Anda di halaman 1dari 15

1

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bioremediasi berasal dari kata bio dan remediasi atau "remediate" yang
artinya menyelesaikan masalah. Bioremediasi merupakan pengembangan dari
bidang bioteknologi lingkungan dengan memanfaatkan proses biologi dalam
mengendalikan pencemaran. Bioremediasi bukanlah konsep baru dalam
mikrobiologi terapan, karena mikroba telah banyak digunakan selama
bertahun-tahun dalam mengurangi senyawa organik dan bahan beracun baik
yang berasal dari limbah rumah tangga maupun dari industri. Hal yang baru
adalah bahwa teknik bioremediasi terbukti sangat efektif dan murah dari sisi
ekonomi untuk membersihkan tanah dan air yang terkontaminasi oleh
senyawa-senyawa kimia toksik atau beracun. Keberhasilan proses bioremediasi
harus didukung oleh disiplin ilmu lain seperti fisiologi mikroba, ekologi, kimia
organik, biokimia, genetika molekuler, kimia air, kimia tanah, dan juga teknik.
Mikroba yang sering digunakan dalam proses bioremediasi adalah
bakteri, jamur, yis, dan alga. Tanpa adanya mikroba, proses penguraian di
lingkungan tidak akan berlangsung. Kotoran, sampah, hewan, dan tumbuhan
yang mati akan menutupi permukaan bumi, suatu kondisi yang tidak akan
pernah kita harapkan. Sebagai akibatnya, siklus nutrisi atau rantai makanan
akan terputus. Degradasi senyawa kimia oleh mikroba di lingkungan
merupakan proses yang sangat penting untuk mengurangi kadar bahan-bahan
berbahaya di lingkungan yang berlangsung melalui suatu seri reaksi kimia yang
cukup kompleks. Proses degradasinya, mikroba menggunakan senyawa kimia
tersebut untuk pertumbuhan dan reproduksinya melalui berbagai proses
oksidasi.
Secara umum bioremediasi dimaksudkan sebagai penggunaan mikroba
untuk menyelesaikan masalah-masalah lingkungan atau untuk menghilangkan
senyawa yang tidak diinginkan dari tanah, lumpur, air tanah atau air permukaan
sehingga lingkungan tersebut kembali bersih dan alamiah. Mikroba yang hidup
di tanah dan di air tanah dapat memakan bahan kimia berbahaya tertentu,

misalnya berbagai jenis minyak. Mikroba mengubah bahan kimia ini menjadi
air dan gas yang tidak berbahaya misalnya CO 2. Bakteri yang secara spesifik
menggunakan karbon dari hidrokarbon minyak bumi sebagai sumber
makanannya disebut sebagai bakteri petrofilik. Bakteri inilah yang memegang
peranan penting dalam bioremediasi lingkungan yang tercemar limbah minyak
bumi. Faktor utama agar mikroba dapat membersihkan bahan kimia berbahaya
1
dari lingkungan, yaitu adanya mikroba yang sesuai dan tersedia kondisi
lingkungan yang ideal tempat tumbuh mikroba seperti suhu, pH, nutrisi, dan
jumlah oksigen.
B. Tujuan
Tujuan dari bioremediasi adalah untuk memecah atau mendegradasi zat
pencemar menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon
dioksida dan air) atau dengan kata lain mengontrol atau mereduksi bahan
pencemar dari lingkungan.

II. ISI
Bioremediasi berasal dari dua kata yaitu bio dan remediasi yang dapat
diartikan sebagai proses dalam menyelesaikan masalah. Bio yang dimaksud
adalah organisme hidup, terutama mikroorganisme yang digunakan dalam
pemanfaatan pemecahan atau degradasi bahan pencemar lingkungan menjadi
bentuk yang lebih sederhana dan aman bagi lingkungan tersebut. Bioremediasi
merupakan pengembangan dari bidang bioteknologi lingkungan dengan
memanfaatkan proses biologi dalam mengendalikan pencemaran atau polutan.
Polutan yang termasuk antara lain logam-logam berat, petroleum hidrokarbon,
dan senyawa-senyawa organik terhalogenasi seperti pestisida dan herbisida.
Bioremediasi mempunyai potensi menjadi salah satu teknologi lingkungan yang
bersih, alami, dan paling murah untuk mengantisipasi masalah-masalah
lingkungan. Bioremediasi diartikan sebagai proses pendegradasian bahan organik
berbahaya secara biologis menjadi senyawa lain seperti karbondioksida (CO2),
metan, dan air.
Bioremediasi
biodegradatif

