
Thorac Dis, 2014; 6(SI): S146-S151.
29. Scichilone N, Messina M, Battaglia S, Catalano F, & Bellia V. Airway
hyperresponsiveness in the elderly: prevalence and clinical implication. Eur
Respir J, 2005; 25: 364-375.
30. Willemse B, ten Hacken N, Rutgers B, Lesma-Leegte I, Timens W & Postma
D. Smoking cessation improves both direct and indirect airway
hyperresponsiveness in COPD. Eur Respir J, 2004; 24: 391-196.
31. Dima E, Rovina N, Gerassimou C, Roussos C, & Gratziou C. Pulmonary
fuction tests, sputum induction and brochial provocation tests: diagnostic
tools in the challenge of distinguishing asthma and COPD phenotypes in
clinical practice. International Journal of Chronic Obstructive Pulmonary
Diseases, 2010; 5: 287-296.
32. van den Berge M, Vonk J, Gosman M, et al. Clinical and inflammatory
determinants of bronchial hyperresponsiveness in COPD. Eur.Respir.J, 2012;
40: 1098-1105.
33. Piccilo G, Caponnetto P, Barton S, et al. Changes in airway
hyperresponsivenss following smoking cessation: comparisons between Mch
and AMP. Respiratory Medicine, 2008; 102: 256-265.
34. Wise R, Kenner R, Lindgren P, et al. The effect of smoking intervention and
an inhaled bronchodilator on airways reactivity in COPD: the Lung Health
Study. Chest, 2003; 1242: 449-58 (Abstract)
35. Verhoeven G, Hegmans J, Bogaard J, Hoogsteden H, & Prins J. Effects of
fluticasone
proprionate
in
COPD
patients
with
bronchial
hyperresponsiveness. Thorax, 2000; 57: 694-700.
36. Vestbo J, & Hansen E. Airway hyperresponsiveness and COPD mortality.
Thorax, 2001; 56 (Suppl II): ii11-ii14.
37. Crapo R, Casaburi R, Coates A, Enright P, Hankinspon J, & Irvin C.
Guidelines for methacholie and exercise challenge testing - 1999. Am J
Respir Crit Care Med, 2000; 161: 309-329.

76

38. Birnbaum S & Barreiro T. Methacholine challenge testing. Identifying its


diagnostic role, testing, coding and reimbursement. Chest, 2007; 131: 19321935.
39. Anderson SD & Brannan JD. Bronchial provocation testing: the future. Curr
Opin Allergy Clin Immunol, 2011; 111: 46-52.
40. Cockroft DW. Methacholine challenge methods. Chest, 2008; 1344: 678-680.
41. Thomashow B, Crapo J, Yawn B, et al.. The COPD Foundation pocket
consultant guide. J COPD F, 2014; 11: 83-87.
42. Jindal S. Dutch hypothesis. Revisited? Chest, 2004; 1262: 329-331.
43. Barnes PJ. Against the Dutch hypothesis: Asthma and Chronic Obstructive
Pulmonary Disease are distinct diseases. Am J Respir Crit Care Med, 2006;
176: 240-243
44. Amin M. Asthma and COPD: Mechanism and differential diagnosis. In
Wibisono MJ, Maranatha D, & Marhana IA, Majalah Kedokteran Respirasi
(Vol. 1, pp. 25-28). 2010, Surabaya: PDPI Jatim.
45. Busse W. The relation of airway hyperresponsiveness and airway
inflammation. Airway hyperresponsiveness in asthma: its measuremen and
clinical significance. Chest, 2010; 1382(Suppl): 4S-10S.
46. Nakawah MO, Hawkins C & Barbandi F. Asthma, Chronic Obstructive
Pulmonary Disease (COPD), and the overlap syndrome. J Am Board Fam
Med, 2013; 26: 470-477.
47. Camoretti-Mercado B, Karrar E, Nunez L & Bowman MA. S100A12 and the
airway smooth muscle: beyond inflammation and constriction. J Allergy Ther,
2012; 1-7.
48. Stamatiou P, Paraskeva E, Gourgoulianis K, Molyvdas P & Hatziefthimiou
A. Cytokines and growth factors promote airway smooth muscle cell
proliferation. ISRN Inflammation, 2012; 1-13.
49. Prakash Y. Airway smooth muscle in airway reactivity and remodeling: what
have we learned? Am J Physiol Lung Cell Mol Physiol, 2013; 305: L912
L933
50. Janssen LJ & Killian K. Airway smooth muscle as a target of asthma therapy:
history and new directions. Respiratory Research, 2006; 7(123): 1-6.
51. Davis BE & Cocroft DW. Past, present and future uses of methacholine
testing. Expert Rev.Respir.Med, 2012; 63: 321-329

