Anda di halaman 1dari 15

BAHASA, PIKIRAN, DAN BUDAYA

OLEH
WINARTO RAHARJO (157835025)
DYAH AYU RAHMATIKA MAYOGYA PUTRI (157835026)
PUTU CICILIA SEPTIPANI (157835047)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA ASING


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2016

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bahasa memungkinkan kita untuk memahami bentuk-bentuk pemahaman manusia.
Karena bahasa merupakanmedia bagi manusia untuk berpikir secara abstrak sehingga objekobjek faktual mampu diubah menjadi simbol-simbol abstrak. Perubahan ini menunjukkan
bahwa manusia dapat berpikir mengenai tentang sebuah objek. Cassier dalam Suriasumanstri
(1998:57) menambahkan keunikan manusia sebenarnya bukanlah sekedar terletak pada
kemampuan berpikirnya melainkan terletak pada kemampuannya berbahasa. Beberapa
pendapat di atas menunjukkan bahwa bahasa lebih penting daripada pikiran.
Berbeda dengan pendapat di atas, ada pendapat yang menyatakan bahasa merupakan
cerminan dari apa yang sedang dipikirkan. Hal ini menunjukkan bahwa pikiran
mempengaruhi bahasa. Dengan pikiran maka bahsa yang dihasilkan mampu membantu
manusia dalam menyesuaikan dengan kehidupan karena dengan bahasa manusia mampu
membaur dengan segala bentuk masyarakat. Oleh karena itu, bahasa juga berpengaruh
kepada budaya, dimana budaya merupakan pemikiran atau pandangan hidup masyarakat.
Tema mengenai pikiran, bahasa dan budaya merupakan tema yang menarik untuk
dibahas karena berbagai macam teori yang memperdebatkan ketiga hal ini. Apakah pikiran
mendahului bahasa ataupun sebaliknya, bahasa mendahului pikiran, kemudian dapatkah kita
berbahasa tanpa berpikir ataupun sebaliknya serta bagaimana hubungannya dengan budaya.
1.2 Rumusan Masalah
Masalah dalam makalah ini adalah bagaimanakah hubungan berpikir, berbahasa, dan
berbudaya.

1.3 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini untuk mengetahui hubungan berpikir, berbahasa,
dan berbudaya.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Bahasa


Menurut Keraf dalam Smarapradhipa (2005:1), bahasa memiliki dua macam pengertian.
Pengertian pertama menyatakan bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat
berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Kedua, bahasa adalah sistem
komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat
arbitrer. Sependapat dengan Keraf, Tarigan (1989:4)memberikan dua definisi bahasa.
Pertama, bahasa adalah suatu sistem yang sistematis, barang kali juga untuk sistem generatif.
Kedua, bahasa adalah seperangkat lambang-lambang mana suka atau simbol-simbol arbitrer.
Sedangkan Soenjono (2012:16), mengungkapkan bahasa adalah suatu sistem simbol lisan
yang arbitrer yang dipakai oleh anggota suatu masyarakat bahasa untuk berkomunikasi dan
berinteraksi antar sesamanya, berlandaskan pada budaya yang mereka miliki bersama.
Dari berbagai pengertian bahasa yang sudah disampaikan para ahli dapat disimpulkan
bahasa bahasa adalah sebuah sarana untuk berkomunikasi antar anggota masyarakat
berbudaya yang disampaikan dalam simbol-simbol bunyi yang bersifat arbitrer.
2.2 Pengertian Pikiran
Bochenski dalam Suriasumantri (1998:52) menyatakan berpikir adalah proses
berkembangnya ide dan konsep di dalam diri seseorang. Berpikirberhubungan dengan
aktivitas mental yang melibatkan otak. Kita berpikir saat memutuskan suatu keputusan. Kita
berpikir saat mencoba menyelesaikan masalah. Kita berpikir saat melakukan pekerjaan
sehari-hari.Selain melibatkan otak, kegiatan berpikir juga melibatkan seluruh pribadi manusia
dan juga melibatkan perasaan dan kehendak manusia. Kita berpikir untuk menyatakan
pendapat, kita juga berpikir untuk menyatakan keinginan.
Menurut Khodijah (2006:117)berpikir adalah memproses informasi secara mental atau
secara kognitif, secara lebih, formal, berpikir adalah penyusunan ulang atau manipulasi
kognitif baik informasi dari lingkungan maupun simbol-simbol yang tersimpan dalam long
term memory. Jadi, berpikir adalah sebuah representasi simbol dari beberapa peristiwa atau
item.
Kegiatan berpikir dimulai ketika berhadapan dengan persoalan atau masalah yang
memerlukan pemecahan. Jadi kegiatan berpikir manusia selalu terjadi sesuai kondisi subyek

