Anda di halaman 1dari 24

REFERAT OTOTOKSIK

BAB I
PENDAHULUAN

Ototoksisitas merupakan keadaan gangguan pada telinga yang


disebabkan oleh obat atau zat kimia yang merusak telinga bagian dalam
atau saraf vestibulocochlear, yang mengirim info keseimbangan dan
pendengaran dari telinga bagian dalam ke otak. Otoksisitas dapat
menyebab gangguan pendengaran, keseimbangan, atau keduanya baik
untuk sementara waktu atau permanen. Banyak zat kimia yang berpotensi
bersifat ototoksik, baik itu berupa obat atau zat kimia yang ada di
lingkungan kita. Obat apapun yang berpotensi menyebabkan reaksi toksik
terhadap struktur dalam telinga, yang mencakup koklea, vestibulum,
kanalis semisirkularis, dan otolit, dianggap sebagai obat ototoksik. 1
Beberapa obat dapat menyebabkan reaksi toksik pada struktur telinga
dalam, termasuk koklea, vestibulum, semisirkular kanal, dan otolit, dianggap
sebagai ototoksik. Obat dapat menginduksi struktur pendengaran dan sistem
keseimbangan yang dapat menyebabkan terjadinya kehilangan pendengaran,
tinnitus dan pusing. Gangguan pendengaran akibat toksisitas kadang bersifat

sementara tetapi kebanyakan bersifat menetap pada sebagian besar golongan


Aminoglikosida. Telah diketahui bahwa gangguan pendengaran atau ketulian
mempunyai dampak yang merugikan bagi penderita, keluarga, masyarakat
maupun Negara. Penderita akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi
dengan lingkungannya, dan terisolasi. Kehilangan kesempatan dalam aktualisasi
diri, mengikuti pendidikan formal di sekolah umum, kehilangan kesempatan
memperoleh pekerjaan yang pada akhirnya berakibat pada rendahnya kualitas
hidup yang bersangkutan.1,2
Obat-obat ototoksik yang menyebabkan kerusakan sistem
pendengaran dan keseimbangan dapat menyebabkan kehilangan
pendengaran, tinnitus, dan pusing. Kelas obat-obat tertentu yang
menyebabkan ototoksisitas telah ditetapkan, dan lebih dari 100 kelas obat
telah dikaitkan dengan toksisitas. Factor yang mempengaruhi ototoksisitas
mencakup dosis, durasi terapi, penyakit yang disertai gagal ginjal,
pemberian dengan obat lain yang memiliki potensi ototoksik. Obat ototoksi
tidak boleh digunakan secara topical jika membrane timpani mengalami
perforasi karena obat dapat mengalir ke dalam telinga bagian dalam.2,3
Obat ototoksik menjadi perhatian klinis yang utama dengan
penemuan streptomycin pada tahun 1944. Streptomisin berhasil digunakan
dalam pengobatan tuberculosis; akan tetapi, sejumlah besar pasien yang
diobati dengan streptomisin ditemukan mengalami disfungsi koklea dan
vestibular yang menetap. Saat ini, banyak agen farmakologi telah terbukti
memiliki efek toksik pada system kokleavestibular. Obat tersebut
mencakup aminoglikosida, dan antibiotic yang lain, agen antineoplastik
yang berbahan cisplatin, salisilat, kuinin, dan loop diuretic. 3
Kehilangan pendengaran atau gangguan keseimbangan yang
permanen disebabkan oleh obat ototoksik mungkin memiliki akibat
komunikasi, edukasi, dan social yang serius. Oleh karena itu, harus
dipertimbangkan apakah keuntungannya lebih banyak daripada

kerugiannya, dan pengobatan alternative harus dipertimbangkan jika tepat.


Penanganan ditekankan pada pencegahan, karena sebagian besar
kehilangan pendengaran bersifat ireversibel. Saat ini tidak terdapat terapi
untuk menyembuhkan kerusakan akibat obat-obatan ototoksik; akan
tetapi, peneliti dan klinisi mencoba untuk menemukan metode baru unruk
meminimalisir cedera ototoksik.3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI TELINGA DALAM


Auris interna (telinga bagian dalam) atau organum
vestibulocochleare berhubungan dengan penerimaan bunyi dan
pemeliharaan keseimbangan. Auris interna yang tertanam di dalam pars
petrosa, salah satu bagian tulang temporal, terdiri dari kantong-kantong
dan pipa-pipa labyrinthus membranaceus. System selaput ini berisi

endolimfe dan organ-organ akhir untuk pendengaran dan keseimbangan.


Labyrinthus membranaceus berupa selaput yang diliputi oleh perilimfe
terbenam di dalam labyrinthus osseus.

