Anda di halaman 1dari 6

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No.

1, (2012) 1-6

Perencanaan dan Pengendalian Proyek Periklanan


menggunakan Lean Critical Chain Project
Management dan S-Curve Monitoring
Dominggo Bayu Baskara dan Bustanul Arifin Noer
Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)
Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111
E-mail: dominggobayu@yahoo.com ; bustanul@ie.its.ac.id

AbstrakMengiklankan produk layanan ataupun program


terbaru merupakan aktivitas yang wajib dilakukan oleh
perusahaan begitu pula dengan Bank JATIM yang
mempercayakan pengerjaan proyek tersebut kepada agensi
periklanan PT Kompakindo Media Dewata. Pada pengerjaan
proyek periklanan terdapat berbagai macam waste yang dapat
menghambat performansi penyelesaian proyek. Perencanaan dan
pengendalian jadwal proyek yang efektif juga menjadi kebutuhan
penting dalam pengerjaan proyek.
Penelitian ini menerapkan metode identifikasi waste dengan
pendekatan Lean Thinking serta langkah apa saja yang dapat
diambil untuk memitigasinya. Dilakukan pula penyusunan ulang
jadwal pengerjaan proyek menggunakan metode Critical Chain
Project Management (CCPM) dan S-Curve Monitoring untuk
meningkatkan performansi melalui pemotongan durasi proyek
dengan tetap meminimalisasi risiko keterlambatan melalui
pemindahan waktu penyangga di akhir proyek.
Dari hasil penelitian didapatkan waktu penyangga
berjumlah 7 hari kerja . Apabila waktu penyangga tidak terpakai
maka durasi proyek menjadi 27 hari kerja dari sebelumnya 34
hari kerja. Hal ini dapat dicapai dengan meminimalisasi waste
dimana teridentifikasi terdapat delapan waste pada proyek
periklanan dan dua waste kritis yang dijadikan fokus penelitian
yaitu unsatisfied design dan waiting. Gambaran perencanaan
proyek dalam penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan pada
setiap
tahapan
pengelolaan
proyek-proyek
periklanan
mendatang.
Kata Kunci Periklanan, Lean Project, Waste, Critical Chain

I. PENDAHULUAN

ADA 2 dekade terakhir, industri periklanan kreatif


mengalami peningkatan performa secara signifikan. Faktor
utama dalam hal tersebut adalah perkembangan teknologi
media dan komunikasi digital. Sehingga saat ini aktifitas
periklanan mejadi semakin kreatif karena media yang tersedia
juga semakin bervariatif. Aktifitas periklanan menjadi lebih
kompleks karena dituntut dapat menggunakan semua media
yang tersedia baik cetak, televisi, radio, dan internet.
Diversifikasi media ini membuat manajemen perusahaan
periklanan harus melakukan efisiensi dalam berproduksi.
Besarnya biaya yang dikeluarkan suatu perusahaan dalam
menjalankan periklanan menjadikan biaya periklanan sebagai
salah satu penyumbang biaya yang sangat besar pada industri.
Secara umum proyek periklanan pada suatu perusahaan
tidak dilaksanakan sendiri melainkan diserahkan kepada agensi
periklanan yang akan menyusun strategi periklanan, pemilihan
media komunikasi, serta proses kreatif. Manajemen

