Anda di halaman 1dari 20

Amisani Lestari

Monday, October 28, 2013


Aspek Fundamental Ekonomi Islam

Aspek Fundamental Ekonomi Islam


( Maisir, Gharar, Riba, Ikhtikar, Tadlis ,Iktinaz dan Zulm )
1. Maisir
Kata Maisir dalam bahasa Arab arti secara harfiah adalah memperoleh sesuatu dengan
sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja. Yang biasa juga
disebut berjudi. Istilah lain yang digunakan dalam al-Quran adalah kata `azlam` yang berarti
praktek perjudian.Judi dalam terminologi agama diartikan sebagai suatu transaksi yang
dilakukan oleh dua pihak untuk kepemilikan suatu benda atau jasa yang mengguntungkan
satu pihak dan merugikan pihak lain dengan cara mengaitkan transaksi tersebut dengan suatu
tindakan atau kejadian tertentu.
Prinsip berjudi adalah terlarang, baik itu terlibat secara mendalam maupun hanya
berperan sedikit saja atau tidak berperan sama sekali, mengharapkan keuntungan semata
(misalnya hanya mencoba-coba) di samping sebagian orang-orang yang terlibat melakukan
kecurangan, kita mendapatkan apa yang semestinya kita tidak dapatkan, atau menghilangkan
suatu kesempatan. Melakukan pemotongan dan bertaruh benar-benar masuk dalam kategori
definisi berjudi. Judi pada umumnya (maisir) dan penjualan undian khususnya (azlam) dan
segala bentuk taruhan, undian atau lotre yang berdasarkan pada bentuk-bentuk perjudian
adalah haram di dalam Islam. Rasulullah s.a.w melarang segala bentuk bisnis yang
mendatangkan uang yang diperoleh dari untung-untungan, spekulasi dan ramalan atau
terkaan (misalnya judi) dan bukan diperoleh dari bekerja.
Diriwayat oleh Abdullah bin Omar bahwa Rasulullah s.a.w. melarang berjualbeli yang
disebut habal-al-habla semacam jual beli yang dipraktekkan pada zaman Jahiliyah. Dalam
jual beli ini seseorang harus membayar seharga seekor unta betina yang unta tersebut belum
lahir tetapi akan segera lahir sesuai jenis kelamin yang diharapkan.Diriwayatkan oleh
beberapaa sahabat Nabi, termasuk Jabir, Abu Hurairah, Abu Said Khudri, Said bin Al
Musayyib dan Rafiy bin Khadij bahwa Rasulullah s.a.w. melarang transaksi muzabanah dan
muhaqalah
Kedua jenis bisnis transaksi diatas sangat merakyat pada zaman sebelum Islam.
Muzabanah adalah tukar menukar buah yang masih segar dengan yang sudah kering dengan
cara bahwa jumlah buah yang kering sudah dapat dipastikan jumlahnya sedangkan buah yang
segar ditukarkan hanya dapat ditebak karena masih berada di pohon. Sama halnya dengan
muhaqalah yaitu penjualan gandum ditukar dengan gandum yang masih ada dalam bulirnya
yang jumlahnya masih ditebak-tebak.

Disebabkan karena kejahatan judi itu lebih parah dari pada keuntungan yang diperolehnya,
maka dalam Al-Qur`an, Allah swt sangat tegas dalam melarang maisir (judi dan
semacamnya) sebagaimana ayat berikut:
Mereka akan bertanya kepadamu tentang minuman keras dan judi, katakanlah: pada
keduanya terdapat dosa besar dan manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar dari pada
manfaatnya (QS. Al Baqarah 2:219)
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, maisir, berhala, mengundi nasib
dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan, maka jauhilah perbuatanperbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan (QS al-Maaidah 5:90)
Ayat di atas secara tegas menunjukkan keharaman judi. Slain judi itu rijs yang berarti
busuk, kotor, dan termasuk perbuatan setan, ia juga sangat berdampak negatif pada semua
aspek kehidupan. Mulai dari aspek ideologi, politik, ekonomi, social, moral, sampai budaya.
Bahkan , pada gilirannya akan merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebab, setiap perbuatan yang melawan perintah Allah SWT pasti akan mendatangkan celaka.
Perhatikan Firman Allah SWT selanjutnya tentang efek negatif yang dapat ditimbulkan oleh
judi:
Sesungguhnya setan itu bermaksud permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran
(meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan Shalat,
maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). (QS. Al-Maidah, 5:91)
Karena itu merupakan perbuatan setan, maka wajar jika kemudian muncul upaya-upaya untuk
menguburkan makna judi. Sebab salah satu tugas setan, yang terdiri dari jin dan manusia,
adalah mengemas sesuatu yang batil (haram) dengan kemasan bisnis yang baikdan menarik,
atau dengan nama-nama yang indah, cantik, dan memiliki daya tarik, hingga tampaknya
seakan-akan halal. Allah SWT berfirman:
Dan demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis)
manusia dan (dari jenis) jin. Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain
perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu manusia (QS. Al-An`am: 112)
2. Gharar
Menurut bahasa Arab, makna al-gharar adalah, al-khathr yaitu pertaruhan. Sehingga
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan, al-gharar adalah yang tidak jelas hasilnya
(majhul al-aqibah) . Sedangkan menurut Syaikh As-Sadi, al-gharar adalah al-mukhatharah
(pertaruhan) dan al-jahalah (ketidak jelasan). Perihal ini masuk dalam kategori perjudian.
Sehingga, yang dimaksud jual beli gharar adalah semua jual beli yang mengandung
ketidakjelasan ; pertaruhan, atau perjudian.

HUKUM GHARAR
Dalam syariat Islam, jual beli gharar ini terlarang. Dengan dasar sabda Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang berbunyi.
Artinya : Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melarang jual beli al-hashah dan jual beli
gharar
Dalam sistem jual beli gharar ini terdapat unsur memakan harta orang lain dengan cara batil.
Padahal Allah melarang memakan harta orang lain dengan cara batil sebagaimana tersebut
dalam firmanNya.

Artinya : Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan
berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui [Al-Baqarah : 188]
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama
suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu ; sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang kepadamu [An-Nisaa : 29]

HIKMAH LARANGAN JUAL BELI GHARAR


Diantara hikmah larangan julan beli ini adalah, karena nampak adanya pertaruhan dan
menimbulkan sikap permusuhan pada orang yang dirugikan. Yakni bisa menimbulkan
kerugian yang besar kepada pihak lain. Larangan ini juga mengandung maksud untuk
menjaga harta agar tidak hilang dan menghilangkan sikap permusuhan yang terjadi pada
orang akibat jenis jual beli ini.

