Disebabkan karena kejahatan judi itu lebih parah dari pada keuntungan yang diperolehnya,
maka dalam Al-Qur`an, Allah swt sangat tegas dalam melarang maisir (judi dan
semacamnya) sebagaimana ayat berikut:
Mereka akan bertanya kepadamu tentang minuman keras dan judi, katakanlah: pada
keduanya terdapat dosa besar dan manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar dari pada
manfaatnya (QS. Al Baqarah 2:219)
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, maisir, berhala, mengundi nasib
dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan, maka jauhilah perbuatanperbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan (QS al-Maaidah 5:90)
Ayat di atas secara tegas menunjukkan keharaman judi. Slain judi itu rijs yang berarti
busuk, kotor, dan termasuk perbuatan setan, ia juga sangat berdampak negatif pada semua
aspek kehidupan. Mulai dari aspek ideologi, politik, ekonomi, social, moral, sampai budaya.
Bahkan , pada gilirannya akan merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebab, setiap perbuatan yang melawan perintah Allah SWT pasti akan mendatangkan celaka.
Perhatikan Firman Allah SWT selanjutnya tentang efek negatif yang dapat ditimbulkan oleh
judi:
Sesungguhnya setan itu bermaksud permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran
(meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan Shalat,
maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). (QS. Al-Maidah, 5:91)
Karena itu merupakan perbuatan setan, maka wajar jika kemudian muncul upaya-upaya untuk
menguburkan makna judi. Sebab salah satu tugas setan, yang terdiri dari jin dan manusia,
adalah mengemas sesuatu yang batil (haram) dengan kemasan bisnis yang baikdan menarik,
atau dengan nama-nama yang indah, cantik, dan memiliki daya tarik, hingga tampaknya
seakan-akan halal. Allah SWT berfirman:
Dan demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis)
manusia dan (dari jenis) jin. Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain
perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu manusia (QS. Al-An`am: 112)
2. Gharar
Menurut bahasa Arab, makna al-gharar adalah, al-khathr yaitu pertaruhan. Sehingga
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan, al-gharar adalah yang tidak jelas hasilnya
(majhul al-aqibah) . Sedangkan menurut Syaikh As-Sadi, al-gharar adalah al-mukhatharah
(pertaruhan) dan al-jahalah (ketidak jelasan). Perihal ini masuk dalam kategori perjudian.
Sehingga, yang dimaksud jual beli gharar adalah semua jual beli yang mengandung
ketidakjelasan ; pertaruhan, atau perjudian.
HUKUM GHARAR
Dalam syariat Islam, jual beli gharar ini terlarang. Dengan dasar sabda Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang berbunyi.
Artinya : Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melarang jual beli al-hashah dan jual beli
gharar
Dalam sistem jual beli gharar ini terdapat unsur memakan harta orang lain dengan cara batil.
Padahal Allah melarang memakan harta orang lain dengan cara batil sebagaimana tersebut
dalam firmanNya.
Artinya : Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan
berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui [Al-Baqarah : 188]
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama
suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu ; sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang kepadamu [An-Nisaa : 29]
JENIS GHARAR
Dilihat dari peristiwanya, jual-beli gharar bisa ditinjau dari tiga sisi.
Pertama : Jual-beli barang yang belum ada (madum), seperti jual beli habal al habalah
(janin dari hewan ternak).
Kedua : Jual beli barang yang tidak jelas (majhul), baik yang muthlak, seperti pernyataan
seseorang : Saya menjual barang dengan harga seribu rupiah, tetapi barangnya tidak
diketahui secara jelas, atau seperti ucapan seseorang : Aku jual mobilku ini kepadamu
dengan harga sepuluh juta, namun jenis dan sifat-sifatnya tidak jelas. Atau bisa juga karena
ukurannya tidak jelas, seperti ucapan seseorang : Aku jual tanah kepadamu seharga lima
puluh juta, namun ukuran tanahnya tidak diketahui.
Ketiga : Jual-beli barang yang tidak mampu diserah terimakan. Seperti jual beli budak yang
kabur, atau jual beli mobil yang dicuri. Ketidak jelasan ini juga terjadi pada harga, barang dan
pada akad jual belinya.
Ketidak jelasan pada harga dapat terjadi karena jumlahnya, seperti segenggam Dinar.
Sedangkan ketidak jelasan pada barang, yaitu sebagaimana dijelaskan di atas. Adapun
ketidak-jelasan pada akad, seperti menjual dengan harga 10 Dinar bila kontan dan 20 Dinar
bila diangsur, tanpa menentukan salah satu dari keduanya sebagai pembayarannya.
Syaikh As-Sadi menyatakan : Kesimpulan jual-beli gharar kembali kepada jual-beli
madum (belum ada wujudnya), seperti habal al habalah dan as-sinin, atau kepada jual-beli
yang tidak dapat diserahterimakan, seperti budak yang kabur dan sejenisnya, atau kepada
ketidak-jelasan, baik mutlak pada barangnya, jenisnya atau sifatnya
Yang disepakati larangannya dalam jual-beli, seperti jual-beli yang belum ada wujudnya
(madum).
