Anda di halaman 1dari 22

JOURNAL READING

Fungal Infection of the folds (Intertriginous Areas)


Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Di RSUD Sunan Kalijaga Demak

Disusun oleh:
Karina Apriliana Putri
30101206654
Pembimbing:
dr. Wahyu Hidayat, Sp.KK
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin
Rs Sunan Kalijaga Demak
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2016

Infeksi Jamur pada Daerah Lipatan


AhmetMetin, MD, NurselDilek, MD, DuriyeDenizDeirseven, MD

Abstrak
Infeksi jamur superfisial tersebar luas, tidak memperhatikan usia, jenis
kelamin, dan populasi di seluruh dunia, infeksi ini bisa mengenai kulit dan
anggota badan lain. Meskipun ada ribuan infeksi jamur dari berbagai genus dan
famili di alam, hanya ada beberapa yang bersifat patogen terhadap manusia yang
menginfeksi lipatan kulit. Prevalensi dan distribusi dari jamur ini beragam
tergantung faktor pasien dan faktor lingkungan.
Karena daerah kelopak mata, kanalis auditorius eksternal, belakang
telinga, pusar, regio inguibal, ketiak adalah daerah yang tidak berventilasi dan
lembab sering terkena gesekan, area ini menjadi lebih mudah untuk terkena
infeksi jamur. Infeksi jamurbisa karena menginvasi kulit secara langsung, atau
secara tidak langsung dengan menstimulasi mekanisme imun dengan bereaksi
dengan antigendan menyebabkan perkembangan atau eksaserbasi dari infeksi
jamur sekunder, dermatitis sebore, dermatitis atopis, dan psoriasis. Infeksi jamur
superfisial dapat dipelajaridan diklasifikasikan menjadi infeksi dermatofita,
infeksi candida, infeksi malassezia, dan infeksi jamur superfisial lainnya dari
daerah lipatan kulit.

Pendahuluan
Meskipun intertrigo (peradangan kutan yang menempel pada permukaan
kulit) sering terletak pada daerah inguinal, ketiak, daerah lipatan submamae
(daerah lipatan dibawah payudara), ternyata juga didapatkan pada daerah
antecubiti, umbilicus, perianal, antara jemari, lipatan leher, dan kelopak mata.
Faktor utama dari perkembangan jamur ini adalah gesekan pada permukaan kulit.
Eritema yang mula - mula ringan berkembang menjadi memberat dengan
membentuk erosi, eksudasi, maserasi, dan krusta. Seperti yang didapatkan pada
pasien dengan obesitas dan diabetes, keadaan kurang ventilasi dan keadaan yang
lembab pada lipatan- lipatan tersebut menyebabkan terjadinya infeksi ini.
Hiperhidrosis, higienitas yang buruk, dan malnutrisi juga menjadi faktor yang
mendukung terjadinya intertrigo. Karena area kulit dengan intertrigo cocok untuk
perkembangbiakan mikroorganisme, infeksi sekunder bakterial dan fungal sering
terjadi pada daerah ini.

Faktor yang meningkatkan prevalensi infeksi jamur ini adalah kondisi


iklim tropis, gaya berpakaian yang sangat tertutp rapat, tinggal bersama dengan
hewan pada daerah dengan sosial ekonomi yang kurang, serta infrastruktur
higiene yang rendah. Karena infeksi ini tidak bisa sembuh sendiri, tidak
dilakukannya pengobatan atau pengelolaan yang tidak tepat bisa meningkatkan
penyebarannya. Prevalensi dari infeksi jamur superfisial ini lebih dari 20-25%.
Infeksi dermatofita
Dermatofita adalah kelompok jamur yang dapat menginfeksi struktur
keratin dengan lapisan tanduk seperti lapisan stratum korneum, rambut atau kuku,
menyebabkan kondisi yang disebut dermatofitosis atau tinea. Distribusinya
beragam menurut tipe agen penyebab, daerah anatomis, budaya, dan beberapa
faktor lingkingan. Dermatofita bisa berkembang biak dua kali lipat lebih tinggi
pada suhu sekitar 25-28 derajad celcius, kehangatan dan kelembaban kulit
manusia menyokong pertumbuhan jamur ini. Karena dermatofita tidak menyebar
hingga organ dalam atau jaringan yang dalam, pada pasien dengan imun yang
normal infeksinya hanya terbatas pada kulit dan jaringan dengan sel tanduk.
Reaksi yang diamati pada infeksi dermatofita sangat beragam bergantung dari
respon host terhadap produk metabolik dari agen, jenis agen, lokasi anatomis dari
infeksi dan faktor lingkungan lokal. Ada lebih dari 40 spesies dermatofita yang
menyebabkan infeksi pada manusia dan mereka dibagi menjadi 3 kelompok yaitu
antrophilic, zoophilic, dan geophilic tergantung dari tempat tinggalnya. Penyebab
utama paling sering dari infeksi jamur di US adalah dermatofitosis. Spesiesnya
meliputi T. rubrum, T. mentagrophytes var. Interdigitale, M. canis dan E.
floccosum, spesies ini prevalen di seluruh dunia. T. scholeinii sering ditemui di
Eurasia dan Afrika, T. soudanese sering ditemukan di Afrika, T. violaceum lebih
sering ditemukan di Afrika, Asia, dan Eropa, dan T. concentricu, sering ditemukan
di pulau pasifik, daerah timur, dan India.
Keratin, yang merupakan struktur utama pada lapisan paling atas dari kulit
manusia, ditemukan pada rambut dan kuku binatang disebelah stratum corneum.
Dengan enzim keratolitiknya, dermatofita memecah keratin menjadi bahan nutrisi
dan menyebabkan infeksi pada manusia dan hewan. Saat ini dianggap bahwa