77

52. Roth M & Tamm M. Airway smooth muscle cells respond directly to inhaled
environmental factors. Swiss Med Wkly, 2010; 140: 1-6.
53. JamesA & Carrol N. Airway smooth muscle cells respond directly to inhaled
environmental factors. Swiss Med Weekly, 2010; 140: 1-6.
54. Woodruff P, Khashayar R, Lazarus SC, et al. Relationship between airway
inflammation, hyperresponsiveness, and obstruction in asthma. A Allergy Clin
Immunol, 2001; 108: 753-758.
55. Miller M, Hankinson J, Brusasco V, et al. Standardisation of spirometry. Eur
Respir J, 2005; 26: 319-338.
56. Hyatt RE, Scanlon PD, & Nakamura M. Interpretation of pulmonary function
test: a practical guide (third ed.), 2009. Philadelphia: Lippincot Williams &
Wilkins.
57. Grippi MA & Tino G. Pumonary function Test. In A. P. Fishman JA, Elias
JA, Fishman MA, Grippi RM, Senior & Pack AI, Fishman's Pulmonary
Diseases and Disorders (forth ed., pp. 567-609), 2008. New York:
McGrawHill Medical.
58. Ranu H, Wilde M, & Madden B. Pulmonary function tests. Ulster Med J,
2011; 802: 84-90.
59. Maranatha D. Lung function and clinical excercise Test. In M. Wibisono, D.
Maranatha, & I. Marhana, Majalah Kedokteran Respirasi (Vols. 3, Supl., pp.
43-54), 2012. Surabaya: PDPI Jatim.
60. Pellegrino R, Viegi G, Brusasco V, et.all. Interpretative strategies for lung
function tests. Eur Respir J 2005; 26: 948968.
61. Townley RG, Bewtra AK, Nair NM, et al. Methacholine inhalation challenge
studies. J Allergy Clin Immunol 1979; 64: 569-74.
62. Ramsell JW, Nachtwey F, Moser KM. Bronchial hyperreactivity in chronic
obstructive bronchitis. A Rev Respir Dis 1982; 26: 829-32.
63. Pratter MR, Barrter TC, Dubois J. Bronchodilator reversal of bronchospasm
and symptoms incurred during methacholine bronchoprovocation challlenge.
Documentation of safety and time course. Chest 1993; 104: 1342-1345.
64. Martin RJ, Wanger JS, Irvin CG, et al. Methacholine challenge testing, safety
for low starting FEV1. Chest 1997; 112: 53-56.
65. Tashkin DP, Altose Md, Bleecker ER, et al. The Lung Health Study: Airway
responsiveness to inhaled methacholine in smokers with mild to moderate
airflow limitation. Am Rev Respir Dis 1992; 145: 301-310.

78

66. Dahlan M Sopiyudin. Besar sampel dan cara pengambilan sampel dalam
penelitian kedokteran dan kesehatan. Jakarta: Penerbit Salemba Medika,
2009.

79

Lampiran 1
FORM INFORMATION FOR CONSENT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
DEPARTEMEN / SMF PULMONOLOGI DAN
ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI
Jl.Mayjen Prof.Dr.Moestopo no.6-8, telp.031-5501661
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
Dr.SOETOMO
SURABAYA 60286
Penjelasan penelitian untuk disetujui (Information for consent)

NamaPeneliti

: dr.Alfian Nur Rosyid

Alamat

:Jl.Simomulyo Baru 6D no 19 Surabaya

Telepon

: 081350125649

Judul Penelitian

: Perbedaan hiperresponsif bronkus antara PPOK dan


bukan PPOK perokok

Penelitian tentang respons penyempitan saluran napas secara berlebihan pada


pasien PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis) dan bukan PPOK perokok

A. Tujuan penelitian dan penggunaan hasilnya


Tujuan penelitian ini untuk membuktikan bahwa hiperresponsif bronkus /
respons penyempitan saluran napas secara berlebihan yang terjadi pada
perokok PPOK lebih besar dibandingkan pada bukan PPOK perokok. Tes
metakolin ini akan dilakukan di Laboratorium Faal Paru lantai 3 RSUD
Dr.Soetomo Surabaya. Hasil dari penelitian ini akan digunakan sebagai
pengetahuan baru tentang gambaran perbedaan hasil tes provokasi bronkus
dengan metakolin pada penderita PPOK dan bukan PPOK perokok terkait
pajanan rokok serta sebagai landasan penelitian lain tentang hiperresponsif
bronkus, rokok dan PPOK.

B. Manfaat bagi peserta penelitian


Diharapkan dengan pemeriksaan ini maka pasien PPOK dan bukan PPOK
perokok dapat mengetahui hiperresponsif bronkus pada dirinya sehingga dapat
dilakukan pencegahan agar tidak menjadi PPOK bagi perokok dan mencegah

80

kekambuhan dan perburukan bagi penderita PPOK. Diharapkan bahwa bukan


PPOK perokok dengan hiperresponsif bronkus mengetahui bahwa dirinya
berisiko menjadi PPOK bila melanjutkan merokok. Sedangkan penderita
PPOK dengan hiperresponsif bronkus diharapkan dapat mengetahui bahwa
risiko serangan (eksaserbasi), rawat inap dan kematian akan meningkat bila
melanjutkan merokok.