Disepakati kebolehannya, seperti jual-beli rumah dengan pondasinya, padahal jenis dan
ukuran serta hakikat sebenarnyatidak diketahui. Hal ini dibolehkan karena kebutuhan dan
karena merupakan satu kesatuan, tidak mungkin lepas darinya.
Imam An-Nawawi menyatakan, pada asalnya jual-beli gharar dilarang dengan dasar
hadits ini. Maksudnya adalah, yang secara jelas mengandung unsur gharar, dan mungkin
dilepas darinya. Adapun hal-hal yang dibutuhkan dan tidak mungkin dipisahkan darinya,
seperti pondasi rumah, membeli hewan yang mengandung dengan adanya kemungkinan yang
dikandung hanya seekor atau lebih, jantan atau betina. Juga apakah lahir sempurna atau cacat.
Demikian juga membeli kambing yang memiliki air susu dan sejenisnya. Menurut ijma,
semua (yang demikian) ini diperbolehkan. Juga, para ulama menukilkan ijma tentang
bolehnya barang-barang yang mengandung gharar yang ringan. Di antaranya, umat ini
sepakat mengesahkan jual-beli baju jubah mahsyuwah
Ibnul Qayyim juga mengatakan : Tidak semua gharar menjadi sebab pengharaman.
Gharar, apabila ringan (sedikit) atau tidak mungkin dipisah darinya, maka tidak menjadi
penghalang keabsahan akad jual beli. Karena, gharar (ketidak jelasan) yang ada pada pondasi
rumah, dalam perut hewan yang mengandung, atau buah terakhir yang tampak menjadi bagus
sebagiannya saja, tidak mungkin lepas darinya. Demikian juga gharar yang ada dalam
hammam (pemandian) dan minuman dari bejana dan sejenisnya, adalah gharar yang ringan.
Sehingga keduanya tidak mencegah jual beli. Hal ini tentunya tidak sama dengan gharar yang
banyak, yang mungkin dapat dilepas darinya.
Dalam kitab lainnya, Ibnul Qayyim menyatakan, terkadang, sebagian gharar dapat
disahkan, apabila hajat mengharuskannya. Misalnya, seperti ketidaktahuan mutu pondasi
rumah dan membeli kambing hamil dan yang masih memiliki air susu. Hal ini disebabkan,
karena pondasi rumah ikut dengan rumah, dan karena hajat menuntutnya, lalu tidak mungkin
melihatnya.
Dari sini dapat disimpulkan, gharar yang diperbolehkan adalah gharar yang ringan,
atau ghararnya tidak ringan namun tidak dapat melepasnya kecuali dengan kesulitan. Oleh
karena itu, Imam An-Nawawi menjelaskan bolehnya jual beli yang ada ghararnya apabila ada
hajat untuk melanggar gharar ini, dan tidak mungkin melepasnya kecuali dengan susah, atau
ghararnya ringan.
Gharar yang masih diperselisihkan, apakah diikutkan pada bagian yang pertama atau kedua?
Misalnya ada keinginan menjual sesuatu yang terpendam di tanah, seperti wortel, kacang
tanah, bawang dan lain-lainnya.
Para ulama sepakat tentang keberadaan gharar dalam jual-beli tersebut, namun masih
berbeda dalam menghukuminya. Adanya perbedaan ini, disebabkan sebagian mereka
diantaranya Imam Malik- memandang ghararnya ringan, atau tidak mungkin dilepas darinya
dengan adanya kebutuhan menjual, sehingga memperbolehkannya. Dan sebagian yang lain di
antaranya Imam Syafii dan Abu Hanifah- memandang ghararnya besar, dan memungkinkan
untuk dilepas darinya, shingga mengharamkannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim merajihkan pendapat yang
membolehkan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan : Dalam permasalahan ini,
madzhab Imam Malik adalah madzhab terbaik, yaitu diperbolehkan melakukan jual-beli
perihal ini dan semua yang dibutuhkan, atau sedikit ghararnya ; sehingga memperbolehkan
jual-beli yang tidak tampak di permukaan tanah, seperti wortel, lobak dan sebagainya
Dalam bahasa arab riba secara harfiah berarti pertumbuhan, kelebihan dan tambahan.
Sedangkan dalam istilah syara, riba didefinisikan sebagai tambahan pada barang-barang
tertentu. Ini adalah definisi riba menurut ulama hambali dalam kitab kanzul umaal, sebab
kitab dalam mazhab hanafi riba diartikan sebagai tambahan- tambahan tanpa imbalan dalam
transaksi harta dengan harta. Maksud tambahan disini adalah tambahan harta meski secara
hukmi saja, sehingga definisi ini mencakup riba nasiah dan jenis jenis akad jual beli yang
fasid (rusak). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar
. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau
modal secara bathil.. Riba diharamkan berdasarkan Al- Quran, Sunnah dan Ijma.