Gambar 2.1 Anatomi Telinga Dalam

Labyrinthus osseus(Tulang Labirin)


Labyrinthus osseus auris interna menempati hampir seluruh bagian
lateral pars petrosa pada os temporal. Labyrinthus osseus auris interna
terdiri dari 3 bagian, yaitu:

Gambar 2.2 Anatomi Tulang Labirin

Cochlea
Bagian labyrinthus osseus unu yang berbentuk seperti keong, berisi
duktus cochlearis, bagian auris interna yang berhubungan dengan
pendengaran. Cochlea membuat 2,5 putaran, mengelilingi sumbu tulang
yang disebut modiolus dan berisi terusan-terusan untuk pembuluh darah
dan saraf. Putaran cochlea basal yang lebar menyebabkan terbentuknya
promontorium pada dinding medial cavitas timpani.

Vestibulum
Ruang yang kecil dan jorong ini (panjangnya kira-kira 5 mm) berisi
utriculus dan sacculus, bagian-bagian peranti keseimbangan. Ke anterior
vestibulum bersinambungan dengan cochlea tulang, ke posterior dengan
canals semicirculares ossei, dan dengan fossa crani posterior melalui
aqueductus vestibule. Aqueductus vestibule melintas ke permukaan
posterior pars petrosa dan di sini bermuara di sebelah postero-lateral
meatus acusticus internus. Di dalamnya terdapat ductus endolymphaticus
dan dua pembuluh darah kecil.
5

Canales semicirculares ossei


Canalis semicircularis anterior, canalis semicircularis posterior, dan
canalis semicircularis lateralis berhubungan dengan vestibulum labyrinthi
ossei. Canals semicircularis ossei terletak posterosuperior terhadap
vestibulum yang merupakan tempat bermuaranya canals semicircularis
ossei; ketiga terusan ditempatkan tegak lurus satu terhadap yang lain.
Dengan demikian stereometris mereka menempati tiga bidang. Masingmasing terusan berupa kira-kira dua pertiga dari sebuah lingkaran dengan
diameter kira-kira 1,5 mm, kecuali pada satu ujung yang melebar sebagai
ampulla.

Labyrinthus Membranaceus
Labyrinthus membranaceus terdiri dari urut-urutan kantung dan pipa
yang saling berhubungan dan terbenam di dalam labyrinthus osseus. Di
dalam labyrinthus membranaceus terdapat endolimfe, cairan yang
menyerupai air komposisinya berbeda dari perilimfe dalam labyrinthus
osseus yang meliputinya. Labyrinthus membranaseus terdiri dari bagian
utama.
-

Utriculus dan sacculus, dua kantung kecil di dalam vestibulum

labyrinthi ossei yang saling berhubungan.


Tiga duktus semicircularis di dalam canals semicircularis ossei
Duktus cochlearis di dalam cochlea.

Meaticus acusticus interna


Meaticus acusticus internus adalah sebuah terusan sempit yang
melintas ke lateral sejauh kira-kira 1 cm di dalam pars petrosa. Lubangnya
terdapat pada bagian posteromedial tulang tersebut, sejajar dengan

meatus acusticus eksternus. Ke arah lateral meatus acusticus internus


tertutup oleh selembar tulang yang berlubang-lubang dan tipis, dan
memisahkannya dari auris interna. Melalui lembar tulang tersebut melintas
nervus fasialis (nervus cranialis VII), cabang-cabang nervus
vestibulocochlearis (nervus cranialis VIII), dan pembuluh-pembuluh darah.
Di dekat ujung lateral meatus acusticus internus, nervus
vestibulocochlearis bercabang dua menjadi nervus cochlearis dan nervus
vestibularis.4

Fisiologi Sistem Vestibularis


Sinyal-sinyal sensorik dari telinga dalam, retina, dan system
musculoskeletal diintegrasikan dalam SSP agar dapat mengontrol arah
pandangan, posisi serta gerak tubuh dalam ruang. Bila disebutkan system
vestibularis maka yang dimaksud tidak hanya reseptor saja, namu juga
jaras-jaras SSP yang terlibat dalam pengolahan sinyal-sinyal aferen dan
aktivasi motorneuron. Reseptor system ini adalah sel rambut yang terletak
dalam Krista kanalis semisirkularis dan macula dari organ otolit. Secara
fungsional terdapat dua jenis sel. Sel-sel pada kanalis semisirkularis peka
terhadap rotasi khususnya terdapat dua jenis sel. Sel-sel pada kanalis
semisirkularis peka terhadap rotasi khususnya terhadap percepatan sudut
(yaitu perubahan dalam kecepatan sudut), sedangkan sel-sel pada organ
otolit peka terhadap gerak linear, khususnya percepatan linear dan
terhadap perubahan posisi kepala relative terhadap gravitasi. Perbedaan
kepekaan terhadap percepatan sudut dan linear ini disebabkan oleh
geometri dari kanalis dan organ otolit serta cirri-ciri fisik dari strukturstruktur yang menutupi sel rambut.6
Fisiologi Pendengaran

