Anda di halaman 1dari 10

KENDALA-KENDALA IMPLEMENTASI PENDIDIKAN

KARAKTER DI SEKOLAH
Posted on March 15, 2012 by hangeo
Budi Handoyo
ABSTRAK: Dewasa ini, bangsa Indonesia sedang menghadapi permasalahan fondamental
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Permasalahan itu berupa perilaku masyarakat
belum sejalan dengan karakter bangsa yang dijiwai oleh falsafah Pancasila: religius, humanis,
nasionalis, demokratis, keadilan dan kesejah-teraan rakyat. Jika permasalahan ini dibiarkan
dapat menimbulkan ancaman pada eksistensi bangsa. Karena itu diperlukan pendidikan karakter
yang berfungsi untuk: (1) mengembangkan potensi dasar berhati, berpikiran dan berperilaku
baik, (2) memperbaiki perilaku yang kurang baik dan menguatkan perilaku yg sudah baik, (3)
menyaring budaya yg kurang sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Ada 18 nilai karakter
yang perlu ditumbuhkembangkan di lingkungan sekolah. Untuk pengembangan
pendidikan karakter di sekolah, kedelapan nilai karakter tersebut perlu diseleksi sesuai
dengan visi sekolah menjadi nilai utama dan nilai pendukung, dan diimplementasikan
dengan kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler. Kendala yang dihadapi dalam
implementasi berupa: sekolah belum dapat memilih nilai-nilai karakter yang sesuai dengan
visinya, pemahaman guru tentang konsep pendidikan karakter yang masih belum menyeluruh,
guru belum dapat memilih nilai-nilai karakter yang sesuai dengan mata pelajaran yang
diampunya, guru belum memiliki kompetensi yang memadai untuk mengintegrasikan nilai-niai
karakter pada mata pelajaran yang diampunya, dan guru belum dapat menjadi teladan atas nilainilai karakter yang dipilihnya.
Kata Kunci: Nilai-nilai karakter, pendidikan karakter, sekolah
Anak-anak dan remaja dewasa ini sedang hidup di awal abad 21 yang memiliki corak berbeda
sama sekali dengan kehidupan abad-abad sebelumnya. Abad ini ditandai oleh perubahan yang
berjalan sangat cepat, kompleks, sulit diprediksi dan kompetitif. Dari sisi pemikiran, pada abad
ini terjadi pergeseran paradigma knowledge is power menuju idea is power. Oleh karena itu,
abad ini membutuhkan kecakapan individu (soft competence) yang dapat digunakan anak-anak
dan remaja merespon tuntutan perubahan yang cepat itu dengan segala kompleksitas
persoalannya.
Sekolah sebagai wahana pembelajaran tak diragukan berperan besar dalam pengembangan
karakter siswa. Sekolah telah mengantar anak-anak dan remaja dalam menyelesaikan tugas
perkembangannya hingga memasuki masa dewasa dengan baik. Di lembaga ini otak, hati, dan
badan anak di ditumbuhkembangkan agar lebih cerdas, peka dan sehat. Dengan kecerdasan otak,
kepekaan hati, dan kesehatan fisik diaharapkan dapat mejadi modal kemandirian di masa yang
akan dating.

