Anda di halaman 1dari 29

PERIODIK PARALISIS HIPOKALEMI

Taufik Mesiano ; omylho@gmail.com


PENDAHULUAN
Periodik paralisis merupakan kelainan pada membran yang sekarang ini
dikenal sebagai salah satu kelompok kelainan penyakit chanellopathies pada otot
skeletal. Kelainan ini dikarakteristikkan dengan terjadinya suatu episodik
kelemahan tiba-tiba yang disertai gangguan pada kadar kalium serum. Periodik
paralisa ini dapat terjadi pada suatu keadaan hiperkalemia atau hipokalemia.
Periodik paralisis hipokalemi (HypoPP) merupakan sindrom klinis yang
jarang terjadi tetapi berpotensial mengancam jiwa. Insidensinya yaitu 1 dari
100.000.1,2 HypoPP banyak terjadi pada pria daripada wanita dengan rasio 3-4 :
1.2,3 Dengan onset pada dekade pertama, biasanya sebelum 16 tahun, dan jarang
sesudah usia 25 tahun.2
Sindrom paralisis hipokalemi ini disebabkan oleh penyebab yang
heterogen dimana karakteristik dari sindroma ini ditandai dengan hipokalemi dan
kelemahan sistemik yang akut. Kebanyakan kasus terjadi secara familial atau
disebut juga hipokalemi periodik paralisis primer. 2,4
Bila gejala-gejala dari sindroma tersebut dapat dikenali dan diterapi secara
benar maka pasien dapat sembuh dengan sempurna.
Kasus berikut akan kami paparkan mengenai patofisiologi dan tatalaksana
periodik paralisis hipokalemi primer.
ILUSTRASI KASUS
Wanita, 19 tahun, belum menikah, datang dengan keluhan utama
kelemahan keempat anggota gerak sejak satu hari sebelum masuk rumah sakit
(SMRS).
Lebih kurang satu hari sebelum masuk rumah sakit saat bangun di pagi
hari pasien mengeluh keempat anggota geraknya menjadi lemah dan terasa berat
bila digerakkan, pada awalnya pasien mengeluh badannya terasa pegal-pegal,
hal 1 dari 29

dan lama kelamaan kemudian mulai terasa lemas terutama bagian bahu yang
menjalar ke lengan dan jari-jari tangan, hal tersebut terjadi bersamaan pada
tungkai pasien. Kelemahan dirasakan semakin berat hingga kesulitan untuk
bangun dari tidurnya hingga perlu digotong oleh orang lain. Keluhan tidak disertai
pandangan gelap, rasa baal atau kesemutan, bicara pelo, mulut mencong, dan
makan menjadi tersedak.
Keluhan tidak disertai maupun diawali, diare, muntah-muntah, demam,
sakit kepala, berdebar, batuk pilek dalam 1 bulan terakhir, aktivitas berat, maupun
makan tinggi karbohidrat sebelumnya. Riwayat minum obat-obatan rutin
disangkal. Pada saat malam hari sebelum kejadian pasien hanya tidur terlambat
sekitar jam tiga dini hari.
Penyakit serupa sebelumnya pernah dirasakan pada bulan november 2005
dikatakan pasien dirawat kemudian pasien diberi cairan lewat infus dan
keesokkannya pasien sudah dapat menggerakkan anggota geraknya lagi.
Penyakit serupa pada keluarga disangkal.
Pola makan sehari-hari menurut ibunya, pasien mengkonsumsi makanan
yang tinggi garam seperti mie bakso yang dijual dipinggir jalan berikut mie instan
frekuensinya sekitar 3-4 kali per minggu. Makanan sehari-hari yang dimasak
dirumah pasien juga tinggi akan garam.
Pada pemeriksaan fisik saat di IGD 25/08/06 keadaan umum tampak sakit
sedang, compos mentis, tanda vital tekanan darah: 120/80 mmHg, nadi : 76
x/menit regular isi cukup, respirasi: 20 kali/menit, Suhu : 37 0 C. Status generalis,
kepala : normocephalus, mata : konjunctiva tak anemis, sklera tak ikterik. Leher :
kelenjar tiroid dan kelenjar getah bening tak teraba membesar, tekanan vena
jugularis tak meningkat. Thoraks : bentuk dan gerak simetris , paru-paru : suara
nafas vesikular kiri = kanan, tidak ditemukan rhonki maupun wheezing. Bunyi
jantung murni reguler, murmur dan gallop tidak ada. Abdomen : datar lemas,
bising usus positif normal. Ekstremitas : akral hangat perfusi cukup. Status
neurologi : Skala koma Glasgow : E4M6V5= 15; pupil : bulat isokor, diameter
3mm/3mm, refleks cahaya langsung dan tak langsung +/+ ; tanda rangsang
meningeal : kaku kuduk tidak ada, Laseque > 70/>70, Kernig > 135/135; saraf
kranial tidak ditemukan kelumpuhan; Motorik : kekuatan ekstremitas atas 3322|
2233, ekstremitas bawah 2222|2222, eutrofi, normotonus, refleks fisiologis BTR +/
hal 2 dari 29

+, KPR dan APR +/+, tidak ditemukan refleks patologis; Sensorik : baik; Otonom :
inkontinensia uri et alvi tidak ada.
Diagnosis kerja pada saat itu

periodik paralisis et causa dicurigai

hipokalemia.
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium 25/8/06 (IGD) Hb : 14.4 g/dl;
Hematokrit : 42 %; leukosit : 12.300 /uL ; trombosit: 340.000 /uL;
Ureum/kreatinin : 20/0.9 mg/dl; gula darah sewaktu : 105; Analisa gas darah
(AGD) : pH : 7.336, pCO2 : 24.8, pO2: 104.1, Be : -11.0, HCO3- : 12.9 SO2 : 98.5;
Na/K/Cl : 141/2.0/108. EKG : ritme sinus, QT memanjang.
Pasien diterapi dengan tirah baring, diet tinggi kalium dan rendah
karbohidrat, edukasi. Terapi khusus

dilakukan pemberian cairan intravena

Asering ditambah dengan KCL 50 meq diberikan dalam 12 jam dan KSR per oral
3x1 tab, dan dilakukan cek AGD dan elektrolit paska koreksi.
Evaluasi klinis dan laboratorium pada 26/08/06 pkl 20:22, keadaan umum
tampak sakit ringan, kompos mentis, tanda vital dalam batas normal, kekuatan
motorik ekstremitas atas

3432|2333, ekstremitas bawah 3222|2223, refleks

fisiologis BTR: +|+, KPR dan APR

2+|2+. Lain-lain stqa. Pada pemeriksaan

ulang elektrolit Na/K/Cl : 146/3,9/100


Evaluasi pada 28/08/06 keadaan umum baik, kompos mentis, tanda vital
dalam batas normal. Kekuatan motorik atas dan bawah 5555|5555, refleks
fisiologis BTR, KPR, dan APR 2+|2+. Lain-lain stqa. Pemberian cairan intravena
dihentikan dilanjutkan peroral.
Pemeriksaan laboratorium pada 29/08/06 urinalisa : warna kuning, keruh,
berat jenis : 1.010, pH : 7.0, protein : negatif, glukosa : negatif, keton : negatif,
darah/Hb : negatif, bilirubin : negatif, urobilinogen : 3.2, nitrit : negatif, esterase
leukosit : +1, Sedimen :sel epitel : +, leukosit : 5-6/LPB, eritrosit : -, silinder : -,
kristal : amorphe +, Osmolaritas urin : 245 (250-900 mOsm/kg), Kalium urin : 18,
ureum/kreatinin : 17/0,9, asam urat darah : 3.0. T4 total : 8,53 (5,53-11,0), TSHs :
1.250 (0,465-4,680), AGD : pH: 7,359 pCO2 : 28,3 pO2: 104,7 HCO3- : 15,6 be :
-8,7 SO2: 98,1. Elektrolit darah Na/K/Cl : 143/3,7/104.
Pemeriksaan EMG pada 16/10/06 didapatkan : pemeriksaan NCV motorik
dan sensorik pada lengan dan tungkai kanan-kiri menunjukkan hasil dalam batas
normal. Pemeriksaan F wave saraf-saraf yang diperiksa menunjukkan latensi dan
hal 3 dari 29

NCV masih dalam batas normal. Kesimpulan : Pemeriksaan NCV dan F wave
dalam batas normal.
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
pasien ini didiagnosa dengan :
Diagnosis klinis

: Tetraparesis LMN

Diagnosis topik

: Membran Otot Rangka

Diagnosis etiologi

: Hipokalemi

Diagnosis patologi

: Channelopathy

Pasien ini ditata laksana dengan :


