PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anak merupakan anugerah yang diberikan oleh Tuhan YME kepada setiap pasangan.
Setiap manusia/pasangan tentunya ingin mempunyai anak yang sempurna baik secara fisik
maupun psikis. Namun dalam kenyatanya masih banyak kira jumpai bayi dilahirkan
dengankeadaan cacat bawaan/kelainan kongenital.
Kelainan kongenital yang cukup berat merupakan penyebab utama kematian bayi dalam
bulan-bulan pertama kehidupannya, hal ini seakan-akan merupakan suatu seleksi alam
terhadap kelangsungan hidup bayi yang dilahirkan.
Maka pada makalah iniakan dibahas tentang neonatus dengan kelainan bawaan yang
meliputi meningokel, ensefalokel, hidrosefalus, fimosis, hipospadia serta kelainan
metabolic dan endokrin.
1.2 Tujuan
A. Memaparkan tentang neonatus dengan kelainan kongenitasl
B. Mengetahui jenis-jenis kelainan pada neonates
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kelainan Kongenital
Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi yang timbul
sejak kehidupan hasil konsepsi sel telur. Kelainan kongenital dapat merupakan sebab
penting terjadinya abortus, lahir mati atau kematian segera setelah lahir. Kematian bayi
dalam bulan-bulan pertama kehidupannya sering diakibatkan oleh kelainan kongenital
yang cukup berat, hal ini seakan-akan merupakan suatu seleksi alam terhadap
kelangsungan hidup bayi yang dilahirkan. Bayi yang dilahirkan dengan kelainan
kongenital besar, umumnya akan dilahirkan sebagai bayi berat lahir rendah bahkan sering
pula sebagai bayi kecil untuk masa kehamilannya. Bayi berat lahir rendah dengan kelainan
kongenital berat, kira-kira 20% meninggal dalam minggu pertama kehidupannya.
Di samping pemeriksaan fisik, radiologik dan hboratorik untuk menegakkan diagnosis
kelainan kongenital setela6 bayi lahir, dikenal pula adanya diagnosis pre/ante-natal
kelainan kongenital dengan beberapa cara pemeriksaan tertentu misalnya pemeriksaan
ultrasonografi, pemeriksaan air keruban dan darah janin.
1. Faktor Etiologi
Penyebab langsung kelainan kongenital sering kali sukar diketahui. Pertumbuhan
embrional dan fetal dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti faktor genetik, faktor
lingkungan atau kedua faktor secara bersaman. Beberapa faktor etiologi yang diduga dapu
mempengaruhi terjadinya kelainan kongenital antara lain:
Kelainan genetik dan kromosom
Kelainan genetik pada ayah atau ibu kemungkinan besar akan berpengaruh atas kejadian
kelainan kongenital pada anaknva. DI antara kelainan-kelainan ini ada yang mengikuti
hukum Mendel biasa, tetapi dapat pula diwarisi oleh bayi yang bersangkutan sebagai unsur
dominan ("dominant traits") atau kadang-kadang ,sebagai unsur resesif. Penyelidikan
dalam hal ini se ring sukar, tetapi adanya kelainan sama dalam satu keturunan dapat
membantu langkah-langkah kongenital yang selanjutnya.
Dengan adanya kemajuan dalam bidang teknologi kedokteran, maka telah dapat diperiksa
kemungkinan adanya kelainan kromosom selama kehidupan fetal serta telah dapat
dipertimbangkan tindakan-tindakan seianjutnya. Beberapa contoh: kelainan kromosom
autosomal trisomi 21 sebagai sindroma Down (mongolisme), kelainan pada kromosom
kelamin sebagai sindroma Turner.
Faktor mekanik
Tekanan mekanik pada janin selama kehidupan intrauterin dapat menyebabkan kelainan
bentuk organ tubuh hingga menimbulkan deformitas organ tersebut. Faktor predisposisi
dalam penumbuhan organ itu sendiri akan memptrmudah terjadinya deformitas suatu
organ. Sebagai contoh deformitas organ tubuh ialah kelainan talipes pada kaki seperti
talipes varus, talipes valgus, talipes equinus dan talipes equinovarus. (clubfoot).