Dalam preses pendidikan di sekolah, siswa tidak selalu mendapatkan lingkungan sesuai dengan
kondisi dan tingkat perkembangannya. Di sekolah seringkali muatan kurikulumnya terlalu berat
dan pembelajaran yang konvensional. Lingkungan sekolah seperti ini dapat menimbulkan
kesulitan bagi siswa untuk beradaptasi dengan beban kurikulumnya dan pendekatan
pembelajarannya sehingga tidak tumbuh optimal, bahkan seringkali prestasinya rendah. Sebagai
contoh kurikulum yang dewasa ini diterapkan di SMAN-L. Sekolah ini menggunakan
kurikulum nasional yang dikembangkan dengan muatan internasional. Hasil ujian semester pada
kelas XI IPA 2 menunjukkan ketuntasan yang relatif rendah. Ketuntatasan Matematika sebesar
%. Fisika %, Kimia%, Biologi %, B Inggris %, dan B Indonesia %.
Fenomena ketuntasan belajar yang rendah tersebut dapat disebabkan oleh beban kurikulum yang
terlalu berat. Sistem pendidikan sekolah seperti itu dapat berpengaruh negatif terhadap usaha
membangun karakter. Sebab, dalam waktu yang panjang sebagian terposisikan inferior rasa
percaya dirinya. Rasa tidak mampu yang berkepanjangan tersebut akan membentuk pribadi yang
kurang percaya diri, dan menimbulkan stress berkepanjangan. Pada usia remaja biasanya
keadaan ini akan mendorong remaja berperilaku negatif, seperti senang tawuran, terlibat
kriminalitas, putus sekolah, dan menurunnya mutu lulusan. Karena itu kritik-kritik yang
ditujukan pada pendidikan persekolahan, bahwa pendidikan formal kita hanya melahirkan
ahli matematika, fisika, dan kimia, tetapi lulusannya tidak berkarakter (Yakub, 2008).
Pendidikan di Indonesia sudah saatnya untuk memihak kepada kompetensi, baik kompetensi
keahlian maupun kompetensi karakter; bukan hanya kompetensi matematika, kimia, fisika, dan
sejenisnya (Rosyid, 2010).
Kondisi-kondisi sebagaimana digambarkan memerlukan pemecahan yang fundamental dan
komprehensif. Pemecahan mendasar terkait dengan pendidikan moral dan motivasi diri, dan
pemecahan komprehensif mencakup seluruh lapisan masyarakat. Gerakan pendidikan karakter
berbangsa merupakan solusi yang penting dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Secara konseptual pendidikan karakter telah disusun dan dimulai untuk diterapkan di sekolah.
Ada delapan belas nilai karakter yang perlu diimplementasi di sekolah, yaitu religius, jujur,
toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat
kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar
membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab (Puskur. 2009). Tulisan ini
mencoba menelaah kendala-kendala implementasi pendidikan karakter di sekolah setelah
berlangsung hampir dua tahun berlangsung.
Hakikat Karakter dan Pendidikan Karakter
Dalam kamus Bahasa Indonesia (2008) disebutkan, bahwa karakter adalah sifat-sifat kejiwaan,
akhlak/budi pekerti yang membedakan seseorang dengan orang lain. Kata karakter berasal dari
Yunani, charassein, yang berarti to engrave atau mengukir di atas batu permata atau permukaan
besi yang keras. Karakter kemudian diartikanan individuals pattern of behaviorhis moral
constitution ( Bohlin, 2001).
Dalam Kebijakan Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2025 (2010) disebutkan, bahwa karakter
bangsa adalah kualitas perilaku kolektif kebangsaan yang khas, baik yang tercermin dalam
kesadaran, pemahaman, rasa, karsa, dan perilaku berbangsa & bernegara sebagai hasil olah pikir,

