Anda di halaman 1dari 4

Impian mengenyam pendidikan tinggi bagi kaum difabel pada beberapa

jurusan/program studi (prodi) tahun akademik 2014/2015 tampaknya akan sirna.


Pasalnya, perguruan tinggi negeri (PTN) belum lama ini menetapkan kebijakan yang
menutup rapat kesempatan untuk itu. Seperti termuat dalam
website http://web.snmptn.ac.id/ptn//11, kita bisa melihat daftar PTN beserta
persyaratan penerimaan untuk jurusan atau prodinya.
Sebagai contoh di Universitas Indonesia (UI), terdapat prodi arsitektur yang
mensyaratkan mahasiswa barunya untuk tidak menyandang disabilitas; tunanetra,
tunarungu, dan buta warna total. Prodi matematika mensyaratkan calon mahasiswa
tidak tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunadaksa, dan buta warna total.
Jurusan lain di UI yang menolak disabilitas, seperti teknik komputer, teknik lingkungan,
sistem informasi, teknologi bioproses, dan prodi psikologi. Kebijakan tidak memihak
kaum difabel itu, anehnya justru direspons positif oleh Mendikbud Muhammad Nuh.
Menurut Muhammad Nuh (Kamis, 13/3), prodi-prodi yang membutuhkan syarat khusus
itu karena memang prodi bersangkutan harus diisi orang yang mampu memenuhi
kebutuhan khusus pula. Orang tunanetra, M Nuh melanjutkan, mau jadi dokter dan
masuk prodi kedokteran jelas repot.
Lepas Kewajiban Kebijakan diskriminatif terhadap difabel pada persyaratan SNMPTN
2014, yang justru didukung mendikbud, mengisyaratkan negara lepas kewajiban.
Menurut Undang-Undang Dasar (UUD 1945) dan UU No 39/1999 tentang HAM,
khususnya Pasal 12, kewajiban negara adalah memberikan pendidikan bagi warganya
tanpa diskriminasi.
Artinya, konstitusi mewajibkan negara membuka akses pendidikan seluas-luasnya bagi
seluruh warga negara, termasuk kaum difabel. Itu karena semestinya pemerintah
segera mencabut aturan yang kontradifabelitas pada SNMPTN 2014. Belajar dari
beberapa negara maju, mereka justru mengakomodasi dan memberikan fasilitas khusus
bagi warganya yang difabel.
Di Amerika Serikat (AS), misalnya, ada UU khusus untuk melindungi kaum difabel yang
bernama The American with Disabilities Act. UU ini berisi kewajiban negara untuk

memberikan perlindungan bagi kaum difabel di bidang pendidikan. AS bahkan


melengkapi perlindungan untuk mahasiswa/mahasiswi difabel dengan yayasan yang
bernama The Learning Disabilities Association of Amerika.
Dengan adanya perlindungan itu, di beberapa kampus AS, seperti St Francis Xavier
University dan University of Washington, melindungi dan membantu mahasiswa difabel
untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya. Di University of Washington, sejak 1978 sudah
memodifikasi sedemikian rupa lingkungan kampusnya agar ramah difabel.
Hal itu, misalnya, kondisi jalanan yang rata dan tidak berbukit-bukit, serta fasilitas
mobil jemputan khusus. Fasilitas ini untuk memudahkan kaum difabel yang memiliki
kesulitan mobilitas, kemudahan dalam mengakses teknologi, baik di laboratorium,
maupun perpustakaan khusus yang membantu penyandang tunanetra dan tunarungu,
parkir khusus, dan konseling akademis.
Bahkan, DSO ini juga membuka dan membantu tersedianya sukarelawan yang dengan
sukarela membantu mahasiswa difabel untuk menuliskan catatan dan sebagainya. Dari
uraian itu, tampak kampus di negara-negara maju memang sudah didesain seramah
mungkin bagi kaum difabel.
Akses pendidikan juga dibuka seluas-luasnya tanpa ada diskriminasi. Mereka bahkan
diperlakukan secara khusus, tetapi bukan bermakna dimanjakan. Pendek kata, di
negara-negara maju, kaum difabel diperlakukan secara ramah, diberikan akses seluasluasnya untuk mendapat pendidikan, dan dilindungi hak-haknya tanpa terkecuali
sebagaimana warga negara yang normal.
UU Pendidikan Khusus Bagaimana di Indonesia? Sampai saat ini belum ditemukan
kampus yang benar-benar ramah dan tidak menyulitkan bagi kaum difabel. Gedunggedung tinggi, orang normal saja masih kesulitan mengaksesnya, apalagi kaum difabel?
Sejak 3 Desember 2006, UI telah menyatakan kampusnya sebagai kampus yang
diperuntukkan bagi semua kalangan dan tidak memandang adanya perbedaan,
termasuk bagi kaum difabel.
Sayangnya, dengan kebijakan persyaratan SNMPTN 2014, sebagaimana PTN lain di
beberapa prodi UI menutup rapat akses bagi kaum difabel. PTN idealnya sebagai entitas
negara yang menjalankan kewajiban negara dalam menghormati hak-hak asasi

manusia, termasuk hak-hak kaum difabel.


Namun, dengan diberlakukannya kebijakan persyaratan SNMPTN 2014, PTN sengaja
melanggar semua UU berbasis HAM, termasuk UU Dasar 1945. Ini jelas sangat
kontradiktif. Sudah saatnya aneka kebijakan yang membatasi akses pendidikan kaum
difabel dihapus. Mereka juga warga negara yang berhak memilih pendidikan sesuai
bakat dan potensinya. Negara sudah semestinya mengakomodasi dan memberikan
kesempatan yang luas.
Di sisi lain, perlu segera dihapus paradigma yang menyudutkan kaum difabel.
Paradigma itu, saat kaum difabel dianggap rendah, terbatas, dan tidak perlu
diperhitungkan kemampuannya. Pemerintah melalui Kemdikbud mestinya segera
mencabut persyaratan diskriminatif dalam SNMPTN 2014.
Bahkan, pemerintah dituntut segera membentuk dan menerapkan undang-undang
pendidikan khusus, yang melindungi dan memberikan kesempatan pada kaum difabel
untuk mengakses pendidikan secara layak. Pendidikan yang layak ini bukan bertujuan
menjadikan kaum difabel superior di antara warga negara lain.
Akan tetapi, kelayakan yang penulis maksud adalah suatu sarana, prasarana, dan
fasilitas pendukung pendidikan yang meminimalkan adanya hambatan bagi kaum
difabel untuk dapat belajar di kursi perguruan tinggi.
Sangat tidak manusiawi dan berdosa, jika kita terus membiarkan kaum difabel
menjalani hidup dengan penderitaan yang menumpuk lantaran kita membatasi akses
pendidikan mereka. Pendidikan sebagai salah satu kunci bagi kaum difabel menatap
indah dunia dan bekal untuk menghadapi aneka tantangan zaman.

Menurut UU No. 20 tahun 2003[sunting | sunting sumber]


Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.

[1]

Menurut UU Nomor 2 Tahun 1989[sunting | sunting sumber]


Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. [1]88er568ew8uswu,

Langeveld

Anda mungkin juga menyukai