yang bersangkutan dan struktur bahasa yang dipakai serta konteks sosio-budaya dan historis
tempat kegiatan berpikir dilakukan.
2.3 Pengertian Budaya
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi(1964:113), kebudayaan adalah
sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh.
budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku
komunikatif. Unsur-unsur sosiobudaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial
manusia.Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Segala sesuatu yang
terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang diturunkan oleh masyarakat itu
sendiri.
Dari berbagai definisi tersebut, pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang
akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat
dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat
abstrak.
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia
sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata,
misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lainlain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan
bermasyarakat.
2.4 Hubungan Bahasa dan Pikiran
Ada beberapa pendapat sejumlah pakar dengan teori-teorinya yang menjelaskan mengenai
hubungan bahasa dan berpikir diantaranya sebagai berikut (Chaer, 2015: 51).
1. Teori Wilhelm Von Humboldt
Wilhelm Von Humbold, merupakan sarjana Jerman abad ke-19. Ia menekankan adanya
ketergantungan pemikiran manusia pada bahasa. Di sini bermaksud bahwa pandangan hidup
dan budaya suatu masyarakat ditentukan oleh bahasa masyarakat itu sendiri. Anggotaanggota masyarakat tidak dapat menyimpang dari garis-garis yang telah ditentukan oleh
bahasanya itu. Jika salah seorang dari anggota masyarakat ingin mengubah pandangan
hidupnya, maka dia harus mempelajari dulu salah satu bahasa lain. Maka dengan demikian,
dia akan menganut cara berpikir (dan termasuk budaya) masyarakat bahasa lain tersebut.
Selanjutnya, terkait bahasa itu sendiri Von Humboldt berpendapat bahwa substansi
bahasa itu terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berupa bunyi-bunyi, dan bagian lainnya

berupa pikiran-pikiran yang belum terbentuk. Bunyi-bunyi dibentuk oleh lautform, dan
pikiran-pikiran dibentuk ideenform atau innereform. Jadi, bahasa menurut Wilhelm Von
Humboldt merupakan sintese dari bunyi (lautform) dan pikiran (ideenform).
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa bunyi bahasa merupakan bentuk-luar,
sedangkan pikiran adalah bentuk-dalam. Bentuk luar bahasa yang kita dengar, sedangkan
bentuk dalam bahasa berada didalam otak. Kedua bentuk inilah yang membelenggu
manusia, dan menentukan cara berpikirnya. Dengan kata lain, Wilhelm Von Humboldt
berpendapat bahwa struktur suatu bahasa menyatakan kehidupan dalam (otak dan pemikiran)
penutur bahasa itu sendiri.
2. Teori Sapir-Whorf
Edward Sapir (1884-1939) merupakan linguis Amerika yang berpendapat hampir sama
dengan Von Humboldt. Sapir mengatakan bahwa manusia hidup didunia ini dibawah belas
kasih bahasanya yang telah menjadi alat pengantar dalam kehidupannya bermasyarakat.
Menurut Sapir, telah menjadi fakta bahwa kehidupan suatu masyarakat sebagian didirikan
diatas tabiat-tabiat dan sifat-sifat bahasa itu. Karena itulah tidak ada dua buah bahasa yang
sama sehingga dapat dianggap mewakili satu masyarakat yang sama. Setiap bahasa atau
masyarakat telah mendirikan satu dunia tersendiri untuk penutur bahasa. Dapat dikatakan
bahwa seberapa banyak manusia di dunia, sama dengan banyaknya jumlah bahasa yang ada
di dunia. Dengan demikian, Sapir menegaskan bahwa apa yang kita lihat, alami, dan perbuat
saat ini disebabkan oleh sifat-sifat atau tabiat-tabiat bahasa yang telah menggariskan terlebih
dahulu.
Selain itu, Benjamin Lee Whorf (1897-1941) merupakan murid Sapir yang menolak
pandangan mengenai hubungan bahasa dan berpikir yang mengatakan bahwa bahasa dan
berpikir merupakan dua hal yang berdiri sendiri-sendiri. Menurut Whorf bahasa menentukan
pikiran seseorang sampai terkadang membahayakan dirinya sendiri. Sebagai contoh, Whorf
yang merupakan bekas anggota pemadam kebakaran menyatakan kaleng kosong bekas
minyak bisa meledak. Kata kosong digunakan dengan pengertian tidak ada minyak di
dalamnya. Padahal sebenarnya, ada efek-lepas (after effect) pada kaleng bekas minyak untuk
bisa meledak. Jika isi kaleng dibuang, maka kaleng itu akan kosong, tetapi dalam ilmu kimia
hal ini tidak selalu benar. Kaleng minyak yang sudah kosong masih bisa meledak kalau
terkena panas. Di sinilah, menurut Whorf tampak jalan pikiran seseorang telah ditentukan
oleh bahasanya. Selanjutnya Whorf mengatakan bahwa sistem tata bahasa suatu bahasa
bukan hanya merupakan alat untuk menyuarakan ide-ide, tetapi juga sebagai pembentukan

