Anda di halaman 1dari 14

Teater Mamanda dan Pendefinisian Kembali

Identitas Banjar1
Ninuk Kleden-Probonegoro
(Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)
This article examines notions of identity in the context of Mamanda, a traditional theatre
in Banjar, South Kalimantan. The author analyses Mamanda as a cultural symbol and describes the formulation of its identity using a semiotic approach whereby identity is conceived
as a part of a binary composition fluctuating between the opposing notions of us and other.
This is illustrated in the oppositions between the theatres community and the state, individuals and the state, and the contradictory opposition between the community members within
Mamanda itself. This article demonstrates that identity is continually reformulated and is
linked to political interests such as regional autonomy.

Tanda dalam kebudayaan lokal


Identitas etnis yang berada dalam lingkup
kebudayaan lokal menjadi isu yang banyak
dibicarakan orang. Ada dua hal pokok yang
menyebabkannya demikian. Pertama, identitas
etnis itu terwujud sebagai akibat dari politik
nasional; dan kedua, sebagai dampak dari
globalisasi.
Pertama, pada masa Orde Baru, slogan
Bhineka Tunggal Ika berarti kesatuan dalam
kemajemukan yang didengung-dengungkan
1

Tulisan ini merupakan revisi dari makalah yang


disajikan dalam panel Identitas dan Representasi
dalam Karya Seni, Simposium Internasional Jurnal
Antropologi Indonesia ke-2: Globalisasi dan
Kebudayaan Lokal: Suatu Dialektika Menuju Indonesia Baru, Kampus Limau Manis, Universitas Andalas,
Padang, 1821 Juli 2001. Sebagian data naskah ini
diambil dari penelitian saya dan teman-teman untuk
LIPI, yang dilakukan pada tahun 2000, dan dilaporkan
dengan judul Pendefinisian Kembali Tradisi dan
Identitas Etnis, Jakarta: PMB-LIPI 2000. Data lain
diperoleh dari penelitian saya pribadi yang dilakukan
pada tahun 1999 dan pada bulan FebruariMaret 2001
(atas biaya The Toyota Foundation).

10

sebagai sesuatu yang mengikat bangsa yang


terdiri dari berbagai kelompok etnis. Apa yang
muncul dari slogan tersebut dan praktik
operasionalnya ialah anggapan tentang adanya
kebudayaan yang homogen karena yang
ditekankan adalah aspek tunggalnya. Pada
masa reformasi yang masih berlangsung,
orang mulai terang-terangan memunculkan
keinginan untuk berbedamemunculkan sikap
kebhinekaan. Sebagai contoh: pada bidang
pemerintahan, ada Otonomi Daerah yang telah
dituangkan ke dalam UU. no.22/1999 dilengkapi
oleh UU. no.25/1999 tentang perimbangan
keuangan antara pusat dan daerah. Karena itu,
otonomi daerah, pluralitas budaya, heterogenitas, dan etnisitas menjadi isu yang
hangat.
Kedua, globalisasi adalah suatu gerakan
kebudayaan yang didorong oleh perkembangan ekonomi dan komunikasi yang
mengglobal. Dengan demikian, di satu sisi
globalisasi dapat dilihat sebagai gejala yang
cenderung bersifat universal, tetapi di sisi lain

ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002

justru menimbulkan respons terhadap menguatnya identitas-identitas lokal. Hal itu mudah
dipahami karena adanya hubungan dialektika
antara yang global dan yang lokal. Misalnya,
wisatawan manca negara datang ke Indonesia
justru karena ada kebudayaan-kebudayaan
lokal yang dapat dijadikan obyek wisatanya.
Karena identitas lokal itu menguat, dan
perbedaan yang ada dalam tiap kebudayaan
lokal seyogianya harus dipelihara, bahkan jika
perlu justru dikreasikan, maka perbedaan
kebudayaan dapat merangsang dan mendorong proses belajar untuk lebih dapat
memahami diri. Munculnya pluralitas budaya,
hetrogenitas, dan etnisitas akan mengimbangi
dampak globalisasi.
Salah satu wujud kebudayaan lokal adalah
Teater Mamanda milik orang Banjar2 yang dapat
diperlakukan sebagai suatu tanda (sign)
budaya. Pandangan ini bertolak dari pendekatan
semiotik3 yang mempersoalkan hubungan
antara tanda dengan penanda. Semiotik
mempersoalkan hubungan antara tanda
dengan apa yang ditandai oleh tanda itu.
Menjadikan teater Mamanda sebagai suatu
tanda (sign) budaya, mempunyai konsekuensi
teoretis yang mengharuskan orang menghubungkannya dengan penanda (signifier) dan
petanda (signified). Hubungan antara penanda
2

Kalimantan Selatan, tempat orang Banjar itu tinggal,


dialiri oleh sungai-sungai besar dengan banyak anak
cabangnya. Sungai-sungai itu mengalir dari daerah hulu
di pedalaman ke hilir di muara sungai. Karena itu,
orang Banjar juga terbagi secara geografis, yaitu orang
Banjar Kuala yang tinggal di bagian muara sungai, di
persimpangan dua buah sungai, dan di sepanjang sungai
Martapura di Martapura, Banjarmasin serta Pleihari,
dan orang Banjar Hulu yang dapat dijumpai di
kabupaten Tapin, kabupaten Hulu Sungai Selatan, Hulu
Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, dan di daerah
administrasi kabupaten Tabalong.
3

Dalam linguistik, semiotik dikenal sebagai ilmu


tentang tanda yang dibedakan dari ilmu tentang makna
kata (Anton Moeliono 1980:805,909).

ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002

(signifier) dengan petanda (signified) tidak


bersifat denotasi dengan makna tunggal dan
linier. 4 Akan tetapi, makna yang timbul itu
tergantung pada the act of sign-i-fying
(Derrida 1984). Berarti, proses signifikasi itu
menjadi penting dalam memperoleh makna
hubungan antara penanda dengan petanda.
Hubungan itu bukan merupakan hubungan
yang linier; dan bukan pula merupakan
hubungan yang sudah selesai, yang tidak lagi
bisa diinterpretasikan. Friedman (1994) melihat
pentingnya proses menafsirkan kembali makna
suatu tanda budaya. Tanda budaya itulah yang
kemudian dianggap sebagai identitas. Dengan
kata lain, identitas selalu merupakan
pertarungan wacana. Penampilan kembali
tanda-tanda budaya yang diperlakukan
sebagai identitas itu boleh dikatakan selalu
bersifat politis.
Tulisan ini mempertanyakan cara teater
Mamandasebagai tanda budayaberperan
dalam proses pendefinisian kembali identitas
orang Banjar. Kajian ini berangkat dari titik tolak
isu nasional tentang otonomi daerah. Sejak isu
otonomi daerah mulai bergulir, daerah mulai
sibuk memunculkan identitas daerahnya;
bahkan pada tingkat Pemerintahan Daerah
tingkat dua atau Kotamadya sekalipun.5 Kajian
tentang identitas diawali dari dua ulasan
peristiwa penting yang dapat dianggap sebagai
titik balik orang Banjar dalam membicarakan
identitasnya. Pembahasan dilanjutkan dengan
pembicaraan tentang Mamanda sebagai teater
Banjar yang mempertanyakan apa itu
4