C. Metode dan prosedur kerja penelitian


Tujuan dari tes provokasi bronkus dengan metakolin adalah untuk menilai
respons penyempitan saluran napas penderita secara berlebihan dibandingkan
orang normal terhadap obat inhalasi metakolin.37,38

Persiapan diperlukan

sebelum penderita menjalani tes metakolin diantaranya diminta untuk


menghentikan sementara penggunaan beberapa obat dan makanan tertentu
sebelum tes dilaksanakan. Saat tes metakolin, penderita diminta untuk
menghirup uap dari nebulizer sebanyak lima kali yang terdiri dari beberapa
konsentrasi metakolin. Konsentrasi akan dimulai dari yang paling rendah dan
akan meningkat berjenjang. Uap metakolin dihasilkan oleh nebulizer yang dan
dihirup melalui mouthpiece (pipa mulut) yang baru dan sekali pakai setiap
penderita untuk menghindari kontak infeksi dengan penderita lain.37
Sebelum dan sesudah diberikan nebulisasi penderita diperiksakan tes faal paru
(tes pernapasan) untuk menilai kapasitas pernapasan dan terjadinya
hiperresponsif saluran napas. Penderita diminta untuk melakukan tes faal paru
dengan cara menghembuskan napas secara kuat melalui mouthpiece sebanyak
3 kali dengan maneuver pernapasan sesuai yang diinstruksikan oleh petugas.
Penderita akan ditutup hidungnya sementara selama dilakukan tes faal paru.
Pemeriksaan tes metakolin ini membutuhkan waktu sekitar 1-2 jam tiap
orang.37,38

D. Risiko yang mungkin timbul


Subjek yang menjalani tes metakolin ini dapat mengalami risiko
ketidaknyamanan terkait efek bronkonkonstriksi (penyempitan saluran napas),

81

iritasi saluran napas dan risiko alergi. Risiko efek samping tersebut dapat
terjadi saat tes metakolin berlangsung, setelah selesai tes atau dua sampai tiga
hari kemudian.

E. Efek samping penelitian


Gejala efek samping yang dapat terjadi adalah batuk, sesak, nyeri kepala,
kepala terasa ringan, mengi, nyeri telan tenggorokan, gatal alergi. Efek
samping tersebut biasanya dapat ditangani dengan pemberian obat-obatan uap
pelega saluran napas (bronkodilator salbutamol, ipatroprium bromide dan
glukokortikoid fluticasone proprionat). Pada penderita dengan hiperresponsif
yang berat dapat terjadi efek samping bronkospasme yang berat dan mungkin
membutuhkan perawatan lebih lanjut baik di rawat inap maupun di icu
(sampai menggunakan ventilator bila terjadi gagal napas). 37,61,62
Data penelitian tes metakolin multisenter terhadap 1.000 penderita PPOK
dilaporkan terdapat gejala pasca tes metakolin di antaranya batuk (25%), sesak
(21%), mengi (10%), pusing (6%), dan sakit kepala (2%). Efek samping yang
terlambat jarang terjadi, hanya 0,3% penderita mengeluhkan nyeri dada
beberapa hari setelah tes metakolin.37
Penelitian di seluruh dunia (lebih dari 30 tahun penelitian) menyebutkan
bahwa lebih dari 3000 penderita yang pernah menjalani tes provokasi bronkus
didapati keluhan yang ringan dan dapat ditangani dengan baik.61,62 Laporan
menyebutkan bahwa kebanyakan penderita yang menjalani tes metakolin ini
tidak didapatkan keluhan. Namun pada sebagian kecil penderita yang
menjalani tes metakolin dapat mengeluhkan sesak napas ringan, batuk, dada
terasa berat, mengi, nyeri dada atau nyeri kepala.37 Bila keluhan tersebut
terjadi biasanya bergejala ringan dan dapat hilang sendiri dalam beberapa
menit atau hilang setelah pemberian bronkodilator (obat pelega saluran napas).
Sangat jarang didapati penyempitan saluran napas yang berat, namun bila
terjadi penyempitan saluran napas yang berat akan segera diberikan
penanganan yang efektif. Bila didapatkan keluhan yang berat dan sulit
ditangani maka subjek bersedia diberikan perawatan inap atau perawatan icu

82

(bahkan sampai menggunakan ventilator) sampai dengan keluhan membaik.


Laporan penelitian tidak didapatkan kematian setelah menjalani tes ini.37,61,64

F. Komplikasi tes metakolin


Tes metakolin meskipun disebutkan aman namun tidak menutup kemungkinan
dapat terjadi komplikasi pasca tes metakolin. Komplikasi yang mungkin
terjadi adalah gagal napas, pneumotoraks (paru-paru bocor), dan pneumonia
nosokomial (radang paru karena tertular infeksinya di Rumah Sakit).
Komplikasi tersebut jarang terjadi bila dipersiapkan dengan baik sebelum tes.

G. Jaminan kerahasiaan
Identitas dan hasil pemeriksaan dari subjek penelitian akan dijamin
kerahasiaannya dengan tidak mencantumkan identitas dalam hasil penelitian
maupun publikasi ilmiah.

H. Hak menolak menjadi subjek penelitian


Setelah mendapatkan penjelasan dari peneliti, subjek penelitian dapat menolak
menjadi subjek penelitian sebelum menjalani penelitian disebabkan oleh
alasan apapun.

I. Partisipasi berdasarkan kesukarelaan


Setelah mendapatkan penjelasan dari peneliti, subjek penelitian diberikan
kebebasan memilih untuk berpartisipasi dalam penelitian secara sukarela tanpa
adanya paksaan dan tekanan dari siapapun juga.

J. Hak undur diri


Setelah mendapatkan penjelasan dari peneliti, subjek penelitian tetap diberikan
hak pilihan untuk dapat mengundurkan diri secara sukarela tanpa paksaan dan
tekanan dari siapapun juga baik sebelum penelitian atau saat penelitian
berlangsung.

