Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang
Anak adalah individu yang berada dalam rentang perubahan
perkembangan, yang dimulai dari bayi hingga remaja. Masa pertumbuhan dan
perkembangan anak dimulai dari bayi (0-1 tahun), usia bermain/toddler (1-3
tahun), usia prasekolah (3-5 tahun), usia sekolah (5-11 tahun), hingga sampai usia
remaja (11-18 tahun). Dalam proses berkembang anak memiliki ciri fisik,
koqnitif, konsep diri, pola koping, dan perilaku sosial yang berbeda-beda.1
Masa anak-anak adalah masa untuk tumbuh dan berkembang. Masa
golden age adalah masa yang paling hebat dalam tumbuh kembang mereka dan
masa yang penting untuk perkembangan kepandaian dan pertumbuhan intelektual.
Anak harus mendapatkan perhatian yang serius dalam periode tumbuh kembang.
Tidak hanya mendapatkan nutrisi yang tepat saja, tetapi intervensi stimulasi dini
juga sangat diperlukan untuk membantu anak meningkatkan potensi dengan
memperoleh pengalaman yang sesuai dengan perkembangannya.1
Golden age terjadi saat anak berumur 1-3 tahun atau biasa disebut dengan
usia toddler. Pertumbuhan anak usia toddler ini ditandai dengan peningkatan
keterampilan daya gerak, kemampuan untuk melepas pakaian dan perkembangan
kontrol sfingter yang memungkinkan anak untuk latihan, tetapi jika anak tersebut
telah mengembangkan perkembangan kognitifnya terlebih dahulu maka anak
tersebut dikatakan sudah siap melakukan toilet training.2
Toilet training merupakan salah satu tugas dari perkembangan anak pada
usia toddler. Pada tahapan usia 13 tahun, kemampuan sfingter uretra yang
berfungsi untuk mengontrol rasa ingin defekasi dan rasa ingin berkemih mulai
berkembang, dengan bertambahnya usia, kedua sfingter tersebut semakin mampu
mengontrol rasa ingin berkemih dan rasa ingin defekasi. Walaupun demikian,
setiap anak mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam pencapaian

kemampuan tersebut. Hal tersebut bergantung kepada beberapa faktor yaitu baik
faktor fisik maupun faktor psikologis. Kemampuan anak untuk buang air besar
(BAB) biasanya lebih awal sebelum kemampuan buang air kecil (BAK) karena
keteraturan yang lebih besar, sensasi yang lebih kuat untuk BAB daripada BAK,
dan sensasi BAB lebih mudah dirasakan anak.3
Menurut penelitian American Psychiatric Association, dilaporkan bahwa
10-20% anak usia 5 tahun, 5% anak usia 10 tahun, hampir 2% anak usia 12-14
tahun, dan 1 % anak usia 18 tahun masih mengompol (Noctural Enuresis), dan
jumlah anak laki-laki lebih banyak ngompol dibandingkan anak perempuan. Di
Indonesia diperkirakan jumlah balita mencapai 30 % dari 250 juta jiwa penduduk
Indonesia, dan menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
nasional diperkirakan jumlah balita yang susah mengontrol BAB dan BAK
(ngompol) di usia toddler sampai prasekolah mencapai 75 juta anak. Fenomena
ini dipicu karena banyak hal, pengetahuan ibu yang kurang tentang cara melatih
BAB dan BAK, pemakaian popok sekali pakai (diapers), hadirnya saudara baru
dan masih banyak lainnya.5
Keberhasilan toilet training juga bergantung pada kesiapan yang ada pada
diri anak dan dukungan keluarga seperti kesiapan fisik, dimana anak yang secara
fisik sudah kuat dan mampu untuk duduk dan berdiri sehingga memudahkan anak
untuk dilatih buang air. Begitu juga dengan kesiapan psikologis anak, dimana
anak membutuhkan suasana yang nyaman agar mampu mengontrol dalam
meransang untuk buang air besar atau kecil.4
Ada beberapa faktor yang mendukung dalam keberhasilan toilet training,
diantaranya yaitu pendidikan orang tua, pekerjaaan orang tua, pengetahuan orang
tua, pola asuh yang diterapkan orang tua ke anakmya, serta lingkungan.1 Salah
satu faktor yang mendukung adalah pola asuh orang tua dalam melakukan
pelatihan toilet training.
Pola asuh orang tua adalah salah satu cara yang digunakan orang tua
dalam menstimulasi dan mendorong anaknya untuk mencapai tujuan yang
diinginkan. Pola asuh merupakan perilaku orang tua yang diterapkan pada anak,
dalam berinteraksi dengan anak untuk menanamkan pendidikan, memenuhi