Proses pendengaran diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun


telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke
koklea. Getaran tersebut mengetarkan membran timpani diteruskan ke telinga
tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplikasikan
getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas
membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplikasi ini
akan diteruskan ke stapes yang akan mengerakkan tingkap lonjong sehingga
perilimfa pada skala vestibuli bergerak. Getaran ini diteruskan melalui membran
reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif
antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang
mekanik yang akan menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut,
sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan
sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga
melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial
aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke
korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis.4

Gambar 2.3 Fisiologi Pendengaran

2.2

GANGGUAN PENDENGARAN AKIBAT OBAT OTOTOKSIK

2.2.1 Patogenesis
Mekanisme gangguan pendengaran akibat obat ototoksik masih belum
begitu jelas. Patologinyameliputi hilangnya sel rambut luar yang lebih apikal,
yang diikuti oleh sel rambut dalam.Hal ini permulaannya menyebabkan gangguan
pendengaran frekuensi tinggi yang dapat berlanjut ke frekuensi rendah.Pasienpasien tertentu tidak mengetahui adanya gangguan pendengaran hingga defisit
mencapai derajat ringan sedang (>30 dB hearinglevel) pada frekuensi
percakapan.3,4
Kebanyakan poin yang terbukti saat ini adalah terdapat
pengikatan obat dengan glikosaminoglikanstria vaskularis,
yangmenyebabkan perubahan strial dan perubahan sekunder
sel-sel rambut.Antibiotik ototoksik menyebabkan
hilangnyapendengaran denganmengubah proses-proses biokimia
yang penting yang menyebabkan penyimpangan metabolik dari

sel rambut dan bisa menyebabkan kematian sel secara tibatiba.4,6


Efek utama dari obat-obat ototoksik terhadap telinga
adalah hilangnya sel-sel rambut yang dimulai dari basal koklea,
kerusakan seluler pada stria vaskularis, limbus spiralis dan sel-sel
rambut koklea dan vestibuler.Kerusakan vestibuler juga
merupakan efek yang merugikan dari antibiotik aminoglikosida
dan awalnya menunjukkan nistagmus posisional. Pada keadaan
berat, kerusakan vestibuler dapat menyebabkan
ketidakseimbangan dan osilopsia. Osilopsia, yang disebabkan
oleh kerusakan sistem vestibuler bilateral, adalah
ketidakmampuan sistem okuler untuk menjaga horizon yang
stabil.3,4,6

2.2.2Gejala Klinis
Tinitusdan vertigo merupakan gejala utama ototoksisitas. Tinnitus
biasanya menyertai segala jenis tuli sensorineural oleh sebab apapun dan
seringkali keluhan pertama yang muncul serta mengganggu jika dibandingkan
dengan tulinya sendiri dimana pada ototoksik tinitus cirinya kuat dan bernada
tinggi, berkisar antara 4 KHz sampai 6 KHz serta biasa bilateral. Pada
kerusakan yang menetap, tinnitus lama kelamaan tidak begitu kuattetapi juga
tidak pernah hilang, gejala lainnya juga terdapat gangguan keseimbangan badan,
sulit memfiksasi pandangan, terutama setelah perubahan posisi, ataksia
(kehilangan koordinasi otot) dan oscillopsia ( pandangan kabur dengan pergerakan
kepala) tanpa adanya riwayat vertigo sebelumnya, menyebabkan kesulitan melihat
tanda lalu lintas ketika mengendarai kendaraan atau mengenali wajah orang ketika
berjalan.4,6
Diuretik kuat dapat menimbulkan tinnitus yang kuat dalam beberapa menit
setelah menyuntikkan intravena, tetapi pada kasus-kasus yang tidak begitu berat
dapat terjadi tuli sensorineural secara perlahan-lahan dan progresif dengan hanya
disertai tinnitus yang ringan dan biasanya menghasilkan audiogram yang
mendatar atau sedikit menurun.Tinnitus dan kurang pendengaran yang

