THT Paper Ototoksik
THT Paper Ototoksik
PENDAHULUAN
Ototoksik sudah lama dikenal sebagai efek samping pengobatan
kedokteran, dan dengan bertambahnya obat-obatan lebih poten daftar obat-obatan
ototoksik makin bertambah.1
Pada abad ke 19 Kina, Salisilat, dan Oleum chenopodium telah diketahui
dapat menimbulkan tinitus, kurang pendengaran dan gangguan vestibuler
(Schwabach 1889, North 1880). Pada tahun 1990 werner melakukan tinjauan
pustaka terdahulu dan menerangkan efek ototoksik dari berbagai macam zat
termasuk arsen, etil, metil alkohol, nikotin, toksik bakteri dan senyawa-senyawa
logam berta. Degan ditemukannya antibiotik Stertomisin, kemoterapi pertama
yang efektif terhadap kuman tuberkulosis, menjadi kenyataan juga penyebab
terjadinya gangguan pendengaran dan vestibuler (Hinshaw dan Feldman 1945).1
Antibiotik golongan Aminoglikosida lain yang kemudian digunakan di
klinik memperkuat efek ototoksik seperti yang diakibatkan streptomisin (Lamer
dkk,1981). Kerentanan yang tidak biasa dari telinga dalam terhadap cedera oleh
golongan- golongan tertentu kemudian setelah pemberian loop diuretics dapat
diperhatikan, yang ternyata pengaruhnya terhadap otoksisitas dengan mekanisme
yang berbeda dibandingkan dengan antibiotik Aminoglikosida.1
Gangguan pendengaran yang berhubungan dengan ototoksitas sangat
sering ditemukan. Tuli akibat ototoksik yang menetap malahan dapat terjadi
berhari-hari, berminggu-minggu atau berbulan-bulan setelah selesai pengobatan.
Kurang pendengaran akibat pemakaian obat ototoksik bersifat tuli sensorineural.1
Tuli yang diakibatkan oleh obat-obat ototoksik tidak dapat diobati. Serta
ringanya ketulian yang terjadi tergantung kepada jenis obat, jumlah dan lamanya
pengobatan. Berhubungtidak ada pengobatan untuk tuli akibat ototoksik, maka
pencegahan menjadi lebih penting.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Telinga
Telinga adalah bagian panca indera untuk pendengaran dan keseimbangan,
terletak di sisi kepala kurang lebih setinggi mata. Secara anatomi dan fungsional,
telinga dibagi menjadi 3 bagian, yaitu teling luar (auris eksterna, telinga tengah
(auris media), dan telinga dalam (auris interna).1,2
: Membran timpani
- Batas depan
: Tuba eustachius
- Batas Bawah
- Batas belakang
- Batas atas
: Tegmen Timpani
- Batas dalam
:Berturut-turut
dari
atas
ke
bawah
kanalis
dibagian luar, lapisan fibrosa di bagian tengah dimana tangkai maleus dilekatkan
dan lapisan mukosa di bagian dalam.1,2
yaitu
sirkuler dan radier. Serabut inilah yang menyebabkan timbulnya refleks cahaya
yang berupa kerucut itu. Secara klinis refleks chaya ini dinilai, misalnya bila letak
refleks cahaya mendatar, berarti terdapat gangguan pada tuba eustachius.1
Membran timpani dibagi dalam 4 kuadran, dengan menarik garis serah
dengan prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo,
sehingga didapatkan bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-depan serta bawahbelakang, untuk menyatakan letak perforasi membran timpani.1
Kavum timpani adalah ruang berisi udara di dalam pars petrosa ossis
temporalis yang dilapisi oleh membran mukosa. Ruang ini berisi tulang-tulang
pendengaran yang berfungsi meneruskan getaran membran timpani ke perilympha
telinga dalam. Kavum timpani berbentuk celah sempit yang miring, dengan
sumbu panjang terletak lebih kurang sejajar dengan bidang membran timpani. Di
depan ruang ini berhubungan dengan nasofaring melalui tuba eustachius dan di
belakang dengan antrum mastoideum.2
Tulang-tulang pendengaran (ossicula auditus) terdiri dari malleus, incus
dan stapes. Malleus adalah tulang pendengaran terbesar , dan terdiri atas caput,
collum, processus longum atau manubrium, sebuah processus anterior dan
prosessus lateralis. Incus mempunyai corpus yang besar dan dua crus. Stapes
mempunyai caput, collum,dua lengan dan sebuah basis. Caput stapedis kecil dan
bersendi dengan crus longum incudis. Tulang pendengaran di dalam telinga
tengah saling berhubungan. Proses longus maleus melekat pada membran timpani,
maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada
tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antar tulang-tulang
pendengaran merupakan persendian.1,2
Tuba
eustachius
menghubungkan
rongga
telinga
tengah
dengan
nasofaring. Sepertiga bagian posteriornya adalah tulang dan dua pertiga bagian
anteriornya adalah kartilago. Tuba berfungsi menyeimbangkan tekanan udara di
dalam cavum timpani dengan nasofaring. Antrum mastoideum terletak di
belakang kavum timpani di dalam pars petrosa ossis temporalis dan berhubungan
dengan telinga tengah melalui aditus.1,2
skala
timpani
dan
skala
helikotrema,
vestibuli.