-

KSR 3x1 tablet

Acetazolamide 3x250 mg

Diet tinggi kalium

Diet rendah karbohidrat dan garam

Komunikasi, informasi dan edukasi penderita dan keluarga


Prognosis pada pasien ini :

Quo ad vitam

: bonam

Quo ad fungsionam : bonam


Quo ad sanasionam: dubia ad bonam
DISKUSI
Sinyal listrik pada otot skeletal, jantung, dan saraf merupakan suatu alat
untuk mentransmisikan suatu informasi secara cepat dan jarak yang jauh.
Kontraksi otot skeletal diinisiasi dengan pelepasan ion kalsium oleh retikulum
sarkoplasma, yang kemudian terjadi aksi potensial pada motor end-plate yang
dicetuskan oleh depolarisasi dari transverse tubule (T tubule). Ketepatan dan
kecepatan dari jalur sinyal ini tergantung aksi koordinasi beberapa kelas voltagesensitive kanal ion. Mutasi dari gen dari kanal ion tersebut akan menyebabkan
kelainan yang diturunkan pada manusia. Dan kelainannya disebut chanelopathies
yang cenderung menimbulkan gejala yang paroksismal : miotonia atau periodik
paralisis dari otot-oto skeletal. Defek pada kanal ion tersebut dapat meningkatkan
eksitasi elektrik suatu sel, menurunkan kemampuan eksitasi, bahkan dapat
hal 4 dari 29

menyebabkan kehilangan kemampuan eksitasi. Dan kehilangan dari eksitasi


listrik pada otot skeletal merupakan kelainan dasar dari periodik paralisis. 3
Periodik paralisis merupakan kelainan neuromuscular yang jarang serta
diturunkan, yang secara karakteristik ditandai dengan serangan episodik dari
kelemahan otot.

Berbagai kepustakaan membagi kelainan ini secara bervariasi,

kelainan ini dapat dibedakan sebagai primer atau sekunder.2 Pada yang primer
secara umum dikarakteristikkan dengan : (1). kelainan yang diturunkan; (2).
sering berhubungan dengan kadar kalium di dalam darah; (3). kadang disertai
miotonia; (4) miotonia dan periodik paralisis tersebut disebabkan karena defek
dari ion channels.2 Sedangkan klasifikasi yang berguna secara klinis dari periodik
paralisis primer ini dapat dilihat pada tabel.1 :
Tabel 1 Periodik Paralisis Primer 2
Sodium Channel
Calcium Channel
Chloride Channel

Hyperkalemic PP
Paramyotonia congenital
Potassium-aggravated myotonias
Hypokalemic PP
Becker myotonia congenita
Thomsen myotonia congenita

Sedangkan secara klasik dibagi menjadi dua kategori besar berdasarkan kadar
kalium darah saat terjadinya serangan kelemahan otot : periodik paralisis
hiperkalemi dan periodik paralisis hipokalemi.

Pada kelainan sekunder suatu

keadaan hipokalemi dapat disebabkan oleh beberapa keadaan diantaranya :


asupan kalium yang kurang, renal tubular asidosis, gangguan gastrointestinal
seperti diare, intoksikasi obat seperti amphotericin B dan barium, dan hipertiroid.
2,3

Hipokalemia merupakan kelainan elektrolit yang sering terjadi pada praktek


klinis yang didefinisikan dengan kadar kalium serum kurang dari 3,5 mEq/L, pada
hipokalemia sedang kadar kalium serum 2,5-3 mEq/L, dan hipokalemia berat
kadar kalium serumnya kurang dari 2,5 mEq/L. 6 Keadaan ini dapat dicetuskan
melalui berbagai mekanisme, termasuk asupan yang tidak adekuat, pengeluaran
berlebihan melalui ginjal atau gastrointestinal, obat-obatan, dan perpindahan
transelular (perpindahan kalium dari serum ke intraselular) yang kami bahas pada
kasus ini.6 Gejala hipokalemi ini terutama terjadi kelainan di otot. Konsentrasi
hal 5 dari 29

kalium serum pada 3,0-3,5 mEq/L berhubungan dengan suatu keadaan klinis
seperti kelemahan otot ringan, fatigue, dan mialgia. 6 Pada konsentrasi serum
kalium 2,5-3,0 mEq/L kelemahan otot menjadi lebih berat terutama pada bagian
proximal dari tungkai. Ketika serum kalium turun hingga dibawah dari 2,5 mEq/L
maka dapat terjadi kerusakan struktural dari otot, termasuk rhabdomiolisis dan
miogobinuria. Peningkatan osmolaritas serum dapat menjadi suatu prediktor
terjadinya rhabdomiolisis.

Selain itu suatu keadaan hipokalemia dapat

mengganggu kerja dari organ lain, terutama sekali jantung yang banyak sekali
mengandung otot dan berpengaruh terhadap perubahan kadar kalium serum.
Perubahan

kerja

jantung

ini

dapat

kita

deteksi

dari

pemeriksaan

elektrokardiogram(EKG). Perubahan pada EKG ini dapat mulai terjadi pada kadar
kalium serum dibawah 3,5 dan 3,0 mEq/L.

5,6,7

Kelainan yang terjadi berupa

inversi gelombang T, timbulnya gelombang U dan ST depresi, pemanjangan dari


PR, QRS, dan QT interval.4,5,7,8
Periodik paralisis hipokalemi (HypoPP) merupakan bentuk umum dari
kejadian periodik paralisis yang diturunkan. 3,4 Dimana kelainan ini diturunkan
secara autosomal dominan.

3,4,5

Dari kebanyakan kasus pada periodik paralisis

hipokalemi terjadi karena mutasi dari gen reseptor dihidropiridin pada


kromosom 1q. Reseptor ini merupakan calcium channel yang bersama dengan
reseptor ryanodin berperan dalam proses coupling pada eksitasi-kontraksi otot.
2,3,4,5

Fontaine et.al telah berhasil memetakan mengenai lokus gen dari kelainan

HypoPP ini terletak tepatnya di kromosom 1q2131. Dimana gen ini mengkode
subunit alfa dari L-type calcium channel dari otot skeletal secara singkat di kode
sebagai CACNL1A3. Mutasi dari CACNL1A3 ini dapat disubsitusi oleh 3 jenis
protein arginin (Arg) yang berbeda, diantaranya Arg-528-His, Arg-1239-His, dan
Arg-1239-Gly. Pada Arg-528-His terjadi sekitar 50 % kasus pada periodik paralisis
hipokalemi familial dan kelainan ini kejadiannya lebih rendah pada wanita
dibanding pria.

1,3

Pada wanita yang memiliki kelainan pada Arg-528-His dan Arg-

1239-His sekitar setengah dan sepertiganya tidak menimbulkan gejala klinis. 1,3,5,9
Sebagai gejala klinis dari periodik paralisis hipokalemi ini ditandai
dengan kelemahan dari otot-otot skeletal episodik tanpa gangguan dari
sensoris ataupun kognitif yang berhubungan dengan kadar kalium yang
rendah di dalam darah dan tidak ditemukan tanda-tanda miotonia dan tidak
hal 6 dari 29

ada penyebab sekunder lain yang menyebabkan hipokalemi. 2,3,4 Gejala pada
penyakit ini biasanya timbul pada usia pubertas atau lebih, dengan serangan
kelemahan yang episodik dari derajat ringan atau berat yang menyebabkan
quadriparesis dengan disertai penurunan kapasitas vital dan hipoventilasi, gejala
lain seperti fatigue dapat menjadi gejala awal yang timbul sebelum serangan
namun hal ini tidak selalu diikuti dengan terjadinya serangan kelemahan. 3,5
Serangan sering terjadi saat malam hari atau saat bangun dari tidur dan
dicetuskan dengan asupan karbohidrat yang banyak serta riwayat melakukan
aktivitas berat sebelumnya yang tidak seperti biasanya. 2,3,5 Serangan ini dapat
terjadi hingga beberapa jam sampai yang paling berat dapat terjadi beberapa hari
dari kelumpuhan tersebut.5
Distribusi kelemahan otot dapat bervariasi. Kelemahan pada tungkai
biasanya terjadi lebih dulu daripada lengan dan sering lebih berat
kelemahannya dibanding lengan, dan bagian proksimal dari ekstremitas
lebih jelas terlihat kelemahannya dibanding bagian distalnya. Terkecuali,
kelemahan ini dapat juga terjadi sebaliknya dimana kelemahan lebih dulu terjadi
pada lengan yang kemudian diikuti kelemahan pada kedua tungkai dimana terjadi
pada pasien ini. Otot-otot lain yang jarang sekali lumpuh diantaranya otot-otot dari
mata, wajah, lidah, pharing, laring, diafragma, dan spingter, namun pada kasus
tertentu kelemahan ini dapat saja terjadi. Saat puncak dari serangan kelemahan
otot, refleks tendon menjadi menurun dan terus berkurang menjadi hilang sama
sekali dan reflek kutaneus masih tetap ada. Rasa sensoris masih baik. Setelah
serangan berakhir, kekuatan otot secara umum pulih biasanya dimulai dari
otot yang terakhir kali menjadi lemah. Miotonia tidak terjadi pada keadaan
ini, dan bila terjadi dan terlihat pada klinis atau pemeriksaan EMG
menunjukkan terjadinya miotonia maka diagnosis HypoPP kita dapat
singkirkan.2,3,5
Selain dari anamnesa, pemeriksaan penunjang lain seperti laboratorium
darah dalam hal ini fungsi ginjal, elektrolit darah dan urin, urinalisa urin 24 jam,
kadar hormonal seperti T4 dan TSHs sangat membantu kita untuk menyingkirkan
penyebab sekunder dari hipokalemia. Keadaan lain atau penyakit yang dapat
menyebabkan hipokalemi diantaranya intake kalium yang kurang, intake
karbohidrat yang berlebihan, intoksikasi barium, kehilangan kalium karena diare,
hal 7 dari 29