10

reversibel dapat terjadi pada penggunaan salisilat dan kina serta


tuli akut yang disebabkan diuretik kuat dapat pulih dengan
menghentikan pengobatan dengan segera.4
Gejala dini gangguan pendengaran pada ototoksisitas aminoglikosida sulit
dikenali oleh pasien karena hanya bermanifestasi pada frekwensi tinggi. Pada
keadaan lanjut akan mempengaruhi frekwensi percakapan dan ketuliannya akan
semakin berat jika penggunaan obat ini diteruskan.Pada audiogram ditemukan ciri
penurunan yang tajam untuk frekuensi tinggi.4

2.2.3 Penatalaksanaan
Tuli yang diakibatkan oleh obat-obat ototoksik tidak dapat diobati. Bila
pada waktu pemberian obat-obat ototoksik terjadi gangguan pada telinga dalam
dapat diketahui secara audiometrik, maka pengobatan dengan obat-obatan tersebut
harus segera dihentikan. Berat ringan ketulian yang terjadi tergantung kepada
jenis obat, jumlah dan lamanya pengobatan. Kerentanan pasien termasuk yang
menderita insufisiensi ginjal dan sifat obat tersendiri.Apabila ketulian sudah
terjadi dapat dicoba melakukan rehabilitasi antara lain dengan alat Bantu dengar
(ABD), psikoterapi, auditory training, termasuk cara menggunakan sisa
pendengaran dengan alat bantu dengar, belajar komunikasi total dengan
belajar membaca bahasa isyarat. Pada tuli total bilateral dapat dipertimbangkan
pemasangan implan koklea.4,6

2.2.4 Pencegahan
Berhubung tidak ada pengobatan untuk tuli akibat obat ototoksik, maka
pencegahan menjadi lebih penting. Dalam melakukan pencegahan ini termasuk
mempertimbangkan penggunaan obat-obat ototoksik, menilai kerentanan
pasien,monitoring ketat level obat dalam serum dan fungsi ginjal harus baik
sebelum, selama dan setelah terapi. Cara lain adalah dengan mengukur fungsi
audiometri sebelum terapi, memonitor efek samping secara dini, yaitu dengan
memperhatikan gejala-gejala keracunan telinga dalam yang timbul seperti tinnitus,

11

kurang pendengaran dan vertigo.4


Pada pasien-pasien yang telah mulai menunjukkan gejala tersebut diatas
harus dilakukan evaluasi audiologik dan segera menghentikan pengobatan dan
baiknya antibiotik yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran baiknya tidak
diberikan pada wanita hamil, berusia lanjut dan orang-orang yang sebelumnya
pernah menderita ketulian dan sebaiknya dilakukan pemantauan terhadap kadar
obat dalam darah jika memungkinkan baik sebelum dan selama pengobatan
berlangsung.4

2.2.5 Prognosis
Prognosis sangat tergantung kepada jenis obat, jumlah dan lamanya
pengobatan, kerentanan pasien, adanya faktor resiko seperti gagal ginjal akut
ataupun kronis danpenggunaan obat ototoksik yang lain secara bersamaan akan
tetapi pada umumnya prognosis tidak begitu baik dan malah makin memburuk.4

2.3

JENIS-JENIS OBAT OTOTOKSIK

2.3.1 Aminoglikosida

A. Definisi
Aminoglikosida adalah kelompok antibiotic bakterisidal yang berasal
dari berbagai macam streptomyces. Yang termasuk kelompok obat ini
adalah streptomisin, neomisin, kanamisin, amikasin, gentamisin, tobramisin,

12

sisomisin, netilmisin. Antibiotic aminoglikosida telah menjadi bagian penting


dari obat antibacterial sejak mereka ditemukan pada tahun 1940-an.
Mereka memiliki aktivitas in vitro yang kuat terhadap Pseudomonas
Aeroginosa dan sebagian besar basil gram-negatif aerob lainnya, dan juga
memperlihatkan aktivitas terhadap Staphylococcus aureus. 6,7,8
Aminoglikosida paling sering digunakan untuk melawan bakteri
enteric gram negative, terutama pada bakteremia dan sepsis,
dikombinasikan dengan vankomisin atau penisilin untuk endokarditis, dan
untuk penanganan tuberculosis. Streptomisin adalah aminoglikosida yang
tertua. Gentamisin, tobramisin, dan amikasin adalah aminoglikosida yang
paling sering digunakan saat ini. Neomisin dan kanamisin penggunaannya
terbatas pada penggunaan secara topical atau oral. Toksisitas utama dari
obat ini adalah nefrotoksisitas, yang terjadi pada 15% pasien yang
mendapatkan regimen ini, dan ototoksisitas, yang menimbulkan gangguan
pendengaran dan gangguan pada system vestibuler.6, 7

