Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masa pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam di
Indonesia dari abad ke-13 sampai abad ke-18 M. merupakan periode sejarah yang menarik
perhatian karena terjadinya perubahan-perubahan dibidang sosial, politik, ekonomi, budaya,
dan keagamaan, akibat proses akulturasi antara keagamaan dan kebudayaan yang
diperkenalkan oleh pembawa-pembawa Islam dengan keagamaan dan kebudayaan Indonesia
masa Pra-Islam. Masa menjelang kedatangan dan penyebaran Islam tersebut kelompokkelompook masyarakat yang menempati bebagai kepulauan di Indonesia itu sendiri dari dua
kelompok besar ditinjau dari segi keagamaan serta kebudayaannya. Di satu pihak masyarakat
yang masih percaya kepada animism dan dinamisme dengan unsur-unsur budaya tardisi PraHindu/Budha, dan di satu pihak masyarakat yang sudah mengenal keagamaan Hindu-Budha
akibat proses alkuturasi dengan kebudayaan India yang tumbuh dan berkembang sejak lebih
kurang abad-abad pertama Masehi hingga abad ke-16 M.1[1][1]
Ketika Islam mensyiarkan Islam ke daerah pesisir Nusantara melalui perdagangan dan
pelayaran saat itu juga kondisi politik yang pada saat itu pemerintahan berbentuk kerajaan
mengalami berbagai situasi politik yang berbeda-beda disetiap daerahnya. Hal ini merupakan
salah satu penyebab Islam mudah diterima oleh masyarakat sekitar tidak hanya oleh rakyat
bahkan juga oleh kalangan bangsawan meskipun motif mereka memeluk Islam berbeda-beda
juga.
Perkembangan agama Islam di Indonesia yang berlangsung secara evolusi telah berhasil
menanamkan akidah Islamiyah dan syariah shohihah, memunculkan cipta, rasa, dan rasa
bagi pemeluknya. Sebelum kedatangan Islam, masyarakat telah memeluk agama yang
berkembang secara evolusi pula, hingga merasuk ke budaya dan tata cara hidup. Dan budaya
itu sudah sangat mengakar di kehidupan masyarakat. Baik itu yang berbaur dengan budayabudaya sebelumnya, maupun budaya yang tercipta karena munculnya nilai-nilai Islam. Dalam
makalah ini, kami akan mencoba mengupas sedikit tentang situasi politik dan sosial-budaya
menjelang kedatangan Islam di Nusantara. Semoga makalah ini bisa menjadi referensi bagi
pembaca sekalian.

BAB II
PEMBAHASAN
a) Situasi Politik Menjelang Islam di Nusantara
Masalah politik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan kekuasaan,
pemerintahan, lembaga-lembaga dan proses-proses politik hubungan internasional dan tata
pemerintahan.2[2][2]
Sejak dahulu kawasan Timur yang meliputi kepulauan India Timur dan pesisir Selatan
China sudah memiliki hubungan dengan dunia Arab melalui perdagangan. (hamka : 655).
Penyebaran agama Islam sejak abad ke-13 makin lama makin cepat meluas di kepulauan
Nusantara ini terutama berkat usaha para penyiar ajaran mistik Islam (sufi). Para penyiar ini
adalah para anggota aliran tarekat Islam yang melarikan diri dari Baghdad yang pada tahun
1258 jatuh ketangan bangsa Mongol. Kontak budaya antara pusat-pusat penyebaran Islam
dengan kota-kota pelabuhan di Indonesia melalui rute Samudra telah membawa serta gagasan
para ahli mistik ke Sumatra Utara dan kemudian ke Semenanjung Malaka selama abad 14
hingga 16 gagasan-gagasan mistik tersebut telah sampai ke pulau Jawa.3[3][3]
Kedatangan Islam di berbagai daerah Indonesia tidaklah sama. Demikian pula
kerajaan-kerajaan yang didatangi mempunyai situasi politik dan sosial-budaya yang
berlainan. Saat kerajaan Sriwijaya mengembangkan kekuasaannya di abad ke 7 dan 8, selat
Malaka sudah mulai dilalui pedagang-pedagang Muslim dalam pelayarannya ke negeri-negeri
Asia Tenggara dan Asia Timur. Berdasarkan berita Cina zaman Tang, pada abad-abad tersebut
diduga masyarakat Muslim telah ada, baik dari Kungfu maupun didaerah Sumatra sendiri. 4[4]
[4]
Sumatara Selatan
Palembang yang terletak di tepi sungai Musi merupakan kerajaan yang cukup penting.
Pelabuhan Palembang banyak dikunjungi oleh kapal-kapal niaga terutama dari Jawa, Madura,
Bali dan Sulawesi. Kapal-kapal ini membawa beras, garam, dan bahan pakaian : dan
membawa pulang lada dan timah dari Palembang. Dataran rendah di tanah Palembang
merupakan tanah rata dan berawa-rawa. Kecuali dibeberapa bagian, hampir seluruh daerah
itu tidak cocok untuk pertanian. Namun daerah pedalaman atau dataran tinggi bias menjadi

2
3
4

penghasil lada. Hasil-hasil perkebunan ini yang biasa dimonopoli oleh raja, dibeli oleh kaki
tangan raja dengan harga murah.5[5][5]
Keterlibatan orang-orang Islam dalam politik baru terlihat pada abad ke-9 M, ketika
terjadi pemberontakan petani Cina kepada kaisar Hi Tsung (878-889 M). pada saat itu para
petani dibantu oleh orang-orang Islam dan akibatnya banyak orang Islam terbunuh dan ada
juga yang melarikan diri ke Kedah (wilayah Sriwijaya dan Palembang).6[6][6]
Apabila kerajaan sriwijaya pada abad ke 7 sampai abad ke 12 dibidang ekonomi dan
politik masih menunjukan kemajuan, maka sejak akhir abad ke-12 mulai menunjukan
kemundurannya yang prosesnya terbukti pada abad ke-13.
Tanda-tanda kemunduran Sriwijaya di bidang perdagangan mungkin dapat
dihubungkan dengan berita Chou Ku-Fei tahun 1178, dalam Ling-Wai-Tai-Ta yang
menceritakan bahwa barang persediaan barang-barang perdagangan di Sriwijaya mahalmahal, karena negeri itu tidak lagi menghasilakan hasil-hasil alamnya. Untuk mencegah
kemunduran kerajaan sriwijaya maka kerajaan tersebut membuat peraturan Cukai yang lebih
berat lagi bagi pedagang-pedagang asing yang singgah dipelabuhannya. Apabila para
pedagang asing itu berusaha menghindari pelabuhannya, maka dipelabuhan-pelabuhan
lainnya mereka dipaksa berlabuh oleh penguasa-penguasa setempat. Dengan demikian, maka
pedagang asing tujuannya berlayar ke Cina mengalami berbagai rintangan.7[7][7]
Persedian keperluan untuk pelayaran dan perdagangan yang lebih jauh sudah diambil
dipelabuhan-pelabuhan yang dikuasi kerajaan Sriwijaya seperti tersebut diatas bukan
mendatangkan hasil pendangan yang lebih menguntungkan tetapi lebih menrugikan karena
kapal-kapal dagang itu seringkali menyingkiri pelabuhan-pelabuhan, menembus blokirnya
dan menuju tempat-tempat yang mereka ketahui banyak menghasilkan barang dagangan. 8[8]
[8]
Jadi, usaha yang dilakukan Sriwijaya dalam mengatasi kemundurannya dengan
memerlakukan kebijakan baru mengenai dengan menaikan cukai terhadap kapal-kapal
dagang tidak membuahkan hasil yang diinginkan kerajaan Sriwijaya bahkan kebijakan
tersebut memperpuruk keadaan ekonomi kerajaan Sriwijaya hal ini disebabkan karna para
pedagang sering kali mengindari pelabuhan Sriwijaya. Akibat kemunduran tersebut banyak
daerah kekuasaan Sriwijaya yang menyatakan melepaskan diri dari kerajaan tersebut hal ini
semakin melemahkan keadaan Sriwijaya.
5
6
7
8