Seperti kata meja yang langsung dapat dihubungkan


dengan penandanya berupa benda pipih berkaki empat
yang bagian atasnya dapat digunakan untuk bekerja
(menulis, menggambar, makan, dsb.).
5

Sebagai contoh, pada pertengahan tahun 2001 lalu,


Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kotamadya
Mataram, dibantu oleh para senimannya sibuk
menggarap tarian yang dapat dijadikan ciri identitas
Kotamadya Mataram.

11

Mamanda dan mengapa Mamanda lahir dalam


kebudayaan Banjar. Salah satu faktor yang
berperanan dalam hal ini adalah sentuhan
kekuasaan terhadap Mamanda. Dalam tulisan
ini, proses redefinisi identitas Banjar melalui
Mamanda merupakan pertarungan-pertarungan
makna yang belum selesai.

Dialog antar Generasi dan Aruh


Ganal: titik balik identitas yang
diperdebatkan
Saat penelitian dilakukan, Pemerintah
Daerah Kalimantan Selatan sedang sibuk
mempersiapkan diri menyambut Otonomi
Daerah. Salah satu cara yang dilakukan
Pemerintah Daerah Kalimantan Selatan ialah
menghimpun pemikiran orang-orang Banjar
yang tinggal di luar kota Kalimantan Selatan.
Peristiwa ini dikaitkan dengan rangkaian
kegiatan untuk memperingati hari kemerdekaan
Indonesia dan ulang tahun kota Banjarmasin.
Ada dua peristiwa penting sehubungan
dengan rencana Pemerintah Daerah tersebut
yang secara tidak langsung menyangkut
identitas diri orang Banjar, yaitu seminar Dialog antar Generasi (8 Agustus 2000) dan
musyawarah besar orang Banjar yang dalam
bahasa setempat disebut Aruh Ganal (1013
Agustus 2000). Secara harafiah Aruh Ganal
berarti pesta besar karena aruh berarti kenduri
atau pesta, dan ganal berarti besar.
Aruh Ganal ini dihadiri oleh orang Banjar
yang tidak saja berdiam di kota-kota besar di
Jawa, seperti Jakarta, Yogyakarta, dan
Surabaya, tetapi juga oleh orang Banjar dari
berbagai tempat di Sumatera, khususnya dari
Tembilahan. Di Tembilahan, orang Banjar
bermukim sejak beberapa generasi lalu. Datang
pula orang Banjar dari negara Malaysia,
Singapura, dan Brunei.
Penyelenggaraan Aruh Ganal yang dibuka
oleh presiden bukannya tidak mengundang

12

kontroversi di antara masyarakat Banjar sendiri.


Aruh Ganal ditentang oleh beberapa kelompok
karena dua hal, yaitu persoalan dana, dan
sentimen etnis. Ada pihak yang berpendapat
bahwa musyawarah itu hanya menghamburhamburkan uang saja. Jika tujuannya untuk
menghimpun pemikiran orang Banjar, mengapa
tidak dibicarakan dengan tokoh-tokoh yang
tinggal di Kalimantan Selatan, termasuk dosendosen Universitas Lambung Mangkurat? Ada
pula yang berpendapat bahwa panitia kurang
bersifat terbuka. Mereka khawatir jangan sampai
biaya musyawarah itu akan mengganggu
APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah). OKP dan Ormas juga tidak senang
terhadap panitia musyawarah besar itu, yang
katanya bukan orang Banjar asli. Ada pula
kelompok mahasiswa yang telah meminta ijin
untuk melakukan demonstrasi menolak musyawarah besar. Danrem (Komandan Komando
Resimen) tidak berkeberatan memberi ijin demo
anti Aruh Ganal dengan syarat tidak mengganggu kunjungan presiden. Tetapi, ia tidak
menyetujui adanya kelompok demo tandingan.
Gubernur H.M. Syahriel Darhan bersama
ketua panitia musyawarah besar datang
mengunjungi KH. Zaini Abdul Ghani yang juga
dipanggil dengan nama Guru Ijai. Guru dari
Desa Sekumpul ini dikenal mempunyai kharisma
dan kekuatan supranatural,6 sehingga banyak
pejabat yang datang meminta restunya, tidak
saja dari Kalimantan Selatan, tetapi juga dari
Jakarta. Guru Ijai menyampaikan nasihatnya
pada Gubernur dan panitia musyawarah: Aruh
Ganal Positif Asalkan Jangan Bahiri-hirian,
seperti yang ditulis Kalimantan Post (Selasa 8
Agustus 2000). Guru Ijai merestui musyawarah
besar itu, asalkan jangan saling iri hati. Bahirihirian artinya saling iri di antara berbagai
6

Lihat misalnya bab tentang Tuan Guru dan Habib,


dalam Etos Kerja Pengrajin batu Permata Banjar
Jakarta: PMB-LIPI 1996:80-84.

ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002

kelompok. Misalnya, antara orang Banjar di


rantau (yang diminta sumbangan pemikirannya)
dan mereka yang berdomisili di Banjarmasin;
antara mereka yang duduk di kepanitian dan
yang tidak; antara mereka yang merasa orang
Banjar asli dan mereka yang bukan orang Banjar
asli.
Hubungan antara seminar dan musyawarah dengan identitas orang Banjar dapat
dilihat dari apa yang diperdebatkan. Seminar
Dialog Antar Generasi mempunyai tema
Baimbai Manyusuri Sisi Tapih7 yang secara
harafiah berarti meniti kain sarung yang
dililitkan ke tubuh si pemakai. Seminar sehari
yang diselenggarakan oleh panitia HUT
propinsi Kalimantan Selatan bekerja sama
dengan Lembaga Budaya Banjar menjabarkan
tema tersebut dalam bentuk makalah-makalah
dengan persoalan kebudayaan, khususnya
etika Banjar. Makalah-makalah yang didominasi
oleh generasi yang tidak muda lagi itu umumnya
berisi kekhawatiran mereka terhadap generasi
muda yang dianggap tidak lagi tahu adatistiadat dan kebiasaan Banjar, termasuk sopansantunnya. 8 Angkatan muda berbeda dari
ketiga pemakalah terdahulu, tidak mengkhawatirkan adanya perubahan kebudayaan
yang berjalan bersama nilai-nilai baru yang