83

K. Subjek dapat dikeluarkan dari penelitian


Sebelum tes metakolin dilakukan, subjek penelitian diberikan instruksi untuk
menghindari beberapa obat dan makanan tertentu guna menghindari hasil tes
positif atau negatif palsu. Bila subjek penelitian melanggar instruksi tersebut
maka dapat dikeluarkan dari subjek penelitian karena akan menyebabkan bias
hasil penelitian. Beberapa obat yang harus dihentikan sementara beberapa saat
sebelum menjalani tes metakolin diantaranya salbutamol (8 jam sebelum tes),
ipatroprium (24 jam sebelum tes), salmeterol, formoterol, tiotroprium (48 jam
sebelum tes), teofilin (12 jam sebelum tes), cetirizine (3 hari sebelm tes) dan
beberapa obat lain. Penderita juga dilarang merokok (6 jam sebelum tes),
minum kopi, teh, cola, coklat (24 jam sebelum tes).37
Demi keamanan subjek penderita, sesuai dengan kontraindikasi tes metakolin
bahwa subjek penelitian dengan hasil faal paru dengan obstruksi sedang berat
(FEV1<50%) tidak boleh mengikuti tes metakolin. Selain itu penderita tidak
boleh memiliki alergi, asma, ACOS, hipertensi, sakit jantung, riwayat stroke,
menggunakan obat tertentu (beta bloker, kolin esterase).37 Pada subjek dengan
kontraindikasi diatas maka akan dikeluarkan dari subjek penelitian.

L. Biaya
Biaya pemeriksaan metakolin sepenuhnya ditanggung oleh penelitian. Bila
terdapat efek samping maka tatalaksana efek samping serta biayanya akan
ditanggung oleh peneliti. Subjek penelitian tidak dikenakan biaya apapun
untuk tes metakolin.
Setelah subjek menjalani tes metakolin sekitar 1-2 jam, maka akan diberikan
obat pelonggar saluran napas (bronkodilator inhalasi) guna mengembalikan
fungsi faal paru kembali ke kondisi semula. Kemudian dilakukan monitor
evaluasi selama 1 jam pasca tes untuk menilai efek samping yang lain. Bila
tidak ada efek samping maka penderita diperbolehkan pulang. Penderita atau
keluarga diberikan nomor telepon peneliti (dr.Alfian Nur Rosyid
081350125649), bila selama 3 hari kemudian terjadi efek samping saat di

84

rumah. Penderita diminta menghubungi peneliti dan segera ke IRD RSUD


Dr.Soetomo Surabaya.
Surabaya,..
Yang membuat penjelasan

Yang menerima penjelasan

Peneliti

(dr.Alfian Nur Rosyid)

(..)

Mengetahui,
Saksi 1 (dari pihak peneliti)

Saksi 2 (dari pihak subjek penelitian)

(..)

(..)

85

Lampiran 2

PERSETUJUAN MENJADI SUBJEK PENELITIAN (Informed consent)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :


NamaPeneliti

: ..

Umur

: .tahun

Alamat

: ..

Telepon / Email

: ..

Instansi

: ..

Setelah mendengarkan penjelasan yang diberikan dan diberi kesempatan untuk


menanyakan yang belum dimengerti, dengan ini memberikan:
PERSETUJUAN
Mengikuti Penelitian sebagai subjek penelitian dengan judul penelitian:
Perbedaan hiperresponsif bronkus antara PPOK dan bukan PPOK
perokok dan sewaktu-waktu saya berhak untuk mengundurkan diri dari
penelitian.
Demikian persetujuan ini saya buat dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan.
Surabaya,..
Yang membuat pernyataan

(..)
Mengetahui,
Saksi 1 (dari pihak peneliti)

Saksi 2 (dari pihak subjek penelitian)

(..)

(..)

86

PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :


NamaPeneliti

: ..

Umur

: .tahun

Alamat

: ..

Telepon / Email

: ..

Instansi

: ..

Setelah mendengarkan penjelasan yang diberikan dan diberi kesempatan untuk


menanyakan yang belum dimengerti, dengan ini memberikan:
PERSETUJUAN
Untuk dilakukan tindakan medis berupa:
TES PEMBERIAN INHALASI / UAP METAKOLIN
Dengan judul penelitian: Perbedaan hiperresponsif bronkus antara PPOK
dan bukan PPOK perokok
Sewaktu-waktu saya berhak untuk mengundurkan diri dari penelitian ini.
Demikian persetujuan ini saya buat dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan
serta tekanan dari siapapun juga.
Surabaya,..
Yang membuat pernyataan

(..)
Mengetahui,
Saksi 1 (dari pihak peneliti)

Saksi 2 (dari pihak subjek penelitian)

(..)

(..)

87

PERSETUJUAN PERAWATAN LEBIH LANJUT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :


NamaPeneliti

: ....

Umur

: .tahun

Alamat

Telepon / Email

Instansi

Setelah mendengarkan dan memahami penjelasan yang diberikan serta diberi


kesempatan untuk menanyakan yang belum dimengerti, dengan ini memberikan:
PERSETUJUAN
Untuk dilakukan tindakan medis berupa:
PERAWATAN LEBIH LANJUT / RAWAT INAP BILA ADA
INDIKASI KARENA EFEK SAMPING YANG BERAT
Dengan judul penelitian:
Perbedaan hiperresponsif bronkus antara PPOK dan bukan PPOK
perokok
Sewaktu-waktu saya berhak untuk mengundurkan diri dari penelitian ini.
Demikian persetujuan ini saya buat dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan
serta tekanan dari siapapun juga.
Surabaya,..
Yang membuat pernyataan

(..)
Mengetahui,
Saksi 1 (dari pihak peneliti)

Saksi 2 (dari pihak subjek penelitian)

(..)