Sejalan dengan kelemahan yang dialami kerajaan Sriwijaya mereka para pedagang
muslim lebih berkesempatan untuk mendapatkan barang dagang dan keuntungan politik.
Mereka menjadi pendukung daerah-daerah yang muncul dan ada yang menyatakan dirinya
sebagai kerajaan yang bercorak Islam. Munculnya daerah tersebut sebagai kerajaan Islam
memperkirakan pada abad ke-13 akibat dari proses Islamisasi daerah pantai yang pernah
disinggahi pedagang muslim sejak abad ke-7,8, dan seterusnya. Daerah yang diperkirakan
masyarakatnya sudah banyak memeluk Islam ialah Perlak, seperti kita ketahui dari berita
Marco Polo yang singgah di daerah itu pada tahun 1292 M.9[9][9]
kemunduran dan keruntuhan kerajaan Sriwijaya itu selain akibat ekspansi politik
Singasari - Majapahit, juga karna ekspansi Cina pada masa Kubilai khan di abad ke 13 dan
masa pemerintahan dinasti Ming abad ke 14-15 ke Asia Tenggara. Pengaruh politik kerajaan
Majapahit ke Samudra Pasai dan Malaka setelah keruntuhan Sriwijaya itu mulai berkurang,
terutama setelah dipusat Majapahit sendiri timbul berbagai kekacauan politik akibat
perebutan kekuasaan dikalangan Raja. Dengan demikian, kerajaan-kerajaan yang jauh dari
pengawasan pusat kerajaan Majapahit, seperti Samudra Pasai dan Malaka berhasil mencapai
puncak kekuasaan hingga abad ke-16 M.10[10][10]
Sumatra Utara
Samudera, sebelum kedatangan dan proses penyebaran Islam, hanyalah sebuah kampong
(gampong) yang dipimpin oleh seorang kepla suku. Kampong tersebut telah menjadi tempat
persinggahan para pedagang. Sejak abad ke 7 perkampungan ini sudah didatangi para
pedagang Muslim. Kota ini kemudian menjadi pusat kerajaan Islam Samudera Pasai. Jumlah
penduduk di kota tersebut, berdasar laporan Tome Tires ketika dating lebih kurang 20.000
orang.11[11][11]
Kemudian munculnya kerajaan Samudra Pasai dapat kita hubungan dengan kondisi
politik kerajaan Sriwijaya yang mulai menunjukan kelemahannya, sehingga kurang mampu
menguasai daerah kekuasannya. Situasi ini dipergunakan oleh orang-orang Muslim, tidak
hanya membentuk perkampungan perdaganan yang bersifat ekonomis, tetapi juga untuk
membentuk struktur pemerintahan yakni dengan mengangkat Marah silu, kepala suku
Gampong Samudra, menjadi sultan Malik Al-Shalih.12[12][12]
Demikian situasi politik kerajaan-kerajaan di daerah Sumatra ketika pengaruh Islam
datang kedaerah-daerah itu. Akibat hubungan lalu lintas melalui selat Malaka dengan
9
10
11
12

Samudra Pasai sebagai salah satu pusat persinggahannya maka sampailah Islam ke Senanjung
Melayu yaitu ke Trengganu dimana ditemukan batu yang bertulisan huruf Arab - Melayu atau
Jawi 1303 M. bahasanya Melayu campur Sangsekerta dan Arab. Demikian pula Malaka pada
abad 14 M muncul sebagai pusat pelayaran dan perdagangan kaum muslim. Melalui selat
Malaka dengan pusat-pusatnya ialah Samudra Pasai dan Malaka dilanjutkan ke pesisir pulau
lainnya yaitu ke pesisir Utara Jawa Timur dengan adanya temuan sebuah nisan yang memuat
nama Fatimah binti Maimun bin Hibat Allah.13[13][13]
Jawa Timur
Kedatangan dan penyebaran Islam di pulau Jawa mempunyai aspek-aspek, ekonomi,
politik, dan sosial budaya. Sebagaimana dikatakan bahwa karna situasi dan kondisi politik di
Majapahit yang lemah karna perpecahan dan peperangan di kalangan keluarga Raja-raja
dalam perebutan kekuasaan. Maka kedatangan dan penyebaran islam makin dipercepat.
Bupati-bupati pesisir merasa bebas dari pengaruh kekuasaan raja-raja Majapahit, mereka
makin lama makin yakin akan kekuasaannya sendiri di bidang ekonomi didaerah-daerahnya.
Daerah pesisir merasa makin lama makin merdeka, justru oleh karena kelemahan pendukungpendukung kerajaan yang sedang mengalami keruntuhan. Perjuangan antara kota-kota
perdagangan dipesisir dengan daerah-daerah agraris diperdalaman sedang dimulai.
Perkembangan ekonomi dan politik mempunyai tujuan sendiri dan memalui bupati-bupati
pesisir yang memluk agama Islam maka agama menjadi kekuatan baru dalam proses
perkembangan masyrakat.14[14][14]
Dalam hal ini, J.C. van Leur, berpendapat bahwa karena pertentangan antara keluarga
bangsawan dengan kekuasaan pusat Majapahit serta aspirasi-aspirasi keluarga bangsawan
untuk berkuasa sendiri atas Negara maka islamisasi menjadi alat politik.15[15][15]
Maluku
Kedatangan Islam ke Maluku tidak dapat dipisahkan dari jalur perdagangan
internasional antara Malaka, Jawa dan Maluku.16[16][16] Dari persisir Utara Jawa para
pedagang muslim itu mendatangi tempat-tempat perdagangan Indonesia dibagian Timur yaitu
pulau-pulau Maluku yang terkenal dengan rempah-rempahnya. Maluku sejak abad ke 14
sudah didatangi orang muslim raja Ternate yang ke-12 yaitu Molomateya (1350-1357 M)
bersahabat dengan orang-orang muslim arab yang memberikan petunjuk cara membuat kapal.
Sedang pada masa pemerintahan Marhum di Ternate, seorang yang bernama Maulana Husen
13
14
15
16