lebih pragmatis. Terdapat lima sidang komisi


(ekonomi, bisnis dan lingkungan hidup, sosialpolitik dan hukum, sosial-budaya, pendidikan
dan kesehatan, serta agama) dan sidang
paripurna dalam seminar Aruh Ganal yang
diselenggarakan selama dua hari. Isu yang
muncul dalam komisi sosial-budaya ialah
anggapan bahwa globalisasi dapat menghilangkan aset budaya Banjar. Terdapat
ketakutan publik bahwa kebudayaannya akan
berubah, sama seperti yang terjadi pada
generasi tua dalam Dialog Antar Generasi.
Seminar dengan tema Baimbai manyusuri
tapih dan musyawarah besar orang Banjar itu
memperlihatkan bahwa orang masih saja
membicarakan adat-istiadat dan kebiasaan
Banjar yangoleh generasi tuadianggap
sudah tidak lagi dipahami generasi muda.
Sebaliknya, generasi muda melihat bahwa justru
adat-istiadat dan kebiasaan Banjar itulah yang
perlu diubah. Sebenarnya, perubahan telah
terjadi. Terlihat dari bubuhan 9 sebagai konsep
dasar sistem kekerabatan Banjar, telah beralih
maknanya. Kini orang mengenal bubuhan
pedagang, bubuhan petani, bubuhan bangsawan, dan sebagainya, seperti yang dikatakan
oleh seorang pembicara:
Kalau kebetulan tampulu bakuasa , maka
membentuk kroni bubuhan sendiri...Secara
samar-samar keadaannya menjadi bubuhan
nang sugih-sugih, nang badahi-dahi, nang
ningrat-ningrat, nang pagawai nagri, nang
alim-alim. Berikutnya menyusul bubuhan
urang jaba, bubuhan tani, bubuhan paiwakan,
panurih gatah....

Kotamadya Banjarmasin mempunyai slogan yang


dapat dibaca di banyak tempat: di kantor Pemerintah
Daerah, di hotel, di papan nama industri kecil
sasirangan, yaitu Kayuh Baimbai yang berarti berkayuh
serentak bersama.
8

Seperti dikatakan oleh salah seorang pemakalah, di


sekitar tempat tinggalnya anak-anak tidak lagi patuh
pada orang tua. Padahal, ia dan angkatannya dahulu
memiliki perasaan takut sekali terhadap orang tuanya.
Seorang peserta muda menjawab: apakah terlintas di
pikiran sang pemakalah bahwa anak-anak muda
kampung itu sedang menerapkan demokrasi yang mulai
diajarkan di sekolah, misalnya mendebat pendapat yang
oleh orangtua dianggap tidak patuh dan melanggar
sopan-santun? Ada pula yang mengkhawatirkan teknologi Internet karena generasi muda dapat dengan
mudah membuka situs-situs porno.

ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002

Jika peristiwa Dialog Antar Generasi dan


Aruh Ganal dianggap sebagai tanda budaya,
maka dalam kedua peristiwa itu adat-istiadat
dan kebiasaan Banjar sedang ditafsirkan
9

Secara harafiah bubuhan berarti warga atau


kelompok. Secara antropologis, mereka yang berada
dalam satu keluarga batih, satu keluarga luas atau satu
kampung, biasanya disebut sebubuhan.

13

kembali maknanya. Seperti dikatakan oleh


Friedman (1994), pertarungan wacana seperti
ini yang penting dicermati untuk mengkaji
identitas. Kesadaran identitas itu tampak bukan
sebagai sesuatu yang given, melainkan
merupakan suatu wacana yang selalu terbuka
untuk diinterpretasikan dan diperdebatkan oleh
komunitasnya.

Mamanda sebagai teater Banjar


Mamanda selalu diakui sebagai teater
orang Banjar seperti sering diakui dalam
berbagai festival seni pertunjukan, baik yang
diselenggarakan di propinsi Kalimantan Selatan
maupun di Jakarta. Pertanyaan mengapa teater
Mamanda tumbuh dalam kebudayaan Banjar
(dan bukan misalnya dalam kebudayaan Betawi)
dapat dijawab apabila kita ketahui genealogi
dan ciri teater ini.
Dari sudut etimologi, kata mamanda
berasal dari kata mama yang diberi imbuhan
nda. Mama adalah kata manis dari marina yang
dalam bahasa Banjar berarti paman. Dalam
pagelaran, kata mamanda dipakai oleh raja saat
ia berbicara dengan mangkubumi dan wazir
(perdana menteri); mamanda mangkubumi dan
mamanda wazir.
Teater ini boleh dikatakan serumpun
dengan berbagai bentuk teater di kepulauan
Riau; Wayang Bangsawan (PMB-LIPI 1996)
dan teater Mendu di pulau Natuna, Riau (PMBLIPI 1996) yang menurut informasi juga terdapat
di Kalimantan Barat. Mendu mempunyai
struktur pagelaran menggunakan ladun (ladon
pada Mamanda). Baik Mamanda maupun
Mendu menggunakan properti yang mirip.
Keduanya dipagelarkan di arena, tanpa
panggung, menggunakan meja dan dua buah
kursi untuk memberi suasana, serta setting
yang menggunakan suasana kerajaan. Ciri
ini juga mirip dengan teater M a k Y o n g
(Syamsuddin 1981/1982; Pudentia 2000)

