Inflamasi merupakan respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan
jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurung (sekuestrasi) baik agen
pencedera maupun jaringan yang cedera itu (Dorland, 2002).
Apabila jaringan cedera misalnya karena terbakar, teriris atau karena infeksi kuman, maka pada
jaringan ini akan terjadi rangkaian reaksi yang memusnahkan agen yang membahayakan jaringan
atau yang mencegah agen menyebar lebih luas. Reaksi-reaksi ini kemudian juga menyebabkan
jaringan yang cedera diperbaiki atau diganti dengan jaringan baru. Rangkaian reaksi ini disebut
radang (Rukmono, 1973).
Agen yang dapat menyebabkan cedera pada jaringan, yang kemudian diikuti oleh radang adalah
kuman (mikroorganisme), benda (pisau, peluru, dsb.), suhu (panas atau dingin), berbagai jenis
sinar (sinar X atau sinar ultraviolet), listrik, zat-zat kimia, dan lain-lain. Cedera radang yang
ditimbulkan oleh berbagai agen ini menunjukkan proses yang mempunyai pokok-pokok yang
sama, yaitu terjadi cedera jaringan berupa degenerasi (kemunduran) atau nekrosis (kematian)
jaringan, pelebaran kapiler yang disertai oleh cedera dinding kapiler, terkumpulnya cairan dan sel
(cairan plasma, sel darah, dan sel jaringan) pada tempat radang yang disertai oleh proliferasi sel
jaringan makrofag dan fibroblas, terjadinya proses fagositosis, dan terjadinya perubahanperubahan imunologik (Rukmono, 1973).
Secara garis besar, peradangan ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah lokal yang
mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat yang berlebihan, kenaikan permeabilitas kapiler
disertai dengan kebocoran cairan dalam jumlah besar ke dalam ruang interstisial, pembekuan
cairan dalam ruang interstisial yang disebabkan oleh fibrinogen dan protein lainnya yang bocor
dari kapiler dalam jumlah berlebihan, migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit ke dalam
jaringan, dan pembengkakan sel jaringan. Beberapa produk jaringan yang menimbulkan reaksi ini
adalah histamin, bradikinin, serotonin, prostaglandin, beberapa macam produk reaksi sistem
komplemen, produk reaksi sistem pembekuan darah, dan berbagai substansi hormonal yang
disebut limfokin yang dilepaskan oleh sel T yang tersensitisasi (Guyton & Hall, 1997).
Tanda-tanda radang (makroskopis)
Gambaran makroskopik peradangan sudah diuraikan 2000 tahun yang lampau. Tanda-tanda
radang ini oleh Celsus, seorang sarjana Roma yang hidup pada abad pertama sesudah Masehi,
sudah dikenal dan disebut tanda-tanda radang utama. Tanda-tanda radang ini masih digunakan
hingga saat ini. Tanda-tanda radang mencakup rubor (kemerahan), kalor (panas), dolor (rasa
sakit), dan tumor(pembengkakan). Tanda pokok yang kelima ditambahkan pada abad terakhir
yaitu functio laesa(perubahan fungsi) (Abrams, 1995; Rukmono, 1973; Mitchell & Cotran, 2003).
Umumnya, rubor atau kemerahan merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang mengalami
peradangan. Saat reaksi peradangan timbul, terjadi pelebaran arteriola yang mensuplai darah ke
daerah peradangan. Sehingga lebih banyak darah mengalir ke mikrosirkulasi lokal dan kapiler
meregang dengan cepat terisi penuh dengan darah. Keadaan ini disebut hiperemia atau kongesti,
menyebabkan warna merah lokal karena peradangan akut (Abrams, 1995; Rukmono, 1973).
Kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi peradangan akut. Kalor disebabkan pula
oleh sirkulasi darah yang meningkat. Sebab darah yang memiliki suhu 37 oC disalurkan ke
permukaan tubuh yang mengalami radang lebih banyak daripada ke daerah normal (Abrams,
1995; Rukmono, 1973).
Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf.
Pengeluaran zat seperti histamin atau zat bioaktif lainnya dapat merangsang saraf. Rasa sakit
disebabkan pula oleh tekanan yang meninggi akibat pembengkakan jaringan yang meradang
(Abrams, 1995; Rukmono, 1973).