datang kedaerah itu ia mempertunjukan kemahirannya dalam hal menulis huruf arab dan
membaca al-Qur;an sehingga menarik perhatian penguasa rakyat Malauku.17[17][17]
Raja Ternate waktu itu sudah memeluk Islam yang bernama Sultan Bom Acorala dan
hanyalah raja Ternate yang justru memakai gelar Sultan sedang yang lainnya digelari raja.
Menurut Tome Pires (1512-1515) bahwa raja di Maluku terutama kali masuk Islam kira-kira
50 tahun yang lalu berita tersebut berjalan pula dengan berita Antonio Galvau yang berada
disana pada tahun 1540-1545 M, yang menegaskan bahwa Islam didaerah Maluku dimulai 80
atau 90 yang lalu.18[18][18]
Situasi politik didaerah Maluku ketika kedatangan Islam berbeda di Jawa, mereka
tidak menghadapi kekacauan politik yang disebakan perebutan kekuasaan dikalangan
keluarga penguasa-penguasanya.19[19][19]
Kalimantan Timur
Kedatangan orang-orang Muslim kedaerah Kalimatan Timur diketahui dari hikayat
Kutai tidaklah mengambarkan adanya perebutan kekuasaan dikalangan keluarga raja-raja
Kutai. Kerajaan Kutai sebelum kedatangan Islam ialah bercorak Hindu sedang dipedalaman
terdapat beberapa suku yang masih berkepercayaan kepada aninisme dan aminesme.
Dikatakan bahwa ketika Kutai masih diperintahkan raja mahkota datanglah dua orang
mubalig yang bernama Tuan di Bandang dan Tuan Tunggang Parangan. Setelah berlomba
kesaktian dan raja kalah maka mereka diterima dengan baik dan diperkenankan mengajarkan
Islam.20[20][20]
Kalimantan Selatan
Berbeda dengan Kalimantan Timur, Islam masuk ke Kalimantan Selatan ketika terjadi
perpecahan dalam Kerajaan Nagara Dipa, Daha dan Kuripan. Sumber yang menjelaskan awal
penerimaan Islam didaerah ini adalah Kronik Banjar atau Hikayat Banjar. Saat Islam masuk
Nagara Daha diperintah oleh Maharaja Sukarama, setelah ia meninggal digantikan oleh
Pangeran Tumenggung dan beberapa tahun kemudian terjadi perebutan kekuasaan atau tahta
dengan Raden Samudra, cucu Maharaj Sukarama yang lebih berhak atas tahta kerajaan.
Raden Samudra kemudian diangkat menjadi rajandi Kerajaan Banjar yang didirikan di daerah
pantai dan berperang dengan Nagara Daha dihulu sungai. Dalam peperangan ini Raja
Samudra meminta bantuan Demak. Setelah berhasil mengalahkan Pangeran Tumenggung,
17
18
19
20

Raden Samudra kemudian memeluk Islam sebagai realisasi perjanjiannya dengan Demak.
Raden Samudra mengganti namanya menjadi Sultan Suryanullah.21[21][21]
Dengan demikian situasi politik di Kalimantan Selatan menjelang kedatangan atau
masuknya Islam juga menghadapi pula situasi perebutan kekuasaan atau Tahta diantara
keturunan Negara Dipa dan Negara Daha. Meskipun tadi dikatakan bahwa orang-orang
muslim datang membantu kerajaan Banjar itu ialah Daru Demak namun tidak musthil pula
para pedangan muslim dari Malaka yang bermaksud ke Maluku, diantaranya singgah di
Banjar dan mungkin juga bertempat tinggal.
Sulawesi Selatan
Kedatangan para pedagan muslim ke Sulawesi Selatan mungkin sudah ada sejak abad
ke-15-16 M dan mungkin berasal dari Malaka, Samutra dan Jawa. Tom Pires mernceritakan
bahwa di Sulawesi terdapat lebih kurang 50 buah kerajaan yang raja dan rakyatnya masih
menganut berhala. Secara resmi agama Islam dianut di Sulawesi selatan oleh raja Gua dan
talo pada tanggal 22 september 1605 M. kemudian ke daerah Bone, Waje, Sopeng dan
lainnya, islam disebarkan dari pusat kerajaan Gowa.22[22][22]
Dari uraian tersebut diatas dapatlah diambil kesimpulan bahwa kedatangan Islam kebeberapa daerah di kepulauan Indonesia menghadapi situasi politik daerahnya yang berbedabeda yaitu ada yang sedang mengalami perebutan kekuasaan politik ada yang tidak. Ada
daerah yang stuktur birokrasinya bercorak kerajaan Indonesia Hindu Budha dan ada pula
yang merupakan suku-suku yang dipimpin kepala suku atau sesepuh.
Akhirnya dapat ditarik kesimpulan bahwa kedatangan Islam dan penyebarannya di
berbagai daerah Nusantara ialah dengan cara damai, melalui perdagangan dan dakwah yang
dilakukan oleh para mubalig-mubalig atau orang-orang Muslim. Kemudian jika didapati
daerah penyebaran Islam situasi politik di kerajaan-kerajaan itu mengalami kelemahan dan
kekacauan di sebabkan perebutan kekuasaan di kalangan para raja maka agama Islam
dijadikan politik bagi golongan bangsawan atau raja-raja yang menghendaki kekuasaan.
Mereka berhubungan dengan para pedagang Muslim yang posisi ekonominya kuat karna
penguasaan pelayaran dilautan dan perdagangan. Dan apabila telah terwujud kerajaan Islam
maka berulah mereka melancarkan perang terhadap kerajaan yang bukan Islam. Hal itu bukan
hanya karena tujuan agamanya tetapi karena dorongan politik untuk menguasai kerajaankerajaan disekitarnya misalnya Gowa melakukan penyerangan terhadap kerajaan lainnya di

21
22

Sulawesi Selatan, Demak, dan Banten melakukan penyerangan terhadap kerajaan-kerajaan di


Jawa Hindu.
b) Situasi Sosial-Budaya Menjelang Islam di Nusantara
Sebelum Islam masuk ke bumi Nusantara, sudah terdapat banyak suku bangsa,
organisasi pemerintahan, struktur ekonomi, sosial dan budaya di Nusantara yang
berkembang. Semua itu tidak terlepas dari pengaruh sebelumnya, yaitu kebudayaan nenek
moyang (animisme dan dinamisme), dan Hindu Budha yang berkembang lebih dulu dari pada
Islam.
Perlu diketahui bahwa kelompok-kelompok masyarakat, terutama dipusat-pusat
kerajaan, biasanya memiliki perkampungan sendiri. Karenanya, sering kita jumpai istilahistilah seperti pecinan (perkampungan cina), pakojan (perkampungan orang Arab, yang
semula milik orang India), pekauman (perkampungan anggota kerabat pejabat keagamaan
keratin), kepatihan ( perkampungan kerabat para patih) dan sebagainya.23[23][23]
Seperti halnya kondisi masyarakat daerah pesisir pada waktu itu, bisa dikatakan lebih
maju daripada daerah lainnya. Terutama pesisir daerah pelabuhan. Alasannya karena daerah
pesisir ini digunakan sebagai pelabuhan dan pusat perdagangan. Penduduk pesisir terkena
percampuran budaya (akulturasi) dengan pedagang asing yang singgah. Secara tidak
langsung, dalam perdagangan yang dilakukan antara keduanya, mereka menjadi mengerti
kebudayaan pedagang asing. Pedagang asing ini seperti pedagang dari Arab, Persia, China,
India dan Eropa.24[24][24]
Berbeda dengan daerah pedalaman yang lebih tertutup dari budaya luar. Sehingga
mereka lebih condong pada kebudayaan nenek moyang mereka dan sulit menerima
kebudayaan dari luar. Awalnya Islam masuk dari pesisir kemudian menuju daerah pedalaman.
Masuknya Islam masih sudah terdapat kerajaan-kerajaan bercorak Hindu Budha yang masih
eksis, diantaranya adalah kerajaan Majapahit dan kerajaan Sriwijaya. Selain itu terdapat
kerajaan-kerajaan kecil yang tidak tersentuh oleh pengaruh Hindu dari India. Kerajaankerajaan di Sulawesi misalnya Gowa, Wajo, Bone dan lainnya. Kerajaan-kerajaan di Sulawesi
tidak menunjukkan adanya pengaruh Hindu. Contohnya dalam penguburan pada masyarakat
Gowa masih berdasarkan tradisi nenek moyang, yaitu dilengkapi dengan bekal kubur.25[25]
[25]