14

khususnya di kepulauan Riau. Mamanda juga


boleh dikatakan serumpun dengan teater
Lenong, khususnya Lenong Denes (yang
sekarang tidak dikenal lagi) milik orang Betawi
(Kleden-Probonegoro 1997). Kesamaan ada
pada penggunaan narasi yaitu cerita-cerita 1001
malam dengan peralatan mirip teater Mendu.
Mamanda dianggap serumpun dengan teater
Rudat yang juga disebut Kemidi Rudat
(Suparman 1990; Kleden-Probonegoro 2000) di
Lombok, karena narasinya yang sama-sama
mengambil cerita-cerita hikayat (Siti
Zubaedah, Si Miskin, dan hikayat Raja
Bagdad). Dalam semua bentuk teater yang
disebutkan serumpun itu, para tokohnya
mengenakan pakaian yang mirip dengan
pakaian anggota kerajaan Melayu.
Tan Sooi Beng (1993), seorang ahli
etnomusikologi yang meneliti teater Bangsawan mengatakan bahwa sekitar tahun 1880an teater Parsi yang sedang populer di
Semenanjung Malaka mempengaruhi kaum
bangsawan. Pada waktu itu ada seorang kaya
dari Parsi di Penang yang mendirikan
rombongan teater Pushi Indra Bangsawan.
Sekitar tahun 1890-an, banyak jenis teater yang
berpangkal pada teater Bangsawan tersebar di
seluruh Semenanjung Malaka (Tan Sooie Beng
1993:16). Besar kemungkinan, teater atau
Komidi Bangsawan yang dipengaruhi oleh
teater Parsi ini merupakan cikal bakal teater
Mamanda. Pada akhir abad ke-19, Komedi Indra
Bangsawan dari Malaka datang ke Banjarmasin
di bawah pimpinan Encik Ibrahim bin Wangsa
dan istrinya, Encik Hawa, untuk mengadakan
pagelaran selama satu bulan (Sanderta 1997:2).
Di Kalimantan Selatankhususnya di daerah
Hulu Sungai yang menjadi tempat tinggal
orang Banjar HuluMamanda yang mempunyai cikal bakal Komedi Bangsawan dan
teater Parsi itu muncul dalam dua bentuk yaitu
pariuk dan tubau. Karena itu, Mamanda semula
dikenal sebagai milik orang Banjar Hulu,

ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002

walaupun kemudian juga berkembang di


Banjarmasin.
Mamanda Pariuk yang juga disebut
Mamanda Margasari (nama desa yang
dianggap sebagai pusat Mamanda) ada di
Kabupaten Tapin, sedang Mamanda Tubau
terpusat di Kampung Tubau, Barabai,
kabupaten Hulu Sungai Tengah. Ada suatu
pengalaman lapangan menarik dan perlu dicatat
menyangkut persoalan identitas kelompok
Pancar Rindang Banawa yang ada di Desa
Pagat, Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
Pagelaran kelompok ini tergolong jenis
Mamanda Tubau, tetapi saat hal itu ditanyakan
kepada seniman Pancar Rindang Banawa, dia
tidak mau mengakuinya. Katanya, Mamanda
kami ya Mamanda sini, bukan Tubau. Harga
diri terhadap kampungnya nampak cukup kuat.
Perbedaan antara mamanda Pariuk dan Tubau
tampak seperti yang dilukiskan dalam tabel 1.
Mamanda Pariukmenurut orang Banjarberasal dari Desa Pariuk, Margasari,
Kabupaten Tapin. Daerah ini terletak di tepi
sungai tidak seperti desa Tubau di kabupaten
Hulu Sungai Tengah yang merupakan daerah

Mamanda Tubau di pedalaman pendek dan


menanjak, seperti irama orang berjalan
memasuki daerah pedalaman. Perbedaan juga
terdapat pada jenis narasi yang dipagelarkan.
Narasi teater Mamanda Pariuk bersumber
dari cerita hikayat seperti 1001 malam, Siti
Zubaedah, Si Miskin dan Raja Bagdad. Jenis
narasi ini juga muncul dalam pagelaran teater
di kepulauan Riau seperti Mak Yong dan teater
bangsawan, Lenong Denes milik orang Betawi
dan Kemidi Rudat di Pulau Lombok. Jenis narasi
di atas jelas bernuansa Islam sesuai dengan
perilaku beragama orang Banjar komunitas
Mamanda Pariuk.
Komunitas Mamanda Periuk di Kabupaten
Tapin memilki perilaku beragama yang berbeda
bila dibandingkan dengan komunitas Mamanda
Tubau walau keduanya sama-sama beragama
Islam. Masyarakat Tapin tinggal tidak jauh dari
Tuan-Tuan Guru Besar dan pesantren-pesantren ternama, juga makam-makam keramat
yang cukup penting, di sekitar Martapura. Di
daerah ini juga tidak dikenal cara mencari dana
seperti misalnya yang dilakukan oleh masyarakat Pagat (komunitas Mamanda Tubau).10

Tabel 1
Mamanda Pariuk dan Mamanda Tubau

Daerah persebaran
Irama lagu pengiring
Narasi
Setting
Struktur pertunjukan

Mamanda Pariuk

Mamanda Tubau

Sekitar sungai
Meliuk-liuk
Hikayat, Syair
Kerajaan
Menggunakan ladon

Daerah pedalaman
Pendek, menanjak
Carang kanda
Kerajaan
Kata sambutan dari pemimpin

pedalaman dan tidak mempunyai sungai.


Keadaan alam mempengaruhi bentuk teater
Mamanda. Mamanda Pariuk yang berasal dari
daerah pinggiran sungai mempunyai irama lagu
pengiring meliuk-liuk, ibarat sungai yang
melalui daerah ini. Irama lagu pengiring

ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002

10

Mencari dana dilakukan misalnya saat perbaikan


mushola dan mesjid dengan mengadakan lelang kue
yang diakhiri dengan karaoke. Penyanyi-penyanyi
karaoke mengenakan rok pendek atau celana panjang
ketat dengan kaus bertali yang membungkus bagian
atas tubuhnya. Pembeli kue yang membayar terbanyak
diijinkan berjoget dengan penyanyi karaoke.

15

Mamanda Tubau lebih sering menggelar


carang kanda, yaitu narasi yang digarap oleh
sutradara, meskipun sebenarnya alur cerita yang
dibawakan sudah dikenal oleh masyarakat.11
Misalnya Bergetarnya Tiang Aras yang
merupakan legenda di Hulu Sungai Tengah,
pernah digelar oleh grup Pancar Rindang
Banawa untuk memeriahkan pesta 17 Agustusan tahun 2001 di Pagat.
Mamanda Pariuk maupun Tubau mempunyai setting yang sama, yaitu kerajaan. Hal
ini mudah dipahami karena daerah tempat
kedua bentuk Mamanda itu muncul adalah
bekas kerajaan. Kerajaan Tanjung Pura yang
berpusat di kota Tanjung (nama saat ini) adalah
kerajaan tertua (abad ke-7) yang wilayahnya
mencakup bagian utara Kalimantan Selatan,
kerajaan Negara Dipa (abad ke-13), Candi
Agung di daerah Amuntai, dan Negara Daha
yang berhubungan dengan Majapahit di Jawa.
Itu semua merupakan tempat Mamanda Tubau
dikenal. Daerah bekas kerajaan Candi Laras
adalah wilayah Mamanda Pariuk.
Kedua jenis Mamanda tersebut mempunyai cara yang berbeda untuk membuka
pertunjukan. Teater Mamanda Pariuk menggunakan tokoh ladon. Ladon digunakan sebagai kata benda, sedangkan kata kerjanya
adalah baladon, yakni yang dilakukan oleh tiga
orang seniman (bisa juga lima orang). Dalam
baladon, tokoh-tokohnya berdialog tentang
narasi yang akan dibawakan dalam pagelaran.
Di kecamatan Pagat (kabupaten Hulu Sungai
Tengah), pagelaran Mamanda tidak menggunakan ladon. Sebaliknya, ada seseorang,
biasanya pimpinan grup, yang menceritakan
kisah yang akan dibawakan dalam pagelaran.
11

Bentuk narasi seperti ini juga dikenal pada teater


Lenong milik orang Betawi. Lenong mempunyai cerita
karangan (berbeda dari jenis cerita riwayat) seperti
Kemidi Rudat di Lombok yang juga mengenal kedua
jenis cerita.