PENTINGNYA MENGENAL KAIDAH GHARAR


Dalam masalah jual beli, mengenal kaidah gharar sangatlah penting, karena banyak
permasalahan jual-beli yang bersumber dari ketidak jelasan dan adanya unsur taruhan di
dalamnya. Imam Nawawi mengatakan : Larangan jual beli gharar merupakan pokok penting
dari kitab jual-beli. Oleh karena itu Imam Muslim menempatkannya di depan. Permasalahan
yang masuk dalam jual-beli jenis ini sangat banyak, tidak terhitung

JENIS GHARAR
Dilihat dari peristiwanya, jual-beli gharar bisa ditinjau dari tiga sisi.
Pertama : Jual-beli barang yang belum ada (madum), seperti jual beli habal al habalah
(janin dari hewan ternak).
Kedua : Jual beli barang yang tidak jelas (majhul), baik yang muthlak, seperti pernyataan
seseorang : Saya menjual barang dengan harga seribu rupiah, tetapi barangnya tidak
diketahui secara jelas, atau seperti ucapan seseorang : Aku jual mobilku ini kepadamu
dengan harga sepuluh juta, namun jenis dan sifat-sifatnya tidak jelas. Atau bisa juga karena
ukurannya tidak jelas, seperti ucapan seseorang : Aku jual tanah kepadamu seharga lima
puluh juta, namun ukuran tanahnya tidak diketahui.
Ketiga : Jual-beli barang yang tidak mampu diserah terimakan. Seperti jual beli budak yang
kabur, atau jual beli mobil yang dicuri. Ketidak jelasan ini juga terjadi pada harga, barang dan
pada akad jual belinya.
Ketidak jelasan pada harga dapat terjadi karena jumlahnya, seperti segenggam Dinar.
Sedangkan ketidak jelasan pada barang, yaitu sebagaimana dijelaskan di atas. Adapun
ketidak-jelasan pada akad, seperti menjual dengan harga 10 Dinar bila kontan dan 20 Dinar
bila diangsur, tanpa menentukan salah satu dari keduanya sebagai pembayarannya.
Syaikh As-Sadi menyatakan : Kesimpulan jual-beli gharar kembali kepada jual-beli
madum (belum ada wujudnya), seperti habal al habalah dan as-sinin, atau kepada jual-beli
yang tidak dapat diserahterimakan, seperti budak yang kabur dan sejenisnya, atau kepada
ketidak-jelasan, baik mutlak pada barangnya, jenisnya atau sifatnya

GHARAR YANG DIPERBOLEHKAN


Jual-beli yang mengandung gharar, menurut hukumnya ada tiga macam.

Yang disepakati larangannya dalam jual-beli, seperti jual-beli yang belum ada wujudnya
(madum).
Disepakati kebolehannya, seperti jual-beli rumah dengan pondasinya, padahal jenis dan
ukuran serta hakikat sebenarnyatidak diketahui. Hal ini dibolehkan karena kebutuhan dan
karena merupakan satu kesatuan, tidak mungkin lepas darinya.
Imam An-Nawawi menyatakan, pada asalnya jual-beli gharar dilarang dengan dasar
hadits ini. Maksudnya adalah, yang secara jelas mengandung unsur gharar, dan mungkin
dilepas darinya. Adapun hal-hal yang dibutuhkan dan tidak mungkin dipisahkan darinya,
seperti pondasi rumah, membeli hewan yang mengandung dengan adanya kemungkinan yang
dikandung hanya seekor atau lebih, jantan atau betina. Juga apakah lahir sempurna atau cacat.
Demikian juga membeli kambing yang memiliki air susu dan sejenisnya. Menurut ijma,
semua (yang demikian) ini diperbolehkan. Juga, para ulama menukilkan ijma tentang
bolehnya barang-barang yang mengandung gharar yang ringan. Di antaranya, umat ini
sepakat mengesahkan jual-beli baju jubah mahsyuwah
Ibnul Qayyim juga mengatakan : Tidak semua gharar menjadi sebab pengharaman.
Gharar, apabila ringan (sedikit) atau tidak mungkin dipisah darinya, maka tidak menjadi
penghalang keabsahan akad jual beli. Karena, gharar (ketidak jelasan) yang ada pada pondasi
rumah, dalam perut hewan yang mengandung, atau buah terakhir yang tampak menjadi bagus
sebagiannya saja, tidak mungkin lepas darinya. Demikian juga gharar yang ada dalam
hammam (pemandian) dan minuman dari bejana dan sejenisnya, adalah gharar yang ringan.
Sehingga keduanya tidak mencegah jual beli. Hal ini tentunya tidak sama dengan gharar yang
banyak, yang mungkin dapat dilepas darinya.
Dalam kitab lainnya, Ibnul Qayyim menyatakan, terkadang, sebagian gharar dapat
disahkan, apabila hajat mengharuskannya. Misalnya, seperti ketidaktahuan mutu pondasi
rumah dan membeli kambing hamil dan yang masih memiliki air susu. Hal ini disebabkan,
karena pondasi rumah ikut dengan rumah, dan karena hajat menuntutnya, lalu tidak mungkin
melihatnya.
Dari sini dapat disimpulkan, gharar yang diperbolehkan adalah gharar yang ringan,
atau ghararnya tidak ringan namun tidak dapat melepasnya kecuali dengan kesulitan. Oleh
karena itu, Imam An-Nawawi menjelaskan bolehnya jual beli yang ada ghararnya apabila ada
hajat untuk melanggar gharar ini, dan tidak mungkin melepasnya kecuali dengan susah, atau
ghararnya ringan.

Gharar yang masih diperselisihkan, apakah diikutkan pada bagian yang pertama atau kedua?
Misalnya ada keinginan menjual sesuatu yang terpendam di tanah, seperti wortel, kacang
tanah, bawang dan lain-lainnya.
Para ulama sepakat tentang keberadaan gharar dalam jual-beli tersebut, namun masih
berbeda dalam menghukuminya. Adanya perbedaan ini, disebabkan sebagian mereka
diantaranya Imam Malik- memandang ghararnya ringan, atau tidak mungkin dilepas darinya
dengan adanya kebutuhan menjual, sehingga memperbolehkannya. Dan sebagian yang lain di
antaranya Imam Syafii dan Abu Hanifah- memandang ghararnya besar, dan memungkinkan
untuk dilepas darinya, shingga mengharamkannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim merajihkan pendapat yang
membolehkan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan : Dalam permasalahan ini,
madzhab Imam Malik adalah madzhab terbaik, yaitu diperbolehkan melakukan jual-beli
perihal ini dan semua yang dibutuhkan, atau sedikit ghararnya ; sehingga memperbolehkan
jual-beli yang tidak tampak di permukaan tanah, seperti wortel, lobak dan sebagainya

Sedangkan Ibnul Qayyim menyatakan, jual-beli yang tidak tampak di permukaan


tanah tidak memiliki dua perkara tersebut, karena ghararnya ringan, dan tidak mungkin di
lepas.
3. Riba

Dalam bahasa arab riba secara harfiah berarti pertumbuhan, kelebihan dan tambahan.
Sedangkan dalam istilah syara, riba didefinisikan sebagai tambahan pada barang-barang
tertentu. Ini adalah definisi riba menurut ulama hambali dalam kitab kanzul umaal, sebab
kitab dalam mazhab hanafi riba diartikan sebagai tambahan- tambahan tanpa imbalan dalam
transaksi harta dengan harta. Maksud tambahan disini adalah tambahan harta meski secara
hukmi saja, sehingga definisi ini mencakup riba nasiah dan jenis jenis akad jual beli yang
fasid (rusak). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar
. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau
modal secara bathil.. Riba diharamkan berdasarkan Al- Quran, Sunnah dan Ijma.
Allah berfirman dalam Al-Quran :
Al-Baqarah Ayat 275
Orang-orang yang makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. Keadaan
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti
(dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba),
maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
[174]
Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang
disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan
barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan
mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan
sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini riba nasiah yang berlipat ganda yang umum
terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
[175]
Maksudnya: orang yang mengambil riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan
syaitan.
[176]
Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.
Al-Baqarah Ayat 276
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah [177] . Dan Allah tidak menyukai setiap
orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa [178].
[177]
Yang dimaksud dengan memusnahkan riba ialah memusnahkan harta itu atau meniadakan
berkahnya . Dan yang dimaksud dengan menyuburkan sedekah adalah memperkembangkan
harta yang telah dikeluarkan sedekahnya atau melipat gandakan berkahnya.
[178]
maksudnya ialah orang-orang yang menghalalkan riba dan tetap melakukannya.
Al-Baqarah Ayat 278
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang
belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
Al-Baqarah Ayat 279
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah
dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka
bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.