keratin bisa menstimulasi pertumbuhan dermatofita. Karena invasi jamur,


terjadirespon inflamasi pada kulit dan menimbulkan eritema, skuama, infiltrasi
kulit yang dapat teraba, dan kadang terlihat pustul juga.
Dermatofita zoofilik dan geofilik menyebabkan infeksi yang lebih akut
dan meradang dibanding antrofilik. Respon inflamasi terkadang beragam antar
strain dalam satu spesies. Respon inflamasi dari host ditentukan oleh imunitas
alami dari organisme. Kedalaman invasi dari dermatofita adalah faktor yang
meningkatkan inflamasi. Respon inflamasi melemahkan antibodi dan menunda
respon imun selular dan ini berhubungan erat dengan usia, jenis kelamin,
kesehatan pasien, pengobatan yang masih dijalani pasien, dan predisposisi genetik
dari host. Pada pasien dengan immunocompromised, infeksi biasanya lebih berat
dan lebih kronis.
Inokulasi pada infeksi dermatofita umumnya terjadi pada area stratum
korneum yang rusak serta bagian kulit yang tertutup dan lembab. Jika inokulasi
bertahan dalam jangka waktu yang lama di stratum korneum, mereka akan
berkembang, multiplikasi, dan hifa nya akan menyebar ke permukaan kulit sekitar
dengan pola radial. Spektrum yang luas dari enzim dermatofita pada stratum
korneum yang mencerna keratin, protein, lemak, dan DNA, dan membantu
penetrasi, oleh karena itu, barier epidermal rusak pada infeksi tinea.
Keratinosit kulit mengekspresikan toll-like receptors, yang berikatan
dengan struktur lain seperti mikroba patogen dan menimbulkan sinyal untuk
aktivasi sistem imun alami. Keratinosit, yang dipecah oleh infeksi dermatofita,
mengekspresikan peptida anti mikroba yang disebut defensin. Keratinosit dan sel
- sel mononuklear menginfiltrasi kulit di stimulasi oleh komponen dermatofit
untuk melepaskan beberapa sitokin inflamasi (IFN-y, TNFa, IL8, dan IL16).
Dermatofita diketahui bersifat kemotaktik dan dan mengaktivasi jalur komplemen
alternatif. Neutrofil dan monosit tertentu membunuh dermatofita baik melalui
mekanisme intraseluler dan ekstraseluler. Kadar antibodi yang tinggi dapat dilihat
pada infeksi dermatofita yang luas. Terutama kadar IgE pada kasus kasus kronis.
pH kulit normalnya bersifat asam (pH=4.7) dan dipertahankan dengan
kombinasi kelenjar epidermal dan flora normal. Hal ini penting untuk mengatur

aktivitas enzimatik pad proses keratinisasi. Fungsi umum dari proses keratinisasi
mencegah kolonisasi dari organisme berbahaya melalui pembuangan sel sel
yang mati dan pembentukan stratum korneum yang baru. T.rubrum antrofilik
berkembang lebih cepat pada kondisi asam (pH=4).
Prevalensi dari infeksi dermatofit beragam tergantung usia dan jenis
kelamin. Perubahan terkait usia adalah dalam hal produksi sebum, cara
berpakaian, dan perubahan dari pengaruh imun terhadap infeksi dermatofita.
Meskipun didak ada bukti yang mengarah pada predisposisi infeksi pada pasien
diabetes, telah diketahui bahwa diabetes memengaruhi jalur infeksi dermatofita.
Pada kasus malnutrisi atau sindrom Cushing, resistensi terhadap infeksi berkurang
karena supresi imunitas selular.
Infeksi dermatofita diberi nama menurut lokasi anatomi tempat
menginfeksinya, dan gambaran klinisnya beragam tergantung interaksi antara host
dan dermatofita. Bagian ini akan didiskusikan tentang tinea corporis, tine cruris,
dan tinea pedis yang diamati pada daerah intertrigo.
Tinea corporis
Tinea corporis merupakan infeksi yang disebabkan oleh dermatofita pada
kulit yang berambut, wajah, palmoplantar dan kulit dengan rambut yang sedikit
kecuali daerah anogenital. Meskipun telah diamati secara luas, prevalensinya
sangat beragam diantara negara yang berbeda. Penyebaran ini bisa secara
langsung oleh manusia atau hewan yang terinfeksi, atau melalui autoinokulasi dari
daerah tubuh seperti pada kaki atau regio inguinal. Pada anak anak, sumber
infeksi biasanya berasal dari kucing atau anjing yang terinfeksi. Cara berpakaian
yang sangat tertutup, pemakaian topi, dan iklim yang lembab membuat penyakit
menjadi berat dan eksaserbasi yang sering. Tertutupnya lipatan kulit, pertemuan
antar kulit, dan trauma mendukung perkembangan kondisi ini. T.rubrum, T.
mentagrophytes, M. canis dan T. tonsurans adalah agenagen yang sering
menyebabkan infeksi.
Lesi klasik dari tinea korporis digambarkan dengan plak skuama dengan
eritema pada sekelilingnya. Lesi dengan tepi vesikuler biasanya menyebar dengan

pola sentrifugal. Pada beberapa kasus, pusat lesi tidak berkuama dan bersih. Pada
pasien dengan defek respon imun seluler gambaran klinisnya mungkin bisa
berbeda. Derajad peradangan pada lesi beragam bergantung jenis jamur dan faktor
yang berkaitan dengan host, seperti lokasi folikular. Pustul dan vesikel sering
terlihat pada lesi inflamasi berat. Tipe tertentu dari dermatofita dapat
menyebabkan infeksi yang lebih sering pada daerah tubuh, seperti M.canis yang
lebih sering terletak pada daerah yang tidak berambut dan M. audoinii pada kulit
yang berambut.
Meskipun tinea corporis mempunyai gambaran yang sama dengan
beberapa penyakit kulit, penyakit ini dapat dengan mudah dibedakan dari penyakit
lain. Dermatitis seboroik lebih simetris dan juga mengenai kulit yang berambut.
Psoriasis dapat dibedakan dengan tinea korporis berdasarkan lokasi khusus yang
terletak pada siku, lutut, kulit yang berambut, dan bisa juga mengenai kuku.
Penyakit ini juga mempunyai gambaran yang mirip dengan ekzema numularis,
ptiriasis rosea, sipilis tersier dan ptiriasis versicolor. Evaluasi mikroskopis direk
membantu membedakan kondisi dari impetigo, candidiasis, dan banyak penyakit
lainnya.
Pemberian anti jamur topikal efektif pada sebagian besar pasien dengan
tinea corporis. Terapi yang direkomendasikan adalah pengobatan dengan
golongan alamine, imidazol, butenafin, atau ciclopirox, dua kali sehari selama 2
hingga 4 minggu; meskipun demikian, infeksi T.rubrum tertentu membutuhkan
anti jamur sistemik yang meliputi terbinafin, fluconazole, dan itraconazole.
Fluconazole bisa diberikan dengan dosis 150mg/minggu untuk 4-6 minggu;
itraconazole diberikan 100mg/per hari selama 15 hari, terbinafin dapat diresepkan
dengan dosis 250mg/hari selama 2 minggu dan griseovulvin diberikan 500mg/hari
selama 2 hingga 6 minggu. Pada pasien anak anak, dosis dan lama pengobatan
sebesar

10-20mg/kgBB/hari

selama

minggu

untuk

griseovulvin,

mg/kgBB/hari selama satu minggu untuk itraconazole, dan 3-6 mg/kgBB/hari


selama dua minggu untuk terbinafine.

