Anda di halaman 1dari 5

PEMBAHASAN

Pada kasus ini pasien berumur 27 tahun mengalami kehamilan kedua dengan usia
kehamilan pada saat dilakukan kuretase adalah 11 minggu 6 hari. Sebelumnya pasien sudah
merasakan flek-flek berwarna merah segar sejak 1 bulan yang lalu (7/7/2015). Kemudian
esoknya, pasien memeriksakan diri ke dokter. Pada saat itu kehamilan diperkirakan berusia 6
minggu dan pada pemeriksaan USG transabdominal didapatkan adanya kantung gestasi tetapi
masih belum terlihat adanya embrio di dalamnya. Pada saat itu pasien merasakan mual dan
muntah yang berlebihan sehingga dokter menyarankan untuk opname selama 2 hari dan
diberikan obat penguat. Pasien disarankan untuk kembali kontrol 2 minggu ke depan.
Pasien kemudian kontrol dan melakukan pemeriksaan USG. Pada pemeriksaan USG
transabdominal, didapatkan adanya kantung gestasi yang sudah mulai terbentuk tetapi masih
belum terlihat adanya fetal pole sebagai tanda adanya yolk sac/embrio. Oleh karena itu,
pasien disarankan kembali dalam waktu 2 minggu untuk memastikan apakah terdapat
perkembangan dan pertumbuhan embrio di dalam kantung gestasi yang sudah terbentuk.
Pada tanggal 23/07/2015 pasien kembali kontrol dan masih mengeluhkan mual dan
muntah. Keluhan tersebut sudah jauh berkurang dibandingkan dengan keluhan yang kemarin
pada saat kontrol pertama kali. Hari itu dilakukan pemeriksaan USG transabdominal dan
didapatkan bahwa kantong gestasi bertambah besar tetapi tidak diikuti oleh perkembangan
dan pertumbuhan dari embrio. Berdasarkan ukuran dari kantung gestasi yang terbentuk,
kehamilan pasien sudah memasuki minggu ke-8. Saat itu dokter menyarankan untuk kembali
kontrol dalam 2 minggu ke depan. Hal ini untuk menguatkan diagnosis blighted ovum bahwa
pada perkembangan kantung gestasi yang melebihi 25 mm dan masih belum didapatkan
adanya embrio, kehamilan tersebut dapat dikatakan kehamilan anembrionik atau blighted
ovum.
Pada tanggal 6/08/2015 pasien kembali menjalani pemeriksaan USG transabdominal
dan didapatkan bahwa embrio masih belum terlihat walaupun kantung gestasi sudah cukup
besar. Tanggal 10/08/2015 pasien kembali mengalami flek-flek yang keluar dari vagina
berwarna merah segar dan terasa kram di daerah perut bagian bawah. Pada saat dilakukan
USG transabdominal, embrio masih belum terlihat dan pasien didiagnosa blighted ovum.
Pasien kemudian diberikan obat untuk meningkatkan kontraksi uterus yang diharapkan dapat

