Anda di halaman 1dari 83

TUGAS MAKALAH K3

SISTEM PENANGKAL PETIR PADA BTS


( BASE TRANSCEIVER STATION )

Disusun Oleh :
Thio Vectoriza
2013 - 11 - 055

JURUSAN S1 TEKNIK ELEKTRO


SEKOLAH TINGGI TEKNIK - PLN
JAKARTA
1

2016

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

ii

BAB I

PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang ................................................................................ 1
I.2 Tujuan dan Manfaat Penulisan ........................................................ 2
I.3 Rumusan Masalah .......................................................................... . 2
I.4 Batasan Masalah ............................................................................. . 2

BAB II

IMPULS PETIR
II.1 Umum ......................................................................................... . 3
II.2 Mekanisme Terjadi Petir ............................................................... 4
II.3 Jenis-Jenis Petir ........................................................................... . 7
II.3.1 Berdasarkan Polaritas Muatan .............................................. 8
II.3.2 Berdasarkan Arah Sambaran ................................................ 9
II.3.3 Berdasarkan Jenis Sambaran................................................ 11
II.4 Parameter-Parameter Petir ........................................................... 12
II.4.1 Bentuk Gelombang Arus Petir .............................................
12
II.4.2 Kerapatan Sambaran Petir (Ng) ............................................
14
2

II.4.3 Arus Puncak ( Imax ) .............................................................


14
II.4.4 Kecuraman Gelombang (Steepness) .................................... 16

BAB III

SISTEM PROTEKSI PETIR


III.1 Umum ......................................................................................... 17
III.2 Sistem Proteksi Petir ..................................................................17
III.3 Hari Guruh

.............................................................................. 21

III.4 Proteksi Terhadap Sambaran Petir ..............................................22


III.4.1 Penangkal Petir Konvensional .....................................
22
III.4.2 Penangkal Petir Elektrostatik ......................................
23
III.4.3 Dissipation Array Sistem (Lightning Preventor)............... 24
III.5 Proteksi Terhadap Tegangan Lebih Petir ...................................... 27
III.5.1 Sela Batang (Rod Gap .................................................... 29
III.5.2 Arrester Ekspulsi .............................................................
30
III.5.3 Arrester Katup....31

BAB IV

PROTEKSI BANGUNAN TERHADAP BAHAYA PETIR


IV.1 Umum .................................................................................. 33
IV.2

Besarnya Kebutuhan Bangunan Akan Sistem Proteksi Petir.....34


IV.2.1 Menurut Standar PUIPP.....35
IV.2.2 Standar Nasional Indonesia (SNI 03-7015-2004) .37
3

IV.3 Prinsip Proteksi Terhadap Sambaran Petir


Dengan MenggunakanLightningConductor.....37
IV.4 Zona Proteksi Lightning Conductor.....38

IV.5 Rancangan Sistem Terminasi Udara Menurut Sni 03-7015-2004...40


IV.5.1 Metode Sudut Proteksi (Angle Protection Method)....44
IV.5.2

Metode Bola Bergulir (Rolling Sphere method) ....45

IV.5.3

Metode Metode Jala (Meshed Sized Method )...................46

IV.6 Konduktor Penyalur (Down Conductor)...46


IV.7 Sistem Terminasi Bumi (Grounding System)....48
IV.8 Pemilihan Bahan....51

BAB V

STUDI TENTANG SISTEM PENANGKAL PETIR PADA BTS


(BASE TRANSCEIVER STATION)
V.1 Umum ....53
V.2 Kebutuhan Proteksi ........58
V.2.1 Penentuan Kebutuhan Bangunan Akan Proteksi

Petir Berdasarkan PUIPP .....62


V.2.2 Penentuan Tingkat Proteksi Berdasarkan
SNI (03-7015- 2004) .......63
V.3 Terminasi Udara .......65
V.3.1 Terminasi Udara Menurut Metode Bola Bergulir................67
V.4 Konduktor Penyalur (Down Conductor)...70
V.5 Sistem Terminasi Bumi (Grounding System) ..................................71
4

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN


V.1 Kesimpulan .................................................................................. 75
V.2 Saran ............................................................................................ 76

BAB I
PENDAHULUAN

I.1.

LATAR BELAKANG
Indonesia secara geografis terletak di garis khatulistiwa dan diantara

dua benua dengan jumlah hari guruh rata-rata 120 hari per tahun. Indonesia yang
merupakan negara katulistiwa memiliki karakteristik petir

yang berbeda

dengan karakteristik petir di luar negeri, maka karakterstik petir di Indonesia


dijadikan standar oleh Badan Standarisasi dunia pada umumnya.
Mengingat kerusakan-kerusakan yang dapat timbul akibat adanya
sambaran petir,

maka

muncullah

berbagai

usaha

untuk

mengatasi

sambarannya. Didalam bidang teknik listrik dikenal sebagai usaha proteksi petir.
Dalam usaha proteksi petir ini tentu dibutuhkan pengetahuan tentang petir dan
karakteristik-karakteristiknya. Dalam hal ini juga termasuk proteksi petir itu
sendiri.
Saat ini industri di Indonesia semakin banyak menggunakan peralatan dan
sistem yang canggih dengan komponen elektronik dan mikroprosessor, khususnya
sistem teleko munikasi, yang sangat sensitif terhadap pulsa elektromagnetik dari
petir. Tingkat

kepentingan BTS

dalam

hal keberlangsungan penyediaan

informasi data agar informasi data yang di salurkan tidak terputus, disamping
5

masih sedikitnya informasi tentang Sistem Proteksi Petir (SPP) khususnya di


negara-negara tropis, maka melalui studi ini penulis mempelajari bagaimana
sistem penangkal petir pada BTS (Base Transceiver Station), aplikasi pada
PT. Telekomunikasi Selular
(TELKOMSEL) - Banda Aceh.

I.2.

TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN


Adapun tujuan utama dari penulisan makalah ini adalah untuk menganalisa

pengaruh sambaran petir, sistem pengamanannya terhadap peralatan yang ada


pada BTS (Base Transceiver Station) dan radius daerah perlindungan terhadap
bahaya sambaran petir.

I.3.

RUMUSAN MASALAH
1.
2.
3.
4.

I.4.

Bagaiman petir dapat terjadi dan bahaya yang di timbulkan ?


Bagaimana peraturan yang mengatur tentang proteksi petir ?
Bagaimana system penagkal petir pada BTS ?
Alat apa saja yang di gunakan untuk meranjang instalasi proteksi petir ?

BATASAN MASALAH
Adapun batasan masalah pada penulisan tugas akhir ini adalah :
1. Membahas tentang sistem penangkal petir pada BTS
2. Tidak membahas sistem kelistrikan pada BTS
3. Tidak membahas sistem kerja dari BTS

BAB II
IMPULS PETIR

II.1.

UMUM
Petir merupakan peristiwa peluahan listrik antara suatu awan bermuatan

dengan bumi, atau antara awan bermuatan dengan awan bermuatan lainnya. Dalam
peristiwa ini, jarak antara awan ke awan atau awan kebumi relatif cukup tinggi
dan dapat di asumsikan sebagai jarak antar elektroda. Sumber terjadinya petir
adalah awan cummulonimbus atau awan guruh yang berbentuk gumpalan dengan
ukuran vertikal lebih besar dari dari ukuran horisontal. Ukuran vertikal dapat
mencapai 14 km dan ukur an horisontal berkisar 1,5 sampai 7,5 km. Karena
ukuran vertikalnya yang cukup besar terjadi perbedaan temperatur antara bagian
bawah dengan bagian atas. Bagian bawah bisa mencapai 5 C sedangkan bagian
atas -60 C. Loncatan diawali dengan berkumpulnya uap air di dalam awan.
Karena perbedaan temperatur yang besar antara bagian bawah awan dengan
bagian yang lebih di atas, butiran air bagian bawah yang temperaturnya lebih
hangat berusaha berpindah ke bagian atas sehingga mengalami pendinginan dan
membentuk kristal es. Butir air yang bergerak naik membawa muatan positif
sedangkan kristal es membawa muatan negatif sehingga terbentuk awan yang
mirip dengan dipole listrik. Pada saat tegangan antara ujung awan sudah cukup
7

besar terjadilah pelepasan muatan listrik. Struktur listrik awan guruh dinyatakan
dalam gambar 1 berikut ini:

Gambar 2.1. Struktur Muatan Listrik Awan


Guruh

II.2. MEKANISME TERJADINYA PETIR


Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan atau pengumpulan muatan
di awan beitu banyak dan tak pasti. Tekanan atmosfer akan menurun dengan
makin bertambahnya ketinggian suatu tempat dari permukahorizontal. Pergerakan
udara ( sering disebut angin ) ini akan membawa udara lembab ke atas, kemudian
8

udara

memungkinkan terjadinya pemisahan muatan listrik didalam awan

tersebut.

Butiran air yang bermuatan positif, biasanya berada bagian atas dan yang
bermuatan negatif di bagian bawah. Dengan adanya awan yang bermuatan maka
akan timbul muatan induksi pada permukaan

bumi sehingga

menimbulkan

medan listrik antara bumi dengan awan.


Mengingat dimensinya, bumi dianggap rata terhadap awan sehingga bumi
dengan awan dapat di anggap sebagai dua plat sejajar membentuk kapasitor. Jika
medan listrik yang terjadi melebihi medan

tembus udara, maka akan terjadi

pelepasan muatan. Terjadinya pelepasan udara inilah yang disebut sebagai petir.
Setela adanya peluahan di udara sekitar awan bermuatan yang medan
listriknya cukup tinggi, terbentuk peluahan awal yang

biasa disebut pilot

leader. Pilot leader ini menentukan arah perambatan muatan dari awan ke udara,
diikuti dengan titik-titik cahaya.
Setiap sambaran petir bermula dari suatu lidah petir ( leader ) yang bergerak
turun dari awan bermuatan dan disebut downward leader ( lihat Gambar 2.2.a ).
Downward leader ini bergerak menuju bumi dalam bentuk langkah-langkah yang
disebut step leader. Pergerakan step leader ini arahnya selalu berubah-ubah
sehingga secara keseluruhan jalannya tidak dan patah-patah. Panjang setiap step
leader ini sekitar 50 m ( dalam rentang 3 200m ), dengan interval waktu antara
setiap step 50 s ( 30 125 s ). Dari waktu ke waktu, dalam perambatannya
ini step leader mengalami percabangan sehingga terbentuk lidah petir yang
bercabang-cabang.