Kanalis
rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pengelepasan ion bermuatan listrik
dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga
melepaskan neutransmitter ke dalam sinaps yang akan menimbulkan potensial
aksi pada saraf auditorius, lalu akan dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke
korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis.1
(teinga dalam), nervus VIII atau pusat pendengaran, sedangkan tuli campuran
disebaban oleh kombinasi tuli konduktif dan tuli sensorineural. Tuli campuran
dapat merupakan suatu penyakit, misalnya radang telinga tengah dengan
komplikasi ke telinga dalam atau
misalnya tumor nervus VIII dengan radang telinga tengah (tuli konduktif). Jadi
jenis ketulian sesuai dengan letak kelainan.1
2.4. OTOTOKSIK
2.4.1. Definisi Ototoksik
Ototoksik dapat didefinisikan sebagai kecenderungan agen terapi tertentu
dan zat kimia lainnya menyebaban gangguan fingsional dan degenerasi sel dari
jaringan telinga bagian dalam dan terutama dari end-organs dan neuron dari
koklea dan vestibular yaitu saraf kranial ke delapan.3
Ototoksoik merupakan ganguan fungsi kokleavestibular baik sebagian
ataupun total yang disebaban oleh interaksi senyawa kimia, yang banyak terdapat
dalam beberapa jenis
vestibulokoklearis.4
Ototoksik juga didefinisikan sebagai kerusakan pada koklea dan atau
bagian vestibular dari telinga bagian dalam yang disebabkan oleh obat-obatan.5
2.4.2 Etiologi
Obat-obatan yang menyebabkan kerusakan pada telinga dikenal sebagai
obat-obat ototosik. Obat-obat ini bisa menyebabkan gangguan pendengaran dan
keseimbangan, tetapi sebagian besar obat lebih banyak menyebabkan gangguan
pendengaran. Obat-obat ini antara lain:
1. Aminoglikosida
Neomisin,
Kanamisin,
Netilmisin
mempunyai
efek
seperti
gentamisin
tetapi
sifat
10
intravena dosis tinggi atau secara oral. Biasanya gangguan pendengaran dapat
pulih setelah obat dihentikan.1
Antibiotika lain seperti Vanomisin, Viomisin, Capreomisin, Minosiklin
dapat mengakibatkan ototoksisitas bila diberikan pada pasien yang terganggu
fungsi ginjalnya.1
3. Diuretik
Ethycrynic acid, furosemid dan bumetanide adalah diuretik yang kuat yang
disebut loop diuretik karena dapat menghambat reabsorpsi elektrolit-eletrolit
dan air pada cabang naik dari lengkungan henle. Walaupun diuretik tersebut
hanya memberikan sedikit efek samping tetapi menunjukkan derajat potensi
ototoksisitas, tetapi pada kasus-kasus tertentu dapat menyebabkan tuli
permanen.1
Patofisiologi
Efek ototoksik diuretik nampaknya berhubungan dengan stria vaskularis
yang dipengaruhi oleh perubahan gradien ion antara perilimfe dan endolimfe.