mengeluarkan hasil konsepsi. Tiga hari sesudahnya (13/08/2015) pasien mengatakan keluar 2
gumpalan darah yang cukup besar dan seketika pula kram perut mereda.
Tanggal 20/08/2015 pasien kembali kontrol, dan dilakukan pemeriksaan USG
transabdominal. Pada hasil pemeriksaan tersebut, masih terdapat sisa-sisa jaringan yang
berada di dalam uterus. Dokter kemudian menyarankan pasien untuk dilakukan kuretase.
Tanggal 22/08/2015 dokter melakukan kuretase dengan teknik anestesi TIVA.
Riwayat ibu sebelumnya sudah mengalami abortus pada tahun 2014. Pada saat itu
kehamilan masih diperkirakan usia 6 minggu dan harus dilakukan kuretase. Pada saat itu
masih belum diketahui secara jelas penyebab ibu mengalami keguguran. Tahun 2015, hal ini
terulang kembali. Berdasarkan pemeriksaan USG, kehamilan yang berusia 12 minggu ini
kembali tidak dapat dipertahankan. Pada dasarnya, terdapat beberapa faktor resiko yang
mempengaruhi terjadinya abortus terkhusus abortus yang dikarenakan kehamilan blighted
ovum. Blighted ovum merupakan kehamilan yang disebabkan karena kurangnya kualitas sel
telur maupun sel sperma. Di samping itu, sel telur yang sudah dibuahi juga dapat mengalami
gangguan sehingga menyebabkan terjadinya blighted ovum. Kualitas ini dipengaruhi oleh
berbagai faktor salah satunya adalah riwayat kebiasaan merokok. Merokok yang mengandung
nikotin berdampak sangat buruk terhadap kualitas dari sel telur ibu maupun sperma dari sang
ayah. Pada kasus ini, pasien mempunyai kebiasaan merokok dan sudah dilakukannya sejak
sekitar 7 tahun yang lalu. Walaupun frekuensi dan kuantitas ibu merokok tidak terlalu banyak
(1-5 batang/hari) tetapi hal ini tetap menjadi salah satu kemungkinan terjadinya blighted
ovum dan riwayat keguguran sebelumnya. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Liliane dkk, 1998 didapatkan bahwa kebiasaan merokok sebelum konsepsi dan selama
trimester pertama kehamilan mempunyai hubungan terhadap riwayat abortus spontan pada
9% dari 782 kasus. Pada studi ini diperoleh pula bahwa jumlah rokok yang dihabiskan tidak
mempunyai hubungan terhadap kejadian abortus pada trimester awal.
Faktor lain yang berpengaruh terhadap kejadian abortus pada trimester awal adalah
adanya faktor stress emosional. Gangguan psikis yang dialami oleh pasien pada kehamilan ini
membuat faktor resiko semakin bertambah. Diakui bahwa akhir-akhir ini pasien mengalami
masalah dalam kehidupan pribadinya. Tingkat stress yang tinggi dan berlangsung lama dapat
mempengarui tubuh untuk mengeluarkan beberapa jenis hormon salah satunya adalah
Corticotrophin Releasing Hormone (CRH). Pada penelitian sebelunya CRH yang bersirkulasi
pada aliran darah ibu hamil akan memicu kontraksi uterus sehingga memungkinkan

terjadinya keguguran. Pada wanita yang mempunyai riwayat keguguran lebih dari 1x
memiliki kadar hormone CRH yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain. Di samping
itu hormone CRH juga mempengaruhi sel mast untuk mensekresikan senyawa-senyawa yang
berperan terhadap terjadinya proses abortus. Sel mast ditemukan banyak di uterus. Tryptase
yang dikeluarkan oleh sel mast dapat merusak jaringan dan mencegah produksi membran
dalam perkembangan embrio. Di samping itu, tryptase dapat pula merusak arsitektur placenta
yang berfungsi sebagai sumber transportasi makanan dan nutrisi dari ibu ke janin.
Hormone lain yang muncul saat terjadi stress emosional adalah hormone cortisol.
Hormone ini disekresi oleh kelenjar adrenal dan berfungsi dalam variasi diurnal. Hormone
kortisol mempunyai kadar tertinggi pada pagi hari dan mencapai titik terendah pada tengah
malam. Kortisol berperan penting dalam menjaga tekanan darah tubuh, sistem imun tubuh
dan pada saat hormone ini meningkat, hormone lain yaitu progesterone justru akan menurun.
Penurunan response imun tubuh akibat terjadinya peningkatan kadar kortisol membuat tubuh
memiliki faktor resiko terjadinya infeksi. Terlebih pada proses kehamilan, sistem imun tubuh
ibu berkurang, sehingga hal ini lah yang menjadi salah satu faktor yang perlu diwaspadai saat
seorang ibu mengalami stress emosional saat kehamilannya.
Hormone

kortisol

mempengaruhi

kadar

hormone

lain

yaitu

progresteron.