Al-Imran Ayat 130 ,131 & 132


Hai orang- orang yang beriman janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda [228]
dan bertawakkallah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
[228]
Yang dimaksud riba disini ialah riba nasiah. Menurut sebagian besar ulama bahwa riba
nasiah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda.
Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.
Perintah taat kepada Allah dan Rasul serta sifat-sifat orang-orang yang bertakwa.
Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat.
An-Nisa Ayat 161
Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang dari
padanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah
menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.
Ar-Rum 39
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia,
maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang
kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah
orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
Pelarangan riba dalam Islam tidak hanya merujuk pada Al-Quran, melainkan juga AlHadits. Hal ini sebagaimana posisi umum hadits yang berfungsi untuk menjelaskan lebih
lanjut aturan yang telah digariskan melalui Al-Quran, pelarangan riba hadits terinci. Dalam
amanat terakhirnya pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriah, Rasulullah saw masih
menekankan sikap Islam yang melarang riba.
Adapun sunnah mengenal ada tujuh hal yang merusak (as-sabul muwbiqaat )
disebutkan bahwa salah satunya adalah memakan riba. Di riwayatkan oleh Muslim dari Abu
Hurairrah r.a bahwa Rasulullah bersabda :
Jauhilah tujuh hal yang mengahncurkan, para sahabat bertanya, Apa saja,wahai
Rasulullah ?, Beliau menjawab, syirik terhadap Allah, sihir, membunuh jiwa yang
diharamkan oleh Allah kecuali melalui cara yang benar, memakan riba, memakan harta anak
yatim, melarikan diri dari medan perang dan menuduh kaum mukminah yang jauh dari
maksiat dan yang terjaga kehormatannya
Diriwayatkan bahwa ibnu Masud r.a berkata, Rasulullah melaknat pemakan
riba,saksinya dan penulisnya.
Hakim meriwayatkan dari ibnu Masud bahwa Nabi saw, bersabda:
Riba memiliki tujuh puluh tiga pintu, Riba yang paling ringan adalah seperti seorang lelaki
menikahi ibunya. Riba yang paling tinggi adalah kehormatan seseorang lelaki muslim.
Diriwayatkan oleh Abdurahman bin Abu Bakar bahwa ayahnya berkata, Rasulullah saw
melarang penjualan emas dengan emas dan perak dengan perak kecuali sama beratnya, dan
membolehkan kita menjual emas dengan perak dan begitu juga sebaliknya sesuai keinginan
kita. (HR Bukhari no. 2034, kitab al-Buyu)
Diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri bahwa Rasulullah saw bersabda, Emas hendaklah
dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung,
kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan (cash).
Barangsiapa memberi tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan
dengan riba. Penerima dan pemberi sama-sama bersalah. (HR Muslim no. 2971, dalam
kitab al-Masaqqah).
Didalam islam terdapat dua jenis riba. Pertama, riba nasiah yang merupakan satusatunya jenis riba yang diketahui oleh bangsa arab jahiliyah. Riba ini diambil sebagai
kompensasi penangguhan pembayaran utang yang jatuh tempo, baik utang tersebut
merupakan harga barang yang belum dibayar ketika akad maupun merupakan utang dari

pinjaman. Kedua, riba jual beli yang terdapat dalam enam barang yaitu emas, perak, gandum,
jelai, garam, dan kurma. Ini dikenal dengan riba fadhl. Riba ini dilarang guna menutup pintu
keharaman (saddudz dzariah) yaitu terjadinya riba nasiah.
Macam-macam Riba
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua.Yaitu riba hutang-piutang dan riba jualbeli.Riba hutang-piutang terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan riba
jual-beli terbagi atas riba fadhl dan riba nasiah.

Riba Qardh
o Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang
berhutang (muqtaridh).

Riba Jahiliyyah
o Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu
membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.

Riba Fadhl
o Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda,
sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.

Riba Nasiah
o Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang
dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasiah muncul
karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan
saat ini dengan yang diserahkan kemudian.

4. Ikhtikar
Ihtikar adalah membeli barang pada saat lapang lalu menimbunnya supaya barang
tersebut langka di pasaran dan harganya menjadi naik.
Para ulama berbeda pendapat tentang bentuk ihtikar yang diharamkan.
At Tirmidzi berkata [sunan III/567], Hukum inilah yang berlaku dikalangan ahli ilmu.
Mereka melarang penimbunan bahan makanan. Sebagian ulama membolehkan penimbunan
selain bahan makanan. Ibnul Mubarak berkata, Tidak mengapa menimbun kapas, kulit
kambing yang sudah disamak (sakhtiyan), dan sebagainya.
Al Baghawi berkata [Syarhus Sunnah VIII/178-179], Para ulama berbeda pendapat
tentang masalah ihtikar. Diriwayatkan dari Umar bahwa ia berkata, Tidak boleh ada
penimbunan barang di pasar kami. Yakni sejumlah oknum dengan sengaja memborong
barang-barang di pasar lalu ia menimbunnya. Akan tetapi siapa saja yang memasukkan
barang dari luar dengan usaha sendiri pada musim dingin atau musim panas, maka terserah
padanya apakah mau menjualnya atau menyimpannya."