Allah berfirman dalam Al-Quran :
Al-Baqarah Ayat 275
Orang-orang yang makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. Keadaan
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti
(dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba),
maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
[174]
Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang
disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan
barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan
mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan
sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini riba nasiah yang berlipat ganda yang umum
terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
[175]
Maksudnya: orang yang mengambil riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan
syaitan.
[176]
Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.
Al-Baqarah Ayat 276
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah [177] . Dan Allah tidak menyukai setiap
orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa [178].
[177]
Yang dimaksud dengan memusnahkan riba ialah memusnahkan harta itu atau meniadakan
berkahnya . Dan yang dimaksud dengan menyuburkan sedekah adalah memperkembangkan
harta yang telah dikeluarkan sedekahnya atau melipat gandakan berkahnya.
[178]
maksudnya ialah orang-orang yang menghalalkan riba dan tetap melakukannya.
Al-Baqarah Ayat 278
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang
belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
Al-Baqarah Ayat 279
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah
dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka
bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.
pinjaman. Kedua, riba jual beli yang terdapat dalam enam barang yaitu emas, perak, gandum,
jelai, garam, dan kurma. Ini dikenal dengan riba fadhl. Riba ini dilarang guna menutup pintu
keharaman (saddudz dzariah) yaitu terjadinya riba nasiah.
Macam-macam Riba
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua.Yaitu riba hutang-piutang dan riba jualbeli.Riba hutang-piutang terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan riba
jual-beli terbagi atas riba fadhl dan riba nasiah.
Riba Qardh
o Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang
berhutang (muqtaridh).
Riba Jahiliyyah
o Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu
membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
Riba Fadhl
o Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda,
sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
Riba Nasiah
o Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang
dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasiah muncul
karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan
saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
4. Ikhtikar
Ihtikar adalah membeli barang pada saat lapang lalu menimbunnya supaya barang
tersebut langka di pasaran dan harganya menjadi naik.
Para ulama berbeda pendapat tentang bentuk ihtikar yang diharamkan.
At Tirmidzi berkata [sunan III/567], Hukum inilah yang berlaku dikalangan ahli ilmu.
Mereka melarang penimbunan bahan makanan. Sebagian ulama membolehkan penimbunan
selain bahan makanan. Ibnul Mubarak berkata, Tidak mengapa menimbun kapas, kulit
kambing yang sudah disamak (sakhtiyan), dan sebagainya.
Al Baghawi berkata [Syarhus Sunnah VIII/178-179], Para ulama berbeda pendapat
tentang masalah ihtikar. Diriwayatkan dari Umar bahwa ia berkata, Tidak boleh ada
penimbunan barang di pasar kami. Yakni sejumlah oknum dengan sengaja memborong
barang-barang di pasar lalu ia menimbunnya. Akan tetapi siapa saja yang memasukkan
barang dari luar dengan usaha sendiri pada musim dingin atau musim panas, maka terserah
padanya apakah mau menjualnya atau menyimpannya."
Diriwayatkan dari Utsman bahwa beliau melarang penimbunan barang. Imam Malik dan Ats
Tsauri juga melarang penimbunan seluruh jenis barang. Imam Malik mengatakan, Dilarang
menimbun jerami, kain wol, minyak dan seluruh jenis barang yang dapat merugikan pasar.
Sebagian ulama berpendapat bahwa penimbunan barang hanya berlaku pada bahan makanan
saja. Sedangkan barang-barang lainnya tidak mengapa. Ini pendapat Abdullah bin Al
Mubarak dan Imam Ahmad.
Imam Ahmad berkata, Penimbunan barang hanya berlaku pada tempat-tempat tertentu
seperti Makkah, Madinah atau tempat terpencil di batas-batas wilayah. Tidak berlaku seperti
di Bashrah dan Baghdad, karena kapal dapat berlabuh di sana.
An Nawawi berkata [Syarh Shahih Muslim XI/43], Hadits diatas dengan jelas menunjukkan
haramnya ihtikar. Para ulama Syafii mengatakan bahwa ihtikar yang diharamkan adalah
penimbunan barang-barang pokok tertentu, yaitu membelinya pada saat harga mahal dan
menjualnya kembali. Ia tidak menjual saat itu juga, tapi ia simpan sampai harga melonjak
naik. Tetapi jika dia mendatangkan barang dari kampungnya atau membelinya pada saat
harga murah lalu ia menyimpannya karena kebutuhannya, atau ia menjualnya kembali saat
itu juga, maka itu bukan ihtikar dan tidak diharamkan. Adapun selain bahan makanan, tidak
diharamkan penimbunan dalam kondisi apapun juga. Begitulah perinciannya dalam
madzhab kami.
Kemudian para ulama berpendapat, Adapun yang disebutkan dalam kitab dari Said bin Al
Musayyin dan Mamar, yang meriwayatkan hadits, bahwa keduanya menimbun barang, maka
Ibnu Abdil Barr dan ulama lainnya mengatakan, Sesungguhnya barang ditimbun oleh
keduanya adalah minya. Keduanya membawakan larangan dalam hadits tersebut kepada
penimbunan bahan makanan pokok yang sangat dibutuhkan dan pada saat harga mahal.