untuk

merujuk

pada

menghilangkan

penggunaan
atau

secara

mendetoksi

produktif
polutan

proses

(biasanya

kontaminan tanah, air, dan sedimen) yang mencemari lingkungan dan mengancam
kesehatan masyarakat. Bioremediasi adalah salah satu teknologi alternatif untuk
mengatasi masalah lingkungan dengan memanfaatkan bantuan mikroorganisme.
Mikroorganisme yang dimaksud adalah khamir, fungi (mycoremediasi), yeast,
alga dan bakteri yang berfungsi sebagai agen bioremediator. Selain dengan
memanfaatkan mikroorganisme, bioremediasi juga dapat pula memanfaatkan
tanaman air. Tanaman air memiliki kemampuan untuk menetralisir komponenkomponen tertentu di dalam perairan dan sangat bermanfaat dalam proses
pengolahan limbah cair (misalnya menyingkirkan kelebihan nutrien, logam dan
bakteri patogen).
Jenis mikroorganisme yang terlibat akan mendegradasi zat pencemar atau
polutan menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun. Polutan dapat
dibedakan menjadi dua yaitu bahan pencemar organik dan sintetik (buatan).

Bahan pencemar dapat dibedakan berdasarkan kemampuan terdegradasinya di


lingkungan yaitu :
1. Bahan pencemar yang mudah terdegradasi (biodegradable pollutant), yaitu
bahan yang mudah terdegradasi di lingkungan dan dapat diuraikan atau
3
didekomposisi, baik secara alamiah yang dilakukan oleh dekomposer (bakteri
dan jamur) ataupun yang disengaja oleh manusia, contohnya adalah limbah
rumah tangga. Jenis polutan ini akan menimbulkan masalah lingkungan bila
kecepatan produksinya lebih cepat dari kecepatan degradasinya.
2. Bahan pencemar yang sukar terdegradasi atau lambat sekali terdegradasi
(nondegradable pollutant), dapat menimbulkan masalah lingkungan yang
cukup serius. Contohnya adalah jenis logam berat seperti timbal (Pb) dan
merkuri.
Senyawa-senyawa pencemar menurut keberadaannya dapat dibedakan menjadi:
1. Senyawa-senyawa yang secara alami ditemukan di alam dan jumlahnya
(konsentrasinya) sangat tinggi, contohnya antara lain minyak mentah (hasil
penyulingan), fosfat dan logam berat.
2. Senyawa xenobiotik yaitu senyawa kimia hasil rekayasa manusia yang
sebelumnya tidak pernah ditemukan di alam, contohnya adalah pestisida,
herbisida, plastik dan serat sintesis
Beberapa jenis-jenis mikroorganisme yang berperan dalam mendegradasi
polutan minyak bumi dan logam berat menjadi bahan yang tidak beracun, yaitu:
Pencemaran minyak bumi. Bahan utama yang terkandung didalam minyak bumi
adalah hidrokarbon alifatik dan aromatik. Minyak bumi menghasilkan fraksi
hidrokarbon dari proses destilasi bertingkat. Apabila keberadaan minyak bumi
berlebihan di alam, masing-masing fraksi minyak bumi akan menyebabkan
pencemaran yang akan mengganggu kestabilan ekosistem yang dicemarinya.
Minyak bumi di dalamnya terdapat dua macam komponen yang dibagi
berdasarkan kemampuan mikroorganisme menguraikannya, yaitu komponen
minyak bumi yang mudah diuraikan oleh mikroorganisme dan komponen yang
sulit didegradasi oleh mikroorganisme. Komponen minyak bumi yang mudah
didegradasi oleh bakteri merupakan komponen terbesar dalam minyak bumi atau
mendominasi, yaitu alkana yang bersifat lebih mudah larut dalam air dan terdifusi

ke dalam membran sel bakteri. Jumlah bakteri yang mendegradasi komponen ini
relatif banyak karena substratnya yang melimpah di dalam minyak bumi. Isolat
bakteri pendegradasi komponen minyak bumi ini biasanya merupakan
pengoksidasi alkana normal. Komponen minyak bumi yang sulit didegradasi
merupakan komponen yang jumlahnya lebih kecil dibanding komponen yang
mudah didegradasi. Hal ini menyebabkan bakteri pendegradasi komponen ini
berjumlah lebih sedikit dan tumbuh lebih lambat karena kalah bersaing dengan
pendegradasi alkana yang memiliki substrat lebih banyak. Isolasi bakteri ini
biasanya memanfaatkan komponen minyak bumi yang masih ada setelah
pertumbuhan lengkap bakteri pendegradasi komponen minyak bumi yang mudah
didegradasi.
Beberapa bakteri dan fungi diketahui dapat digunakan untuk mendegradasi
minyak bumi. Beberapa contoh bakteri yang selanjutnya disebut bakteri
hidrokarbonuklastik yaitu bakteri yang dapat menguraikan komponen minyak
bumi karena kemampuannya mengoksidasi hidrokarbon dan menjadikan
hidrokarbon

sebagai

donor

elektronnya.