Pembengkakan sebagian disebabkan hiperemi dan sebagian besar ditimbulkan oleh pengiriman
cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstitial. Campuran dari cairan dan
sel yang tertimbun di daerah peradangan disebut eksudat meradang (Abrams, 1995; Rukmono,
1973).
Berdasarkan asal katanya, functio laesa adalah fungsi yang hilang (Dorland, 2002). Functio laesa
merupakan reaksi peradangan yang telah dikenal. Akan tetapi belum diketahui secara mendalam
mekanisme terganggunya fungsi jaringan yang meradang (Abrams, 1995).
Mekanisme radang
1. Radang akut
Radang akut adalah respon yang cepat dan segera terhadap cedera yang didesain untuk
mengirimkan leukosit ke daerah cedera. Leukosit membersihkan berbagai mikroba yang
menginvasi dan memulai proses pembongkaran jaringan nekrotik. Terdapat 2 komponen utama
dalam proses radang akut, yaitu perubahan penampang dan struktural dari pembuluh darah serta
emigrasi dari leukosit. Perubahan penampang pembuluh darah akan mengakibatkan meningkatnya
aliran darah dan terjadinya perubahan struktural pada pembuluh darah mikro akan memungkinkan
protein plasma dan leukosit meninggalkan sirkulasi darah. Leukosit yang berasal dari
mikrosirkulasi akan melakukan emigrasi dan selanjutnya berakumulasi di lokasi cedera (Mitchell &
Cotran, 2003).
Segera setelah jejas, terjadi dilatasi arteriol lokal yang mungkin didahului oleh vasokonstriksi
singkat. Sfingter prakapiler membuka dengan akibat aliran darah dalam kapiler yang telah
berfungsi meningkat dan juga dibukanya anyaman kapiler yang sebelumnya inaktif. Akibatnya
anyaman venular pasca kapiler melebar dan diisi darah yang mengalir deras. Dengan demikian,
mikrovaskular pada lokasi jejas melebar dan berisi darah terbendung. Kecuali pada jejas yang
sangat ringan, bertambahnya aliran darah (hiperemia) pada tahap awal akan disusul oleh
perlambatan aliran darah, perubahan tekanan intravaskular dan perubahan pada orientasi unsurunsur berbentuk darah terhadap dinding pembuluhnya. Perubahan pembuluh darah dilihat dari
segi waktu, sedikit banyak tergantung dari parahnya jejas. Dilatasi arteriol timbul dalam beberapa
menit setelah jejas. Perlambatan dan bendungan tampak setelah 10-30 menit (Robbins & Kumar,
1995).
Peningkatan permeabilitas vaskuler disertai keluarnya protein plasma dan sel-sel darah putih ke
dalam jaringan disebut eksudasi dan merupakan gambaran utama reaksi radang akut. Vaskulaturmikro pada dasarnya terdiri dari saluran-saluran yang berkesinambungan berlapis endotel yang
bercabang-cabang dan mengadakan anastomosis. Sel endotel dilapisi oleh selaput basalis yang
berkesinambungan (Robbins & Kumar, 1995).
Pada ujung arteriol kapiler, tekanan hidrostatik yang tinggi mendesak cairan keluar ke dalam ruang
jaringan interstisial dengan cara ultrafiltrasi. Hal ini berakibat meningkatnya konsentrasi protein
plasma dan menyebabkan tekanan osmotik koloid bertambah besar, dengan menarik kembali
cairan pada pangkal kapiler venula. Pertukaran normal tersebut akan menyisakan sedikit cairan
dalam jaringan interstisial yang mengalir dari ruang jaringan melalui saluran limfatik. Umumnya,
dinding kapiler dapat dilalui air, garam, dan larutan sampai berat jenis 10.000 dalton (Robbins &
Kumar, 1995).
Eksudat adalah cairan radang ekstravaskuler dengan berat jenis tinggi (di atas 1.020) dan
seringkali mengandung protein 2-4 mg% serta sel-sel darah putih yang melakukan emigrasi.
Cairan ini tertimbun sebagai akibat peningkatan permeabilitas vaskuler (yang memungkinkan
protein plasma dengan molekul besar dapat terlepas), bertambahnya tekanan hidrostatik
intravaskular sebagai akibat aliran darah lokal yang meningkat pula dan serentetan peristiwa rumit
leukosit yang menyebabkan emigrasinya (Robbins & Kumar, 1995).