Perubahan ini menyebabkan edema pada epitel stria vaskularis sehingga terjadi
perubahan potensial pada endolimfe. Bukti juga menunjukkan bahwa potensial
endolimfe menurun. Namun, ini biasnya tergantung dosis dan bersifat
reversible.6
4. Obat Anti inflamasi
Salisilat termasuk aspirin dapat mengakibatkan tuli sensorineural
berfrekuensi tinggi dan tinitus. Tetapi bila pengobatan dihentikan pendengaran
akan pulih dan tinitus akan hilang.1
Asam asetil salisilat atau yang lebih dikenal dengan aspirin digunakan
secara luas sebagai anti inflamasi, antipiretik, dan analgetik. Aspirin adalah
suatu penghambat agregasi platelet dan digunakan pada pasien dengan riwayat
stroke, angina atau infrak jantung.7
Salisilat termasuk aspirin dapat
menyebabkan
tuli
sensorinueral
11
antibiotika
golongan
12
karena obat tersebut dapat menembus membran tingkap bundar (round window
membrane). Walaupum membran tersebut pada manusia lebih tebal tiga kali
dibangdingkan pada baboon (semacam monyet besar)(> 65 mikron), tetapi
dari hasil penelitian, masih dapat ditembus obat-obatan tersebut. Sebetulnya
obat tetes telinga yang mengandung antibiotika aminoglikosida diperuntukkan
untuk infeksi telingan luar.1
Obat Anti Inflamasi
Aspirin
Salisilat
Agent Kemoterapi
Bleomycin (Blenoxane)
Bromocriptine (Parlodel)
Cisplatin (Platinol)
Methotrexate (Rheumatrex)
Nitrogen Mustard (Mustargen)
Vincristine (Oncovin)
Vinblastin (Velban)
Tabel 1. Obat Golongan Salsilat dan agen kemoterapi yang menyebabkan
ototoksik1,6,7
1. Aminoglikosida
Diuretik
Amikasin
Bendroflumethazide (Corzide)
Gentamisin
Bumetadine (Burnex)
Kanamisin
Chlor-Thalidone (Tenoretic)
Neomisin
Ethacrynic acide (edecrin)
Netilmisin
Furosemide (lasix)
Streptomisin
Tobramisin
2. Eritromisin
3. Vancomisin
4. Minosiklin
5. Polimisxin B & Ampoterisin B
6. Capreomisin
Tabel 2. Antibiotik dan Diuretik yang menyebabkan ototoksik1,6
Anti Malaria
NSAID
Klorouin (Aralen)
Diclofenac (Voltaren)
Quinacrine
hydrochloride Etocolac (Lodine)
(Atabrine)
Quinine Sulfate (quinam)
Fenprofen (Nalvon)
Ibuprofen (Motrin,advil,Nuprin)
13
Indomethacin (Indocin)
Naproxen (Naprosyn,Anaprox,Aleve)
Piroxican (feldene)
Sulindac (Cinoril)
Tabel 3. Obat golongan Antimalaria dan NSAID yang menyebabkan
ototoksik1,7
2.4.3. Mekanisme Ototoksik
Akibat penggunaan obat-obatan yang bersifat ototoksik akan dapat
menimbulkan terjadinya gangguan fungsional pada telinga dalam yang
disebabkan telah terjadi perubahan struktur anatomi pada organ teliga dalam.
Kerusakan yang timbul oleh preparat ototoksik tersebut antara lain adalah:
a. Degenerasi stria vaskularis
Kelainan patologi ini terjadi pada penggunaan semua jenis obat ototoksik
b. Degenerasi sel epitel sensori
Kelainan patologi ini terjadi pada organ corti dan labirin vestibular, akibat
penggunaan antibiotik aminoglikosid sel rambut luar lebih terpengaruh
dari pada sel rambut dalam, dan perubahan degeneratif ini terjadi dimulai
dari basal koklea dan berlanjut terus hingga akhirnya sampai ke bagian
apeks.
c. Degenerasi sel ganglion
Kelainan ini terjadi sekunder akibat adanya degenerasi dari sel epitel
sensori. 1
2.4.4. Gejala Ototoksik
Tinitus dan vertigo merupakan gejala utama ototoksisitas, gejala lainnya
juga terdapat ganguan keseimbangan badan, sulit memfiksasi pandangan,
terutama setelah perubahan posisi, ataksia (kehilangan koordinasi otot) dan
oscillopsia (pandangan kabur dengan pergerakan kepala) tanpa adanay riwayat
vertigo sebelumnya, menyebabkan kesulitan melihat tanda lalu lintas ketika
mengendarai kendaraan atau mengenali wajah orang ketika berjalan.1,7,8
Diuretik kuat dapat menimbulkan tinitus yang kuat dalam beberapa menit
setelah menyuntikkan intravena, tetapi pada kasus-kasus yang tidak begitu berat
dapat terjadi tuli sensorineural secara perlahan-lahan dan progresif dengan hanya
disertai tinitus yang ringan dan biasanya menghasilkan audiogram yang mendatar
atau sediit menurun.1,9
14
ini
disebabkan
karena
kerusakan
pada
sistem
pendengaran.9
b. Efek pada Vestibular
1. Pusing
15
seseorang
kehilangan
keseimbangan.
7. Oscillopsia
Oscillopsia atau bouncing vision merupakan kerusakan vestibular
yang berat dan menyebabkan refleks vestibule-okular tidak dapat
bekerja secara bersama-sama.
8. Gangguan emosional
Aibat dari gangguan keseimbangan, akan timbul gangguan
emosional seperti rasa cemas, depresi dan mudah marah.
9. Kelelahan
Kerusakan pada sistem vestibular dapat menyebabkan kelelahan
karena terus mempertahankan keseimbangan tubuh.
