I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bioremediasi berasal dari kata bio dan remediasi atau "remediate" yang
artinya menyelesaikan masalah. Bioremediasi merupakan pengembangan dari
bidang bioteknologi lingkungan dengan memanfaatkan proses biologi dalam
mengendalikan pencemaran. Bioremediasi bukanlah konsep baru dalam
mikrobiologi terapan, karena mikroba telah banyak digunakan selama
bertahun-tahun dalam mengurangi senyawa organik dan bahan beracun baik
yang berasal dari limbah rumah tangga maupun dari industri. Hal yang baru
adalah bahwa teknik bioremediasi terbukti sangat efektif dan murah dari sisi
ekonomi untuk membersihkan tanah dan air yang terkontaminasi oleh
senyawa-senyawa kimia toksik atau beracun. Keberhasilan proses bioremediasi
harus didukung oleh disiplin ilmu lain seperti fisiologi mikroba, ekologi, kimia
organik, biokimia, genetika molekuler, kimia air, kimia tanah, dan juga teknik.
Mikroba yang sering digunakan dalam proses bioremediasi adalah
bakteri, jamur, yis, dan alga. Tanpa adanya mikroba, proses penguraian di
lingkungan tidak akan berlangsung. Kotoran, sampah, hewan, dan tumbuhan
yang mati akan menutupi permukaan bumi, suatu kondisi yang tidak akan
pernah kita harapkan. Sebagai akibatnya, siklus nutrisi atau rantai makanan
akan terputus. Degradasi senyawa kimia oleh mikroba di lingkungan
merupakan proses yang sangat penting untuk mengurangi kadar bahan-bahan
berbahaya di lingkungan yang berlangsung melalui suatu seri reaksi kimia yang
cukup kompleks. Proses degradasinya, mikroba menggunakan senyawa kimia
tersebut untuk pertumbuhan dan reproduksinya melalui berbagai proses
oksidasi.
Secara umum bioremediasi dimaksudkan sebagai penggunaan mikroba
untuk menyelesaikan masalah-masalah lingkungan atau untuk menghilangkan
senyawa yang tidak diinginkan dari tanah, lumpur, air tanah atau air permukaan
sehingga lingkungan tersebut kembali bersih dan alamiah. Mikroba yang hidup
di tanah dan di air tanah dapat memakan bahan kimia berbahaya tertentu,
misalnya berbagai jenis minyak. Mikroba mengubah bahan kimia ini menjadi
air dan gas yang tidak berbahaya misalnya CO 2. Bakteri yang secara spesifik
menggunakan karbon dari hidrokarbon minyak bumi sebagai sumber
makanannya disebut sebagai bakteri petrofilik. Bakteri inilah yang memegang
peranan penting dalam bioremediasi lingkungan yang tercemar limbah minyak
bumi. Faktor utama agar mikroba dapat membersihkan bahan kimia berbahaya
1
dari lingkungan, yaitu adanya mikroba yang sesuai dan tersedia kondisi
lingkungan yang ideal tempat tumbuh mikroba seperti suhu, pH, nutrisi, dan
jumlah oksigen.
B. Tujuan
Tujuan dari bioremediasi adalah untuk memecah atau mendegradasi zat
pencemar menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon
dioksida dan air) atau dengan kata lain mengontrol atau mereduksi bahan
pencemar dari lingkungan.
II. ISI
Bioremediasi berasal dari dua kata yaitu bio dan remediasi yang dapat
diartikan sebagai proses dalam menyelesaikan masalah. Bio yang dimaksud
adalah organisme hidup, terutama mikroorganisme yang digunakan dalam
pemanfaatan pemecahan atau degradasi bahan pencemar lingkungan menjadi
bentuk yang lebih sederhana dan aman bagi lingkungan tersebut. Bioremediasi
merupakan pengembangan dari bidang bioteknologi lingkungan dengan
memanfaatkan proses biologi dalam mengendalikan pencemaran atau polutan.