10

Gambar 2.2. Tahapan Proses Sambaran Petir


Ketika leader bergerak mendekati bumi, akan ada beda potensial yan makin
tinggi antara ujung step leader dengan bumi sehingga terbentuk peluahan mula
yang disebut upward streamer pada permukaan bumi atau objek akan bergerak ke
atas menuju jung step leader. Apabila upward leader telah masuk dalam zona
jarak sambaran atau striking distance, terbentuk petir penghubung ( connecting
leader ) yang

menghubungkan ujung step leader dengan objek yang di sambar (


Gambar
2.2.b ). Setelah itu akan timbul sambaran balik ( return stroke ) yang bercahaya
sangat terang bergerak dari bumi atau objek menuju awan dan melepas muatan
di awan ( Gambar 2.2.c ).
11

Jalan yang di tempuh oleh return stroke sama dengan jalan turunnya step
leader, hanya arahnya yang berbeda. Kemudian terjadi sambaran susulan
( subsequent stroke ) dari awan menuju bumi atau objek tersebut. Sambaran
susulan ini tidak memiliki percabangan dan biasa disebut sebagai lidah panah
atau dart leader ( Gamabar 2.2.d ). Pergerakan dart leader ini sekitar 10 kali lebih
cepat dari leader yang pertama ( sambaran pertama atau first stroke ).
Pada umumnya, hampir separuh ( 55% ) dari peristiwa kilat petir (
lightning flash ) merupakan sambaran ganda seperti tersebut di atas, dengan jumlah
sambaran sekitar 3 atau 4 sambaran tiap kilat ( bisa juga lebih ), diantaranya 90%
tidak lebih dari 8 sambaran, interval waktu setiap sambaran kurang lebih 50 ms.

II.3.

MACAM-MACAM PETIR
Telah disebutkan sebelumnya bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi

pembentukan dan pengumpulan muatan di awan begitu banyak dan tak pasti. Di
tambah dengan kondisi labilitas dalam atmosfir, sehingga proses terjadinya
sambaran petir bisa juga berbeda-beda.
Misalnya, muatan yang terjadi tidak terpisah secara horizontal sehingga
menimbulkan pelepasan di antara awan dengan awan atau dalam awam itu sendiri.
Atau mungkin saja proses pemisahan muatannya terjadi secara sebaliknya,
sehingga
arah peluahan atau petirnya juga terbalik.
Secara garis besar, jenis-jenis petir dapat dikategorikan dalam beberapa
macam, yaitu sebagai berikut:
Berdasar polaritas muatan:

Muatan positif

Muatan negatif
12

Berdasar arah sambaran:

Arah kebawah ( bumi atau objek), disebut downward lightning

Arah ke atas (awan), disebut upward lightning

Berdasar jenis sambaran:

Sambaran dalam awan ( intra cloud lightning )

Sambaran antar awan ( inter cloud lightning )

Sambara awan ke bumi ( cloud to ground lightning )

II.3.1. Berdasarkan Polaritas Muatan


Polaritas petir, baik itu positif maupun negatif ditentukan oleh muatannya.
Petir di katakan bermuatan positif jika pilot leader yang membentuk step leader
bermula dari awan yang bermuatan positif (Gambar 2.3.a ), dan sebaliknya jika
pilot leader bermula dari awan bermuatan negatif maka petirnya dikatakan
bermuatan
negatif ( Gambar 2.3.b ).

Gambar 2.3. Polaritas Muatan Petir pada Sambaran ke Tanah


Polaritas petir tidak selalu berpengaruh menentukan arah perambatan petir. Polaritas
petir paling berpengaruh pada daya rusak yang dihasilkannya, dalam hubungannya
dengan besaran arus petir dan bentuk gelombangnya. Sebab pada umumnya, besaran
arus pada petir dengan polaritas positif lebih besar di bandingkan pada petir
13

polaritas negatif. Selain itu, bentuk gelombang arus petir dengan polaritas negatif,
berbeda- beda

antara

sambaran

pertama

(first

stroke)

dengan

sambaran

susulannya (subsequent stroke ).


Selain perbedaan dalam hal karakteristik besaran arus dan bentuk
gelombangnya, petir po laritas positif dan polaritas negatif juga berbeda
dalam persentase kemungkinan kejadiannya. Hanay sekitar 10% dari sambaran petir
yang terjadi berpolaritas positif, selebihnya kebanyakan adalah petir negatif.
Probabilitas kejadian petir positif akan meningkat dengan bertambahnya ketinggian
suatu tempat atau objek di bumi. Lebih jauh lagi, R.B. Anderson menyatakan
bahwa mayoritas
petir positif lebih sering atau menyukai single stroke, sehingga untuk
kenyakan
tujuan dan penelitian petir positif sering dinyatakan (diasumsikan) sebagai
sambaran tunggal.
II.3.2. Berdasarkan Arah Sambaran
Jika melihat kembali kemekanisme terjadinya petir, maka akan terlihat
bahwa untuk setiap satu kejadian kilat

petir dengan beberapasambaran,

mengalami arah peluahan ke bawah (bumi) dan ke atas (awan) sekaligus secara
bergantian. Maka untuk mendefinisikan arah sambaran ini, sebagai acuan adalah
arah mula terjadinya peluahan petir (asal pilot leader). Apabila pilot leader
bermula dari atas (awas), maka di sebut petir ke bawah atau disebut juga
downward lightning, dan jika sebaliknya maka disebut keatas atau upward
lightning.

14

Gambar 2.4. Tipikal Arah Sambaran Petir


(a) Downward lightning

(b) upward lightning

Perbedaan antara upward lightning dengan downward lightnng, selain dari


arah sambarannya adalah pada probabilitas kejadian dan tipikal sambarannya.
Upward

lightning

memiliki sambaran

yang

cabang-cabangnya cenderung

sedikit, kebalikan dari downward lightning yang percabangan sambarannya


cenderung banyak. Selain itu upward lightning sangat jarang terjadi, sehingga
kasus ini dianggap sebgai kasus khusus. Dari beberapa referensi yang ada belum
ada satupun yang memberikan angka perkiraan mengenai probabilitas kejadian
upward lightning di dunia.
Upward lightning hanya terjadi pada objek yang memiliki ketinggian cukup
lumayan. Hasil observasi menunjukkan bahwa dari peristiwa-peristiwa upward
lightning, sekitar 80 90% terjadi pada objek dengan ketinggian 400 500 m dari
permukaan bumi.

15

II.3.3. Berdasarkan Jenis Sambaran


Kondisi pada saat pemisahan muatan merupakan faktor penentu dari proses
kejadian petir berdasarkan jenis sambaran ini. Ada tiga (3) jenis sambaran petir,
yang dapat diperlihatkan pada Gambar 2.5.
Sambaran petir ke tanah (cloud to ground ligtning) merupakan bentuk
sambaran petir yang paling merusak dan bercahaya. Oleh karena itu, meskipun
sambaran petir jenis ini bukan merupakan yang paling umum terjadi, namun paling
penting untuk di teliti dan di kaji karakteristiknya dalam rangka melindungi diri
dan
lingkungan kita dari sambaran petir ini.
Sambaran petir dalam awan ( intra cloud lightning ) adalah jenis yang paling
sering terjadi. Petir jenis ini terjadi antara muatan yang berlawanan dalam satu
awan yang sama. Prosesnya terjadi di dalam awan dan terlihat dari luar awan
seperti kejapan cahaya terang yang menyambar. Akan tetapi, kilatan cahayanya
juga bisa keluar dari batas-batas awan itu sendiri, dan membentuk kanal cahaya
serupa dengan sammbaran ke tanah.
Perbandingan antara cloud to ground dengan intra cloud lightning dapat
bervariasi secara signifikan antara satu badai dengan badai yang lainnya. Beberapa
anggapan ( usulan ) menyatakan bahwa variasi ini mempunyai ketergantungan atau
korelasi

terhadap

latitude,dengan

persentase

kejadian

lebih

besar

untuk

kejadian cloud to ground pada latitude yang lebih tinggi.


Sedangkan sambaran petir antar awan (intercloud lightning) adalah petir yang
terjadi di antara pusat muatan yang berlawanan pada dua awan berbeda.

16

Gambar 2.5. Jenis-jenis Sambaran Petir


(a) Dalam awan ( intra-cloud )
(b) Antar awan ( inter-cloud )
(c) Awan ke bumi ( cloud to ground )

II.4.

PARAMETER PARAMETER PETIR


Parameter petir menyatakan karakteristik atau penggambaran petir itu

sendiri. Parameter-parameter petir cukup banyak, terutama yang

berkaitan

dengan usaha- usaha proteksi petir. Selain itu, parameter petir ini juga berguna
dalam

studi

efek

perusakan

akibat

sambaran

petir

dan

kemungkinan

pemanfaatannya. Parameter- parameter tersebut antara lain: bentuk gelombang


petir, kerapatan sambaran (Ng), arus puncak (Imax), kecuraman gelombang atau
steepness (di/dt).

II.4.1. Bentuk Gelombang Arus Petir


17

Bentuk gelombang arus petir ini menggambarkan besar arus, kecuraman


(kenaikan arus), serta lamanya kejadian (durasi gelombang), dinyatakan oleh waktu
ekor.
Pada kenyataannya, bentuk gelombang arus petir tidak sama persis antara
satu dengan yang lainnya. Bukan saja antara satu kejadian dengan kejadian lainnya,
akan tetapi pada
gelombang

satu

kejadian kilat

dengan

sambaran

ganda,

bentuk

arus petirnya bias berbeda cukup lumayan, antara sambaran

ertamadengan sambaran susulan. Kejadian terutama pada petir negatif yang


sebagian besar selalu ada
subsequent stroke-nya.

Gambar 2.6. Osilogram Bentuk Gelombang Arus Petir


(a) Petir positif

(b) Petir negatif

Karena ada perbedaan tersebut, maka bentuk standar gelombang arus petir
berbeda-berbeda untuk suatu negara atau lembaga, misalnya standar Jepang
(JIS), atau Jerman (VDE), Inggris (BS) dan sebagainya. Untuk internasional
biasanya mengacu pada IEC.
Bentuk gelombang arus petir dinyatakan dalam dua besaran yakni, waktu
18

muka (Tf) yang menyatakan lamanya muka gelombang (front duration)


dan
kecuraman arus, serata waktu ekor ( Tt ).

Gambar 2.7.. Bentuk gelombang impuls petir standard

II.4.2. Kerapatan Sambaran Petir (Ng)


Parameter ini menyatakan banyaknya aktifitas petir atau sambaran petir ke
bumi dalam rentang satu tahun di suatu wilayah, dintakan dalam sambaran per km2
per tahun. Jumlah sambaran kilat ini sebanding dengan jumlah hari guruh per tahun
atau biasa di sebut Iso Keraunic Level (IKL).
Banyak peneliti yang memberikan perhatian kearah ini dan mengemukakan
rumus-rumus yang berlainan. Untuk Indonesia, T.S. Hutauruk memberikan usulan
kerapatan sambaran petir adalah sebesar:
Ng = 0,15 IKL

(1)

19

II.4.3. Arus Puncak (Imax)


Parameter arus puncak ini menentukan jatuh tegangan resistif pada tahanan
pentanahan dan tahanan peralatan yang terkena sambaran. Selain itu juga, ikut
menentukan kenaikan temperaturpada peralatan yang di sambar. Biasanya, nilai
arus puncak ini yang digunakan dalam menyatakan suatu gelombang impuls petir,
bersama-sama dengan dua besaran gelombang sebelumnya yaitu waktu muka ( tf
)
dan waktu ekor ( tt ).

Gambar 2.8. Hasil pengukuran bentuk gelombang arus petir negatif sambaran ganda
(a) Sambaran pertama b) sambaran kedua c) sambaran ketiga
Menurut Whitehead, arus puncak ini menentukan jarak sambaran petir
(striking distance), yang di ekspresikan dengan persamaan:
r = 8,0 . Imax

0,65

[ meter ]

(2)

dimana Imax dalam kA.