16

Ia juga sekaligus menyebutkan nama para


senimannya.
Apa yang ingin digarisbawahi dari uraian
tersebut di atas adalah:
ada dua bentuk teater Mamanda yang
mempunyai komunitas yang berbeda;
bahwa nuansa Islam ada dalam teater
Mamanda, meskipun pada Mamanda
Pariuk tampak lebih kuat daripada
Mamanda Tubau;
bahwa lingkungan alam turut mempengaruhi bentuk Mamanda; dan
tidak dapat dipisahkannya setting
kerajaan dari ciri teater ini.
Dengan demikian, jelas bahwa teater Mamanda
tidak akan lahir dalam kebudayaan Irian atau
kebudayaan Betawi yang tidak mempunyai
kerajaan; atau pada kebudayaan Sunda yang
proses pembentukannya tidak dijamah secara
langsung oleh kebudayaan Melayu (baik
melalui religi maupun tradisi teater Parsi dan
Bangsawan).
Kedua bentuk tradisi teater Mamanda itu
dapat ditemui di daerah Hulu Sungai, walau
sejak ada festival seni pertunjukan tradisional
di TIM (1970), propinsi Kalimantan Selatan
mengirim satu bentuk Mamanda yang bukan
tergolong jenis Pariuk dan Tubau. Bentuk ini
umumnya dapat ditemui di Banjarmasin seperti
pada grup Teater Banjarmasin, grup-grup
mahasiswa Unlam, dan lain-lain. Ciri bentuk
pagelaran teater ini selalu menggunakan ladon
(ciri Pariuk) dengan narasi carang kanda (tipe
Tubau, misalnya Gandut Bariah dan Ilmu
Wan Tahta12 ), dan cirinya yang khas adalah
12

Gandut Bariah menceritakan seorang gandut


(penari tari pergaulan, seperti ledek di Jawa atau wayang
cokek di Tangerang) yang biasanya dinilai jelek oleh
masyarakat, tetapi ia membantu perjuangan tentara
Indonesia dengan memata-matai tuannya seorang
Belanda. Ilmu Wan Tahta berkisah tentang seorang
putri raja yang akan dinikahkan dengan Mangkubumi,
tetapi ia menolak karena masih ingin sekolah. Tiba-

ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002

waktu pertunjukan yang tidak lebih dari satu


jam.13

Teater Mamanda dalam sentuhan


kekuasaan
Sejarah memperlihatkan bahwa kesenian,
khususnya teater sangat berhubungan dengan
kekuasaan, bahkan sering digunakan untuk
mempraktikkan kekuasaan politik (dan juga
ekonomi). Hal ini diakui oleh seniman ludruk
Rukun Astari dalam James Peacock (1968:41)
bahwa di daerahnya ada pengelompokan grup
ludruk sesuai dengan aliran politik pada waktu
itu. Ludruk Marhaen condong pada perjuangan kaum kiri, sedangkan ludruk Tresna Enggal
lebih berkiblat pada kaum nasionalis, bekerja
sama dengan URIL (TNI-AD Dam VIII Brawijaya).
Berbeda halnya dengan teater ludruk,
teater Mamanda dan seni pertunjukan di
Kalimantan Selatan tidak bersentuhan dengan
kekuasaan secara ekstrim dan menyolok. Walau
demikian, kondisi politik di Kalimantan Selatan
tidak dapat dilepaskan dari isu politik nasional
dan internasional. Ada tiga periode politik
Indonesia yang dapat dihubungkan dengan
perkembangan teater Mamanda. Pertama, di
awal kemerdekaan dan pemerintahan Orde
Lama sampai dengan tahun 1965; kedua, pada
masa Orde Baru; dan ketiga, pada masa setelah
Orde Baru jatuh, diawali dengan masa reformasi
yang berjalan hingga saat ini.
Awal kemerdekaan dan masa pemerintahan
Orde Lama
Di awal kemerdekaan, saat perekonomian
Indonesia masih morat-marit, teater Mamanda
tiba sekolahnya terbakar, dan setelah diusut ternyata
itu adalah ulah Mangkubumi.
13

Pagelaran oleh grup-grup dari Banjarmasin lebih


menggambarkan identitas Banjar dalam berhadapan
dengan kelompok etnis lain (Lihat: Sentuhan
Kekuasaan dan Identitas).

ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002

justru tumbuh dengan marak. Di kabupaten


Hulu Sungai Tengah, anak-anak sering bermain
Mamanda di atas panggung bekas pertunjukan
teater Mamanda. Pada masa itu, hampir semua
anak dapat memerankan tokoh-tokoh dalam
teater Mamanda: sebagai raja, puteri, panglima
dan hulubalang. Demikian cerita pengalaman
seorang informan tua yang sampai penelitian
ini dilakukan masih berperan sebagai tokoh
wazir.
Maraknya Mamanda pada masa itu terkait
dengan kebiasaan masyarakat setempat. Pertama, di daerah Hulu Sungai terdapat kebiasaan
untuk merayakan panen raya. Setelah panen,
orang mengadakan jumputan, yaitu gotongroyong mengumpulkan dana untuk mengadakan pesta. Pesta diawali dengan Layanglayang Dandang, adu layang-layang dengan
berbagai bentuk hewan yang berukuran besar
disertai dengan bunyi-bunyian, dan pesta
diakhiri dengan Mamanda pada malam hari.
Selain itu, pembayaran pagelaran Mamanda
bisa dengan padi, bukan uang. Kedua, pihak
penyelenggara hajat masih senang menggunakan Mamanda untuk memeriahkan pestanya.
Bagaimanakah sikap Belanda menghadapi
maraknya Mamanda? Pemimpin suatu grup
Mamanda di Desa Karang Jawa, kabupaten
Hulu Sungai Tengah menceritakan bahwa di
awal kemerdekaan, pagelaran selalu dilakukan
dengan sembunyi-sembunyi karena Belanda
akan membubarkan pagelaran Mamanda.
Sebenarnya Belanda tidak melarang orang
mengadakan pagelaran. Tetapi, yang ditakuti
adalah dampak dari pagelaran yaitu berkumpulnya orang banyak seperti saat grup
Sampuraga yang berdomisili di Desa Karang
Jawayang merupakan perbatasan demarkasi
Belanda tersebuttampil.
Sekitar tahun 1950-an, seni pertunjukan
mendapat perlawanan dari pihak agama.
Golongan Islam kolot saat itu menganggap