Diriwayatkan dari Utsman bahwa beliau melarang penimbunan barang. Imam Malik dan Ats
Tsauri juga melarang penimbunan seluruh jenis barang. Imam Malik mengatakan, Dilarang
menimbun jerami, kain wol, minyak dan seluruh jenis barang yang dapat merugikan pasar.
Sebagian ulama berpendapat bahwa penimbunan barang hanya berlaku pada bahan makanan
saja. Sedangkan barang-barang lainnya tidak mengapa. Ini pendapat Abdullah bin Al
Mubarak dan Imam Ahmad.
Imam Ahmad berkata, Penimbunan barang hanya berlaku pada tempat-tempat tertentu
seperti Makkah, Madinah atau tempat terpencil di batas-batas wilayah. Tidak berlaku seperti
di Bashrah dan Baghdad, karena kapal dapat berlabuh di sana.
An Nawawi berkata [Syarh Shahih Muslim XI/43], Hadits diatas dengan jelas menunjukkan
haramnya ihtikar. Para ulama Syafii mengatakan bahwa ihtikar yang diharamkan adalah
penimbunan barang-barang pokok tertentu, yaitu membelinya pada saat harga mahal dan
menjualnya kembali. Ia tidak menjual saat itu juga, tapi ia simpan sampai harga melonjak
naik. Tetapi jika dia mendatangkan barang dari kampungnya atau membelinya pada saat
harga murah lalu ia menyimpannya karena kebutuhannya, atau ia menjualnya kembali saat
itu juga, maka itu bukan ihtikar dan tidak diharamkan. Adapun selain bahan makanan, tidak
diharamkan penimbunan dalam kondisi apapun juga. Begitulah perinciannya dalam
madzhab kami.
Kemudian para ulama berpendapat, Adapun yang disebutkan dalam kitab dari Said bin Al
Musayyin dan Mamar, yang meriwayatkan hadits, bahwa keduanya menimbun barang, maka
Ibnu Abdil Barr dan ulama lainnya mengatakan, Sesungguhnya barang ditimbun oleh
keduanya adalah minya. Keduanya membawakan larangan dalam hadits tersebut kepada
penimbunan bahan makanan pokok yang sangat dibutuhkan dan pada saat harga mahal.
Demikian juga Imam Syafii, Abu Hanifah dan ulama lainnya. Dan pendapat itulah yang
benar."
Asy Syaukani mengatakan [Nailul Authaar V/338], Kesimpulannya, illat hukumnya apabila
perbuatan menimbun barang itu untuk merugikan kaum muslimin. Tidak diharamkan jika
tidak menimbulkan kemudharatan atas kaum muslimin. Tidak peduli barang tersebut pokok
atau tidak, asal tidak menimbulkan kemudharatan kaum muslimin.
Yang tidak termasuk ihtikar adalah :
1. Menyimpan bahan pokok yang melimpah melebihi kebutuhan masyarakat. Khususnya
pada saat panen, untuk kemudian dijual kembali kepada masyarakat.
2. Orang yang mendatangkan (impor) barang, lalu menjualnya dengan menunggu harga
naik.
5. Tadlis
Tadlis adalah praktik bisnis yang dilakukan oleh seseorang dengan cara menyembunyikan
informasi terhadap transaksi jual beli (transaksi yang mengandung suatu hal yang tidak
diketahui oleh salah satu pihak).
Tadlis terbagi dalam tiga tipe, yaitu tadlis dalam kuantitas, tadlis dalam kualitas, tadlis
dalam harga, dan tadlis dalam waktu penyerahan. Salah satu bentuk dari tadlis kualitas adalah
Ghisy. Ghisy merupakan penyembunyian cacat barang dan mencampur antara barang-barang
yang berkualitas baik dengan yang berkualitas jelek.

1. Kuantitas
Tadlis dalam kuantitas termasuk juga kegiatan menjual barang kuantitas sedikit dengan
barang kuantitas banyak.
2.

Kualitas
Tadlis dalam kualitas termasuk juga menyembunyikan cacat atau kualitas barang yang
buruk yang tidak sesuai dengan apa yang disepakati antara si penjual dan pembeli.

3.

Harga
Tadlis dalam harga ini termasuk menjual barang dengan harga yang lebih tinggi atau lebih
rendah dari harga pasar karena ketidaktahuan pembeli atau penjual, dalam fiqh disebut
ghaban.
4. Waktu Penyerahan

Larangan praktik tadlis

A. Berdasarkan Firman Allah SWT


1. al-Quran Surat al-Anam ayat 152:
...dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil, kami tidak memikul beban
kepada seseorang melainkan sekadar kesanggupannya.
B. Berdasarkan hadits
Orang muslim adalah bersaudara. Tidak halal bagi seseorang menjual barang yang cacat
kepada saudaranya, tanpa menerangkan cacat benda itu. (H.R. Ahmad).
Barang siapa menjual barang yang ada cacatnya, tetapi tidak diterangkannya kepada
pembeli, maka ia senantiasa dalam kebencian Allah, dan malaikat senantiasa mengutuknya
(H.R. Ibnu Majah)

Ghisy, tadlis dalam kualitas

Istilah Ghisy dalam bisnis adalah menyembunyikan cacat barang dan mencampur
dengan barang-barang baik dengan yang jelek.
Telah diketahui bahwa al-ghisy adalah perbuatan haram. Pelaku ghisy wajib meminta
ampun kepada Allah Subhanahu wa Taala dan bertaubat kepada-Nya. Jika pelaku ghisy
sudah terlanjur melakukan kecurangan, hendaknya dia segera menyampaikan dan
memberitahukan kepada pembeli tentang cacat yang ada pada barang yang diperjualbelikan,
untuk melepaskan beban Anda. Apabila pembeli mengalah terhadap haknya (yakni menerima
barang itu apa adanya) maka alhamdulillah. Bila tidak, hendaknya penjual membuat
kesepakatan dengan pembeli, baik dengan cara memberikan uang yang setara dengan cacat
itu, atau barang itu diambil kembali dan uangnya dikembalikan. Dan bila tidak terjadi
kesepakatan, maka ini merupakan perselisihan yang harus diselesaikan hakim.
Bila Anda sulit mengetahui (keberadaan) si pembeli, maka bersedekahlah atas nama
si pembeli sesuai nilai cacat itu.
Nabi SAW bersabda : penjual dan pembeli memiliki hak pilih selama belum
berpisah. Apabila mereka jujur dan mau menerangkan (keadaan barang), mereka akan
mendapat berkah dalam jual beli mereka. Dan jika mereka bohong dan menutupi (cacat
barang), akan dihapuskan keberkahan jual beli mereka. (Shahih Muslim No. 2825)
Dari Abu Hurairah ra. berkata , Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam melewati
seseorang yang menjual makanan, maka beliau memasukkan tangannya pada makanan
tersebut, ternyata beliau tertipu. Maka beliau bersabda, Bukan temasuk golongan kami orang
yang menipu. (H.R. Muslim 1/99/102, Abu Daud 3435, Ibnu Majah 2224)

Contoh Praktik-Praktik Ghisy ,diantaranya sebagai berikut :

Salah satu contoh yang dapat kita temukan disekitar kita adalah pada penjualan computer
bekas.
Pedagang menjual computer bekas dengan kualifikasi Pentium III dalam kondisi 80%
baik, dengan harga Rp. 3.000.000,00. Pada kenyataannya, tidak semua penjual menjual
computer bekas dengan kualifikasi yang sama. Pembeli tidak dapat membedakan mana
computer yang berkualifikasi rendah dengan computer yang berkualifikasi lebih tinggi, hanya
penjual saja yang mengetahui dengan pasti kualifikasi computer yang dijualnya.
6. Iktinaz

Posted by alfi Lestari Amisani at 6:55 PM


Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to FacebookShare to Pinterest
No comments:
Post a Comment
Newer Post Older Post Home
Subscribe to: Post Comments (Atom)

Blog Archive

2013 (4)
o October (2)

<!--[if gte mso 9]> <![endif]--> <!--[if gte ms...

Aspek Fundamental Ekonomi Islam

o June (2)

About Me

alfi Lestari Amisani


View my complete profile
Awesome Inc. template. Powered by Blogger.

