Anda di halaman 1dari 23

TINJAUAN PUSTAKA PERITONITIS

2.1. Definisi
Peritonitis adalah peradangan peritoneum ( membran serosa yang melapisi rongga
abdomen dan menutupi visera abdomen ) merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi
dalam bentuk akut maupun kronis. Keadaan ini biasanya terjadi akibat penyebaran infeksi
dari organ abdomen, perforasi saluran cerna, atau dari luka tembus abdomen. Organisme
yang sering menginfeksi adalah organisme yang hidup dalam kolon (pada kasus ruptura
appendik) yang mencakup Eschericia coli atau Bacteroides. Sedangkan stafilokokus dan
streptokokus sering kali masuk dari luar.1,2
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa.
Terbentuk kantong-kantong nanah (abses) di antara perlekatan fibrinosa yang menempel
menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya
menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa yang
kelak dapat menyebabkan terjadinya obstruksi usus.2
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila
infeksi menyebar akan menyebabkan timbulnya peritonitis generalisata. Dengan timbulnya
peritonitis generalisata, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus
kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen usus,
menyebabkan terjadinya dehidrasi, gangguan sirkulasi, oliguria, dan mungkin shock.2,3

2.2. Anatomi dan Fisiologi


Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks. Dibagian
belakang struktur ini melekat pada tulang belakang sebelah atas pada iga, dan di bagian
bawah pada tulang panggul. Dinding perut ini terdiri dari berbagai lapis, yaitu dari luar ke
dalam, lapis kulit yang terdiri dari kuitis dan sub kutis, lemak sub kutan dan facies superfisial
( facies skarpa ), kemudian ketiga otot dinding perut m. obliquus abdominis eksterna, m.
obliquus abdominis internus dan m. transversum abdominis, dan akhirnya lapis preperitonium
dan peritonium, yaitu fascia transversalis, lemak preperitonial dan peritonium. Otot di bagian
depan tengah terdiri dari sepasang otot rektus abdominis dengan fascianya yang di garis
tengah dipisahkan oleh linea alba.1,2 Dinding perut membentuk rongga perut yang melindungi
isi rongga perut. Integritas lapisan muskulo-aponeurosis dinding perut sangat penting untuk
mencegah terjadilah hernia bawaan, dapatan, maupun iatrogenik. Fungsi lain otot dinding
perut adalah pada pernafasan juga pada proses berkemih dan buang air besar dengan
meninggikan tekanan intra abdominal.2

Gambar
1
:Tampak anterior otot dinding abdomen dan
penampang melintang otot abdomen11

Peritoneum adalah membran serosa rangkap yang terbesar di dalam tubuh.


Peritoneum terdiri atas dua bagian utama, yaitu peritoneum parietal, yang melapisi dinding
rongga abdominal dan berhubungan dengan fascia muscular, dan peritoneum visceral, yang
menyelaputi semua organ yang berada di dalm rongga itu. Peritoneum parietale mempunyai
komponen somatic dan visceral yang memungkinkan lokalisasi yang berbahaya dan
menimbulkan defans muscular dan nyeri lepas.1,2 Ruang yang bisa terdapat di antara dua
lapis ini disebut ruang peritoneal atau cavitas peritonealis. Ruang di luarnya disebut Spatium
Extraperitoneale. Di dalam cavitas peritonealis terdapat cairan peritoneum yang berfungsi
sebagai pelumas sehingga alat-alat dapat bergerak tanpa menimbulkan gesekan yang berarti.
Cairan peritoneum yang diproduksi berlebihan pada kelainan tertentu disebut sebagai asites
(hydroperitoneum).2 Luas peritoneum kira-kira 1,8 meter2, sama dengan luas permukaan kulit
orang dewasa. Fungsi peritoneum adalah setengah bagiannya memiliki membran basal
semipermiabel yang berguna untuk difusi air, elektrolit, makro, maupum mikro sel. Oleh
karena itu peritoneum punya kemampuan untuk digunakan sebagai media cuci darah yaitu
peritoneal dialisis dan menyerap cairan otak pada operasi ventrikulo peritoneal shunting
dalam kasus hidrochepalus.3,4

Lapisan peritonium dibagi menjadi 3, yaitu:

1.Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika serosa).
2.Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis.
3.Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis.