Adapun

contoh

dari

bakteri

hidrokarbonuklastik yaitu bakteri dari genus Achromobacter, Arthrobacter,


Acinetobacter, Actinomyces,

Aeromonas,

Brevibacterium,

Flavobacterium,

Moraxella, Klebsiella, Xanthomyces dan Pseudomonas, Bacillus. Beberapa


contoh fungi yang digunakan dalam biodegradasi minyak bumi adalah fungi dari
genus Phanerochaete, Cunninghamella, Penicillium, Candida sp., Orobolomyce,
Cladosporium,

Debaromyces,

Fusarium,

Hansenula,

Rhodosporidium,

Rhodoturula, Torulopsis, Trichoderma, dan Trichosporon. Sejumlah bakteri


seperti Pseudomonas aerugionosa, Acinetobacter calcoaceticus, Arthrobacter sp.,
dan Streptomyces viridans menghasilkan senyawa biosurfaktan atau bioemulsi.
Mekanisme kerja mikroorganisme pencemar lingkungan oleh hidrokarbon
minyak bumi terus mengalami peningkatan dan telah menimbulkan dampak yang
berarti bagi makhluk hidup. Bioremediasi adalah salah satu upaya untuk
mengurangi polutan tersebut dengan bantuan organisme. Biodegradasi senyawa
hidrokarbon dari minyak bumi ini dapat dilakukan oleh mikroorganisme, salah
satunya adalah bakteri Pseudomonas sp. Bakteri Pseudomonas sp. merupakan

bakteri

hidrokarbonoklastik

yang

mampu

mendegradasi

berbagai

jenis

hidrokarbon. Keberhasilan penggunaan bakteri Pseudomonas dalam upaya


bioremediasi lingkungan akibat pencemaran minyak bumi. Bahan utama minyak
bumi adalah hidrokarbon alifatik dan aromatik. Selain itu, minyak bumi
mengandung senyawa nitrogen antara 0-0,5%, belerang 0-6%, dan oksigen
0-3,5%. Oleh karena itu, akan dijelaskan mengenai mekanisme kerja
bakteri Pseudomonas dalam proses bioremediasi pada pencemaran minyak
bumi.
Salah satu faktor yang sering membatasi kemampuan bakteri Pseudomonas
dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon adalah sifat-sifat kelarutannya yang
rendah, sehingga sulit mencapai sel bakteri. Oleh karena itu, bakteri Pseudomonas
dapat memproduksi biosurfaktan. Kemampuan bakteri Pseudomonas dalam
memproduksi biosurfaktan berkaitan dengan keberadaan enzim regulatori yang
berperan dalam sintesis biosurfaktan. Terdapat 2 macam biosurfaktan yang
dihasilkan bakteri Pseudomonas :
1. Surfaktan dengan berat molekul rendah (seperti glikolipid, soforolipid,
trehalosalipid, asam lemak dan fosfolipid) yang terdiri dari molekul hidrofobik
dan hidrofilik. Kelompok ini bersifat aktif permukaan, ditandai dengan adanya
penurunan tegangan permukaan medium cair.
2. Polimer dengan berat molekul besar dengan bioemulsifier polisakarida
amfifatik. Medium cair, bioemulsifier ini mempengaruhi pembentukan emulsi
serta kestabilannya dan tidak selalu menunjukkan penurunan tegangan
permukaan medium.
Biosurfaktan

merupakan

komponen

mikroorganisme

dari

molekul

hidrofobik dan hidrofilik, yang mampu mengikat molekul hidrokarbon tidak larut
air dan mampu menurunkan tegangan permukaan. Selain itu biosurfaktan secara
ekstraseluler menyebabkan emulsifikasi hidrokarbon sehingga mudah untuk
didegradasi oleh bakteri. Biosurfaktan meningkatkan ketersediaan substrat yang
tidak larut melalui beberapa mekanisme. Adanya biosurfaktan, substrat yang
berupa cairan akan teremulsi dibentuk menjadi misel-misel dan menyebarkannya