olah hati, olah rasa dan karsa, serta olah raga seseorang atau sekelompok orang. Karakter bangsa
Indonesia akan menentukan perilaku kolektif kebangsaan Indonesia yang khas, baik yang
tercermin dalam kesa-daran, pemahaman, rasa, karsa, dan perilaku berbangsa dan bernegara
Indonesia yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila, norma UUD 1945, keberagaman dengan
prinsip Bhinneka Tunggal Ika dan komitmen NKRI.
Pembangunan karakter bangsa Indonesia merupakan perwujudan amanat Pancasila dan
Pembukaan UUD 1945. Pembangunan karakter ini dilandasi oleh permasalahan kebangsaan
yang berkembang saat ini, seperti: disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila;
keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai Pancasila; bergesernya
nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; memudarnya kesadaran terhadap nilainilai budaya bangsa; ancaman disintegrasi bangsa; dan melemahnya kemandirian bangsa (Buku
Induk Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2025).
Berdasarkan pemaparan tersebut, pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang
benar dan mana yang salah, lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan
(habituation) tentang hal mana yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif)
tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa
melakukannya (psikomotor). Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus melibatkan
bukan saja aspek pengetahuan yang baik (moral knowing), akan tetapi juga merasakan dengan
baik atau loving good (moral feeling), dan perilaku yang baik (moral action). Pendidikan
karakter menekankan pada habit atau kebiasaan yang terus-menerus dipraktikkan dan dilakukan.
Tujuan, Fungsi dan Media Pendidikan Karakter
Dalam buku Induk Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2025 di paparkan
tujuan, fungsi dan media pendidikan karakter. Pendidikan karakter bertujuan membentuk bangsa
yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa
patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya
dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.
Fungsi pendidikan karakter adalah (1) mengembangkan potensi dasar agar berhati baik,
berpikiran baik, dan berperilaku baik; (2) memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang
multikultur; (3) meningkatkan peradaban bangsa yang kompe-titif dalam pergaulan dunia.
Pendidikan karakter dilakukan melalui berbagai media yang mencakup keluarga, satuan
pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha, dan media massa.
Nilai-Nilai Pembentuk Karakter
Satuan pendidikan sebenarnya selama ini sudah mengembangkan dan melaksanakan nilai-nilai
pembentuk karakter melalui program operasional satuan pendidikan masing-masing. Hal ini
merupakan prakondisi pendidikan karakter pada satuan pendidikan, yang untuk selanjutnya
diperkuat dengan 18 nilai karakter hasil kajian empirik Pusat Kurikulum yang bersumber dari
agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: Religius, Jujur, Toleransi,
Disiplin, Kerja keras, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa Ingin Tahu, Semangat Kebangsaan,

Cinta Tanah Air, Menghargai Prestasi, Bersahabat/Komunikatif, Cinta Damai, Gemar


Membaca, Peduli Lingkungan, Peduli Sosial, Tanggung Jawab (Puskur. 2009).
Nilai-nilai karakter tersebut juga dikembangkan praktisi pendidikan karakter dan lembagalembaga pendidikan sebagai berikut.
Tabel 1: Nilai-nilali Karakter

IHE

DIMERMEN

Cinta Tuhan & segenap Respect


ciptaan-Nya
Kemandirian & tanggung Resposibility
jawab
dermawan, suka
Honesty
menolong & gotong
royong
Percaya, kreatif & pekerja Empathy
keras
Kepemimpinan &
Fairness
keadilan
Baik & rendah hati
Initiative
toleransi, kedamaian & Courage
kesatuan
(Megawangi, 2004)
Perseverance
Optimism
Integraty
(Dimermen,
2009)

YJDB

SITUS
GOOGLE

5 Sikap Dasar:Jujur, Resposibility


terbuka, berani
mengambil resiko, Respect
tang-gung jawab,
komitmen
Fairness

3 Syarat: niat, tidak Courage


mendahului
kehendak Tuhan, Honesty
bersyukur.
citizenship
Self-dicipline
3 Syarat lain: doa/ Caring
ibadah,
Preseverance
mewujudkan
perubahan,
tauladan(YJDB,
2008)

Tinjauan karakter secara psikologis: merupakan perwujudan dari potensi Intelligency Quotient
(IQ), Emotional Quotient (EQ), Spiritual Quotient (SQ), dan Adverse Quotient (AQ) yang
dimiliki seseorang. Menurut pandangan agama: orang yang berkarakter pada dirinya terkandung
potensi-potensi, yaitu: Fathonah, Sidiq, Amanah, dan Tabliq. Secara lebih komprehensif
penjelasan bidang psikologi dan agama dalam menjelaskan keterkaitan nilai-nilai karakter
sebagai berikut.
Pendidikan Karakter, Prestasi Akademik, dan Keberhasilan Hidup
Penelitian dan telaah dampak pendidikan karakter pada prestasi akademik telah banyak
dilakukan. Salah satu diantaranya dilakukan Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis.