17

bahwa berkesenian adalah maksiat. Karena itu


orang dilarang menonton, dan perempuan
dilarang naik panggung. Hal itulah yang menyebabkan tidak adanya tokoh perempuan
dalam pagelaran Mamanda. Tokoh perempuan
selalu dimainkan oleh pria yang berpakaian
perempuan. Beberapa orang tua di Barabai,
kabupaten Hulu Sungai Tengah, maupun di
Kandangan yang termasuk dalam kabupaten
Hulu Sungai Selatan, dapat menceritakan
betapa lucunya tokoh-tokoh perempuan seperti
itu.
Sejak masa Demokrasi Terpimpin, sekitar
tahun 1960-an, telah terjadi kontrol negara
yang ditandai dengan intervensi militer pada
kehidupan sipil. Misalnya, terpilihnya seorang
anggota militer sebagai Gubernur Kalimantan
Selatan pada tahun 1963 (Erwiza 2000). Sejak
saat itu, bila ada orang akan menggelar
Mamanda, dia harus memperoleh ijin dari
Koramil.14
Mamanda nampak menyatu dengan kehidupan masyarakat. Hampir tiap orang yang
berusia di atas 50 tahun dapat menceritakan
masa kanak-kanaknya yang erat dengan
Mamanda, panen raya, dan pesta perkawinan.
Keakraban Mamanda dengan kebudayaan
Banjar pada masa itu kelihatan masih berjalan
secara alamiah. Tidak ada indikasi keterlibatan
Mamanda dengan urusan politik berbau
komunisme pada saat itu.
Masa pemerintahan Orde Baru
Sekitar tahun 1965-an, Mamanda mulai
sering digunakan untuk mencari dana, yaitu
dengan batapak dan mahadring. Kesulitan
ekonomi di satu pihak dan kegemaran orang
akan Mamanda di lain pihak, menjadikan
seringnya Mamanda digunakan untuk mencari

uang. Jika batapak adalah pencaharian dana


yang dilakukan oleh suatu komunitas misalnya
desa, maka pahadring bersifat personal.
Batapak dan Pahadring menampung kebiasaan jumputan untuk mewujudkan pagelaran
Mamanda. Pada masa kini kebiasan jumputan
tidak muncul lagi.
Batapak dilakukan bila dana pembangunan desa belum mencukupi, misalnya untuk biaya
pembuatan jalan, pembangunan mesjid, atau
perbaikan langgar. Anggota pengurus desa
atau mesjid, melalui musyawarah, akan mengundang satu grup Mamanda guna menggelar
pertunjukan di desa itu. Arena sekitar tempat
pertunjukan dibuat berpagar. Penonton harus
membayar untuk mendapatkan kursi sesuai
dengan harga karcis yang dibayar-nya.
Kebangkitan teater Mamanda sekitar tahun
1970-an tidak terlepas dari festival teater
tradisional yang diselenggarakan TIM Jakarta
atas prakarsa almarhum Soemantri dan Jaya,
yang memasukkan Mamanda ke dalam rangkaian acara. Peristiwa ini kemudian berlanjut di
Banjarmasin, dan pada tanggal 16 dan 17 Maret
1977 dilaksanakan Sarasehan Mamanda.
Pada tahun 1980-an saat Orde Baru mencapai kemapanan politik, Haryati Soebadio
Dirjen Kebudayaan waktu itu, membuat program pelestarian kebudayaan di bawah program
Jarahnitra (Sejarah dan Nilai-Nilai Tradisional).
Di tingkat daerah, Kanwil Pendidikan dan
Kebudayaan15 yang mendukung program itu
mengadakan penelitian dan pembakuan
kebudayaan. Mamanda termasuk teater yang
diteliti dan dilestarikan oleh program ini.
Selain dilestarikan oleh Kanwil Pendidikan
dan Kebudayaan, Kanwil Penerangan mempunyai andil yang tidak kecil dalam pelestarian
Mamanda. Departemen Penerangan adalah
institusi yang aktif menggunakan teater tra-

14

Bandingkan kondisi ini dengan grup-grup kesenian


di wilayah Jabotabek (orang Betawi) yang juga harus
memperoleh ijin jika ingin menggelar keseniannya
(Kleden-Probonegoro 1987).

18

15

Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan kemudian


menjadi Kanwil Diknas.

ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002

disional, termasuk Mamanda, sebagai media


menyiarkan program pemerintah (misalnya
kampanye keluarga berencana dan penggunaan
varietas bibit padi unggul). Grup Senggada
di Kandangan adalah milik Dinas Penerangan
yang mengadakan pagelaran sampai ke daerah
pedalaman. Institusi ini pula yang menyelenggarakan festival pertunjukan rakyat di panggung terbuka tiap tahun guna memperingati hari
kemerdekaan. Acara yang diselenggarakan di
Banjarmasin diikuti oleh grup-grup kesenian
yang membawa nama kabupatennya. Grup
Mamanda Teater Banjarmasin, dalam beberapa kali penampilannya di festival-festival
seperti ini, membawa nama Kotamadya
Banjarmasin.
Pada tahun 1999, grup ini berangkat
dengan bus untuk mengadakan pagelaran di
Tembilahan (Riau) tempat bermukim perantauperantau Banjar. Warna kebudayaan Banjar
cukup kental dan bahkan tukang becaknya pun
berbahasa Banjar. Grup ini juga singgah di TIM
Jakarta dan digelar sebagai teater Mamanda
milik orang Banjar, seperti di Tambilahan. Di
Jakarta dan Tambilahan, Teater Banjarmasin
tidak lagi mewakili nama Kotamadya Banjarmasin, tetapi Kalimantan Selatan dan orang
Banjar.
Pada saat pemilu, teater Mamanda turut
memeriahkan kampanye. Berbeda dengan
teater ludruk yang terkotak-kotak dalam partai
politik, teater Mamanda seperti Ading Bastari
dari Hulu Sungai Tengah menggelar pertunjukan hanya karena diminta oleh partaipartai yang berkampanye, seperti Golkar, PDI,
dan PKB.16
Di akhir pemerintahan Orde Baru, banyak
perubahan yang terjadi seputar Mamanda.
16

Bandingkan dengan situasi di Jakarta, tempat grupgrup kesenian (misalnya grup topeng Setia Warga)
harus berafiliasi pada Golkar untuk dapat tampil di
layar kaca.

ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002

Pahadring tidak lagi dikenal meskipunbatapak


masih bisa dijumpai di bagian utara komunitas
Mamanda Tubau. Secara perlahan-lahan, panen
raya yang dirayakan setahun sekali hilang
karena petani sudah menggunakan bibit
varietas baru yang dipanen 23 kali dalam
setahun. Hilangnya ritus panen mengurangi
kesempatan tampilnya Mamanda sebagai ritus
lokal. Ia digantikan oleh ritus nasional di ibukota propinsi dengan menggunakan Mamanda.
Masa reformasi
Tidak banyak yang dapat dikatakan dari
masa ini, selain banyaknya kebiasaan yang
diwariskan oleh Orde Baru. Misalnya, penyelenggaraan festival seni pertunjukan yang
bukan dilakukan oleh Kanwil Penerangan,
melainkan oleh Pemerintah Daerah. Departemen
Penerangan sudah dibubarkan oleh pemerintahan Gus Dur. Kanwil Penerangan di tingkat
propinsi dan Dinas Penerangan di tingkat
Kotamadya dan Kabupaten diganti menjadi
Dinas Informasi dan Komunikasi. Dinas itu pun
tidak terdapat di tiap daerah tingkat II,
sedangkan daerah yang mempunyai Dinas
Informasi dan Komunikasi tidak lagi mempunyai
program penyebarluasan isu pemerintah melalui
pagelaran Mamanda.
Sentuhan kekuasaan dan identitas
Pada masa Belanda dan pemerintahan Orde
Lama, teater Mamanda adalah tanda ancaman
(yang mengimplisitkan perlawanan). Bagi
Belanda; pagelaran Mamanda membuka kesempatan untuk berkumpulnya orang banyak.
Hal ini dianggap sangat berbahaya bagi
keamanan. Bagi Islam, pagelaran Mamanda
adalah maksiat. Anggapan ini disempurnakan
dengan dilarangnya perempuan masuk arena
pertunjukan. Pada masa itu, tokoh perempuan
diperankan oleh laki-laki yang mengenakan
pakaian perempuan.

19

Pertarungan wacana tentang Mamanda


dapat dilihat dari perannya sebagai tanda
(budaya) ancaman yang sekaligus juga menjadi
tanda pengikat bagi orang Banjar. Meskipun
dikejar oleh Belanda dan dianggap maksiat oleh
Islam, masyarakat penganut Islam tetap ingin
menonton walau dengan cara jumputan.
Pada masa awal Orde Baru, saat kondisi
ekonomi sulit, orang menggunakan Mamanda
untuk keperluan batapak dan pahadring.
Pertarungan yang membentuk representasi
identitas tampak pada pemerintahan Dirjen
Hurustiati Soebadio dengan program pelestarian dan pembakuan kebudayaan. Saat itu,
khususnya di Kalimantan Selatan, Mamanda
mulai kekurangan peminat karena orang lebih
senang menggunakan orkes dalam pesta hajatan. Televisi pun mulai masuk pedalaman
sebagai hiburan. Namun, ada usaha grup-grup
Mamanda untuk tetap bisa bertahan dari
ancaman orkes dan televisi dengan cara
menampilkan artis (istilah Banjar Hulu untuk
menyebut perempuan seniman orkes) dalam
pagelaran Mamanda. Di sisi lain, institusi
pemerintah seperti Taman Budaya dan
Jarahnitra, bekerja melaksanakan program
pemerintah pusat yaitu pelestarian. Hal itu
dioperasionalkan menjadi mengembalikan
Mamanda pada bentuk aslinya. Cara yang
dilakukan antara lain dengan tidak menggunakan para artis, dan menyusun pedoman
tentang apa yang disebut Mamanda melalui
kriteria juri festival Mamanda.

Ismaildina: dialog antara aktor dan


kebijakan
Ismaildina adalah pengamat kebudayaan
dari kecamatan Angkinang, perbatasan antara
kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Ia sering terlibat
dalam kegiatan Mamanda yang diselenggarakan oleh grup-grup yang ada di kota

20

Kandangan.17 Selain itu ia pernah turut dalam


grup Pewarta milik Kandep Penerangan waktu
itu, dan pernah pula bergabung dengan grup
Posko, yaitu kelompok yang dibina oleh
Dewan Kesenian Daerah. Ismaildina menjadi
seniman Mamanda sejak berusia 17 tahun dan
mempunyai grup yang aktif sekitar tahun 1970
1999 dengan pertunjukan terakhir pada
perayaan 17 Agustusan. Pada bulan Agustus
2000, Ismaildina absen dalam rombongan teater
Mamanda Hulu Sungai Selatan untuk meramaikan pesta Pekan Budaya memperingati hari jadi
Republik ini.
Kasus Ismaildina yang tidak muncul dalam
identitas Mamanda Hulu Sungai Tengah
adalah contoh bagaimana pertarungan wacana
itu terjadi. Di satu pihak, ia merasa diperlakukan
tidak adil oleh Dewan Kesenian Daerah yang
menyeleksi grup dan seniman untuk tampil
keluar daerah. Di pihak lain, Dewan Kesenian
daerah sulit untuk bekerjasama dengannya
yang dianggap keras, tidak mau mengubah
beberapa aspek Mamanda yang dianggap
merusak citra Mamanda. Menurut Ismaildina,
Dewan kesenian daerah hanya memberi perhatian pada grup Posko. Katanya:
...seharusnya Dewan Kesenian daerah
membina kelompok-kelompok kesenian
sampai ke tingkat kecamatan sehingga kami
tahu apa yang dimodernkan dan apa yang
diubah, karena kami juga ingin tampil di
Banjarmasin.

Memang grup Posko dari Kandangan ini yang


selalu mewakili kabupaten Hulu Sungai Tengah
di Banjarmasin yang ibu kota propinsi itu.
Rasa tidak puas Ismaildina juga ditujukan
pada pagelaran yang diselenggarakan oleh kerja
sama antara Dewan Kesenian Daerah dengan
Diknas. Saat itu grup dari Kandangan diminta
untuk mengisi acara Mamanda di televisi
17

Kira-kira saat itu Diknas seksi Kesenian belum


melebur dalam Pariwisata dan Kebudayaan (Parsenibud).

ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002

Banjarmasin. Ismaildina merasa bahwa ada


seniman-seniman Mamanda yang lebih
profesional dibandingkan dengan para guru
yang dilatih oleh dewan kesenian daerah untuk
tampil di layar kaca dalam membawakan narasi
yang berjudul Amuk Hantarukung.
Ismaildina adalah contoh seniman yang
tidak bisa menerima perubahan dari Dewan
Kesenian Daerah yang dianggapnya pilih kasih.
Citra Mamanda menjadi rusak karena senimannya bukan seniman yang sudah terlibat teater
itu sejak masa kecil. Dewan Kesenian Daerah
merasa harus melakukan perubahan-perubahan
dalam hal dikuranginya durasi pertunjukan
demi kepentingan layar kaca. Improvisasi
seniman juga dikurangi, dan ada naskah yang
harus dibaca pemain sebelum tampil.
Apa yang tampak dari kasus ini ialah
adanya wacana dalam Mamanda sebagai identitas. Wacana Mamanda asli dan Mamanda
yang diperbaharui dapat diterima oleh publik,
bahkan di luar komunitas Banjar sendiri.

Identitas dan perubahan


Mamanda sebagai suatu tanda budaya
terlibat dalam proses pembentukan identitas.
Representasi identitas merupakan pertarungan
kepentingan untuk memaknai Mamanda.
Belanda menganggapnya sebagai tanda ancaman, sedangkan orang Banjar menanggapnya sebagai alat pengikat kelompok. Orang
Banjar penganut Islam pun bertarung dalam
kelompoknya dalam memaknai Mamanda. Ada
kelompok yang memaknai Mamanda maksiat,
dan ada pula yang menginginkan pagelarannya
dengan alasan Mamanda tetap bernuansa
Islam (tampak dari dongeng 1001 malam dan
musik pengiring jenis tabuhan). Di samping itu,
ada kelompok yang menginginkan Mamanda
menjadi modern dengan cara memasukkan
artis orkes dan kelompok yang tetap menginginkan keasliannya. Pertarungan juga

ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002

terjadi antara seorang Ismaildina berhadapan


dengan wacana pembakuan kebudayaan versi
Dewan Kesenian Daerah.
Apa sebenarnya yang dapat dikatakan dari
perwujudan identitas seperti itu? Jelas tampak
bahwa identitas terus direkonstruksikan melalui
dualisme-dualisme bersamaan dengan munculnya metafor yang menolak perubahan. Dalam
hal ini ketakutan Belanda terhadap Mamanda
tidak lain adalah metafor yang menolak
perubahan. Setelah Indonesia merdeka, metafor
yang menolak perubahan muncul dari anggapan bahwa Mamanda adalah maksiat. Hal yang
sama tampak dari mereka yang menginginkan
identitas keaslian Mamanda seperti halnya
Ismaildina. Berarti, konstruksi selalu didekonstruksikan dan direkonstruksi-kan kembali.
Identitas muncul dari pemenang pertarungan makna seperti ini. Untuk sementara,
Mamanda dapat menyatukan orang Banjar
(bukan sebagai tanda ancaman). Mamanda juga
dapat menunjukkan tanda bahwa Islam bukan
maksiat, serta sifat Banjar yang asli. Pemaknaan identitas itu sendiri tidak berakhir dengan
munculnya para pemenang saja. Pemaknaan
harus juga dihubungkan dengan yang lain
(the other). Dalam hal ini yang lain adalah
Belanda, orang Hulu Utara dan Selatan (ingat
festival yang diselenggarakan di Banjarmasin
sebagai ibu kota propinsi), orang Jakarta, dan
orang Tambilahan. Selain yang lain, kekuasaan (power) harus diperhatikan sebagai
penentu identitas. Relasi kekuasaan (dalam hal
ini pemerintah) menentukan Grup mana yang
harus dikirim ke festival di Jakarta untuk
mewaikili orang Banjar Kalimantan Selatan.
Berbagai faktor itu menyebabkan Mamanda
selalu harus didefinisikan kembali agar dapat
dikatakan sebagai tanda representasi identitas
orang Banjar.

21

Kepustakaan
Derrida, J.
1984
Of Gramatologi (diterjemahkan dari bahasa Perancis oleh G.C.Spivak). Baltimore & London:
The John Hopkins University Press.
Erwiza, E.
2000
Kesenian dalam Konteks Sosial-Politik dan Ekonomi Negara, Pendefinisian Kembali Tradisi
dan Identitas Etnis . Jakarta: Laporan PMB-LIPI.
Friedman, J.
1994
Cultural Identity and Global Process.New York: Sage.
Kadir, S.
1977
Sejarah Kesenian Mamanda. Makalah yang disampaikan dalam Sarasehan Mamanda,
diselenggarakan oleh Kanwil Dept. P & K Kalimantan Selatan. 1617 Maret.
Kalimantan Post
2000
Guru Sekumpul: Aruh Ganal Positif Asal jangan Bahiri-hirian, 8 Agustus.
2000
Jika Demo harus Jelas Substansinya, 4 Agustus.
Kawi, D. dkk.
1995/1996 Struktur Teater Tradisional Mamanda. Banjarmasin: Proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra
Indonesia dan Daerah Kalimantan Selatan.
Kleden-Probonegoro, N. dan Zultanawar
1996
Etos Kerja Pengrajin Batu Permata Banjar: Pendekatan Antropologi. Jakarta: PMB-LIPI.
Kleden-Probonegoro, N.
1997
Teater Lenong Betawi; Studi Perbandingan Diakronik. Jakarta: Yayasan Obor.
Kleden-Probonegoro, N. dkk.
2000
Pendefinisian Kembali Tradisi dan Identitas Etnis. Jakarta: Laporan PMBLIPI.
Peacock, J.L.
1968
Rites of Modernization; Symbolic abd Social Aspects of Indonesian Proletarian Drama.
Chicago & London: The University of Chicago Press.
PMB-LIPI
1996
Kajian Strategi Pengembangan Masyarakat Melayu. Jakarta: Laporan Penelitian.
Pudentia
2000
Mak Yong: Hakikat dan Proses Penciptaan Kelisanan. Disertasi Doktor tidak dipublikasikan.
Depok: Kampus Universitas Indonesia.
Sanderta, B. dan M.S. Kadir
1997
Mamanda. Banjarmasin: Laporan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat
Jendral Kebudayaan Taman Budaya Propinsi Kalimantan Selatan.
Suparman, L.G.
1990
Kemidi Rudat: Teater Rakyat Lombok Nusa tenggara Barat. Draf laporan. Mataram.

22

ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002

Syamsudin, B.M.
1981/1982 Seni Peran Mak Yong; Khazanah Budaya Warisan Bangsa. Proyek Penulisan dan
Penerbitan Buku/Majalah Pengetahuan Umum dan Profesi. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Tan Sooi Beng
1993 Bangsawan: A Social and Stylistic History of Popular Malay Opera.Singapore: Oxford
University Press.

ANTROPOLOGI INDONESIA 69, 2002

23

Anda mungkin juga menyukai