23
24
25

Hindu Budha lebih dulu masuk di Nusantara daripada Islam. Islam masuk ke
Nusantara bisa dengan mudah dan lebih mudah diterima masyarakat pada waktu itu dengan
berbagai alasan. 26[26][26]
Pertama, situasi politik dan ekonomi kerajaan Hindu, Sriwijaya dan Majapahit yang
mengalami kemunduran. Hal ini juga disebabkan karena perluasan China di Asia Tenggara,
termasuk Nusantara. Akibat dari kemunduran situasi politik. adipati-adipati pesisir yang
melakukan perdagangan dengan pedagang muslim. Dan akhirnya mereka menjadi penerima
Agama Islam. Situasi politik seperti itu mempengaruhi masuknya Islam ke Nusantara lebih
mudah. Karena kekacauan politik, mengakibatkan kacauan pada budaya dan tradisi
masyarakat.
Kedua, kekacauan budaya ini digunakan oleh mubaligh-mubaligh dan pedagang
muslim yang sudah mukim untuk menjalin hubungan yang lebih dekat. Yaitu melalui
perkawinan. Akibatnya pada awal Islam di Nusantara sudah ada keturunan Arab atau India.
Misalnya di Surakarta terdapat perkampungan Arab, tepatnya di para Kliwon (kampung
Arab).
Setelah masuknya Islam di Nusantara, terbukti budaya dan ajaran Islam mulai
berkembang. Hal ini tidak bisa terlepas dari peran Mubaligh-mubaligh dan peran Walisongo
di Jawa. Bukti bahwa ajaran Islam sudah dikerjakan masyarakat Nusantara. Di kota-kota
besar dan kecil yang sudah Islam, terdapat bangunan-banguna masjid yang digunakan untuk
berjamaah.

Hal

itu

merupakan

bukti

budaya

yang

telah

berkembang

di

nusantara.Kesejahteraan dan kedamaian tersebut dimantapkan secara sosio-religius dengan


ikatan perkawinan yang membuat tradisi Islam Timur Tengah menyatu dengan tradisi
Nusantara atau Jawa.
Setelah Majapahit runtuh daerah-daerah pantai seperti Tuban, Gresik, Panarukan,
Demak, Pati, Yuwana, Jepara, dan Kudus mendeklarasikan kemerdekaannya kemudian
semakin bertambah kokoh dan makmur. Dengan basis pesantren daerah-daerah pesisir ini
kemudian mendaulat Raden Fatah yang diakui sebagai putra keturunan Raja Majapahit
menjadi sultan kesultanan Demak yang pertama. Demak sebagai simbol kekuatan politik
hasil akulturasi budaya lokal dan Islam menunjukkan dari perkawinan antara pedagang
Muslim dengan masyarakat lokal sekaligus melanjutkan warisan kerajaan Majapahit yang
dibangun di atas tradisi budaya Hindu-Budha yang kuat sehingga peradaban yang

26

berkembang terasa bau mistik dan mendapat tempat yang penting dalam kehidupan
keagamaan Islam Jawa sejak abad ke 15 dan 16.27[27][27]
Selanjutnya para dai agama Islam lebih menekankan kegiatan dakwahnya dalam
lingkungan masyarakat pedesaan, terutama daerah pesisiran dan diterima secara penuh oleh
masyarakat pedesaan sebagai peningkatan budaya intelektual mereka. Dalam kerja sosial dan
dakwahnya, para Wali Songo juga merespon cukup kuat terhadap sikap akomodatif terhadap
budaya tersebut. Di antara mereka yang sering disebut adalah Sunan Kalijaga.28[28][28]
Jawa sebagai negeri pertanian yang amat produktif, damai, dan tenang. Sikap
akomodatif yang dilakukan oleh para dai ini melahirkan kedamaian dan pada gilirannya
menumbuhkan simpati bagi masyarakat Jawa. Selain karena proses akulturasi budaya
akomodatif tersebut, menurut Ibnu Kholdun, juga karena kondisi geografis seperti kesuburan
dan iklim atau cuaca yang sejuk dan nyaman yang berpengaruh juga terhadap perilaku
penduduknya. Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Syahrastani, dalam al-Milal wa alNihal yang menyebutkan ada pengaruh posisi atau letak geografis dan suku bangsa terhadap
pembentukan watak atau karakter penduduknya.29[29][29]
Akulturasi dan adaptasi keislaman orang Jawa yang didominasi keyakinan campuran
mistik konsep Hindu-Budha disebut kejawen atau juga dinamakan agama Jawi. Sementara
penyebaran Islam melalui pondok pesantren khususnya di daerah pesisir Utara belum mampu
menghilangkan semua unsur mistik sehingga tradisi Islam kejawen tersebut masih bertahan.
Pemeluk kejawen dalam melakukan berbagai aktivitasnya dipengaruhi oleh keyakinan,
konsep pandangan, dan nilai-nilai budaya yang berbeda dengan para santri yang mengenyam
pendidikan Islam lebih murni.30[30][30]
Jadi, agama Islam sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas masyarakat
Indonesia, ajaran Islam telah menjadi pedoman masyarakat. Dalam hal inilah Islam sebagai
agama sekaligus menjadi budaya masyarakat Indonesia. Di satu sisi berbagai budaya local
yang ada di masyarakat, tidak secara otomatis hilang dengan adanya Islam. Budaya-budaya
local ini sebagian terus dikembangkan dengan mendapat warna-warna Islam. Perkembangan
ini kemudian melahirkan akulturasi budaya, antara budaya local dan Islam.
Dalam bidang seni, juga dijumpai proses akulturasi seperti dalam kesenian wayang di
Jawa. Wayang merupakan kesenian tradisional suku Jawa yang berasal dari agama Hindu
India. Proses Islamisasi tidak menghapuskan kesenian ini, melainkan justru memperkayanya,
27
28
29
30

yaitu memberikan warna nilai-nilai Islam di dalamnya.tidak hanya dalam bidang seni, tetapi
juga di dalam bidang-bidang lain di dalam masyarakat Jawa.31[31][31]
Dengan kata lain kedatangan Islam di nusantara dalam taraf-taraf tertentu
memberikan andil yang cukup besar dalam pengembangan budaya local.
Pada sisi lain, secara fisik akulturasi budaya yang bersifat material dapat dilihat
misalnya: bentuk masjid Agung Banten yang beratap tumpang, berbatu tebal, bertiang saka,
dan sebagainya benar-benar menunjukkan ciri-ciri arsitektur local. Sementara esensi Islam
terletak pada ruh fungsi masjidnya. Demikian juga dua jenis pintu gerbang bentar dan
paduraksa sebagai ambang masuk masjid di Keraton Kaibon. Namun sebaliknya, wajah
asing pun tampak sangat jelas di kompleks Masjid Agung Banten, yakni melalui pendirian
bangunan Tiamah dikaitkan dengan arsitektur buronan Portugis,Lucazs Cardeel, dan
pendirian menara berbentuk mercu suar dihubungkan dengan nama seorang Cina: Cek-ban
Cut.32[32][32]
Dalam perkembangan selanjutnya sebagaimana diceritakan dalam Babad Banten,
Banten kemudian berkembang menjadi sebuah kota. Kraton Banten sendiri dilengkapi
dengan struktur-struktur yang mencirikan prototype kraton yang bercorak Islam di Jawa,
sebagaimana di Cirebon, Yogyakarta dan Surakarta. Ibukota Kerajaan Banten dan Cirebon
kemudian berperan sebagai pusat kegiatan perdagangan internasional dengan ciri-ciri
metropolitan di mana penduduk kota tidak hanya terdiri dari penduduk setempat, tetapi juga
terdapat perkampungan-perkampunan orang-orang asing, antara lain Pakoja, Pecinan, dan
kampung untuk orang Eropa seperti Inggris, Perancis dan sebagainya.33[33][33]
Dalam bidang kerukunan, Islam di daerah Banten pada masa lalu tetap memberikan
perlakuan yang sama terhadap umat beragama lain. Para penguasa muslim di Banten
misalnya telah memperlihatkan sikap toleransi yang besar kepada penganut agama lain.
Misalnya dengan mengizinkan pendirian vihara dan gereja di sekitar pemukiman Cina dan
Eropa. Bahkan adanya resimen non-muslim yang ikut mengawal penguasa Banten.
Penghargaan atau perlakuan yang baik tanpa membeda-bedakan latar belakang agama oleh
penguasa dan masyarakat Banten terhadap umat beragama lain pada masa itu, juga dapat
dilisaksikan di kawasan-kawasan lain di nusantara, terutama dalam aspek perdagangan.
Penguasa Islam di berbagai belahan nusantara telah menjalin hubungan dagang dengan

31
32
33

bangsa Cina, India dan lain sebagainya sekalipun di antara mereka berbeda keyakinan. 34[34]
[34]
Contoh-contoh Sosial-Budaya yang mengandung Nilai-nilai Islam 35[35][35]
1.