periodik

paralisis

karena

tirotoksikosis,

renal

tubular

asidosis,

dan

hyperaldosteronism. 4,5,7
Pada kasus pasien ini terjadi kelemahan pada keempat anggota gerak
yang diawali gejala prodormal mialgia dan fatigue dimana kelainan ini tidak
disertai kelemahan pada otot-otot wajah, lidah, pharing, laring, diafragma, dan
spingter serta tidak disertai tanda-tanda miotonia seperti kejang otot. Rasa
sensoris masih dalam keadaan baik. Dan saat diperiksa kadar kalium serumnya =
2,0 mEq/L, osmolaritas serum : 295,13 mEq/L, dan dari pemeriksaan laboratorium
lain seperti urinalisa urin 24 jam, fungsi ginjal, dan hormonal seperti T4 dan TSHs
dalam batas normal.

Dan pasien ini pulih dalam waktu dua hari perawatan.

Pemulihan pada pasien ini tidak berhubungan dengan kadar kalium yang kembali
normal terlihat pada evaluasi pasien pada tanggal 26/08/06 didapatkan kekuatan
motorik ekstremitas atas

3432|2333, ekstremitas bawah 3222|2223, refleks

fisiologis BTR: +|+, KPR dan APR 2+|2+. Pemeriksaan fisik lain dalam batas
normal. Dan pada pemeriksaan ulang elektrolit Na/K/Cl : 146/3,9/100. Serangan
kelemahan pada kasus ini diikuti dengan suatu keadaan penurunan kadar kalium
serum tapi kadar kalium tersebut tidak berhubungan dengan beratnya kelemahan
otot yang terjadi. Hal tersebut terjadi pada HypoPP yang terjadi karena kelainan
pada kanal kalsium.5
Diagnosis

HypoPP

harus

dipertimbangkan

ketika

suatu

serangan

kelemahan terjadi episodik dan berkaitan dengan hipokalemia. Hipokalemi yang


terjadi pada HypoPP ini diduga karena adanya defek permeabilitas membran sel
terhadap kalium sehingga menurunkan kadar kalium ekstraselular. 3 Kadar kalium
serum akan kembali menjadi normal diantara serangan, dan apabila hipokalemia
menetap harus dipikirkan penyebab lain dari periodik paralisis, seperti penurunan
kadar kalium pada kelainan ginjal, gastrointestinal atau gangguan metabolisme
lain.3,4,5
Diagnostik lain yang dapat kita lakukan untuk menentukan hypoPP bila
pasien tidak dalam keadaan serangan yaitu dengan cara tes provokatif. Dimana
pasien dimonitor tanda vitalnya dan keadaan jantungnya melalui EKG, kemudian
pasien diberikan glukosa sebanyak 50 sampai 100 gram atau dilarutkan dalam 2
gram NaCl perjam yang diberikan dalam tujuh dosis, diikuti dengan pencetusan

hal 8 dari 29

latihan, maka akan timbul serangan kelemahan, yang dapat diatasi dengan
pemberian 2 sampai 4 gram KCL per oral. 2,5
Seperti pada bentuk lain dari periodik paralisis dan miotonia, kebanyakan
pasien dengan HypoPP tidak memerlukan intervensi farmakologis. Pasien kita
edukasi dan berikan informasi untuk mencegah dan menurunkan kejadian
serangan melalui menghindari kegiatan yang memerlukan kekuatan fisik yang
berat, hindari kedinginan, mengkonsumsi buah-buahan atau jus yang tinggi akan
kalium, membatasi intake karbohidrat dan garam(160 mEq/hari).

2,3,5,8

Pemberian obat-obatan seperti penghambat carbonic anhidrase dapat


diberikan untuk menurunkan frekuensi dan beratnya serangan kelemahan
episodik dan memperbaiki kekuatan otot diantara serangan. Acetazolamide
merupakan obat jenis tersebut yang banyak diresepkan, dosis dimulai dari 125
mg/hari dan secara bertahap ditingkatkan hingga dosis yang dibutuhkan
maksimum 1500 mg/hari.

3,4,5,10

Pasien yang tidak berespon dengan pemberian

acetazolamide dapat diberikan penghambat carbonic anhidrase yang lebih poten


seperti, dichlorphenamide 50 hingga 150 mg/hari atau pemberian diuretik hemat
kalium seperti spironolactone atau triamterine (keduanya dalam dosis 25 hingga
100 mg/hari).

3,5,10

Pemberian rutin kalium chlorida (KCL) 5 hingga 10 g per hari

secara oral yang dilarutkan dengan cairan tanpa pemanis dapat mencegah
timbulnya serangan pada kebanyakan pasien.

Pada suatu serangan HypoPP

yang akut atau berat, KCL dapat diberikan melalui intravena dengan dosis inisial
0,05 hingga 0,1 mEq/KgBB dalam bolus pelan, diikuti dengan pemberian KCL
dalam 5 % manitol dengan dosis 20 hingga 40 mEq, hindari pemberian dalam
larutan glukosa sebagai cairan pembawa. 5 Kepustakaan lain KCL dapat diberikan
dengan dosis 50 mEq/L dalam 250 cc larutan 5 % manitol.

3,4

Berikut algoritma mengenai diagnostik dan tatalaksana dari periodik


paralisis dapat dilihat pada halaman 11.
Pada pasien ini terapi yang diberikan yaitu pemberian KCL peroral disertai
KCL melalui intravena pada saat akut. Dan setelah keadaan membaik terapi KCL
diberikan per oral sambil memantau status klinis pasien, kadar kalium serum, dan
pemeriksaan penunjang lain untuk menyingkirkan patologi lain yang dapat
menyebabkan hipokalemi. Dan setelah dua hari perawatan pasien pulih

hal 9 dari 29

sempurna, dan pemeriksaan penunjang didapatkan hasil dalam batas normal


pasien dipulangkan.
Kesimpulan
Periodik paralisis merupakan sindroma klinis yang dapat menyebabkan
kelemahan yang akut pada anak-anak maupun dewasa muda. Pasien akan
mengalami kelemahan progresif dari anggota gerak baik tungkai maupun lengan
tanpa adanya gangguan sensoris yang diikuti oleh suatu keadaan hipokalemia
pada HypoPP. Keadaan hipokalemia yang berat dapat mengganggu fungsi organ
lain seperti jantung hingga terjadi gangguan irama jantung yang bila tidak
ditangani akan memperburuk keadaan pasien hingga mengancam nyawa.
Mengenal dan menegakkan suatu keadaan HypoPP menjadi sangat penting
dalam hal ini, dan terapi yang diberikan sangatlah mudah dan murah.