Penimbunan sel-sel darah putih, terutama neutrofil dan monosit pada lokasi jejas, merupakan
aspek terpenting reaksi radang. Sel-sel darah putih mampu memfagosit bahan yang bersifat asing,
termasuk bakteri dan debris sel-sel nekrosis, dan enzim lisosom yang terdapat di dalamnya
membantu pertahanan tubuh dengan beberapa cara. Beberapa produk sel darah putih merupakan
penggerak reaksi radang, dan pada hal-hal tertentu menimbulkan kerusakan jaringan yang berarti
(Robbins & Kumar, 1995).
Dalam fokus radang, awal bendungan sirkulasi mikro akan menyebabkan sel-sel darah merah
menggumpal dan membentuk agregat-agregat yang lebih besar daripada leukosit sendiri. Menurut
hukum fisika aliran, massa sel darah merah akan terdapat di bagian tengah dalam aliran aksial,
dan sel-sel darah putih pindah ke bagian tepi (marginasi). Mula-mula sel darah putih bergerak dan
menggulung pelan-pelan sepanjang permukaan endotel pada aliran yang tersendat tetapi
kemudian sel-sel tersebut akan melekat dan melapisi permukaan endotel (Robbins & Kumar,
1995).
Emigrasi adalah proses perpindahan sel darah putih yang bergerak keluar dari pembuluh darah.
Tempat utama emigrasi leukosit adalah pertemuan antar-sel endotel. Walaupun pelebaran
pertemuan antar-sel memudahkan emigrasi leukosit, tetapi leukosit mampu menyusup sendiri
melalui pertemuan antar-sel endotel yang tampak tertutup tanpa perubahan nyata (Robbins &
Kumar, 1995).
Setelah meninggalkan pembuluh darah, leukosit bergerak menuju ke arah utama lokasi jejas.
Migrasi sel darah putih yang terarah ini disebabkan oleh pengaruh-pengaruh kimia yang dapat
berdifusi disebut kemotaksis. Hampir semua jenis sel darah putih dipengaruhi oleh faktor-faktor
kemotaksis dalam derajat yang berbeda-beda. Neutrofil dan monosit paling reaktif terhadap
rangsang kemotaksis. Sebaliknya limfosit bereaksi lemah. Beberapa faktor kemotaksis dapat
mempengaruhi neutrofil maupun monosit, yang lainnya bekerja secara selektif terhadap beberapa
jenis sel darah putih. Faktor-faktor kemotaksis dapat endogen berasal dari protein plasma atau
eksogen, misalnya produk bakteri (Robbins & Kumar, 1995).
Setelah leukosit sampai di lokasi radang, terjadilah proses fagositosis. Meskipun sel-sel fagosit
dapat melekat pada partikel dan bakteri tanpa didahului oleh suatu proses pengenalan yang khas,
tetapi fagositosis akan sangat ditunjang apabila mikroorganisme diliputi oleh opsonin,
yang terdapat dalam serum (misalnya IgG, C3). Setelah bakteri yang mengalami opsonisasi
melekat pada permukaan, selanjutnya sel fagosit sebagian besar akan meliputi partikel,
berdampak pada pembentukan kantung yang dalam. Partikel ini terletak pada vesikel sitoplasma
yang masih terikat pada selaput sel, disebut fagosom. Meskipun pada waktu pembentukan
fagosom, sebelum menutup lengkap, granula-granula sitoplasma neutrofil menyatu dengan
fagosom dan melepaskan isinya ke dalamnya, suatu proses yang disebut degranulasi. Sebagian
besar mikroorganisme yang telah mengalami pelahapan mudah dihancurkan oleh fagosit yang
berakibat pada kematian mikroorganisme. Walaupun beberapa organisme yang virulen dapat
menghancurkan leukosit (Robbins & Kumar, 1995).
2. Radang kronis
Radang kronis dapat diartikan sebagai inflamasi yang berdurasi panjang (berminggu-minggu
hingga bertahun-tahun) dan terjadi proses secara simultan dari inflamasi aktif, cedera jaringan,
dan penyembuhan. Perbedaannya dengan radang akut, radang akut ditandai dengan perubahan
vaskuler, edema, dan infiltrasi neutrofil dalam jumlah besar. Sedangkan radang kronik ditandai
oleh infiltrasi sel mononuklir (seperti makrofag, limfosit, dan sel plasma), destruksi jaringan, dan
perbaikan (meliputi proliferasi pembuluh darah baru/angiogenesis dan fibrosis) (Mitchell & Cotran,
2003).