(..)

88

PERNYATAAN PENGUNDURAN DIRI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :


NamaPeneliti

: ..

Umur

: .tahun

Alamat

: .

Telepon / Email

: ....

Instansi

: ....

Dengan ini menyatakan MENGUNDURKAN DIRI sebagai subjek penelitian


dengan judul penelitian: Perbedaan hiperresponsif bronkus antara PPOK
dan bukan PPOK perokok
Demikian lembar pengunduran diri ini saya buat dengan penuh kesadaran dan
tanpa paksaan serta tekanan dari siapapun juga.
Surabaya,..
Yang membuat pernyataan

(..)
Mengetahui,
Saksi 1 (dari pihak peneliti)

Saksi 2 (dari pihak subjek penelitian)

(..)

(..)

89

Lampiran 3
Lembar Pengumpul data Penelitian
Lembar Pengumpul Data Penelitian
Identitas Pasien PPOK /
bukan PPOK
1 Nama
2
3
4
5

Usia

Tgl tes:

PPOK /
Bukan PPOK

No.RM:
Telp:

Tahun
(40-65 tahun)

Kelamin:
Laki-laki

Asuransi: BPJS / Umum

Alamat
Pajanan: debu / asap pabrik /
rokok pasif / kayu bakar
Mengi Nyeri
Batuk Darah
dada

Pekerjaan
Gejala*)

Dahak (warna)

Sesak

Waktu

(hari)
(bulan)
(tahun)
Tambahan
keluhan
Riwayat
Merokok

Batuk

Perokok aktif
Sejak usia:
thn
Rata2:
batang/hari
Indek Brinkman:

Berhenti (pernah merokok)


Sejak usia:
Rata2:
Kapan berhenti:

thn
batang/hari
bln/thn
tahun

Tidak merokok
Perokok pasif
(Ya / Tidak)

Pack Years

Batang rokok/hari:

Lama merokok:

Komorbid **)

DM
PJK

Alergi: dingin / panas / debu / asap / makanan /


obat
Sebutkan:

Pemeriksaan
Fisik

10 Faal Paru dasar

HT
GGK

Stroke
Liver

Riw.OAT . Sebutkan kapan:


Lain-lain:
TD:
/
N:
SatO2:
BB:
kg
Ronki:
FEV1=

FVC=

RR:
TB:

cm

Wheezing:
l

FEV1/FVC=

***

11 Riw.Pengobatan

% prediksi=

% prediksi=

Bronkodilator:

Steroid:

t:
BMI:

%
Antikolinergik:

Ket.
Obstruksi
Restriksi
Xantin:

Symbicort 80
Berotec MDI
Seretide
Symbicort 160
Ventolin MDI
Spiriva Handihaler

Nb: *) mohon diisi lama keluhan penderita. Bila tidak ada keluhan berikan tanda minus (-). Pada
kolom dahak, dapat ditulis lama dan warna dahaknya (putih, kuning, hijau dll)
**) Lingkari bila terdapat komorbid
Pemeriksaan Penunjang dasar: Faal paru FEV1/FVC >50% atau > 1liter MEMEHUNI SYARAT:
Pengobatan lain

INKLUSI / EKSLUSI

90

Lampiran 4
Lembar hasil pemeriksaan tes metakolin
Lembar Hasil Pemeriksaan Tes Metakolin
Identitas Pasien Bukan PPOK / PPOK
1
Nama
2

Usia

3
Alamat
Penghentian
obat

Penghindaran
pajanan
Khusus sampel
PPOK
Faal paru

Tgl tes:
Kelamin:
Laki-laki

Tahun (40-65)

RM:
Telp:

Bukan PPOK
/ PPOK

Asuransi: BPJS / Umum

Inhalasi (beri tanda ):


Salbutamol (SABA) >8jam
Tiotropium, Salmeterol, Formoterol (LABA) >48 jam
Ipatroprium bromide (Antikolinergik) >24 jam
Natrium kromolin >3 hari
Nedokromil >24 jam
Oral (beri tanda ):
Teofilin >24 jam
Cetirizine >24 jam
Monteluksast, Zafirlukast (Leukotrien Modifier) >24 jam
Kopi, teh, cola, coklat >1 hari
Tidak ada Infeksi pernapasan 3-6 minggu
Tidak terpajan asap rokok > 12 jam
CAT
=
Kelompok PPOK=
Eksaserbasi:
x/tahun
mMRC =
A/B/C/D
Penurunan
<20%
FVC
FEV1
Rasio FEV1/FVC (FEV1/FEV1
baseline)
Hentikan tes
Awal
Baseline