Tepung tawar, biasa dilakukan dengan menghambur-hambur beras kepada orang yang

ditepung tawari.
2. Sungkeman. Kebiasaan ini berasal dari pulau Jawa yang umumnya dilakukan pada saat Hari
Raya dan pada upacara pernikahan, tetapi kadang kala dilakukan juga setiap kali bertemu.
3. Tabot atau Tabuik, adalah upacara tradisional masyarakat Bengkulu untuk mengenang kisah
kepahlawanan dan kematian cucu Nabi Muhammad, Hasan dan Husein bin Ali bin Abi Thalib
dalam peperangan dengan pasukan Ubaidillah bin Zaid di padang Karbala, Irak pada tanggal
4.

10 Muharam 61 Hijriah (681 M).


Tingkepan, babaran, pitonan dan pacangan. Masyarakat desa di Jawa Timur, seperti
halnya di Jawa Tengah, memiliki ikatan yang berdasarkan persahabatan dan teritorial.
Berbagai upacara adat yang diselenggarakan antara lain:

1.

Tingkepan, yaitu upacara usia kehamilan tujuh bulan bagi anak pertama.

2.

Babaran, yaitu upacara menjelang lahirnya bayi.

3.

Sepasaran, yaitu upacara setelah bayi berusia lima hari.

4.

Pitonan, yaitu upacara setelah bayi berusia tujuh bulan.

5.

Sunatan yaitu acara khinatan.

5. Budaya Tumpeng. Tumpeng adalah cara penyajian nasi beserta lauk-pauknya dalam bentuk
kerucut. Itulah sebabnya disebut nasi tumpeng. Acara yang melibatkan nasi tumpeng
disebut secara awam sebagai tumpengan.

34
35

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
kedatangan Islam ke-beberapa daerah di kepulauan Indonesia menghadapi situasi
politik daerahnya yang berbeda-beda yaitu ada yang sedang mengalami perebutan kekuasaan
politik ada yang tidak. kedatangan Islam dan penyebarannya di berbagai daerah Nusantara
ialah dengan cara damai, melalui perdagangan dan dakwah yang dilakukan oleh para mubalig
atau Muslim. Kemudian jika didapati daerah penyebaran Islam situasi politik di kerajaankerajaan itu mengalami kelemahan dan kekacauan di sebabkan perebutan kekuasaan di
kalangan para raja maka agama Islam dijadikan politik bagi golongan bangsawan atau rajaraja yang menghendaki kekuasaan. Mereka berhubungan dengan para pedagang Muslim yang
posisi ekonominya kuat karna penguasaan pelayaran dilautan dan perdagangan. Dan apabila
telah terwujud kerajaan Islam maka berulah mereka melancarkan perang terhadap kerajaan
yang bukan Islam. Hal itu bukan hanya karena tujuan agamanya tetapi karena dorongan
politik untuk menguasai kerajaan-kerajaan disekitarnya misalnya Gowa melakukan
penyerangan terhadap kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan, Demak, dan Banten melakukan
penyerangan terhadap kerajaan-kerajaan di Jawa Hindu.
Kebudayaan Nusantara sebelum Islam datang sangat dipengaruhi oleh agama-agama
sebelumnya, yaitu Hindu dan Budha. Kemudian Islam datang disebarkan oleh para pedagang
dari Arab, Persia, dan Gujarat yang selanjutnya disebarkan di Nusantara. Kemudian, para
pendakwah ini menggunakan banyak metode pendekatan untuk dakwah, salah satunya
menggunakan kesenian dan kebudayaa, yang lambat laun semakin diterima oleh masyarakat,
bahkan hingga ke para pemimpin. Akan tetapi budaya dan kebiasaan tang ditinggalkan oleh
agama-agama terdahulu, tidak sepenuhnya bisa terhapus. Maka dari itu, para pendakwah
mencoba menyisipkan nilai-nilai keislaman dalam upacara-upacara dan ritual-ritual serta
kebiasaan-kebiasaan dengan melunturkan poin-poin kesyririkan. Yang jutru karena budaya
yang dimasuki nilai-nilai Islam, dakwah Islam justru semakin mudah dan diterima. Akan
tetapi para pandakwah juga sudah ancang-ancang terhadap kemungkinan adanya
penyimpangan ketauhidan.

DAFTAR PUSTAKA
Daliman, A, Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia, Jakarta:
Ombak, 2012.
Huda, Nur Islam Nusantara (Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia), Jogjakarta: ArRuzz Media, 2007.
Notosusanto, Nugroho, Sejarah nasional Indonesia jilid III, Jakarta: Balai Pustaka, 1992.
Paeni, Mukhlis, Sejarah Kebudayaan Islam Religi dan Falsafah, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Sunanto, Musyrifah Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2012
Tjandrasasmita, Uka, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia dari
Abad XII sampai XVIII M, Jakarta : Cinta Ilmu, 2000.
http://andinurdiansah.blogspot.com/2013/03/21/pertemuan-islam-dan-budaya-nusantara.html.

MAKALAH ISLAM DI INDONESIA


14 Jan
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu cara untuk mengamati perilaku Islam di dunia adalah dengan bercermin pada
Islam di Indonesia. Dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, Islam di Indonesia
telah memperlihatkan suatu ciri khas tertentu, yang mungkin berbeda dari tempat asal Islam
itu sendiri, Mekkah.
Sebagai agama rahmatan lil alamin, Islam telah membuktikan kebenarannya. Kebenaran
Islam telah terbukti di berbagai belahan dunia. Setidaknya itulah hasil perjuangan Rasulullah
SAW yang menyebarkan Islam mati-matian sampai-sampai harus menghadapi berbagai
cobaan yang datang silih berganti. Ketika beliau masih hidup, setidaknya, beliau telah melihat
orang secara berbondong-bondong masuk Islam pada masa Fathu Mekah. Jauh setelah itu,
Islam kini berada di setiap jengkal negeri di seluruh dunia.
Di Indonesia Islam merupakan agama resmi dan menjadi mayoritas. Oleh karena itu, umat
Islam perlu bangga akan tingginya umat Islam di indonesia. Mengapa Islam di Indonesia
dapat menjadi besar dan terhormat? Itu tidak terlepas dari usaha para pendahulu kita yang
dengan tekun dan gigih menyebarkan dan mempertahankan Islam di Indonesia.
Mereka tidak hanya menyebarluaskan pesan Islam, tetapi juga mempertahankan agar pesan
ini tidak punah.
Pada makalah ini, kita akan mempelajari tentang Islam di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Masuknya Islam di Indonesia
Pada tahun 30 H/651M, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW,
Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah
Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para
utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian,
tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat
Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut
dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari
negeri nan hijau ini sambil berdakwah.
Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran.
Aceh adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam
pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada
saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang
menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari
Maghribi yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh
telah tersebar mazhab Syafii. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang
ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang
salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun.
Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari.
Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang
Arab.
Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara

secara besar-besaran. Pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara
massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara
besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki
kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak
Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para
penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan
para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga
disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di
Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of
Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa
Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan
pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara
yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lilalamin.
Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahanpemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin
dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga
semakin banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam
Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah
Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya
menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan
terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin
Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan
yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah terutama Belanda
menundukkan kerajaan Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya
melarang kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka.
Maka terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa
lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan
ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang
mempersulit pembauran antara orang Arab dengan pribumi.
Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur
makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka
mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, sehingga
semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu
daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi
yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum
Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama
dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa.
Namun maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang
pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M.
Pertempuran besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab
Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah.
Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan
Banten, Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari
serbuan Turki Utsmani.
Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat jihad kaum muslimin
Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya
kalangan pesantren (madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas
pada mazhab Syafii. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran
akidah dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah
terjangkiti gaya hidup Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang.