Tinea cruris
Tinea cruris dikenal sebagai jock itch, eczema marginatum, atau dobie
itch. Penyakit ini juga prevalen di seluruh negara, terutama di daerah tropis yang
temperatur dan kelembabannya yang tinggi. Tinea cruris bisa berkembang dengan
autoinokulasi dari agen infeksius dari tinea pedis dan tinea unguium. Infeksinya
juga bisa karena kontak tidak langsung seperti pada penggunaan handuk yang
sama, atau pakaian olahraga. Biasanya didapatkan pada laki - laki. Diabetes,
obesitas, dan keringat berlebih merupakan faktor predisposisi untuk tinea cruris.
Agen pada tinea cruris biasanya sama dengan dermatofia pada tinea pedis,
spesies yang paling sering menginfeksi adalah T. rubrum. Agen lain yang sering
menginfeksi adalah T.mentagrophytes var. Interdigitale, E. floccosum, dan M.
canis.
Gambaran klinis dari tinea kruris pada tingkat dini adalah gatal gatal
dengan plak eritematosa dan tepi skuama. Yang lebih jarang, ditemukan vesikel
dan nodul pada lesi yang lama. Pusat lesi biasanya bersih dan biasanya ada
satelit di sekitarnya. Secara umum, tidak ada tinea pedis yang didapatkan pada
infeksiE. floccosum dan infeksi mengenai bagian atas tengah paha. Infeksi T.
rubrum bisa menyebar ke daerah pubis, perianal, dan daerah perut bawah hingga
ke pantat. Meskipun T. rubrum biasanya mengarah ada infeksi nodular dengan
jalur yang lebih kronis, yang lebih jarang terjadi, infeksi T. mentagrophytes var.
Interdigitale lebih meradang dan vesikuler. Penyebaran ke penis jarang terjadi
pada tinea cruris. Pada anak anak, peningkatan kelembaban karena popok
membuat kulit rentan terhadap infeksi E. floccosum dan T. rubrum.
Tinea cruris mungkin membingungkan jika dibandingkan dengan
candidiosis. Candidiosis lebih sering terjadi pada wanita dan tidak ada tepi
kemerahan yang terlihat di sekitar lesi. Selain dengan pustul, biasanya disertai
adanya satelit kecil. Kadang kadang, ptyriasis versikolor yang berada di daerah
inguinal bisa membingungkan untuk membedakan dengan tinea cruris. Fakta
bahwa lesinya tidak meradang dan tidak disertai keluhan bisa untuk membantu
membedakan ptiriasis versikolor dari tinea kruris. Erythrasma sering terjadi pada
individu dengan obesitas. Pusat lesi tenang dan pemeriksaan lampu Wood

membantu untuk membedakan lesi dari tinea kruris. Lesi yang terletak pada
bagian lain di badan membantu dalam membedakan diagnosis dari psoriasis,
dermatitis atopis, mikosis karena jamur. Dermatitis kontak karena deodoran dan
penyakit Hailey- Hailey harus dipikirkan. Pengobatan tinea kruris sama dengan
pengobatan tinea korporis.
Tinea pedis
Tinea pedis (athletes foot) adalah infeksi dermatofita yang terletak pada
telapak kaki dan diantara jari jari kaki. Infeksi ini sering terdapat pada dewasa
dan insidennya diperkirakan sekitar 10% pada negara maju, 20% pada laki - laki
dan 5% pada wanita. Sepatu yang tertutup mendukung perkembangan dari infeksi
tinea pedis. Resiko kontraksi tinggi pada beberapa area yang umum, lingkungan
yang lembab, stratum korneum yang rusak, dan perkembangan berlebih dari flora
normal bisa menyebabkan terjadinya infeksi. Agen yang paling sering membuat
infeksi pada tinea pedis adalah T. Rubrum, T. mentagrophytes var. Interdigitale,
dan E. floccosum dengan cara desendens.
Tinea pedis mempunyai empat ciri klinis: a) bentuk intertriginosa yang
kronis (interdigitalis), b) bentuk hiperkeratotik kronis, c) bentuk vesikobulosa, dan
d) bentuk ulkus akut.
Bentuk intertriginosa adalah bentuk tersering. Berawal dari erosi area
interdigitalis dengan eritema dan deskuamasi, dan biasanya terjadi diantara jari ke
4 dan jari ke 5. Dengan berjalannya waktu, infeksi bisa menyebar ke telapak kaki
dan -pada kasus yang jarang terjadi- pada punggung kaki. Kondisi lesi bisa
tenang, gatal, dan bau pada daerah interdigital yang terjadi karena keadaan yang
tertutup dan adanya koinfeksi bakteri.
Agen

pada

peradangan

tinea

pedis

akut

biasanya

adalah

T.

Mentagrophytes var mentagrophytes dan gejalanya berupa vesikel yang gatal,


pustul, serta adanya bula pada telapak kaki dan diantara jari-jemari. Pada infeksi
karena T. Rubrum, gatalnya ringan dan terdapat deskuamasi pada kasus kronis.
Infeksi T. Mentagrophytes var interdigitales mempunyai beragam bentuk mulai
dari ringan hingga berat. Lesi vesikobulosa sering terdapat pada infeksi ini

dibanding infeksi dermatofita lain. Infeksi bisa menyebar ke seluruh telapak kaki.
Maserasi (pelunakan) dan fisura (kulit pecah pecah) pada daerah antara jari
jemari kaki bisa berlanjut selama beberapa bulan atau bahkan tahun. Vesikel bisa
berubah menjadi pustul dan skuamasi yang berwarna bisa terjadi setelah vesikel
atau pustul itu pecah. Penyebaran infeksi ini disebut dengan moccasin foot.
Permukaan dorsal dari kaki dan jari jemarinya biasanya tidak terkena infeksi ini;
akan tetapi kuku biasanya terkena infeksi ini. Pada kasus hiperhidrosis,
keadaannya bisa lebih berat. Hiperhidrosis terkadang bisa menimbulkan infeksi
jamur sekunder. Infeksi bakteri sekunder karena kulit kering bisa berkembang
diantara jari jari kaki dan mengaburkan temuan klinis.
Tinea pedis biasanya dirancukan oleh erythrasma yang asimtomatis,
dimana terdapat fissura atau dengan kandidiasis. Pada kasus infeksi yang
berhubungan dengan Staphylococci, Streptococci atau bakteri gram (-),
peradangannya lebih berat dan biasanya disertai dengan bau. Tinea pedis biasanya
terdapat bersamaan dengan infeksi bakterial. Pada pemeriksaan dengan
menggunakan lampu Wood, erythrasma mengarah ke refleksi berwarna pink,
infeksi pseudomonas merefleksikan warna hijau-biru, hasil ini bisa membantu
untuk menentukan diagnosis banding. Psoriasis, ptiriasis rubra pilaris, dan
dermatitis kontak bisa dijadikan diferensial doagnosis. Pemeriksaan mikroskopis
direk juga bisa membantu membedakan agen penyebab.
Pada tinea pedis interdigital, jika tidak disertai infeksi bakterial,
pengobatan dengan anti fungal topikal seperti allylamine, azole, ciclopirox,
benzylamine, tolnaftate, atau asam undecenoat biasanya sudah cukup. Pada kasus
yang resisten dengan pengobatan, atau pada kasus tinea unguium, anti fungal oral
juga harus diresepkanterbinafine 250mg/hari untuk 2 minggu, itraconazole
200mg/2 hari selama 1 minggu atau 200mg/hari selama 3 minggu atau
100mg/hari selama 4 minggu, fluconazole 150 mg/minggu selama 3-4 minggu,
atau 50mg/hari selama 30 hari adalah pengobatan yang dianjurkan. Jika ada gatal,
maserasi dan bau, pengobatan antibiotik harus diberikan diikuti dengan
pengecatan gram dan kultur antibiotik.