ke permukaan sel bakteri. Substrat yang padat dipecah oleh biosurfaktan sehingga
lebih mudah masuk ke dalam sel.
Pelepasan biosurfaktan tergantung dari substrat hidrokarbon yang ada.
Substrat (misal seperti pada pelumas) yang menyebabkan biosurfaktan hanya
melekat pada permukaan membran sel, namun tidak diekskresikan ke dalam
medium. Namun, ada beberapa substrat hidrokarbon (misal heksadekan) yang
menyebabkan biosurfaktan juga dilepaskan ke dalam medium. Hal ini terjadi
karena heksadekan menyebabkan sel bakteri lebih bersifat hidrofobik.
Senyawa hidrokarbon pada komponen permukaan sel yang hidrofobik itu dapat
menyebabkan sel tersebut kehilangan integritas struktural selnya sehingga
melepaskan biosurfaktan untuk membran sel itu sendiri dan juga melepaskannya
ke dalam medium.
Jamur

basidiomisetes

merupakan

kelompok

utama

pendegradasi

lignoselulosa. Walaupun beberapa bakteri diketahui dapat mendegradasi lignin,


tetapi bakteri yang mampu mendegradasi lignin secara kompleks belum pernah
dilaporkan. Jamur pembusuk kayu menghasilkan enzim-enzim pendegradasi
lignoselulosa seperti golongan selulase, ligninase, dan hemiselulase. Berdasarkan
mekanisme degradasi, jamur pembusuk kayu digolongkan ke dalam jamur
pembusuk putih dan jamur pembusuk cokelat, yang memiliki metabolisme
degradatif yang berbeda. Jamur busuk putih mampu mendegradasi seluruh
komponen material lignoselulosa termasuk lignin, sedangkan jamur busuk cokelat
lebih cenderung mendegradasi bagian selulosa dan hemiselulosa tetapi tidak
lignin. Penggunaan kultur campuran antara jamur pembusuk putih dan jamur
pembusuk cokelat memiliki prospek yang cukup tinggi untuk mendapatkan
glukosa alternatif dari material lignoselulosa (Munir dan Goenadi 1999).
Jamur basidiomisetes dan askomisetes memiliki peran yang utama dalam
degradasi lignoselulosa yang setiap tahunnya diperkirakan terbentuk sebanyak
100 gigaton, di mana 20 gigatonnya adalah lignin. Jamur busuk putih
mendegradasi lignin adalah untuk mendapatkan selulosa dari material
lignoselulosa. Ketidakteraturan struktur lignin ini menyebabkan proses degradasi
menjadi sangat kompleks, dan enzim-enzim yang berperan dalam degradasi lignin

bekerja secara nonspesifik. Proses ini berlangsung melalui pembentukan radikalradikal bebas yang dapat menyerang sejumlah besar molekul organik. Hal ini
menyebabkan jamur pendegradasi lignin mendapat perhatian yang sangat besar
dalam biodegradasi berbagai jenis polutan organik. Jamur busuk putih sangat
berpotensi dalam degradasi polutan karena kemampuannya dalam mendegradasi
berbagai senyawa aromatik, jamur pendegradasi lignin telah mendapat perhatian
besar dalam bidang bioremediasi. Sistem degradasi enzimatis ekstraseluler
menyebabkan jamur busuk putih lebih toleran terhadap konsentrasi polutan toksik
yang lebih tinggi. Mekanisme degradasi nonspesifik yang dimiliki oleh jamur
pembusuk putih menyebabkan mereka mampu mendegradasi sejumlah besar
polutan. Keunggulan lain dari jamur pembusuk putih dalam degradasi polutan
adalah mereka tidak memerlukan pengkondisian untuk polutan tertentu, karena
kekurangan nutrien dapat menginduksi proses degradasi. Induksi sintesis enzimenzim pendegradasi polutan biasanya tidak terpengaruh oleh banyak sedikitnya
polutan (Barr and Aust 1994).
Toksisitas senyawa hidrokarbon seperti hidrokarbon minyak (bensin)
terhadap mikroba, tumbuhan, hewan, dan manusia telah banyak dipelajari.
Senyawa hidrokarbon aromatis polisiklis (PAH) dalam minyak memiliki toksisitas
yang cukup tinggi. Efek toksik dari hidrokarbon yang terdapat dalam minyak
berlangsung melalui larutnya lapisan lemak yang menyusun membran sel,
sehingga menyebabkan hilangnya cairan sel atau kematian terhadap sel.
Ketahanan PAH di lingkungan dan toksisitasnya meningkat sejalan dengan
peningkatan jumlah cincin benzenanya. Beberapa golongan mikroorganisme telah
diketahui memiliki kemampuan dalam memetabolisme PAH. Bakteri dan
beberapa alga menggunakan dua molekul oksigen untuk memulai pemecahan
cincin benzena PAH, yang dikatalis oleh enzim dioksigenase untuk membentuk
molekul cis-dihidrodiol. Kebanyakan jamur mengoksidasi PAH melalui
pemberian satu molekul oksigen untuk membentuk senyawa oksida aren yang
dikatalisis oleh sitokrom P-450 monooksigenase. Jamur busuk putih, bila terdapat
H2O2, enzim lignin peroksidase yang dihasilkan akan menarik satu elektron dari
PAH yang selanjutnya membentuk senyawa kuinon. Cincin benzena yang sudah