perusahaan periklanan dituntut untuk mampu mengatur


aktifitas mereka dan memanfaatkan sumber daya yang ada
secara optimal sehingga dapat memberikan kepuasan kepada
perusahaan pengguna jasa periklanan. Keberadaan sistem
manajemen produksi proyek periklanan yang terstruktur akan
dapat memberikan keunggulan kompetitif bagi perusahaan
agensi periklanan. Filosofi produksi yang terstruktur salah
satunya dengan mengimplementasikan konsep Lean
Production, yaitu suatu konsep produksi yang bersih dari
waste sehingga aktifitas yang dijalankan menjadi lebih efektif
dan efisien. Konsep lean yang diimplementasikan dalam suatu
proyek atau yang biasa dikenal sebagai lean project
management diharapkan mampu mengoptimalkan kemampuan
manajemen pada proyek periklanan saat ini.
Proyek yang menjadi pengamatan pada penelitian ini adalah
proyek periklanan Bank Jatim untuk kuartal II tahun 2012.
Sebagai bank yang dimiliki oleh pemerintah daerah, sangatlah
penting agar program-program yang dimiliki oleh Bank Jatim
diketahui oleh masyarakat luas. Didasari dari hal tersebut,
maka secara berkala Bank Jatim membuat proyek periklanan
dengan memanfaatkan berbagai media yang ada, diantaranya:
TV Lokal, radio, papan reklame, serta website. Karena
banyaknya media yang dipergunakan maka nilai proyek untuk
merealisasikan hal tersebut mencapai puluhan juta rupiah serta
melibatkan banyak tenaga profesional kreatif. Untuk
memastikan kelancaran proses produksi, durasi proyek dimulai
dari tahap inisiasi hingga serah terima mencapai lebih dari satu
bulan. Proyek periklanan ini dikerjakan oleh PT. Kompakindo
Media Dewata sebagai agensi periklanan dan kontraktor
pelaksana proyek.
Begitu pula pada proyek ini membutuhkan penyusunan
strategi yang efektif dalam melakukan penajdwalan an
pengendalian proyek agar biaya yang diekeluarkan optimal.
Metode yang digunakan untuk mengoptimalkan pegerjaan
proyek yaitu dengan pendekatan lean. Lean project
management memiliki beberapa teknik yang dapat diterapkan
pada penjadwalan suatu proyek diantaranya Critical Chain dan
S-Curve Monitoring dengan harapan metode-metode ini dapat
menjadi standarisasi baru untuk pelaksanaan proyek di waktu
mendatang. Dengan mengaplikasikan konsep Lean, perusahaan
periklanan dapat meningkatkan kemampuan untuk mengatasi
kondisi ketidakpastian yang terjadi pada suatu proyek, dan
dapat memberikan value atau nilai tambah lebih kepada

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-6


konsumen dan pihak tim proyek. Penjadwalan baru akan
disusun dengan menggunakan Critical Chain Project
Management (CCPM) sebagai upaya untuk mengoptimalkan
waktu yang ada dengan terlebih dahulu mengidentifikasi
potensi waste yang dapat terjadi.. Untuk pengendalian dari
segi biaya akan dipergunakan metode S-Curve Monitoring
sehingga penjadwalan proyek akan menjadi lebih terukur
II. METODE PENELITIAN
A. Lean Project Management
Filosofi Lean pertama kali diterapkan oleh perusahaan
otomotif asal Jepang (Toyota). Konsep ini meyakini bahwa
dengan mengidentifikasi dan mengeliminasi waste bersamaan
dengan mengefisiensikan proses dapat mencapai suatu fase
dimana customer value terpenuhi.
Salah satu tahapan penting dalam pendekatan lean adalah
identifikasi aktivitas-aktivitas mana yang memberikan nilai
tambah dan tidak. Aktivitas yang tidak memberikan nilai
tambah sebaiknya dikurangi untuk meningkatkan efisiensi dan
efektivitas perusahaan. Dalam konteks ini, tipe aktivitas dalam
organisasi dapat dibedakan menjadi tiga yaitu (Hines dan
Taylor,2000) :
1. Value adding activity (VA), aktivitas ini memberikan
nilai tambah terhadap proses, baik pada aliran
informasi dan aliran fisik proses. Misalnya pada
proses pengecoran.
2. Non-value adding activity (NVA), aktivitas ini tidak
memberikan nilai tambah terhadap produk. Aktivitas
ini dapat dikategorikan sebagai waste yang dapat
menyebabkan proses tidak berjalan secara efisien.
3. Non-value adding but necessary activity (NNVA)
yakni aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah
akan tetapi tetap dibutuhkan untuk menjalankan
seluruh rangkaian proses Aktivitas ini tidak dapat
dihilangkan dan hanya bisa diminamilisir. Misalnya
adalah waktu set-up mesin.
Womack et al. (1996) mengidentifikasi delapan waste yang
terdapat dalam sebuah proyek. Definisi waste yang
dikembangkan oleh Womack menambah satu macam waste
dari definisi yang sudah ada sebelumnya dimana pendefinisian
waste sebelumnya terbagi menjadi seven waste (Ohno, 1988).
Yang membedakan antara seven waste dengan eight waste
Womack adalah penambahan waste baru yaitu design of goods
and services that do not satisfy customer needs.. Berikut ini
adalah penjabaran dari eight waste :
1. Defects in production
2. Overproduction of items no one wants
3. Inventory waiting to be processed.
4. Unneeded processing
5. Unnecessary transport of goods
6. Unnecessary movement of people
7. People waiting for input to work on
8. Design of goods and services that do not satisfy
customer needs