Demikian juga Imam Syafii, Abu Hanifah dan ulama lainnya. Dan pendapat itulah yang
benar."
Asy Syaukani mengatakan [Nailul Authaar V/338], Kesimpulannya, illat hukumnya apabila
perbuatan menimbun barang itu untuk merugikan kaum muslimin. Tidak diharamkan jika
tidak menimbulkan kemudharatan atas kaum muslimin. Tidak peduli barang tersebut pokok
atau tidak, asal tidak menimbulkan kemudharatan kaum muslimin.
Yang tidak termasuk ihtikar adalah :
1. Menyimpan bahan pokok yang melimpah melebihi kebutuhan masyarakat. Khususnya
pada saat panen, untuk kemudian dijual kembali kepada masyarakat.
2. Orang yang mendatangkan (impor) barang, lalu menjualnya dengan menunggu harga
naik.
5. Tadlis
Tadlis adalah praktik bisnis yang dilakukan oleh seseorang dengan cara menyembunyikan
informasi terhadap transaksi jual beli (transaksi yang mengandung suatu hal yang tidak
diketahui oleh salah satu pihak).
Tadlis terbagi dalam tiga tipe, yaitu tadlis dalam kuantitas, tadlis dalam kualitas, tadlis
dalam harga, dan tadlis dalam waktu penyerahan. Salah satu bentuk dari tadlis kualitas adalah
Ghisy. Ghisy merupakan penyembunyian cacat barang dan mencampur antara barang-barang
yang berkualitas baik dengan yang berkualitas jelek.
1. Kuantitas
Tadlis dalam kuantitas termasuk juga kegiatan menjual barang kuantitas sedikit dengan
barang kuantitas banyak.
2.
Kualitas
Tadlis dalam kualitas termasuk juga menyembunyikan cacat atau kualitas barang yang
buruk yang tidak sesuai dengan apa yang disepakati antara si penjual dan pembeli.
3.
Harga
Tadlis dalam harga ini termasuk menjual barang dengan harga yang lebih tinggi atau lebih
rendah dari harga pasar karena ketidaktahuan pembeli atau penjual, dalam fiqh disebut
ghaban.
4. Waktu Penyerahan
Istilah Ghisy dalam bisnis adalah menyembunyikan cacat barang dan mencampur
dengan barang-barang baik dengan yang jelek.
Telah diketahui bahwa al-ghisy adalah perbuatan haram. Pelaku ghisy wajib meminta
ampun kepada Allah Subhanahu wa Taala dan bertaubat kepada-Nya. Jika pelaku ghisy
sudah terlanjur melakukan kecurangan, hendaknya dia segera menyampaikan dan
memberitahukan kepada pembeli tentang cacat yang ada pada barang yang diperjualbelikan,
untuk melepaskan beban Anda. Apabila pembeli mengalah terhadap haknya (yakni menerima
barang itu apa adanya) maka alhamdulillah. Bila tidak, hendaknya penjual membuat
kesepakatan dengan pembeli, baik dengan cara memberikan uang yang setara dengan cacat
itu, atau barang itu diambil kembali dan uangnya dikembalikan. Dan bila tidak terjadi
kesepakatan, maka ini merupakan perselisihan yang harus diselesaikan hakim.
Bila Anda sulit mengetahui (keberadaan) si pembeli, maka bersedekahlah atas nama
si pembeli sesuai nilai cacat itu.
Nabi SAW bersabda : penjual dan pembeli memiliki hak pilih selama belum
berpisah. Apabila mereka jujur dan mau menerangkan (keadaan barang), mereka akan
mendapat berkah dalam jual beli mereka. Dan jika mereka bohong dan menutupi (cacat
barang), akan dihapuskan keberkahan jual beli mereka. (Shahih Muslim No. 2825)
Dari Abu Hurairah ra. berkata , Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam melewati
seseorang yang menjual makanan, maka beliau memasukkan tangannya pada makanan
tersebut, ternyata beliau tertipu. Maka beliau bersabda, Bukan temasuk golongan kami orang
yang menipu. (H.R. Muslim 1/99/102, Abu Daud 3435, Ibnu Majah 2224)
Salah satu contoh yang dapat kita temukan disekitar kita adalah pada penjualan computer
bekas.
Pedagang menjual computer bekas dengan kualifikasi Pentium III dalam kondisi 80%
baik, dengan harga Rp. 3.000.000,00. Pada kenyataannya, tidak semua penjual menjual
computer bekas dengan kualifikasi yang sama. Pembeli tidak dapat membedakan mana
computer yang berkualifikasi rendah dengan computer yang berkualifikasi lebih tinggi, hanya
penjual saja yang mengetahui dengan pasti kualifikasi computer yang dijualnya.