ide-ide itu, program kegiatan mental dan penentu struktur mental seseorang. Dengan kata
lain, tata bahasalah yang menentukan jalan pikiran seseorang.
Setelah Whorf meneliti bahasa Hopi, yaitu salah satu bahasa Indian di California,
Amerika Serikat dengan mendalam, semenjak itulah ia mengajukan sebuah hipotesis yang
lazim disebut hipotesis Whorf atau juga sering disebut dengan hipotesis Sapir-Whorf,
mengenai relativitas bahasa. Menurut hipotesis tersebut, bahasa-bahasa yang berbeda
membedah ala mini dengan cara yang berbeda, sehingga terciptalah relativitas sistemsistem konsep yang tergantung pada bahasa-bahasa yang beragam. Ia juga mengatakan bahwa
tata bahasa suatu bahasa bukan merupakan alat untuk mengeluarkan ide-ide, melainkan tata
bahasa yang menentukan jalan pikiran, bukan kata-kata.
Berdasarkan hipotesis Sapir-Whorf tersebut, dapat dikatakan bahwa hidup dan
pandangan hidup bangsa-bangsa di Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Filipina, dll) adalah
sama, karena struktur bahasa-bahasa tersebut mempunyai struktur yang sama. Sedangkan,
pandangan hidup bangsa-bangsa lain seperti Cina, Jepang, Amerika, Eropa dan Afrika
berlainan struktur bahasa. Whorf memperjelas pandangan ini dengan membandingkan
kebudayaan Hopi dan kebudayaan Eropa. Kebudayaan Hopi diorganisasi berdasarkan
peristiwa (event), sedangkan kebudayaan Eropa diorganisasi berdasarkan peristiwa ruang
(space) dan waktu (time). Menurut kebudayaan Hopi, kalau satu bibit ditanam maka bibit itu
akan tumbuh. Jarak dan waktu yang diperlukan antara menanam dan tumbuhnya bibit
tidaklah penting di sini. Melainkan yang penting dalam kebudayaan Hopi adalah peristiwa
menanam dan tumbuhnya bibit tersebut. Sedangkan bagi kebudayaan Eropa, jangka waktu
lebih penting. Menurut Whorf, inilah bukti bahwa bahasa mereka telah menggariskan realitas
hidup dengan cara-cara yang berlainan.
3. Teori Jean Piaget
Piaget mengembangkan teori pertumbuhan kognisi yang bertolak belakang dengan
pendapat Sapir- Whorf dimana pikiranlah yang mempengaruhi bahasa. Tanpa pikiran, bahasa
tidak akan ada.
Anak-anak yang belum bisa bicara memiliki kemampuan kognisi untuk menggolonggolongkan benda dengan menggunakan kata-kata yang serupa denganbenda-benda itu. Teori
ini menunjukkan bahwa anak mempelajari segala sesuatu didunia melalui tindakan dari
perilakunya dan akhirnya baru menjadi bahasa. Bahasa dianggap sebagai alat yang dapat
digunakan seiring waktu perkembangan anak.
Piaget mengemukakan dua hal mengenai hubungan bahasa denga kegiatan pikiran sebagai
berikut

