Anda di halaman 1dari 7

Performance measurement in the food supply chain: a balanced scorecard

approach.
Abstrak
Tujuan Tujuan utama paper ini adalah mengembangkan model Balance Scorecard (BSC)
untuk pengukuran performa di rantai pasok makanan.
Metodologi Metodologi riset menggunakan kombinasi analisis literatur, teknik Delphi, dan
riset berdasarkan studi kasus. Diawali studi literatur mengenai pengukuran performa dan
metriks-metriksnya, industri makanan dan model BSC, serta faktor finansial dan nonfinansial yang relevan. Indikator-indikator diberikan pada panel ahli. Hasil model BSC diuji
pada dua perusahaan pada industri makanan sebagai validasi.
Penemuan Hasil dari studi kasus menunjukkan bahwa perusahaan yang diuji memiliki
pandangan yang serupa untuk tiga dari empat perspektif BSC. Hasil yang berbeda ada pada
perspektif learning and growth.
Implikasi Dengan berfokus spesifik pada rantai pasok makanan, studi ini melengkapi studi
sebelumnya dengan pengusulan model BSC pada manajemen rantai pasok. Fakta bahwa
pengujian dilakukan pada industri yang spesifik merupakan batasan penelitian ini, sehingga
hasil studi tidak bisa digeneralisasi.
Originalitas Paper ini menyediakan sistem pengukuran performa terstruktur pada rantai
pasok makanan. Model BSC yang dikembangkan dapat menjadi referensi bagi industri
makanan. Peneliti dan praktisi dapat memanfaatkan model yang telah dikembangkan ini.
Pendahuluan
Manajemen rantai pasok merupkan disiplin tentang mengoptimasi pengiriman barang, jasa,
dan informasi terkait dari supplier ke pelanggan.
Sebuah rantai pasok terdiri dari supplier, produsen, distributor, dan konsumen. Jaringan rantai
pasok saling mempengaruhi satu sama lain. Maka dari itu, isu penting dalam SCM adalah
pengembangan sistem pengukuran performa yang terintegrasi (PMS). PMS merupakan alat
formal untuk mengontrol, formulasi, dan komunikasi strategi perusahaan dan juga melayani
manajer level atas. PMS juga mendukung manajer operasional untuk memotivasi, dan
meningkatkan operasi. Framework pengukuran performa membantu dalam pengukuran
performa dengan mengklarifikasi batasan pengukuran, menspesifikasi dimensi pengukuran
performa dan menyediakan intuisi kepada hubungan antar dimensi.

Studi ini bertujuan mengembangkan sebuah PMS berdasarkan framework BSC, yang dapat
diterapkan dalam rantai pasok makanan. Alasan dalam memilih konteks ini adalah rantai
pasok makanan telah mendapat perhatian besar dalam satu dekade terakhir, karena isu
kesehatan publik. Telah jelas bahwa di masa depan, desain dan operasi rantai pasok makanan
akan lebih ketat dari segi regulasi. Hal ini menandakan bahwa praktek rantai pasok
tradisional dan pengukuran performanya perlu direvisi dan diubah. Alasan lain adalah industri
lokal di Parma banyak yang beroperasi di industri makanan, dengan persentase 35% dengan
nilai pasar 6500 juta dari total 19200 juta. Di Parma juga terdapat European Food Safety
Authority, sebuah agensi yang melakukan identifikasi dan evaluasi resiko potensial dalam
rantai pasok.
Analisis Literatur
Banyak metode dan teknik untuk mengevaluasi performa perusahaan secara umum; seperti
ROI, internal rate of return, NPV, dan payback period. Saat ini, riset di pengukuran performa
rantai pasok menerima peningkatan atensi oleh komunitas ilmiah, seiring dengan kebutuhan
pengembangan PMS terintegrasi. Studi komprehensif secara kuntitatif dan kualitatif untuk
rantai pasok telah dilakukan Chan (2003), Gunasekaran (2004), dan Bhagwat and Sharma
(2007). Rangkuman indikator performa yang cocok digunakan untuk rantai pasok ada di
Tabel I berikut.