Faktor Infeksi
Infeksi yang dapat menimbulkan kelainan kongenital ialah infeksi yang terjadi pada
periode organogenesis yakni dalam trimester pertama kehamilan. Adanya infeksi tertentu
dalam periode organogenesis ini dapat menimbulkan gangguan dalam penumbuhan suatu
organ tubuh. Infeksi pada trimester pertama di samping dapat menimbulkan kelainan
kongenital dapat pula meningkatkan kemungkinan terjadinya abortus. Sebagai contoh
infeksi virus pada trimester pertama ialah infeksi oleh virus Rubella. Bayi yang dilahirkan
oleh ibu yang menderita infeksi Rubella pada trimester pertama dapat menderita kelainan
kongenital pada mata sebagai katarak, kelainan pada sistem pendengaran sebagai tuli dan
ditemukannya kelainan jantung bawaan. Beberapa infeksi lain pada- trimester pertama
yang dapat menimbulkan kelainan kongenital antara lain ialah infeksi virus
sitomegalovirus, infeksi toksoplasmosis. Kelainan-kelainan kongenital yang mungkin
dijumpai ialah adanya gangguan pertumbuhan pada sistem saraf pusat seperti hidrosefalus,
mikrosefalus, atau mikroptalmia.
Faktor obat
Beberapa jenis obat tertentu yang diminum wanita hamil pada trimester pertama
kehamilan diduga sangat erat hubungannya dengan terjadinya kelainan kongenital pada
bayinya. Salah satu jenis obat yang telah diketahui dapat menimbulkan kelainan
kongenital ialah thalidomide yang dapat mengakibatkan terjadinya fokomelia atau
mikromelia. Beberapa jenis jamu-jamuan yang diminum wanita hamil muda dengan tujuan
yang kurang balk diduga erat pula hubungannya dengan terjadinya kelainan kongenital,
walaupun hal MI secara laboratorik belum banyak diketahui secara pasti.
Sebaiknya selama kehamilan, khususnya trimester pertama, dihindari pemakaian obatobatan yang tidak perlu sama sekali; walaupun hal in] kadang-kadang sukar dihindari
karena calon ibu memang terpaksa harus minum obat. Hal ini misalnya pada pemakaian
transkuilaiser untuk penyakit tertentu, pemakaian sitostatik atau preparat hormon yang
tidak dapat dihindarkan; keadaan ini perlu dipertimbangkan sebaik-baiknya sebelum
kehamilan dan akibatnya terhadap bayi.
Faktor umur ibu
Telah diketahui bahwa mongolisme lebih sering ditemukan pada bayi-bayi yang dilahirkan
oleh ibu yang mendekati masa menopause. DI bangsal bayi baru lahir Rumah Sakit Dr
Cipto Mangunkusumo pada tahun 1975-1979, secara klinis ditemukan angka kejadian
mongolisme 1,08 per 100 kelahiran hidup dan citemukan risiko relatif sebesar 26,93 untuk
kelompok ibu berumur 35 tahun atau lebih; angka kejadian yang ditemukan ialah 1 : 5500
untuk kelompok ibu berumur < 35 tahun, 1 : 600 untuk kelompok ibu berumur 35-39
tahun, 1 : 75 untuk kelompok ibu berumur 40-44 tahun dan 1 : 15 untuk kelompok ibu
berumur 45 tahun atau lebih.
Faktor hormonal
Faktor hormonal diduga mempunyai hubungan pula dengan kejadian kelainan kongenital.
Bayi yang dilahirkan oleh ibu hipotiroidisme atau ibu penderita diabetes mellitus
kemungkinan untuk mengalami gangguan pertumbuhan lebih besar bila dibandingkan
dengan bayi yang normal.
Faktor radiasi
Radiasi pada permulaan kehamilan mungkin sekali akan dapat menimbulkan kelainan
kongenital pada janin. Adanya riwayat radiasi yang cukup besar pada orang tua
dikhawatirkan akan dapat mengakihatkan mutasi pada gene yang mungkin sekali dapat
menyebabkan kelainan kongenital pada bayi yang dilahirkannya. Radiasi untuk keperluan
diagnostik atau terapeutik sebaiknya dihindarkan dalam masa kehamilan, khususnya pada
hamil muda.
Faktor gizi
Pada binatang percobaan, kekurangan gizi berat dalam masa kehamilan dapat
menimbulkan kelainan kongenital. Pada manusia, pada penyelidikan-penyelidikan
menunjukkan bahwa frekuensi kelainan kongenital pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh
ibu yang kekurangan makanan lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi-bayi yang lahir
dari ibu yang balk gizinya. Pada binatang percobaan, adanya defisiensi protein, vitamin A
riboflavin, folic acid, thiamin dan lain-lain dapat menaikkan kejadian kelainan kongenital.