kebutuhan, melatih sosialisasi, memberikan perlindungan dan kasih sayang dalam


kehidupan sehari-hari yang bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Dalam
memberikan pengasuhan dipengaruhi oleh sikap-sikap tertentu dalam memelihara,
membimbing, dan mengarahkan anaknya. Sikap tersebut tercermin dalam pola
pengasuhan kepada anaknya yang berbeda-beda.6
Pola asuh orang tua dibagi dalam beberapa pola diantaranya, pola asuh
otoriter (authoritarian parenting), pola asuh demokrasi atau otoritatif
(authoritative parenting) dan pola asuh permisif (permissive parenting). Setiap
pola asuh tersebut mempunyai cara pengasuhan yang berbeda-beda.7
Pola asuh orang tua dikatakan positif ketika orang tua mampu untuk
bersikap positif kepada anak yang akan menumbuhkan konsep dan pemikiran
yang positif serta sikap menghargai diri sendiri. Dan dikatakan pola asuh negatif
bila orang tua sering melakukan hal-hal yang negatif, seperti suka memukul,
mengabaikan, kurang memperhatikan, melecehkan, menghina, bersikap tidak adil,
tidak pernah memuji, suka marah-marah, dan sebagainya yang dianggap sebagai
hukuman akibat kekurangan, kesalahan atau pun kebodohan dirinya.37
Hubungan pola asuh orang tua dengan keberhasilan toilet training pada
anak usia toddler saling berhubungan, dimana orang tua dalam melakukan
bimbingan apabila dilakukan secara dini, seperti anak selalu dilatih untuk BAK
terlebuh dahulu sebelum tidur agar tidak mengompol, sehingga anak yang dilatih
secara terus menerus akan berdampak pada kebiasaan yang baik, tetapi hal ini
perlu dilakukan secara bertahap. Sedangkan sikap atau pola asuh orang tua yang
memberi hukuman atau memarahi anak, akan sering menimbulkan perasaan yang
tidak nyaman pada anak dan bisa menyebabkan kegagalan toilet training.12, 26
Dampak yang paling umum terjadi dalam kegagalan toilet training
diantaranya adalah pola pengasuhan yang salah dari orang tua, adanya perlakuan
atau aturan dari orang tua kepada anaknya yang dapat mengganggu kepribadian
anak dan cenderung bersikap keras kepala, seperti orang tua yang sering
memarahi anak pada saat BAB atau BAK tidak pada tempatnya. Selain itu,
apabila orang tua juga santai dalam memberikan aturan dalam toilet training,
maka anak dapat mengalami kepribadian ekspresif, seperti anak menjadi lebih