2
B. Critical Chain Project Management (CCPM)
Penjadawalan critical chain project management bertujuan
untuk menghindari masalah-masalah yang mungkin terjadi
seperti students syndrome, parkinson law dan keterbatasan
sumberdaya yang dapat mengakibatkan keterlambatan proyek.
Pada penjadwalan yang dibuat oleh pihak perusahaan saat ini,
waktu cadangan ditempatkan pada masing-masing aktivitas
sehingga dapat menyebabkan terjadinya students syndrome.
Perbedaan mendasar antara metode critical chain project
management dengan Critical Path Method (CPM) dan
Program Evaluation and Review Technique (PERT) adalah
waktu penyanggga (buffer time) yang dialokasikan diakhir
proyek (Steyn,2000). Pada CPM dan PERT tiap aktivitas
memiliki waktu penyangga sedangkan pada CCPM waktu
penyangga dialokasikan diakhir proyek. Untuk proyek
periklanan yang banyak melibatkan faktor manusia
dibandingkan mesin, metode CCPM lebih tepat diterapkan
untuk mengantisipasi gejala student syndrome pada proyek.
C. S-Curve Monitoring
Kurva-S atau S-Curve adalah salah satu metode
perencanaan dan kendali waktu pelaksanaan proyek yang
populer dalam perencanaan dan monitoring jadwal
pelaksanaan di proyek. Hampir sebagian besar proyek
mensyaratkan dan telah lama menggunakan kurva-s baik pada
proyek pemerintah maupun Swasta. Kurva-S merupakan
bentuk grafik hubungan antara waktu pelaksanaan proyek
dengan nilai akumulasi progres pelaksanaan proyek mulai dari
awal hingga proyek selesai. Kurva-S secara sederhana akan
terdiri atas dua grafik yaitu grafik yang merupakan rencana
dan grafik yang merupakan realisasi pelaksanaan. Perbedaan
garis grafik pada suatu waktu yang diberikan merupakan
deviasi yang dapat berupa Ahead (realisasi pelaksanaan lebih
cepat dari rencana) dan Delay (realisasi pelaksanaan lebih
lambat dari rencana). (Cioffi, 2004)
III. HASIL DAN DISKUSI
A. Lean Project Management
Melalui proses diskusi dan wawancara dengan pimpinan
proyek yaitu bapak Aries Widodo dilakukan klasifikasi tipe
aktivitas dalam organisasi (Hines dan taylor, 2000) untuk
mengetahui aktifitas apa saja yang tergolong value adding
(VA), necessary but non value adding (NNVA), dan non
value adding (NVA).
Dari hasil klasifikasi aktifitas tersebut diperoleh bahwa
keseluruhan aktivitas pengerjaan proyek yang dilakukan 78%
merupakan value adding activity, 22% tergolong necessary but
non value adding activity, dan 0% merupakan non value
adding activity Aktivitas non value adding (waste) akan
teridentifikasi pada saat pelaksanaan proyek di lapangan,
dimana aktivitas tersebut terjadi apabila pelaksanaan tidak
sesuai dengan perencanaan.
Identifikasi waste proyek turut juga dilakukan berdasarkan
wawancara dan kuesioner bersama pimpinan proyek serta
observasi lapangan penulis. Berikut ini merupakan waste yang