hal 10 dari 29

Periodik Paralisis pada penderita Tirotoksikosis

Aug 31, '05 12:49 AM


for everyone

dr Octaviani
PENDAHULUAN
Thyrotoxic Periodic Paralysis (TPP) merupakan salah satu bentuk dari periodik
paralisis sekunder yang sering terjadi. Secara klinis hal ini sulit dibedakan dengan
periodik paralisis hipokalemi familial. Faktor yang mendasari terjadinya TPP adalah
hipertiroid atau kemungkinan berhubungan dengan autosomal dominan. Kebanyakan
kasus TPP terjadi secara sporadis dan 9% penderita tirotoksikosis mengalami paralisis
periodik, dengan onset umur diatas 20 tahun (lebih dari 90% kasus). TPP banyak
terjadi pada pria daripada wanita dengan perbandingan 6:1. Lebih dari 80% kasus
dilaporkan banyak terjadi di Asia. 1,2,3,4
Berikut ini akan dibahas kasus mengenai patofisiologi, penegakan diagnosis
Thyrotoxic Periodic Paralysis dan penatalaksanaannya.
ILUSTRASI KASUS
Seorang pria, 36 tahun, datang ke IGD RSCM dengan keluhan utama kesukaran
bernafas sejak sejak 5 jam sebelum masuk rumah sakit.
15 jam sebelum masuk rumah sakit ketika sedang istirahat malam, penderita
merasakan kelemahan pada kedua tungkai yang terjadi bersamaan. Kelemahan
dirasakan sama berat antara kiri dan kanan dan dimulai dari kelemahan untuk
mengangkat tungkai atas. Kelemahan ini bertambah berat sampai penderita tidak
dapat berjalan sama sekali. Setengah jam kemudian, penderita mulai merasakan
kelemahan pada kedua lengannya disertai dengan kekakuan pada leher. Tidak
dijumpai kesemutan, rasa baal dan gangguan berkemih. Sepuluh jam kemudian,
penderita merasa sulit bernafas, tetapi tetap sadar. Penderita dibawa ke rumah sakit
swasta dan dirujuk ke RSCM.
Riwayat demam sebelumnya tidak ada. Satu hari sebelumnya penderita
berolahraga sepak bola dan makan nasi dengan porsi lebih dari biasanya. Riwayat
kelemahan dengan pola yang sama ini sudah dialami penderita sebanyak 8 kali, sejak
6 bulan yang lalu. Biasanya kelemahan berangsur membaik dan penderita merasa
pulih kembali kekuatannya setelah 1 atau 2 hari dan dapat beraktivitas secara
normal. Penderita berobat ke rumah sakit swasta dan diberi obat KSR 3x1 tablet, BioATP dan Dilbloc 1x1/2 tablet. Penderita selalu minum KSR dan ATP secara teratur
setiap hari.
Sejak 6 bulan yang lalu berat badan penderita berangsur-angsur menurun
sebanyak 20 kg, walaupun nafsu makan dirasa semakin bertambah. Penderita sering
merasa berdebar-debar, berkeringat banyak (terutama waktu mau tidur), gemetaran
dan cemas. Tidak dijumpai nyeri dada dan sesak nafas. Penderita juga sering merasa
haus dan banyak berkemih lebih dari biasanya terutama malam hari. Penderita sering
merasa gatal-gatal pada seluruh tubuh, sehingga harus meminum Incidal hampir
tiap 2 hari sekali. Gatal-gatal ini tidak dipengaruhi cuaca, makanan dan tidak ada
riwayat allergi sebelumnya.
Riwayat kencing manis, darah tinggi, penyakit jantung tidak ada. Keluarga
tidak ada yang menderita penyakit seperti ini. Ibu penderita mengidap kencing
manis.
Pemeriksaan fisik umum
Kesadaran kompos mentis, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 120 x/menit,
pernafasan bradipnu 11x/menit, suhu afebris. Konjungtiva palpebra tidak pucat,
sklera tidak ikterik, tidak ada eksoftalmus. JVP 5-2 cm H2O, teraba massa di leher
bilateral, terutama sebelah kanan, bruit (-). Paru sonor, vesikuler, tidak ditemukan
ronki dan wheezing. Bunyi jantung I dan II normal, tidak ditemukan murmur dan
gallop. Abdomen lemas, nyeri tekan tidak ada, hepar lien tidak teraba, bising usus
normal. Akral dingin, edema tidak ada, terdapat tremor pada kedua tangan.

hal 11 dari 29

Pemeriksaan neurologis
GCS 15
Pupil isokor diameter 3 mm, refleks cahaya langsung dan tak langsung +/+
Tanda rangsang meningeal : kaku kuduk ()
Nn.kraniales : paresis ()
Motorik : kesan tetraparesis, refleks fisiologis APR/KPR /, biceps/triceps /, refleks
patologis -/Sensorik : belum dapat dinilai
Otonom : BAB dan BAK normal
Diberikan penatalaksanaan emergency: pemasangan IVFD NaCl 0,9% 500 cc/12 jam,
pemasangan ETT dengan bagging. Dilakukan pemeriksaan darah, EKG dan foto toraks
(hasil terlampir). Dalam 1 jam pernafasan berangsur membaik dan adekuat.
Kekuatan motorik keempat ekstremitas 2. Setelah dilakukan koreksi Kalium 50 meq/ 6
jam, keadaan pernafasan membaik dan 7 jam setelah onset, kekuatan motorik 5.
Penderita dapat bernafas spontan dan ETT dilepas.
Pemeriksaan penunjang
Laboratorium
20/5
22/5
Urinalisis

Pemeriksaan

Hemoglobin
Hematokrit
Eritrosit
Leukosit
LED
Hitung jenis

Trombosit
Ureum
Creatinin
Creatinin clear.

Nilai Normal

16/5
(12.45)

13-16 g/dl
40-48 vol%
4,5-5,5 jt ul
5000-10000 ul
<10 mm/jam
Bas 0-1
Eos 1-3
Btg 2-6
Segm 50-70
Limfo 20-40
Mono 2-8

14,8
42
5,3
18900

200000-500000/ul

272000
37
0,7

20-40 mg/dl
0,5-1,5 mg/dl
117 + 20 ml/mnt

16/5
(19.00)

20/5

BJ
PH
Protein
Glukosa
Keton
Darah
Bilirubin
Urobilinogen
Nitrit
Esterase leuk.
Epitel
Leukosit
Eritrosit
Silinder
Kristal amorf
Bakteri

1,020
1,015
7
5
+1
+1
+3
+2
+1
0,1
0,1
Trace
+
+
5-6/lpb
banyak

22/5

3-5/lpb
1-2/lpb

13,8
41
5,0
11000
30
0
0
0
77
20
3
165000

35
0,8
243

hal 12 dari 29

Natrium darah

135-147 meq/l

151

1,9
Kalium darah
Chlorida darah
Calcium darah
Natrium urine
Kalium urine
Chlorida urine
Gula drh sewkt.
GDN
GDPP
pH
pCO2
pO2
BE
HCO3
Sat O2

3,5 - 5,5 meq/l


100-106 meq/l
1-1,2 mg/dl
30-220 meq/l
25-100 meq/l
120-250 meq/l
60-100 mg/dl

7,35 - 7,45
35 45
85 95
-2,5 s/d + 2,5
21 25

144

141

3,9

3,3

T3 (86-187ng/dl)
152
T4 (5-13 ug/dl)
FT4 (0,8-2 ng/dl)
TSH (0,3-5 uIU/ml)

20,5
6
0,12

109
0,5
86
21
92
180

7,11
75,2
149,2
-4,1
23,9

7,41
32
177
-3,4
20,3

118
213
7,396
29,9
126,9
-5,2
18,1

Foto toraks
EKG
-, LVH +,

: CTR 60%, infiltrat


: ritme sinus takikardi, QRS rate 120x/menit, axis normal, ST changes

Thyroid scan
tangkapan

: tampak pembesaran / penebalan lobus kanan dan kiri tiroid dengan

RVH -, gelombang U

aktivitas yang tinggi dan merata. Thyroid uptake : 16,7% (N=1-5%).


Kesan : Struma diffusa bilateral thyroid.

Konsul kardiologi : sinus takikardi dengan hipertrofi ventrikel kiri


Konsul ginjal hipertensi : tidak ditemukan tanda-tanda renal tubular acidosis
Konsul endokrin : tirotoksikosis + hiperglikemi
Diagnosis
Diagnosis klinis
Diagnosis topik
Diagnosis etiologi

: Tetraparesis LMN
Tirotoksikosis
: Otot
: Hipokalemi

Penatalaksaanaan
-

IVFD KAEN 3B 500 cc/12 jam


KSR 3x1 tablet
Acetazolamide 3x250 mg
Propanolol 2x10 mg
PTU 3x100 mg
Diet DM 2100 kal
Diet tinggi kalium

hal 13 dari 29

Diet rendah garam


Komunikasi, informasi dan edukasi penderita dan keluarga

Prognosis
Quo ad vitam
: bonam
Quo ad fungsionam : bonam
Quo ad sanasionam : bonam