Amisani Lestari
Monday, October 28, 2013
Aspek Fundamental Ekonomi Islam

Aspek Fundamental Ekonomi Islam


( Maisir, Gharar, Riba, Ikhtikar, Tadlis ,Iktinaz dan Zulm )
1. Maisir
Kata Maisir dalam bahasa Arab arti secara harfiah adalah memperoleh sesuatu dengan
sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja. Yang biasa juga
disebut berjudi. Istilah lain yang digunakan dalam al-Quran adalah kata `azlam` yang berarti
praktek perjudian.Judi dalam terminologi agama diartikan sebagai suatu transaksi yang
dilakukan oleh dua pihak untuk kepemilikan suatu benda atau jasa yang mengguntungkan
satu pihak dan merugikan pihak lain dengan cara mengaitkan transaksi tersebut dengan suatu
tindakan atau kejadian tertentu.
Prinsip berjudi adalah terlarang, baik itu terlibat secara mendalam maupun hanya
berperan sedikit saja atau tidak berperan sama sekali, mengharapkan keuntungan semata
(misalnya hanya mencoba-coba) di samping sebagian orang-orang yang terlibat melakukan
kecurangan, kita mendapatkan apa yang semestinya kita tidak dapatkan, atau menghilangkan
suatu kesempatan. Melakukan pemotongan dan bertaruh benar-benar masuk dalam kategori
definisi berjudi. Judi pada umumnya (maisir) dan penjualan undian khususnya (azlam) dan
segala bentuk taruhan, undian atau lotre yang berdasarkan pada bentuk-bentuk perjudian
adalah haram di dalam Islam. Rasulullah s.a.w melarang segala bentuk bisnis yang
mendatangkan uang yang diperoleh dari untung-untungan, spekulasi dan ramalan atau
terkaan (misalnya judi) dan bukan diperoleh dari bekerja.
Diriwayat oleh Abdullah bin Omar bahwa Rasulullah s.a.w. melarang berjualbeli yang
disebut habal-al-habla semacam jual beli yang dipraktekkan pada zaman Jahiliyah. Dalam
jual beli ini seseorang harus membayar seharga seekor unta betina yang unta tersebut belum
lahir tetapi akan segera lahir sesuai jenis kelamin yang diharapkan.Diriwayatkan oleh
beberapaa sahabat Nabi, termasuk Jabir, Abu Hurairah, Abu Said Khudri, Said bin Al
Musayyib dan Rafiy bin Khadij bahwa Rasulullah s.a.w. melarang transaksi muzabanah dan
muhaqalah
Kedua jenis bisnis transaksi diatas sangat merakyat pada zaman sebelum Islam.
Muzabanah adalah tukar menukar buah yang masih segar dengan yang sudah kering dengan
cara bahwa jumlah buah yang kering sudah dapat dipastikan jumlahnya sedangkan buah yang
segar ditukarkan hanya dapat ditebak karena masih berada di pohon. Sama halnya dengan
muhaqalah yaitu penjualan gandum ditukar dengan gandum yang masih ada dalam bulirnya
yang jumlahnya masih ditebak-tebak.

Disebabkan karena kejahatan judi itu lebih parah dari pada keuntungan yang diperolehnya,
maka dalam Al-Qur`an, Allah swt sangat tegas dalam melarang maisir (judi dan
semacamnya) sebagaimana ayat berikut:
Mereka akan bertanya kepadamu tentang minuman keras dan judi, katakanlah: pada
keduanya terdapat dosa besar dan manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar dari pada
manfaatnya (QS. Al Baqarah 2:219)
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, maisir, berhala, mengundi nasib
dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan, maka jauhilah perbuatanperbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan (QS al-Maaidah 5:90)
Ayat di atas secara tegas menunjukkan keharaman judi. Slain judi itu rijs yang berarti
busuk, kotor, dan termasuk perbuatan setan, ia juga sangat berdampak negatif pada semua
aspek kehidupan. Mulai dari aspek ideologi, politik, ekonomi, social, moral, sampai budaya.
Bahkan , pada gilirannya akan merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebab, setiap perbuatan yang melawan perintah Allah SWT pasti akan mendatangkan celaka.
Perhatikan Firman Allah SWT selanjutnya tentang efek negatif yang dapat ditimbulkan oleh
judi:
Sesungguhnya setan itu bermaksud permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran
(meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan Shalat,
maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). (QS. Al-Maidah, 5:91)
Karena itu merupakan perbuatan setan, maka wajar jika kemudian muncul upaya-upaya untuk
menguburkan makna judi. Sebab salah satu tugas setan, yang terdiri dari jin dan manusia,
adalah mengemas sesuatu yang batil (haram) dengan kemasan bisnis yang baikdan menarik,
atau dengan nama-nama yang indah, cantik, dan memiliki daya tarik, hingga tampaknya
seakan-akan halal. Allah SWT berfirman:
Dan demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis)
manusia dan (dari jenis) jin. Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain
perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu manusia (QS. Al-An`am: 112)
2. Gharar
Menurut bahasa Arab, makna al-gharar adalah, al-khathr yaitu pertaruhan. Sehingga
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan, al-gharar adalah yang tidak jelas hasilnya
(majhul al-aqibah) . Sedangkan menurut Syaikh As-Sadi, al-gharar adalah al-mukhatharah
(pertaruhan) dan al-jahalah (ketidak jelasan). Perihal ini masuk dalam kategori perjudian.
Sehingga, yang dimaksud jual beli gharar adalah semua jual beli yang mengandung
ketidakjelasan ; pertaruhan, atau perjudian.

HUKUM GHARAR
Dalam syariat Islam, jual beli gharar ini terlarang. Dengan dasar sabda Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang berbunyi.
Artinya : Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melarang jual beli al-hashah dan jual beli
gharar
Dalam sistem jual beli gharar ini terdapat unsur memakan harta orang lain dengan cara batil.
Padahal Allah melarang memakan harta orang lain dengan cara batil sebagaimana tersebut
dalam firmanNya.

Artinya : Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan
berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui [Al-Baqarah : 188]
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama
suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu ; sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang kepadamu [An-Nisaa : 29]

HIKMAH LARANGAN JUAL BELI GHARAR


Diantara hikmah larangan julan beli ini adalah, karena nampak adanya pertaruhan dan
menimbulkan sikap permusuhan pada orang yang dirugikan. Yakni bisa menimbulkan
kerugian yang besar kepada pihak lain. Larangan ini juga mengandung maksud untuk
menjaga harta agar tidak hilang dan menghilangkan sikap permusuhan yang terjadi pada
orang akibat jenis jual beli ini.