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-6


terjadi selama tahap implementasi proyek, dimana waste yang
terjadi diklasifikasikan berdasarkan konsep 8 waste (Womack,
1996).
1. Defect in production
Kondisi pada material atau dokumen yang masih
dibutuhkan namun mengalami kerusakan, diantaranya :
a. file data korup,
b. layout yang tidak jelas,
c. properti rusak
d. kesalahan pembuatan yang tidak sesuai spesifikasi
2. Overproduction
Menyediakan dan memproduksi material yang melebihi
kebutuhan, sehingga material tersebut tidak dipergunakan
secara optimal, antara lain :
a. Layout yang dibuat terlalu banyak walaupun tidak
semua dipakai
b. Adanya alternatif script yang tidak terpakai karena
keterbatasan durasi
c. Animasi yang dibuat melebihi kebutuhan
3. Inventory waiting to be processed
Adanya material yang belum dapat dipergunakan karena
masih harus menunggu material lain yang masih
diproduksi, misalnya musik pengiring video iklan yang
selesai terlebih dahulu karena masih ada pengambilan
gambar, berlaku sebaliknya
4. Unneeded processing
Proses yang tidak diperlukan serta tidak produktif. Misal:
a. pengambilan gambar yang diulang karena adanya
kesalahan
b. Terlalu banyak rapat
c. Pembelian ulang karena properti/wardrobe yang
cacat
5. Unnecessary transport of goods
Pergerakan aliran fisik dan informasi yang berlebihan
pada proses pengerjaan yang menyebabkan pemborosan
waktu, tenaga dan biaya, seperti pemindahan
perlengkapan pengambilan gambar/video dari satu lokasi
ke lokasi lain
6. Unnecessary movement of people
Dapat diartikan sebagai pergerakan pekerja yang tidak
produktif (berpindah, mencari, dan berjalan) seperti kru
produksi melakukan gerakan-gerakan yang tidak
diperlukan seperti mondar-mandir atau bersenda gurau
7. People waiting for input to work on
Adanya waktu yang tidak efektif yang membuat
tertundanya pekerjaan. Misalnya:
a. Adanya pihak yang datang terlambat
b. Kiriman alat-alat produksi yang terlambat
c. Penyelesaian pekerjaan yang molor sehingga
pekerjaan lain ikut menunggu
d. Menunggu perijinan
8. Design of goods and services do not satisfy customer
needs
Rancangan konsep yang tidak sesuai dengan harapan
konsumen ataupun desain iklan yang terlalu sulit untuk
dibuat sehingga menyebabkan adanya pengerjaan ulang
atau rework

No.
1
2
3
4
5
6
7
8

Tabel 1.
Hasil identifikasi critical waste pada proyek dengan kuisioner
Peringkat
Jenis Waste
Rangking Bobot
1 2 3 4 5 6 7 8
Defect
0 0 1 1 1 1 1 0
15
0.107143
Overproduction
0 2 1 0 1 0 0 1
20
0.142857
Inventory waiting
0 0 1 0 2 2 0 0
15
0.107143
Unneeded process
0 0 1 3 0 1 0 0
19
0.135714
Unnecessary transportation 0 0 0 0 0 0 3 2
3
0.021429
Unnecessary movement
0 0 0 1 0 1 1 2
7
0.05
Waiting
1 2 1 0 1 0 0 0
27
0.192857
Unsatisfied design
4 1 0 0 0 0 0 0
34
0.242857
Bobot
7 6 5 4 3 2 1 0
140

Setelah didapatkan klasifikasi waste, langkah selanjutnya


adalah mencari waste yang paling berpengaruh (critical waste)
melalui penyebaran kuisioner kepada 5 responden yang terlibat
dalam produksi proyek periklanan, terdiri atas : creative
director, fotografer, music director, sutradara, dan perwakilan
pemilik proyek. Didapatkan hasil seperti pada Tabel 1, dimana
Unsatisfied design menempati peringkat pertama disusul
dengan waiting sebagai critical waste.
Desain tidak
dapat dipahami

Man
Kurang komunikasi
& pengawasan

Machine

Pekerjaan kurang
detail

Beban kerja
manajer proyek
Terlalu besar
Pekerjaan tidak
sesuai spesifikasi

Unsatisfied
Design
Desain terlalu
sulit direalisasikan
Perubahan keinginan

Environment

kekurangan informasi
Dalam riset

Method

Material

Gambar. 2. RCA critical waste unsatisfied design.


Man

Machine

Pekerja kurang terampil


Pekerja terlambat

Metode yang
terlalu lama
Pengiriman terlambat
Desain terlalu
sulit direalisasikan

Kesalahan
memperkirakan
lingkungan

Waiting
Shortage
material
Pengiriman material
terlambat

Perubahan keinginan

Environment

kekurangan informasi
Dalam riset

Method

Material

Gambar. 2. RCA critical waste waiting.