Terlepas dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang
penjajahan. Meskipun banyak diantara mereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun
justru kalangan tarekat inilah yang sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada
akhirnya setiap perlawanan ini berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah
mencatat jutaan syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran melawan
Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka
(Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga
perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus rangin), Perang Jawa
(Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar).
B.

Perkembangan Islam di Indonesia

1. Babak Pertama, Abad 7 Masehi (Abad 1 Hijriah)


Pada abad 7 M, islam sudah sampai ke Nusantara. Para dai yang datang ke Indonesia berasal
dari jazirah Arab yang sudah beradaptasi dengan bangsa India yakni bangsa Gujarat dan ada
juga yang beradaptasi dengan bangsa Cina, dari berbagai arah yakni jalur sutera (jakur
perdagangan) dakwah mulai merambah di pesisir-pesisir Nusantara.
Sampainya dakwah di Indonesia yakni melalui para pelaut dan pedagang yang membawa
dagangannya dan juga membawa akhlak islami dan sekaligus memperkenalkan nilai-nilai
yang islami.
Islam pertama-tama disebarkan di Nusantara, dari komunitas-komunitas Muslim yang berada
di daerah-daerah pesisir yang terus berkembang sampai akhirnya menjadi kerajaan-kerajaan
Islam.
2. Babak Kedua, Abad 13 Masehi
Pada abad ini berdiri kerajaan-kerajaan Islam di berbagai penjuru Nusantara. Pada abad 13
Masehi ada fenomena yang disebut Wali Songo yaitu ulama-ulama yang menyebarkan
dakwah di Indonesia, khususnya pulau Jawa. Wali Songo mengembangkan dakwah atau
melakukan proses Islamisasinya melalui berbagai cara dan saluran, antara lain:
a. Perdagangan
b. Pernikahan
c. Pendidikan (pesantren)
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang asli dari akar budaya Indonesia, dan juga
adopsi dan adaptasi hasanah kebudayaan pra Islam yang tidak keluar dari nilai-nilai Islam
yang dapat dimanfaatkan dalam penyebaran islam.
d. Seni dan Budaya
Wali Songo menggunakan wayang sebagai media dakwah dengan mewarnai wayang tersebut
dengan nilai-nilai Islam. Para wali juga mengubah lagu-lagu tradisional dalam langgam
islami. Dalam upacara-upacara adat juga diberikan nilai-nilai Islam.
e. Tasawuf
Ajaran tasawuf pada dasarnya mirip dengan ajaran Hindu, yaitu praktek Islam yang
mengedepankan kehidupan yang sederhana dan banyak mendekatkan diri pada sang Khalik.
Dengan ini, Islam dengan mudah dapat diterima karena memiliki keserupaan dengan alam
pikiran penduduk pribumi yang sudah memiliki latar belakang agama nenek moyang mereka.
3. Babak Ketiga, Masa Penjajahan Belanda
Pada abad 17 Masehi tepatnya tahun 1601 datanglah kerajaan Hindia Belanda ke Indonesia
dengan kamar dagangnya VOC, semenjak itu hampir seluruh wilayah Nusantara dijajah oleh
Belanda kecuali Aceh. Saat itu antar kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara belum sempat
membentuk aliansi atau kerja sama. Hal ini yang menyebabkan proses penyebaran dakwah
terpotong.
Pada masa itu, ketika penjajahan datang, pesantren-pesantren diubah menjadi markas-markas

perjuangan, santri-santri menjadi jundullah (pasukan Allah SWT) yang siap melawan
penjajah sedangkan ulamanya menjadi panglima perangnya. Ulama-ulama menggelorakan
jihad melawan Belanda.
4. Babak Keempat, Abad 20 Masehi
Awal abad 20 masehi, penjajah Belanda mulai melakukan politik etik atau politik balas budi
yang sebenarnya hanya membawa manfaat bagi lapisan masyarakat yang dapat membantu
mereka dalam pemerintahannya di Indonesia. Politik balas budi memberikan pendidikan dan
pekerjaan kepada bangsa Indonesia khususnya umat Islam tetapi sebsenarnya bertujuan untuk
mensosialkan ilmu-ilmu Barat yang jauh dari Al Quran dan Hadits dan akan dijadikannya
boneka-boneka penjajah. Selain itu juga mempersiapkan untuk lapisan birokrasi yang tidak
mungkin dipegang lagi oleh orang-orang Belanda. Yang mendapat pendidikan tidak seluruh
masyarakat melainkan hanya golongan Priyayi (bangsawan), karena itu pemimpin-pemimpin
pergerakan adalah dari golonhan bangsawan. Strategi perlawanan terhadap penjajah pada
masa ini lebih bersifat organisasi formal daripada dengan senjata.
5. Babak Kelima, Pasca Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, perkembangan islam dengan sendirinya mengalami pergeseran.
Dakwah Islam di Indonesia banyak dikembangkan oleh institusi-institusi seperti
Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Persis, dan lain-lain. Hingga sekarang dakwah Islam lebih
banyak dimainkan oleh organisasi-organisasi Islam ini, terutama Muhammadiyah dan NU.
Pada masa ini juga berlangsung pemurnian Islam yang merupakan pengaruh dari
perkembangan pemurnian Islam di Timur Tengah. Jadi pengertian Islamisasi pada ranah ini
adalah usaha untuk mengislamkan orang Islam. Maksudnya membersihkan umat Islam dari
unsur-unsur keyakinan lama yang tidak ada kaitannya dan bahkan dianggap bertentangan
dengan ajaran Islam, berupa bidah, khufarat, dan tahayul.
Usaha Muhammadiyah untuk melakukan pemurnian agama sebagian mendapat tantangan
dari NU. Ini disebabkan karena beberapa praktek NU, seperti tahlilan, talqin. Dan mengazani
orang mati dianggap bidah (mengada-ada) oleh Muhammadiyah. Sampai sekarang
perbedaan pendapat masih ada. Namun, sekarang ini masing-masing pihak sudah dapat
menerima satu dengan yang lainnya.
Di era reformasi, kekuatan-kekuatan Islam yang baru bermunculan. Ini disebabkan karena
beberapa hal:
1. Adanya kebebasan mengemukakan pendapat pendapat di muka umum.
2. Jalur pendidikan Islam di luar negeri, baik di Timur Tengah maupun negeri-negeri Barat.
3. Krisis ekonomi yang berdampak pada krisis-krisis lain baik dibidang sosial, pendidikan,
maupun agama.
Perkembangan model-model pemahaman Islam tersebut dengan sendirinya menambah
keragaman Islam di Indonesia. Tampaknya Islam yang dapat diterima di Indonesia sudah
pasti adalah Islam yang dapat berdamai dengan Negara. Sejauh ini, Muhammadiyah dan NU
tetap konsisten pada semangat ini.
Pada babak ini proses dakwah di Indonesia mempunyai ciri terjadinya globalisasi informasi
dengan gerakan-gerakan Islam internasional secara efektif yang akan membangun kekuatan
Islam lebih utuh meliputi segala dimensinya. Sebenarnya kalau saja Indonesia tidak terjajah
maka proses dakwah di Indonesia akan berlangsung dengan damai karena bersifat kultural
dan membangun kekuatan secara struktural. Hal ini karena awal masuknya Islam yg secara
manusiawi, dapat membangun martabat masyarakat yang sebagian besar kaum sudra
(kelompok struktur masyarakat terendah pada masa kerajaan) dan membangun ekonomi
masyarakat.
Sejarah membuktikan bahwa kota-kota pelabuhan (pusat perdagangan) yang merupakan kotakota yangg perekonomiannya berkembang baik adalah kota-kota muslim. Dengan kata lain
Islam di Indonesia bila tidak terjadi penjajahan akan merupakan wilayah Islam yang terbesar

dan terkuat. Walaupun demikian, Allah Subhanahu wa taala mentakdirkan Indonesia menjadi
negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia.
C.