B. Epidemiologi
Walaupun ototoksisitas merupakan efek samping dari
aminoglikosida yang tersering kedua, yang paling sering adalah
nefrotoksisitas, angka kejadian pastinya masih controversial. Beberapa
peneliti melaporkan toksisitas auditori mencapai 41%, sedangkan peneliti
yang lain melaporkan angka yang jauh lebih rendah yaitu 7%. Data yang
terkumpul dari penelitan meta-analisa memperlihatkan sekitar 5% insiden
toksisitas auditori karena konsumsi aminoglikosida dengan dosis ganda
perhari. Toksisitas vestibuler telah dilaporkan berada pada kisaran 0-7%
pada pasien yang mendapatkan aminoglikosida.8

13

C. Patofisiologi
Toksisitas aminoglikosida paling sering terjadi pada ginjal dan
system kokleovestibular; akan tetapi, tidak ada keterkaitan antara tingkat
keparahan nefrotoksisitas dengan ototoksisitas. Toksisitas pada cochlear
yang menyebabkan kehilangan pendengaran mulai pada frekuensi tinggi
dan disebabkan oleh kerusakan yang menetap pada sel rambut bagian luar
pada organ corti. Mekanisme ototoksisitas aminoglikosida dimediasi oleh
gangguan pada sintesis protein mitokondira, dan pembentukan radikal
oksigen bebas. Dasar seluler pada kehilangan pendengaran akibat
aminoglikosida adalah kerusakan sel rambut koklear, terutama sel rambut
di bagian luar. Aminoglikosida tampaknya membentuk radikal bebas
didalam telinga bagian dalam dengan mengaktivasi sintetase nitrit oksida
sehingga meningkatkan konsentrasi nitrat oksida. Oksigen radikal kemudian
bereaksi dengan nitrit oksida untuk membentuk peroksinitrat radikal yang
bersifat destruktif, yang dapat secara langsung merangsang kematian sel.
Apoptosis adalah mekanisme utama dari kematian sel dan terutama
dimediasi oleh aliran yang dimediasi oleh mitokondrial intrinsic. Tampaknya
interaksi aminoglikosida dengan logam transisi seperti besi dan tembaga
mempercepat pembentukan radikal bebas ini.3
Aminoglikosida yang berbeda memiliki afinitas yang berbeda, yang
menyebabkan pola ototoksisitas yang berbeda dengan aminoglikosida yang
berbeda. Sebagai contohnya Kanamisin, tobramisin, amikasin, neomisin,
dan dihydrostreptomisin lebih bersifat kokleotoksik daripada
vestibulotoksik. Aminoglikosida yang lain, seperti streptomisin dan
gentamisin, lebih bersifat vestibulotoksik daripada kokleotoksik. Rangkaian
waktu toksisitas juga berbeda-beda. Toksisitas neomisin biasanya cepat
dan dalam, sedangkan efek yang timbul agak lama adalah streptomisin

14

yang diberikan secara sistemis, dihydrostreptomisin, tobramisin, amikasin,


netilmisin, dan dengan gentamisin yang diberikan melalui telinga tengah. 7

D. Tanda dan gejala


Secara klinis, kerusakan koklea akut dapat menampakkan gejala
tinnitus. Kehilangan pendengaran pada awalnya mungkin tidak disadari
pasien dan awalnya bermanifestasi sebagai peningkatan ambang batas
pada frekuensi tinggi (>4000 Hz). Semakin berkembang, frekuensi
pembicaraan yang lebih rendah terpengaruh dan pasien dapat menjadi tuli
jika dilanjutkan pemberian obat aminoglikosida. Jika konsumsi obat cepat
dihentikan, kehilangan pendengaran dapat dicegah.3
Gejala toksisitas vestibular biasanya mencakup ketidakseimbangan
tubuh dan gejala visual. Ketidakseimbangan tumbuh memburuk pada
keadaan gelap. Jarang terjadi vertigo. Gejala visual, disebut oscillopsia,
hanya terjadi jika kepala bergerak. Pergerakan yang cepat pada kepala
berkaitan dengan penglihatan yang menjadi kabur. Secara klinis, nistagmus
dapat muncul sebagai tanda awal.3

E. Pencegahan
Pencegahan ototoksisitas aminoglikosida melibatkan pengawasan
kadar obat dalam darah dan fungsi renal serta pemeriksaan pendengaran
sebelum, selama, dan setelah terapi. Ukur fungsi audiometric dasar
sebelum terapi. Identifikasi secara teliti pasien yang beresiko tinggi dan
pilih antibiotic alternative untuk mereka. Yang terakhir, karena
aminoglikosida masih tetap berada dalam koklea dalam waktu yang lama
setelah terapi dihentikan, minta pada pasien untuk menghindari lingkungan
yang bising selama 6 bulan setelah terapi dihentikan karena mereka lebih
rentan terhadap suara bising.3
15