Peritoneum viscerale berhubungan dengan parietale pada dinding abdomen melalui


suatu duplikatur yang disebut mesenterium.1,2,3
Cavitas peritonealis pada laki-laki tertutup seluruhnya tetapi pada perempuan
mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui tuba uterina, uterus dan vagina. Spatium
Extraperitoneale dapat dibedakan menurut letaknya , di depan (spatium praepitoneale), di
belakang (spatium retroperitoneale) dan dibawah (spatium subperitoneale). Alat yang terletak
di dalam cavitas peritoneale disebut letak intraperitoneale, seperti pada lambung, jejunum,
ileum, dan limpa. Sedangkan yang terletak di belakang peritoneum disebut retroperitoneale
seperti pada ginjal dan pancreas.1,3,4
Omentum adalah dua lapisan peritoneum yang menghubungkan lambung dengan alat
viscera lainnya seperti dengan hepar (omentum minus), dengan colon transversum (omentum
majus), dan dengan limpa (omentum gastrosplenicum). Peritoneum dari usus kecil disebut
mesenterium, dari appendik disebut mesoappendix dari colon trnsversum dan sigmoideum
disebut mesocolon transversum dan sigmoideum.

Mesenterium dan omentum berisi

pembuluh darah dan limfe serta saraf untuk alat viscera yang bersangkutan.2,3

Gambar 2. Struktur peritoneum 12


Peritoneum parietale sensitif terhadap nyeri, temperatur, perabaan dan tekanan dan
mendapat persarafan dari saraf-saraf segmental yang juga mempersarafi kulit dan otot yang
ada si sebelah luarnya. Iritasi pada peritoneum parietale memberikan rasa nyeri lokal, namun
insicipada peritoneum viscerale tidak memberikan rasa nyeri. 1,2 Peritoneum viscerale sensitif
terhadap regangan dan sobekan tapi tidak sensitif untuk perabaan, tekanan maupun
temperature.4,5
Perdarahan dinding perut berasal dari beberapa arah. Dari kraniodorsal diperoleh
perdarahan dari cabang aa. Intercostalis VI XII dan a. epigastrika superior. Dari kaudal
terdapat a. iliaca a. sircumfleksa superfisialis, a. pudenda eksterna dan a. epigastrika inferior.
Kekayaan vaskularisasi ini memungkinkan sayatan perut horizontal maupun vertikal tanpa
menimbulkan gangguan perdarahan.1,2,3 Persarafan dinding perut dipersyarafi secara
segmental oleh n.thorakalis VI XII dan n. lumbalis I. 2
Sangat penting untuk memahami posisi dari alat-alat viscera abdomen agar dapat
segera mengetahui atau memperkirakan alat apa yang terkena tusukan pada perut: .
Hepar merupakan suatu organ yang besar yang mengisi bagian atas rongga abdomen.

Kandung empedu merupakan kantong berbentuk seperti buah per melekat pada permukaan
visceral lobus kanan hepar. Ujung buntunya (fundus) menonjol di bawah pinggir bawah

hepar.
Esophagus di daerah abdomen pendek, 1,25 cm terletak di belakang lobus kiri hepar.
Gaster (ventriculus) terletak pada regio hypochondriaca kiri, epigastrica dan umbilicalis
Duodenum terletak di regio epigastrica dan umbilicalis
Pancreas terbentang dari regio umbilicalis sampai ke regio hypochondriaca kiri pada lien.
Lien terletak pada bagian atas kiri dari rongga abdomen antara lambung dan diaphragma di

regio sepanjang sumbu iga x kiri.