Setelah waste yang paling berpengaruh (critical waste) telah


teridentifikasi maka selanjutnya dilakukan langkah identifikasi
akar penyebabnya. Proses Identifikasi tersebut menggunakan
metode RCA dan hasilnya dapat dilihat pada Gambar 1 dan
Gambar 2 untuk masing-masing critical waste. Dengan
mengetahui akar permasalahan maka akan dapat diidentifikasi
langkah-langkah apa saja yang dapat dilakukan untuk
mencegah terjadinya waste tersebut. Untuk itulah dilakukan

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-6


pengembangan respon teknis bila gejala-gejala waste mulai
terindikasi. Beberapa solusi mitigasi yang dapat diterapkan
oleh perusahaan untuk mengurangi waste dan meningkatkan
efisiensi adalah penggunaan teknologi komunikasi,
standarisasi pembuatan layout dan script, standarisasi aktivitas
survey lokasi, peningkatan pengawasan, pemberian sanksi
keterlambatan, membangun kemitraan jangka panjang dengan
supplier, dan proses riasan model dilakukan di tempat terpisah.
B. Critical Chain Project Management (CCPM)
Identifikasi waste pada pengolahan data sebelumnya
bertujuan untuk mengetahui tingkat dampak waste khususnya
unsatisfied design dan waiting, yang keduanya adalah waste
yang paling berpengaruh, terhadap durasi waktu pekerjaan
proyek. Dengan mengetahui dampak tersebut, maka akan
dibuat rekomendasi perbaikan melalui penjadwalan proyek
yang menggunakan metode Critical Chain(CCPM), khususnya
dalam menentukan ukuran project buffernya serta lokasi
penempatan feeding buffer.
Sebelum melakukan penjadwalan dengan metode critical
chain project management, pertama-tama dimulai dengan
melihat penjadwalan awal proyek. Dari kondisi penjadwalan
awal proyek, diketahui bahwa durasi proyek yang
direncanakan berjumlah 34 hari kerja atau 46 hari kalender
dan berada pada rentang waktu 13 Februari 2012 sampai
dengan 30 Maret 2012. Dari penjadwalan tersebut juga
disusun gantt chart umum dan WBS proyek berdasarkan
Kerangka Acuan Kerja (KAK) proyek untuk mengetahui
lintasan kritis proyek.
Lintasan kritis adalah aktifitas yang memiliki total float
(waktu tunda) = 0. Melalui pendekatan lean, identifikasi
lintasan kritis apat membantu pihak manajemen proyek untuk
memonitor rangkaian pekerjaan mana yang harus lebih
diperhatikan karena apabila rangkaian pekerjaan tersebut
mengalami kemunduran, maka akan berakibat pada
kemunduruan penyelesaian proyek.
Penjadwalan
awal diidentifikasi masih menerapkan
metode penjadwalan CPM (Critical Path Method). Dimana
berbeda dari kondisi aktual pelaksanaan, waktu pengerjaan
beberapa aktifitas berlangsung lebih cepat. Hal ini sebenarnya
juga telah diprediksi agensi periklanan sebagai kontraktor
pelaksana proyek. Tetapi dengan sengaja melebihkan waktu
cadangan untuk menghindari resiko keterlambatan.
Kelemahan-kelemahan dari metode penjadwalan awal yang
berbasis CPM diantaranya ialah adanya pemberian waktu
cadangan di tiap aktivitas, yang pada umumnya berupa
konversi ke dalam kapasitas atau produktivitas kerja, sehingga
sumber daya cenderung untuk menghabiskan waktu yang ada,
padahal pekerjaan bisa dilakukan lebih cepat dari itu. Proyek
periklanan yang sebagian besar didominasi aktivitas jasa,
kecenderungan kejadian Students Syndrome sangat tinggi.
Students syndrome ialah kebiasaan manusia untuk
menyelesaikan tugas atau pekerjaan ketika sudah mendekati
deadline sehingga pengumpulan aktivitas terjadi di periode
akhir.
Penelitian ini pada dasarnya memberikan rekomendasi
penjadwalan dengan pendekatan Critical Chain atau biasa
dikenal dengan metode CCPM (Critical Chain Project
Management). Metode penjadwalan CCPM merupakan