20

Gambar 2.9. Konsep Jarak Sambaran

II.4.4. Kecuraman Gelombang (Steepness)


Kecuraman gelombang merupakan salah satu parameter paling penting.
Parameter ini menyatakan kecepatan kenaikan arus petir dalam setiap satuan waktu
(di/dt). Semakin besar nilai arus dalam setiap satuan waktu, berarti semain curam
bentuk gelombang arusnya dan makin

pendek durasi muka gelombang ( front

duration).

21

BAB III
SISTEM PROTEKSI PETIR

III.1. UMUM
Proteksi petir merupakan suatu usaha untuk melindungi suatu objek
dari bahaya yang diakibatkan petir, baik itu secara langsung maupun tak langsung.
Didasarkan pada tujuan atau sifat dari proteksi itu sendiri, proteksi
petir terdiri dari dua jenis yaitu : proteksi sambaran petir, dan proteksi tegangan
lebih petir. Prinsip kerja antara kedua jenis proteksi tersebut di atas tentu saja
berbeda.
Proteksi sambaran petir lebih bersifat pencegahan ( preventif ), sedang
proteksi tegangan lebih petir sifatnya tidak lagi mencegah tetapi mengurangi akibat
yang ditimbulkan oeh sambaran petir, dalam hal ini apabila jenis poteksi yang
pertama gagal melaksanakan fungsinya.

III.2.

SISTEM PROTEKSI PETIR


Berdasarkan cara kerjanya, sistem proteksi petir dapat dibagi menjadi dua,

yaitu :
1. Sistem dengan Penangkap Petir
Prinsip kerja sistem ini adalah:

Harus menyediakan titik pada ujung bangunan yang diamankan


untuk sasaran sambaran petir, dengan harapan petir akan menyambar
titik itu terlebih dahulu.

Harus menyediakan saluran untuk menyalurkan arus petir ke tanah

22

Harus menyediakan sistem pembumian untuk mendistribusikan arus petir


yang masuk ke tanah dengan merata agar tidak menimbulkan kerusakan
atau bahaya pada bagian dari bangunan atau pada manusia yang
sedang
berada di sekitarnya.

2. Sistem Disipasi ( Dissipation Array System )


Pada prinsipnya, DAS (Dissipation Array System) tidak bertujuan untuk
mengundang arus petir agar menyambar terminasi udara yang sudah
disediakan, melainkan membuyarkan arus petir agar tidak mangalir kedaerah
yang dilindungi.
Gambar berikut (Gambar 3.1.) menggambarkan konsep dari proteksi petir
sistem disipasi (DAS).

Gambar 3.1. konsep Dissipation Array System

23

Apabila awan bermuatan bergerak ke suatu daerah, maka akan menginduksi


muatan listrik diatas permukaan tanah ataupun bangunan di bawah awan
petir tersebut. Muatan yang terinduksi ini selanjutnya dikumplkan oleh
sistem pembumian DAS yang kemudian di angkut ke bentuk ion (ionizer)
dengan fenomena yang di sebut point discharge, yaitu setiap bagian
benda

yang runcing akan memindahkan muatan listrik hasil induksi ke

molekul udara disekitarnya bilamana titik temunya erada pada medan


elektrostatik. Ionizer akan menghimpun ribuan titik-titik bermuatan secara
individu dan sanggup untuk melepaskan muatan-muatan listrik hasil
induks i tadi secara optimal, dimana pada akhirnya dapat mengurangi
beda potensial antara awan dan udara disekitar ionizer. Dengan kata lain
medan listrik yang dihasilkan akan semakin kecil, sehingga memperkecil
kemungkinan udara untuk tembus listrik, sehingga terjadinya petir dapat
dihindari.
Berdasarkan tempatnya, sistem proteksi petir dapat dibagi menjadi dua
bagian, yaitu:
1. Proteksi Eksternal
Proteksi eksternal adalah instalasi dan alat-alat diluar suatu struktur untuk
menangkap dan menghantarkan arus surja petir ke sistem pembumian.
Proteksi eksternal petir berfungsi sebagai proteksi terhadap tegangan lebih
petir jika terjadi sambaran langsung ke sistem atau bangunan yang
dilindungi. Adapun hal-hal yang harus diperhatikan didala merencanakan
sistem proteksi petir eksternal adalah:

Macam, fungsi, dan bagan dari bangunan, ukur an denah


bangunan, bentuk, dan kemiringan atap.
24


Terminasi udara (air terminal) dimana jumlahnya haruslah cukup
untuk

memberikan daerah proteksi yang diinginkan


Konduktor penyalur (down conductor) haruslah mampu manyalurkan
arus petir yang diterima dari terminasi udara menuju bumi.

Pembumian (grounding) dimana resistensi pembumian <10


Ohm.

2. Proteksi Internal
Proteksi petir internal merupakan perlindungan terhadap sistem elektronika
didalam bangunan / gedung akibat tegangan lebih yang ditimbulkan
oleh induksi elektromagnetik akibat sambaran petir tak langsung. Walaupun
bangunan sudah dilindungi terhadap sambaran petir, beberapa kerusakan
pada peralatan listrik khususnya peralatan elektronika dapat disebabkan
karena masuknya surja imbas petir melalui kabel listrik dan kabel
komunikasi atau masuknya arus petir pada waktu terjadi sambaran langsung.
Sistem proteksi petir internal dapat terdiri dari satu jenis ataupun beberapa
alat-alat proteksi petir, antara lain:
Arrester : alat potong tegangan lebih pada peralatan
Shielding : konstruksi dinding dan lantai secara khusus untuk
menghilangkan induksi elektromagnetik
One point earthing system : pemasangan potensial aqualization
busbar yang berfungsi sebagai terminal pembumian
Penggunaan kabel optic sebagai pengganti kabel tembaga
pada instalasi listrik. Kabel optic tidak menyebabkan percikan antar
kabel
dan tidak terinduksi elektromagnetik
25

Penggunaan trafo isolasi untuk mentransformasikan arus besar yang


terjadi akibat sambaran petir ke jala-jala menjadi arus yang sangat
kecil
Oleh karena desain proteksi internal sangat bergantung pada instalasi
listrik / elektronika maka arsitektur dalam bangunan serta perencanaan
awal penggunaan bangunan harus diperhatikan.

III.3. HARI GURUH


Menurut definisi WMO (world Meteorological Organization), Hari Guruh
adalah banyaknya hari dimana terdengar Guntur paling sedikit satu kali dalam jarak
kira-kira 15 Km dari stasiun pengamatan.
Hari Guruh ini disebut juga Hari Badai Guntur (Thunderstorm Days). Data
meteorologi dari Badan Meteorologi dan Geofisika menunjukkan adanya beberapa
daerah di Indonesia

yang

jumlah Hari Badai Guntur per tahunnya cukup

tinggi, antara lain : sebagian daerah Sumatera Utara, daerah Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, dan daerah Irian Jaya dimana hari badai gunturnya lebih dari
100 hari per tahun.
Petir yang terjadi memiliki intensitas sambaran yang

harus selalu

diamati setiap periode untuk dapat memperkirakan faktor resiko sambaran pada
suatu wilayah, sehingga dapat diperikan kebutuhan bangunan akan proteksi petir.
Adapun hal-hal yang diperlukan didalam memperkirakan factor resiko sambaran
adalah :
1. Isokeraunic Level : jumlah hari sambaran per tahun
2

2. Lightning Strike Rate : jumlah sambaran ke tanah per Km per tahun.


Lightning Strike Rate / curah petir menentukan tingkat bahaya sambaran
26

pada suatu wilayah dan besarnya ditentukan oleh isokeraunic level. Nilai
lightning strike rate ini bervariasi secara signifikan, dihitung dari ratarata kerapatan annual yang dihitung dari observasi dalam satu periode
selama bertahun-tahun.

III.4. PROTEKSI TERHADAP SAMBARAN PETIR


Usaha pertama yang dilakukan dalam proteksi petir adalah mencegah agar
petir tidak menyambar objek yang dilindungi. Untuk itu dapat dilakukan dengan
dua cara atau prinsip; perama membentuk semacam tameng atau perisai bagi objek
yang dilindungi sehingga diharapkan nantinya bila ada petir tidak menyambar objek
melainkan menyambar tameng atau perisai tersebut. Kedua, memperkecil
kemungkinan terjadinya sambaran petir.

III.4.1. Penangkal Petir Konvensional


Teknik penangkal petir yang sederhana dan pertama kali dikenal
menggunakan prinsip yang pertama, yaitu dengan membentuk semacam tameng
atau perisai berupa konduktor yang akan mengambil alih sambaran petir. Penangkal
petir semacam ini biasanya disebut groundwires (kawat tanah) pada jaringan
hantaran udara, sedangkan pada bangunan-bangunan dan perlindungan terhadap
struktur, Benjamin Franklin memperkenalkannya dengan sebutan lightning rod.
Istilah ini tetap digunakan sampai sekarang di Amerika. Di Inggris dan beberapa
Negara di Eropa menggunakan istilah lightning conductor sedang di Rusia
disebut lightning mast. Istilah yang digunakan dalam

tugas akhir ini adalah

lightning conductor.
Contoh konstruksi penangkal petir konvensional jenis lightning conductor
27

ditunjukkan pada Gambar 3.2.

Gambar 3.2. penangkal petir konvensional

Penangkal petir konvensional sifatnya pasif, menunggu petir untuk


menyambar dengan mengandalkan posisinya

yang

lebih tinggi dari objek

sekitar serta ujung runcingnya agar pada saat step leader mendekat dan kuat medan
semakin besar maka upward streamer

dapat lebih cepat terbentuk mendahului

objek di sekitarnya.

III.4.2. Penangkal Petir Elektrostatik


Penangkal petir elektrostatik merupakan pengembangan terhadap penangkal
petir konvensional (lightning conductor). Prinsipnya sama, yaitu sebagai tameng
atau perisai yang mengambil alih sambaran petir. Perbedaannya terletak pada
28

bagaimana
cara mengalihkan sambaran petir tersebut. Contoh konstruksi penangkal petir
elektrostatik diperlihatkan pada Gambar 3.3.

Gambar 3.3. konstruksi salah satu dari jenis Elektrostatis

Prinsip penangkal petir elektrostatik didasarkan pada ion-ion yang


dihasilkan oleh dua elektroda pada ujung penangkal petir. Di bawah pengaruh
medan listrik antara awan dengan bumi, akan ada beda potensial di antara kedua
elektroda. Tegangan antara kedua elektroda ini dapat menyebabkan percikan
peluahan listrik membuat molekul-molekul udara di sekitar kedua elektroda
mengalalmi ionisasi sehingga mempercepat proses terbentuknya upward streamer
29

dari penangkal petir. Proses pembetukan upward streamer yang lebih awal
menyebabkan upward streamer yang terbentuk menjadi lebih tinggi dari kondisi
biasa pada penangkal petir konvensional. Oleh karena itu, penangkal petir
elektrostatik seolah-olah memiliki tinggi efektif perlindungan yang lebih tinggi dari
penangkal petir yag sebenarnya.