terlepas dari PAH selanjutnya dioksidasi menjadi molekul-molekul lain dan


digunakan

oleh

sel

mikroba

sebagai

sumber

energi

(Cerniglia and Sutherland 2001).


Mikroorganisme tanah seperti jamur, bakteri, aktinomisetes, dan protozoa
merupakan komponen yang sangat penting dalam ekosistem tanah karena mereka
memiliki peranan utama dalam siklus nutrisi, mempertahankan struktur tanah, dan
juga mengatur pertumbuhan tanaman melalui berbagai mekanisme. Aktivitas dan
populasi mikroorganisme sekitar perakaran tanaman (rizosfer) biasanya lebih
dinamis dari daerah nonrizosfer. Hal ini disebabkan oleh adanya molekul organik
seperti gula dan asam organik yang dikeluarkan oleh akar atau produk regenerasi
dari akar yang dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme tanah. Tanpa adanya
sekresi dari akar, mikroba di sekitar rizosfer akan sukar bertahan dalam ekosistem
tanah. Kelompok mikroba yang memiliki fungsi penting di daerah rizosfer adalah
jamur, bakteri, dan protozoa yang membantu pertumbuhan tanaman melalui
berbagai mekanisme seperti peningkatan penyerapan nutrisi, sebagai kontrol
biologi terhadap serangan patogen, dan juga menghasilkan hormon pertumbuhan
bagi tanaman (Chanway 1997).
Kajian mengenai peranan bakteri tanah yang hidup bebas seperti
Pesudomonas, Bacillus, Agrobacterium, dan Erwinia dalam mengurangi serangan
patogen telah banyak dilaporkan. Reddy et al (1994) melaporkan bahwa serangan
jamur Fusarium oxysporum terhadap pertumbuhan bibit Douglas-fir menurun
tajam setelah diinokulasi beberapa strain Pseudomonas. Bakteri simbiotik dari
genus Rhizobium dan Barahyrhizobium, di samping telah dikenal luas sebagai
bakteri penambat nitrogen bebas, juga memiliki kemampuan dalam mendegradasi
senyawa-senyawa toksik di sekitar perakaran. Barkovskii et al (1994) melaporkan
bahwa Azospirillum yang juga memiliki kemampuan menambat nitrogen banyak
mengkolonisasi berbagai jenis tanaman dapat mendegradasi senyawa-senyawa
fenol dan benzoat sehingga bakteri ini telah banyak digunakan secara komersial
dalam bioremediasi tanah yang tercemar. Beberapa bakteri lain yang terdapat pada
rizosfer, seperti: Achromobacter, Agrobacterium, Alcaligenes, Acinetobacter,
Azotobacter,