Polutan yang termasuk antara lain logam-logam berat, petroleum hidrokarbon,
dan senyawa-senyawa organik terhalogenasi seperti pestisida dan herbisida.
Bioremediasi mempunyai potensi menjadi salah satu teknologi lingkungan yang
bersih, alami, dan paling murah untuk mengantisipasi masalah-masalah
lingkungan. Bioremediasi diartikan sebagai proses pendegradasian bahan organik
berbahaya secara biologis menjadi senyawa lain seperti karbondioksida (CO2),
metan, dan air.
Bioremediasi
biodegradatif
untuk
merujuk
pada
menghilangkan
penggunaan
atau
secara
mendetoksi
produktif
polutan
proses
(biasanya
kontaminan tanah, air, dan sedimen) yang mencemari lingkungan dan mengancam
kesehatan masyarakat. Bioremediasi adalah salah satu teknologi alternatif untuk
mengatasi masalah lingkungan dengan memanfaatkan bantuan mikroorganisme.
Mikroorganisme yang dimaksud adalah khamir, fungi (mycoremediasi), yeast,
alga dan bakteri yang berfungsi sebagai agen bioremediator. Selain dengan
memanfaatkan mikroorganisme, bioremediasi juga dapat pula memanfaatkan
tanaman air. Tanaman air memiliki kemampuan untuk menetralisir komponenkomponen tertentu di dalam perairan dan sangat bermanfaat dalam proses
pengolahan limbah cair (misalnya menyingkirkan kelebihan nutrien, logam dan
bakteri patogen).
Jenis mikroorganisme yang terlibat akan mendegradasi zat pencemar atau
polutan menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun. Polutan dapat
dibedakan menjadi dua yaitu bahan pencemar organik dan sintetik (buatan).
ke dalam membran sel bakteri. Jumlah bakteri yang mendegradasi komponen ini
relatif banyak karena substratnya yang melimpah di dalam minyak bumi. Isolat
bakteri pendegradasi komponen minyak bumi ini biasanya merupakan
pengoksidasi alkana normal. Komponen minyak bumi yang sulit didegradasi
merupakan komponen yang jumlahnya lebih kecil dibanding komponen yang
mudah didegradasi. Hal ini menyebabkan bakteri pendegradasi komponen ini
berjumlah lebih sedikit dan tumbuh lebih lambat karena kalah bersaing dengan
pendegradasi alkana yang memiliki substrat lebih banyak. Isolasi bakteri ini
biasanya memanfaatkan komponen minyak bumi yang masih ada setelah
pertumbuhan lengkap bakteri pendegradasi komponen minyak bumi yang mudah
didegradasi.
Beberapa bakteri dan fungi diketahui dapat digunakan untuk mendegradasi
minyak bumi. Beberapa contoh bakteri yang selanjutnya disebut bakteri
hidrokarbonuklastik yaitu bakteri yang dapat menguraikan komponen minyak
bumi karena kemampuannya mengoksidasi hidrokarbon dan menjadikan
hidrokarbon
sebagai
donor
elektronnya.
Adapun
contoh
dari
bakteri
Aeromonas,
Brevibacterium,
Flavobacterium,
Debaromyces,
Fusarium,
Hansenula,
Rhodosporidium,
bakteri
hidrokarbonoklastik
yang
mampu
mendegradasi
berbagai
jenis
merupakan
komponen
mikroorganisme
dari
molekul
hidrofobik dan hidrofilik, yang mampu mengikat molekul hidrokarbon tidak larut
air dan mampu menurunkan tegangan permukaan. Selain itu biosurfaktan secara
ekstraseluler menyebabkan emulsifikasi hidrokarbon sehingga mudah untuk
didegradasi oleh bakteri. Biosurfaktan meningkatkan ketersediaan substrat yang
tidak larut melalui beberapa mekanisme. Adanya biosurfaktan, substrat yang
berupa cairan akan teremulsi dibentuk menjadi misel-misel dan menyebarkannya
ke permukaan sel bakteri. Substrat yang padat dipecah oleh biosurfaktan sehingga
lebih mudah masuk ke dalam sel.