4
pengembangan dari metode CPM. Perbedaan secara teoritis
terletak pada penentuan letak waktu cadangan dan resource
allocation. Dimana CCPM memindahkan waktu cadangan atau
time buffer pada periode akhir proyek. Sehingga dapat
mempercepat pengerjaan proyek sejumlah banyaknya waktu
cadangan, tentunya dengan asumsi bahwa waktu cadangan
tersebut tidak terpakai. Miinimasi waste dapat memperkecil
peluang pemakaian waktu cadangan.
Penentuan ukuran buffer didapatkan melalui perhitungan.
Perhitungan yang lebih dianjurkan ialah dengan dihitung
berdasarkan metode penjumlahan akar pangkat dua atau
Square Root Of The Sum Of The Squares (SSQ) (Herroelen,
2001). Metode ini menggunakan dua parameter waktu yakni
waktu standar rata-rata yang diasumsikan sebagai waktu yang
masih menyimpan waktu cadangan (S) dan waktu tercepat (A)
yang diasumsikan tanpa waktu cadangan. Besar buffer dapat
dihitung menggunakan persamaan

Hasil perhitungan menggunakan rumus SSQ didapatkan


ukuran dan alokasi buffer time yang terdiri atas project buffer
sebesar 7 hari dengan feeding buffer sebanyak 2 hari yang
diletakkan sebelum WBS 1.3.1 yaitu pekerjaan pembuatan
desain iklan yang teridentifikasi memiliki peluang
menimbulkan waste sehingga memerlukan buffer untuk
meminimasi risiko tersebut. Feeding buffer dalam proyek
periklanan Bank Jatim, diletakkan sebelum pekerjaan
pembuatan script dimulai, hal ini untuk melindungi pekerjaan
pembuatan script yang merupakan pekerjaan kritis. Penentuan
sifat pekerjaan tersebut, merupakan hasil diskusi dengan pihak
pelaksana proyek. Selain itu, data pengukuran critical waste
juga melihat besarnya pengaruh pembuatan desain (script dan
layout) pada proyek yang mana tergolong sebagai waste
unsatisfied design. Didasari hal tersebut, perlu dialokasikan
feeding buffer dengan tujuan agar variasi dari pekerjaan
tersebut tidak menggangu pekerjaan kritis.
Project buffer dapat dikonsumsi oleh rantai kritis lain yang
tidak mendapatkan feeding buffer. Walaupun peluang kejadian
penggunaan project buffer sebaiknya dapat diminimalkan
untuk mencapai performansi kesuksesan pelaksanaan proyek
yang lebih baik. Upaya tersebut dapat diraih melalui
identifikasi langkah-langkah untuk mereduksi waste, sebab
kejadian waste pada proyek memiliki dampak-dampak yang
memaksa tim pelaksana proyek harus menggunakan project
buffer tersebut.
Setelah kedua nilai buffer time didapatkan maka disusun
penjadwalan CCPM dengan memasukkan buffer time ke dalam
jadwal baru. Durasi penyelesaian proyek apabila project buffer
terkonsumsi secara keseluruhan adalah 34 hari kerja, atau
sama dengan jumlah durasi awal. Apabila buffer time tidak
dipergunakan maka penghematan yang dapat dicapai sebanyak
7 hari kerja yaitu penurunan total durasi menjadi 27 hari
kerja.
Dari sisi perusahaan, percepatan penyelesaian proyek dapat
berdampak positif yaitu berkurangnya biaya, salah satunya
biaya tenaga kerja. Mengingat jenis proyek periklanan
merupakan jenis proyek jasa maka tenaga yang dipergunakan