tega, cenderung ceroboh, suka membuat gara-gara, emosional, dan seenaknya


dalam melakukan kegiatan sehari-hari.8
Kebiasaan yang salah dalam mengontrol BAB dan BAK akan
menimbulkan hal-hal yang buruk pada anak dimasa mendatang, antara lain dapat
menyebabkan anak tidak disiplin, manja, anak akan mengalami masalah
psikologis, anak tidak dapat secara mandiri dalam mengontrol buang air besar dan
buang air kecil. Hal ini dikarenakan banyak dikalangan masyarakat belum
memahami bagaimana konsep dan penerapan toilet training pada anak.9
Toilet training perlu diperkenalkan secara dini untuk mengantisipasi reflek
pengeluaran urin dan feses anak pada waktu yang tepat. Hal ini penting dilakukan
untuk melatih kemandirian anak sebagai stimulasi untuk perkembangan lainnya,
terutama mengenai kebersihan diri. Toilet training dilakukan pada usia yang tepat.
Apabila waktu pelaksanaan toilet training tidak tepat, maka akan terjadi kesulitan
pada perkembangan kemampuan anak.14 Berdasarkan hal tersebut
menggambarkan bahwa toilet training khususnya anak usia toddler memerlukan
latihan. Melatih toilet training pada anak membutuhkan waktu dan kesabaran, hal
tersebut memungkinkan sebagian orang tua memilih menggunakan diapers
supaya lebih efisien, serta diapers tersebut tidak hanya dipakai saat bepergian atau
anak jauh dari toilet saja, namun juga digunakan dalam aktivitas sehari-hari.10
Diapers adalah popok sekali pakai yang dibuat dari plastik dan campuran
bahan kimia yang mempunyai daya serap yang tinggi untuk menampung air seni
dan feses. Orangtua yang membiasakan anak memakai diapers yang terlalu sering
dapat menimbulkan iritasi kulit dan anak tidak terbiasa ke toilet untuk buang air.11
Anak yang terbiasa memakai diapers dari kecil akan mengalami
keterlambatan pada toilet training jika dibandingkan dengan anak yang tidak
memakai diapers ketika berhadapan pada tuntutan lingkungan yang
mengharuskan anak untuk mampu mengeluarkan sisa makanan dan minuman di
tempat yang semestinya yaitu toilet. Keterlambatan tersebut disebabkan anak
merasa bahwa tidak perlu pergi ke toilet karena ketika menggunakan diapers
masih merasa nyaman walaupun telah melakukan BAK. Kebiasaan memakai
diapers pada anak usia toddler mengakibatkan anak akan kehilangan masa toilet

trainingnya, dan ini berdampak pada lingkungan, anak akan tidak percaya diri
pada lingkungan karena ketidakberhasilannya dalam melakukan toilet training.1
Hasil penelitian Shofa (2011) menunjukkan bahwa ada hubungan yang
bermakna secara statistik antara pola asuh orang tua dengan keberhasilan toilet
training pada anak.12 Sependapat dengan hasil penelitian Nining (2013),
menunjukkan ada pengaruh antara pola asuh orang tua terhadap tingkat kesiapan
toilet training pada anak usia toddler. Terdapat perbedaan tingkat kesiapan toilet
training anak usia toddler antara kelompok yang diasuh dengan pola demokratis
maupun permisif, dan pola asuh yang baik adalah pola asuh demokratis.13
Hasil penelitian Indanah, dkk (2014) menunjukkan bahwa ada hubungan
yang signifikan antara frekuensi pemakaian diapers dengan kemampuan toilet
training anak usia toddler (p = 0.020; = 0,05), ada hubungan yang signifikan
antara lama pemakaian diapers dengan kemampuan toilet training anak usia
toddler (p = 0,000; = 0,05). Penelitian ini merekomendasikan orang tua yang
memakaikan diapers pada anak untuk mengganti diapers lebih sering karena
semakin kurang frekuensi dan lama pemakaian diapers maka kemampuan toilet
training anak tidak akan terganggu.14
Penelitian yang peneliti lakukan berbeda dengan penelitian sebelumnya.
Penelitian sebelumnya dilakukan pada anak usia 4-6 tahun, sedangkan penelitian
ini dilakukan pada anak usia toddler (1-3 tahun) dan variabel pola asuh orang tua
meliputi pola asuh positif dan negatif.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Jambi Tahun
2015, jumlah anak balita terbanyak di Kota Jambi terdapat di Puskesmas Rawasari
sebesar 3541 anak, yaitu dengan 1788 laki-laki dan 1753 perempuan.15 Hasil studi
pendahuluan yang dilakukan peniliti melalui observasi di Puskesmas Rawasari
Kota Jambi pada tanggal 15 Juli 2016 jumlah anak usia toddler sebesar 559
anak.16
Berdasarkan hasil wawancara dengan 5 orang tua yang memiliki anak usia
toddler, didapatkan bahwa 3 orang anak masih menggunakan diapers dengan
alasan lebih praktis karena belum dapat memberitahukan bila ingin buang air, satu
orang anak masih mengompol dicelana, menggunakan diapers apabila ingin