Karakteristik Islam di Indonesia

1. Majemuk / Plural
Kemajemukan merupakan ciri khas masyarakat Indonesia pada umumnya. Keragaman
model-model beragama dapat ditemukan di dalam Islam. Seorang antropolog Amerika
Serikat bernama Clifford Geertz pernah membagi perilaku keberagaman umat Islam
Indonesia ke dalam tiga kelompok, yaitu abangan, santri dan priyai.
Abangan merupakan turunan dari kata abang (Jawa: merah). Istilah abangan dipakai bagi
pemeluk Islam yang tidak begitu memperhatikan perintah-perintah agama Islam dan kurang
teliti dalam memenuhi kewajiban-kewajiban agamanya.
Santri merupakan penganut islam yang taat. Istilah ini seringkali kita dengar untuk menyebut
orang-orang yang belajar di pesantren.
Priyai adalah kelompok ketiga penganut Islam, yang menurut Greetz adalah kelompok Islam
kelas elit. Biasanya adalah mereka yang disebut sebagai Muslim birokrat atau Muslim
berdasi.
2. Toleran
Toleransi adalah salah satu semangat dari Islam. Semangat ini tumbuh seiring dengan
perkawinan antara budaya Islam dan budaya lokal. Sehingga corak singkretisme (campuran
faham) tidak isa dihindarkan.
Sifat toleransi Muslim Indonesia muncul karena bangsa Indonesia disatukan dalam rumpun
budaya. Muslim Indonesia sudah terbiasa dengan ragam budaya dan agama sejak mula
kedatangannya.
3. Moderat
Islam di Indonesia adalah Islam yang moderat. Moderat dalam hal ini dimaksudkan untuk
menggambarkan kehidupan keagamaan yang berada di tengah-tengah, tidak ekstrim dan tidak
liberal. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, umat Islam adalah mayoritas di negeri
ini, iini berarti bahwa religiusitas bangsa Indonesia adalah cerminan religiusitas umat Islam
itu sendiri. Islam indonesia merupakanagama yang melindungi kehidupan agama dan
kepercayaan lain. Agama dan kepercayaan lain dapat hidup aman dan damai di tengah-tengah
mayoritas umat Islam. Hal ini tentu saja berbeda dengan keadaan umat Islam di beberapa
negara yang hidup mayoritas di tengah-tengah mayoritas agama lain.
4. Singkretik
Singkretisme juga bisa dikatakan merupakan akibat dari akulturasi Islam dan budaya lokal.
Makna singkretik di sini maksudnya adalah adanya campuran unsur Islam dan budaya lokal
yang tidak bertentangan dengan semangat fundamental Islam itu sendiri.
Singkretisme Islam dan budaya lokal inilah yang melahirkan Islam dalam bentuknya
sekarang. Sebagai contoh, tradisi menggunakan peci hitam sebenarnya adalah tradisi orangorang Turki yang kemudian menjadi pakaian orang Indonesia, terutama oleh orang-orang
Islam. Demikian pula dalam ritual-ritual Islam, unsur-unsur budaya lokal masih sangat jelas,
termasuk pada sebagian bangunan masjid. Jadi meskipun berasal dari Timur Tengah, tampilan
Islam di Indonesia tidak selalu bernuansa Arab.
D.

Peran Umat Islam dalam Mewujudkan Masyarakat yang Adil dan Makmur

1. Di Bidang Politik dan Ekonomi


Sejak awal kedatangannya, sebenarnya umat Islam sudah mulai memainkan peran politik
mereka. Sultan atau raja adalah penguasa sekaligus pengembang Islam. Sultan atau Raja

mengadakaan konsultasi dengan para ulama dalam setiap kebijakan yang hendak dijalankan,
sebagaimana terlihat misalnya pada Raden Fatah, raja Kesultanan Demak yang selalu
menghargai petunjuk Wali Songo.
Pada sisi lain dapat dilihat bahwa semenjak abad ke-16 sampai abad ke-20 umat Islam di
bawah para pemimpinnya menghadapi berbagai corak tantangan kekuasaan Barat dan
mengadakan perlawanan bagi setiap fase penjajahan, misalnya pada:
a. Fase persaingan dagang
b. Fase penetrasi
c. Fase perluasan daerah jajahan
d. Fase penindasan
Ajaran Islam untuk cinta tanah air mendorong segenap penduduk Nusantara untuk
memberontak melawan penjajah. Maka lahirlah pemimpin-pemimpin Islam yang demikian
besar yang menentukan arah pergerakan di Indonesia..
Sejak itu peran umat Islam dalam dunia politik semakin jelas. Dalam Panitia Persiapaan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) para ulama dan pemimpin Islam berperan aktif dalam
menyusun dasar kehidupan negara, dan ikut serta merumuskan UUD 1945.
Setelah Indonesia merdeka, peran unat Islam tetap besar di bawah Soekarno. Meskipun ia
berhaluan nasionalis-sosialis, tetapi pandangan-pandangan agamnya menjadi ilham bagi
pembangunan bangsa. Hingga masa reformasi umat Islam tetap menunjukkan sikap politik
yang luar biasa. Setelah berhasil menjalankan pemilu 1999, 2004, dan 2009, dunia
Internasional semakin kagum bahwa masyarakat Islam di Indonesia adalah yang paling
berhasil menjalankan demokrasi.
2. Di Bidang Agama dan Sosial
Agama dan sosial adalah hal yang tidak bisa dipisahkan. Ini disebabkan karena sejak
kedatangannya di Nusantara, Islam telah berpadu dengan masyarakat yang kemudian
membentuk sebuah masyarakat Muslim Indonesia.
Sebagai bangsa yang religius dan berketuhanan Yang Maha Esa, pemerintah memiliki
perhatian besar tehadap agama, terutama agama Islam yang penganutnya adalah mayoritas.
Perhatian tersebut diwujudkan dalam pembinaan kehidupan beragama, antara lain:
a. Mendirikan Departemen Agama pada tanggal 3 januari 1945.
b. Menetapkan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
c. Menyelenggarakan pengurusan ibadah haji dari tanah air.
d. Membentuk MUI pada tahun 1975 dengan struktur organisasi yang menyebar sampai ke
tingkat desa.
e. Melembagakan MTQ secara nasional dari tingkat pusat sampai tingkat desa, mendirikan
dan meresmikan mesjid Istiqlal sebagai masjid yang sepenuhnya dibiayai pemerintah,
membentuk Badan Amil Zakat dan sebagainya.
3. Di Bidang Pendidikan dan Kebudayaan
Di bidang pendidikan dan kebudayaan, peran Islam sangatlah besar. Sejak Islamisasi negeri
ini telah berdiri lembaga-lembaga pendidikan, khususnya pesantren dan surau yang telah
menjadi benteng Islam yang demikian kuat dan berpengaruh. Pemerintah telah mendirikan
madrasah dari tingkat dasar, menengah hingga tingkat atas.
Lembaga pendidikan tinggi Islam di Indonesia telah berdiri sejak 1940. Kemudian berdiri
pula lembaga pendidikan tinggi Islam yang dikelola negara dan swasta di seluruh Indonesia,
seperti Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTIAIN), Institut Agama Islam Negeri
(IAIN), Universitas Islam Negeri (UIN), Universitas Islam Indonesia (UII), dll.
Dalam bidang kebudayaan di Indonesia, Islam mempunyai peranan penting, antara lain di
bidang:
a. Arsitektur, khususnya pada bangunan mesjid.
b. Hidup rohani, paham sufismi atau mistik yang tumbuh pada hidup rohani orang