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-6


adalah tenaga profesional terlatih berkeahlian khusus.
Umumnya tenaga profesional ini tidak dibayar berdasarkan
perhitungan jumlah hari. Akan tetapi tenaga profesional ini
dibantu oleh pekerja tak terampil yang memiliki kemampuan
yang lebih umum. Tenaga tak terampil ini contohnya kru
produksi, pembantu umum, perlengkapan, sopir, dan lain
sebagainya.
Berikut merupakan estimasi rata-rata biaya tenaga kerja
yang dapat dihemat perusahaan. Proses perhitungannya
menggunakan asumsi. Apabila diasumsikan rata-rata jumlah
minimal pekerja tak terampil yang dipakai di tiap departemen
produksi (kreatif, fotografi, radio, dan video) berjumlah 3.
Sehingga rata-rata total tenaga kerja tak terampil per hari
berjumlah 12 orang (namun tentu saja komposisi dan jumlah
pekerja tiap harinya berbeda-beda.) dengan rata-rata
penerimaan gaji per hari sebesar Rp 40.000,00 per orang.
Sedangkan durasi penyelesaian proyek dengan asumsi project
buffer tidak terkonsumsi adalah 27 hari kerja, atau selisih 7
hari kerja dari penjadwalan saat ini. Maka besar penghematan
dapat dihitung dengan mengkalikan nilai upah rata-rata per
hari dengan jumlah hari kerja dan dengan jumlah tenaga kerja.
Hasilnya nilai dalam rupiah yang dapat dihemat adalah sebesar
Rp 40.000,00 X 12 X 7 = Rp 3.360.000,00
Identifikasi waktu akibat potensi timbulnya waste akan
berujung pada penggunaan durasi project buffer yang didesain
sebagai waktu aman pengerjaan proyek. Kejadian ini
sesungguhnya tidaklah diharapkan karena hal ini dapat secara
langsung memperbesar beban biaya proyek melalui
pertambahan durasi. Untuk itu dibutuhkan alat pengendalian
penjadwalan yang mampu melibatkan faktor ketidakpastian.
Dimana pada metode CCPM, alat tersebut berupa buffer
management yang berfungsi mengawasi konsumsi buffer time.
Konsumsi buffer time tersebut akan menentukan kapan pihak
pelaksana proyek melakukan tindakan berdasarkan pemetaan
jumlah buffer time yang dikonsumsi. Pihak pelaksana perlu
mengontrol untuk mengambil tindakan terkait dengan
penggunaan durasi project buffer, yakni dengan melihat
seberapa besar durasi yang termakan,. Tabel 2 menguraikan
analisa perhitungan zona konsumsi Project Buffer.
Tabel 2.
Zona konsumsi buffer time
Zona pemakaian buffer

Project Buffer

Durasi yang telah terpakai (hari)

0%-33%
34%-66%
67%-100%

7
7
7

0-2
3-5
>5

Saat konsumsi buffer baru mencapai durasi terpakai


sebesar 0-2 hari, maka posisi pemakaian durasi tersebut masih
berada pada zona hijau yang berarti belum ada yang harus
dilakukan. Namun, bilamana konsumsi buffer berada mencapai
zona kuning, maka pihak pelaksana sudah harus merencanakan
langkah-langkah mitigasi yang harus ditempuh agar buffer
tidak terpakai seluruhnya. Langkah-langkah tersebut akan
diimplementasikan ketika pemakaian buffer berada pada zona
merah. Karena pada saat buffer telah terpakai hingga lebih dari
5 hari, maka peluang kejadian proyek untuk terlambat dari
jadwal yang telah disepakati pada kontrak akan sangat tinggi.

5
C. S-Curve Monitoring
Kurva-S atau S-Curve adalah salah satu metode
perencanaan dan kendali waktu pelaksanaan proyek yang
populer dalam perencanaan dan monitoring jadwal
pelaksanaan di proyek. Hampir sebagian besar proyek
mensyaratkan dan telah lama menggunakan kurva-s baik pada
proyek pemerintah maupun Swasta. Sayangnya saat ini,
berdasarkan hasil pengamatan penulis, hampir jarang ditemui
pemakaian kurva S dalam proyek periklanan. Seperti halnya
pada proyek periklanan Bank Jatim, juga tidak menerapkan
penggunaan kurva S sebagai alat bantu kontrol proyek.
Untuk itu dalam penelitian ini mencoba membangun kurvaS tersebut menggunakan perbandingan antara total biaya tiap
pekerjaan dengan total biaya proyek. Nilai bobot yang
digabungkan dengan gantt chart penjadwalan proyek akan
membentuk Kurva-S untuk masing- masing penjadwalan.
Hasilnya seperti pada Gambar 3 didapatkan perbandingan
Kurva-S antara penjadwalan awal dengan penjadwalan CCPM.

Gambar. 3. Perbandingan
pencapaian proyek.