Flavobacterium,

Mycobaterium,

Nitosomonas,

Nocardia,

10

Pseudomonas, dan Xanthobacter juga memiliki kemampuan dalam metabolisme


senyawa fenol, halogen, hidrokarbon, dan juga berbagai jenis pestisida.
Mikoriza sebagai suatu bentuk simbiosis mutualisme antara jamur dengan
akar tanaman berperan dalam peningkatan ketersediaan nutrisi (terutama fosfat)
bagi tanaman. Mikoriza dapat meningkatkan daya tahan tanaman terhadap
serangan patogen tanah. Mikoriza dapat mengurangi toksisitas logam berat
terhadap tanaman pada tanah-tanah tercemar sehingga mikoriza memiliki peranan
penting sebagai agen bioremediasi atau reklamasi bagi tanah-tanah yang tercemar
oleh logam berat seperti pada lahan-lahan bekas tambang. Sharples et al (2000)
melaporkan bahwa jamur pada daerah tambang berfungsi sebagai filter untuk
menjaga agar konsentrasi As tetap rendah pada jaringan tanaman dan
meningkatkan serapan P tanaman. Logam berat berikatan dengan gugus karboksil
hemiselulosa pada matriks di antara sel tanaman dan jamur, sehingga tanaman
terhindar dari keracunan. Jamur mikoriza seperti Rhizopogon vinicolor,
Rhizopogon vulgaris, Hymenoscyphus ericae, Oidiodendron griseum, dan
Gautieria crispa memiliki kemampuan remediasi senyawa-senyawa toksik di
tanah, seperti dalam metabolisme berbagai senyawa aromatik: 2,4-D, atrazin, dan
PCBs. Radiigera atrogleba dan Hysterangium gardneri mampu mendegradasi 2,2
diklorofenol sebesar 80%.
Beberapa logam tertentu memiliki peran penting dalam metabolisme
mikroba, sedangkan yang lain tidak diketahui fungsinya. Akan tetapi, baik logam
berat dan logam nonesensil akan bersifat toksik bila terdapat dalam jumlah yang
sangat berlebihan karena sifat toksik logam, proses bioremediasi senyawa organik
seringkali menjadi terhambat. Roane et al (1998) menyatakan bahwa di antara
logam-logam yang toksik tersebut terdiri dari kation-kation seperti merkuri,
timbal, arsenat, boron, kadmium, kromium, tembaga, nikel, mangan, selenium,
perak, dan seng. Peningkatan konsentrasi logam di lingkungan, terutama logam
berat, menimbulkan efek yang cukup serius terhadap seluruh bentuk kehidupan.
Bagi manusia gejala toksisitas logam berat dapat berupa kerusakan jantung, hati,
kanker, kelainan dan kerusakan sistem syaraf. Tumbuhan keracunan logam dapat
menyebabkan memendeknya akar, gugurnya daun, klorosis, dan kekurangan

11

nutrisi. Bagi mikroba kadar logam yang terlalu tinggi di lingkungan dapat
menurunkan atau menghambat pertumbuhan mikroba. Interaksi mikroba dengan
logam berat menyebabkan perubahan-perubahan proses fisiologis yang sangat
drastis dan dalam beberapa hal dapat membunuh mikroba. Mekanisme toksisitas
di antaranya terjadi melalui pengikatan logam pada ligan ligan sulfidril, karboksil,
dan fosfat seperti protein dan asam nukleat.
Menurut Baldrian (2003) meminimalisasi toksisitas logam berat, jamur
mengembangkan berbagai mekanisme pertahanan, seperti imobilisasi logam berat
oleh molekul intrasel (fitokelatin dan metalotionin) dan imobilisasi oleh molekul
ekstraseluler (asam-asam organik) yang dihasilkan oleh jamur. Salah satu kelator
yang dihasilkan oleh jamur dan sudah dikenal kemampuannya dalam mengikat
logam adalah asam oksalat. Asam oksalat yang dihasilkan oleh mikroba dapat
meningkatkan resistensi mikroba tersebut terhadap logam melalui pembentukan
kompleks metal-oksalat yang bersifat tidak larut. Metal oksalat dapat terbentuk
dengan Ca, Cd, Co, Cu, Mn, Sr, dan Zn. Selanjutnya juga telah banyak dilaporkan
bahwa terdapat hubungan antara resistensi jamur terhadap logam dengan
kemampuannya dalam menghasilkan asam oksalat. Munir et al (2005) melaporkan
bahwa biosintesis asam oksalat sangat penting untuk mendukung pertumbuhan
jamur di bawah kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan. Beberapa waktu
yang lalu juga telah dilaporkan bahwa kultur pertumbuhan jamur busuk cokelat
Tyromyces palustris, Laetiporus suphureus, dan Coniphora puteana mampu
menyerap Cu, Cr dan As (CCA) dari kayu yang diawetkan, dan menurunkan kadar
CCA dari kayu sampai di atas 75% (Kartal et al 2003).
Jamur dapat digunakan sebagai alat untuk memonitor pencemaran logam di
lingkungan karena potensinya dalam mengakumulasikan logam cukup besar,
jamur pembusuk kayu dapat digunakan sebagai agen untuk monitor polusi logam
di tanah atau di atmosfer atau sebagai alat analisis lingkungan yang cukup
potensial. Terdapat hubungan yang erat antara polusi udara dengan kandungan
logam dalam tubuh buah jamur (fruit body). Kemampuan bakteri dalam menyerap
atau menurunkan kandungan logam berat dari lingkungan, baik dari tanah maupun
dari perairan juga telah banyak dipelajari. Beberapa bakteri seperti Pseudomonas