2.3.2 Aminoglikosida secara Ototopikal


Data yang berasal dari penelitian yang menggunakan hewan
percobaan telah memperlihatkan hasil yang sama bahwa hampir semua
antibiotic aminoglikosida yang digunakan sebagai antibiotic topical pada
telinga tengah bersifat ototoksik. Tinjauan literature terbaru
mengungkapkan terdapat 54 kasus toksisitas vestibular gentamisin karena
penggunaan antibiotic ini secara ototopikal. Selain itu, 24 pasien tersebut
juga mengalami toksisitas auditori. Juga terdapat 11 pasien yang
mengalami toksisitas auditori karena penggunaan tetes telinga yang
mengandung neomisin-polimiksin. Oleh karena itu direkomendasikan
bahwa jika memungkinkan, preparat antibiotic topical yang tidak
menimbulkan efek samping ototoksik harus digunakan jika terbukti
terdapat lubang pada membrane timpani.9

2.3.3 Cisplatin

A. Definisi
Cisplatin merupakan obat anti kanker yang digunakan untuk
mengobati sejumlah keganasan seperti kanker testis, kanker ovarium dan
beberapa keganasan pediatric. Dosis pemeliharaan membatasi efek
samping cisplatin yaitu ototoksisitas dan neurotoksisitas. Jika
dikombinasikan dengan vinblastin dan bleomisin atau etoposide dan
bleomisin, terapi cisplatin dapat menyembuhkan kanker testis
nonseminomatous. Cisplatin adalah senyawa platinum yang paling
ototoksik bahkan dengan menambahkan salin hipertonik, prehidrasi, atau
diuresis manitol pada regimen kemoterapi.6, 8, 10

B. Epidemiologi
16

Cisplatin memiliki potensi ototoksik yang tertinggi dibandingkan


dengan senyawa platinum yang lain. Sekitar 50% pasien kanker kepala dan
leher yang diobati dengan cisplatin mengalami ototoksisitas. Ototoksisitas
cisplatin berkaitan dengan dosis. Dalam sebuah penelitian retrospektif yang
besar yang mencakup periode tahun 1990 hingga 2001, Derough dan
rekan menemukan bahwa 42% dari 400 pasien yang mendapatkan cisplatin
dosis tinggi (70-85 mg/M2; rata-rata dosis akumulatis sebesar 420 mg)
mengalami ototoksisitas simptomatik. Sebaliknya, ototoksisitas cisplatin
hanya terjadi pada 20% pasien yang mendapatkan cisplatin dosis rendah.8

C. Patofisiologi
Mekanisme ototoksisitas cisplatin dimediasi oleh produksi radikal
bebas dan kematian sel. Senyawa platinum merusak stria vaskularis dalam
scala media dan menyebabkan kematian sel rambut pada bagian
luar.radikal bebas dihasilkan oleh NADPH oksidase pada sel rambut bagian
dalam setelah terpapar cisplatin. NADPH oksidase merupakan enzim yang
mengkatalisa pembentukan radikal superoksida. Bentuk NADPH oksidase
tertentu, NOX3, diproduksi didalam telinga bagian dalam dan merupakan
sumber pembentukan radikal bebas yang penting dalam koklea, yang dapat
berperan dalam terjadinya kehilangan pendengaran. Radikal bebas yang
dihasilkan melalui mekanisme ini kemudian menyebabkan kematian sel
apoptotic yang dimediasi mitokondria dan dimediasi caspase, yang pada
akhirnya menyebabkan kehilangan pendengaran yang permanen. 3

D. Tanda dan gejala


Ototoksisitas cisplatin ditandai oleh kehilangan pendengaran
sensorineural yang awalnya terdeteksi pada frekuensi yang sangat tinggi.
Kehilangan pendengaran biasanya bilateral dan biasanya simetris. Cirri khas
17

dari kehilangan pendengaran frekuensi tinggi adalah kesulitan dalam


membedakan kata yang terdengar, terutama pada lingkungan yang bising.
Semakin banyak dosis yang terakumulasi dalam tubuh semakin parah
gangguan pendengaran yang diderita. Selain itu pasien ototoksisitas
cisplatin juga mengalami tinnitus.3, 8