berpergian saja, dan satu orang anak sudah bisa memberitahukan bila ingin buang
air, masih memerlukan bantuan untuk kekamar mandi. Mengenai pola asuh yang
diterapkan orang tua kepada anaknya, terdapat 3 orang tua yang tidak terlalu
memaksakan anaknya, 2 orang tua masih sering memarahi anak apabila anak
ngompol dicelana.
Berdasarkan pengamatan peneliti, bahwa ibu-ibu sudah menggunakan
popok sekali pakai (diapers) pada anaknya sebelum anak berusia 1 tahun
dikarenakan lebih praktis dan tidak repot. Juga diketahui bahwa sebagian besar
anak masih memiliki kebiasaan yang salah dalam buang air besar dan buang air
kecil. Misalnya buang air besar dan buang air kecil dicelana tidak member tahu
ibu ataupun pengasuhnya. Terlihat juga perilaku ibu yang kurang tepat ketika
menghadapi anak yang buang air besar dan buang air kecil di celana yaitu ibu
terlihat kurang tanggap ketika anaknya mengompol, bahkan ada ibu yang
memarahi anaknya.
Berdasarkan uraian di atas, maka faktor pola asuh orang tua dan intensitas
penggunaan diapers dapat dijadikan sebagai faktor yang ikut berperan serta dalam
mempengaruhi tingkat keberhasilan anak dalam melakukan toilet training di
tempat yang tepat.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti
tentang Hubungan Pola Asuh Orang Tua dan Intensitas Penggunaan
Diapers dengan Tingkat Keberhasilan Toilet Training pada Anak Usia
Toddler (1-3 tahun) di Wilayah Kerja Puskesmas Rawasari Kota Jambi .
1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Menganalisis hubungan pola asuh orang tua dan intensitas
penggunaan diapers dengan tingkat keberhasilan toilet training pada anak
usia toddler.
2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui gambaran pola asuh orang tua pada anak usia toddler.
b. Mengetahui gambaran intensitas penggunaan diapers pada anak usia
toddler.
c. Mengetahui gambaran keberhasilan toilet training pada anak usia
toddler.
d. Menganalisis hubungan pola asuh orang tua dengan tingkat
keberhasilan toilet training pada anak usia toddler.
e. Menganalisis hubungan intensitas penggunaan diapers terhadap
tingkat keberhasilan toilet training pada anak usia toddler.

1.4 Manfaat
1. Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan khususnya tentang hubungan pola asuh
orang tua dan intensitas penggunaan diapers dengan tingkat keberhasilan
toilet training pada anak usia toddler.
2. Bagi Orang Tua
a. Meningkatkan pengetahuan orang tua tentang pola asuh yang dapat
mendukung dalam tingkat keberhasilan toilet training pada usia
toddler.
b. Meningkatkan pengetahuan orang tua tentang intensitas penggunaan
diapers dengan tingkat keberhasilan toilet training pada anak usia
toddler.
c. Meningkatkan kesiapan anak untuk belajar mengontrol buang air besar
dan buang air kecil secara benar dan teratur.
3. Bagi Pelayanan Kesehatan
Sebagai masukan untuk meningkatkan perannya dalam pembelajaran
toilet training, salah satunya dengan memberikan pendidikan kesehatan
tentang toilet training.

Anda mungkin juga menyukai