(1)=

X=

X/(1)=

Faal paru pasca

0,0625

(2)=

A=

A/(2)=

A/X=

inhalasi

0,25

(3)=

B=

B/(3)=

B/X=

metakolin

(4)=

C=

C/(4)=

C/X=

(5)=

D=

D/(5)=

D/X=

16

(6)=

E=

E/(6)=

E/X=

FEF25-75

FEV6

Awal

F=

M=

Penurunan
FEF25-75
-

Penurunan
FEV6
-

Baseline

G=

N=

G/F=

N/M=

0,0625

H=

O=

H/F=

O/M=

0,25

I=

P=

I/F=

P/M=

J=

Q=

J/F=

Q/M=

K=

R=

K/F=

R/M=

16

L=

S=

L/F=

S/M=

Penilaian Faal
paru tambahan

91
Hiperresponsif bronkus

Kesimpulan
PC20 (mg/ml) =

Efek samping
pasca tes
Tidak ada
efek samping

Tindak lanjut
pasca tes

<1
Sedang- berat
Batuk
Sesak napas
Mengi

14
ringan
Pusing
Sakit kepala
Dada terasa
berat

Tidak
4 - 16
bordeline

Nyeri dada
Reaksi alergi
Anafilaktik

>16
Iritasi
tenggorokan
Gagal Napas

Onset efek samping:

Durasi efek samping:

. Menit . Jam . Hari

. Menit . Jam . Hari

Oksigen lpm Inhalasi


antikolinergik
Inhalasi
(x)
salbutamol
(x)
Injeksi steroid
iv
Inhalasi steroid
(x)
Nilai FEV1 terakhir / FEV1 baseline=

Injeksi
Aminofilin iv
Infus drip
Aminofilin

FEV1 post
bronkodilator

KRS
MRS RPI
ICU on
Ventilator

FEV1 kembali normal setelah


berapa kali inhalasi salbutamol=
Kali

Durasi tes
metakolin

Keterangan

menit

92

Lampiran 5
Aplikasi tes metakolin

Untuk mempermudah penghitungan penurunan FEV1 20% dipakai aplikasi diatas


yang menggunakan Microsoft Access. Hasil pemeriksaan tes metakolin tiap
sampel penelitian dapat dicetak seperti gambar dibawah.

93

Contoh hasil cetak aplikasi tes metakolin

94

Lampiran 6
Perlengkapan dan obat penelitian
No. Alat
1.
Tensimeter Air Raksa
2.
Stetoskop
3.
Saturasi Oksigen
4.
Timbang Badan
5.
Tinggi Badan
6.
Spirometri / Faal Paru + kertas
cetak
7.
Mouth Piece + penjepit hidung
8.
9.
10.

11.

12.
13.
14.

15.

16.

Nebulizer Provokasi Bronkus


Tabung Oksigen
Nebuliser Bronkodilator
a. Nasal Mikromice
b. Masker Mikromice
Obat-obatan Bronkodilator
a. Inhalasi Salbutamol 2,5mg
b. Inhalasi Ipatroprium bromide
c. Inhalasi Fluticasone
d. Injeksi Metilprednisolon
125mg
e. Aminofilin ampul 24mg/ml
f. Injeksi Terbutalin 2,5mg/ml
Spuit 1, 3, 5, 10 cc
Kassa steril beralkohol, plester
Alat Oksigenasi
a. Nasal kanul
b. Masker Simpel
c. Masker Non Rebreathing
d. Jacksen Rees
e. Ambu Bag
f. Ventilator Support
bekerjasama dengan Anestesi
Alat transportasi:
a. Brankar Tempat Tidur
b. Kursi Roda
Perlengkapan Resusitasi
a. Infus Set
b. Cairan Infus PZ, RL
c. Venflon / Surflo no.20F, 22F,
24F

Merk
ABN
ABN
SIMC
SIMC
Koko
Legend

PARI
Anekagas
Philip

Terumo

Keterangan
Satuan mm/Hg
Satuan %
Satuan kg
Satuan cm
Dilakukan manuver FVC
saja untuk menilai FEV1
Mouth piece sekali pakai
tiap subjek
Provocation test

95

Lampiran 7
Penyediaan metakolin
1. Peracikan metakolin
Metakolin yang digunakan adalah Acetil -Metil Choline produksi dari Sigma
Aldrich 25 gram yang akan diracik menjadi beberapa konsentrasi tertentu.
Metakolin ini tersedia dalam bentuk bubuk / powder. Proses peracikan harus
steril dan dengan konsentrasi yang tepat. Peracikan akan dilakukan di Unit
Produksi

Instalasi

Farmasi

RSUD

Dr.Soetomo

Surabaya.

Untuk

mempermudah pemanfaatan hasil peracikan maka obat metakolin dibagi


menjadi lima konsentrasi bentuk bubuk / powder yang akan dimasukkan ke
dalam botol steril 10 cc. Saat metakolin akan digunakan perlu diencerkan
dahulu dengan pelarut (NaCl 0,9% 10 cc atau sesuai dengan botol sediaan).
Pengeceran dilakukan sendiri oleh peneliti saat akan melakukan tes metakolin.
Metakolin dengan konsentrasi 16mg/ml tidak bisa disimpan lebih dari 1 hari,
sehingga peracikan dilakukan saat hari tes metakolin. Lima botol metakolin
diberikan label tersendiri pada masing-masingnya.