III.4.3. Dissipation Array Sistem (Lightning preventor)


Prinsip proteksi ini adalah memperkecil kemungkinan terjadinya sambaran
petir. Ide untuk mencegah sambaran petir telah lama ada, mulai sekitar tahun 1754
ketika seorang ilmuwan Ceko, Prokop Divisch, memasang 216 titik runcing pada
suatu rangka kayu setinggi 7,4 m. Titik-titik tersebut dirangkai terhubung satu sama
lain dan kemudia dibumikan. Beberapa tahun kemudian, Lichtenberg (1775)
memberikan suatu usulan yang menyatakan bahwa kemungkinan sambaran
petir pada suatu rumah dapat dicegah dengan memasang kawat berduri diatasnya.
Sebagaimana diketahui sambaran petir merupakan peluahan listrik. Peluahan
ini bias terjadi apabila kuat medan yang terjadi melebih meda tembus udara, artinya
ada beda potensial yang cukup tinggi antara awan bermuatan dengan bumi sehingga
kuat medannya juga cukup tinggi. Karena itu bila beda potensial makin rendah,
maka kemampuan awan untuk melepas muatan juga berkurang sebab kuat
medannya berkurang. Untuk membuat beda potensial tersebut berkurang, sistem
penangkal petirnya
kemampuan

dibuat

sedemikian

rupa

sehingga

mempunyai

untuk melepaskan muatan dari benda yang di proteksi ke udara

sekitarnya. Sistem penangkal petir (lightning preventor) sepert ini dikenal dengan
sebutan Dissipation Array System (DAS) atau Charge Transfer System (CTS),
30

contoh kostruksinya
diperlihatkan pada Gambar 3.4.

Gambar 3.4. Dissipation Array System

Teknologi DAS atau CTS memanfaatkan prinsip Point Discharge


sebagai titik perpindahan muatan (Charge Transfer) dari banyak ujung runcing,
dimana tiap bagian benda yang runcing tersebut akan melepas muatan ke udara
sekitar. Hal ini disebabkan karena ujung-ujung runcing tersebut berada dalam meda
yang cukup kuat sehingga mampu mengionisasi molekul-molekul udara di
sekitarnya.
Selanjutnya R.H. Golde mengajukan suatu konsep bentuk seperti paying
dengan ujung-ujung runcing dipermukaannya. Konsep Golde ini memberikan
31

bentuk yang lebih cermat dalam membuat medan yang seragam disekitar
penangkal petir atau dibawah awan badai dengan memanfaatka efek elektrostatik
lingkungan sekitar titik-titik atau ujung runcing tersebut. Jika semua titik berada
pada posisi yang tepat dengan sudut pandang medan E yang keluar, maka seluruh
medan disekitar tiik-titik tersebut akan merata tersebar sehingga efek yang
timbul pada saat step leader
mendekat menjadi tidak ada.

III.5. PROTEKSI TERHADAP TEGANGAN LEBIH PETIR


Sambaran petir dapat menyebabkan tegangan lebih, hal ini karena sambaran
petir merupakan peristiwa pelepasan muatan artinya pada saat petir menyambar
suatu objek berarti pada objek itu telah disuntikkan sejumlah muatan yang
berasal dari petir sehingga tegangan pada objek tersebut naik melebihi yang
seharusnya. Fenomena ini paling berbahaya bila terjadi pada peralatan-peralatan
listrik yang memiliki tegangan kerja terbatas. Contohnya pada jaringan hantaran
udara.
Smbaran petir pada ;jaringan hantaran udara memberikan suntikan muatan
listrik. Suntikan muata ini menimbulkan kenaikan tegangan pada jaringan,
sehingga di jaringa timbul tegangan lebih berbentuk gelombang impuls yang
merambat di sepanjang jaringan menuju ujug-ujung jaringan. Tegangan lebih
akibat petir ini sering disebut surja petir (lightning surge).
Jika tegangan lebih surja petir tiba di suatu peralatan listrik, transformator
misalnya, maka tegangan lebih tersebut akan merusak isolasi peralatan. Oleh karena
itu perlu dibuat suatu alat pelindung agar tegangan surja yang tiba di peralatan tidak
32

memlebihi kekuatan isolasi peralatan. Pada keadaan tegangan jaringan normal,


pelindung

berperan sebagai

isolasi, tetapi jika ada surja petir tiba pada

terminal pelindung maka pelindung berubah sifat menjadi penghantar dan


mengalirkan muatan surja petir tersebut ke tanah.
Ada dua macam alat pelindung dalam sistem tenaga listrik, yaitu Sela Batang
(Rod Gap) dan Arrester. Arrester itu sendiri terdiri dari dua jenis, yaitu jenis Ekspulsi
(Expulsion type) atau sering disebut tabung pelindung (Protector Tube) da
arrester jenis Katup (Valve type).

III.5.1. Sela Batang (Rod Gap)


Sela batang merupakan alat pelindung surja yang paling sederhana dan
relative murah, tetapi kuat dan kokoh. Konstruksi diperlihatkan pada Gambar
3.5. jika beda potensial diantara sela naik akibat tegangan lebih surja hingga
melebihi tegangan tembus sela, maka akan terjadi percikan pada sela dan membuat
sela terhubung singkat. Jarak sela dibuat sedemikian hingga dapat terpercik pada
nilai tegangan yang diinginkan.

33

Gambar 3.5. Konstruksi Sela Batang

Sela batang ini jarang digunakan pada rangkaian yang penting karena
beberapa kelemahannya sehingga kurang dapat memenuhi persyaratan dasar suatu
alat

pelindung yang sebenarnya. Sela batang biasanya digunakan pada

isolator
bushing trafo, isolator hantaran udara, pemutus daya dan sebagai
pelindung cadangan. Beberapa kelemahan sela batang adalah:

Tidak dapat memutuskan arus susulan, sehingga apabila sela bekerja akan
terjadi pemutusan aliran daya sistem

Sela batang tidak dapat berfungsi jika gelombang surja yang datang memiliki
muka yang curam

Kerja sela batang sangat dipengaruhi oleh kondisi udara sekitar karena
media pengantara sela adalah udara yang tegangan tembusnya tergantung
pada suhu, tekanan dan kelembaban.

III.5.2. Arrester Ekspulsi


Konstrksi suatu arrester jenis ekspulsi di tunjukkan pada Gambar 3.6.
Arrester ini mempunyai dua jenis sela, yaitu sela dalam dan sela luar. Sela dalam
ditempatkan dalam suatu tabungserat (fiber tube) yang dapat mengeluarkan gas. Bila
terminal arrester diterpa suatu surja petir, maka kedua sela akan terpercik.

34

Gambar 3.6. Arrester Ekspulsi

Arus susulan yang terjadi akan memanaskan permukaan dalam tabung serat.
Akibatnya tabung mengeluarka gas. Arus susulan merupakan arus sinusoidal
sehingga pada periode tertentu akan mencapai nilai nol. Saat arus susulan mencapai
nol, gas akan memadamkan arus susulan tersebut. Tetapi pemadamannya
masih tergantung pada tingkat arus hubung singkat di lokasi penempatan arrester .
karena itu, perlindungan dengam arrester jenis ini juga masih belum begitu
memadai.

III.5.3. Arrester Katup


Konstruksi arrester jenis katup diperlihatkan pada Gambar 3.7. Arrester ini
terdiri dari beberapa sela percik yang terhubung seri dengan resistor nonlinier. Resistor non-linier mempunyai tahanan yang rendah saat dialiri arus
tinggi dan mempunyai tahanan yang tinggi saat dialiri arus rendah.

35

Gambar 3.7. Arrester Katup

Sela percik

dan resistor

non-linier,

keduanya di

tabung isolasi tertutup, sehingga kerja arrester

ini tidak

tempatkan dalam
dipengaruhi oleh

keadaan udara sekitar. Jika surja petir tiba pada terminal arrester dan membuat
sela arrester terpercik, maka rangkaian ekivalen arrester adalah seperti ditunjukkan
pada Gambar
3.8.a. Tegangan pada terminal arrester saat mengalirkan arus surja adalah:
Vt

= Is x R

dimana is = arus surja


R = tahanan resistor non-linier.

36

Gambar 3.8. Rangkaian Ekivalen dan Karakteristik Arrester Katup


Misalkan karakteristik resistor non-linier adalah seperti Gambar 3.8.b.
dan arus surja yang mengalir pada arrester adalah seperti Gambar 3.8.c. Dalam
selang waktu antara 0 - t1, arus surja naik dan mencapai nilai puncak is = ip. Dalam
selang waktu ini tahanan R mengecil, sehingga kenaikan tegangan terminal arrester
dibatasi hanya sampai Va. seandainya tahanan resistor R konstan, maka saat arus
surja mencapai nilai puncak, tegangan di terminal arrester adalah Vt

V1.

Artinya tegangan sistem tetap tinggi sehingga tujuan perlindungan tidak tercapai.
Dalam selang waktu t1 t2 arus surja menurun sehingga tahanan resistor R
membesar. Saat arus surja menjadi nol, masih tersisa arus susulan yang relative
kecil. Arus susulan ini juga akan

semakin kecil karena tahanan R semakin

membesar, akhirnya tersisa arus kecil yang disebut arus kendali. Ketika tegangan
sesaat sistem nol percikan pada sela padam sehingga arus kendali menjadi nol dan
tidak berlanjut
lagi.

BAB IV
PROTEKSI BANGUNAN TERHADAP BAHAYA PETIR

37

IV.1. UMUM
Keadaan geografis yang dekat ke khatulistiwa menyebabkan Indonesia
termasuk sebagai wilayah yang memiliki hari gur uh pertahun (Thunderstorm
Days) tinggi dengan jumlah sambaran petir yang banyak sehingga memungkinkan
banyak terjadi bahaya dan kecelakaan akibat sambaran petir.
Sambaran petir dapat menimbulkan gangguan pada sistem tenaga listrik.
Pada bangunan atau gedung bertingkat, efek gangguan akibat sambaran petir ini
semakin besar sesuai dengan semakin tinggi dan luasnya areal bangunan tersebut.
Penyebab dari kerusakan-kerusakan

yang diakibatkan oleh sambaran petir,

terutama adalah besar (amplitudo) dari arus petir berkisar antara 5 sampai 200
kA. Kerusakan- kerusakan pada bangunan yang tersambar dapat berupa kerusakan
thermis, misalnya bagian yang tersambar terbakar, dan dapat pula berupa kerusakan
mekanis, misalnya bagian atap bangunan retak atau tembok bangunan retak atau
runtuh.
Bila terjadi aktivitas pengumpulan atau

pembentukan

muatan pada

awan, maka induksi muatan dengan polaritas yang berlawanan terjadi di permukaan
bumi. Pada penangkal petir, ujungnya di buat runcing dengan tujuan agar saat
terjadi penumpuka n muatan di awan, ujung yang runcing itulah yang pertama
terinduksi. Dengan demikian di harapkan petir akan menyambar ujung batang
penangkap petir terlebih dahulu karena sifat muatan listrik dari petir yang
selalu mencari daerah konduktif dan yang kuat medan listriknya tinggi. Penangkap
petir dihubungkan dengan konduktor pembumian yang akan meneruskan arus petir
ke bumi dan kemudian disebarkan oleh elektroda pembumian.