B. Jenis-jenis Kelainan Kongenital
1. Meningokel
Meningokel merupakan penyakit kongenital dari kelainan embriologis yang disebut
Neural tube defect (NTD). Meningokel disebabkan oleh banyak faktor dan metibatkan
banyak gen (multifaktoral dan poligenik). Banyak sekali penetitian yang mengungkap
bahwa sekitar tujuhpuluh persen kasus NTD dapat dicegah dengan suplementasi asam
fclai, sehingga defisiensi asam folat dianggap sebagai salah satu faktor penting dalam
teratogenesis meningokel. Basis molekut defisiensi asam folat adafah kurang adekuatnya
enzim enzim yang mentransfer gugus, karbon dalam proses metiiasi protein dalam se1,
baik dalam nukleus maupun mitokhondria, sehingga terjadi gangguan biosintesis DNA dan
RNA. serta kenaikan kadar homosistein.
Defek tulang pada meningokel secara embriologis terjadi akibat gangguan proses
neurulasi, yaitu tetap melekatnya ektoderm epidermis dengan ektoderm neural sehingga
migrasi sei sel mesoderm pembentuk tulang ke tempat tersebut terhambat dengan akibat di
area itu tidak terberttuk tuEang,(teari non separasi dari Stcmberg). Dalam proses ini, faktor
pertumbuhan yang berfungsi memacu sintesis matriks tulang mungkin juga berperan.
Terdapcit dua macarn faktor pertumbuhan dimaksud di atas yaitu TGF (khususnya TGF,
1) dan IGF 1, yang dalam banyak penelitian telah dibuktikan aksinya pada pembentukan
tulang.
Penelitian ini dilaksanakan untuk mengungkap korelasi defisiensi asam folat dengan kadar
TGF, l dan TGF 1 dalam serum maupun dalam tulang, serta korelasi kadar kedua faktor
pertumbuhan tersebut dalam tulang kepala pasien meningokel dengan lebar defek. Bila
kedua hal-Iadi teiah terungkap, maka proses teratogenesis meningokel menjadi lebih jelas.
Penelitian ini menggunakan dua macam cara, sesuai dengan hipotesis yang hendak diuji,
yaitu metode eks perimental laboratoris dengan hewan coba tikus dan metode
observasional klinis pada pasien meningokel.
Derajat defisiensi asam folat dikelompokkan daiam kategori berat dan ringan sesuai
dengan rangsum yang diberikan, yaitu rangsum sangat rendah folat dan rangsum rendah
folat, sedangkan untuk kontrol adalah rangsum cukup folat. Komposisi rangsum dibuat
sesuai dengan standar kandungan dan takaran purified diet yang selama ini telah
digunakan, meliputi : glukosa, selulosa, casein non vitamin, sunflower oil, choline,
mineral, vitamin tanpa folat dan trace element asam folat dengan tiga takaran yang
berbeda untuk setiap kelompok hewan coba, diberikan lewat sonde oral. Enambelas
minggu setelah pemberian diet, darah hewan coba diambil untuk pemeriksaan kadar asam
folat, TGF 1 dan IGF I, Hewan kemudian dikawinkan, selelah janin lahir diambil tulang
kepalanya untuk pemeriksaan kadar TGF 01 dan IGF 1. Pada pasien meningokel sewaktu
operasi eksisi dengan metode standar, jaringan tulang tepi defek diambil sedikit untuk
pemeriksaan TGF R1 dan IGF I, dan lebar defek diukur dengan antropometer Martin.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan terdapat korelasi
kadar-asam folat yang cukup kiuat dengan kadar TGF 1 dan IGF I, serta jumlah sel
apoptosis dan nekrosis; demikian juga dengan proses terbentuknya defek tulang pada
pasien meningokef. Hasi1 penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi ilmu
pengetahuan tentang konsep baru terbentuknya defek tulang kepala pada meningokel yang
dikaitkan dengan defisiensi asam fofat. Penefitian ini juga bermanfaat untuk memperluas
aspek pencegahan bagi kasus meningokel dan kelainan neural tube defect pada umumnya,
serta aspek pengobatan terhadap kasus defek tulang kepala, bahkan sejak pasien masih
berada di dalam kandungan.
2. Ensefalokel
a. Defenisi
Ensefalokel adalah suatu kelainan tabung saraf yang ditandai dengan adanya
penonjolan meningens (selaput otak) dan otak yang berbentuk seperti kantung melalui
suatu lubang pada tulang tengkorak. Ensefalokel disebabkan oleh kegagalan penutupan
tabung saraf selama perkembangan janin.
b. Gejala
Gejalanya berupa :
Hidrosefalus
kelumpuhan keempat anggota gerak (kuadriplegia spastik)
gangguan perkembangan
mikrosefalus
gangguan penglihatan
keterbeiakangan mental dan pertumbuhan
ataksia
kejang.