Kurva-S

yang

menunjukkan

perbedaan

Selain memberikan hasil perbandingan, Gambar 3 juga


memberikan gambaran kondisi pelaksanaan proyek apabila
kondisi ideal tercapai. Kondisi ideal yang dimaksudkan adalah
buffer time tidak ada yang terpakai dan tidak terjadi waste
pada proyek. Apabila dimisalkan, hasil penjadwalan metode
CCPM sebagai kondisi perencanaan proyek (kondisi ideal),
dan penjadwalan awal sebagai kondisi kritis karena seluruh
buffer time terpakai, maka akan didapatkan visualisasi
sederhana bagaimana kurva S melakukan peran pengendalian
pada proyek.
Dimisalkan pada mulanya proyek berjalan secara ideal,
hingga mulai tanggal 22 Februari pencapaian aktual tidak
sesuai dengan perencanaan akibat adanya waste. Bila waste
tersebut tidak segera tertangani, maka akan terjadi
keterlambatan dan selisih pencapaian dengan kondisi ideal
semakin jauh. Apabila waste tidak berhasil ditangani dan
pergerakan kurva pencapaian aktual bergerak bahkan di bawah
proggress awal (kondisi kritis) atau di bawah garis hijau, maka
dapat dipastikan proyek akan terlambat dari perjanjian pada
kontrak.
Melihat hasil visualisasi sederhana ini disimpulkan bahwa
kontaktor dapat memanfaatkan kurva S sebagai alat pengendali
jadwal dan biaya untuk proyek periklanan.

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-6


IV. KESIMPULAN/RINGKASAN
Fungsi utama dari pengerjaan proyek adalah untuk
mencapai hasil yang telah disepakati dalam kontrak dan
memenuhi 3 tujuan pengerjaan proyek yaitu biaya yang
minimal, waktu yang optimal dan kualitas yang memenuhi
kepuasan
konsumen.
Dengan
menerapkan
aplikasi
penjadwalan dengan pendekatan lean thinking maka hal
tersebut terbukti mampu memenuhi tujuan pengerjaan proyek.
Untuk membangun penjadwalan berbasis lean, maka
terlebih dahulu melakukan identifikasi waste pada proyek.
waste yang telah teridentifikasi dan diketahui langkah mitigasi
akan memperkecil pelang keterlambatan proyek. Dengan
melakukan penggabungan metode penjadwalan CCPM
dengan metode evaluasi pencapaian dari S-Curve Monitoring
akan menghasilkan penjadwalan dan pengeluaran biaya yang
efektif.
Waste yang sering terjadi (waste kritis) pada proyek
periklanan adalah unsatisfied design dan waiting yang didapat
berdasarkan hasil kuesioner dengan pihak kontraktor
pelaksana proyek dan sub-contractor produksi. Rekomendasi
respon teknis atau solusi mitigasi yang dapat dipergunakan
untuk mencegah potensi risiko timbulnya waste adalah
penggunaan teknologi komunikasi, standarisasi pembuatan
layout dan script, standarisasi aktivitas survey lokasi,
peningkatan pengawasan, pemberian sanksi keterlambatan,
membangun kemitraan jangka panjang dengan supplier, dan
proses riasan model dilakukan di tempat terpisah.
Hasil perhitungan penjadwalan menggunakan metode
CCPM, didapatkan waktu penyangga sebesar 7 hari sehingga
estimasi durasi penyelesaian proyek apabila waktu penyangga
atau buffer time tidak terkonsumsi adalah 27 hari. Besarnya
nilai penghematan biaya tenaga kerja melalui penjadwalan
menggunakan metode CCPM dengan kondisi waktu
penyangga tidak terpakai ialah sebesar Rp 3.360.000,00

[1]

[2]

[3]
[4]

[5]

DAFTAR PUSTAKA
Hines, P. & Taylor, D. 2000. Going Lean. Lean Enterprise
research Center Cardiff Business School, USA.Moubray,
J., Reliability Centered Maintenance (RCM) II, 2nd Ed.
New York: Industrial Press (1997)
Womack, J. & Jones, D. 1996. Lean Thinking: Banish
Waste And Create Wealth in Your Corporation, Simon
and Schuster, New York
Ohno, T. 1988. Toyota Production System: Beyond
Large-Scale Production, Productivity Press, Portland
Steyn, Herman. 2000. An investigation into the
fundamentals of critical chain project scheduling.
International Journal of Project Management, 19, 363
369
Cioffi, D. F. 2005. A tool for managing projects: an
analytic parameterization of the S-curve. International
Journal of Project Management, 23, 215222
.

Anda mungkin juga menyukai