IV.2. BESARNYA KEBUTUHAN BANGUNAN AKAN SISTEM PROTEKSI


38

PETIR
Kebutuhan bangunan akan proteksi petir ditentukan dengan cara klasifikasi
area tempat bangunan atau dengan perhitungan menggunakan parameter hari guruh
dimana gedung itu berada dan koefisien-koefisien lain yang diperlukan
tergantung dari standar yang di pilih atau digunakan.
Suatu instalasi proteksi petir harus dapat melindungi semua bagian dari suatu
bangunan, termasuk manusia dan peralatan yang ada didalamnya terhadap
bahaya dan kerusakan akibat sambaran petir. Di dalam tilisan ini akan di bahas
penentuan besar kebutuhan bangunan akan proteksi petir menggunakan standar
Peraturan Umum Instalasi Penangkal Petir (PUIPP), Standar Nasional Indonesia
(SNI 03-70152004).
Instalasi-instalasi bangunan yang berdasarkan letak, bentuk, penggunaannya
dianggap mudah terkena sambaran petir dan perlu diberi penangkal petir adalah :
1. Bangunan-bangunan

tinggi,

seperti

menara-menara,

gedung-gedung

bertingkat, cerobong-cerobong pabrik


2. Bangunan-bangunan penyimpanan bahan mudah terbakar atau meledak
misalnya seperti pabrik amunisi, gudang penyimpanan bahan peledak,
gudang penyimpanan cairan atau gas yang mudah terbakar, dan lain-lain
3. Bangunan-bangunan

untuk

umum,

misalnya

gedung-gedung

bertingkat, gedung pertunjukan, gedung sekolah, stasiun, dan lain-lain


4. Bangunan-bangunan yang berdasarkan fungsi khusus perlu dilindungi secara
baik, misalnya museum, gedung arsip Negara, dan lain-lain.

IV.2.1. Menurut Standar PUIPP


39

Besarnya kebutuhan suatu bangunan akan suatu instalasi penangkal petir


ditentukan oleh besarnya kemungkinan kerugian serta bahaya yang di timbulkan
bila bangunanan tersebut tersambar petir
Besarnya

kebutuhan

berdasarkan indeks-indeks

tersebut
yang

dapat

menyatakan

ditentukan

secara

empiris

factor-faktor

tertentu

seperti

ditunjukan pada lampiran A dan merupakan penjumlahan (R) dari indeks-indeks


tersebut. Sehingga di dapat perkiraan bahaya akibat sambaran petir (R) adalah :
R=A+B+C+D+E

(3)

Dimana
A

: Bahaya berdasarkan jenis bangunan

: Bahaya berdasarkan konstruksi bangunan

: Bahaya berdasarkan tinggi bangunan

: Bahaya berdasarkan situasi bangunan

: Bahaya berdasarkan hari guruh yang terjadi

Apabila menurut data-data yang ada dimassukkan ke dalam persamaan diatas,


maka selanjutnya dapat di ambil kesimpulan mengenai perlu atau tidaknya sistem
proteksi petir eksternal digunakan. Jika nilai nilai R > 13, maka bangunan tersebut
dianjurkan menggunakan sistem proteksi petir. (Besar indeks dapat di lihat pada
lampiran A).
Jelas bahwa semakin besar nilai R, semakin besar pula bahaya serta
kerusakan yang ditimbulkan oleh sambaran petir, berarti semakin besar
pula
kebutuhan bangunan tersebut akan adanya suatu sistem penangkal
petir.

40

IV.2.2. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI 03-70152004)


Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 03-7015-2004), pemilihan
tingkat proteksi yang memadai untuk suatu sistem proteksi petir berdasarkan pada
frekuensi sambaran petir langsung setempat (Nd) yang diperkirakan ke struktur yang
di proteksi dan frekuensi sambaran petir tahunan setempat (Nc) yang diperbolehkan.
Kerapatan kilat petir ketanah atau kerapatan sambaran petir ke tanah rata-rata
tahunan di daerah tempat suatu struktur barada dinyatakan sebagai :
Ng = 0,04 x Td

1,25

/ km / tahun

(4)

Diman Td adalah jumlah hari guruh per tahun yang diperoleh dari data isokeraunic
level di daerah tempat struktur yang akan di proteksi yang dikeluarkan oleh Badan
Meteorologi dan Geofisika (BMG).
Frekuensi rat-rata tahunan sambaran petir langsung Nd ke bangunan dapat di
hitung :
-6

Nd = Ng x Ae x 10 / tahun

(5)
2

Dimana Ae adalah area cakupan ekivalen dari bangunan (m ) yaitu daerah


permukaan tanah yang di anggap

sebagai struktur yang mempunyai frekuensi

sambaran langsung tahunan.


Adapun area cakupan ekivalen (Ae) tersebut dapat di hitung
berdasarkan persamaan di baawah ini :
2

Ae = ab + 6h (a+b) + 9 h

(6)

Dimana :
a : panjang dari bangunan tersebut

(m)

b : lebar dari bangunan tersebut

(m)
41

42

h : tinggi bangunan yang di proteksi

(m)

pengambilan keputusan perlu atau tidaknya memasang sistem proteksi


petir pada bangunan berdasarkan perhitungan Nd dan Nc dilakukan sebagai berikut :
a. Jika Nd Nc tidak perlu ssitem proteksi
b. Jika Nd > Nc diperlukan sistem proteksi petir dengan efisiensi :
E = 1 Nc / Nd

(7)

Maka setelah di hitung nilai E (efisiensi Sistem Proteksi Petir) sesuai dengan
persamaan (7), setelah itu dapat ditentukan tingkat proteksinya sesuai dengan
tingkat proteksi table 4.1.
Tabel 4.1. Efisiensi Sistem Proteksi Petir
Tingkat Proteksi

Efisiensi SPP

0,98

II

0,95

III

0,90

IV

0,80

Setelah diketahui tingkat proteksi berdasarkan table 4.1, maka

dapat

ditentukan sudut proteksi () dari penempatan suatu terminasi udara, radius bola
yang di pakai, maupun ukuran jala (konduktor horizontal) sesuai dengan tabel 4.2.
di bawah ini :

Tabel 4.2. Daerah Proteksi dari Terminasi Udara sesuai dengan tingkat proteksi

Tingkat
proteksi

H (m)
R (m)

20

30

45

60

Lebar
Jala (m)

20

25

II

30

35

25

10

III

45

45

35

25

15

IV

60

55

45

35

25

20

Hanya menggunakan metode bola bergulir dan jala dalam kasus ini

IV.3. PRINSIP PROTEKSI TERHADAP SAMBARAN PETIR


DENGAN MENGGUNAKAN LIGHTNING CONDUCTOR
Prinsip utama proteksi terhadap sambaran petir menggunakan lightning
conductor aalah mengalihkan sambaran petir ke lightning conductor sehingga tidak
menyambar objek yang di proteksi. Sebagai alat proteksi, ada dua fungsi
utama lightning conductor pada posisi ini; pertama sebagai tameng atau perisai,
dan kedua
sebagai pemberi jalan termudah untuk disambar petir.

Gambar 4.1. prinsip proteksi terhadap sambaran petir dengan menggunakan


lightning conductor
Sebagaimana terlihat pada gambar 4.1.a, ketika step leader turun mendekati
bumi, maka pada saat itu pembentukan upward streamer dari lightning conductor
lebih cepat dan lebih tinggi daripada benda yang di proteksi. Hal ini terjadi karena

posisi lightning conductor yang lebih tinggi da lebih runcing sehingga muatan yang
terkumpul

juga kemungkinan lebih banyak dan lebih cepat. Pada tahap ini,

lightning conductor bersifat mengorbankan diri sebagai

jalan termudah bagi

step leader untuk melepaskan muatan membentuk sambaran petir yang sempurna.
Kemudian pada gambar 4.2.b, karena upward streamer dari lightning
conductor

lebih tinggi, maka kemungkinan untuk lebih dahulu tersentuh atau

masuk ke zona jarak sambaran lebih besar, sehingga pertemuan antara upward
streamer dari
lightning conductor dengan step leader terjadi lebih dahuludan sambaran petir yang
terjadi menyambar lightning conductor. Pada tahap ini

lightning conductor

berfungsi sebagai tameng atau perisai yang mengambil alih sambaran petir.
Selanjutnya, muatan yang d i lepaskan saat sambaran ini dialirkan kebumi melalui
elektroda pentanahan sehingga tidak merusak objek yang

dilindungi sampai

akhirnya sambaran petir berhenti.

IV.4. ZONA PROTEKSI LIGHTNING CONDUCTOR


Istilah zona proteksi diguanakan untuk menyatakan lingkup proteksi
lightning conductor, yaitu seberapa banyak suatu daerah yang dapat di cakup oleh
lightning conductor sehingga pada daerah tersebut memiliki kemungkinann yang
keci untuk disambar petir. Posisi lightning conductor yang vertikal membuat
tampak atasnya hanya berupa suatu titik, sehingga bila, step leader mendekati
lightning conductor dari arah manapun akan mengalami reaksi yang sam ( tanpa
kondisi khusus ).
Hal ini menggambarkan secara umum bahwa perilaku lightning conductor
dalam melindungi daerahnya cenderung untuk membentuk suatu lingkup volum
dengan

lightningconductor

sebagai

sumbu.

Beberapa

pendapat

mengenai
bentuk volume zona proteksi lightning conductor terliha pada gambar

peneliti

4.2.

Gambar 4.2. beberapa teori tenteng zona proteksi Lightning


Conductor

Bidang dasar zona proteksinya merupakan suatu lingkaran dengan lightning


conductor sebagai titik pusat. Oleh sebab itu, untuk menyatakan kemampuan
proteksi lightning conductor digunakan sebutan Radius Proteksi atau

jari-

jari proteksi, yaitu jarak terluar ( terjauh ) dari pusat lingkaran yang masih dapat
dilindungi oleh lightningconductor. Sebagaimana terlihat pada gambar 4.2. diatas,
gambaran zona proteksi Razevig cukup lengkap dan dapat dinyatakan dengan
persamaan berikut:

di mana:

rx = radius proteksi
hx = tinggi maksimum objek yang di proteksi

h = tinggi total penangkal petir

Dari

persamaamn

proteksiberubah-ubah

diatas,

terlihat

mengikut i

bahwa

perubahahan

menurut
tinggi

Razevig

benda

radius

yang

di

proteksi. Ssementara untuk peneliti lain tidak ada keterangan yang menjelaskan
lebih lanjut mengenai radius proteksi ini. Bahkan beberapa peneliti yaitu Anderson
(1879), lodge (1892), Walter (1937) memberikan kesimpulan bahwa tidak ada
kekhususan atau hal khusus yang dapat menggambarkan secara lengkap mengenai
zona proteksi lightning conductor.

IV.5. RANCANGAN SISTEM TERMINASI UDARA MENURUT SNI 037015-2004


Untuk menentukan penempatan terminasi udara dan untuk mengetahui
daerah proteksi, maak tulisan ini menggunakan metode-metode yang terdapat di
dalam SNI
03-7015-2004, yaitu :
1. Metode sudut proteksi (Protective Angle Method)
2. Metode bola bergulir (Rolling Sphere Method)
3. Metode jala (Mesh Sized Method)
Metode proteksi sebaiknya dipilih oleh perancang proteksi petir
dengan pertimbangan sebagai berikut :

a.