Beberapa anak memiliki kecerdasan yang normal. ensefalokel seringkali disertai
dengan kelainan kraniofasial atau kelainan otak lainnya.
c. Etiologi
Ada beberapa dugaan penyebab penyakit itu diantaranya, infeksi, faktor usia ibu yang
tertaiu muda atau tua ketika hamil, mutasi genetik, serta pola makan yang tidak tepat
sehingga mengakibatkan kekurangan asam folat. Langkah selanjutnya, sebelun hamil,
ibu sangat disarankan mengonsumsi asam folat dalam jumlah cukup. Pemeriksaan
laboratorium juga diperlukan untuk mendeteksi ada-tidaknya infeksi.
d. Penatalaksanaan
Mencegah Ensefalokel
Bagi ibu yang berencana hamil, ada baiknya mempersiapkan jauh jauh hari. Misalnya,
mengonsumsi makanan bergizi serta menambah supfemen yang mengandung asam
folat. Hal itu dilakukan untuk mencegah terjadinya beberapa kelainan yang bisa
menyerang bayi_ Safah satunya, encephalocele atau ensefalokel. Biasanya dilakukan
pembedahan untuk mengembalikan jaringan otak yang menonjol ke dalam tulang
tengkorak, membuang kantung dan memperbaiki kelainan kraniofasial yang terjadi.
Untuk hidrosefalus mungkin perlu dibuat suatu shunt. pengobatan lainnya bersifat,
simtomatis dan suportif. Prognosisnya tergantung kepada jaringan otak yang terkena,
lokasi kantung dan kelainan otak yang menyertainya.
3. Hidrosefalus
a. Defenisi
Hidrosefalus (kepala air, istilah yang berasal dari bahasa Yunani: "hydro" yang
berarti air dan "cephalus" yang berarti kepala; sehingga kondisi ini sering dikenal
dengati "kepala air") adalab penyakit yang terjadi akibat gangguan aliran cairan di
dalam otak (cairan serebro spinal). Gangguan itu menyebabkan cairan tersebut
bertambah banyak yang selanjutnya akan menekan jaringan otak di sekitarnya,
khususnya pusat-pusat saraf yang vital.
Hidrosefalus adalah keadaan dimana terjadi akumulasi CSS yang berlebihan pada
satu atau lebih ventrikel dan ruang subarakhnoid. Bila akumulasi CSS yang
berlebihan terjadi diatas hemisfer serebral, keadaan ini disebut higroma subdural
atau koleksi cairan subdural. Pada kasus akurnulasi cairan yang berlebihan terjadi
pada sistema ventrikuler, keadaan ini disebut sebagai hidrosefalus internal.
Peninggian TIK harus dibedakan dari peninggian tekanati intraventrikulcr.
Beberapa lesi intrakraniai menyebabkan peninggian TIK, namun tidak perlu
menyebabkan hidrosefalus. Peningaian volume CSS tidak ekivalen dengan
hidrosefalus; ini juga terjadi pada atrofi serebral. Juga, dilatasi ventrikuler tidak
selalu berarti hidrosefalus dan juga tampak pada atrofi serebral. Hidrosefalus
adalah kesatuan klinix yang dibedakan oleh tiga faktor: (1) peninggian tekanan
intraventrikuler, (2) penambahan volume CSS, dan (3) dilatasi rongga CSS.
Hidrosefalus internal menyebabkan peninggian tekanan intraventrikuler dan
pembesaran sistem ventrikuler. Mantel serebral terregang dan menipis. Sentrum
oval, talamus dan ganglia basal tertekan. Akson kortiko spinal dan kortikotalamik
tertekan dan terregang, serta mielinasinya terganggu. Giri hemisfer serebral
mendatar, dan vaskulatur serebral terregang. Septum pelusidum menjadi tipis,
seperti juga vault dan dasar tengkorak. Rongga subarakhnoid serta sistemnya diluar
hemisfer serebral berdilatasi, umumnya dengan tidak mengindahkan jenis dari
hidrosefalus. Nekrosis subependimal serta edema dkibat pendataran dan robeknya
lapisan ependimal serta pembesaran ruang ekstraseluler, dapat dilihat pada
mikroskop elektron.
obstruksi dengan CT scan transisi dari ruang CSS yang berdilatasi dan tidak.
Kebanyakan kasus hidrosefalus disebabkan oleh obstruksi jalur CSS (hidrosefalus
obstruktiva) . ada dua jenis obstruksi jalur CSS: obstruksi intraventrikuler atau non
komunikans (hidrosefalus obstruktif intraventikuler nonkominukans) dan obstruksi
ekstra ventrikuler (hidrosefalus obstruktif ekstraventikuler kominikans). Secara
umum dilatasi ventrikuler lebih jelas pada obstruksi intraventrikuler dibanding
obstruksi ekstraventrikuler.