12

aeruginosa, Acinetobacter calcoaceticus, Arthrobacter sp., dan Streptomyces


viridans menghasilkan senyawa biosurfaktan/bioemulsi yang dapat menyerap
berbagai jenis logam berat seperti Cd, Cr, Pb, Cu, dan Zn dari tanah yang
terkontaminasi. Desulfovibrio desulfuricans dapat mengendapkan uranium
melalui proses reduksi. Berbagai jenis Bacillus yang membentuk biofilm pada
permukaan perairan dapat menyerap Cd, Cr, Cu, Hg, Ni, dan Zn dari dalam air.
Mikroba yang membentuk film dalam ekosistem perairan juga memiliki peranan
yang penting dalam bioremediasi logam. Saccharomyces cerevisiae dan Candida
sp. dapat mengakumulasikan Pb dari dalam perairan, Citrobacter dan Rhizopus
arrhizus memiliki kemampuan menyerap uranium.

13

III. PENUTUP
Bioteknologi memberikan solusi baru dalam lingkungan yang disebut
dengan bioremediasi. Bioremediasi merupakan pengembangan dari bidang
bioteknologi

lingkungan

dengan

memanfaatkan

proses

biologi

dalam

mengendalikan pencemaran atau polutan. Polutan antara lain logam-logam berat,


petroleum hidrokarbon, dan senyawa-senyawa organik terhalogenasi seperti
pestisida dan herbisida. Teknologi bioremediasi dikenal dua cara menstimulasi
pertumbuhan mikroba, yaitu dengan biostimulai dan bioaugmentasi. Biostimulasi
dalah memperbanyak dan mempercepat pertumbuhan mikroba yang sudah ada di
daerah tercemar dengan cara memberikan lingkungan pertumbuhan yang
diperlukan, yaitu penambahan nutrient dan oksigen. Jika jumlah mikroba yang ada
sangat sedikit, maka harus ditambahkan mikroba dalam konsentrasi yang tinggi
sehingga bioproses dapat dimulai. Bioremediasi adalah salah satu teknologi
alternatif untuk mengatasi masalah lingkungan dengan memanfaatkan bantuan
mikroorganisme.

Mikroorganisme

yang

dimaksud adalah

khamir, fungi

(mycoremediasi), yeast, alga dan bakteri. Mikroorganisme akan mendegradasi zat


pencemar atau polutan menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun.
Setiap

mikroorganisme

mengalami

mekanisme

kerja

contohnya

pada

bakteri Pseudomonas sp. dalam proses bioremediasi pada pencemaran minyak


bumi.
Secara ekonomi dan fungsi, penggunaan teknik bioremediasi harus dapat
berkompetisi dengan teknologi remediasi lainnya, seperti pembakaran (insinerasi)
atau perlakuan kimia. Sebelum suatu teknik bioremediasi diaplikasikan, informasi
tentang keadaan lokasi dan potensi mikroorganisme harus sudah diketahui. Perlu
dilakukan uji laboratorium untuk mengetahui kecepatan degradasi pada suatu
fungsi lingkungan tertentu seperti pH, konsentrasi oksigen, nutrien, komposisi
mikroba, ukuran partikel tanah, dan juga suhu. Teknik remediasi lain, aplikasi
bioremediasi jauh lebih murah. Bioremediasi untuk satu yard tanah yang
terkontaminasi diperlukan dana sekitar 40 sampai 100 dolar, sedangkan melalui
proses lainnya, seperti dengan insinerasi, memerlukan biaya 250 sampai 800 dolar