Hasil kajiannya menunjukkan, bahwa ada peningkatan motivasi untuk meraih prestasi akademik
pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang menerapkan
pendidikan karakter secara komprehensif menunjukan adanya penurunan secara drastis perilaku
negatif yang dapat menghambat keberhasilan akademik.
Melalui pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini
merupakan bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depannya. Dengan
emosi yang cerdas, seseorang memiliki peluang besar berhasil dalam menghadapi segala macam
tantangan, termasuk tantangan secara akademis. Hasil kompilasi penelitian Zins (2001) juga
menunjukkan, bahwa ada pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di
sekolah. Dari sederetan faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah, ternyata
kegagalan itu bukan terletak pada kecerdasan otak, melainkan pada faktor karakter, seperti rasa
percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa
empati, dan kemampuan berkomunikasi yang bermasalah.
Hasil tersebut juga sejalan pendapat telaah Goleman, bahwa keberhasilan hidup seseorang 80
persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak
(IQ). Anak-anak/remaja yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami
kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Sebaliknya, anak-anak/remaja
yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi baik akan terhindar dari masalah-masalah
umum yang dihadapi oleh remaja, seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks
bebas, dan sebagainya.
Dasar pendidikan karakter adalah keluarga. Namun, pendidikan karakter di sekolah juga sangat
diperlukan. Sebab, secara faktual kebanyakan orang tua lebih mengutamakan kecerdasan otak
ketimbang pendidikan karakter. Sebagaimana dinyatakan Goleman, bahwa banyak orang tua
yang gagal dalam mendidik karakter anak-anaknya entah karena kesibukan atau karena lebih
mementingkan aspek kognitif anak. Namun, ini semua dapat dikoreksi dengan memberikan
pendidikan karakter di sekolah. Permasalahnya, kebijakan pendidikan di Indonesia juga lebih
mementingkan aspek kecerdasan otak, dan hanya baru-baru ini saja pentingnya pendidikan
karakter menjadi masalah yang mengemuka.
Pendidikan Karakter di Sekolah
Lickona (1992), ahli pendidik karakter dari Cortland University dikenal sebagai Bapak Pendikar
Amerika yang menerapkan idenya pada tingkat pendidikan dasar & menengah. Pendidikan
karakter mencakup: (1) moral knowing (pengetahuan tentang moral); (2) moral feeling (perasaan
tentang moral), dan (3) moral action (perbuatan moral atau act morally). Sacara detail cakupan
pendidikan karakter sebagai berikut.
Tabel 2 Aspek Pendidikan Karakter

Moral Knowing
Moral awareness

Moral Felling
Conscience (nurani)

Moral Action
. Competence

Knowing moral
values
Perspective taking
Moral reasoning
Decision making

Self- esteem (percaya diri

Will (keinginan )

Empathy (merasakan penderitaan


orang lain)
Loving the good (mencintai
kebenaran)
Self-control (mampu mengontrol
diri)

Habit (kebiasaan )