Indonesia sejak awlnya masuknya Islam di Indonesia, seperti Kadiriah, Khalwatiah,


Naksyabandiah, dan sebagainya.
c. Hari-hari besar Islam.
d. Seni kaligrafi
e. Bahasa Indonesia, yang menyerap sebagian bahasa Al Quran (Arab) ke dalam bahasa
Melayu menjadi bahasa nasional Indonesia sehingga bahasa Arab itu terabadikan dalam
bahasa Indonesia, seperti pada kata rakyat (raiyyah). Musyawarah, shalat, zakat, dan
sebagainya.
E.

Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara

Akhir-akhir ini muncul kekhawatiran di tengah-tengah umat Islam khusunya dan bangsa
Indonesia pada umumnya, mualii pudarnya nilai-nila Pancasila di tengah-tengah anak bangsa
ini, hal ini dapat dilihat dalam beberapa gambaran, seperti munculnya radikalisme di tengahtengah masyarakat.
Di era reformasi yang ditandai dengan kebebasan di segala bidang, kebebasan tersebut juga
turut dinikmati beberapa kelompok Islam yang konservatif dan radikal. Ironisnya,
perjuangan besar itu bermuara pada obsesi mengganti pancasila sebagai dasar negara
Indonesia, meski melalui banyak varian bentuk, ide, gagasan dan cita-cita yang
dikembangkan dari obsesi tersebut. Varian tersebut antara lain pendirian khilafah Islamiyah,
pendirian negara Islam, pelaksanaan syariat Islam dan sebagainya. Apalagi tumbangnya Orde
Baru juga dibarengi dengan problem berupa meluasnya krisis multidimensi, baik sosial,
politik, ekonomi dan sebagainya, sehingga kondisi tersebut semakin melegitimasi obsesi
mengganti Pancasila, karena dianggap telah gagal membawa negara ini ke arah yang lebih
baik.
Ada dua aliran yang muncul yakni golongan Islamis yang ingin menjadikan Indonesia
sebagai sebagai negara Islam dan golongan nasionalis, yang menginginkan pemisahan urusan
negara dan urusan Islam, pendek kata, tidak menjadikan Indonesia sebagai negara Islam.
Golongan nasionalis menolak menjadikan Indonesia sebagai negara Islam karena melihat
kenyataan bahwa non-Muslim juga ikut berjuang melawan penjajah untuk mencapai
kemerdekaan. Golongan ini juga menegaskan bahwa untuk menjadikan Indonesia sebagai
negara Islam akan tidak adil memposisikan penganut agama lain (non-Muslim) sebagai warga
kelad dua.
Bagi tokoh golongan nasionalis seperti Soekarno, ia berpendirian bahwa Islam tidak relevan
sebagai dasar negara karena rasa persatuan yang mengikat bangsa dan melahirkan negara ini
adalah spirit kebangsaan. Dasar kebangsaan bukan dalam pengertian sempit sehingga
mengarah kepada chauvinisme, melainkan dalam pengertian yang menginternasionalisme.
Pada tanggal 17 agustus 1945, seluruh rakyat Indonesia menyambut penuh antusias
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Namun, duri dalam daging dalam UUD 1945 dengan
Piagam Jakarta sebagai sesuatu yang mengganggu sebagian anggota BPUPKI. Duri dalam
daging yang dimaksud adalah tambahan 7 kata dalam sila 1. Pada tanggal 18 Agustus 1945
ketika ada pertemuan panitia penyusun draft UUD, informasi datang dari Tokoh Kristen asal
Sulawesi Utara yakni AA Maramis yang menyatakan bahwa ia secara serius telah memprotes
kalimat tambahan 7 kata sila 1 Pancasila dalam Piagam Jakarta. Sehingga setelah melakukan
konsultasi, sebuah kalimat ditambahkan dalam sila 1 dari kata Ketuhanan, menjadi kalimat
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Saat ini, kekuatan-kekuatan politik dan sosial kemasyarakatan umat Islam Indonesia sampai
pada kesimpulan menerima Pancasila dan pilar bangsa yang lain sebagai penerimaan yang
final. Sikap umat Islam Indonesia yang menerima dan menyetujui Pancasila dan UUD 1945,
dapat di pertanggung jawabkan sepenuhnya dari segala segi pertimbangan. Umat Islam

Indonesia sebagai penduduk mayoritas, secara langsung maupun tidak langsung menjadi
gambaran dari Indonesia.
Perjalanan sejarah telah membuktikan bahwa proses untuk memutuskan Pancasila sebagai
dasar negara bukan main sulit perjuangannya. Hal itu juga menunjukkan betapa para
founding fathers kita telah berkorban dan secara bijaksana mencari titik temu tentang
ideologi yang disepakati bersama. Pancasila tidak hanya menonjolkan spirit demokrasi dan
Hak Asasi Manusia (HAM) yang memberi ruang kepada kebebasan individu dan menarik
peran negara untuk mengaturnya, tetapi juga meletakkan bingkai ketuhanan Yang Maha Esa.
Dan tentu saja nilai-nilai dasar Pancasila yang seperti di atas tidak bertentangan dan
dibenarkan di dalam ajaran Islam yang rahmatan lil alamin. Islam di Indonesia pada
umumnya berada di jalan tengah, tidak mendukung radikalisme dan tidak pula setuju dengan
liberalisme. Islam inilah yang sering di gambarkan sebagai Islam moderat. Islam yang
insyaallah menjadi harapan dan cita-cita semua bangsa Indonesia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian makalah ini penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:
Islam lahir dan dikembangkan di Indonesia di bawa oleh para wali songo.
Perkembangan Islam di Indonesia melalui proses babakan yang sangat panjang, mulai dari
sebelum Indonesia merdeka hingga pasca kemerdekaan Indonesia.
Model-model pemahaman Islam di Indonesia menambah keragaman Islam di Indonesia,
seperti organisasi-organisasi Islam yaitu NU, Muhammadiyah, Persis dll.
Karakteristik Islam di Indonesia yaitu, Majemuk/plural, toleran, moderat dan singkretik.
Umat Islam berperan dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur baik dari
masa penjajahan hingga masa pembangunan.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis
sangat mengaharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca, agar penulis
dapat memperbaiki pembuatan makalah di waktu yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.jazirahislam.com/158/sejarah-masuknya-islam-ke-indonesia.htm
http://omarblega.wordpress.com/2010/06/17/sejarah-masuknya-islam-di-di-indonesia/
Suroso, Asih, dkk, Modul Siswa: Pendidikan Agama Islam untuk SMA Kelas XII Semester 1,
Surakarta, PT Widya Duta Grafika
Tim Dosen PAI Universitas Jambi, 2011, Pendidikan Agama Islam: Buku Daras untuk
Mahasiswa Universitas Jambi, Jambi, Gaung Persada Press.

Anda mungkin juga menyukai