Ren terletak pada dinding belakang abdomen posterior dari peritoneum parietale di sisi kanan
dan kiri columna transversalis.
Glandula suprarenalis terletak pada dinding belakang abdomen di sisi kana dan kiri columna
vertebralis.
Jejunum mengisi bagian atas kiri rongga abdomen dan ileum mengisi bagian kanan bawah
rongga abdomen dan rongga pelvis.
Colon terbentang mengelilingi jejunum dan ileum, terbagi atas caecum, colon ascendens,
colon tranversum, colom desendens dan colon sigmoid.
2.3. Etiologi
Peritonitis bakterial diklasifikasikan menjadi primer dan sekunder
1.

Peritonitis primer
Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang langsung dari
rongga peritoneum. Banyak terjadi pada penderita : 3,4
- sirosis hepatis dengan asites
- nefrosis
- SLE
- bronkopnemonia dan TBC paru
- pyelonefritis

2.

Peritonitis sekunder
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi gastrointestinal
atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis
yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme dapat memperberat terjadinya infeksi ini.

Bakterii anaerob, khususnya spesies Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob
dalam menimbulkan infeksi. 3,4,5
Disebabkan oleh infeksi akut dari organ intraperitoneal seperti:

Iritasi Kimiawi : Perforasi gaster, pankreas, kandung empedu, hepar,

lien, kehamilan extra tuba yang pecah


Iritasi bakteri : Perforasi kolon, usus halus, appendix, kista ovarii pecah, ruptur

buli dan ginjal.


Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam
cavum peritoneal.
3. Peritonitis Tersier
Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman,

danakibat tindakan operasi sebelumnya. 2,3


2.4. Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang
menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi.
Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pitapita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.2
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami
kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat
menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat
memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari
kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi
cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya
meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.2,5
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami
oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut
meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta

oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan
retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan
suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.2
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan
tekanan intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan
penurunan perfusi. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum
atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis
umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi
atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan
dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkunglengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan
mengakibatkan obstruksi usus.1,2,4
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena
adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai
usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus
yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus
stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan
berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena
penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.5
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman S.
Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar. Sebagian
kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai
jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus
biasanya terjadi pada penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai

nyeri kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans muskuler,
dan keadaan umum yang merosot karena toksemia.4,6
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritonium yang mulai di
epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi
lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang
mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul
mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam
lambung, empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut
menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang
fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsangan
peritonium berupa mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini akan mengurangi
keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria.2,3
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks
oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma.
Obstruksi

tersebut

menyebabkan

mukus

yang

diproduksi

mukosa

mengalami

bendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks
mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan
menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa,
dan obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi
infark dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks
sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun
general.2,5
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen
dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga
intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga

tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses.
Rangsangan kimia onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi
dibagian atas, misalnya didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah
trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon,
mula-mula tidak terjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk
berkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena perangsangan
peritonium.2,4,8
Jenis Peritonitis

Peritonitis Aseptik.
Terjadi sekitar 20% dari seluruh kasus peritonitis di Inggris, dan biasanya sekunder
dari perforasi ulkus gaster atau duodenal. Peritonitis steril dapat berkembang menjadi
bakterial peritonitis dalam beberapa jam mengikuti transmigrasi dari mikroorganisme
(contohnya dari usus)

Peritonitis bilier
Relatif jarang dari peritonitis steril dan dapat disebabkan dari :

1.

iatrogenic (ligasi duktus sistikus saat cholesistektomi)

2.

kolesistitis akut

3.

trauma

4.

idiopatik

Bentuk lain dari peritonitis steril, ada 4 penyebab :


1.

Cairan pankreas
Misalnya dari pankreatitis akut, trauma. Pankreatitis bisa disebabkan karen proses diagnostik
laparotomi pada pasien yang tidak mengalami peningkatan serum amilase.

2.