Kebanyakan keadaan berikut adalah didapat disanping kongenitas, namun
pengetahuan mengenainya diperlukan untuk mengerti sepenuhnya tentang
hidrosefalus. Pada banyak kasus bentuk dapat dikenal dan bentuk kongenital
karenanya yang biasa bersamaan dengan hidrosefalus diantaranya porensefali,
agenesis korpus kalosum, displasia lobar, hidranensefali, displasia tentorial,
malformasi Chiari, sista Dandy-Walker, holoprosensefali, sista arakhnoid, dan
aneurisma vena Ga1en.
Hidrosefalus Obstruktiva Intraventrikuier
Pada dilatasi monoventrikuler, obstruksi foramina' Monro (atresia satu foramina
Monro) berakibat dilatasi unilateral dari ventrikel lateral pada sisi yang obstruksi
dan menyebabkan hidrosefalus unilateral atau asimetrikal. Bila terjadi dilatasi
biventrikuler, obstruksi ke ventrikel ketiga menyebabkan dua foramina Monro atau
hidrosefalus simetrikal.
Pada dilatasi triventrikuler, obstruksi akuaduktus (stenosis akuaduktus)
menyebabkan dilatasi ventrikel lateral dan ventrikel ketiga. Ventrikel keempat
biasanya normal dalam ukuran dan lokasinya.
Pada dilatasi tetraventrikuler, atau panventrikuler, obstruksi outlet ventrikel
keempat (atresia foramina Luschka dan Magendie) menyebabkan dilatasi semua
bagian sistema ventrikuler, terutama ventrikel keempat (transformasi sistik
ventrikel keempat, atau sista Dandy-Walker)
Hidrosefalus Obstruktiva Ekstraventrikuler
Obstruksi ekstraventrikuler biasanya menyebabkan dilatasi sistem ventrikuler dan
rongga subarakhnoid proksimal dari daerah obstruksi. Jenis umum obstruksi ini
adalah blok insisural, blok sisterna basal, blok konveksitas, dan blok ruang CSS
distal. Blok granulasi arakhrroid mungkin berakibat dilatasi semua rongga CS
Hidrosefalus Konstriktiva
Pada malformasi Chiari jenis II, yang tampak pada pasien dengan
rnielomeningosel, hindbrain yang ter_qeser kebawah rnungkin tertambat pada
sambungan kraniovertebral dan fossa posterior yang kecil mur?gkin nengalarni
obstruksi secara anatomi. Konsekuensinya, hidrosefalus mungkin terjadi karena
gangquan sirkulasi CSS sekitar hindbrain. Pada keadaan ini ventrikel keempat
memperlihatkan peryasaran kebawah dan tak dapat diidentifikasi pada posisi
normal. Ventrikel keempat sering ditemukan dalam kanal servikal.
Prognosis Pidrosefalus Kongenital
Biasanya ia menangis dan pada ujung penisnya tampak menggembung. Air seni
yang tidak lancar, kadang-kadang menetes dan memancar dengan arah yang
tidak dapat diduga. Kalau sampai timbul infeksi, maka si buyung akan
mengangis setiap buang air kecil dan dapat pula disertai demam.
Jika gejala-gejala di atas ditemukan pada anak, sebaiknya bawa ia ke dokter.
Jangan sekali-kali mencoba membuka kulup secara paksa dengan menariknya
ke pangkal penis. Tindakan ini berbahaya, karena kulup yang ditarik ke
pangkal dapat menjepit batang penis dan menimbulkan rasa nyeri dan
pembekakan yang hebat. Hal ini dalam istilah kedokteran disebut para Fimosis.
Jika si Buyung mengalami kesulitan buang air kecil, dokter akan mencoba
melebarkan kulit yang melekat, namun hal ini harus dilakukan dengan sangat
hati-hati oleh seorang dokter yang berpengalaman.
Jika upaya ini gagal, maka tindakan sirkumsisi (sunat) adalah jaian keluarnya,
apalagi jika fimosisnya menetap dan terjadi infeksi. Untuk melakukan
sirkumsisi pada anak juga harus dipertimbangkan masalah pembiusannya
karena jika si Buyung takut dan merasa sakit maka hal ini akan mempengaruhi
kondisi kejiwaannya kelak kemudian hari. Selain itu jika si Buyung merontaronta karena taku[ atau sakit, mal:a tindakan sirkumsisi ini malah akan
membahayakan, karena dapat melukai penisnya dan jahitan kulit penis tidak
dapat dikerjakan secara sempurna
b. Penatalaksanaan
Fimosis didapat (fimosis patologik, fimosis yang sebenarnya, true phimosis)
timbu! kemudian setelah lahir. Hal ini berkaitan dengan kebersihan (higiene)
alat kelamin yang buruk, peradangan kronik gtans penis dan kulit preputium
(balanoposthitis kronik), atau penarikan berlebihan kulit preputium (forceful
retraction) pada fimosis kongenital yang akan menyebabkan pembentukkan
jaringan ikat (fibrosis) dekat bagian kulit preputiurn yang membuka.