a. sumber kegiatan pikiran tidak terdapat dibahasa, tetapi di dalam periode


sensomotorik. Maksud dari periode sensomotorik adalah suatu sistem skema dimana
terdapat gambaran-gambaran mengenai sebuah obyek kemudian dihubungkan
sehingga tercipta suatu dasar pemahaman
b. pembentukan pikiran dikemukakan dan terbentuk bersamaan dengan pemerolehan
bahasa
4. Teori L.S Vygotsky
Berbeda dengan pendapat Sapir-Whorf dan Piaget. Vygotsy berpendapat bahwa pikiran
dan bahasa saling mempengaruhi. Pikiran dan bahasa pada awalnya berkembang sendirisendiri secara terpisah kemudian baru pada titik tertentu bertemu sehingga tejadi pikiran
berbahasa dan bahasa berpikir.
Pikiran berbahasa berkembang melalui beberapa tahap yakni, tahap anak-anak
mengucapakan kata-kata untuk dipahami, kemudian ketahap berpikir tanpa mengucapkan
kata, lalu mampu memisahkan kata-kata yang berarti dan yang tidak berarti.
Hubungan pikiran dan bahasa merupakan suatu proses yang terus terjadi dimana pikiran
tidak hanya disampaikan dengan kata-kata tetapi juga pikiran hadir karena adanya kata-kata.
Contohnya, anak kecil yang mulai berbicara akan mengekspresikan diri dalam bentuk kata,
setelah pikiran mulai terarah dan meningkat terbentuklah satu kalimat penuh. Tidak hanya
bergerak untuk menyusun satu kalimat, pikiran anak-anak bergerak dari satu keseluruhan
kalimat ke bagian-bagian yang bermakna.
5. Teori Noam Chomsky
Dalam hubungan bahasa dan pikiran, Chomsky mengajukan kembali teori klasik yang
disebut hipotesis nurani. Hipotesis ini menyatakan bahwa sejak lahir anak-anak memiliki satu
peralatan konsep dengan struktur bahasa-dalam yang bersifat universal. Anak memiliki
tingkat kemampuan berbahasa yang sama tanpa dipengaruhi oleh kecerdasan.
Semua bahasa di dunia memiliki struktur dalam yang sama dan tidak dipengaruhi oleh
sistem kognisi. Yang membedakan adalah struktur luarnya. Dalam tingkat struktur dalam
inilah aspek kreatif bahasa yang berupa inti proses generatif bahasa terjadi. Alat semantik ini
menciptakan kalimat-kalimat baru yang tidak terbatas jumlahnya, dan dinamai dengan tata
bahasa generatif.
6. Teori Eric Lenneberg