Darah.

Misalnya ruptur kista ovarium, aneurisma aorta yang pecah.


3.

Urine
Misalnya intraperitoneal ruptur dari kandung kemih.

4.

Meconium
Adalah campuran steril dari sel epitel, mucin, garam,, lemak, dan bilier dimana dibentuk saat
fetus mulai menelan cairan amnion. Peritonitis mekonium berkembang lambat di kehidupan
intra uteri atau di periode perinatal saat mekonium memasuki rongga peritoneum melalui
perforasi inestinal.

Peritonitis TB
Biasanya terjadi pada imigran atau pasien dengan imunokompromise. Menyebar ke
peritoneum melalui:

1.

secara langsung melalui limfatik nodul, regio ileocaecal atau pyosalping TB.

2.

Melalui darah (blood-borne) infeksi dari TB paru.


Kejadiannya dapat secara akut (seperti peritonitis pada umumnya), dan kronik
(onsetnya lebih spesifik, dengan nyeri perut, demam, penurunan berat badan, keringat malam,
massa abdomen). Makroskopik, ada 4 bentuk dari penyakit ini : ascitic, encysted, plastic, atau
purulent. Terapinya berdasarkan terapi anti-TB, digabungkan dengan laparotomi (apabila di
indikasikan) untuk komplikasi intra-abdominal.

Peritonitis Klamidia
Fitz Hugh Curtis sindroma dapat menyebabkan inflamasi pelvis dan digambarkan oleh nyeri
hipokondrium kanan, pireksia, dan hepatic rub.

Obat-obatan dan benda asing.


Pada pemakaian isoniazid, practolol, dan kemoterapi intraperitoneal dapat menyebabkan
peritonitis akut. Bedak dan starch dapat menstimulus perkembangan benda asing granulomata
apabila benda-benda itu bertemu pada rongga peritoneum (contohnya sarung tangan bedah).

2.5 Manifestasi Klinis


Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda tanda
rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan defans
muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik
usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara usus.4
Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan terjadi
takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok. 4 Rangsangan ini menimbulkan
nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran peritonium dengan peritonium.
Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau
mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes
psoas, atau tes lain.4,5
2.6 Diagnosis
2.6.1 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan kondisi umum, wajah, denyut nadi,
pernapasan, suhu badan, dan sikap baring pasien, sebelum melakukan pemeriksaan abdomen.
Gejala dan tanda dehidrasi, perdarahan, syok, dan infeksi atau sepsis juga perlu diperhatikan.
1

Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan peritonitis, keadaan umumnya tidak baik.
Demam dengan temperatur >380C biasanya terjadi. Pasien dengan sepsis hebat akan muncul
gejala hipotermia. Takikardia disebabkan karena dilepaskannya mediator inflamasi dan
hipovolemia intravaskuler yang disebabkan karena mual damuntah, demam, kehilangan
cairan yang banyak dari rongga abdomen. Dengan adanya dehidrasi yang berlangsung secara
progresif, pasien bisa menjadi semakin hipotensi. Hal ini bisa menyebabkan produksi urin
berkurang, dan dengan adanya peritonitis hebat bisa berakhir dengan keadaan syok sepsis.8
Inspeksi : Pemeriksa mengamati adakah jaringan parut bekas operasi menununjukkan
kemungkinan adanya adhesi, perut membuncit dengan gambaran usus atau gerakan usus yang
disebabkan oleh gangguan pasase. Pada peritonitis biasanya akan ditemukan perut yang
membuncit dan tegang atau distended. 1,2