Radang kronik dapat timbul melalui satu atau dua jalan. Dapat timbul menyusul radang akut, atau
responnya sejak awal bersifat kronik. Perubahan radang akut menjadi radang kronik berlangsung
bila respon radang akut tidak dapat reda, disebabkan agen penyebab jejas yang menetap atau
terdapat gangguan pada proses penyembuhan normal. Ada kalanya radang kronik sejak awal
merupakan proses primer. Sering penyebab jejas memiliki toksisitas rendah dibandingkan dengan
penyebab yang menimbulkan radang akut. Terdapat 3 kelompok besar yang menjadi
penyebabnya, yaitu infeksi persisten oleh mikroorganisme intrasel tertentu (seperti basil
tuberkel, Treponema palidum, dan jamur-jamur tertentu), kontak lama dengan bahan yang tidak
dapat hancur (misalnya silika), penyakit autoimun. Bila suatu radang berlangsung lebih lama dari
4 atau 6 minggu disebut kronik. Tetapi karena banyak kebergantungan respon efektif tuan rumah
dan sifat alami jejas, maka batasan waktu tidak banyak artinya. Pembedaan antara radang akut
dan kronik sebaiknya berdasarkan pola morfologi reaksi (Robbins & Kumar, 1995).
Mediator kimia peradangan
Bahan kimia yang berasal dari plasma maupun jaringan merupakan rantai penting antara
terjadinya jejas dengan fenomena radang. Meskipun beberapa cedera langsung merusak
endotelium pembuluh darah yang menimbulkan kebocoran protein dan cairan di daerah cedera,
pada banyak kasus cedera mencetuskan pembentukan dan/atau pengeluaran zat-zat kimia di
dalam tubuh. Banyak jenis cedera yang dapat mengaktifkan mediator endogen yang sama, yang
dapat menerangkan sifat stereotip dari respon peradangan terhadap berbagai macam rangsang.
Karena pola dasar radang akut stereotip, tidak tergantung jenis jaringan maupun agen penyebab
pada hakekatnya menyertai mediator-mediator kimia yang sama yang tersebar luas dalam tubuh.
Beberapa mediator dapat bekerja bersama, sehingga memberi mekanisme biologi yang
memperkuat kerja mediator. Radang juga memiliki mekanisme kontrol yaitu inaktivasi mediator
kimia lokal yang cepat oleh sistem enzim atau antagonis (Abrams, 1995; Robbins & Kumar, 1995).
Cukup banyak substansi yang dikeluarkan secara endogen telah dikenal sebagai mediator dari
respon peradangan. Identifikasinya saat ini sulit dilakukan. Walaupun daftar mediator yang
diusulkan panjang dan kompleks, tetapi mediator yang lebih dikenal dapat digolongkan menjadi
golongan amina vasoaktif (histamin dan serotonin), protease plasma (sistem kinin, komplemen,
dan koagulasi fibrinolitik), metabolit asam arakidonat (leukotrien dan prostaglandin), produk
leukosit (enzim lisosom dan limfokin), dan berbagai macam mediator lainnya (misal, radikal bebas
yang berasal dari oksigen dan faktor yang mengaktifkan trombosit) (Abrams, 1995; Robbins &
Kumar, 1995).
1. Amina vasoaktif
Amina vasoaktif yang paling penting adalah histamin. Sejumlah besar histamin disimpan dalam
granula sel jaringan penyambung yang disebut sel mast. Histamin tersebar luas dalam tubuh.
Histamin juga terdapat dalam sel basofil dan trombosit. Histamin yang tersimpan merupakan
histamin yang tidak aktif dan baru menampilkan efek vaskularnya bila dilepaskan. Stimulus yang
dapat menyebabkan dilepaskannya histamin adalah jejas fisik (misal trauma atau panas), reaksi
imunologi (meliputi pengikatan antibodi IgE terhadap reseptor Fc pada sel mast), fragment
komplemen C3a dan C5a (disebut anafilaktosin), protein derivat leukosit yang melepaskan
histamin, neuropeptida (misal, substansi P), dan sitokin tertentu (misal, IL-1 dan IL-8) (Mitchell &
Cotran, 2003; Robbins & Kumar, 1995; Abrams, 1995).