Diskusi Kasus
REGULASI AKSIS TIROID
Thyrotropin releasing hormone (TRH) yang dihasilkan oleh hipotalamus
menstimulasi pituitari untuk melepaskan Thyrotropin stimulating hormone (TSH), yang
selanjutnya merangsang sintesis dan sekresi hormon tiroid di kelenjar tiroid. Hormon
tiroid ini berupakan negative feed back untuk menginhibisi produksi TRH dan TSH.
TSH merupakan tanda sensitif dan spesifik untuk mengukur fungsi tiroid. Rendahnya
kadar hormon tiroid meningkatkan produksi TSH dan TRH, dan sebaliknya kadar
hormon tiroid yang tinggi mensupresi TSH dan TRH. Hal ini menunjukkan bahwa
hormon tiroid merupakan regulator utama produksi TSH.
T4 dan T3 yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid bersirkulasi dalam darah terikat
dengan plasma protein (TBG thyroxine binding globulin, TTR - transthyretin, dan
albumin). Jumlah T3 bebas lebih banyak dari T4 bebas karena T3 tidak terikat kuat.
Hanya hormon bebas inilah yang terdapat dalam jaringan. Oleh karena itu,
mekanisme homeostatik yang meregulasi aksis tiroid dapat dicapai dengan menjaga
konsentrasi normal dari hormon bebas. 5

TIROTOKSIKOSIS
Manifestasi klinis dari tirotoksikosis berupa hiperaktivitas, iritabilitas, disforia,
berkeringat, palpitasi, mudah lelah, penurunan berat badan dengan peningkatan
nafsu makan, diare, poliuri, oligomenore, penurunan libido.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan penurunan TSH dan peningkatan
hormon tiroid bebas. Diagnosis tirotoksikosis dapat disingkirkan bila kadar TSH
normal. Untuk mendiagnosis adanya tirotoksikosis cukup dengan mengukur kadar T4
bebas. Hanya 2-5% penderita didapati peningkatan kadar T3. Bila didapati
penurunan TSH tetapi kadar T4 bebas normal, maka kadar T3 bebas harus diperiksa. 5
Pada penderita ini didapatkan gambaran klinis berupa penurunan berat badan

hal 14 dari 29

sebanyak 20 kg seiring dengan peningkatan nafsu makan. Penderita juga sering


merasa berdebar-debar, berkeringat banyak, gemetaran dan cemas, sering haus dan
banyak berkemih, serta gatal-gatal pada seluruh tubuh. Pemeriksaan hormon tiroid
menunjukkan adanya peningkatan kadar T4 dan T4 bebas, disertai penurunan kadar
TSH. Hasil thyroid scan menunjukkan adanya pembesaran tiroid bilateral dengan
thyroid uptake yang tinggi. Gejala klinis dan pemeriksaan penunjang pada penderita
ini menunjukkan gambaran adanya tirotoksikosis.
Perlu dilakukan tes lebih lanjut terhadap adanya gejala poliuri, polidipsi, dan
polifagi pada penderita ini apakah disebabkan manifestasi klinis dari tirotoksikosis
atau memang ada penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, mengingat
adanya faktor keturunan dari ibunya yang juga penderita DM ?

Bagaimana Tirotoksikosis menimbulkan paralisis periodik ?


Periodik Paralisis hipokalemi familial menunjukkan adanya mutasi kromosom
1q31-32 yang merupakan area genetik dihydropteridine-binding, calcium channel otot
skeletal. Kelainan ini diidentifikasi sebagai channelopathies. Sebaliknya, apakah
kelainan gen ini juga terdapat pada TPP dan bagaimana mekanisme yang terjadi
belum diketahui secara pasti. 6,7,8
Namun dapat diterangkan bahwa hormon tiroid meningkatkan metabolisme
basal, konsumsi oksigen, piruvat dan malate mitokondria, juga meningkatkan
degradasi protein dan oksidasi lipid serta sensitivitas -adrenergic. Penderita
tirotoksikosis resisten terhadap insulin, sehingga menyebabkan hiperglikemi dan
intolerans glukosa. Adanya kombinasi antara peningkatan metabolisme dan resistensi
insulin ini menyebakan berkurangnya glikogen otot seiring dengan penurunan
adenosine triphosphate (ATP) dan creatine phosphate dalam otot. Hal ini
menyebabkan kelelahan dan kelemahan otot. 4,5
Hipertiroidisme meningkatkan sensitivitas -adrenergic. Efek ini menstimulasi
pompa Na-K, sehingga terjadi depolarisasi membran menghasilkan inaktivasi sodium
channel yang menyebabkan penurunan eksitabilitas membran, sehingga terjadi
effluks pasif potassium dari ekstrasellular ke dalam otot skeletal yang mengakibatkan
penurunan aksi potensial otot. Penurunan aksi potensial ini menyebabkan kegagalan
mekanisme eksitasi-konstraksi otot. Hal inilah yang menimbulkan paralisis otot. 1,2,4
GAMBARAN KLINIS DAN EVALUASI DIAGNOSTIK
Gejala klinis Thyrotoxic Periodic Paralysis (TPP) menyerupai periodik paralisis
hipokalemi familial (PPHF). Serangan kelemahan pada penderita dicetuskan oleh
intake karbohidrat berlebihan, istirahat setelah aktivitas berat, alkohol, cuaca dingin,
infeksi, tindakan bedah dan trauma. Serangan ini juga dapat diprovokasi oleh insulin,
epinefrin dan kortikosteroid. Penderita TPP biasanya mengalami serangan kelemahan
berulang, dimulai dari otot-otot proksimal pada tungkai yang kemudian dapat
menyebar ke seluruh tubuh, bahkan dapat melibatkan otot-otot bulbar dan
pernafasan. Serangan ini biasa dimulai pada malam hari dan diketahui pada pagi hari
saat bangun tidur. Kelemahan ini dapat berangsur-angsur membaik dalam beberapa
jam tetapi kekuatan akan pulih secara penuh dalam beberapa hari. Otot otot yang
terkena terakhir biasanya pulih duluan. Pemulihan kelemahan otot dapat disertai
dengan rasa pegal dan kram atau rasa tidak nyaman pada otot. 1,2,7,9
Pada pemeriksaan refleks tendon dapat menurun atau normal. Gambaran
EMG menunjukkan penurunan amplitudo dan durasi dari motor unit potensial selama
periode paralisis. Biopsi otot menunjukkan adanya vakuola yang mengandung
glikogen, terutama saat serangan. 2,7,9
Pada penderita ini didapatkan kelemahan pada ekstremitas proksimal dimulai

hal 15 dari 29

dari tungkai yang terjadi secara berulang dan disertai gangguan otot pernafasan.
Kelainan ini tidak disertai dengan gangguan sensorik dan didapatkan refleks
menurun. Ini menunjukkan adanya tetraparesis LMN. Kelemahan ini berangsur
membaik dalam waktu 7 jam dan setelah mendapat terapi koreksi. Hal ini
menerangkan adanya suatu paralisis periodik yang disebabkan oleh hipokalemi.
Penyebabnya berasal dari tirotoksikosis dan penyebab dari ginjal dapat disingkirkan
dari pemeriksaan elektrolit urine dan pH yang normal. Pemeriksaan EMG tidak
dilakukan karena bila diperiksa saat di luar serangan, EMG tidak banyak memberikan
informasi dan biasanya normal.
PENATALAKSANAAN
Prinsip terapi pada TPP adalah membuat penderita berada dalam kondisi euthyroid.
Penanganan hipertiroidisme dengan mengurangi sintesis hormon tiroid
menggunakan obat antitiroid, radioiodine atau subtotal tiroidektomi.
Antitiroid yang digunakan adalah golongan tionamid seperti propylthiouracil,
carbimazole, methimazole. Obat ini menginhibisi fungsi TPO (tiroid peroksidase),
mengurangi oksidasi dan organifikasi iodide. Propylthiouracil menginhibisi deiodinasi
T4 T3 dengan waktu paruh 90 menit. Dosis yang diberikan 100-200 mg setiap 6-8
jam. Dosis ini kemudian diturunkan bertahap dengan dosis maintenance 50-100 mg.
Popanolol mencegah serangan dengan memblok -adrenergic hypersensitivity
yang menyebabkan ineksitabilitasi membran. Dosis yang diberikan 20-40 mg setiap 6
jam.
Pada penderita ini diberi PTU 3x100 mg dan propanolol 2x10 mg. Keefektifan
pengobatan dan efek samping obat pada penderita dipantau lebih lanjut.
Terapi terbaik untuk serangan TPP akut adalah potassium. Dapat diberikan
secara oral atau intravena dengan monitor ketat. Disarankan untuk memberikan
secara oral, kecuali bila terdapat hipokalemia berat, gangguan jantung dan
pernafasan pada penderita. Dosis oral 5-10 gram perhari, atau 130 mEq perhari
dengan pemantauan kadar potassium dan EKG. Untuk pemberian secara intravena,
konsentrasi maksimum Kalium tidak lebih dari 40 mmol/l bila diberikan melalui vena
perifer atau kurang dari 60 mmol/l bila melalui vena sentral. Kecepatan infus tidak
melebihi 20 mmol/ jam. Sediaan KCl tidak boleh diberikan langsung, harus dilarutkan
dalam cairan infus, yang dipakai adalah normal saline, karena larutan dektrose dapat
menyebabkan penurunan sementara K+ serum sebesar 0,2-1,4 mmol/l karena
stimulasi pelepasan insulin oleh glukosa. Penggantian 40-60 mmol K+ menghasilkan
kenaikan 1-1,5 mmol/l dalam K+ serum, tetapi ini sifatnya sementara karena K + akan
berpindah kembali ke dalam sel. Pemantauan teratur dari K + serum diperlukan untuk
memastikan bahwa defisit terkoreksi. Konsentrasi K+ >60 mmol/l sebaiknya dihindari
melalui vena perifer, karena cenderung menyebabkan nyeri dan sklerosis vena.
2,10,11,12