PENTINGNYA MENGENAL KAIDAH GHARAR


Dalam masalah jual beli, mengenal kaidah gharar sangatlah penting, karena banyak
permasalahan jual-beli yang bersumber dari ketidak jelasan dan adanya unsur taruhan di
dalamnya. Imam Nawawi mengatakan : Larangan jual beli gharar merupakan pokok penting
dari kitab jual-beli. Oleh karena itu Imam Muslim menempatkannya di depan. Permasalahan
yang masuk dalam jual-beli jenis ini sangat banyak, tidak terhitung

JENIS GHARAR
Dilihat dari peristiwanya, jual-beli gharar bisa ditinjau dari tiga sisi.
Pertama : Jual-beli barang yang belum ada (madum), seperti jual beli habal al habalah
(janin dari hewan ternak).
Kedua : Jual beli barang yang tidak jelas (majhul), baik yang muthlak, seperti pernyataan
seseorang : Saya menjual barang dengan harga seribu rupiah, tetapi barangnya tidak
diketahui secara jelas, atau seperti ucapan seseorang : Aku jual mobilku ini kepadamu
dengan harga sepuluh juta, namun jenis dan sifat-sifatnya tidak jelas. Atau bisa juga karena
ukurannya tidak jelas, seperti ucapan seseorang : Aku jual tanah kepadamu seharga lima
puluh juta, namun ukuran tanahnya tidak diketahui.
Ketiga : Jual-beli barang yang tidak mampu diserah terimakan. Seperti jual beli budak yang
kabur, atau jual beli mobil yang dicuri. Ketidak jelasan ini juga terjadi pada harga, barang dan
pada akad jual belinya.
Ketidak jelasan pada harga dapat terjadi karena jumlahnya, seperti segenggam Dinar.
Sedangkan ketidak jelasan pada barang, yaitu sebagaimana dijelaskan di atas. Adapun
ketidak-jelasan pada akad, seperti menjual dengan harga 10 Dinar bila kontan dan 20 Dinar
bila diangsur, tanpa menentukan salah satu dari keduanya sebagai pembayarannya.
Syaikh As-Sadi menyatakan : Kesimpulan jual-beli gharar kembali kepada jual-beli
madum (belum ada wujudnya), seperti habal al habalah dan as-sinin, atau kepada jual-beli
yang tidak dapat diserahterimakan, seperti budak yang kabur dan sejenisnya, atau kepada
ketidak-jelasan, baik mutlak pada barangnya, jenisnya atau sifatnya

GHARAR YANG DIPERBOLEHKAN


Jual-beli yang mengandung gharar, menurut hukumnya ada tiga macam.

Yang disepakati larangannya dalam jual-beli, seperti jual-beli yang belum ada wujudnya
(madum).
Disepakati kebolehannya, seperti jual-beli rumah dengan pondasinya, padahal jenis dan
ukuran serta hakikat sebenarnyatidak diketahui. Hal ini dibolehkan karena kebutuhan dan
karena merupakan satu kesatuan, tidak mungkin lepas darinya.
Imam An-Nawawi menyatakan, pada asalnya jual-beli gharar dilarang dengan dasar
hadits ini. Maksudnya adalah, yang secara jelas mengandung unsur gharar, dan mungkin
dilepas darinya. Adapun hal-hal yang dibutuhkan dan tidak mungkin dipisahkan darinya,
seperti pondasi rumah, membeli hewan yang mengandung dengan adanya kemungkinan yang
dikandung hanya seekor atau lebih, jantan atau betina. Juga apakah lahir sempurna atau cacat.
Demikian juga membeli kambing yang memiliki air susu dan sejenisnya. Menurut ijma,
semua (yang demikian) ini diperbolehkan. Juga, para ulama menukilkan ijma tentang
bolehnya barang-barang yang mengandung gharar yang ringan. Di antaranya, umat ini
sepakat mengesahkan jual-beli baju jubah mahsyuwah
Ibnul Qayyim juga mengatakan : Tidak semua gharar menjadi sebab pengharaman.
Gharar, apabila ringan (sedikit) atau tidak mungkin dipisah darinya, maka tidak menjadi
penghalang keabsahan akad jual beli. Karena, gharar (ketidak jelasan) yang ada pada pondasi
rumah, dalam perut hewan yang mengandung, atau buah terakhir yang tampak menjadi bagus
sebagiannya saja, tidak mungkin lepas darinya. Demikian juga gharar yang ada dalam
hammam (pemandian) dan minuman dari bejana dan sejenisnya, adalah gharar yang ringan.
Sehingga keduanya tidak mencegah jual beli. Hal ini tentunya tidak sama dengan gharar yang
banyak, yang mungkin dapat dilepas darinya.
Dalam kitab lainnya, Ibnul Qayyim menyatakan, terkadang, sebagian gharar dapat
disahkan, apabila hajat mengharuskannya. Misalnya, seperti ketidaktahuan mutu pondasi
rumah dan membeli kambing hamil dan yang masih memiliki air susu. Hal ini disebabkan,
karena pondasi rumah ikut dengan rumah, dan karena hajat menuntutnya, lalu tidak mungkin
melihatnya.
Dari sini dapat disimpulkan, gharar yang diperbolehkan adalah gharar yang ringan,
atau ghararnya tidak ringan namun tidak dapat melepasnya kecuali dengan kesulitan. Oleh
karena itu, Imam An-Nawawi menjelaskan bolehnya jual beli yang ada ghararnya apabila ada
hajat untuk melanggar gharar ini, dan tidak mungkin melepasnya kecuali dengan susah, atau
ghararnya ringan.

Gharar yang masih diperselisihkan, apakah diikutkan pada bagian yang pertama atau kedua?
Misalnya ada keinginan menjual sesuatu yang terpendam di tanah, seperti wortel, kacang
tanah, bawang dan lain-lainnya.
Para ulama sepakat tentang keberadaan gharar dalam jual-beli tersebut, namun masih
berbeda dalam menghukuminya. Adanya perbedaan ini, disebabkan sebagian mereka
diantaranya Imam Malik- memandang ghararnya ringan, atau tidak mungkin dilepas darinya
dengan adanya kebutuhan menjual, sehingga memperbolehkannya. Dan sebagian yang lain di
antaranya Imam Syafii dan Abu Hanifah- memandang ghararnya besar, dan memungkinkan
untuk dilepas darinya, shingga mengharamkannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim merajihkan pendapat yang
membolehkan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan : Dalam permasalahan ini,
madzhab Imam Malik adalah madzhab terbaik, yaitu diperbolehkan melakukan jual-beli
perihal ini dan semua yang dibutuhkan, atau sedikit ghararnya ; sehingga memperbolehkan
jual-beli yang tidak tampak di permukaan tanah, seperti wortel, lobak dan sebagainya

Sedangkan Ibnul Qayyim menyatakan, jual-beli yang tidak tampak di permukaan


tanah tidak memiliki dua perkara tersebut, karena ghararnya ringan, dan tidak mungkin di
lepas.
3. Riba

Dalam bahasa arab riba secara harfiah berarti pertumbuhan, kelebihan dan tambahan.
Sedangkan dalam istilah syara, riba didefinisikan sebagai tambahan pada barang-barang
tertentu. Ini adalah definisi riba menurut ulama hambali dalam kitab kanzul umaal, sebab
kitab dalam mazhab hanafi riba diartikan sebagai tambahan- tambahan tanpa imbalan dalam
transaksi harta dengan harta. Maksud tambahan disini adalah tambahan harta meski secara
hukmi saja, sehingga definisi ini mencakup riba nasiah dan jenis jenis akad jual beli yang
fasid (rusak). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar
. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau
modal secara bathil.. Riba diharamkan berdasarkan Al- Quran, Sunnah dan Ijma.
Allah berfirman dalam Al-Quran :
Al-Baqarah Ayat 275
Orang-orang yang makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. Keadaan
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti
(dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba),
maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
[174]
Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang
disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan
barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan
mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan
sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini riba nasiah yang berlipat ganda yang umum
terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
[175]
Maksudnya: orang yang mengambil riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan
syaitan.
[176]
Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.
Al-Baqarah Ayat 276
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah [177] . Dan Allah tidak menyukai setiap
orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa [178].
[177]
Yang dimaksud dengan memusnahkan riba ialah memusnahkan harta itu atau meniadakan
berkahnya . Dan yang dimaksud dengan menyuburkan sedekah adalah memperkembangkan
harta yang telah dikeluarkan sedekahnya atau melipat gandakan berkahnya.
[178]
maksudnya ialah orang-orang yang menghalalkan riba dan tetap melakukannya.
Al-Baqarah Ayat 278
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang
belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
Al-Baqarah Ayat 279
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah
dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka
bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.