Pelepasan biosurfaktan tergantung dari substrat hidrokarbon yang ada.
Substrat (misal seperti pada pelumas) yang menyebabkan biosurfaktan hanya
melekat pada permukaan membran sel, namun tidak diekskresikan ke dalam
medium. Namun, ada beberapa substrat hidrokarbon (misal heksadekan) yang
menyebabkan biosurfaktan juga dilepaskan ke dalam medium. Hal ini terjadi
karena heksadekan menyebabkan sel bakteri lebih bersifat hidrofobik.
Senyawa hidrokarbon pada komponen permukaan sel yang hidrofobik itu dapat
menyebabkan sel tersebut kehilangan integritas struktural selnya sehingga
melepaskan biosurfaktan untuk membran sel itu sendiri dan juga melepaskannya
ke dalam medium.
Jamur
basidiomisetes
merupakan
kelompok
utama
pendegradasi
bekerja secara nonspesifik. Proses ini berlangsung melalui pembentukan radikalradikal bebas yang dapat menyerang sejumlah besar molekul organik. Hal ini
menyebabkan jamur pendegradasi lignin mendapat perhatian yang sangat besar
dalam biodegradasi berbagai jenis polutan organik. Jamur busuk putih sangat
berpotensi dalam degradasi polutan karena kemampuannya dalam mendegradasi
berbagai senyawa aromatik, jamur pendegradasi lignin telah mendapat perhatian
besar dalam bidang bioremediasi. Sistem degradasi enzimatis ekstraseluler
menyebabkan jamur busuk putih lebih toleran terhadap konsentrasi polutan toksik
yang lebih tinggi. Mekanisme degradasi nonspesifik yang dimiliki oleh jamur
pembusuk putih menyebabkan mereka mampu mendegradasi sejumlah besar
polutan. Keunggulan lain dari jamur pembusuk putih dalam degradasi polutan
adalah mereka tidak memerlukan pengkondisian untuk polutan tertentu, karena
kekurangan nutrien dapat menginduksi proses degradasi. Induksi sintesis enzimenzim pendegradasi polutan biasanya tidak terpengaruh oleh banyak sedikitnya
polutan (Barr and Aust 1994).
Toksisitas senyawa hidrokarbon seperti hidrokarbon minyak (bensin)
terhadap mikroba, tumbuhan, hewan, dan manusia telah banyak dipelajari.
Senyawa hidrokarbon aromatis polisiklis (PAH) dalam minyak memiliki toksisitas
yang cukup tinggi. Efek toksik dari hidrokarbon yang terdapat dalam minyak
berlangsung melalui larutnya lapisan lemak yang menyusun membran sel,
sehingga menyebabkan hilangnya cairan sel atau kematian terhadap sel.
Ketahanan PAH di lingkungan dan toksisitasnya meningkat sejalan dengan
peningkatan jumlah cincin benzenanya. Beberapa golongan mikroorganisme telah
diketahui memiliki kemampuan dalam memetabolisme PAH. Bakteri dan
beberapa alga menggunakan dua molekul oksigen untuk memulai pemecahan
cincin benzena PAH, yang dikatalis oleh enzim dioksigenase untuk membentuk
molekul cis-dihidrodiol. Kebanyakan jamur mengoksidasi PAH melalui
pemberian satu molekul oksigen untuk membentuk senyawa oksida aren yang
dikatalisis oleh sitokrom P-450 monooksigenase. Jamur busuk putih, bila terdapat
H2O2, enzim lignin peroksidase yang dihasilkan akan menarik satu elektron dari
PAH yang selanjutnya membentuk senyawa kuinon. Cincin benzena yang sudah
oleh
sel
mikroba
sebagai
sumber
energi
Flavobacterium,
Mycobaterium,
Nitosomonas,
Nocardia,
10
11
nutrisi. Bagi mikroba kadar logam yang terlalu tinggi di lingkungan dapat
menurunkan atau menghambat pertumbuhan mikroba. Interaksi mikroba dengan
logam berat menyebabkan perubahan-perubahan proses fisiologis yang sangat
drastis dan dalam beberapa hal dapat membunuh mikroba. Mekanisme toksisitas
di antaranya terjadi melalui pengikatan logam pada ligan ligan sulfidril, karboksil,
dan fosfat seperti protein dan asam nukleat.