Metode sudut proteksi (Protective Angle Method) cocok untuk


bangunan gedung atau bagian kecil dari bangunan gedung yang
lebih besar. Metode ini tidak cocok untuk bangunan gedung yang lebih
tinggi dari radius bola gulir yang sesuai dengan tingkat proteksi
sistem proteksi petir (SPP) yang dipilih

b. Metode bola gulir (Rolling Sphere Method) cocok untuk bentuk


bangunan gedung yang rumit
c. Metode jala (Mesh sized method) dipakai untuk keperluan umum dan
khususnya cocok untuk proteksi struktur dengan permukaan datar.
Dilihat dari ketiga metode diatas, maka di dalam perencanaan terminasi
udara pada bangunan, ketiga metode diatas dapat dikombinasikan untuk membentuk
zona proteksi dan meyakinkan bahwa bangunan tersebut terproteksi seluruhnya.
Standar SNI ini tidak memberikan kriteria untuk pemilhan ssitem terminasi
udara karena dianggap batang, kawat rentang, dan konduktor jala adalah sama.
Dipertimbangkan bahwa :
1.

Tinggi batang terminasi udara sebaiknya antara 2-3 meter untuk


mencegah peningkatan frekuensi sambaran petir langsung

2.

Rentangan kawat dapat digunakan dalam semua kasus sebelumnya dan


untuk bentuk bangunan yang rendah (a/b > 4, dimana a : panjang bangunan,
dan b : lebar bangunan)

3. Sistem terminasi udara terdiri dari jala konduktor untuk keprluan umum.
Adapun ukuran minimum bahan SPP (Sistem Penangkal Petir) yang
dipakai di dalm standar ini untuk penggunaan terminasi udara adalh dapat dilihat
pada table 4.3.
Tabel 4.3. Dimensi minimum bahan SPP untuk penggunaan terminasi udara
Tingkat Proteksi

I sampai IV

Bahan

Terminasi udara (mm )

Cu

35

Al

70

Fe

50

IV.5.1. Metode Sudut Proteksi (Angle Protection Method)

Daerah yang diproteksi adalah daerah yang berada di dalam kerucut


dengan sudut proteksi sesuai dengan tabel 4.2.
Pada metode dengan metode sudut

proteksi ini,

terminasi udara

dipasang pada setiap bagian dari struktur bangunan yang dilindungi yang tidak
tercakup pada daerah proteksi yang dibentuk. Nilai sudut yang terbentuk sebagai
daerah proteksi adalah bergantung dari ketinggian terminasi uadara (rod/mast)
dari daerah yang diproteksi.
Metode sudut proteksi secara geometris mempunyai keterbatasan dan tidak
digunakan untuk bangunan/gedung yang lebih tinggi dari radius bola gulir
yang ditentukan dalam tabel 4.2.
Konduktor terminasi udara sebaiknya ditempatkan sedemikian sehingga
semua bagian bangunan gedung yang diproteksi berada diselah dalam permukaan
selubung yang dihasilkan oleh proyeksi titik-titik dari konduktor terminasi udara
ke
bidang referensi, dengan sudut ke garis vertikal dalam semua arah. Rancangan
terminasi udara menggunakan metode sudut proteksi ini dapat dilihat pada
gambar .. (dianggap bangunan mempunyai panjang dan lebar yang sama).

Keterangan:

Keterangan:

1 : Tiang terminasi udara

1 : Tiang terminasi udara

2 : bangunan yang di proteksi

2 : bangunan yang di proteksi

3 : bidang referensi

3 : bidang referensi

4 : sudut proteksi yang di bentuk sesuai tabel 2

4 : sudut proteksi yang di bentuk sesuai tabel 2

Gambar 4.3.Daerah proteksi tampak depan


samping

Keterangan

Gambar 4.4. Daerah proteksi tampak

1. Terminasi udara
2.Bangunan yang di proteksi

Gambar 4.5. Daerah proteksi tampak atas

IV.5.2. Metode Bola Bergulir (Rolling Sphere method)


Metode bola bergulir baik digunakan pada bangunan yang bentuknya rumit.
Dengan metode ini seolah-olah ada suatu bola dengan radius R yang bergulir diatas
tanah, sekeliling struktur dan di atas struktur ke segala arah hingga bertemu dengan
tanah atau struktur yang berhubungan dengan permukaan bumi yang mampu
bekerja sebagai penghantar (gambar 4.6.). titik sentuh bola bergulir pada struktur
yang dapat disambar

petir

dan pada titik

tersebut

harus diproteksi oleh

konduktor terminasi udara. Semua petir yang berjarak R dari ujung penangkap
petir akan mempunyai kesempatan yang sama untuk menyambar bangunan.

Gambar 4.6. Daerah proteksi dengan metode bola bergulir

Metode bola gulir (rolling sphere) ini sebaiknya digunakan untuk


mengidentifikasi ruang yang terproteksi dari bagian atau luasan bangunan/gedung
yang tidak tercakup oleh metode sudut proteksi (angle protection method).
Dengan metode ini, penempatan sistem terminasi udara dianggap memadai
jika tidak ada titik pada daerah yang diproteksi tersentuk oleh bola gulir
dengan radius R, di sekeliling dan diatas bangunan/gedung kesemua arah. Untuk itu,
bola hanya boleh menyentuh tanah atau sistem terminasi udara.
Radius bola gulir harus sesuai dengan tingkat proteksi SPP (Sistem Proteksi
Petir) yang dipilih menurut tabel 4.1. Pada gambar diatas, bola dengan radius R
digulirkan sekeliling dan diatas bangunan/gedung hingga bertemu dengan bidang
tanah atau bangunan/gedung permanen atau obyek yang berhubungan dengan
bidang bumi yang mampu bekerja sebagai konduktor petir. Titik sentuh bola gulir
pada bangunan/gedung merupakan titik yang dapat disambar petir dan pada titik
tersebut harus diproteksi oleh konduktor terminasi udara.

IV.5.3. Metode Jala (Meshed Sized Method)


Metode ini digunakan untuk keperluan permukaan yang datar karena bisa

dilindungi seluruh permukaan

bangunan.

Daerah yang

diproteksi adalah

keseluruhan daerah yang ada didalam jala-jala (Gambar 4.7.). Ukuran jala sesuai
tingkat proteksi dapat dipilih pada tabel 4.2.

Gambar 4.7. Daerah Proteksi dengan metode jala


Untuk keperluan perlindungan permukaan yang datar, SPP (Sistem Proteksi
Petir) jala diyakini melindungi seluruh permukaan jika dapat memenuhi
kondisi berikut:
a. Konduktor terminasi udara ditempatkan pada:

Garis pinggir sudut atap

Serambi atap

Garis bubungan atap jika kemiringan lebih dari 1/10

b. Permukaan samping pada bangunan/gedung yang tingginya lebih dari


radius bola gulir yang relevan dengan tingkat proteksi yang dipilih sesuai
tabel 4.2 harus dilengkapi dengan sistem terminasi udara.
c. Dimensi jala pada jaringan terminasi udara tidak lebih dari nilai
yang diberikan dalam tabel 4.2.
d. Jaringan sistem terminasi udara disempurnakan sedemikian rupa hingga arus
petir akan selalu mengalir melalui dua lintasan logam berbeda, tidak boleh
ada instalasi logam menonjol keluar dari volume yang dilindungi
oleh sistem terminasi udara.

e. Konduktor terminasi udara harus mengikuti lintasan terpendek


yang dimungkinkan.

IV.6. KONDUKTOR PENYALUR (DOWN CONDUCTOR)


Konduktor penyalur (down coductor) adalah bagian dari sistem proteksi
eksternal yang dimaksudkan untuk melewatkan arus petir dari sistem terminasi
udara ke sistem pembumian.
Konduktor penyalur perlu merancang agar tidak menimbulkan induksi
terhadap peralatan-peralatan listrik yang terdapat di dalam ataupun di sekitar
bangunan atau gedung yang diproteksi. Pemilihan jumlah dan posisi konduktor
penyalur sebaiknya memperhitungkan kenyataan bahwa jika arus petir dibagi.
Adapun ukuran minimum bahan SPP (Sistem Penangkal Petir) dipakai di
dalam standar ini untuk penggunaan konduktor penyalur (down conductor) adalah
dapat dilihat pada tabel 4.4.
Tabel 4.4. Dimensi minimum bahan SPP untuk penggunaan konduktor penyalur
Konduktor Penyalur
Tingkat Proteksi

Bahan

(mm )

I sampai IV

Cara

penempatan

Cu

35

Al

70

Fe

50

konduktor

penyalur

dengan

melihat

kondisi

bangunan/gedung yang diproteksi:


1.

Jika

dinding

terbuat

dari

bahan

yang

tidak

mudah

terbakar,

konduktor penyalur dapat ditempatkan pada permukaan atau di dalam


dinding tersebut.
2.

Jika dinding terbuat dari bahan yang mudah terbakar, konduktor

penyalur dapat ditempatkan pada permukaan dinding, asalkan kenaikan suhu


karena lewatnya arus petir tidak berbahaya untuk bahan dinding.
3.

Jika dinding terbuat dari bahan yang mudah terbakar dan kenaikan
suhu konduktor penyalur berbahaya, maka konduktor penyalur harus
ditempatkan sedemikian sehingga jarak antara konduktor penyalur

dengan

ruang terproteksi selalu lebih besar dari 0.1 m. Braket pemasangan yang
terbuat dari logam boleh melekat pada dinding.

IV.7. SISTEM TERMINASI BUMI (GROUNDING SYSTEM)


Sistem terminasi bumi (grounding network) perlu dirancang sedemikian
rupa sehingga memperkecil tegangan sentuh dan tegangan langkah sehingga aman
bagi manusia dan peralatan yang terdapat di sekitar daerah yang di proyeksi.
Guna mengalirkan arus petir ke bumi tampa menyebabkan tegangan
lebih yang berbahaya, maka bentuk dan dimensi sistem terminasi bumi lebih
pentingdari nilai

spesifik

elektroda

bumi.

Namun

pada

umumnya

di

rekomendasikan resistansi
bumi yang rendah.
Sistem terminasi bumi terdiri dari satu atau lebih elektroda bumi yang
dianggap mampu mengalirkan arus petir ke tanah tampa adanya lompatan tegangan
yang berbahaya. Adapun jenis-jenis elektroda bumi yang digunakan adalah:
1. Elektroda cincin (ring)
2. Elektroda tegak/miring
3. Elektroda radial
4. Elektroda bumi pondasi.
Sejumlah konduktor yang terdistribusi secara merata lebih disukai dari pada
sebuah konduktor bumi tunggal yang panjang karena konduktor bumi yang lebih
dari satu ini, maka pada saat salah satu konduktor tersebut mengalami kegagalan di

dalam menyalurkan arus petir ke bumi, maka arus petir akan tetap mengalir ketanah
melalui konduktor pembumian yang lain.
Panjang minimum elektroda bumi berkaitan dengan tingkat proteksi untuk
bermacam-macam resistivitas tanah dapat di lihat pada lampiran C. namun
elektroda bumi yang tertanam dalam akan efektif jika resistivitas tanah menurun
sesuai dengan kedalam tanah. Apabila resistivitas tanah yang diinginkan terdapat
pada kedalaman yang lebih dalam dari pada elektroda batang, maka elektroda
tersebut biasanya di tanam.
Terdapat dua jenis dasar susunan elektroda bumi untuk sistem terminasi
bumi yaitu:
1. Susunan Jenis A

Jenis susunan ini terdiri dari elektroda radial atau tegak.