E. Pencegahan
Lakukan pemeriksaan audiogram dan pemeriksaan audiogram
lanjutan secara berkala selama terapi untuk semua pasien yang
mendapatkan obat ini. Lakukan pemeriksaan ini sesegera mungkin sebelum
siklus obat yang selanjutnya sehingga efek dari siklus yang sebelumnya
dapat diketahui. Yang terakhir, pasieh harus melanjutkan pemeriksaan
audiometric karena retensi obat yang cukup lama setelah menghentikan
terapi. Juga beritahu pasien untuk menghindari lingkungan yang bising
selama 6 bulan.3

2.3.4.Loop Diuretik

A. Definisi
Loop diuretik seperti asam ethacrynic, bumetanide, dan furosemide
mengeluarkan efek diuretiknya dengan menghambat sodium dan
penyerapan air pada bagian proksimal Loop of henle. Obat-obat ini
digunakan untuk mengobati gagal jantung kongestif, gagal ginjal, sirosis,
dan hipertensi.3, 7

B. Patofisiologi
Efek ototoksisitas dari loop diuretic tampaknya berkaitan dengan
stria vascularis, yang dipengaruhi oleh perubahan dalam gradient ionic
diantara perilimfe dan endolimfe. Perubahan ini menyebabkan edema
18

epithelium dari stria vascularis. Bukti juga memperlihatkan bahwa


endolimfatik berpotensi berkurang; akan tetapi, hal ini biasanya bergantung
pada dosis dan reversible. Ototoksisitas yang disebabkan oleh asam
ethacrynic tampaknya terjadi secara lebih bertahap dan lebih lama
disembuhkan daripada yang disebabkan oleh furosemide atau bumetanide.
Secara keseluruhan, ototoksisitas yang disebabkan oleh obat loop diuretic
biasanya dapat sembuh sendiri pada pasien dewasa.3,7

C. Tanda dan gejala


Bergantung pada loop diuretic tertentu, pasien biasanya mengalami
gangguan pendengaran setelah mengkonsumsi obat ini. Gangguan
pendengaran biasanya bilateral dan simetris. Pasien juga mengeluhkan
tinnitus dan disequilibrium; akan tetapi, gejala ini jarang terlihat dan jarang
terjadi tanpa adanya gangguan pendengaran. Beberapa pasien mengalami
gangguan pendengaran permanen, terutama pasien yang menderita gagal
ginjal, pasien yang mendapatkan dosis yang lebih tinggi, atau mereka yang
juga mengkonsumsi aminoglikosida.3,7

D. Pencegahan
Pencegahan ototoksisitas yang disebabkan oleh loop diuretic terdiri
dari pengunaan dosis yang paling rendah untuk mencapai efek yang
diinginkan dan menghindari pemberian secara cepat. Selain itu, factor
resiko yang berkaitan dengan pemberian obat ini harus diperiksa seteliti
mungkin, termasuk pemberian bersama dengan obat ototoksik lainnya dan
riwayat gagal ginjal. Karena potensiasi dan sinergisme efek ototoksik dari
aminoglikosida dan loop diuresis telah diketahui, pemberian bersama obatobat ini tidak direkomendasikan.3

19

2.3.5Salisilat
Aspirin dan salisilat yang lain sangat berkaitan dengan tinnitus dan
gangguan pendengaran sensorineural. Gangguan pendengaran bergantung
pada dosis dan dapat berkisar dari moderat hingga parah. Jika konsumsi
obat dihentikan, pendengaran kembali normal dalam waktu 72 jam.
Tinnitus terjadi saat mengkonsumsi aspirin dengan dosis sebesar 6 hingga
8 g/hari dan pada dosis yang lebih rendah pada beberapa pasien. Tempat
terjadinya efek ototoksik tampaknya pada tingkat mekanik koklear dasar,
seperti yang dibuktikan dengan gangguan pendengaran sensorineural,
hilangnya emisi otoakustik, penurunan aksi potensial koklear, dan
perubahan ujung saraf auditori. Efek-efek ini mungkin disebabkan oleh
perubahan pada turgiditas dan motilitas sel rambut di bagian luar.7

2.3.6. Anti Malaria


Kina dan klorokuin adalah obat anti malaria yang biasa digunakan.
Absorpsi klorokuin setelah pemberian oral terjadia lengkap dan cepat dan makanan
mempercepat absorpsi ini. Metabolisme dalam tubuh berlangsung lambat sekali
dan metabolitnya dieksresi melalui urin. Dosis harian 300 mg menyebabkan kadar
mantap kira-kira 125 ug/l sedangkan dengan dosis oral 0,5 gr tiap minggu dicapai
kadar plasma antara 150-250 ug/l.7
Kina adalah alkaloid penting yang diperoleh dari kulit pohon sinkona. Kina
digunakan dalam terapi malaria. Efek ototoksisitasnya berupa gangguan
pendengaran sensorineural dan tinitus. Kuinin dapat
menyebabkansindroma berupa gangguan pendengaran sensorineural, tinnitus
dan vertigo. Tetapi bila pengobatan dihentikan biasanya pendengaran akan pulih
dan tinitusnya akan hilang. Studi terbaru menyatakan bahwa kuinin mengganggu
motilitas sel-sel rambut. Pada pemakaian klorokuin pada dosis tinggi (lebih dari
20