Menurut Baldrian (2003) meminimalisasi toksisitas logam berat, jamur
mengembangkan berbagai mekanisme pertahanan, seperti imobilisasi logam berat
oleh molekul intrasel (fitokelatin dan metalotionin) dan imobilisasi oleh molekul
ekstraseluler (asam-asam organik) yang dihasilkan oleh jamur. Salah satu kelator
yang dihasilkan oleh jamur dan sudah dikenal kemampuannya dalam mengikat
logam adalah asam oksalat. Asam oksalat yang dihasilkan oleh mikroba dapat
meningkatkan resistensi mikroba tersebut terhadap logam melalui pembentukan
kompleks metal-oksalat yang bersifat tidak larut. Metal oksalat dapat terbentuk
dengan Ca, Cd, Co, Cu, Mn, Sr, dan Zn. Selanjutnya juga telah banyak dilaporkan
bahwa terdapat hubungan antara resistensi jamur terhadap logam dengan
kemampuannya dalam menghasilkan asam oksalat. Munir et al (2005) melaporkan
bahwa biosintesis asam oksalat sangat penting untuk mendukung pertumbuhan
jamur di bawah kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan. Beberapa waktu
yang lalu juga telah dilaporkan bahwa kultur pertumbuhan jamur busuk cokelat
Tyromyces palustris, Laetiporus suphureus, dan Coniphora puteana mampu
menyerap Cu, Cr dan As (CCA) dari kayu yang diawetkan, dan menurunkan kadar
CCA dari kayu sampai di atas 75% (Kartal et al 2003).
Jamur dapat digunakan sebagai alat untuk memonitor pencemaran logam di
lingkungan karena potensinya dalam mengakumulasikan logam cukup besar,
jamur pembusuk kayu dapat digunakan sebagai agen untuk monitor polusi logam
di tanah atau di atmosfer atau sebagai alat analisis lingkungan yang cukup
potensial. Terdapat hubungan yang erat antara polusi udara dengan kandungan
logam dalam tubuh buah jamur (fruit body). Kemampuan bakteri dalam menyerap
atau menurunkan kandungan logam berat dari lingkungan, baik dari tanah maupun
dari perairan juga telah banyak dipelajari. Beberapa bakteri seperti Pseudomonas
12
13
III. PENUTUP
Bioteknologi memberikan solusi baru dalam lingkungan yang disebut
dengan bioremediasi. Bioremediasi merupakan pengembangan dari bidang
bioteknologi
lingkungan
dengan
memanfaatkan
proses
biologi
dalam
Mikroorganisme
yang
dimaksud adalah
khamir, fungi
mikroorganisme
mengalami
mekanisme
kerja
contohnya
pada
14
dan landfilling sekitar 150 sampai 250 dolar untuk kapasitas tanah yang sama.
Bioremediasi dapat diaplikasikan pada lingkungan-lingkungan yang terpolusi
melalui berbagai mekanisme. Bioremediasi dilakukan melalui lima pendekatan
berikut: bioreaktor, perlakuan fase padat, pengomposan, landfarming, dan
perlakuan in situ. Berbagai proses teknologi telah berkembang di masing-masing
bidang.