Masing-masing konduktor penyalur harus dihubungkan dengan


sekurang-kurangnya satu elektrode bumi terpisah yang terdiri
dari elektroda radial atau tegak/miring.

Jumlah minumum elektroda bumi haruslah dua.

Panjang minimum masing-masing elektroda


adalah: L1

untuk elektroda mendatar

radial
0,5 L1 untuk elektroda tegak/miring
L1

adalah panjang minimum elektroda radial

yang diperlihatkan pada bagian yang relevan pada lampiran C.

Pada tanah dengan resistivitas rendah, panjang minimum yang


dinyatakan pada lampiran C dapat diabaikan dengan syarat resistansi
bumi lebih kecil dari 10 ohm dapat dicapai.

Untuk elektroda kombinasi sebaiknya dipertimbangkan panjang total.

2. Susunan Jenis B

Untuk elektroda bumi cincin (atau elektroda bumi pondasi),


radius rata-rata r dari daerah yang dicakup oleh elektrode bumi
cincin (atau elektroda bumi pondasi) tidak boleh lebih kecil dari nilai
L1.
(8)

Jika nilai L1 yang di isyaratkan lebih besar dari nilai r yang


tepat, maka elektrode radial atau tegak/miring harus ditambahkan
dimana
masing-masing panjang Lr (mendatar) dan Lv (tegak/miring) diberikan
oleh persamaan berikut:

Syarat-syarat pemasangan elektroda bumi adalah sebagai berikut:


1.

Elektroda bumi cincin eksternal sebaiknya ditahan pada


kedalaman paling sedikit 0,5 M tetapi tidak kurang dari 1 M terhadap
dinding.

2. Elektroda bumi harus dipasang diluar ruang terproteksi dengan


kedalaman sekurang-kurangnya 0.5 M dan didistribusikan secara
mungkin untuk mengurangi efek kopling listrik dalam bumi.
3.

Elektroda bumi cincin dipasang dengan jarak minimal sekitar 3


meter dan cincin pertama dan seterusnya tergantung dari beberapa
keekonomisan yang terjadi.

4.

Kedalam dan jenis elektrode bumi yang harus ditanam


sedemikian sehingga mengurangi efek korosi, pengeringan dan
pembekuan tanah sehingga resistansi bumi menjadi stabil.

5. Direkomendasikan untuk daerah cadat padat hanya menggunakan

susunan pembumian jenis B.

Adapun ukuran minimum bahan SPP (Sistem Penangkal Petir) yang


dipakai di dalam standar ini untuk terminasi bumi adalah dapat dilihat pada tabel
4.5.

Tabel 4.5. Dimensi minimum bahan SPP untuk penggunaan terminasi bumi
Konduktor Penyalur
Tingkat Proteksi

Bahan

(mm )

I sampai IV

IV.8

Cu

50

Al

Fe

80

PEMILIHAN BAHAN
Bahan SPP dan kondisi pemakaiannya adalah seperti dalam tabel 4.6.

Tabel 4.6.. Bahan SPP dan kondisi penggunaan


Penggunaan

Korosi

Dalam
Bahan

Dalam

Dalam

udara

Meningkat

Elekrolitik

oleh

dengan

Resistan
tanah

beton

terbuka
Klorida
Padat

Padat

berserabut

berserabut

Tembaga

konsentrasi
Terhadap

tinggi

sebagai

sebagai

pelapis

pelapis

banyak bahan

senyawa
sulfur bahan
organik

Baja

Padat

Padat

Padat

Baik,

tembaga

58

galvanis

berserabut

walaupun

panas

dalam tanah
asam
Air dengan

Stainless

Padat

Terhadap
Padat

steel

standed

larutan

banyak bahan
klorida

Padat
Alumanium

Agen basis

Tembaga

Tanah asam

tembaga

berserabut

Lead

Padat

Padat

sebagai

sebagai

pelapisan

pelapisan

Sulfat
-

konsentrasi
tinggi

Adapun hal-hal yang harus diperhatikan di dalam pemilihan bahan SPP adalah:

SPP sebaiknya terbuat dari bahan yang tahan terhadap korosi


seperti tembaga, alumanium, inox, dan baja galvanis.

Sambungan antara bahan yang berbeda harus dihindarkan


ataupun harus dilindungi.

Bagian dari tembaga seharusnya tidak dipasang diatas bagian galvanis


kecuali
bagian tersebut dilindungi terhadap korosi.

59

BAB
V
STUDI TENTANG SISTEM PENANGKAL PETIR PADA
BTS (BASE TRANSCEIVER STATION)

V.1.

UMUM
Proteksi petir merupakan suatu usaha untuk melindungi suatu objek

dari bahaya yang diakibatkan petir, baik itu secara langsung maupun tak langsung.
Bangunan-bangunan

tinggi,

diantaranya

menara-menara

telekomunikasi (Base Transceiver Station), merupakan objek yang sangat penting


untuk dilindungi terhadap bahaya petir.
Menara telekomunikasi milik PT. Telkomsel (salah satu operator
telekomunikasi di Indonesia) yang memilki ketinggian 72 meter adalah objek
yang sangat penting untuk dilindungi mengingat fungsinya yang sangat vital
dalam menjaga kontinuitas layanan data dan voice bagi pelanggan.
Infrastruktur perangkat Infocom yang ditunjang oleh perkabelan Kabel
Data baik dari antenna di Tower maupun Jaringan Kabel pelanggan (Voice,
Video, dll) dan
keharusan

Kabel

Power

dari

sumber

di

luar

nya

adalah

suatu

untuk meindunginya dari kerusakan yang diakibatkan oleh sambaran

petir. Struktur bangunan menara telekomunikasi milik Telkomsel ini dapat di


lihat pada Gambar
5.1.-5.4. berikut:

60

Gambar 5.1. Struktur BTS Tampak Depan

61

Gambar 5.2. Struktur BTS Tampak Samping Kanan

62

Gambar 5.3. Struktur BTS Tampak Samping Kiri

63

Gambar 5.4. Strukur BTS Tampak Atas

V.2.

KEBUTUHAN PROTEKSI
64

Sistem proteksi pada BTS dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu:
1. Proteksi Eksternal dan
2. Proteksi Internal.
Proteksi Eksternal

bertujuan

agar

Lingkungan/area terhindar

dari

kerusakan akibat sambaran langsung dari Petir. Sedangkan Proteksi Internal


bertujuan untuk mencegah kerusakan Perangkat telekomunikasi akibat Overvoltage dari sambaran tidak langsung (imbas petir) atau dari perubahan akibat
tegangan kejut.
Proteksi eksternal meliputi :
a. Air terminal/Finial, berfungsi menerima sambaran petir langsung
b. Down Kondukt or, berfungsi menyalurkan/menghantarkan arus petir dari
Air terminal (finial) ke sistem pengetanahan.
c. Terminasi bumi, berfungsi membuang arus petir dengan aman ke tanah.
Sedangkan proteksi internal meliputi :
a. Equipotensial

bonding (EB), berfungsi mengurangi dan menghilangkan

beda potensial akibat sambaran petir.


b. Perisai/shielding, berfungsi mencegah induk si dan radiasi melalui medium
udara ke peralatan atau kabel.
c. Arrester, berfungsi sebagai pemotong pulsa untuk mencegah masuknya
pulsa transient petir secara konduksi melalui kabel/ penghantar

65

Gambar 5.5. Proteksi Eksternal pada BTS

Gambar 5.6. Eksternal Grounding Pada BTS Telkomsel

66

Gambar 5.7. Proteksi Internal BTS


Pembumian pada BTS milik Telkomsel menggu nakan sistem paralel
dimana semua peralatan yang akan dibumikan seperti : peralatan pada tower,
internal proteksi, eksternal proteksi, dan lain-lain dihubungkan secara paralel
dengan kabel (gambar 5.7.), hal ini cukup efektif karena dengan sistem paralel
tersebut maka arus akan lebih kecil sehingga dapat melewati elektroda
pembumian dengan mudah terutama untuk arus yang mempunyai kapasitas cukup
besar seperti petir.
Arrester (sebagai peralatan proteksi internal BTS) yang digunakan
oleh
Telkomsel adalah merek OBO seperti terlihat pada Gambar berikut beserta
jenis- jenis yang digunakan :

67

Lightning Arresters

Requirement class: B
Type: MC 50-B Principle of operation: Spark gap
Discharge capacity: 50 kA
Protection level: 2 kV
Series fuse: no separate series fuse in installations up to 500 A

Lightning Arresters
Requirement class: B
Type: V 25-B
Principle of operation:Varistor technolgy
Discharge capacity: 25
kA
Protection level: <2 kV
Series fuse: no separateseries fuse in installations below 160 A

Data masukan yang dapat dipakai untuk mengetahui perlu tidaknya


68

proteksi petir bagi bangunan menara telekomunikasi (dalam hal ini menara
telekomunikasi milik PT. Telko msel) adalah :
Tinggi

: 72

meter Panjang
5

meter

Lebar

: 5 meter
Hari guruh (Td) menurut data dari BMG sesuai dengan Lampiran B: 170
Hari
Guruh per Tahun.
-1

Frekuensi sambaran petir yang diperbolehkan pada bangunan: 10 /tahun.


Maka dari data di atas, dapat dicari kebutuhan menara Telkomsel terhadap
kebutuhan proteksi petir maupun mengetahui tingkat proteksinya dengan
menggunakan PUIPP (Peraturan Umum Instalasi Penangkal Petir) dan Standar
Nasional Indonesia (SNI
03-7015-2004).

V.2.1. Penentuan Kebutuhan Bangunan Akan Proteksi Petir


Berdasarkan
PUIPP
Penentuan kebutuhan bangunan akan proteksi petir berdasarkan PUIPP
yaitu dengan menggunakan data Hari Guruh (Thunderstorm Days) (lampiran B)
dan keadaan

lokasinya

(Lampiran

A),

maka

untuk

bangunan

Menara

Telkomsel, diperoleh :

Indeks A

:2
69

Indeks B

:0

Indeks C

:7

Indeks D

:0

Indeks E

:7

Maka didapatkan indeks perkiraan bahaya sambaran petir (R)adalah: R = Indeks A


+ Indeks B + Indeks C + Indeks D + Indeks E
R=2+0+7+0+7
R = 16
Dimana R > 13, sehingga diambil kesimpulan bahwa Menara Telkomsel
sangat memerlukan proteksi petir.

V.2.2. Penentuan Tingkat Proteksi Berdasarkan SNI 03-7015-2004


1. Menghitung kerapatan sambaran petir ke tanah rata-rata
tahunan
(Ng)
Ng dapat dihitung berdasarkan rumus (4) yaitu :
Ng = 0,04 x Td

1,25

Ng = 0,04 x170

/ km / tahun

1,25
2

Ng = 24,5539/ km / tahun
2. Menghitung area cakupan ekivalen Menara Telkomsel
Area cakupan ekivalen untu Menara Telkomsel yang mempunyai
Tinggi (h) 72 meter, Panjang (a 5 meter dan Lebar (b) 5 meter dapat di
hitung berdasarkan rumus (6) yaitu :
2

Ae = ab + 6h (a+b) + 9 h

Ae = (5x5) + 6x72 (5+5) + 9 x (72)


Ae = 150919,1468 m

70

3. Menghitung frekuensi sambaran petir langsung (Nd)


yang diperkirakan pada Menara Telkomsel
Frekuensi sambaran petir langsung (Nd) yan diperkirakan ke struktur
yang di proteksi didapatkan berdasarkan rumus (5) yaitu :
-6

Nd = Ng x Ae x 10 / tahun
-6

Nd = 24,5539 x150919,1468 x 10
Nd = 3,71 / tahun

4. menentukan efisiensi SPP (Sistem Proteksi Petir)


lalu menentukan tingkat proteksi
Dari stasiun BMG diperoleh nilai frekuensi sambaran petir tahunan
-1

setempat (Nc) yang diperbolehkan adalah 10 /tahun. Nilai Nd > Nc


maka diperlukan sistem proteksi petir dan efisiensi SPP dapat dihitung
berdasarkan rumus (7)
yaitu : E = 1 Nc / Nd
E = 1 0,1 / 3,71
E = 0,97
Maka berdasarkan tabel 4.1. didapat bahwa Menara Telkomsel
mempunyai tingkat proteksi I.