INFEKSI CANDIDA
Insiden infeksi jamur meningkat secara signifikan akhir waktu ini.
Menurut frekuensi dan keparahan komplikasinya, candidiasis merupakan salah
satu yang menonjol dari infeksijamur lainnya. Dari hampir 200 spesies dari genus
Candida, hanya 12 yang biasanya menyebabkan perkembangan penyakit karena
candida. Candida mempunyai ukuran 3-5m dan mempunyai dinding sel berlapis
ganda. Mereka mungkin bisa membentuk hifa sejati seperti berkembang dengan
pseudohifa. Koloni ini tumbuh pada kultur Saburaud, mempunyai gambaran
seperti krim dan berwarna keputihan, dan tidak menunjukan pigmen karotenoid
atau melanoid. Beberapa tipe hiduo di kulit dan membran mukosa seperti mulut,
vagina, uretra, saluran pencernaan, dan saluran nafas atas. Kolonisasi dimulai dari
beberapa hari awal setelah lahir dan menjadi permanen sepanjang hidup.
Secara taksonomi, mereka berasal dari filum Candida Ascomytes, kelas
Blastomycetes, ordo Cryptococcales, famili Cryptococcaceae, dan genus Candida.
Agen penyebab yang paling sering pada candidiasis kutaneus adalah Candida
albicans yang terdapat pada flora normal kutan pada kulit yang sehat. Diantara
spesies candida, C. Tropicalis adalah agen peyebab infeksi mukokutaneus kedua.
Tipe lain dari Candida yang terdapat pada individu normal adalah C. Glabrata, C.
Parapsilosis, C. Krusei. Beberapa spesies candida yang menyebabkan infeksi
diklasifikasikan sebagai emergent. C. Guilliermondii, C.kefyr, C. Rugosa,
C.dubliniensis, dan C. Famata termasuk dari kelompok ini. C. Dubliniens
diidentifikasi pada tahun 1995. Meskipun spesies ini mirip dengan C. Albicans
dalam arti morfologi dan fisiologi, dan dibedakan dengan C.albicansmenurut
reaktifitasnya pada pemeriksaan Ca3 dan kurangnya aktifitas beta-glukosidase
intraselular. Studi fenotif dan filogenetik molekular menunjukkan bahwa
C.nivariensis adalah spesies baru yang berhubungan dengan C.galbrata.
Gejala klinis yang sering ditemukan pada infeksi candida adalah
candidiasis superficial. Pemakaian antibiotik spektrum uas yang merusak flora
normal kutan menyebabkan pH kulit tinggi yang menyediakan lahan
perkembangbiaskan Candida. Ketika candidiasis kutan berkembang pada pasien
dengan immunocompromised karena diabetes, leukemia, limfoma, transplam atau

kanker, kemungkinan adanya candidiasis sistemik harus dicari juga. Menifestasi


klinis dari candidiasis superfisial klasik adalah bentuk dengan area eritem dengan
papul satelit dan pustul. Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya spora atau
pseudohifa pada pemeriksaan mikroskopik direk dengan KOH. Bagian ini akan
membahas infeksi candida yang berada pada lipatan tubuh.
Candidiasis pada lipatan kulit yang besar
Candidal intertrigo
Intertrigo adalah penyakit peradangan pada lipatan kulit seperti ketiak,
lipatan dibawah mammae dan regio inguinal. Infeksi sekunder yang sering
terdapat pada intertrigo adalah candidiasis dan obesitas merupakan faktor risiko
dari perkembangan infeksi ini. Meskipun tidak ada kisaran umur yang khusus,
neonatus dan individu yang berusia lebih dari 65 tahun cenderung terdapat
kolonisasi Candida. Candidiasis ini lebih sering terjadi pada perempuan dari pada
laki laki. Lipatan kulit dimana kulit bersentuhan satu sama lain, yang hangat dan
lembab menjadi lahan perkembang biakan mikroorganisme dari infeksi candida.
Udara yang panas dan lembab, pakaian dalam yang ketat, higiene yang buruk, dan
penyakit peradangan seperti psoriasis meningkatkan risiko infeksi candida.
Karakteristik pustul pada infeksi candida di area intertrigo biasanya tidak
terlihat karena biasanya cepat menjadi lunak dan menjadi banyak. Fissura yang
nyeri karena infeksi sekunder bisa berkembang pada lipatan kulit. Selain temuan
klinis, pengamatan pada pseudohifa dan spora dibawah mikroskop dari preparat
KOH atau kultur Saburoud membantu memverifikasi diagnosis. Differensial
diagnosis harus meliputi intertrigo bakterial atau viral, infeksi dermatofita dan
erythrasma.
Penanganan pada candidiasis di lipatan kulit, hal yang terpenting adalah
menjaga daerah tersebut untuk tetap kering. Untuk tujuan ini, kompres dingin dan
basah selam 20-30 menit dengan larutan Burrow atau air biasa direkomendasikan
untuk dilakukan berulang setiap hari. Pada candidal intertrigo dan infeksi candida
superfisial, polyene, azole, allylamine dan cicloproxolamine topikal efektif untuk
diberikan. Pemberian lapisan tipis krim Clotrimazole atau Miconazoledua kali