Al-Imran Ayat 130 ,131 & 132


Hai orang- orang yang beriman janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda [228]
dan bertawakkallah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
[228]
Yang dimaksud riba disini ialah riba nasiah. Menurut sebagian besar ulama bahwa riba
nasiah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda.
Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.
Perintah taat kepada Allah dan Rasul serta sifat-sifat orang-orang yang bertakwa.
Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat.
An-Nisa Ayat 161
Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang dari
padanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah
menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.
Ar-Rum 39
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia,
maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang
kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah
orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
Pelarangan riba dalam Islam tidak hanya merujuk pada Al-Quran, melainkan juga AlHadits. Hal ini sebagaimana posisi umum hadits yang berfungsi untuk menjelaskan lebih
lanjut aturan yang telah digariskan melalui Al-Quran, pelarangan riba hadits terinci. Dalam
amanat terakhirnya pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriah, Rasulullah saw masih
menekankan sikap Islam yang melarang riba.
Adapun sunnah mengenal ada tujuh hal yang merusak (as-sabul muwbiqaat )
disebutkan bahwa salah satunya adalah memakan riba. Di riwayatkan oleh Muslim dari Abu
Hurairrah r.a bahwa Rasulullah bersabda :
Jauhilah tujuh hal yang mengahncurkan, para sahabat bertanya, Apa saja,wahai
Rasulullah ?, Beliau menjawab, syirik terhadap Allah, sihir, membunuh jiwa yang
diharamkan oleh Allah kecuali melalui cara yang benar, memakan riba, memakan harta anak
yatim, melarikan diri dari medan perang dan menuduh kaum mukminah yang jauh dari
maksiat dan yang terjaga kehormatannya
Diriwayatkan bahwa ibnu Masud r.a berkata, Rasulullah melaknat pemakan
riba,saksinya dan penulisnya.
Hakim meriwayatkan dari ibnu Masud bahwa Nabi saw, bersabda:
Riba memiliki tujuh puluh tiga pintu, Riba yang paling ringan adalah seperti seorang lelaki
menikahi ibunya. Riba yang paling tinggi adalah kehormatan seseorang lelaki muslim.
Diriwayatkan oleh Abdurahman bin Abu Bakar bahwa ayahnya berkata, Rasulullah saw
melarang penjualan emas dengan emas dan perak dengan perak kecuali sama beratnya, dan
membolehkan kita menjual emas dengan perak dan begitu juga sebaliknya sesuai keinginan
kita. (HR Bukhari no. 2034, kitab al-Buyu)
Diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri bahwa Rasulullah saw bersabda, Emas hendaklah
dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung,
kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan (cash).
Barangsiapa memberi tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan
dengan riba. Penerima dan pemberi sama-sama bersalah. (HR Muslim no. 2971, dalam
kitab al-Masaqqah).
Didalam islam terdapat dua jenis riba. Pertama, riba nasiah yang merupakan satusatunya jenis riba yang diketahui oleh bangsa arab jahiliyah. Riba ini diambil sebagai
kompensasi penangguhan pembayaran utang yang jatuh tempo, baik utang tersebut
merupakan harga barang yang belum dibayar ketika akad maupun merupakan utang dari

pinjaman. Kedua, riba jual beli yang terdapat dalam enam barang yaitu emas, perak, gandum,
jelai, garam, dan kurma. Ini dikenal dengan riba fadhl. Riba ini dilarang guna menutup pintu
keharaman (saddudz dzariah) yaitu terjadinya riba nasiah.
Macam-macam Riba
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua.Yaitu riba hutang-piutang dan riba jualbeli.Riba hutang-piutang terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan riba
jual-beli terbagi atas riba fadhl dan riba nasiah.

Riba Qardh
o Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang
berhutang (muqtaridh).

Riba Jahiliyyah
o Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu
membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.

Riba Fadhl
o Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda,
sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.

Riba Nasiah
o Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang
dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasiah muncul
karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan
saat ini dengan yang diserahkan kemudian.

4. Ikhtikar
Ihtikar adalah membeli barang pada saat lapang lalu menimbunnya supaya barang
tersebut langka di pasaran dan harganya menjadi naik.
Para ulama berbeda pendapat tentang bentuk ihtikar yang diharamkan.
At Tirmidzi berkata [sunan III/567], Hukum inilah yang berlaku dikalangan ahli ilmu.
Mereka melarang penimbunan bahan makanan. Sebagian ulama membolehkan penimbunan
selain bahan makanan. Ibnul Mubarak berkata, Tidak mengapa menimbun kapas, kulit
kambing yang sudah disamak (sakhtiyan), dan sebagainya.
Al Baghawi berkata [Syarhus Sunnah VIII/178-179], Para ulama berbeda pendapat
tentang masalah ihtikar. Diriwayatkan dari Umar bahwa ia berkata, Tidak boleh ada
penimbunan barang di pasar kami. Yakni sejumlah oknum dengan sengaja memborong
barang-barang di pasar lalu ia menimbunnya. Akan tetapi siapa saja yang memasukkan
barang dari luar dengan usaha sendiri pada musim dingin atau musim panas, maka terserah
padanya apakah mau menjualnya atau menyimpannya."