250 mg sehari) atau penggunaan lama (diatas 1 tahun), efek sampingnya lebih
hebat, yaitu rambut rontok, tuli menetap, dan kerusakan menetap.3,7
Kuinin telah lama diketahui berkaitan dengan terjadinya tinnitus,
gangguan pendengaran sensorineural, dan gangguan penglihatan. Sindrom
tinnitus, nyeri kepala, mual, dan gangguan penglihatan disebut cinchonism.
Dosis yang lebih besar dapat menyebabkan sindrom ini menjadi lebih parah.
Obat ini digunakan sebagai tambahan dalam pengobatan malaria. Efek
ototoksik dari kuinin tampaknya terjadi terutama pada fungsi pendengaran
dan biasanya bersifat sementara. Gangguan pendengaran yang permanen
dapat terjadi dengan dosis yang lebih besar atau pada pasien yang sensitif. 7
Perlu dicatat bahwa kina dan klorokuin dapat melalui plasenta. Pernah ada
laporan kasus tentang tuli kongenital dan hipoplasi koklea karana pengobatan
malaria waktu ibu sedang hamil.4,6,7

21

BAB III
DAFTAR PUSTAKA

Ototoksisitas merupakan keadaan gangguan pada telinga yang


disebabkan oleh obat atau zat kimia yang merusak telinga bagian dalam
atau saraf vestibulocochlear, yang mengirim info keseimbangan dan
pendengaran dari telinga bagian dalam ke otak.
Otoksisitas dapat menyebab gangguan pendengaran, keseimbangan,
atau keduanya baik untuk sementara waktu atau permanen. Banyak zat
kimia yang berpotensi bersifat ototoksik, baik itu berupa obat atau zat
kimia yang ada di lingkungan. Obat apapun yang berpotensi menyebabkan
reaksi toksik terhadap struktur dalam telinga, yang mencakup koklea,
vestibulum, kanalis semisirkularis, dan otolit, dianggap sebagai obat
ototoksik.
Mekanisme gangguan pendengaran akibat obat ototoksik masih belum
begitu jelas. Patologinyameliputi hilangnya sel rambut luar yang lebih apikal,
yang diikuti oleh sel rambut dalam.Hal ini permulaannya menyebabkan gangguan
pendengaran frekuensi tinggi yang dapat berlanjut ke frekuensi rendah.

22

Tuli yang diakibatkan oleh obat-obat ototoksik tidak dapat diobati. Bila
pada waktu pemberian obat-obat ototoksik terjadi gangguan pada telinga dalam
dapat diketahui secara audiometrik, maka pengobatan dengan obat-obatan tersebut
harus segera dihentikan. Berat ringan ketulian yang terjadi tergantung kepada
jenis obat, jumlah dan lamanya pengobatan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Haybach, P.J. 2011. Ototoxicity. Diakses dari http//:


www.vestibular.org/Ototoxicity. Tanggal akses 24 Oktober 2012.
2. Oghalai, J. 2007Drug-Induced Toxicity: Inner Ear Disorder. Diakses
dari http//: www.merckmanual.com. Tanggal akses 24 Oktober 2012.
3. Mudd, P. A. 2012. Ototoxicity. Medscape Reference. Diakses dari
http//: www.emedicine.com. Tanggal akses 24 Oktober 2012.
4. Soepardi, EA. 2011. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL, Edisi Keenam.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
5. Ellis Harold. 2004. Clinical Anatomy: A Revised and Applied Anatomy

for Clinical Student, Ed. 11th. US: Blackwell Science.


6. Adam, G. L, Boies, L. R. 2000. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta
EGC.
7. Katzung, B. 2004. Basic Clinical Pharmacology.US: Blackwell Science.
8. Cummings, C. W. 2000. Otolaryngology Head & Neck Surgery. Ed.IV.
Philadelphia: Elsevier.

23

9. Roland, P. S. 2004. Ototoxicity. London: BC Decker.


10. Bailey, B. J. 2006. Head & Neck Surgery Otolaryngology. Ed.IV.
Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins
11. Ekborn, A. 2003.Cisplatin-Induced Toxicity:Pharmacokinetics,

Prediction, and Prevention.Stockholm: Repro print.

24

Anda mungkin juga menyukai