Terapi profilaksis dapat diberikan acetazolamide 125-1000 mg perhari. Pada


awalnya obat ini diberikan untuk periodik paralisis tipe hiperkalemi, kemudian
diketahui ternyata acetazolamide sama efektifnya dalam mengurangi frekuensi
serangan bila diberikan pada paralisis hipokalemi, tetapi keefektifan pemakaiannya
untuk TPP masih belum jelas. Dapat juga diberikan spironolactone 125-100 mg
perhari.
Pada penderita diberikan KCl 50 meq dalam NaCl 0,9% selama 6 jam. Kalium
diberikan secara intravena dengan mempertimbangkan adanya gangguan pernafasan
dan hipokalemia berat, walaupun tidak dijumpai kelainan spesifik pada EKG.

hal 16 dari 29

Selanjutnya diberikan KSR 3x1 tablet dan acetazolamid 3x250 mg.


Restriksi sodium hingga kurang dari 60 mEq perhari dan hindari intake
karbohidrat berlebihan, diet tinggi kalium.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Anagnos A, Ruff RL, Kaminski HJ. Endocrine Neuromyopathies. Neurologic Clinics 1997;
15:3: 681-683
2.
Rowland LP, Layzer RB. Muscular Dystrophies, Atrophies and Related Disease. Clinical
Neurology 1987; 4: 36-40
3.
Riggs JE. The Periodic Paralyses. Neurologic Clinics 1988; 6:3: 485-493
4.
Ruff RL, Weissman J. Endocrine Myopathies. Neurologic Clinics 1988; 6:3: 578-581
5.
Jameson JL, Weetman AP. Disorders of the thyroid gland. In: Harrisons Principles of
Internal Medicine 15th ed. New York, McGraw-Hill, 2001: 2060-2074
6.
Brown RH. Periodic Paralysis. Neurobase 1993-1998, Arbor Publishing Corp.
7.
Muscle diseases. In: Gilroy J. Basic Neurology 3 rd ed. New York, McGraw-Hill, 2000: 638640
8.
Abrams GM. Endocrinopathies and the nervous system. Am.Acad.Neurol. 2002:
8AC.009-53-55
9.
Diseases of spinal cord, peripheral nerves and muscle. In: Adams RD, Victor M, Ropper
AH (eds). Principles of neurology 5th ed. New York, McGraw-Hill, 1993: 1263-1267
10. Thornton C. Myotonic Disorders and Channelopathies. Am.Acad.Neurol. 1997: 423-48-53
11. Singer GG, Brenner BM. Fluid and electrolyte disturbances. In: Harrisons Principles of
Internal Medicine 15th ed. New York, McGraw-Hill, 2001: 271-281
12. Graver MA. Terapi cairan, elektrolit, dan metabolik. Jakarta, Farmedia, 2002: 33-38

Prev: Meningitis Kronik Diagnosis dan Penatalaksanaan


Next: Abses Serebri

hal 17 dari 29

hal 18 dari 29

DAFTAR PUSTAKA
1. Graves TD. Hanna MG. Neurological Channelopathies. Postgrad. Med. J
2005;81;20-32.
2. Sripathi

N MD. Periodic Paralyses.

www.emedicine.com. Updated

November 2003.
3. Cannon SC. Myotonia and Periodic Paralysis: Disorders of Voltage-Gated
Ion Channels in Neurological Theurapeutics Principles and Practice, vol.2
part 2. Mayo Foundation. United Kingdom.2003; 225;2365-2377.
4. Tawil R. Periodic Paralysis in Current Therapy Neurologic Disease, 6 th ed.
422-424. Mosby, USA. 2002.
5. Ropper AH, Brown RH, Phil D. Adams and Victors Principles of Neurology,
8th ed. McGraw-Hill Comp. USA. 2005.
6. Riggs JE. Neurological Manifestations of Electrolyte Disturbances in
Neurology and General Medicine, 2nd ed. Churchill Livingstone, New York.
1995; 17; 326.
7. Ahlawat SK, Sachdev A. Hypokalaemic paralysis. Postgraduate Medical
Journal; Apr 1999; 75, 882; ProQuest Medical Library. p. 193
8. Graber M. Terapi Cairan, Elektroli dan Metabolik, ed.1. Farmedia.
Jakarta.2002.
9. Kawamura S, Ikeda Y, Tomita K, et.al. A Family of Hypokalemic Periodic
Paralysis with CACNA1S Gene Mutation Showing Incomplete Penetrance
in Women. Internal Medicine Vol.43, No.3 March 2004. p 21-8 222.
10. Folsy PA, Ringel SP. Neuromuscular Disorders in Emergent and Urgent
Neurology 2nd ed. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia. 1999.

Sindroma Guillain-Barre (GBS) : Patofisiologi dan Diagnosis

GBS merupakan suatu kelompok heterogen dari proses yang diperantarai oleh imunitas,
suatu kelainan yang jarang terjadi; dimana sistem imunitas tubuh menyerang sarafnya
hal 19 dari 29

sendiri. Kelainan ini ditandai oleh adanya disfungsi motorik, sensorik, dan otonom. Dari
bentuk klasiknya, GBS merupakan suatu polineuopati demielinasi dengan karakteristik
kelemahan otot asendens yang simetris dan progresif, paralisis, dan hiporefleksi, dengan
atau tanpa gejala sensorik ataupun otonom. Namun, terdapat varian GBS yang melibatkan
saraf kranial ataupun murni motorik. Pada kasus berat, kelemahan otot dapat
menyebabkan kegagalan nafas sehingga mengancam jiwa.
Penyebab pasti penyakit ini belum diketahui, namun umumnya dicetuskan oleh infeksi
saluran pernafasan atau pencernaan. Semua kelompok usia dapat terkena penyakit ini,
namun paling sering terjadi pada dewasa muda dan usia lanjut. Pada tipe yang paling
berat, sindroma Guillain-Barre menjadi suatu kondisi kedaruratan medis yang
membutuhkan perawatan segera. Sekitar 30% penderita membutuhkan penggunaan alat
bantu nafas sementara
GBS merupakan suatu kelompok heterogen dari proses yang diperantarai oleh imunitas, suatu
kelainan yang jarang terjadi; dimana sistem imunitas tubuh menyerang sarafnya sendiri. Kelainan
ini ditandai oleh adanya disfungsi motorik, sensorik, dan otonom. Dari bentuk klasiknya, GBS
merupakan suatu polineuopati demielinasi dengan karakteristik kelemahan otot asendens yang
simetris dan progresif, paralisis, dan hiporefleksi, dengan atau tanpa gejala sensorik ataupun
otonom. Namun, terdapat varian GBS yang melibatkan saraf kranial ataupun murni motorik. Pada
kasus berat, kelemahan otot dapat menyebabkan kegagalan nafas sehingga mengancam jiwa.
Penyebab
Penyebab pasti penyakit ini belum diketahui, namun umumnya dicetuskan oleh infeksi saluran
pernafasan atau pencernaan. Semua kelompok usia dapat terkena penyakit ini, namun paling sering
terjadi pada dewasa muda dan usia lanjut. Pada tipe yang paling berat, sindroma Guillain-Barre
menjadi suatu kondisi kedaruratan medis yang membutuhkan perawatan segera. Sekitar 30%
penderita membutuhkan penggunaan alat bantu nafas sementara

Patagonesis dan Patofosiologi


Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat menyerang
sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa sistem imun
menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu penyakit yang disebut sebagai
hal 20 dari 29

penyakit autoimun. Umumnya sel-sel imunitas ini menyerang benda asing dan organisme
pengganggu; namun pada GBS, sistem imun mulai menghancurkan selubung myelin yang
mengelilingi akson saraf perifer, atau bahkan akson itu sendiri. Terdapat sejumlah teori
mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang saraf, namun teori yang dikenal
adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme (misalnya infeksi virus ataupun
bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem saraf, sehingga sistem imun
mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme tersebut kemudian menyebabkan sel-sel
imun, seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk menyerang myelin. Limfosit T yang
tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan memproduksi antibodi melawan komponenkomponen selubung myelin dan menyebabkan destruksi dari myelin.

Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis; berfungsi
sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu selubung yang
dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang terbungkus plastik. Selubung
myelin bersifat insulator dan melindungi sel-sel saraf. Selubung ini akan meningkatkan
baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf yang ditransmisikan. Sebagai contoh, sinyal dari
otak ke otot dapat ditransmisikan pada kecepatan lebih dari 50 km/jam.
Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak diantaranya,
yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan daerah yang rentan
hal 21 dari 29

diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada daerah ini, sehingga semakin
banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan semakin lambat.
Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap adanya
antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun virus. Antibodi yang
bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta merusaknya, dengan bantuan selsel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan
sekret kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya membentuk materi
lemak penghasil myelin. Dengan merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara
pada waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring dengan
serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap. Saraf motorik,
sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal melambat, terblok, atau terganggu;
sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal ini akan menyebabkan kelemahan otot,
kesemutan, kebas, serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan.10
Untungnya, fase ini bersifat sementara, sehingga apabila sistem imun telah kembali
normal, serangan itu akan berhenti dan pasien akan kembali pulih.
Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan medulla spinalis,
merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri dari saraf kranialis dan saraf
spinal. Saraf-saraf perifer mentransmisikan sinyal dari otak dan medulla spinalis, menuju
dan dari otot, organ, serta kulit. Tergantung fungsinya, saraf dapat diklasifikasikan sebagai
saraf perifer motorik, sensorik, dan otonom (involunter).
Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul kerusakan sementara
pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik, kelemahan yang bersifat progresif,
ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS dikenal sebagai neuropati perifer.
GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi. Bila selubung
myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur , transmisi sinyal saraf yang
melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi abnormal ataupun
kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri dinamai demyelinasi
primer.
Akson merupakan bagian dari sel saraf 1, yang terentang menuju sel saraf 2. Selubung
myelin berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar akson dalam beberapa lapis.
Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi sekunder;
hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson ini putus,
sinyal saraf akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut, sehingga timbul
kelemahan dan paralisis pada area tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi
paling sering setelah gejala diare, dan memiliki prognosis yang kurang baik, karena
regenerasi akson membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan selubung myelin, yang
sembuh lebih cepat.
Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada penderita
diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf. Saraf-saraf
perifer dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun, saraf-saraf kranialis
dapat juga ikut terlibat.
hal 22 dari 29

Manifestasi Klinis
Pasien dengan GBS umumnya hanya akan mengalami satu kali serangan yang
berlangsung selama beberapa minggu, kemudian berhenti spontan untuk kemudian pulih
kembali.
Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase:

hal 23 dari 29

1. Fase progresif. Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal
sampai gejala menetap, dikenal sebagai titik nadir. Pada fase ini akan timbul
nyeri, kelemahan progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala
bervariasi tergantung seberapa berat serangan pada penderita. Kasus GBS yang
ringan mencapai nadir klinis pada waktu yang sama dengan GBS yang lebih berat.
Terapi secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan
mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada
pengurangan nyeri serta gejala.
2. Fase plateau. Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak
didapati baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti,
namun derajat kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi
ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan
fungsi yang masih ada. Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung,
pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat
dimulai di fase ini. Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat,
perawatan khusus, serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat
akibat saraf yang meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan
hilang begitu proses penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat
diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase
infeksi, sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa
bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan.
3. Fase penyembuhan Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan
perbaikan dan penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi
antibody yang menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang,
penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada
terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan
pergerakan otot yang normal, serta mengajarkan penderita untuk menggunakan
otot-ototnya secara optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel
saraf yang beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps.
Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien
lainnya tetap menunjukkan gejala ringan samapi waktu yang lama setelah
penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang
terjadi pada fase infeksi.

Terdapat enam subtipe sindroma Guillain-Barre, yaitu:


1. Radang polineuropati demyelinasi akut (AIDP), yang merupakan jenis GBS yang
paling banyak ditemukan, dan sering disinonimkan dengan GBS. Disebabkan oleh
respon autoimun yang menyerang membrane sel Schwann.
hal 24 dari 29

2. Sindroma Miller Fisher (MFS), merupakan varian GBS yang jarang terjadi dan
bermanifestasi sebagai paralisis desendens, berlawanan dengan jenis GBS yang
biasa terjadi. Umumnya mengenai otot-otot okuler pertama kali dan terdapat trias
gejala, yakni oftalmoplegia, ataksia, dan arefleksia. Terdapat antibodi Anti-GQ1b
dalam 90% kasus.
3. Neuropati aksonal motorik akut (AMAN) atau sindroma paralitik Cina; menyerang
nodus motorik Ranvier dan sering terjadi di Cina dan Meksiko. Hal ini disebabkan
oleh respon autoimun yang menyerang aksoplasma saraf perifer. Penyakit ini
musiman dan penyembuhan dapat berlangsung dengan cepat. Didapati antibodi
Anti-GD1a, sementara antibodi Anti-GD3 lebih sering ditemukan pada AMAN.
4. Neuropati aksonal sensorimotor akut (AMSAN), mirip dengan AMAN, juga
menyerang aksoplasma saraf perifer, namun juga menyerang saraf sensorik dengan
kerusakan akson yang berat. Penyembuhan lambat dan sering tidak sempurna.
5. Neuropati panautonomik akut, merupakan varian GBS yang paling jarang;
dihubungkan dengan angka kematian yang tinggi, akibat keterlibatan
kardiovaskular dan disritmia.
6. Ensefalitis batang otak Bickerstaffs (BBE), ditandai oleh onset akut
oftalmoplegia, ataksia, gangguan kesadaran, hiperefleksia atau refleks Babinski
(menurut Bickerstaff, 1957; Al-Din et al.,1982). Perjalanan penyakit dapat
monofasik ataupun diikuti fase remisi dan relaps. Lesi luas dan ireguler terutama
pada batang otak, seperti pons, midbrain, dan medulla. Meskipun gejalanya berat,
namun prognosis BBE cukup baik.
Diagnosis

Kerusakan myelin pada GBS menyebabkan adanya gangguan fungsi saraf perifer,
yakni motorik, sensorik, dan otonom. Manifestasi klinis yang utama adalah
kelemahan motorik yang bervariasi, dimulai dari ataksia sampai paralisis motorik
total yang melibatkan otot-otot pernafasan sehingga menimbulkan kematian.
Awalnya pasien menyadari adanya kelemahan pada tungkainya, seperti halnya
kaki karet, yakni kaki yang cenderung tertekuk (buckle), dengan atau tanpa
disestesia (kesemutan atau kebas).
Umumnya keterlibatan otot distal dimulai terlebih dahulu (paralisis asendens
Landry),1 meskipun dapat pula dimulai dari lengan. Seiring perkembangan
penyakit, dalam periode jam sampai hari, terjadi kelemahan otot-otot leher, batang
tubuh (trunk), interkostal, dan saraf kranialis.
Pola simetris sering dijumpai, namun tidak absolut. Kelemahan otot bulbar
menyebabkan disfagia orofaringeal, yakni kesulitan menelan dengan disertai oleh
drooling dan/atau terbukanya jalan nafas, serta kesulitan bernafas.
Kelemahan otot wajah juga sering terjadi pada GBS, baik unilateral ataupun
bilateral; sedangkan abnormalitas gerak mata jarang, kecuali pada varian Miller
Fisher.
Gangguan sensorik merupakan gejala yang cukup penting dan bervariasi pada
GBS. Hilangnya sensibilitas dalam atau proprioseptif (raba-tekan-getar) lebih berat
daripada sensibilitas superfisial (raba nyeri dan suhu).1 Sensasi nyeri merupakan
gejala yang sering muncul pada GBS, yakni rasa nyeri tusuk dalam (deep aching
pain) pada otot-otot yang lemah, namun nyeri ini terbatas dan harus segera diatasi
dengan analgesik standar. dan arefleksia. Hilangnya sensasi nyeri dan suhu
umumnya ringan; bahkan Disfungsi kandung kencing dapat terjadi pada kasus
hal 25 dari 29