Diriwayatkan dari Utsman bahwa beliau melarang penimbunan barang. Imam Malik dan Ats
Tsauri juga melarang penimbunan seluruh jenis barang. Imam Malik mengatakan, Dilarang
menimbun jerami, kain wol, minyak dan seluruh jenis barang yang dapat merugikan pasar.
Sebagian ulama berpendapat bahwa penimbunan barang hanya berlaku pada bahan makanan
saja. Sedangkan barang-barang lainnya tidak mengapa. Ini pendapat Abdullah bin Al
Mubarak dan Imam Ahmad.
Imam Ahmad berkata, Penimbunan barang hanya berlaku pada tempat-tempat tertentu
seperti Makkah, Madinah atau tempat terpencil di batas-batas wilayah. Tidak berlaku seperti
di Bashrah dan Baghdad, karena kapal dapat berlabuh di sana.
An Nawawi berkata [Syarh Shahih Muslim XI/43], Hadits diatas dengan jelas menunjukkan
haramnya ihtikar. Para ulama Syafii mengatakan bahwa ihtikar yang diharamkan adalah
penimbunan barang-barang pokok tertentu, yaitu membelinya pada saat harga mahal dan
menjualnya kembali. Ia tidak menjual saat itu juga, tapi ia simpan sampai harga melonjak
naik. Tetapi jika dia mendatangkan barang dari kampungnya atau membelinya pada saat
harga murah lalu ia menyimpannya karena kebutuhannya, atau ia menjualnya kembali saat
itu juga, maka itu bukan ihtikar dan tidak diharamkan. Adapun selain bahan makanan, tidak
diharamkan penimbunan dalam kondisi apapun juga. Begitulah perinciannya dalam
madzhab kami.
Kemudian para ulama berpendapat, Adapun yang disebutkan dalam kitab dari Said bin Al
Musayyin dan Mamar, yang meriwayatkan hadits, bahwa keduanya menimbun barang, maka
Ibnu Abdil Barr dan ulama lainnya mengatakan, Sesungguhnya barang ditimbun oleh
keduanya adalah minya. Keduanya membawakan larangan dalam hadits tersebut kepada
penimbunan bahan makanan pokok yang sangat dibutuhkan dan pada saat harga mahal.
Demikian juga Imam Syafii, Abu Hanifah dan ulama lainnya. Dan pendapat itulah yang
benar."
Asy Syaukani mengatakan [Nailul Authaar V/338], Kesimpulannya, illat hukumnya apabila
perbuatan menimbun barang itu untuk merugikan kaum muslimin. Tidak diharamkan jika
tidak menimbulkan kemudharatan atas kaum muslimin. Tidak peduli barang tersebut pokok
atau tidak, asal tidak menimbulkan kemudharatan kaum muslimin.
Yang tidak termasuk ihtikar adalah :
1. Menyimpan bahan pokok yang melimpah melebihi kebutuhan masyarakat. Khususnya
pada saat panen, untuk kemudian dijual kembali kepada masyarakat.
2. Orang yang mendatangkan (impor) barang, lalu menjualnya dengan menunggu harga
naik.
5. Tadlis
Tadlis adalah praktik bisnis yang dilakukan oleh seseorang dengan cara menyembunyikan
informasi terhadap transaksi jual beli (transaksi yang mengandung suatu hal yang tidak
diketahui oleh salah satu pihak).
Tadlis terbagi dalam tiga tipe, yaitu tadlis dalam kuantitas, tadlis dalam kualitas, tadlis
dalam harga, dan tadlis dalam waktu penyerahan. Salah satu bentuk dari tadlis kualitas adalah
Ghisy. Ghisy merupakan penyembunyian cacat barang dan mencampur antara barang-barang
yang berkualitas baik dengan yang berkualitas jelek.

1. Kuantitas
Tadlis dalam kuantitas termasuk juga kegiatan menjual barang kuantitas sedikit dengan
barang kuantitas banyak.
2.

Kualitas
Tadlis dalam kualitas termasuk juga menyembunyikan cacat atau kualitas barang yang
buruk yang tidak sesuai dengan apa yang disepakati antara si penjual dan pembeli.

3.

Harga
Tadlis dalam harga ini termasuk menjual barang dengan harga yang lebih tinggi atau lebih
rendah dari harga pasar karena ketidaktahuan pembeli atau penjual, dalam fiqh disebut
ghaban.
4. Waktu Penyerahan

Larangan praktik tadlis

A. Berdasarkan Firman Allah SWT


1. al-Quran Surat al-Anam ayat 152:
...dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil, kami tidak memikul beban
kepada seseorang melainkan sekadar kesanggupannya.
B. Berdasarkan hadits
Orang muslim adalah bersaudara. Tidak halal bagi seseorang menjual barang yang cacat
kepada saudaranya, tanpa menerangkan cacat benda itu. (H.R. Ahmad).
Barang siapa menjual barang yang ada cacatnya, tetapi tidak diterangkannya kepada
pembeli, maka ia senantiasa dalam kebencian Allah, dan malaikat senantiasa mengutuknya
(H.R. Ibnu Majah)

Ghisy, tadlis dalam kualitas

Istilah Ghisy dalam bisnis adalah menyembunyikan cacat barang dan mencampur
dengan barang-barang baik dengan yang jelek.
Telah diketahui bahwa al-ghisy adalah perbuatan haram. Pelaku ghisy wajib meminta
ampun kepada Allah Subhanahu wa Taala dan bertaubat kepada-Nya. Jika pelaku ghisy
sudah terlanjur melakukan kecurangan, hendaknya dia segera menyampaikan dan
memberitahukan kepada pembeli tentang cacat yang ada pada barang yang diperjualbelikan,
untuk melepaskan beban Anda. Apabila pembeli mengalah terhadap haknya (yakni menerima
barang itu apa adanya) maka alhamdulillah. Bila tidak, hendaknya penjual membuat
kesepakatan dengan pembeli, baik dengan cara memberikan uang yang setara dengan cacat
itu, atau barang itu diambil kembali dan uangnya dikembalikan. Dan bila tidak terjadi
kesepakatan, maka ini merupakan perselisihan yang harus diselesaikan hakim.
Bila Anda sulit mengetahui (keberadaan) si pembeli, maka bersedekahlah atas nama
si pembeli sesuai nilai cacat itu.
Nabi SAW bersabda : penjual dan pembeli memiliki hak pilih selama belum
berpisah. Apabila mereka jujur dan mau menerangkan (keadaan barang), mereka akan
mendapat berkah dalam jual beli mereka. Dan jika mereka bohong dan menutupi (cacat
barang), akan dihapuskan keberkahan jual beli mereka. (Shahih Muslim No. 2825)
Dari Abu Hurairah ra. berkata , Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam melewati
seseorang yang menjual makanan, maka beliau memasukkan tangannya pada makanan
tersebut, ternyata beliau tertipu. Maka beliau bersabda, Bukan temasuk golongan kami orang
yang menipu. (H.R. Muslim 1/99/102, Abu Daud 3435, Ibnu Majah 2224)

Contoh Praktik-Praktik Ghisy ,diantaranya sebagai berikut :

Salah satu contoh yang dapat kita temukan disekitar kita adalah pada penjualan computer
bekas.
Pedagang menjual computer bekas dengan kualifikasi Pentium III dalam kondisi 80%
baik, dengan harga Rp. 3.000.000,00. Pada kenyataannya, tidak semua penjual menjual
computer bekas dengan kualifikasi yang sama. Pembeli tidak dapat membedakan mana
computer yang berkualifikasi rendah dengan computer yang berkualifikasi lebih tinggi, hanya
penjual saja yang mengetahui dengan pasti kualifikasi computer yang dijualnya.
6. Iktinaz

Posted by alfi Lestari Amisani at 6:55 PM


Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to FacebookShare to Pinterest
No comments:
Post a Comment
Newer Post Older Post Home
Subscribe to: Post Comments (Atom)

Blog Archive

2013 (4)
o October (2)

<!--[if gte mso 9]> <![endif]--> <!--[if gte ms...

Aspek Fundamental Ekonomi Islam

o June (2)

About Me

alfi Lestari Amisani


View my complete profile
Awesome Inc. template. Powered by Blogger.

Anda mungkin juga menyukai