96

2. Konsentrasi metakolin
Konsentrasi metakolin yang dipakai setiap pemeriksaan makin meningkat.
Metakolin yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari lima
konsentrasi obat metakolin yaitu:
Tabung

Konsentrasi (mg/ml)

0,0625

0,25

16

3. Penyimpanan metakolin
Metakolin yang sudah diracik dan dibagi dalam bentuk bubuk / powder ke
dalam botol steril harus disimpan dalam lemari es dengan suhu 40C.
Metakolin yang belum atau sudah diencerkan dengan pelarut NaCl 0,9%
harus disimpan dalam lemari es dengan suhu 40c. Metakolin tidak boleh
dipakai lagi bila telah diencerkan lebih dari tiga (3) minggu. Khusus
metakolin dengan konsentrasi 16 mg/ml hanya boleh diencerkan bila akan
dilakukan pemeriksaan.

4. Pemakaian metakolin
Metakolin yang akan dipakai, dilarutkan terlebih dahulu dengan pelarut
NaCl 0,9% secara steril. Lalu metakolin diambil 2 mililiter tiap sekali
pemakaian. Dilakukan inhalasi dengan menggunakan Alat tes Provokasi
merk PARI yang tersedia di Laboratorium Faal Paru RSUD Dr.Soetomo.

97

Lampiran 8
Persiapan dan metode pemeriksaan metakolin

Subjek penelitian yang akan menjalani pemeriksaan metakolin harus menghindari


beberapa obat bronkodilator, antihistamin, leukotriene dan lainnya sesuai dengan
masa kerja obat Disamping itu penderita harus mengindari konsumsi kopi, teh,
cola dan coklat pada hari pemeriksaan metakolin. (lihat tabel 2.7 dan tabel 2.8
pada halaman 45 dan 46).
Pemeriksaan provokasi bronkus ini dengan menggunakan metode five-breathing.
Inhalasi metakolin diberikan 5 kali hisap dan masing-masing ditahan 5 detik, 5
kali inhalasi tidak boleh melebihi 2 menit. Berikut adalah langkah pemeriksaan
metakolin.
Faal Paru awal Istirahat Inhalasi
pelarut
(NaCl 0,9%
2cc)
Manuver FVC
Tehnik
Dinilai
napas biasa
FEV1/FVC
Diulang 3-4
kali

Istirahat

3 menit

30-90
detik

Istirahat

5 menit

20 menit

A.Metakolin konsentrasi 0,0625


mg/ml
Teknik five-breathing.
1. Inspirasi dalam lalu tahan
napas 5 detik.
2. Inspirasi dalam lalu tahan
napas 5 detik.
3. Inspirasi dalam lalu tahan
napas 5 detik.
4. Inspirasi dalam lalu tahan

Faal Paru
Baseline

Istirahat

Manuver
FVC
Dinilai
FEV1/FVC
Diulang 34 kali

3 menit

Bila terjadi
penurunan
FEV1
baseline
dibanding
FEV1 awal
10%
Hentikan
berikan
bronkodilator
5 menit

Faal Paru I

Istirahat

Manuver
FVC
Dinilai
FEV1/FVC
Diulang 34 kali

Bila terjadi
penurunan
FEV1 I
dibanding
FEV1
baseline
20%
Hentikan

98

napas 5 detik.

berikan
bronkodilator

5. Inspirasi dalam lalu tahan

napas 5 detik.
2 menit

30-90
detik

3 menit

5 menit

B.Metakolin konsentrasi 0,25


mg/ml
Teknik five-breathing.
1. Inspirasi dalam lalu tahan
napas 5 detik.
2. Inspirasi dalam lalu tahan
napas 5 detik.
3. Inspirasi dalam lalu tahan
napas 5 detik.
4. Inspirasi dalam lalu tahan
napas 5 detik.
5. Inspirasi dalam lalu tahan
napas 5 detik.
2 menit

Istirahat

Faal Paru
II
Manuver
FVC
Dinilai
FEV1/FVC
Diulang 34 kali

Istirahat

30-90
detik

3 menit

5 menit

C.Metakolin konsentrasi 1
mg/ml
Teknik five-breathing.
1. Inspirasi dalam lalu tahan
napas 5 detik.
2. Inspirasi dalam lalu tahan
napas 5 detik.
3. Inspirasi dalam lalu tahan
napas 5 detik.
4. Inspirasi dalam lalu tahan
napas 5 detik.
5. Inspirasi dalam lalu tahan
napas 5 detik.
2 menit

Istirahat

Faal Paru
III
Manuver
FVC
Dinilai
FEV1/FVC
Diulang 34 kali

Istirahat

30-90
detik

3 menit

5 menit

D.Metakolin konsentrasi 4
mg/ml

Istirahat

Faal Paru
IV

Istirahat

Bila terjadi
penurunan
FEV1 II
dibanding
FEV1 I
20%
Hentikan
berikan
bronkodilator

Bila terjadi
penurunan
FEV1 III
dibanding
FEV1 II
20%
Hentikan
berikan
bronkodilator

99

Teknik five-breathing.
1. Inspirasi dalam lalu tahan
napas 5 detik.
2. Inspirasi dalam lalu tahan
napas 5 detik.
3. Inspirasi dalam lalu tahan
napas 5 detik.
4. Inspirasi dalam lalu tahan
napas 5 detik.
5. Inspirasi dalam lalu tahan
napas 5 detik.
2 menit

E.Metakolin konsentrasi 16
mg/ml
Teknik five-breathing.
1. Inspirasi dalam lalu tahan
napas 5 detik.
2. Inspirasi dalam lalu tahan
napas 5 detik.
3. Inspirasi dalam lalu tahan
napas 5 detik.
4. Inspirasi dalam lalu tahan
napas 5 detik.
5. Inspirasi dalam lalu tahan
napas 5 detik.
2 menit

Manuver
FVC
Dinilai
FEV1/FVC
Diulang 34 kali

Bila terjadi
penurunan
FEV1 IV
dibanding
FEV1 III
20%
Hentikan
berikan
bronkodilator

30-90
detik

3 menit

5 menit

Istirahat

Faal Paru
V
Manuver
FVC
Dinilai
FEV1/FVC
Diulang 34 kali

Istirahat

3 menit

5 menit

30-90
detik

Bila terjadi
penurunan
FEV1 IV
dibanding
FEV1 III
20%
Hentikan
berikan
bronkodilator

Bila terdapat efek samping, maka akan dilakukan tatalaksana seperti pada
lampiran 9.