Palpasi : Peritoneum parietal dipersarafi oleh nervus somatik dan viseral yang sangat
sensitif. Bagian anterir dari peritoneum parietale adalah yang paling sensitif. Palpasi harus
selalu dilakukan di bagian lain dari abdomen yang

tidak dikeluhkan nyeri. Hal ini berguna

sebagai pembanding antara bagian yang tidak nyeri dengan bagian yang nyeri. Nyeri tekan
dan defans muskular (rigidity) menunjukkan adanya proses inflamasi yang mengenai
peritoneum parietale (nyeri somatik). Defans yang murni adalah proses refleks otot akan
dirasakan pada inspirasi dan ekspirasi berupa reaksi kontraksi otot terhadap rangsangan
tekanan3,5
Pada saat pemeriksaan penderita peritonitis, ditemukan nyeri tekan setempat. Otot
dinding perut menunjukkan defans muskular secara refleks untuk melindungi bagian yang
meradang dan menghindari gerakan atau tekanan setempat. 1,5
Perkusi : Nyeri ketok menunjukkan adanya iritasi pada peritoneum, adanya udara
bebas atau cairan bebas juga dapat ditentukan dengan perkusi melalui pemeriksaan pekak hati
dan shifting dullness. Pada pasien dengan peritonitis, pekak hepar akan menghilang, dan
perkusi abdomen hipertimpani karena adanya udara bebas tadi.7,8
Pada pasien dengan keluhan nyeri perut umumnya harus dilakukan pemeriksaan colok
dubur dan pemeriksaan vaginal untuk membantu penegakan diagnosis.

1,7

Nyeri yang difus

pada lipatan peritoneum di kavum doglasi kurang memberikan informasi pada peritonitis
murni; nyeri pada satu sisi menunjukkan adanya kelainan di daeah panggul, seperti
apendisitis, abses, atau adneksitis. Nyeri pada semua arah menunjukkan general peritonitis.
Colok dubur dapat pula membedakan antara obstruksi usus dengan paralisis usus, karena
pada paralisis dijumpai ampula rekti yang melebar, sedangkan pada obstruksi usus ampula
biasanya kolaps. Pemeriksaan vagina menambah informasi untuk kemungkinan kelainan pada
alat kelamin dalam perempuan. 1,2

Auskultasi : Dilakukan untuk menilai apakah terjadi penurunan suara bising usus.
Pasien dengan peritonitis umum, bising usus akan melemah atau menghilang sama sekali, hal
ini disebabkan karena peritoneal yang lumpuh sehingga menyebabkan usus ikut lumpuh/tidak
bergerak (ileus paralitik). Sedangkan pada peritonitis lokal bising usus dapat terdengar
normal. 3,7

2.6.2

Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan

dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan foto polos
abdomen 3 posisi, yaitu : 5,8
1. Tiduran telentang ( supine ), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi anteroposterior ( AP ).
2.Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar horizontal
proyeksi AP.
3.Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal, proyeksi AP.
Gambaran radiologis pada peritonitis yaitu :terlihat kekaburan pada cavum abdomen,
preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara bebas subdiafragma atau intra
peritoneal.2,8

Gambar 3 Foto BNO pada peritonitis.8


2.6.3

Pemeriksaan Laboratorium

1.Darah Lengkap, biasanya ditemukan leukositosis, hematocrit yang meningkat


2.BGA, menunjukan asidosis metabolic, dimana terdapat kadar karbondioksida yang
disebabkan oleh hiperventilasi.
3. Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari 3
gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi
peritoneum per kutan atau secara laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang
khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.2,10
2.7. Differential Diagnosa
Diagnosis banding dari peritonitis adalah apendisitis, pankreatitis, gastroenteritis,
kolesistitis, salpingitis, kehamilan ektopik terganggu.4
2.8. Penatalaksanaan
Konservatif

Prinsip umum pengobatan adalah mengistirahatkan saluran cerna dengan :9

1.