berat, namun sifatnya transien; bila gejalanya berat, harus dicurigai adanya
penyakit medulla spinalis. Tidak dijumpai demam pada GBS; jika ada, perlu
dicurigai penyebab lainnya. Pada kasus berat, didapati hilangnya fungsi otonom,
dengan manifestasi fluktuasi tekanan darah, hipotensi ortostatik, dan aritmia
jantung.
Pemeriksaan penunjang
1. Cairan serebrospinal (CSS) Yang paling khas adalah adanya disosiasi
sitoalbuminik, yakni meningkatnya jumlah protein (100-1000 mg/dL) tanpa
disertai adanya pleositosis (peningkatan hitung sel). Pada kebanyakan kasus, di
hari pertama jumlah total protein CSS normal; setelah beberapa hari, jumlah
protein mulai naik, bahkan lebih kanjut di saat gejala klinis mulai stabil, jumlah
protein CSS tetap naik dan menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu
setelah onset. Derajat penyakit tidak berhubungan dengan naiknya protein dalam
CSS. Hitung jenis umumnya di bawah 10 leukosit mononuclear/mm
2. Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG)
Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat demyelinasi saraf,
antara lain prolongasi masa laten motorik distal (menandai blok konduksi distal)
dan prolongasi atau absennya respon gelombang F (tanda keterlibatan bagian
proksimal saraf), blok hantar saraf motorik, serta berkurangnya KHS. Pada 90%
kasus GBS yang telah terdiagnosis, KHS kurang dari 60% normal.
3. EMG menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat pula dijumpai
degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu setelah onset gejala,
sehingga ampilitudo CMAP dan SNAP kurang dari normal. Derajat hilangnya
aksonal ini telah terbukti berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi serta
disabilitas jangka panjang pada pasien GBS, akibat fase penyembuhan yang lambat
dan tidak sempurna. Sekitar 10% penderita menunjukkan penyembuhan yang tidak
sempurna, dengan periode penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu)
serta berkurangnya KHS dan denervasi EMG.
4. Pemeriksaan darah Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear
sedang dengan pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah
selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi
limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Laju endap darah dapat meningkat sedikit
atau normal, sementara anemia bukanlah salah satu gejala.
5. Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan peningkatan
immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat demyelinasi saraf pada kultur jaringan.
Abnormalitas fungsi hati terdapat pada kurang dari 10% kasus, menunjukkan
adanya hepatitis viral yang akut atau sedang berlangsung; umumnya jarang karena
virus hepatitis itu sendiri, namun akibat infeksi CMV ataupun EBV.
6. Elektrokardiografi (EKG) menunjukkan adanya perubahan gelombang T serta
sinus takikardia. Gelombang T akan mendatar atau inverted pada lead lateral.
Peningkatan voltase QRS kadang dijumpai, namun tidak sering.
7. Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru) akan menunjukkan adanya
insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending).
8. Pemeriksaan patologi anatomi, umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif
konsisten; yakni adanya infiltrat limfositik mononuklear perivaskuler serta
demyelinasi multifokal. Pada fase lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan demyelinasi
ini akan muncul bersama dengan demyelinasi segmental dan degenerasi wallerian
hal 26 dari 29

dalam berbagai derajat Saraf perifer dapat terkena pada semua tingkat, mulai dari
akar hingga ujung saraf motorik intramuskuler, meskipun lesi yang terberat bila
terjadi pada ventral root, saraf spinal proksimal, dan saraf kranial. Infiltrat sel-sel
radang (limfosit dan sel mononuclear lainnya) juga didapati pada pembuluh limfe,
hati, limpa, jantung, dan organ lainnya.
Diagnosis GBS umumnya ditentukan oleh adanya kriteria klinis dan beberapa
temuan klinis yang didukung oleh pemeriksaan elektrofisiologis dan cairan
serebrospinal (CSS),
Kriteria Diagnostik untuk Sindroma Guillain-Barre
Temuan yang dibutuhkan untuk diagnosis
Kelemahan progresif kedua anggota gerak atau lebih
Arefleksia
Temuan klinis yang mendukung diagnosis :

Gejala atau tanda sensorik ringan


Keterlibatan saraf kranialis (bifacial palsies) atau saraf kranial lainnya
Penyembuhan dimulai 2-4 minggu setelah progresivitas berhenti
Disfungsi otonom
Tidak adanya demam saat onset
Progresivitas dalam beberapa hari hingga 4 minggu
Adanya tanda yang relatif simetris

Temuan laboratorium yang mendukung diagnosis:

Peningkatan protein dalam CSS dengan jumlah sel <10 sel/l

Temuan elektrofisiologis mengenai adanya demyelinasi: melambatnya atau


terbloknya hantaran saraf

Diagnosis Banding
GBS harus dibedakan dari kondisi medis lainnya dengan gejala kelemahan motorik
subakut lainnya, antara lain sebagai berikut:
1. Miastenia gravis akut, tidak muncul sebagai paralisis asendens, meskipun terdapat
ptosis dan kelemahan okulomotor. Otot mandibula penderita GBS tetap kuat,
sedangkan pada miastenia otot mandibula akan melemah setelah beraktivitas;
selain itu tidak didapati defisit sensorik ataupun arefleksia.
2. Thrombosis arteri basilaris, dibedakan dari GBS dimana pada GBS, pupil masih
reaktif, adanya arefleksia dan abnormalitas gelombang F; sedangkan pada infark
batang otak terdapat hiperefleks serta refleks patologis Babinski
3. Paralisis periodik, ditandai oleh paralisis umum mendadak tanpa keterlibatan otot
pernafasan dan hipo atau hiperkalemia.
hal 27 dari 29

4. Botulisme, didapati pada penderita dengan riwayat paparan makanan kaleng yang
terinfeksi.13 Gejala dimulai dengan diplopia13 disertai dengan pupil yang nonreaktif pada fase awal, serta adanya bradikardia; yang jarang terjadi pada pasien
GBS.
5. Tick paralysis, paralisis flasid tanpa keterlibatan otot pernafasan; umumnya terjadi
pada anak-anak dengan didapatinya kutu (tick) yang menempel pada kulit.
6. Porfiria intermiten akut, terdapat paralisis respiratorik akut dan mendadak, namun
pada pemeriksaan urin didapati porfobilinogen dan peningkatan serum asam
aminolevulinik delta.
7. Neuropati akibat logam berat; umumnya terjadi pada pekerja industri dengan
riwayat kontak dengan logam berat. Onset gejala lebih lambat daripada GBS.
8. Cedera medulla spinalis, ditandai oleh paralisis sensorimotor di bawah tingkat lesi
dan paralisis sfingter. Gejala hamper sama yakni pada fase syok spinal, dimana
refleks tendon akan menghilang.
9. Poliomyelitis, didapati demam pada fase awal, mialgia berat, gejala meningeal,
yang diikuti oleh paralisis flasid asimetrik.
10. Mielopati servikalis. Pada GBS, terdapat keterlibatan otot wajah dan pernafasan
jika muncul paralisis, defisit sensorik pada tangan atau kaki jarang muncul pada
awal penyakit, serta refleks tendon akan hilang dalam 24 jam pada anggota gerak
yang sangat lemah dalam melawan gaya gravitasi.
Daftar Pustaka
1. Victor Maurice, Ropper Allan H. Adams and Victors Principles of neurology. 7 th edition.
USA: the McGraw-Hill Companies; 2001. p.1380-87.

2. Arnason Barry GW. Inflammatory polyradiculoneuropathies. In: Dyck PJ, Thomas PK,
Lambert EH. Peripheral neuropathies. Vol. II. USA: W. B. Saunders Company; 1975.
p.1111-48.
Guillain-Barre
Syndrome.
[Update:
2009].
Available
from:
http://www.caringmedical.com/conditions/Guillain-Barre_Syndrome.htm.

3. Guillain-Barr Syndrome. [update 2009]. Available from:


http://bodyandhealth.canada.com/condition_info_popup.asp
channel_id=0&disease_id=325&section_name=condition_info.
4. Bradley WG, Daroff RB, Fenichel GM, Marsden CD. Editors. Neurology in
clinical practice: the neurological disorders. 2nd edition. USA: ButterworthHeinemann; 1996. p.1911-16.
5. Gilroy John. Basic neurology. 2nd edition. Singapore: McGraw-Hill Inc.; 1992.
p.377-378.
6.
7. Guillain-Barr Syndrome. Available from: http://www.medicinenet.com/guillainbarre_syndrome/article.htm
8. Gutierrez Amparo, Sumner Austin J. Electromyography in neurorehabilitation. In: Selzer
ME, Clarke Stephanie, Cohen LG, Duncan PW, Gage FH. Textbook of neural repair and
rehabilitation Vol. II: Medical neurorehabilitation. UK: Cambridge University Press; 2006.
p.49-55.

dr Widodo Judarwanto SpA, Children Allergy clinic dan Picky Eaters Clinic Jakarta.
Phone 5703646 0817171764 70081995.
hal 28 dari 29

email : judarwanto@gmail.com,
KORAN INDONESIA SEHAT
Yudhasmara Publisher
Jl Taman Bendungan Asahan 5 Jakarta Pusat
Phone : (021) 70081995 5703646
http://koranindonesiasehat.wordpress.com/

hal 29 dari 29

Anda mungkin juga menyukai