100

Lampiran 9
Tatalaksana efek samping subjek penelitian
1. Efek samping tes metakolin
Tidak ada efek samping tes metakolin yang serius bahkan disebutkan
tanpa gejala. Meskipun begitu tetap harus diwaspadai terjadinya efek
samping pemberian bronkokonstriktor metakolin. Dari laporan tidak
diketahui terdapat kematian terkait tes metakolin, namun bronkospasme
berat dapat terjadi. Dua pertiga penderita tidak bergejala ketika
meninggalkan klinik.
Penelitian melaporkan gejala pasca tes metakolin di antaranya:
o batuk (25%)
o sesak (21%)
o mengi (10%)
o pusing (6%)
o sakit kepala (2%)
o Efek samping lambat jarang terjadi (0,3% penderita), mengeluhkan
nyeri dada beberapa hari kemudian
Efek samping dapat terjadi bukan hanya pada subjek penelitian, namun
juga terhadap tehnisi. Sehingga perlunya pencegahan untuk menghindari
kebocoran gas metakolin yang diinhalasikan.
2. Tatalaksana efek samping
Efek samping yang terjadi dapat akut atau lambat. Bila gejala akut maka
dapat segera ditangani sebelum subjek penelitian pulang. Namun bila
setelah inhalasi metakolin tidak didapatkan maka subjek penelitian dapat
pulang dan diberitahukan bahwa bila terdapat keluhan seperti batuk, sesak
napas, mengi, pusing, sakit kepala dapat segera menghubungi peneliti atau
langsung menuju UGD RSUD dr.Soetomo.
a. Tatalaksana efek samping akut
Metakolin dapat menyebabkan bronkokonstriksi dan memberikan
gejala sesak, batuk, pusing, sakit kepala. Tatalaksana efek samping
bronkokonstriksi dengan pemberian:

101

1. Pemberian oksigen nasal 3 lpm


2. Inhalasi Bronkodilator kerja pendek (SABA / Short Acting Beta
Agonis) Salbutamol 2,5mg dikombinasi dengan Antikolinergik
Ipratroprium Bromide yang dapat diulang 3 kali berselang 10
menit
3. Inhalasi Steroid Fluticasone proprionat bila setelah 3 kali
pemberian obat no.2 belum ada perbaikan
4. Injeksi Steroid Metil Prednisolon iv 125mg bila setelah pemberian
obat no.3 belum ada perbaikan
5. Pemasangan infus dan pemberian injeksi Aminofilin bolus 5mg/kg
BB/kali dan maintenans drip Aminofilin 20mg/kg BB/24 jam
dalam cairan Normal Salin (Na Cl 0,9%) bila setelah pemberian
obat no.4 belum ada perbaikan, dievaluasi dalam 2 jam
6. Rawat inap bila tatalaksana no.5 tidak memberikan perbaikan
klinis. Pemeriksaan lengkap darah rutin, fungsi hati, fungsi ginjal,
kadar gula, serum elektrolit, pemeriksaan analisa gas darah.
7. Konsul anestesi untuk pemasangan ventilator bila sampai
didapatkan indikasi gagal napas
b. Tatalaksana efek samping lambat
Bila 1 jam setelah pemberian metakolin tidak terdapat keluhan pada
subjek penelitian maka subjek penelitian dapat diijinkan pulang
dengan diberikan keterangan tentang efek samping tipe lambat yang
mungkin terjadi. Keluarga subjek penelitian juga diberikan keterangan
yang sama. Subjek penelitian atau keluarga diminta menghubungi
peneliti bila terdapat keluhan setelah beberapa hari menjalani tes
metakolin. Subjek penelitian diminta menghubungi peneliti dan segera
ke UGD RSUD dr.Soetomo bila terdapat keluhan efek samping yang
berat.

102

Lampiran 10
Rencana anggaran dana penelitian
No
1
2
3
4
5
6
7

Keterangan
Penyusunan, penggandaan proposal dan revisi
Penyusunan, penggandaan laporan hasil penelitian
dan revisi
Pemeriksaan Spirometri 46 pasien x @133.000
Pemeriksaan Metakolin 46 pasien x @ 300.000
Pengelolaan Statistik
Pembelian peralatan tatalaksana efek samping (1
paket)
Pembelian perlengkapan bahan penelitian (1 paket)
Total

View publication stats

Biaya
Rp 1.500.000,Rp 1.500.000,Rp 6.118.000,Rp 13.800.000,Rp 1.500.000,Rp 3.000.000,Rp

750.000,-

Rp 28.168.000,-

Anda mungkin juga menyukai