sehari adalah tata laksana awal. Meskipun anti fungal topikal secara umum efektif,
pada kenyataannya sering terjadi kekambuhan. Pengecatan Gentian violet dan
Castellani (carbolfuchsin) juga bisa ditambahkan untuk dasar pemberian
pengobatan. Pada pasien imunosupresi yang infeksinya berat, pengobatan topikal
harus ditambah dengan pengobatan oral. Pemberian Fluconazole 150 mg/minggu
sama dengan Fluconazole 50 mg/hari atau Ketoconazole 200mg/hari. Diawal
pengobatan, terapi kombinasi jangka pendek dengan krim anti candida dan steroid
topikal bisa mempercepat kesembuhan. Bubuk absorben seperti Z-sorb menyerap
lembab dan menjadi lubrikan kering. Oleh karena itu, bubuk ini membantu
permukaan kulit untuk bersentuhan satu sama lain tanpa terjadi gesekan dan
mencegah akumulasi keembaban pada daerah yang sedikit gerak.
Diaper candidiasis (candidiasis popok)
Dermatitis popok merupakan penyakit peradangan yang menyerang 10%
dari semua bayi dan insidennya mencapai puncak pada usia 7-9 bulan. Keadaan
intertrigo buatan terbentuk dibalik popok yang menjadi lahan perkembang biakan
infeksi candida. Meskipun spesies candida bukalah satu satunya penyebab
dermatiti popok, kultur dari lesi eritematosa dengan pustul satelit sering
memberikan hasil positif untuk spesies Candida. Bayi dengan dermatitis popok
biasanya diobati dengan kombinasi krim dan lotion yang berisi antibiotik dan
steroid. Meskipun secara umum produk ini mengandung clotrimazole sebagai
antifungi, konsentrasinya bisa tidak adekuat untuk mengendalikan infeksi candida.
Kandungan cortisone pada krom kombinasi juga mungkin memperburuk
manifestasi penyakitnya dan menunda kesembuhan. Dermatitis Jacquet adalah
varian erosif dari dermatitis popok.
Peninggian tepi disekitar lesi dan punch ulcers adalah karakteristik dari
penyakit ini. Penyakit ini sering didapatkan pada anak anak dengan diare
persisten. Bentuk granulomatosa dari candidiasis dengan papul/nodul yang merah,
berbentuk ireguler, terletak diatas kulit yang eritema pada daerah popok. Bentuk
yang disebut granuloma gluteale infantum ini bisa dianggap sebagai reaksi
berlebih dari Candida. Ini adalah sebuah kondisi reaktif yang berkembang karena
kontak yang kronis dan dermatitis kontak iritan pada area anogenital yang

disebabkan karena inkontinensia urin atau diare kronik yang dipengaruhi oleh
steroid.
Dermatitis popok yang resisten terhadap pengobatan apapun harus dicurigai dan
dicari penyakit yang mendasarinya. Differensial diagnosis pada peradangan
daerah popok adalah psoriasis, dermatitis sebore, Langerhans-cell histiocytosis,
acrodermatitis enteropathica, defisiensi biotin, penyakit Kawasaki dan infeksi
HIV.
Penanganan candidiasis popok meliputi menjaga mempertahankan
kekeringan pada daerah popok dengan cara rutin mengganti popok, atau dengan
cara menunda penggunaan popok untuk sementara waktu. Pada fase awal,
mempertahankan kekeringan daerah popok dan memberi krim mungkin sudah
cukup. Jika keadaan klinis tidak membaik, krim yang berisi nistatin, clotrimazole,
atau miconazole harus diberikan dua kali sehari selama 10 hari hingga bercaknya
hilang. Eritema karena iritasi bisa diobati dengan krim hidrokortison 1% diikuti
dengan krim anti jamur beberapa jam setelahnya. Bedak bayi mungkin bisa
mencegah kekambuhan dengan cara menyerap kelembaban.
Candidiasis pada lipatan kulit yang kecil
Angular cheilitis (perleche)
Angular cheilitis atau perleche adalah kondisi inflamasi yang ditandai
dengan maserasi (pelunakan) dan fissure melintang pada lipatan mulut. Kelainan
ini bisa terjadi pada semua umur. Meskipun penyebab dari perleche ini biasanya
C.albicans, kondisinya kadang berkembang sekunder menjadi infeksi bakteri. Ini
bisa dihubungkan dengan kebiasaan seperti menjilat bibir, menggigit lipatan/sudut
mulut, atau mengulum ibu jari pada saat kecil. Faktor utama yang menyebabkan
kondisi ini adalah menumpuknya saliva pada sudut mulut. Bernafas melalui mulut
karena kongesti hidung, maloklusi dan menjilat bibir yang berulang ulang bisa
menyebabkan salivasi berlebih. Lipatan kulit yang banyak pada usia lanjut atau
karena penyebab kongenital, karena penurunan berat badan yang banyak,
pemendekan 1/3 bagian bawah wajah secara vertikal karena gigi yang lepas dan
resorpsi tulang alveolar bisa menyebabkan kelembaban daerah intertriginosa pada

sudut mulut. Aliran saliva dari mulut ke lipatan kulit bisa menyebabkan maserasi,
fissure, eritema, eksudasi, dan infeksi candida sekunder. Infeksinya mulai dari
fissure pada lipatan kulit yang dalam. Eritema, skuama, dan krusta terbentuk pada
dinding samping dari lipatan kulit. Lesi awal bentuknya kurang jelas, putih
keabuan, sedikit eritema dan penebalan membran mukosa pada komisura mulut.
Ketika kondisinya berkembang penuh, penebalannya berubah menjadi putih
kebiruan atau nampak putih seperti mutiara. Juga terbentuk peninggian yang
eritema dan bersisik pada permukaan kulit di daerah komisura mulut dekat dengan
lesi. Fissura terbentuk dari maserasi dan pembentukan krusta. Papul yang lunak
seukuran ujung jarum juga bisa ditemukan. Biasanya terjadi bilateral. Pasien
biasanya menjilat daerah tersebut untuk mencegah pecahnya kulit di daerah
tersebut, yang membuat lingkaran setan yang memperberat kondisi.
Penanganannya dengan cara menjaga daerah itu agar tetap kering dan
menggunakan krim anti jamur yang diikuti dengan krim steroid potensi rendah
dan tidak mengandung lemak beberapa jam hingga peradangannya mereda. Jika
peradangannya sudah mulai mereda, steroid topikal harus dihentikan. Setelah itu,
balsem bibir yang tebal dan protektif harus dioleskan sesering mungkin. Untuk
mengatasi masalah anatomis karena kondisi ini, kedalaman lipatan harus
dikurangi dengan menggunakan material kosmetik yang disuntikkan di sudut
mulut. Jika infeksinya resisten terhadap pengobatan, harus dicurigai adanya HIV
atau penyakit imunodefisiensi lain.
Eresio interdigitalis blastomycetica (EIB)
Daerah antar jari adalah daerah intertriginosa yang kecil. Juru masak,
bartender, pelayan, dokter gigi, atau individu lain yang bekerja pada lingkungan
yang lembab adalah faktor risiko dari EIB. Gejalanya muncul sebagai erosi kulit
yang berwarna putih, nyeri, dan lunak dengan latar belakang pink dan lembab.
Candidiasis biasanya terletak di daerah yang sempit diantara jari ke 4 dan ke 5.
Dermatofita dan bakteri gram (-) juga bisa terletak disini sebagai infeksi bakteri.
Candida dan dermatofita mungkin terlihat mirip baik secara klinis maupun dengan
pengecatan KOH. Candidiasis difus pada jari atau diantara jemari adalah kejadian
yang tidak lazim. Diagnosis banding meliputi erythrasma, infeksi dermatofita dan