V.3.

TERMINASI UDARA
Telah diketahui bahwa tingkat proteksi Menara Telkomsel adalah tingkat

I, dan menurut tabel 4.2. dapat di lihat bahwa untuk Menara Telkomsel dimana
Tinggi (h) adalah 72 meter (melebihi nilai 60 meter), maka tidak didapatkan sudut
71

proteksi yang dapat dipakai. Dengan kata lain, perancangan penempatan proteksi
petir eksternal ditentukan dengan menggunakan Metode Bola Bergulir (Rolling
Sphere Method ).
Untuk bahan yang digunakan bagi terminasi udara, maka bahan yang
dipilih
2

35 mm . Akan tetapi karena terminasi udara dihubungkan dengan konduktor


penyalur, dimana luas penampang minimum untuk konduktor penyalur adalah 50
2

mm , maka luas penampang dari terminasi udara pun lebih baik jika disesuaikan
2

dengan konduktor penyalurnya, yaitu 50 mm .


Berdasarkan kriteria yang telah di buat di dalam SNI 03-7015-2004,
dimana tinggi terminasi udara adalah antara 2 3 meter, maka dipilihlah
terminasi udara yang mempunyai ketinggian 2,5 meter.

V.3.1. Perancangan Terminasi Udara Menurut Metode Bola


Bergulir
Dari tabel 4.2. di dapat jari-jari (R) bola bergulir yang dapat digunakan
untuk merancang penempatan terminasi udara pada menera Telkomsel ini adalah
20 m.
Bola

gulir

dengan

jari-jari

20

tersebut

digulirkan

hingga

menyentuh menara dan gedung yang di lindungi. Setiap bagian bangunan yang
dikenai oleh bola gulir tersebut haruslah diberi terminasi udara. Daerah yang
dilingkupi oleh bola gulir tersebutmerupakan daerah proteksi terhadap petir.

Adapun penempatan terminasi udara menurut metode bola gulir di


dapat
dilihat pada Gambar 5.9. 5.10.

72

Gambar 5.11. Sistem pengaman eksternal menara

Gambar 5.11. Sistem pengaman eksternal menara

V.4.

KONDUKTOR PENYALUR (DOWN CONDUCTOR)


73

Konduktor penyalur ke bawah merupakan konduktor yang menyalurkan


arus petir yang di terima oleh terminasi udara baik itu verikal maupun horizontal
untuk kemudian disalurkan menuju bumi. Mengingat arus petir sangat besar,
maka konduktor penyalur yang disediakan sebaiknya lebih dari satu agar arus petir
tersebut dapat terbagi-bagi.
Adapun syarat-syarat umum ang perlu diperhatikan I dalam memilih
konduktor penyalur kebawah (Down Conductor) adalh sebagai berkut :

Konduktor penyalur eksternal sebaiknya dipasang antara terminasi udara


dan sistem terminasi bumi

Konduktor

penyalur

sebaiknya

disambung

pada

titik

simpul

sambungan jaringan terminasi udara dan di pasang secara vertical ke titik


simpul dari sistem jaringan terminasi bumi

Sistem terminasi udara, sistem konduktor penyalur,

dan

sistem

terminasi bumi sebaiknya iselaraskan untuk menghasilkan lintasan arus


petir sependek mungkin
Jarak

konduktor penyalur dengan dinding atau tiang sebaiknya 0,1 meter

untuk mengurangi induksi elektromagnetik yang terjadi saat terjadi sambaran


petir. Konduktor penyalur tersebut disanggah oleh suatu braket yang dilekatkan ke
tiang (lihat Gambar 5.8.). secara detail, bentuk down conductor dapat dilihat pada
Gambar 5.12. 5.13. berikut.

74

Gambar 5.12. Braket (penyangga) konduktor penyalur

Dalam penentuan bahan konduktor penyalur tersebut, kita dapat melihat


pada tabel 4.6. setelah melihat tabel tersebut, maka bahan yang di pilih adalah
tembaga, dimana bahan init aha terhadap bahan yang dapat menyebabkan korosi.
Setelah ditentukan jenis bahan, maka selanjutnya adalah menetukan luas
penampang dari konduktor. Setela melihat tabel 4.4., maka luas penampang
2

minimum yang diperbolehkan adalah 16 mm . Aka tetapi karena konduktor


2

penyalur dihubungkan dengan terminasi bumi adalh 50 mm , maka luas


penampang dari konduktor penyalur pu lebih lebih baik jika disesuaikan dengan
terminasi buminya. Maka luas penampang konduktor penyalur yang dipilih adalah
2

50 mm .

75

Gambar 5.13. Struktur pengelasan Cadweld Down Conductor

Gambar 5.14. Detail Down Conductor pada Pedestal


V.5.

TERMINASI BUMI (GROUNDING SYSTEM)


76

Seperti yang sudah diketahui bahwa fungsi dari sistem terminasi bumi adalah:
1. Menyalurkan arus petir ke bumi
2. Sebagai IPP (Ikatan Penyama Potensial) diantara konduktor penyalur
3. Mengendalikan potensial pada sekitar daerah konduktif bangunan
yang dilindungi
4. Mencegah arus petir sewaktu menyambar pada permukaan bumi
Maka untuk memenuhi semua hal-hal yang disebutkan diatas, maka
elektroda bumi pondasi dan elektroda bumi cincin dapat menjadi pilihan didalam
menentukan metode sistem terminasi bumi. Dari jenis-jenis pembumian tersebut,
susunan pembumian jenis B yaitu elektroda bumi cincin, sesuai digunakan pada
proteksi bangunan jenis menara. Elektroda pentanahan yang dipakai pada Menara
Telkomsel ada dua tipe seperti terlihat pada Gambar 5.15 5.16 dan harus di
Cadweld. Cadweld digunakan untuk menyatukan (las) konduktor BC (Bare
Copper) pada instalai Grounding.
2

Ukuran minimumkabel menurut tabel 4.5. adalah 50 mm . Maka kabel-kabel


2

yang disambungkan pada elektroda pemumian adalah kabel tembaga 50 mm .


Sedangkan elektroda pembumiannya di pilih yang juga terbuat dari tembaga.
Panjang elektroda pembumian dipakai minimal adalah 3 meter.
Konduktor penyalur ke bawah merupakan konduktor yang menyalurkan arus
petir yang di terima oleh terminasi udara baik itu verikal maupun horizontal
untuk kemudian disalurkan menuju bumi. Mengingat arus petir sangat
besar, maka konduktor penyalur yang disediakan sebaiknya lebih dari satu agar
arus petir tersebut dapat terbagi-bagi.

77

Gambar 5.15. Detail Pentanahan Telko msel Tipe B

Gambar 5.16. Detail Pentanahan Tekomsel Tipe A

78

Gambar 5.17. Cara Penyambungan (Las ) BC (Bare Copper) menggunakan Cadweld

79

Gambar 5.18. Sistem integrasi perlindungan dan pentanahan

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
80

VI.1. KESIMPULAN
1.

Banyaknya hari guruh, kerapatan sambaran petir ke tanah (Ng),


frekuensi sambaran petir tahunan setempat (Nc), dan area cakupan ekivalen
dari bangunan (Ae) menentukan tingkat perlindungan bangunan, baik
menara ataupun gedung, terhadap sambaran petir.

2. Bangunan dalam studi kasus ini memiliki dimensi yang cukup besar,
Tinggi 72 meter, panjang 5 meter, dan lebar 5 meter.
3.

Bangunan menara pada studi kasus ini merupakan bangunan yang


memiliki ketinggian yang cukup tinggi yang terletak paa daerah yang
mempunyai distribusi sambaran petir yang sedang, yaitu IKL 170 dan
frekuensi sambaran petir tahunan rata-rata yang dihitung adalah
3,71/tahun, sehingga ini sangat memerlukan proteksi petir. Dan dalm kasus
ini tingkat proteksinya adalah tingkat I.

4.

Dalam kasus ini, proteksi menggunakan metode bola bergulir dimana


radius bola gulir adalah 20 meter

5.

Jumlah terminasi udara vertikal yang dianjurkan di dalam kasus ini


adalah 1 terminasi udara utama ditambah minimal 2 terminasi udara
tambahan.dimana terminasi tingginya masing-masing 2 2,5 meter

6. Panjang minimal elektroda terminasi bumi yang digunakan


menara Telkomsel adalah 3 meter, dan terdiri dari 2 tipe elektroda

7.

Susunan elektroda terminasi bumi yang digunakan adalah topologi ring


(Tipe B) dan terdapat 6 titik pembumian yang tersebar di sekeliling
81

bangunan menara (dilihat dari sisi ekonomis)


8. Bahan yang dipakai pada terminasi udara, konduktor penyalur, maupun
2

terminasi bumi adalah tembaga dan luas penampangnya adalah 50 mm .

VI.2.
1.

SARAN
Terminasi udara yang sudah ada di Menara Telkomsel adalah 1
buah terminasi udara. Maka sebaiknya ditambah minimal 2 buah teminasi
pada bagian gedung di sebelah menara (misalnya RBS Shelter atau gedung
lain

DAFTAR PUSTAKA
1.

Aris, Munandar, Buku Pegangan Teknik Tenaga Listrik


82

GarduInduk, Pradnya Paramita, Jakarta, 1991.


2.

Hutauruk, T.S,.Pentanahan Netral Sistem Tenaga dan Pentanahan


Peralatan, Erlangga, Jakarta, 1987.

3. Hutauruk, T.S., Gelombang Berjalan dan Proteksi Surja,


Erlangga, Jakarta,1991.
4. Tobing, Bonggas L,Peralatan Tegangan Tinggi, PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2003.
5. Razevig, D.V.,High Voltage Engineering,Khanna Publishers,
Delhi,1972.
6. Hasse, P.,Overvoltage Prptection of Low Voltage System, Short
Run Press Ltd., England, 1988
7. SNI 03-7015-2004,Sistem Proteksi Petir Pada Bangunan,
Standar Nasional Indonesia, 2004
8. PUIL 2000,Persyaratan Umum instalasi listrik,
9. OBO Presentation,Surge protection in energy engineering, 2001
10. Standar Desain BTS Telkomsel, Banda Aceh : P.T. Telkoms
11. P.T.

Aman

Berkah

Sejahtera,

Sistem Proteksi Petir

Terpadu, http://www.petir.com

83

Anda mungkin juga menyukai