10. Nyeri otot
Hal ini terjadi akibat gangguan pada vestibule-spinal refleks. Jika
refleks ini gagal, dalam kesadaran penuh mengontrol otot, namun
dalam
keadaan
bersamaan
juga
untuk
mempertahankan
16
17
18
2.4.7. Pencegahan
Berhubung tidak ada pengobatan untuk tuli akibat obat ototoksik, maka
pencegahan menjadi lebih penting. Dalam melakukan pencegahan ini termasuk
mempertimbangkan penggunaan obat-obat ototoksik, menilai kerentanan pasien,
monitoring ketat level obat dala serum dan fungsi ginjal harus baik sebelum
terapi, memonitoring efek samping secara dini, yaitu dengan memperhatikan
gejala-gejala keracunan telinga dalam yang timbul seperti tinitus, kurang
pendengaran dan vertigo.1,10
Pada pasien-pasien yang telah mulai menunjukkan gejala tersebut diatas
harus dilakukan evaluasi audiologik dan segera menghentikan pengobatan dan
sebainya dilakukan pemantauan terhadap kadar obat dalam darah jika
memungkinkan baik sebelum dan selama pengobatan berlangsung.1,10
2.4.8. Prognosis
Prognosis sangat tergantung kepada jenis obat, jumalah dan lamanya
pengobatn, kerentanan pasien, adanya faktor resiko seperti gagal ginjal akut
ataupun kronis dan penggunaan obat ototoksik yang lain secara bersamaan akan
tetapi pada umumnya prognosis tidak begitu baik dan malah memburuk.1
19
BAB III
KESIMPULAN
Ototoksik didefinisikan sebagai kerusakan pada koklea dan / atau bagian
vestibular dari telinga bagian dalam yang disebabkan oleh obat-oabtan. Obatobatan
yang
sering
menyebabkan
Ototoksik
diantaranya
golongan
Aminoglikosida, diureti, salisilat, anti malaria, anti kanker dan obat topikal
telinga. Efek utama dari obat-obat ototoksik terhadap telinga adalah degenerasi
stria vaskularis, sel epitel sensori dan sel ganglion. Tinitus dan vertigo merupakan
gejala utama ototoksisitas. Tinitus cirinya kuat bernada tinggi, berkisar 4 KHz
sampai 6KHz serta biasanya bilateral, grjala lainya juga terdapat gangguan
keseimbangan badan, sulit memfiksasi pandangan, terutama stelah perubahan
posisi, ataksia dan oscillopsia tanpa adanya riwayat vertigo sebelumnya.
Tuli yang diakibat kan oleh obat-obat ototoksik tidak dapat diobati, makas
pencegahan menjadi lebih penting. Pencegahan dengan mempertimbangan
pengunaaan obat-obat ototoksik, menilai kerentanan pasien, monitoring ketat level
obat dalam serum dan fungsi ginjal harus bai selama dan setelah terapi, menukur
fungsi audiometri sebelum terapi dapat dicoba mealkukan rehabilitasi antara lain
dengan alat bantu dengar (ABD), psikoterapi, auditory training,termasuk cara
menggunakan sisa pendengaran dengan alat bantu dengar, belajar komunikasi
total dengan belajar membaca isyarat. Pada tuli total bilateral dapat
dipertimbangkan pemasangan implan koklea. Pada umumnya prognois tidak
begitu baik dan malah memburuk.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J & Restuti RD. 2010. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi 6.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 53-56
2. Snell RS. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6.
Jakarta :EGC. 782-792
3. Maqbool M. 1993. Textbook of ear, Nose and Throat Disease. Sixth
Edition. India: Jaypee Brother Medical Published. 160-162.
4. Roland JN, McRae RDR, McCombe WA. 1995. Key Topics in
Otolaryngology And Head and Neck Surgery. Uk: Bios Scientific
Publishers. 231-233.
5. Groves J, Gray FR. A Synopsis of Otolaryngology. Fourth Edition. 1985.
Britol: Wright. 138-139.
6. Mudd PA. Ototoxicity. Updated 23 October 2014. Available from:
http://emedicine.medcape.com/article/857679-overview#showall
7. Broek DVP, Debruyne F, Feenstra L, Marres MAH. Buku Saku Ilmu
Kesehatan Tenggorok, Hidung dan Telinga. Edisi 12.2009. Jakarta: EGC.
79-81
8. Adams LG, Boies RL, Higler AP. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6.
1997. Jakarta: EGC 129
9. Bauman GN. Ototoxicity- the Hiddem Menace, Accessed 1 March 2016.
Available From: http://www.hearinglosshelp.com/
10. Haybach PJ. Ototoxicity. Acessed 1 March 2016 Available from:
http://vestibular.org/
11. Fenyan S. Ototosisitas 2011. Medan:FK USU. Acessed 1 March 2015.
Avaible from: http://repository.usu.ac.id/
21