Progesterone merupakan hormon yang berfungsi dalam mempertahankan kehamilan dengan


cara menebalkan dinding rahim untuk proses implantasi embrio. Suplai progesterone yang
kontinyu dan terus menerus penting pada saat kehamilan. Setelah terjadinya implantasi,
progesterone membantu uterus dalam mempertahankan fetus yang berkembang. Setelah 8-10
minggu produksi progesterone digantikan oleh plasenta. Peningkatan hormone kortisol akan
mempengaruhi fungsi hormone progesterone dan memicu abortus pada trimester awal.
Sebelum dilakukan tindakan kuretase, pasien diberikan obat oral yaitu misoprostol,
yang merupakan obat golongan prostaglandin dimana dia akan berikatan dengan sel
miometrium dan menyebabkan kontraksi kuat pada miometrium. Obat ini juga menimbulkan
perlunakan dan dilatasi serviks sehingga menyebabkan nekrosis pada desidua dan akhirnya
mengakibatkan pelepasan pada plasenta, kontraksi uterus, dan meningkatkan juga sensitivitas
terhadap prostaglandin.
Pada awal abortus terjadi perdarahan dalam desidua basalis kemudian diikuti oleh
nekrosis jaringan sekitarnya. Hal tersebut menyebabkan hasil konsepsi terlepas sebagian atau
seluruhnya, sehingga merupakan benda asing dalam uterus. Keadaan ini menyebabkan uterus

berkontraksi untuk mengeluarkan isinya. Pada tanggal 10/08/2015 pasien mengeluhkan


adanya flek-flek kemerahan, saat inilah tubuh berusaha untuk mengeluarkan hasil konsepsi,
dan setelah dibantu dengan misoprostol (golongan obat prostaglandin) 2 hari kemudian
pasien mendapati adanya 2 gumpalan darah yang cukup besar yang keluar dari jalan lahir.
Tetapi pada saat kontrol tanggal 20/08/2015 berdasarkan hasil pemeriksaan USG, masih
terdapat sisa jaringan di dalam cavum uterus. Sehingga dokter menyarankan untuk dilakukan
kuretase.
Pada kasus yang telah didiagnosa blighted ovum, tindakan yang dilakukan adalah
dengan mengeluarkan hasil konsepsi dari rahim yaitu kuretase. Misoprostol yang sudah
diberikan akan memudahkan proses kuretase yang dilakukan. Kuretase merupakan salah satu
prosedur obstetrik dan ginekologi yang sering dilakukan. Baik untuk pengosongan sisa
konsepsi dari kavum uteri akibat abortus. Ataupun untuk mengetahui kelainan perdarahan
uterus pada kasus ginekologi. Prosedur ini berlangsung dalam waktu singkat. Kasus yang
membutuhkan tindakan kuretase bermacam-macam, diantaranya abortus, blighted ovum,
plasenta rest, dan hamil anggur.
Pada kasus ini, dilakukan teknik general anestesi dengan TIVA dimana TIVA
merupakan teknik anestesi umum dengan hanya menggunakan obat-obat anestesi yang
dimasukkan lewat jalur intravena tanpa menggunakan anestesi inhalasi termasuk N 2O. Obatobat yang diberikan meliputi propofol sebagai obat induksi, ketamin sebagai obat medikasi,
dan fentanyl sebagai obat anti nyeri. Propofol dipakai sebagai induksi pada proses kuretase
ini karena mempunyai kerja yang pendek dan menimbulkan efek hipnotik pada pasien.
dikarenakan propofol tidak mempunyai antinyeri, maka dari itu dikombinasikan dengan
fentanyl. Di samping 2 jenis obat itu, diberikan pula ketamin. Ketamin menjadi pilihan obat
medikasi pada operasi yang singkat. Di samping itu penekanan pusat pernafasan lebih rendah
dibanding dengan penthotal.
Terapi awal yang diberikan pasca kuretasse adalah methergin dengan pemberian
secara oral 1x0,2 mg untuk meningkatkan kontraksi uterus dan asam mefenamat sebagai anti
nyeri. Methergin mengandung methylergonovine yang merupakan golongan obat alkaloid
yang berfungsi dalam menstimulasi kontraksi dan meningkatkan frekuensi dari otot otot
uterus. Obat ini tidak dipakai selama persalinan karena kemampuannya untuk menyebabkan
kontraksi uterus yang lama. Tetapi obat ini berguna untuk mencegah dan mengendalikan
perdarahan post partum dan sering dipakai dalam kasus perdarahan karena abortus.

Kemudian terapi tambahan yang diberikan adalah asam mefenamat sebagai antinyeri pasca
kuretase.

Anda mungkin juga menyukai