6. Iktinaz
Blog Archive
2013 (4)
o October (2)
o June (2)
About Me
Amisani Lestari
Monday, October 28, 2013
Aspek Fundamental Ekonomi Islam
Disebabkan karena kejahatan judi itu lebih parah dari pada keuntungan yang diperolehnya,
maka dalam Al-Qur`an, Allah swt sangat tegas dalam melarang maisir (judi dan
semacamnya) sebagaimana ayat berikut:
Mereka akan bertanya kepadamu tentang minuman keras dan judi, katakanlah: pada
keduanya terdapat dosa besar dan manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar dari pada
manfaatnya (QS. Al Baqarah 2:219)
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, maisir, berhala, mengundi nasib
dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan, maka jauhilah perbuatanperbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan (QS al-Maaidah 5:90)
Ayat di atas secara tegas menunjukkan keharaman judi. Slain judi itu rijs yang berarti
busuk, kotor, dan termasuk perbuatan setan, ia juga sangat berdampak negatif pada semua
aspek kehidupan. Mulai dari aspek ideologi, politik, ekonomi, social, moral, sampai budaya.
Bahkan , pada gilirannya akan merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebab, setiap perbuatan yang melawan perintah Allah SWT pasti akan mendatangkan celaka.
Perhatikan Firman Allah SWT selanjutnya tentang efek negatif yang dapat ditimbulkan oleh
judi:
Sesungguhnya setan itu bermaksud permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran
(meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan Shalat,
maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). (QS. Al-Maidah, 5:91)
Karena itu merupakan perbuatan setan, maka wajar jika kemudian muncul upaya-upaya untuk
menguburkan makna judi. Sebab salah satu tugas setan, yang terdiri dari jin dan manusia,
adalah mengemas sesuatu yang batil (haram) dengan kemasan bisnis yang baikdan menarik,
atau dengan nama-nama yang indah, cantik, dan memiliki daya tarik, hingga tampaknya
seakan-akan halal. Allah SWT berfirman:
Dan demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis)
manusia dan (dari jenis) jin. Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain
perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu manusia (QS. Al-An`am: 112)
2. Gharar
Menurut bahasa Arab, makna al-gharar adalah, al-khathr yaitu pertaruhan. Sehingga
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan, al-gharar adalah yang tidak jelas hasilnya
(majhul al-aqibah) . Sedangkan menurut Syaikh As-Sadi, al-gharar adalah al-mukhatharah
(pertaruhan) dan al-jahalah (ketidak jelasan). Perihal ini masuk dalam kategori perjudian.
Sehingga, yang dimaksud jual beli gharar adalah semua jual beli yang mengandung
ketidakjelasan ; pertaruhan, atau perjudian.
HUKUM GHARAR
Dalam syariat Islam, jual beli gharar ini terlarang. Dengan dasar sabda Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah yang berbunyi.
Artinya : Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melarang jual beli al-hashah dan jual beli
gharar
Dalam sistem jual beli gharar ini terdapat unsur memakan harta orang lain dengan cara batil.
Padahal Allah melarang memakan harta orang lain dengan cara batil sebagaimana tersebut
dalam firmanNya.
Artinya : Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan
berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui [Al-Baqarah : 188]
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama
suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu ; sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang kepadamu [An-Nisaa : 29]
JENIS GHARAR
Dilihat dari peristiwanya, jual-beli gharar bisa ditinjau dari tiga sisi.
Pertama : Jual-beli barang yang belum ada (madum), seperti jual beli habal al habalah
(janin dari hewan ternak).
Kedua : Jual beli barang yang tidak jelas (majhul), baik yang muthlak, seperti pernyataan
seseorang : Saya menjual barang dengan harga seribu rupiah, tetapi barangnya tidak
diketahui secara jelas, atau seperti ucapan seseorang : Aku jual mobilku ini kepadamu
dengan harga sepuluh juta, namun jenis dan sifat-sifatnya tidak jelas. Atau bisa juga karena
ukurannya tidak jelas, seperti ucapan seseorang : Aku jual tanah kepadamu seharga lima
puluh juta, namun ukuran tanahnya tidak diketahui.
Ketiga : Jual-beli barang yang tidak mampu diserah terimakan. Seperti jual beli budak yang
kabur, atau jual beli mobil yang dicuri. Ketidak jelasan ini juga terjadi pada harga, barang dan
pada akad jual belinya.
Ketidak jelasan pada harga dapat terjadi karena jumlahnya, seperti segenggam Dinar.
Sedangkan ketidak jelasan pada barang, yaitu sebagaimana dijelaskan di atas. Adapun
ketidak-jelasan pada akad, seperti menjual dengan harga 10 Dinar bila kontan dan 20 Dinar
bila diangsur, tanpa menentukan salah satu dari keduanya sebagai pembayarannya.
Syaikh As-Sadi menyatakan : Kesimpulan jual-beli gharar kembali kepada jual-beli
madum (belum ada wujudnya), seperti habal al habalah dan as-sinin, atau kepada jual-beli
yang tidak dapat diserahterimakan, seperti budak yang kabur dan sejenisnya, atau kepada
ketidak-jelasan, baik mutlak pada barangnya, jenisnya atau sifatnya
Yang disepakati larangannya dalam jual-beli, seperti jual-beli yang belum ada wujudnya
(madum).