Fimosis kongenital seringkali menimbulkan fenomena ballooning, yakni kulit
preputium mengembang saat berkemih karena desakan pancaran air seni tidak
diimbangi besarnya tubang di ujung preputium. Fenomena ini akan hilang
dengan sendirinya, dan tanpa adanya fimosis patologik, tidak selalu
menunjukkan adanya hambatan (obstruks) air seni. Selama tidak terdapat
hambatan aliran air seni, buang air kecil berdarah (hematuria), atau nyeri
preputium, fimosis bukan merupakan kasus gawat darurat. Fimosis kongenital
seyogyanya dibiarkan saja, kecuali bila terdapat alasan agama dan/atau sosial
untuk disirkumsisi. Hanva diperlukan penjelasan dan pengertian mengenai
fimosis kongenital yang memang normal dan lazim terjadi pada masa kanakkanak serta menjaga kebersihan alat kelamin dengan secara rutin
membersihkannya tanpa penarikan kulit preputium secara berlebihan ke
belakang batang penis dan mengembalikan kembali kulit preputium ke depan
batang penis setiap selesai membersihkan. Upaya untuk membersihkan alat
kelamin dengan menarik kulit preputium secara berlebihan ke belakang sangat
berbahaya karena dapat menyebabkan luka, fimosis didapat, bahkan
parafimosis. Seiring dengan berjalannya waktu, perlekatan antara lapis bagian
dalam kulit preputium dan glans penis akan lepas dengan sendirinya. Walaupun
demikian, jika fimosis menyebabkan hambatan aliran air seni, dipertukan
tindakan sirkumsisi (membuang sebagian atau seluruh bagian kulit preputium)
c. Penatalaksanaan
Tindakan operasi harus dilakukan sebelum anak memasuki usia sekolah,
diharapkan anak tidak malu dengan keadaanya setelah tahu bahwa anak lakilaki lain kalau BAK beriri sedangkan anak pengidap hipospadia harus jongkok
seperti anak perempuan (karena lubang penisnya berada di bagian bawah
penis).
Selain itu jika hipospadia tidk dioperasi maka setelah dewasa dia akan sulit
untuk melakukan penetrasi/coitus , selain penis tidak dapat tegak dan lurus
(pada hipospadia penis bengkok akibat adanya chordae), lubangkeluar sperma
terletak di bagian bawah.
Operasi hiposdia satu tahap (one stage urethra plasty) adalah tehnik operasi
sederhana yang sering dapat digunakan terutama untuk hipospadia tipe distal.
Tipe distal ini yang meatusnya letak anterior atau di middle. Meskipun hasilnya
sering kurang begitu bagus untukkelainan yang berat sehingga banyak dokter
lebih memilih untuk melakukan 2 tahap untuk tipe hipospadia proksimal yang
disertai dengan kelainan yang jauh lebih berat maka one stage uretroplasty
nyaris tidak dapat dilakukan.
Tipe hipospadia yang sering kali diikuti dengan kelainn-kelainan yang berat
seperti korda yang berat, globuler glans ygbengkok kearah ventral (bawah)
dengan dorsal skinhood dan propenil bifid scrotum. Intinya tipe hipospadi yang
letak lubang air seninya lebih kearah proksimal (jauh dari tempat semestinya)
biasanya diikuti dengan penis yang bengkok dan kelainan lain diskrotum atau
sisa kulit yang sulit ditarik pada sat dilakukan operasi pembuatan uretra.
Kelainan seperti ini biasanya harus dilakukan dengan 2 tahap yaitu:
Tahap 1 : Dilakukan untuk meluruskan penis supaya posisi meatus (lubang
tempat keluar kencing) nantinya letaknya lebih proksimal (lebih
mendekatiletak yang normal), memobilisasi kulit dan prepurium untuk
menutup bagian ventral/bawah penis.
Tahap 2 : Dilakukan urethroplasty (pembuatan uretra) sesudah 6 bulan.
Tujuan utama penanganan operasi hipospadia adalah merekonstruksi
penismenjadi lurus dengan meatus uretra ditempat yang normal atau dekat
normal sehingga aliran kencing arahnya kedepan dan dapat melakukan koitus
dengan normal, prosedur operasi satutahap pada usia yang dini dengan
komplikasi yang minimal. Penyempurnaan tehnik operasi danperawatan paska
operasi menjadi prioritas utama.