Pada manusia, histamin menyebabkan dilatasi arteriola, meningkatkan permeabilitas venula, dan
pelebaran pertemuan antar-sel endotel. Histamin bekerja dengan mengikatkan diri pada reseptorreseptor histamin jenis H-1 yang ada pada endotel pembuluh darah. Pada perannya dalam
fenomena vaskular, histamin juga dilaporkan merupakan bahan kemotaksis khas untuk eosinofil.
Segera setelah dilepaskan oleh sel mast, histamin dibuat menjadi inaktif oleh histaminase.
Antihistamin merupakan obat yang dibuat untuk menghambat efek mediator dari histamin. Perlu
diketahui bahwa obat antihistamin hanya dapat menghambat tahap dini peningkatan permeabilitas
vaskular dan histamin tidak berperan pada tahap tertunda yang dipertahankan pada peningkatan
permeabilitas (Mitchell & Cotran, 2003; Robbins & Kumar, 1995; Abrams, 1995).
Serotonin (5-hidroksitriptamin) juga merupakan suatu bentuk mediator vaasoaktif. Serotonin
ditemukan terutama di dalam trombosit yang padat granula (bersama dengan histamin, adenosin
difosfat, dan kalsium). Serotonin dilepaskan selama agregasi trombosit. Serotonin pada binatang
pengerat memiliki efek yang sama seperti halnya histamin, tetapi perannya sebagai mediator pada
manusia tidak terbukti (Mitchell & Cotran, 2003; Robbins & Kumar, 1995).
2. Protease plasma
Berbagai macam fenomena dalam respon radang diperantarai oleh tiga faktor plasma yang saling
berkaitan yaitu sistem kinin, pembekuan, dan komplemen. Seluruh proses dihubungkan oleh
aktivasi awal oleh faktor Hageman (disebut juga faktor XII dalam sistem koagulasi intrinsik).
Faktor XII adalah suatu protein yang disintesis oleh hati yang bersirkulasi dalam bentuk inaktif
hingga bertemu kolagen, membrana basalis, atau trombosit teraktivasi di lokasi jejas endotelium.
Dengan bantuan kofaktor high-molecular-weight kininogen(HMWK)/kininogen berat molekul tinggi,
faktor XII kemudian mengalami perubahan bentuk menjadi faktor XIIa. Faktor XIIa dapat
membongkar pusat serin aktif yang dapat memecah sejumlah substrat protein (Mitchell & Cotran,
2003).
Aktivasi sistem kinin pada akhirnya menyebabkan pembentukan bradikinin. Bradikinin merupakan
polipeptida yang berasal dari plasma sebagai prekursor yang disebut HMWK. Prekursor glikoprotein
ini diuraikan oleh enzim proteolitik kalikrein. Kalikrein sendiri berasal dari prekursornya yaitu
prekalikrein yang diaktifkan oleh faktor XIIa. Seperti halnya histamin, bradikinin menyebabkan
dilatasi arteriola, meningkatkan permeabilitas venula dan kontraksi otot polos bronkial. Bradikinin
tidak menyebabkan kemotaksis untuk leukosit, tetapi menyebabkan rasa nyeri bila disuntikkan ke
dalam kulit. Bradikinin dapat bertindak dalam sel-sel endotel dengan meningkatkan celah antar
sel. Kinin akan dibuat inaktif secara cepat oleh kininase yang terdapat dalam plasma dan jaringan,
dan perannya dibatasi pada tahap dini peningkatan permeabilitas pembuluh darah (Mitchell &
Cotran, 2003; Robbins & Kumar, 1995).
Pada sistem pembekuan, rangsangan sistem proteolitik mengakibatkan aktivasi trombin yang
kemudian memecah fibrinogen yang dapat larut dalam sirkulasi menjadi gumpalan fibrin. Faktor
Xa menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular dan emigrasi leukosit. Trombin memperkuat
perlekatan leukosit pada endotel dan dengan cara menghasilkan fibrinopeptida (selama
pembelahan fibrinogen) dapat meningkatkan permeabilitas vaskular dan sebagai kemotaksis
leukosit (Mitchell & Cotran, 2003).
Ketika faktor XIIa menginduksi pembekuan, di sisi lain terjadi aktivasi sistem fibrinolitik.