Disepakati kebolehannya, seperti jual-beli rumah dengan pondasinya, padahal jenis dan
ukuran serta hakikat sebenarnyatidak diketahui. Hal ini dibolehkan karena kebutuhan dan
karena merupakan satu kesatuan, tidak mungkin lepas darinya.
Imam An-Nawawi menyatakan, pada asalnya jual-beli gharar dilarang dengan dasar
hadits ini. Maksudnya adalah, yang secara jelas mengandung unsur gharar, dan mungkin
dilepas darinya. Adapun hal-hal yang dibutuhkan dan tidak mungkin dipisahkan darinya,
seperti pondasi rumah, membeli hewan yang mengandung dengan adanya kemungkinan yang
dikandung hanya seekor atau lebih, jantan atau betina. Juga apakah lahir sempurna atau cacat.
Demikian juga membeli kambing yang memiliki air susu dan sejenisnya. Menurut ijma,
semua (yang demikian) ini diperbolehkan. Juga, para ulama menukilkan ijma tentang
bolehnya barang-barang yang mengandung gharar yang ringan. Di antaranya, umat ini
sepakat mengesahkan jual-beli baju jubah mahsyuwah
Ibnul Qayyim juga mengatakan : Tidak semua gharar menjadi sebab pengharaman.
Gharar, apabila ringan (sedikit) atau tidak mungkin dipisah darinya, maka tidak menjadi
penghalang keabsahan akad jual beli. Karena, gharar (ketidak jelasan) yang ada pada pondasi
rumah, dalam perut hewan yang mengandung, atau buah terakhir yang tampak menjadi bagus
sebagiannya saja, tidak mungkin lepas darinya. Demikian juga gharar yang ada dalam
hammam (pemandian) dan minuman dari bejana dan sejenisnya, adalah gharar yang ringan.
Sehingga keduanya tidak mencegah jual beli. Hal ini tentunya tidak sama dengan gharar yang
banyak, yang mungkin dapat dilepas darinya.
Dalam kitab lainnya, Ibnul Qayyim menyatakan, terkadang, sebagian gharar dapat
disahkan, apabila hajat mengharuskannya. Misalnya, seperti ketidaktahuan mutu pondasi
rumah dan membeli kambing hamil dan yang masih memiliki air susu. Hal ini disebabkan,
karena pondasi rumah ikut dengan rumah, dan karena hajat menuntutnya, lalu tidak mungkin
melihatnya.
Dari sini dapat disimpulkan, gharar yang diperbolehkan adalah gharar yang ringan,
atau ghararnya tidak ringan namun tidak dapat melepasnya kecuali dengan kesulitan. Oleh
karena itu, Imam An-Nawawi menjelaskan bolehnya jual beli yang ada ghararnya apabila ada
hajat untuk melanggar gharar ini, dan tidak mungkin melepasnya kecuali dengan susah, atau
ghararnya ringan.
Gharar yang masih diperselisihkan, apakah diikutkan pada bagian yang pertama atau kedua?
Misalnya ada keinginan menjual sesuatu yang terpendam di tanah, seperti wortel, kacang
tanah, bawang dan lain-lainnya.
Para ulama sepakat tentang keberadaan gharar dalam jual-beli tersebut, namun masih
berbeda dalam menghukuminya. Adanya perbedaan ini, disebabkan sebagian mereka
diantaranya Imam Malik- memandang ghararnya ringan, atau tidak mungkin dilepas darinya
dengan adanya kebutuhan menjual, sehingga memperbolehkannya. Dan sebagian yang lain di
antaranya Imam Syafii dan Abu Hanifah- memandang ghararnya besar, dan memungkinkan
untuk dilepas darinya, shingga mengharamkannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim merajihkan pendapat yang
membolehkan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan : Dalam permasalahan ini,
madzhab Imam Malik adalah madzhab terbaik, yaitu diperbolehkan melakukan jual-beli
perihal ini dan semua yang dibutuhkan, atau sedikit ghararnya ; sehingga memperbolehkan
jual-beli yang tidak tampak di permukaan tanah, seperti wortel, lobak dan sebagainya
Dalam bahasa arab riba secara harfiah berarti pertumbuhan, kelebihan dan tambahan.
Sedangkan dalam istilah syara, riba didefinisikan sebagai tambahan pada barang-barang
tertentu. Ini adalah definisi riba menurut ulama hambali dalam kitab kanzul umaal, sebab
kitab dalam mazhab hanafi riba diartikan sebagai tambahan- tambahan tanpa imbalan dalam
transaksi harta dengan harta. Maksud tambahan disini adalah tambahan harta meski secara
hukmi saja, sehingga definisi ini mencakup riba nasiah dan jenis jenis akad jual beli yang
fasid (rusak). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar
. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau
modal secara bathil.. Riba diharamkan berdasarkan Al- Quran, Sunnah dan Ijma.