14

dan landfilling sekitar 150 sampai 250 dolar untuk kapasitas tanah yang sama.
Bioremediasi dapat diaplikasikan pada lingkungan-lingkungan yang terpolusi
melalui berbagai mekanisme. Bioremediasi dilakukan melalui lima pendekatan
berikut: bioreaktor, perlakuan fase padat, pengomposan, landfarming, dan
perlakuan in situ. Berbagai proses teknologi telah berkembang di masing-masing
bidang.
Masalah utama yang sering dijumpai dalam aplikasi mikroorganisme untuk
bioremediasi adalah menurun atau hilangnya potensi mikroba. Walaupun dalam
percobaan laboratorium mikroba menunjukkan aktivitas degradasi yang tinggi,
ternyata tidak menunjukkan hasil yang menggembirakan dalam percobaan di
lapangan (in situ). Meningkatkan keefektifan penggunaan mikroorganisme dalam
13
bioremediasi dapat dilakukan dengan melakukan dua strategi berikut. Pertama
yang disebut sebagai biostimulation yaitu suatu teknik menambahkan nutrien
tertentu dengan tujuan merangsang aktivitas mikroba-mikroba tempatan
(indigenous). Teknik biostimulasi ini telah sukses dalam mengendalikan tumpahan
minyak di perairan dan kontaminasi senyawa hidrokarbon (PAH) di tanah. Nutrien
yang sering ditambahkan adalah fosfor dan nitrogen. Strategi kedua yang disebut
sebagai bioaugmentasi, yaitu dengan mengintroduksi mikroba tertentu pada
daerah yang akan diremediasi. Beberapa hal, teknik bioaugmentasi juga diikuti
dengan penambahan nutrien tertentu. Masalah di atas, lambatnya kecepatan
degradasi polutan di lingkungan disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut:
enzim-enzim degradatif yang dihasilkan oleh mikroba tidak mampu mengkatalis
reaksi degradasi polutan yang tidak alami, kelarutan polutan dalam air sangat
rendah, dan polutan terikat kuat dengan partikel-partikel organik atau partikel
tanah. Selain itu, pengaruh lingkungan seperti pH, temperatur, dan kelembapan
tanah juga sangat berperan dalam menentukan kesuksesan proses bioremediasi.
Oleh karena itu, seleksi, baik yang dilakukan secara konvensional maupun melalui
manipulasi genetika untuk mendapatkan mikroba-mikroba yang potensial,
merupakan agenda yang cukup penting dalam mikrobiologi lingkungan. Proses
degradasi komplit di lingkungan umumnya dilakukan oleh konsorsium
mikroorganisme bukan oleh mikroorganisme sejenis.

15

DAFTAR PUSTAKA
Baldrian P 2003. Interaction of heavy metals with white-rot fungi, Enzyme and
Microbial. Technol. 23: 79-91.
Barkovskii AI, Boullant ML and Balandreau J 1994. Polyphenolic compounds
respired by bacteria. In: Bioremediation through rhizosphere technology,
ed. T.A. Anderson & J.L. Coats, American Chemical Society, Washington
DC, pp. 29-42.
Barr DP and Aust DA 1994. Mechanisms of white rot fungi use to degrade
pollutants, Environ. Sci. Technol. 28: 78-87.
Cerniglia CE and Sutherland JB 2001. Bioremediation of polycyclic aromatic
hydrocarbons by ligninolytic and non-ligninolytic fungi. In: Fungi in
Bioremediation, ed. G.M. Gadd, Cambridge University Press,
Cambridge, pp. 136-187.
Chanway CP 1997. Inoculation of tree roots with plant growth promoting bacteria:
An Emerging technology for reforestation, Forest Science 43: 96-112.
Kartal SN Munir, Kakitani ET and Imamura Y 2004. Bioremediation of
CCA-treated wood by brown-rot fungi Fomitpsis palustris, Coniophora
puteana, and Laetiporus sulfurous, J. Wood Sci. 50: 182-188.
Munir E and Goenadi DH 1999. Bioconversion of oil palm trunk derived
lignocellulose to sugars. Menara Perkebunan 67: 37-44.
Munir E, Hattori T and Shimada M 2005. Role of oxalate biosynthesis for the
growth of the copper tolerant wood-rotting fungi under environmental
stress. The 55 th Annual Meeting of the Japan Wood Research Society.
Reddy MS, Axelrood PE, Radley R and Rennie RJ 1994. Evaluation of bacterial
strains for pathogen suppression and enhancement of survival and growth
of conifer seedlings. In: Improving plant productivity with rhizosphere
bacteria, Proc. of 3 rd Internat, PGPR. Adelide, Australia, pp. 75-76.
Roane TM, Pepper IL and Miller RM 1998. Microbial remediation of metals. In:
Bioremediation: Principles and Application, ed. R.L. Crawford & D.L.
Crawford, pp. 312-340.
Sharples JM, Meharg AA, Chambers SM and Cairney JWG 2000. Symbiotic
solution to arsenic contamination, Nature 404: 951-952.

Anda mungkin juga menyukai