Mekanisme ini terjadi sebagai umpan balik pembekuan dengan cara memecah fibrin kemudian
melarutkan gumpalan fibrin. Tanpa adanya fibrinolisis ini, akan terus menerus terjadi sistem
pembekuan dan mengakibatkan penggumpalan pada keseluruhan vaskular. Plasminogen
activator (dilepaskan oleh endotel, leukosit, dan jaringan lain) dan kalikrein adalah protein plasma
yang terikat dalam perkembangan gumpalan fibrin. Produk hasil dari keduanya yaitu plasmin,
merupakan protease multifungsi yang memecah fibrin (Mitchell & Cotran, 2003).
Sistem komplemen terdiri dari satu seri protein plasma yang berperan penting dalam imunitas
maupun radang. Tahap penting pembentukan fungsi biologi komplemen ialah aktivasi komponen
ketiga (C3). Pembelahan C3 dapat terjadi oleh apa yang disebut jalur klasik yang tercetus oleh
pengikatan C1 pada kompleks antigen-antibodi (IgG atau IgM) atau melalui jalur alternatif yang
dicetuskan oleh polisakarida bakteri (misal, endotoksin), polisakarida kompleks, atau IgA
teragregasi, dan melibatkan serangkaian komponen serum (termasuk properdin dan faktor B dan
D). Jalur manapun yang terlibat, pada akhirnya sistem komplemen akan memakai urutan efektor
akhir bersama yang menyangkut C5 sampai C9 yang mengakibatkan pembentukan beberapa
faktor yang secara biologi aktif serta lisis sel-sel yang dilapisi antibodi (Mitchell & Cotran, 2003;
Robbins & Kumar, 1995).
Faktor yang berasal dari komplemen, mempengaruhi berbagai fenomena radang akut, yaitu pada
fenomena vaskular, kemotaksis, dan fagositosis. C3a dan C5a (disebut juga anafilaktosin)
meningkatkan permeabilitas vaskular dan menyebabkan vasodilatasi dengan cara menginduksi sel
mast untuk mengeluarkan histamin. C5a mengaktifkan jalur lipoksigenase dari metabolisme asam
arakidonat dalam netrofil dan monosit. C5a juga menyebabkan adhesi neutrofil pada endotel dan
kemotaksis untuk monosit, eosinofil, basofil dan neutrofil. Komplemen yang lainnya, C3b, apabila
melekat pada dinding sel bakteri akan bekerja sebagai opsonin dan memudahkan fagositosis
neutrofil dan makrofag yang mengandung reseptor C3b pada permukaannya (Mitchell & Cotran,
2003).
a. Metabolit asam arakidonat
Asam arakidonat merupakan asam lemak tidak jenuh (20-carbon polyunsaturated fatty acid) yang
utamanya berasal dari asupan asam linoleat dan berada dalam tubuh dalam bentuk esterifikasi
sebagai komponen fosfolipid membran sel. Asam arakidonat dilepaskan dari fosfolipid melalui
fosfolipase seluler yang diaktifkan oleh stimulasi mekanik, kimia, atau fisik, atau oleh mediator
inflamasi lainnya seperti C5a. Metabolisme asam arakidonat berlangsung melalui salah satu dari
dua jalur utama, sesuai dengan enzim yang mencetuskan, yaitu jalur siklooksigenase dan
lipoksigenase. Metabolit asam arakidonat (disebut juga eikosanoid) dapat memperantarai setiap
langkah inflamasi. (Mitchell & Cotran, 2003).
Jenis
Leukosit
Neutrofil
Eosinofil
Basofil
Monosit
Limfosit
Fungsi
Bersifat fagositosis
Berperan dalam reaksi alergi
Melepaskan histamin yang
menyebabkan reaksi inflamasi
Besifat fagositosis
Berperan dalam respon imun spesifik
Limfosit B
Respon imunitas yang diperantarai
antibodi
Limfosit T
Respon imunitas yang diperantarai sel
Respon Imun
Jika pathogen memasuki tubuh, ada 2 cara yang dilakukan oleh tubuh
dalam memberikan respon terhadap masuknya pathogen tersebut yaitu
respon imun non-spesifik dan respon imun spesifik.
1.
2.
3.
4.
5.
Gambar. Pada gambar ini diperlihatkan respon imun primer dari respon
imun yang diperantarai antibodi dan yang diperantarai sel.