Eric Lennerberg mengajukan teori menyangkut masalah antara hubungan bahasa dan
pemikiran yang disebut dengan Teori Kemampuan Bahasa Khusus. Teori ini dikatakan secara
kebetulan ada kesamaannya dengan teori Chomsky dan juga dengan pandangan Piaget.
Menurut Lenneberg banyak terdapat bukti yang menunjukkan bahwa manusia menerima
warisan biologi asli berupa kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang
khusus untuk manusia, dan yang tidak ada hubungannya dengan kecerdasan dan pemikiran.
Menurut Lennerberg, kanak-kanak telah mempunyai biologi untuk berbahasa pada waktu
mereka masih berada pada tingkat kemampuan berpikir yang rendah dan kemampuan
bercakap serta memahami kalimat mempunyai korelasi yang rendah dengan IQ manusia.
Penelitian yang dilakukan Lenneberg telah menunjukkan bahwa bahasa-bahasa
berkembang dengan cara yang sama pada kanak-kanak yang cacat mental dan kanak-kanak
yang normal. Misalnya, kanak-kanak yang mempunyai IQ hanya 50 ketika berumur 12 tahun
dan lebih kurang 30 ketika berumur 20 tahun, tetapi mampu menguasai bahasa dengan cukup
baik, kecuali dengan sesekali terjadi kesalahan ucapan dan kesalahan tata bahasa. Oleh
karena itu, menurut Lenneberg adanya cacat kecerdasan yang parah tidak berarti akan terjadi
kerusakan bahasa. Sebaliknya, adanya kerusakan bahasa tidak berarti akan menimbulkan
kemampuan koginitif yang rendah.
Menurut Lenneberg,adanya bukti bahwa manusia telah dipersiapkan secara biologis
untuk berbahasa adalah sebagai berikut.
a. Kemampuan berbahasa sangat erat hubungannya dengan bagian-bagian anatomi dan
fonologi manusia, seperti bagian-bagian otak tertentu (bagian korteks tertentu) yang
mendasari bahasa.
b. Jadwal perkembangan bahasa yang sama berlaku bagi semua kanak-kanak normal.
Semua kanak-kanak bisa dikatakan mengikuti strategi dan waktu pemerolehan bahasa
yang sama, yaitu lebih dahulu menguasai prinsip-prinsip pembagian dan pola
persepsi.
c. Perkembangan bahasa tidak dapat dihambat meskipun pada kanak-kanak yang
mempunyai cacat tertentu seperti buta, tuli, atau memiliki orang tua pekak sejak lahir.
Namun, bahasa kanak-kanak ini tetap berkembang dengan hanya sedikit kelambatan.
d. Bahasa tidak dapat diajarkan pada makhluk lain. Hingga saat ini belum pernah ada
makhluk lain yang mampu menguasai bahasa, sekalipun telah diajarkan dengan caracara yang luar biasa.
e. Setiap bahasa, tanpa terkecuali, didasarkan pada prinsip-prinsip semantik, sintaksis,

dan

fonologi yang universal.


Lenneberg telah menyimpulkan bahwa banyak bukti yang menyatakan upaya manusia
untuk berbahasa didasari oleh biologi yang khusus untuk manusia dan bersumber pada