5) Hasil akhir: meskipun dengan diet rendah protein, kebanyakan neonatus tak
akan bertahan hidup sampai sepuluh tahun pertama kehidupan
3) Jarang pada bayi cukup bulan dan biasanya berhubungan dengan asupan
kalsium dan vitamin D yang rendah.
b. Manifestasi klinis: biasanva asimtomatik dan ditemukan tak sengaja; nyeri
saat dirawat.
b. Diagnosis
1) Gambaran radiograf klasik adalah demineralisasi umum tulang
(penampilan kabur), dan pelebaran, cekungan, serta penipisan metafisis
distal.
2) Pemeriksaan meliputi kalsium serum (normal), fosfor serum (rendah),
alkali fosfatase serum (tinggi), dan kadar 1,25-dihidroksivitamin D (tinggi).
d. Intervensi
1) Berespons terhadap terapi nutrisi; pertahankan rasio Ca/P 1,3:1 sampai
1,7:1 dalam nutrisi parenteral tatal; suplementasi kalsium dan fosfor.
Fosfor harus selalu ditambahkan pada suplementasi kalsium untuk
mengurangi risiko nefrokalsinosis.
2) Gunakan formula prematur atau ASI dengan suplemen ASI yang
diperkaya.
3) Rakitis premahiritas perlu dosis rumatan harian vitamin D
9. Gangguan kelenjar paratiroid
a. Fungsi: kelenjar paratiroid terletak di sebelah kelenjar tiroid;
mensekresi hormon paratiroid (parathyroid hormone, PTH) yang
merupakan regulator primer kalsium serum; PTH meningkatkan kalsium
serum dengan memobilisasi kalsium dari tulang, meningkatkan
reabsorpsi kalsium di ginjal, dan secara tak langsung berperan pada
pembentukan
vitamin
D.
b. Hipoparatiroidisme
1) Faktor risiko: kongenital (mis., hipoparatiroidisme tersendiri familial,
sindrom DiGeorge, atau sindrom Kerry-Caffy); transien atau sekunder
(mis., hipoparatiroidisme maternal, bayi prematur, bay] dari ibu DM, dan
asfiksia
kelahiran).
2) Diagnosis; kalsium serum rendah dan fosfor serum tinggi dengan
fungsi ginjal normal: kadar PTH akan tetap rendah atau tinggi bila
masalah
pokoknya
adalah
responsivitas
organ
akhir.
3) Manifestasi klinis: bisa samar; retleks dalam otot; kedutan; dan kejang;
letargi; susah makan; apnea; perdarahan lama; kontraktilitas jantung
berkurang, perfusi buruk, takikardia, dan/atau hipotensi; mineralisasi
tulang rendah; serta dieurigai bila tak mampu mempertahankan kadar
kalsium serum normal.
4) Penanganan
a) Hipoparatiroidisme transien memerlukan suplementasi kalsium jangka
pendek.
b) Gangguan kongenital memerlukan suplementasi kalsium dan vitamin
D sepanjang hidup dengan pengurangan asupan fosfor.
c) Pemberian PTH masih eksperimental (St c~ensnud', 2000).
c. Hiperparatiroidisme
1) Etiologi: jarang tetapi mengancam jiwa; hiperparatiroidisme primer
ditandai dengan hipeiplasia ke semua empat kelenjar dan dapat
diturunkan,
hiperparatiroidisme
sekunder
biasanya
akibat
hipoparatiroidisme maternal.
b) Manifestasi klinis
(1) Biasanya gejala tak terlihat, kecuali bayi sakit sangat berat.
(2) Fontanel terbuka lebar; berat badan lahir besar (>4 kg) atau gestasi
lebih dari 42 n;inggu.
(3) Hipotermia; hipotonia; letargi.
(4) Susah makan, distensi abdomen, dan ikterus yang berlangsung lebih
dari 3 hari.
(5) Goiter.
(6) Tanda akhir: kulit kering, makroglosia, rambut kasar, kelopak mata
bengkak, menangis parau, miksedema, dun konstipasi
c) Pemeriksaan diagnostic
(1) Biasanya terdiagnosis dengan penapisan bayi baru lahir: T4 rendah
(Ian "fSH tinggi; jaaang T4 rendah dan TSH rendah; T4 rendah dan TSH
normal dapat dilihat pada tiroid ektopik atau hipoplastik
(2) Fungsi tiroid meningkat pada periode baru lahir : periksa T4. T4
bebas,
TSH,T3,
dan
TBG;
Scull
tyroid,
d) Penanganan
(1) Konsultasi endokrinologis.
(2) Levotiroksin; harus diberikan segera mungkin dan diteruskan seumur
hidup; dosis disesuaikan sesuai kadar T4 dan TSH dan harus sering
dipantau.