dermatitis kontak iritan. Pengelolaannya meliputi menjaga agar daerah itu tetap
kering dengan menggunakan krim dan lotion anti jamur. Jari jemari harus
dipisahkan dengan menggunakan aplikator khusus untuk menjada area antar jari
jemari tetap kering.
Candidal balanitis (balanitis candida)
Infeksi balanitis adah salah satu penyakit menular seksual yang paling
sering terjadi. Ditemukan pada tahun 1920, candidal balanitis bertanggung jawab
pada 35% infeksi yang terjadi. Penis yang tidak disunat dan lingkungan yang
hangat dan lembab rentan untuk terjadinya infeksi candida. Kurangnya kebersihan
genital, preputium yang luas, diabetes, dan defisiensi imun adalah faktor
predisposisi. Pada studi yang melibatkan 478 laki laki, mencari faktor risiko untuk
candidal balanitis, angka kolonisasi candida dilaporkan sebesar 16%, sedangkan
prevalensi candidal balanitis sebesar 18%. Korelasi yang signifikan didapatkan
antara kolonisasi candida, usia >60th, dan faktor tmbahan lainya. Usia lebih dari
40 tahun, diabetes, dan pertumbuhan lebih dari 10 koloni pada kultur telah
dilaporkan sebagai faktor risiko dari candidal balanitis.
Candidal balanitis kadang berkembang 3 bulan setelah hubungan seksual
dengan perempuan yang terinfeksi. Papul dan pustul kecil yang nyeri terlihat pada
glans dan batang penis. Pustul dibawah preputium cepat pecah dan bisa
terlewatkan. Setelah pustulnya pecah, akan muncul daerah erosi yang berwarna
merah, berbentuk seperti donat, dan berukuran sekitar 1-2 mm. Adanya pustul
adalah indikasi yang kuat dari candidiasis. Diagnosis banding harus meliputi
balanitis bakterial dan herpes genital. Diikuti pengobatan dengan miconazole,
clotrimazole, atau anti jamur launnya dua kali sehari selama 7 hari, erupsi nya
akan cepat sembuh. Penyembuhannya relatif cepat, tapi pengobatan harus
diteruskan hingga 7 hari. Keampuhan dan keefektifan dari fluconazole dosis
tunggal 150 mg dapat dibandingkan dengan krim clotrimazole selama 7 hari.
Vulvar candidiasis (candidiasis vulva)
Vulva secara alami adalah daerah yang lembab danmenjadikannya tempat
berkembang biak untuk candida. Lebih dari 50% perempuan berusia 25 tahun

mengalami candidiasis vulvovaginal. Candidiasis vaginal berawal dari rasa gatal


yang disertai discharge putih dan kental. Infeksi vulva biasanya mendampingi
candidiasis vaginal. Penyebab dari infeksi ini biasanya C.albicans. ketika infeksi
berkembang pada vulva, eritema dan edema dapat terlihat di daerah tersbut dan
kadang disertai adanya erosi dan lesi yang menyakitkan. Infeksi bisa menyebar ke
anus dan paha. Lesi satelit dan pustul bisa terlihat pada regio ini. Penanganan
harus meliputi cndidiasis vaginal juga. Beberapa agen topikal dengan bentuk
beragam digunakan pada kondisi ini. Pengobatan yang biasanya digunakan adalah
clotrimazole dan miconazole. Rasio pengobatan dengan polyene seperti nistatin
bisa mencapai 70-80%, sedangkan rasio pengobatan dengan turunan azole sebesar
85-90%.
Paronikia kronis
Paronikia adalah penyakit peradangan pada lipatan kulit yang mengelilingi
jaringan kuku pada jari tangan dan kaki. Paronikia kronis biasanya terlihat pada
individu dengan fungsi perlindungan yang terganggu. Hingga belakangan ini,
candida diduga menjadi penyebab paronikia kronis dan anti jamur masih
digunakan untuk mengobatinya. Saat ini, paronikia kronis diduga sebagai salah
satu jenis dari dermatitis pada tangan yang berkembang karena faktor lingkungan,
bukan karena infeksi candida. Meskipun spesies candida dapat diisolasi dari
infeksi paronikia, infeksi candida dilaporkan hilang ketika kerusakan fungsi
perlindungan sudah membaik. Tosti et al memperagakan bahwa krim
methylprednisolone aceponate topikal lebih efektif daripada itraconazole oral
dengan dosis 200 mg/hari atau terbinafine 250 mg/hari pada pasien paronikia
kronis. Juga ditemukan bahwa adanya candida tidak bisa dihubungkan dengan
keparahan

penyakit

danmemperbaiki

tersebut.

fungsi

Mengurangi

perlindungan

kontak

(barrier)

tangan

sangatlah

dengan

penting

air

dalam

penyembuhan.
Candidiasis perianal dan intergluteal
Daerah perianal dan intergluteal juga merupakan lipatan yang lembab
secara alamiah. Infeksi C. Albicans kadang bisa terjadi tiba tiba dengan
manifestasi pruritus. Dermatitis perianal berkembang dengan ditandai eritema,

discharge, dan maserasi. Rasa gatal dan rasa terbakar mungkin sangat berat.
Infeksinya bisa menyebar hingga regio intergluteal. Meskipun adanya lesi satelut
membantu menegakkan diagnosis, tidak adanya lesi ini tidak bisa meyingkirkan
diagnosis candidiasis. Seperti candidiasis superfisial lainnya, pengobatan diawali
dengan pengobatan topikal seperti miconazole dan clotrimazole.
Infeksi malassezia
Spesies Malassezia adalah salah satu ragi lipofilik yang telah diketahui
menyebabkan penyakit pada manusia dan vertebrata lainnya selama lebih dari 150
tahun. Mikroorganisme yang hidup secara komensal pada flora normal kulit
manusia ini secara taxonomi diklasifikasikan padap filum Basidiomycota,
subfilum Ustilagunimycotina, kelas Exobasidiomycetes, ordo Malasseziales, dan
famili Malasseziacea. Spesias malassezia adalah jamur dimorfik dengan ragi.
Karena prosedur isolasi yang susah dan epembentukan hifa in vitro,
pengklasifikasian dari spesies ini masih kontroversial selama bertahun tahun.
Setelah diketahui bahwa Malassezia dan Pityrosporum merujuk ke organisme
yang sama, Malassezia dipilih sebagai nama genus karena sudah dipakai dari
lama. Studi dengan teknologi molekuler baru telah mengemukakan 14 spesies
berbeda yang disebut M. Furfur, M. Pachy dermatis, M. Sympodialis, M. Globosa,
M. Obtusa, M. Slooffiae, M. Restrica, M. Dermatis, M. Japonica, M. Nana, M.
Yamatonesis, M. Caprae, M. Equina, dan M. Cuniculi. Karena properti organik
fisiologisnya, mikroorganisme ini menggunakan lemak, akan tetapi M.
Pachydermatis membutuhkan lemak pada media kultur.
Penyakit terkait
Disamping infeksi jamur oleh karena invasi jaringan secara langsung,
Malassezia dianngap berhubungan dengan beragam penyakit yang mana mereka
memegang peranan sebagai patogen secara tidak langsung dan berhubungan
dengan imun pada manusia. Penyakit yang terjadi karena invasi jaringan meliputi
ptiriasis versikolor (PV), infeksi sistemik, folikuitis Malassezia, dan pustulosis
sefalik neonatal; sedangkan penyakit yang berkembang melalui mekanisme
kompromisasi imun adakah dermatitis sebore pada lekukan tubuh, dermatitis
atopi, dan psoriasis.