Allah berfirman dalam Al-Quran :
Al-Baqarah Ayat 275
Orang-orang yang makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. Keadaan
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti
(dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba),
maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
[174]
Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang
disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan
barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan
mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan
sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini riba nasiah yang berlipat ganda yang umum
terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
[175]
Maksudnya: orang yang mengambil riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan
syaitan.
[176]
Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.
Al-Baqarah Ayat 276
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah [177] . Dan Allah tidak menyukai setiap
orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa [178].
[177]
Yang dimaksud dengan memusnahkan riba ialah memusnahkan harta itu atau meniadakan
berkahnya . Dan yang dimaksud dengan menyuburkan sedekah adalah memperkembangkan
harta yang telah dikeluarkan sedekahnya atau melipat gandakan berkahnya.
[178]
maksudnya ialah orang-orang yang menghalalkan riba dan tetap melakukannya.
Al-Baqarah Ayat 278
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang
belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
Al-Baqarah Ayat 279
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah
dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka
bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.
pinjaman. Kedua, riba jual beli yang terdapat dalam enam barang yaitu emas, perak, gandum,
jelai, garam, dan kurma. Ini dikenal dengan riba fadhl. Riba ini dilarang guna menutup pintu
keharaman (saddudz dzariah) yaitu terjadinya riba nasiah.
Macam-macam Riba
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua.Yaitu riba hutang-piutang dan riba jualbeli.Riba hutang-piutang terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan riba
jual-beli terbagi atas riba fadhl dan riba nasiah.
Riba Qardh
o Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang
berhutang (muqtaridh).
Riba Jahiliyyah
o Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu
membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
Riba Fadhl
o Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda,
sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
Riba Nasiah
o Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang
dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasiah muncul
karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan
saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
4. Ikhtikar
Ihtikar adalah membeli barang pada saat lapang lalu menimbunnya supaya barang
tersebut langka di pasaran dan harganya menjadi naik.
Para ulama berbeda pendapat tentang bentuk ihtikar yang diharamkan.
At Tirmidzi berkata [sunan III/567], Hukum inilah yang berlaku dikalangan ahli ilmu.
Mereka melarang penimbunan bahan makanan. Sebagian ulama membolehkan penimbunan
selain bahan makanan. Ibnul Mubarak berkata, Tidak mengapa menimbun kapas, kulit
kambing yang sudah disamak (sakhtiyan), dan sebagainya.
Al Baghawi berkata [Syarhus Sunnah VIII/178-179], Para ulama berbeda pendapat
tentang masalah ihtikar. Diriwayatkan dari Umar bahwa ia berkata, Tidak boleh ada
penimbunan barang di pasar kami. Yakni sejumlah oknum dengan sengaja memborong
barang-barang di pasar lalu ia menimbunnya. Akan tetapi siapa saja yang memasukkan
barang dari luar dengan usaha sendiri pada musim dingin atau musim panas, maka terserah
padanya apakah mau menjualnya atau menyimpannya."
Diriwayatkan dari Utsman bahwa beliau melarang penimbunan barang. Imam Malik dan Ats
Tsauri juga melarang penimbunan seluruh jenis barang. Imam Malik mengatakan, Dilarang
menimbun jerami, kain wol, minyak dan seluruh jenis barang yang dapat merugikan pasar.
Sebagian ulama berpendapat bahwa penimbunan barang hanya berlaku pada bahan makanan
saja. Sedangkan barang-barang lainnya tidak mengapa. Ini pendapat Abdullah bin Al
Mubarak dan Imam Ahmad.
Imam Ahmad berkata, Penimbunan barang hanya berlaku pada tempat-tempat tertentu
seperti Makkah, Madinah atau tempat terpencil di batas-batas wilayah. Tidak berlaku seperti
di Bashrah dan Baghdad, karena kapal dapat berlabuh di sana.
An Nawawi berkata [Syarh Shahih Muslim XI/43], Hadits diatas dengan jelas menunjukkan
haramnya ihtikar. Para ulama Syafii mengatakan bahwa ihtikar yang diharamkan adalah
penimbunan barang-barang pokok tertentu, yaitu membelinya pada saat harga mahal dan
menjualnya kembali. Ia tidak menjual saat itu juga, tapi ia simpan sampai harga melonjak
naik. Tetapi jika dia mendatangkan barang dari kampungnya atau membelinya pada saat
harga murah lalu ia menyimpannya karena kebutuhannya, atau ia menjualnya kembali saat
itu juga, maka itu bukan ihtikar dan tidak diharamkan. Adapun selain bahan makanan, tidak
diharamkan penimbunan dalam kondisi apapun juga. Begitulah perinciannya dalam
madzhab kami.
Kemudian para ulama berpendapat, Adapun yang disebutkan dalam kitab dari Said bin Al
Musayyin dan Mamar, yang meriwayatkan hadits, bahwa keduanya menimbun barang, maka
Ibnu Abdil Barr dan ulama lainnya mengatakan, Sesungguhnya barang ditimbun oleh
keduanya adalah minya. Keduanya membawakan larangan dalam hadits tersebut kepada
penimbunan bahan makanan pokok yang sangat dibutuhkan dan pada saat harga mahal.