genetik tersendiri secara asal. Namun, dalam bukunya yang ditulis kemudian (1967), beliau
mulai cenderung beranggapan bahwa bahasa dihasilkan oleh upaya kognitif, bukan linguistik
yang lebih luas, sehinga menyerupai pandangan Piaget.
Jadi, terdapat semacam percabangan dalam teori Lenneberg ini. Dia seolah-olah
bermaksud membedakan perkembangan bahasa dari segi ontogenetis (pemerolehan bahasa
oleh individu) dan dari segi filogenetis (kelahiran bahasa suatu masyarakat). Dalam hal ini
pemerolehan bahasa secara ontogenetis tidak ada hubungannya dengan kognisi, sedangkan
secara filogenetis kelahiran bahasa suatu masyarakat sebagiannya ditentukan oleh
kemampuan bahasa nurani, dan sebagian lagi oleh kemampuan kogintif nurani, bukan bahasa
yang lebih luas.
7. Teori Bruner
Bruner memperkenalkan teori yang disebutnya Teori Instrumentalisme. Menurut teori ini
bahasa adalah alat pada manusia untuk mengembangkan dan menyempurnakan pemikiran.
Dengan kata lain, bahasa dapat membantu pemikiran manusia agar dapat berpikir lebih
sistematis. Bruner berpendapat bahwa bahasa dan pemikiran berkembang dari sumber yang
sama. Oleh karena itu, keduanya mempunyai bentuk yang sangat serupa. Lalu, karena sumber
yang sama dan bentuk yang sangat serupa, maka keduanya dapat saling membantu.
Selanjutnya, bahasa dan pikiran adalah alat untuk berlakunya aksi.
Dalam bidang pendidikan, implikasi teori Bruner ini sangat besar. Dalam hubungan
inilah beliau ingin mengembangkan teori ini. Menurut teori ini bahasa sebagai alat pemikiran
harus berhubungan langsung dengan perilaku atau aksi, dan dengan perilaku ini pada
peringkat permulaan. Lalu, pada peringkat selanjutnya bahasa ini harus berkembang ke arah
suatu bentuk yang melibatkan keeksplisitan yang besar dan ketidaktergantungan pada konteks
sehingga pikiran-pikiran atau kalimat-kalimat dapat ditafsirkan atau dipahami tanpa
pengetahuan situasi sewaktu kalimat itu diucapkan, atau tanpa mengetahui situasi yang
mendasari maksud atau tujuan penutur. Dengan bahasa sebagai alat kita dapat merencanakan
sesuatu aksi jauh sebelum aksi itu terjadi. Dengan cara yang sama pikiran juga berfungsi
sebagai alat untuk membantu terjadinya suatu aksi karena pikiran dapat membantu peta-peta
kognitif mengarah pada sesuatu yang akan ditempuh untuk mencari tujuan. Jadi, pada
mulanya bahasa dan pikiran muncul bersama-sama untuk mengatur aksi manusia, dan
keduanya saling membantu. Dalam hal ini pikiran memakai elemen hubungan-hubungan
yang dapat digabungkan untuk membimbing aksi yang sebenarnya, sedangkan bahasa
menyediakan representasi prosedur-prosedur untuk melaksanakan aksi itu.
Di samping adanya dua kecakapan yang melibatkan bahasa, yaitu kecakapan linguistik
dan kecakapan komunikasi, teori Bruner ini juga memperkenalkan adanya kecapakan analisis

yang dimiliki oleh setiap manusia yang berbahasa. Kecakapan analisis inilah yang
memungkinkan seseorang untuk mengalihkan perhatian dari yang satu kepada yang lain atau
dari suatu keseluruhan kepada bagian-bagiannya.
Kecakapan analisis ini akan dapat berkembang menjadi lebih baik dengan pendidikan
melalui bahasa yang formal karena kemampuan analisis ini hanya mungkin dikembangkan
setelah seseorang mempunyai kecakapan komunikasi yang baik.
8. Kekontroversian Hipotesis Sapir-Whorf
Teori-teori atau hipotesis yang telah dibicarakan di atas tampak cenderung saling
bertentangan. Di antara teori atau hipotesis di atas hipotesis Sapir-Whorf merupakan yang
paling kontroversial. Hal ini dikarenakan hipotesis Sapir-Whorf menyatakan bahwa jalan
pikiran dan kebudayaan suatu masyarakat ditentukan atau dipengaruhi oleh struktur
bahasanya. Hipotesis ini banyak menimbulkan kritik dan reaksi hebat dari para ahli filsafat,
linguistik, psikologi, psikolinguistik, sosiologi, antropologi, dan lain-lain. Carroll (dalam
Chaer, 2015: 61) misalnya, mengatakan bahwa perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam
bahasa tidaklah mengakibatkan perbedaan dalam Weltanschaung(pandangan hidup, pikiran,
logika), juga tidaklah benar ada satu pandangan hidup yang tidak terpisahkan dari satu bahasa
tertentu. Kalaupun ada, itu karena faktor sosial dan sejarah yang tidak ada sangkut pautnya
dengan bahasa.
Untuk menguji hipotesis Sapir-Whorf, Farb (1974) mengadakan penelitian terhadap
sejumlah wanita Jepang yang menikah dengan orang Amerika dan tinggal di San Fransisco,
Amerika. Dari penelitian tersebut, ditarik kesimpulan bahwa bahasa bukan menyebabkan
perbedaan-perbedaan kebudayaan, tetapi hanya mencerminkan kebudayaan tersebut. Bahasa
Jepang mencerminkan kebudayaan Jepang, dan bahasa Inggris mencerminkan kebudayaan
Inggris.
Dalam mengkritik hipotesis Sapir-Whorf, Lenneberg (1953) antara lain mempersoalkan
juga contoh dari Whorf tentang kaleng kosong bekas minyak yang bisa meledak. Lenneberg
menyatakan bahwa orang yang mengatakan kaleng kosong itu bisa meledak tidaklah dapat
membedakan antara kaleng kosong dengan kaleng berisi gas yang memungkinkan masih bisa
meledak. Hall (1959) juga mengkritik hipotesis Sapir-Whorf dengan menyatakan bahwa
dalam kebudayaan Indian Hopi dikenal adanya bilik-bilik di dalam rumah, tetapi anehnya di
dalam bahasa Hopi tidak ada kata bilik itu.