Beberapa penulis setuju PMS yang ada saat ini memiliki dua batasan. Pertama, pengukuran
performa diikuti prinsip akuntansi finansial tanpa melihat perspektif masa depan dan
pengukuran terbatas pada indikator yang dapat diukur langsung atau akuntabel. Sistem yang
seperti itu tidak speenuhnya cocok untuk diimplementasikan dalam aplikasi SCM modern,
dimana pengukuran performa harus mencakup cakupan yang lebih luas dari controlling
targets. Secara spesifik, rantai pasok kompleks menawarkan konsumen berbagai manfaat,
termasuk manfaat intangible. Lebih jauh lagi, kebanyakan sistem ini kekurangan system
thinking dan sistem pengukuran haruslah mejangkau seluruh rantai pasok.
BSC pertama muncul tahun 1990 diperkenalkan oleh Kaplan dan Norton sebagai wujud
ketidakpuasan terhadap pengukuran finansial tradisional. BSC menggabungkan aktivitas
bisnis dengan visi dan strategi organisasi, meningkatkan komunikasi internal dan eksternal,
dan memonitor performa organisasi berdasarkan tujuan strategis.
BSC memiliki empat perspektif pengukuran performa:
1.
2.
3.
4.

Customer
Internal processes
Learning and Growth
Financial

Saat ini, belum ada studi spesifik mengenai penerapan BSC dalam rantai pasok makanan.
Selain itu dalam konteks SCM, belum banyak aplikasi BSC dalam pengukuran performa

rantai pasok. Studi ini menggunakan framework BSC dari studi Bhagwat and Sharma dalam
membuat model pengukuran performa rantai pasok makanan.
Metodologi Riset
Metodologi riset ini terdiri dari tiga tahap. Pertama, analisis literatur secara detail mengenai
SCM, pengukuran performa, dan rantai pasok makanan. Tujuan tinjauan literatur adalah
untuk menganalisis PMS yang tersedia untuk rantai pasok. Empat dimensi dari BSC Bhagwat
and Sharma digunakan sebagai titik awal studi.
Kemudian, dimunculkan KPI yang sesuai untuk diadopsi di perusahaan makanan. KPI
tersebut divalidasi dan dinilai oleh panel ahli dengan menggunakan teknik Delphi. Teknik
Delphi digunakan untuk memperoleh konsensus pada KPI yang akan dimasukkan ke dalam
model.
Panel multidisiplin terdiri dari 20 ahli disiapkan. Panel terdiri dari akademisi Industrial
Engineering Department University of Parma, dipilih dari orang yang studi risetnya berfokus
pada SCM, pengukuran performa, dan isu industri makanan.
15 manajer dari perusahaan Italia beroperasi di industri makanan dimasukkan ke dalam panel.
Anggota panel dipilih dari orang yang melaporkan langsung pada top management
perusahaan dan beroperasi di SCM, logistik, procurement, produksi, IT, perencanaan dan
kontrol, serta finansial.
KPI hadil dari literatur distruktur ke dalam kuesioner, lalu diberikan pada anggota panel.
Kemudian, Delphi dua ronde dilakukan. Pada ronde pertama, anggota panel diminta untuk
mengekspresikan persetujuan mengenai kesesuaian KPI untuk diadopsi di industri makanan.
Panelis juga dapat mengindikasikan kebutuhan spesifikasi lebih jauh dari KPI, begitu pula
kekuatan dan kelemahan setiap indikator yang diidentifikasi. Hasil dari ronde pertama
kemudian berujung pada modifikasi KPI. Kuesioner kedua kemudian dibuat dengan
menambah indikator yang diajukan panelis dan menghilangkan yang tidak relevan. Kuesioner
kemudian diajukan untuk Delphi ronde ke-dua. Persetujuan umum dicapai pada akhir ronde
dua. Anggota panel kemudian terlibat pada diskusi akhir untuk mengkonfirmasi hasil
kuesioner ke-dua.
Hasil akhir teknik Delphi merupakan model BSC untuk pengukuran performa di rantai pasok
makanan. Pada tahap ketiga, BSC model tersebut diuji pada dua perusahaan yang beroperasi
di industri makanan. Studi kasus bertujuan untuk memvalidasi model. Studi kasus dilakukan
dengan melakukan interview dengan top management yang beroperasi pada fungsi SCM pada
tiap perusahaan. Pertanyaan awal untuk mengeksplorasi struktur dan karakteristik