Demikian juga Imam Syafii, Abu Hanifah dan ulama lainnya. Dan pendapat itulah yang
benar."
Asy Syaukani mengatakan [Nailul Authaar V/338], Kesimpulannya, illat hukumnya apabila
perbuatan menimbun barang itu untuk merugikan kaum muslimin. Tidak diharamkan jika
tidak menimbulkan kemudharatan atas kaum muslimin. Tidak peduli barang tersebut pokok
atau tidak, asal tidak menimbulkan kemudharatan kaum muslimin.
Yang tidak termasuk ihtikar adalah :
1. Menyimpan bahan pokok yang melimpah melebihi kebutuhan masyarakat. Khususnya
pada saat panen, untuk kemudian dijual kembali kepada masyarakat.
2. Orang yang mendatangkan (impor) barang, lalu menjualnya dengan menunggu harga
naik.
5. Tadlis
Tadlis adalah praktik bisnis yang dilakukan oleh seseorang dengan cara menyembunyikan
informasi terhadap transaksi jual beli (transaksi yang mengandung suatu hal yang tidak
diketahui oleh salah satu pihak).
Tadlis terbagi dalam tiga tipe, yaitu tadlis dalam kuantitas, tadlis dalam kualitas, tadlis
dalam harga, dan tadlis dalam waktu penyerahan. Salah satu bentuk dari tadlis kualitas adalah
Ghisy. Ghisy merupakan penyembunyian cacat barang dan mencampur antara barang-barang
yang berkualitas baik dengan yang berkualitas jelek.
1. Kuantitas
Tadlis dalam kuantitas termasuk juga kegiatan menjual barang kuantitas sedikit dengan
barang kuantitas banyak.
2.
Kualitas
Tadlis dalam kualitas termasuk juga menyembunyikan cacat atau kualitas barang yang
buruk yang tidak sesuai dengan apa yang disepakati antara si penjual dan pembeli.
3.
Harga
Tadlis dalam harga ini termasuk menjual barang dengan harga yang lebih tinggi atau lebih
rendah dari harga pasar karena ketidaktahuan pembeli atau penjual, dalam fiqh disebut
ghaban.
4. Waktu Penyerahan
Istilah Ghisy dalam bisnis adalah menyembunyikan cacat barang dan mencampur
dengan barang-barang baik dengan yang jelek.
Telah diketahui bahwa al-ghisy adalah perbuatan haram. Pelaku ghisy wajib meminta
ampun kepada Allah Subhanahu wa Taala dan bertaubat kepada-Nya. Jika pelaku ghisy
sudah terlanjur melakukan kecurangan, hendaknya dia segera menyampaikan dan
memberitahukan kepada pembeli tentang cacat yang ada pada barang yang diperjualbelikan,
untuk melepaskan beban Anda. Apabila pembeli mengalah terhadap haknya (yakni menerima
barang itu apa adanya) maka alhamdulillah. Bila tidak, hendaknya penjual membuat
kesepakatan dengan pembeli, baik dengan cara memberikan uang yang setara dengan cacat
itu, atau barang itu diambil kembali dan uangnya dikembalikan. Dan bila tidak terjadi
kesepakatan, maka ini merupakan perselisihan yang harus diselesaikan hakim.
Bila Anda sulit mengetahui (keberadaan) si pembeli, maka bersedekahlah atas nama
si pembeli sesuai nilai cacat itu.
Nabi SAW bersabda : penjual dan pembeli memiliki hak pilih selama belum
berpisah. Apabila mereka jujur dan mau menerangkan (keadaan barang), mereka akan
mendapat berkah dalam jual beli mereka. Dan jika mereka bohong dan menutupi (cacat
barang), akan dihapuskan keberkahan jual beli mereka. (Shahih Muslim No. 2825)
Dari Abu Hurairah ra. berkata , Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam melewati
seseorang yang menjual makanan, maka beliau memasukkan tangannya pada makanan
tersebut, ternyata beliau tertipu. Maka beliau bersabda, Bukan temasuk golongan kami orang
yang menipu. (H.R. Muslim 1/99/102, Abu Daud 3435, Ibnu Majah 2224)
Salah satu contoh yang dapat kita temukan disekitar kita adalah pada penjualan computer
bekas.
Pedagang menjual computer bekas dengan kualifikasi Pentium III dalam kondisi 80%
baik, dengan harga Rp. 3.000.000,00. Pada kenyataannya, tidak semua penjual menjual
computer bekas dengan kualifikasi yang sama. Pembeli tidak dapat membedakan mana
computer yang berkualifikasi rendah dengan computer yang berkualifikasi lebih tinggi, hanya
penjual saja yang mengetahui dengan pasti kualifikasi computer yang dijualnya.
6. Iktinaz
Blog Archive
2013 (4)
o October (2)
o June (2)
About Me