2.5 Hubungan Antara Bahasa dan Budaya

10

Selain teori di atas yang mengaitkan hubungan bahasa dan pikiran, bahasa juga memiliki
keterkaitan dengan budaya. Walaupun dalam teori di atas telah disinggung juga mengenai
hubungan ketiganya yaitu bahasa, pikiran, dan budaya, tetapi hubungan antara bahasa dan
budaya lebih sedikit.
Kebudayaan dan bahasa merupakan suatu sistem yang melekat pada manusia (Chaer,
1995: 217). Bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yaitu hubungan
sederajat yang kedudukannya sama tinggi. Selain itu, Nababan (1993: 82) menyebutkan
bahwa ada dua macam hubungan antara bahasa dan kebudayaan, yakni (1) bahasa adalah
bagian dari kebudayaan (filogenetik), dan (2) seseorang belajar kebudayaan melalui
bahasanya (ontogenetik). Dari penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa dalam mempelajari
suatu kebudayaan diperlukan juga untuk mempelajari bahasanya. Atau sebaliknya, mengerti
suatu bahasa, setidaknya juga harus paham dengan kebudayaanya.
Dalam hal ini, bahasa sebagai salah satu unsur kebudayaan mempunyai peran sangat
penting dalam kehidupan manusia. Bahasa memungkinkan seseorang mengadakan
komunikasi dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dalam bermasyarakat.
Tidak jarang ditemukan dalam berinteraksi sosial, apa yang kita ucapkan atau kita sampaikan
kepada lawan bicara tidak bisa dipahami dengan baik. Kegagalan memahami pesan ini
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: beda usia, beda pendidikan, beda pengetahuan,
dan lain-lain. Selain itu, adanya faktor budaya juga yang mempengaruhi kegagalan dalam
berkomunikasi, terlebih-lebih jika berkomunikasi dengan orang asing. Misalnya pada kata
kamu atau kau misalnya, diucapkan berbeda dalam konteks budaya berbeda. Dalam
budaya Inggris, untuk melakukan komunikasi dengan orang yang lebih tua tidak
membedakan penggunaan kata kamu, bahkan menyebutkan ayah atau ibunya dengan
sebutan you. Hal ini akan berbeda jika digunakan dalam budaya Indonesia yang masih
kental adat istiadatnya dalam menghormati orang lebih tua. Contoh lain juga dalam pemilihan
kata mati dalam bahasa Inggris. Mereka hanya memiliki dua kata saja yaitu die dan pass
away, sedangkan bahasa Indonesia memiliki makna yang sama dengan maksud kata mati
yang beragam yakni diantaranya meninggal dunia, wafat, tewas, lenyap, punah, mampus,
dsb.Pemilihan kata-kata yang sesuai untuk kepentingan interaksi sosial sangat tergantung
pada budaya tempat bahasa itu digunakan.
Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukan oleh Sumarsono dan Partana (2002: 20)
bahwa bahasa sering dianggap sebagai produk sosial atau produk budaya, bahkan merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan itu sendiri. Sebagai produk sosial atau budaya
tertentu, bahasa merupakan wadah aspirasi sosial, kegiatan dan perilaku masyarakat, wadah

11

penyingkapan budaya termasuk teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa
itu. Bahasa bisa dianggap sebagai cermin zamannya. Artinya, bahasa itu dalam suatu masa
tertentu mewadahi apa yang terjadi dalam masyarakat, tergantung kultur daerah yang
bersangkutan.