(3) Defisiensi TBG tidak ada pengobatannya
e) Hasil akhir: progmosis perkembangan mental bergantung pada awitan
terapi; anak yang penanganannya dimulai pada usia 1 bulan mempunyai
prognosis yang baik mengenai perkembangan mentalnya.
2) Kondisi transien
a) Sindrom sakit eutiroid terjadi pada penyakit akut dan kronis. Datang
dengan T4 rendah, T3 sangat rendah, peningkatan cadangan T3, dan
kadar TSH normal. Biasanya tak diperlukan penanganan.
b) Hipotiroidisme primer transien jarang; terjadi lebih sering di Eropa
daripada Amerika Serikat. Datang dengan T4 rendah dan TSH tinggi.
Pemberian sementara iodin direkomendasikan
c) Hipotiroksinemia transient, umum terjadi pada bayi prematur.
(1) Etiologi: diduga sebagai imaturitas aksis H-P-T, Iodin
rendah/tinggi, dan faktor lain yang berhubungan dengan imaturitas.
Pantau
elektrolit
serum dan
curah
urine
ketat.
b)
2) Manifestasi klinis:
berikan uji stimulasi ACTH: ulan;i kadar ACTH dan enzim spesifik
lainnya serta kortisol; bila AC1'1-I meningkat setelah dilakukan uji.
berikan hidrokortison.
c) Memerlukan penggantian jangka panjang kortisol (hidrokortison` dan
mineralokartikoid (9 a-fludrokortison).
d) Konsultasikan sclalu ke endokrinologis pediatrik dan pertin bangkan
pemindahan ke institusi yang menspesialiswikan diri di hidang
endokrinologi serta menyediakan layanan medis, bedah, dan dukungan
psikologis yang diperlukan.
5) Hasil akhir: memerlukan kortisol ekstra selama stres; pantau
pertumbuhan tulang; untuk maskulinisasi wanita, pendekatan tim
diperlukan untuk menentukan kebutuhan masing-masing individu dan
penentuan waktu pembedahan konstruksi.
c. Insufisiensi adrenal
1) Etiologi: hemoragi adrenal; insufisiepsi adrenal transien atau
iatrogenik; hipoplasia adrenal kongenital; defisiensi aldosteron saja;
pseudohipoaldosteronisme; tahanan ACTH adrenal kongenital;
adrenoleukodistrofi neonatal; defisiensi kinase gliserol infantil.
2) Manifestasi klinis
a) Hipoplasia kongenital datang sebagai neonatus dengan
hipoglikemia berat, sukar makan, dan gagal tumbuh.
b) Insufisiensi transien bisa terlihat sebagai hiponatremia,
hiperkalemia, poliuria, dehidrasi, dan gagal tumbuh.
3) Pemeriksaan diagnostic
a) Elektrolit serum; glukosa serum; kadar kortisol serum dan urine.
b) Kadar ACTH dan renin; uji stimulasi ACTH.
c) Ultrasonografi adrenal.
4) Intervensi: perawatan suportif; mungkin perlu mempertimbangkan
pengobatan jangka pendek dengan glukokortikoid bila transien.
Hipoplasia kongenital memerlukan penggantian kortisol selama
hidup.
5) Hasil akhir: insufisiensi transien tidak memerlukan terapi
penggantian sepanjang hidup; hasil akhir penyebab lain bergantung
pada etiologi.
d. Hemoragi adrenal
1) Etiologi: biasanya karena trauma mekanis selama proses kelahiran.
2) Manifestasi klinis
a) Bisa asimtomatik.
b) Biasanya datang dengan pucat, apnea, hipotermia dengan
penurunan hematokrit (Hct), dan ikterus. Bisa datang dengan syok
hipovolemik bila cukup berat.
c) Massa latus (biasanya sisi kanan).
d) Tanda insufisiensi adrenal tidak selalu ada, kecuali terdapat
perdarahan bilateral dengan kerusakan jaringan adrenokortikal
90%
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi yang timbul sejak
kehidupan hasil konsepsi telur.
Hal ini menunjukkan bahwa kelainan kongenital terjadi pada awal konsepsi. Hal ini terjadi
karena faktor lingkungan dan genetic atau kedua faktor secara bersamaan.
Jadi kelainan kongenital dapat diantisipasi pada saat ibu sebelum dan ketika hamil dengan
cara makan-makanan yang bergizi, menjaga kebersihan diri dan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Hanifa,2006,ilmu kebidanan,jakarta:yayasan binapustaka. Saworno parwiharjo.
Ngastia,2005,perawatan anak sakit,jakarta:EGC.
Haws,paulette S.,2008,asuhan neonatus rujukan cepat,jakarta:EGC