Self-knowledge
Pendidikan karakter (PK) merupakan pendidikan budi pekerti plus. PK melibatkan aspek
pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Penerapan PK secara
sistematis dan berkelanjutan menjadikan seorang anak cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini
akan menjadi bekal penting dalam mempersiapkan anak/remaja menyongsong masa depan.
Sebab, Seseorang yang cerdas emosi akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam
tantangan kehidupan, termasuk tantangan akademis di sekolah.
Tujuan PK tersebut seiring dengan tujuan pendidikan nasional, yaitu mengembangkan potensi
peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Pendidikan tidak hanya
membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter
diharapkan lahir generasi bangsa dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta
agama (Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003).
Untuk mewujudkan pendidikan karakter yang efektif di sekolah, terdapat 11 prinsip (Lickona
dkk, 2007), yaitu:
(1) kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya. (2) definisikan
karakter secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku. (3) gunakan
pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam pengembangan karakter. (4)
ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian. (5) beri siswa kesempatan untuk melakukan
tindakan moral. (6) buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati
semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil. (7)
usahakan mendorong motivasi diri siswa. (8) libatkan staf sekolah sebagai komunitas
pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung jawab dalam pendidikan karakter dan upaya
untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama yang membimbing pendidikan siswa. (9) tumbuhkan
kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi inisiatif pendidikan
karakter. (10) libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya
pembangunan karakter. (11) evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik
karakter, dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang baik.
Sebagai kerangka kerja, dalam PK penting sekali dikembangkan nilai-nilai etika inti, seperti
keimanan, kejujuran, rasa hormat, kepedulian, dan nilai-nilai kinerja pendukungnya, seperti
komitmen, kesungguhan, ketekunan dan kegigihansebagai basis karakter yang baik.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan di sekolah adalah:

(1) Sekolah berkomitmen untuk mengembangkan karakter peserta didik berdasarkan nilai-nilai
dimaksud.
(2) mendefinisikan karakter dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dalam kehidupan sekolah
sehari-hari.
(3) mencontohkan nilai-nilai karakter, mengkaji dan mendiskusikannya, meng-gunakannya
sebagai dasar dalam hubungan antar warga sekolah.
(4) mengapresiasi manifestasi nilai-nilai tersebut di sekolah dan masyarakat. Hal terpenting,
semua komponen sekolah bertanggung jawab terhadap standar-standar perilaku yang konsisten
sesuai dengan nilai-nilai inti.
Siswa memahami nilai-nilai inti dengan mempelajari dan mendiskusikannya, mengamati
perilaku model dan mempraktekkan pemecahan masalah yang meli-batkan nilai-nilai. Siswa
belajar peduli terhadap nilai-nilai inti dengan mengem-bangkan keterampilan empati,
membentuk hubungan yang penuh perhatian, membantu menciptakan komunitas bermoral,
mendengar cerita ilustratif dan inspiratif, dan merefleksikan pengalaman hidup. Dalam konteks
seperti itu diper-lukan pembelajaran yang dialogis antara guru dengan siswa, siswa dengan
siswa, dan siswa dengan semua warga sekolah. Untuk pembelajaran di kelas dapat diterapkan
pembelajaran kooperatif dengan memberikan penguatan pada kegiatan kelompok.
Untuk mewujudkan PK secara komprehensif di sekolah dapat dilakukan pendekatan yang
sistemik dengan melibatkan semua komponen sekolah. Kompenen tersebut mencakup:
(1) kurikulum tersembunyi (hidden curriculum), seperti upacara dan prosedur sekolah;
keteladanan guru; hubungan siswa dengan guru, staf sekolah lainnya, dan sesama mereka sendiri;
proses pembelajaran; keanekaragaman siswa; penilaian pembelajaran; pengelolaan lingkungan
sekolah; kebijakan disiplin.
(2) kurikulum akademik (academic curriculum) seperti mata pelajaran inti, dan programprogram ekstrakurikuler (extracurricular programs) seperti olahraga, klub, proyek pelayanan,
dan kegiatan-kegiatan setelah jam sekolah.
Di samping itu, sekolah dan keluarga perlu meningkatkan efektivitas kemitraan dengan merekrut
bantuan dari komunitas yang lebih luas (bisnis, orga-nisasi pemuda, lembaga keagamaan,
pemerintah, dan media) dalam mempromosikan pembangunan karakter. Kemitraan sekolahorang tua ini dalam banyak hal sering kali tidak dapat berjalan dengan baik, karena terlalu
banyak menekankan pada penggalangan dukungan finansial, bukan pada dukungan program.
Strategi Pembelajaran, dan Penilaian Pendidikan Karakter
Implementasi strategi pendidikan karakter di sekolah dapat dilakukan melalui model pendidikan
holistik dan pendidikan integratif. Model pendidikan holistik (holistic education) mencakup 3
(tiga) ranah, yaitu metode knowing the good, fee-ling the good, dan acting the good. Knowing
the good berupa transfer pengetahuan (kognitif) yang baik. Setelah knowing the good harus