perusahaan. Model BSC kemudian diajukan dan manajer diminta menilai dari skala 1-6 dan
memprioritaskan dari skor 0-10.
Studi Kasus
Deskripsi Perusahaan
Perusahaan 1 dibentuk tahun 1966 di Parma dan merupakan konsorsium dengan 110
perusahaan asosiasi, bekerja di sektor daging, keju, dan dairy. Sektor dairy dan keju
merupakan pasar utama perusahaan. (Parmigiano-Reggiano Consortium)
Perusahaan 2 dibentuk tahun 1866 dan awalnya beroperasi di Swiss sebagai produsen susu.
Perusahaan ini kemudian ekspansi ke negara lain ke US, UK, Spanyol, Jerman, dan Italia.
Dua dekade terakhir, perusahaan ini telah tumbuh kuat dengan akuisisi-akuisisi dan saat ini
telah memiliki pabrik di lebih dari 80 negara. (Nestle)
Balance Scorecard Model Perusahaan 1 dan Perusahaan 2
Pada studi kasus, indikator dalam model BSC diranking pada basis opini dari eksekutif dan
manajer yang dikumpulkan saat interview.
Pada perusahaan 1, perspektif finansial dan pelanggan merupakan yang paling utama, diikuti
proses internal dan learning and growth. Pada perspektif finansial, indikator information
carrying cost dan supplier cost saving activities adalah yang paling penting, diikuti variation
against budget dan cost per operation hour. Pada perspektif pelanggan, yang paling relevan
adalah customer query time, order lead time, distribution lead time, distribution performance,
delivery reliability, effectiveness of distribution planning schedule, dan quality of delivered
goods. Pada perspektif proses internal, yang paling penting adalah purchase order cycle time,
effectiveness of master production schedule, supplier rejection rate, total inventory cost, dan
frequency of delivery. Pada perspektif learning and growth, indikator yang paling penting
adalah supplier assistance in solving technical problem, supplier ability to respond to
qualityproblems, dan buyer-supplier collaboration in problem solving. Order entry methods
dan level of information sharing menjadi indikator yang kurang penting. Model BSC
perusahaan 1 dapat dilihat pada figure 2.

Pada perusahaan 2, perspektif customer merupakan yang paling utama, selevel dengan proses
internal. Supplier cost saving activities merupakan indikator paling penting pada perspektif
finansial diikuti variations against budget dan ROI. Pada perspektif pelanggan, semua
indikator dianggap penting. Pada perspektif proses internal, accuracy of forecasting
techniques, purchase order cycle time, planned process cycle time, total inventory cost
merupakan yang paling penting. Pada perspektif learning and growth, yang paling penting
adalah order entry methods an level of information sharing, dimana keduanya dianggap tidak
penting pada perusahaan 1. Model BSC perusahaan 2 dapat dilihat di figure 3.

Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari studi kasus adalah model BSC yang dikembangkan
valid, dengan perspektif learning and growth sebagai pengecualian, sehingga dibutuhkan
investigasi lebih lanjut terhadap perspektif tersebut.
Studi kasus dilakukan hanya untuk validasi model, belum sampai implementasi kasus nyata.
Diperlukan pengaplikasian model pada sampel perusahaan yang lebih banyak untuk menguji
kesesuaiannya pada perusahaan makanan.

Anda mungkin juga menyukai