12

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari uraian beberapa teori di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa teori dari para ahli
mengenai hubungan bahasa dan pikiran dapat digolongkan menjadi tiga yaitu:
1. Bahasa mempengaruhi pikiran. Tokoh yang mendukung pendapat ini adalah Benjamin
Lee Whorf dan gurunya Edward Sapir. Whorf menyatakan bahwa tata bahasalah yang
menentukan jalan pikiran seseorang hingga terkadang bisa membahayakan dirinya
sendiri. Hal ini membuktikan bahwa mereka mempunyai pemahaman yang mendetail
tentang realitas.
2. Pikiran mempengaruhi bahasa. Pendukung pendapat ini adalah Jean Piaget. Melalui
obeservasi yang dilakukan oleh Jean Piaget terhadap perkembangan aspek kognitif
anak akan mempengaruhi bahasa yang digunakannya.
3. Bahasa dan pikiran saling mempengaruhi. Pendukung pendapat ini adalah Benyamin
Vygotsky yang mengatakan bahwa bahasa dan pikiran memiliki hubungan timbal
balik yaitu saling mempengaruhi. Walaupun ia sempat mengatakan bahwa pikiran dan
bahasa pada tahap permulaan berkembang secara terpisah dan tidak saling
mempengaruhi, tetapi secara bertahap dan berkembang, hubungan antara pikiran dan
bahasa berkaitan secara terus menerus dari pikiran ke kata (bahasa), dan sebaliknya.
Dari uraian bab pembahasan dapat ditarik kesimpulan bahwa bahasa, pikiran, dan
budaya memiliki keterkaitan yang yang saling mempengaruhi. Dalam berkomunikasi,
didalam otak pembicara mulai membuat enkode semantik dan enkode gramatikal, dilanjutkan
dengan membuat enkode fonologi. Kemudian dilanjutkan dengan penyusunan dekode
fonologi, dekode gramatikal, dan dekode semantik pada pihak pendengar yang terjadi
didalam otaknya (Chaer, 2015: 51). Dengan kata lain, dalam penggunaan bahasa terjadi
proses mengubah pikiran menjadi kode dan mengubah kode menjadi pikiran. Ketika manusia
berkomunikasi, secara bersamaan juga otak harus mencari, merumuskan, menghubungkan
dan menjadikan gagasan-gagasan dengan kata-kata yang sudah mempunyai arti yang dapat
dipahami yang telah tersimpan di otak. Sekumpulan kata yang bercampur aduk belum
terangkai dengan sempurna di otak, keluar secara satu persatu yaitu ucapan dan akan
dihubungkan dengan logika, diatur oleh tata bahasa dan menghasilkan arti yang dapat

13

dipahami. Selain itu, sebelum menghasilkan ucapan (berbentuk bahasa), di dalam otak juga
harus memikirkan kata-kata yang tersimpan untuk digunakannya dalam berkomunikasi sesuai
dengan budaya masyarakat yang menjadi lawan bicara. Jadi, budaya dan kebiasaan akan
berbeda-beda tergantung pada siapa dan di mana bahasa atau pengguna bahasa itu berada.

14

DAFTAR PUSTAKA
Bochenski, dalam Suriasumantri, 198.Psikologi Pendidikan. dalam http//www psikologi
pendidikan.com//html. diakses 12 Desember 2016.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2015. Psikolinguistik Kajian Teoretik. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Dardjowidjojo, Soenjono. 2012. Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia.
Jakarta:Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Guntur, Henry. 1989. Pengajaran Kompetensi Bahasa Indonesia. Bandung: Angkasa.
Khodijah, Nyayu. 2006. Psikologi Belajar. Palembang: IAIN Raden Fatah Press
Nababan, PWJ. 1993. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Smaradhipa, Galih. Bertutur dengan Tulisan diposting dari situs http://www.rayakultura.com.
12/05/2005 .
Soemardjan, S dan Soelaeman Soemardi. (1964). Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta:
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Sumarsono dan Paina Partana. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA dan Pustaka
Pelajar.
Suriasumantri, Jujun S. 1998. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Sinar
Harapan.

Anda mungkin juga menyukai