Ragi malassezia berkolonisasi diantara area subungual, dan keadaan


tertentu

lainnya

seperti

papilomatosis

retikulata

dan

konfluen,

dan

onychomuocosis juga disebabkan karena Malassezia meksipun bukti ilmiahnya


masih belum jelas.
Ptyriasis (tinea) versicolor
PV adalah infeksi jamur superfisial pada kulit yang banyak terjadi di
sekuruh oenjuru dunia dan biasanya disebabkan karena ragi Malassezia dari M.
Globosa, M. Sympodialis, atau M.furfur. hubungan PV dengan malassezia adalah
jelas, karena ini berhubungan dengan perubahan Malassezia dari ragi menjadu
bentuk hifa dan multiplikasi yang cepat pada area lesi. Jamur berubah menjadi
struktur filamentosa dan mempenetrasi epidermis melalui stratum corneum,
menjadikan kerusakan patologis minor. Meskipun demikian, ptiriasis ketombe dan
peradangan bisa berkembang di area yang terinfeksi.
Lesi biasanya berbentuk makula atau bercak yang terletak di bagian tubuh
atas, di leher dan lengan. Lesi ini bisa menyebar ke muka, daerah submammae,
ketiak, selangka, dan pantat. PV terdapat di daerah tropis dan subtropis dan lebih
sering terjadi di iklim yang lembab daripada iklim yang kering (30-40% vs 1-4%).
PV mengenai pria dan wanita dengan rasio yang sama, dan kejadiannya lebih
sering terjadi pada usia anak remaja, dan dewasa muda. Faktor predisposisi yang
penting adalah panas, kelembaban, produk anti sinar matahari yang mengandung
minyak, dan pengobatan kortikosteroid. Kebanyakan pasien tidak mengeluhkan
gejala (asimtomatis) meeskipun ada beberapa daeri pasien mengeluh gatal sebagai
gejala iritasi ringan.
Meskipun kondisi ini bisa terjadi pada individu yang sehat, kondisi ini
lebih sering terjadi pada pasien HIV/AIDS yang mendapat pengobatan
imunosupresi jangka lama. Dua bentuk yang paling sering didapatkan adalah
bentuk hiperpigmen dengan ketombe, dan bentuk hipopigmen (PV alba). Pasien
bisa menggambarkan gejala iritasi ringan seperti keluhan gatal. Meskipun jamur
yang terdapat pada lesi sangat banyak (seperti yang tergambar pada pemeriksaan
histopatologi dan biopsi kulit), inflamasinya hanya sedikit/ringan atau bahkan
tidak ada inflamasi. Kadang didapatkan gambaran klinis dari PV rubra yang

digambarkan dengan dilatasi pembuluh darah dermis. Lesi atrofi yang sembuh
dengan pengobatan anti jamur juga bisa terlihat. Meskipun jarang, varian papular
bisa berkembang pada kasus kronis; belakangan ini gambaran imbricata juga
ditemukan. Diagnosis dari infeksi ini bisa ditegakkan dengan mudah dengan cara
melihat hasil pemeriksaan mikroskopik dari kerokan lesi yang memperlihatkan
gambaran ragi dan hifa dengan gambaran khas spaghetti and meatballs
appearace. Umumnya kultur tidak diperlukan untuk mendiagnosis. Untuk
pengobatan, cukup menggunakan anti jamur topikal yang sesuai seperti imidazole
yang dioleskan pada permukaan yang luas. Jika resisten, pengobatan sistemik juga
harus dilakukan. Pada pasien yang kambuhan, faktor predisposisi harus dicari dan
diobati.
Dermatitis seboroik (SD)
SD adalah peradangan kulit yang kronis dan kambuhan yang sering
ditemui dengan ciri ciri simetris dan bercak merah pada regio anatomis seperti
kulit yang berambut, di tengah tengah wajah, dada, dan punggung dimana terdapat
kelenjar sebasea yang aktif. Prevalensi kondisi ini adalah 5% dan mencapai
puncak pada dekade ke 3 dan 4 kehidupan, lebih banyak terdapat pada laki laki.
Lipatan kulit yang menjadi tempat pertumbuhan infeksi adalah lipatan
nasolabial, kelopak mata, kanalis auditoris eksternus, belakang telinga, pusar,
daerah inguinal, dan ketiak. Meskipun penyebabnya belum jelas, tetapi ragi
Malassezia, hormon androgen, kadar sebum dan respon imun diketahui berperan
penting dalam etiopatogenesisnya. Pada kebanyakan pasien, agen yang
menyebabkan penyakit ini adalah M. Gobosa, M. Furfur, dan M. Restricta.
Hubungan antara jamur dan SD diperkenalkan oleh Malassez pada tahun 1874.
Meskipun hubungan ini ditolak selama tahun 1970an, sekarang telah disetujui
karena pengobatannya yang menggunakan anti jamur menunjukkan banyak
perbaikan. Peran jamur Malassezia pada patogenesis SD berhubungan dengan
perubahan respon imun yang menjadikan hiperproliferasi. Ada bujti yang
menunjukkan bahwa ragi Malassezia menginduksi sitokun pada keratinosit
melalui oriduksi bioaktif indole dan lipase. Maskipun tidak ada bukti bahwa ragi
menginvasi kulit, pada kasus inflamasi dermatosis seperti SD, AD, dan psoriasis,