Masalah utama yang sering dijumpai dalam aplikasi mikroorganisme untuk
bioremediasi adalah menurun atau hilangnya potensi mikroba. Walaupun dalam
percobaan laboratorium mikroba menunjukkan aktivitas degradasi yang tinggi,
ternyata tidak menunjukkan hasil yang menggembirakan dalam percobaan di
lapangan (in situ). Meningkatkan keefektifan penggunaan mikroorganisme dalam
13
bioremediasi dapat dilakukan dengan melakukan dua strategi berikut. Pertama
yang disebut sebagai biostimulation yaitu suatu teknik menambahkan nutrien
tertentu dengan tujuan merangsang aktivitas mikroba-mikroba tempatan
(indigenous). Teknik biostimulasi ini telah sukses dalam mengendalikan tumpahan
minyak di perairan dan kontaminasi senyawa hidrokarbon (PAH) di tanah. Nutrien
yang sering ditambahkan adalah fosfor dan nitrogen. Strategi kedua yang disebut
sebagai bioaugmentasi, yaitu dengan mengintroduksi mikroba tertentu pada
daerah yang akan diremediasi. Beberapa hal, teknik bioaugmentasi juga diikuti
dengan penambahan nutrien tertentu. Masalah di atas, lambatnya kecepatan
degradasi polutan di lingkungan disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut:
enzim-enzim degradatif yang dihasilkan oleh mikroba tidak mampu mengkatalis
reaksi degradasi polutan yang tidak alami, kelarutan polutan dalam air sangat
rendah, dan polutan terikat kuat dengan partikel-partikel organik atau partikel
tanah. Selain itu, pengaruh lingkungan seperti pH, temperatur, dan kelembapan
tanah juga sangat berperan dalam menentukan kesuksesan proses bioremediasi.
Oleh karena itu, seleksi, baik yang dilakukan secara konvensional maupun melalui
manipulasi genetika untuk mendapatkan mikroba-mikroba yang potensial,
merupakan agenda yang cukup penting dalam mikrobiologi lingkungan. Proses
degradasi komplit di lingkungan umumnya dilakukan oleh konsorsium
mikroorganisme bukan oleh mikroorganisme sejenis.
15
DAFTAR PUSTAKA
Baldrian P 2003. Interaction of heavy metals with white-rot fungi, Enzyme and
Microbial. Technol. 23: 79-91.
Barkovskii AI, Boullant ML and Balandreau J 1994. Polyphenolic compounds
respired by bacteria. In: Bioremediation through rhizosphere technology,
ed. T.A. Anderson & J.L. Coats, American Chemical Society, Washington
DC, pp. 29-42.
Barr DP and Aust DA 1994. Mechanisms of white rot fungi use to degrade
pollutants, Environ. Sci. Technol. 28: 78-87.
Cerniglia CE and Sutherland JB 2001. Bioremediation of polycyclic aromatic
hydrocarbons by ligninolytic and non-ligninolytic fungi. In: Fungi in
Bioremediation, ed. G.M. Gadd, Cambridge University Press,
Cambridge, pp. 136-187.
Chanway CP 1997. Inoculation of tree roots with plant growth promoting bacteria:
An Emerging technology for reforestation, Forest Science 43: 96-112.
Kartal SN Munir, Kakitani ET and Imamura Y 2004. Bioremediation of
CCA-treated wood by brown-rot fungi Fomitpsis palustris, Coniophora
puteana, and Laetiporus sulfurous, J. Wood Sci. 50: 182-188.
Munir E and Goenadi DH 1999. Bioconversion of oil palm trunk derived
lignocellulose to sugars. Menara Perkebunan 67: 37-44.
Munir E, Hattori T and Shimada M 2005. Role of oxalate biosynthesis for the
growth of the copper tolerant wood-rotting fungi under environmental
stress. The 55 th Annual Meeting of the Japan Wood Research Society.
Reddy MS, Axelrood PE, Radley R and Rennie RJ 1994. Evaluation of bacterial
strains for pathogen suppression and enhancement of survival and growth
of conifer seedlings. In: Improving plant productivity with rhizosphere
bacteria, Proc. of 3 rd Internat, PGPR. Adelide, Australia, pp. 75-76.
Roane TM, Pepper IL and Miller RM 1998. Microbial remediation of metals. In:
Bioremediation: Principles and Application, ed. R.L. Crawford & D.L.
Crawford, pp. 312-340.
Sharples JM, Meharg AA, Chambers SM and Cairney JWG 2000. Symbiotic
solution to arsenic contamination, Nature 404: 951-952.