ditumbuhkan feeling and loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan
menjadi penggerak yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan sehingga
tumbuh kesadaran mau melakukan perilaku kebajikan, karena kecintaannya pada perilaku
kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good yang berupa
tindakan-tindakan nyata untuk dibiasakan dalam aktivitas sehari-hari.
Model pendidikan terintegrasi dilakukan dengan mengintegasikan nilai-nilai karakter pada
kompetensi-kompetensi mata pelajaran. Implementasinya melalui kegiatan pembelajaran/KBM,
pengembangan budaya sekolah, dan ekstra kurikuler. Misalnya:
(1) Kegiatan Pembelajaran/Belajar Mengajar (KBM). Untuk menumbuhkan nilai karakter rasa
ingin tahu melalui kegiatan observasi, meningkatkan keterampilan berkomunikasi yang efektif
dengan kegiatan diskusi dan presentasi, mengem-bangkan berfikir kritis dengan kegiatan
penelitian sederhana, dsb.
(2) Budaya Sekolah. Untuk menumbuhkan karakter keimanan melalaui doa awal dan akhir
pelajaran, dan/atau sholat berjamaah, meningkatkan sikap dan perilaku rasa hormat/respek
dengan membiasakan berjabatan tangan dan mengucap salam secara santun, untuk karakter
peduli lingkungan dengan membiasakan menjaga kebersihan kelas dan membuang sampah di
tempatnya, dsb
(3) Kegaiatan Ekstra Kurikuler: Pramuka, Olah raga, Karya Ilmiah, Seni, PMR, dsb. Untuk
mengembangkan kecakapan kerjasama dan jiwa sportif melalui bermain olah raga,
mengembangkan rasa percaya diri melalui PENSI, peduli kemanusiaan dengan PMR donor
darah, peduli sosial dengan bahti sosial-bantuan bencana, dsb.
PK merupakan bagian dari pembelajaran secara keseluruhan. Nilai-nilai dari PK merupakan
bagian dari kompetensi yang ingin dicapai dalam kegiatan pembe-lajaran. Karena itu,
penilaiannya tirintegrasi dengan dengan penilaian pembelajaran untuk mencapai kompetensi
yang dimaksud. Hal penting yang perlu disadari adalah kepastian untuk menilai aspek karakter
yang telah diintegrasikan tersebut. Agar tidak memberatkan tugas, sebaiknya dipilih karakter
yang esensial saja yang dinilai. Misalnya menilai kemampuan berkomunikasi dengan penilaian
kinerja, menilai nilai keuletan dengan penilaian sikap, dsb.
Hasil penilaian pendidikan karakter, selanjutnya diformulasikan untuk di masukkan ke dalam
buku rapor siswa. Misalnya nilai ini untuk mengsisi hasil belajar aspek ahklak dan kepribadian.
Bentuk nilai sebaiknya tidak berupa angka, tetapi kualifikasi kata: Baik, Sedang, dan Kurang.
Jika ingin lebih baik baik lagi dengan deskripsi kalimat pernyataan. Misalnya keimanan, rasa
hormat, cinta tanah air baik, tetapi kepeduliaan lingkungan kurang.
Kendala-Kendala Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah
Pendidikan karakter merupakan program baru yang diprioritaskan Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan. Sebagai program baru masih menghadapi banyak kendala. Kendala-kendala
tersebut adalah:

(1) nilai-nilai karakter yang dikembangkan di sekolah belum terjabarkan dalam indikator yang
representatif. Indikator yang tidak representatif dan baik tersebut menyebabkan kesulitan dalam
mengungukur ketercapaiannya.
(2) sekolah belum dapat memilih nilai-nilai karakter yang sesuai dengan visinya. Jumlah nilainilai karakter demikian banyak, baik yang diberikan oleh Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan, maupun dari sumber-sumber lain. Umumnya sekolah menghadapi kesulitan
memilih nilai karakter mana yang ssuai dengan visi sekolahnya. Hal itu berdampak pada gerakan
membangun karakter di sekolah menjadi kurang terarah dan fokus, sehingga tidak jelas pula
monitoring dn penilaiannya.
(3) pemahaman guru tentang konsep pendidikan karakter yang masih belum menyeluruh.
Jumlah guru di Indonesia yang lebih 2 juta merupakan sasaran program yang sangat besar.
Program pendidikan karakter belum dapat disosialisaikan pada semua guru dengan baik sehingga
mereka belum memahaminya.
(4) guru belum dapat memilih nilai-nilai karakter yang sesuai dengan mata pelajaran yang
diampunya. Selain nilai-nilai karakter umum, dalam mata pelajaran juga terdapat nilai-nilai
karakter yang perlu dikembangkan guru pegampu. Nilai-nilai karakter mata pelajaran tersebut
belum dapat digali dengan baik untuk dikembangkan dalam proses pembelajaran.
(5) Guru belum memiliki kompetensi yang memadai untuk mengintegrasikan nilai-niai
karakter pada mata pelajaran yang diampunya. Program sudah dijalankan, sementara pelatihan
masih sangat terbatas diikuti guru menyebabkan keterbatasan mereka dalam mengintegrasikan
nilai karakter pada mata pelajaran yang diampunya.
(6) guru belum dapat menjadi teladan atas nilai-nilai karakter yang dipilihnya. Permasalahan
yang paling berat adalah peran guru untuk menjadi teladan dalam mewujudkan nilai-nilai
karakter secara khusus sesuai dengan nilai karakter mata pelajaran dan nilai-nilai karakter umum
di sekolah.
DAFTAR RUJUKAN
Bohlin, Karen E; De-borah Farmer; Kevin Ryan. 2001. Building Character in School
Buku Induk Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2025
Bashory, Khoiruddin. Menata Ulang Pendidikan Karakter Bangsa, Senin, 15 Maret 2010. //
Choate, L.H. (2007). Counseling Adolescent Girls for Body Image Resilience: Strategi for
School Counselors. Profesional School Counseling. Alexandria: Feb 2007. Vol. 10, Iss. 3; pg.
317, 10 pgs. Diakses melalui http://ezproxy.match.edu/menu pada 9 Mei 2008
Fagan, R. (2006). Counseling and Treating Adolescents with Alcohol and Other Substance Use
Problems and their Family. The Family Journal: Counseling therapy For Couples and Families.

Vol.14. No.4.326-333. Sage Publication diakses melalui


http://tfj.sagepub.com/cgi/reprint/14/4/326 pada 18 April 2008
Hurlock, E.B. (1991). Psikolgi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan
(Terjemahan oleh Istiwidayanti dan Soedjarwo). Jakarta : Penerbit Erlangga.
Joseph Zins, et.al, 2001. Emotional Intelligence and School Success.
Lickona. 1992. Educating for Character: How our school can teach respect & responsibility.,
New Yor Bantam Books.
Mongks, F. J. , Knoers, A. M. P. , & Haditono, S. R. (2000). Psikologi Perkembangan:
Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Puskur. 2009. Pengembangan dan Pendidikan Budaya & Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah.
Rini, J.F. (2004). Mencemaskan Penampilan. Diakses dari e-psikologi.com pada tanggal 22 April
2006.
Santrok, J. W. (2003). Adolescence (Perkembangan Remaja). Terjemahan. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Setiono, L.H. (2002). Beberapa Permasalahan Remaja. Diakses dari http://www.e-psikologi.com
pada tanggal 22 April 2006.

Anda mungkin juga menyukai