menjadi aktif dengan a) memproduksi lipase dan fosfolipase dan merusak fungsi
pertahanan kulit, b)meningkatkan respon imun lokal melalui produksi serangkaian
IL lokal di kulitm dan c) menyebabkan sensitivitas terhadap cross-reactive
allergen yang diproduksi oleh ragi Malassezia.
Meskipun ada perkecualian, pengobatan dengan shampo antijamur dan
krim berisi derivat azole, zync pyrithione atau ciprolox dan dengan anti jamur oral
menunjukkan keberhasilan (penyembuhan). Jika pasien resisten dengan
pengobatan anti jamur dan disertai adanya inflamasi, bisa diobati dengan steroid
topikal dengan potensi lemah, calcineurin inhibitor, garam kithium, dan
fototerapi. Karena kondisi ini juga sering terjadi pada pasien dengan HIV dan bisa
menjadi tanda awal dari penyakit, harus dicari kemungkinan HIV pada pasien
terutama pada kasus SD yang luas, berat, dan resisten.
Atopic dermatitis (dermatitis atopik)
AD adalah dermatosis yang sering menyerang 18% anak anak dan 2%
dewasa dan berhubungan dengan peradangan dan rusaknya sistem barrier. Spesies
Malassezia yang berkoloni di kulit memperburuk disfungsi barier pada AD dan
menyebabkan masukya antigen dari ragi tersebut. Mekanisme imun selular dan
humoral menyebabkan inflamasi dan respon imun lainnya. Studi telah
menggambarkan pola kolonisasi Malassezia pada pasien AD dibanding kulit yang
sehat. AD dipercaya berkontribusi terhadap penyakit terutama pada kepala dan
leher, yang merupakan tempat yang disukai Malassezia pada dewasa muda. Tidak
ada bukti bahwa Malassezia memegang peran utama pada terlibatnya lekukan
lekukan seperti kelopak mata dan lipatan antecubiti dan lipatan popliteal. Fakta
bahwa AD terletak pada muka dan leher merespon terhadap pengobatan anti jamur
dan tingginya prevalensi IgE tertentu pada ragi Malassezia membuktikan
hubungan antara AD dan Malassezia. Meskipun demikian, masih belum diketahui
bagaimana Malassezia memperburuk AD. Akan tetapi, Malassezia tidak
memegang peran utama dari patogenesis AD.

Psoriasis
Psoriasis adalah kelainan kulit kronis yang sering terjadi yang mempunyai
ciri ciri proliferasi keratinosit yang berlebihan yang menjadikan kulit menjadi
tebal, ada plak bersisik, peradangan, dan menyebabkan eritema dan kadang gatal.
Hampir 2% hingga 5% dari populasi dunia pernah terserang psoriasis.
Keterlibatan lipatan kulit seperti area perineum, inframammae, ketiak, inguinal,
dan daerah intergluteal disebut inverse psoriasis atau flexural psoriasis. Lesi yang
berbeda didapatkan pada kulit kepala, yang menyerupai dermatitis sebore.
Keefektifan sampo ketoconazole dalam mengobati psoriasis di kulit kepala,
peningkatan kolonosasi Malassezia pada kulit yang berambut, dan peningkatan
antibodi Malassezia pada hitung darah pasien dengan psoriasis adalah bukti
bahwa Malassezia memegang peran utama dari patogenesis psoriasis, meskipun
demikian, banyak studi terkini mendukung hasil dari pengobatan sebelumnya
menggunakan anti jamur pada pengobatan psoriasis pada kulit kepala. Pasien
dengan psoriasis sensitif terhadap Malassezia, dan mikroorganisme bisa memicu
penyakit ini dengan menstimulasi beragam sel yang berperan dalam patogenesis
penyakit ini dan dengan memproduksi sitokin. Pengaktifan penyakit ini
dilaporkan pada pasien dengan psoriasis dengan menggunakan furfur patch test.
Pengetahuan sekarang menunjukkan bahwa ragi Malassezia mungkin berperan
banyak sebagai peran kedua sebagai faktor yang memperberat psoriasis. Atif
jamur tidak diberikan untuk pengobatan kecuali pada inverse psoriasis.
Infeksi jamur pada lipatan yang jarang/langka
White piedra
White piedra adalah infeksi jamur kronis pada batang rambut yang
disebabkan oleh ragi jamur dari genus Trichosporon. Piedra mempunyai arti
batu dalam bahasa Spanyol. Spesies Trichosporon bisa membentuk hifa sejati,
bentuk arthroconidia dan bentuk blastoconodia, agen utamanya adalah T. Ovoides,
T. Cutaneum, dan T. Inkin. White piedra adlah infeksi jamur yang jarang dan
sporadis yang prevalensinya tinggi pada iklim panas dan tropis, banyak terdapat
pada anak anak dan dewasa muda. Lesi berbentuk halus dan berwarna putih
kekuningandan kadang ada nodul coklat disekitar jenggot dan ketiak, serta rambut

pubis dan rambut kepala. Awalnya mereka kecil dan hanya terasa saat disentuh
saja. Ketika mencapai ukuran 1-3 mm, mereka menjadi terlihat. Lesi asimtomatis
biasanya ditemukan pada pemeriksaan fisik rutin. Faktor predisposisi meliputi
lembab, hiperhidrosis, dan kebersihan yang buruk. Harus dibedakan dengan
pediculosis, monilethrix, trichorrexis nodosa, dan hair caps. Pada pasien HIV,
mungkin juga terdapat gambaran yang sama pada eambut perianal. Hifa dengan
septa yang jelas dan arthroconidia dapat dilihat pada pemeriksaan rambut dengan
menggunakan mikroskop, sembuh dengan pengobatan KOH 10% hingga 20%
membuktikan diagnosis. Pada media agar Saburoud didapatkan gambaran seperti
otak dan koloni ragi basah. Dapat diidentifikasi melalui uji biokimia dan
pengamatan mikromorfik.
Pengobatan dari white piedra ini biasanya meliputi mencukur rambut
tubuh untuk menghilangkan daerah rambut yang terinfeksi. Mercury bichloride
1%, larutan teriodinasi 1% dan larutan asam salisilat 1% bisa diberikan. Derivat
imidazole juga bisa diberikan. Salah satu pendekatan praktis adalah penggunaan
sampo ketoconazole 2% disertai itraconazole sistemik pada pasien yang tidak mau
mencukur rambutnya.
Otomycosis
Otomikosis juga dikenal sebagi infeksi jamur pada kanalis auditorik
eksterna, yang bisa berkomplikasi dan menyebar ke telinga tengah. Biasanya
ditemukan pada daerah tropis yang lembab dan daerah subtropis. Faktor
predisposisi meliputi higiene yang buruk dan penggunaan antibiotik spektrum luas
seperti quinolone. Agen yang paling sering adalah Aspergilus niger dan C.
Albicans. Aspergillus niger bisa menjadikan terbentuknya gumpalan tebal pada
kanalis auditoris eksternus yang mengganggu pendengaran dan menyebabkan
sekresi serous. Disamping debridemen, pengobatannya meliputi agen ototropik
dan sistemik yang meliputi anti jamur seperti nistatin dan/atau golongan azole
yeng terdiri dari cotrimazole dan ketoconazole. Belum ada anti jamur yang
disetujui oleh FDA.

Anda mungkin juga menyukai