Memuasakan pasien

Dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik atau intestinal

Pengganti cairan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena

Pemberian antibiotik yang sesuai

Pembuangan fokus septik (apendiks) atau penyebab radang lainnya


Pemberian oksigen

Adalah vital untuk semua pasien dengan syok. Hipoksia dapat dimonitor oleh pulse oximetri
atau BGA.4
2.

resusitasi cairan

Biasanya dengan kristaloid, volumenya berdasarkan derajat syok dan dehidrasi. Penggantian
elektrolit (biasanya potassium) biasanya dibutuhkan. Pasien harus dikateterisasi untuk
memonitor output urine tiap jam. Monitoring tekanan vena sentral dan penggunaan inotropik
sebaiknya digunakan pada pasien dengan sepsis atau pasien dengan komorbid. Hipovolemi
terjadi karena sejumlah besar cairan dan elektrolit bergerak dari lumen usus ke dalam rongga
peritoneal dan menurunkan caran ke dalam ruang vaskuler.4,9
3.

analgetik
Digunakan analgetik opiat intravena dan mungkin dibutuhkan antiemetik.4

4.

Antibiotik
Harus spektrum luas, yang mengenai baik aerob dan anaerob, diberikan intravena.
Cefalosporin generasi III dan metronidazole adalah strategi primer. Bagi pasien yang
mendapatkan peritonitis di RS (misalnya oleh karena kebocoran anastomose) atau yang
sedang mendapatkan perawatan intensif, dianjurkan terapi lini kedua diberikan meropenem
atau kombinasi dari piperacillin dan tazobactam. Terapi antifungal juga harus dipikirkan
untuk melindungi dari kemungkinan terpapar spesies Candida. 4,5

Definitif
Pembedahan
1.

Laparotomi
Biasanya dilakukan insisi upper atau lower midline tergantung dari lokasi yang dikira.
Tujuannya untuk :9,10

menghilangkan kausa peritonitis

mengkontrol origin sepsis dengan membuang organ yang


mengalami inflamasi atau ischemic (atau penutupan viscus yang mengalami perforasi).

Peritoneal lavage

Mengkontrol sumber primer dari sepsis adalah sangat penting. Re-laparotomi


mempunyai peran yang penting pada penanganan pasien dengan peritonitis sekunder, dimana
setelah laparotomi primer ber-efek memburuk atau timbul sepsis. Re-operasi dapat dilakukan
sesuai kebutuhan. Relaparotomi yang terencana biasanya dibuat dengan membuka dinding
abdomen dengan pisau bedah sintetik untuk mencegah eviserasi.
Bagaimanapun juga, penelitian menunjukkan bahwa five year survival rate di RS dan
jangka panjang, lebih tinggi pada relaparotomi sewaktu daripada relaparotomi yang
direncanakan. Pemeriksaan ditunjang dengan CT scan. Perlu diingat bahwa tidak semua
pasien sepsis dilakukan laparotomi, tetapi juga memerlukan ventilasi mekanikal,
antimikrobial, dan support organ. Mengatasi masalah dan kontrol pada sepsis saat operasi
adalah sangat penting karena sebagian besar operasi berakibat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas
2.

Laparoskopi
Teori bahwa resiko keganasan pada hiperkapnea dan syok septik dalam absorbsi
karbondioksida dan endotoksin melalui peritoneum yang mengalami inflamasi, belum dapat
dibuktikan. Tetapi, laparoskopi efektif pada penanganan appendicitis akut dan perforasi ulkus
duodenum. Laparoskopi dapat digunakan pada kasus perforasi kolon, tetapi angka konversi
ke laparotomi lebih besar. Syok dan ileus adalah kontraindikasi pada laparoskopi.9

3.

Drain
Efektif digunakan pada tempat yang terlokalisir, tetapi cepat melekat pada dinding
sehingga seringkali gagal untuk menjangkau rongga peritoneum. Ada banyak kejadian yang
memungkinkan penggunaan drain sebagai profilaksis setelah laparotomi.

2.9. Komplikasi
Syok Sepsis1,10

1.

Pasien memerlukan penanganan intensif di ICU


Abses intraabdominal atau sepsis abdominal persisten. 10,11

2.

Pada tanda-tanda sepsis (pireksia, leukositosis), pemeriksaan harus disertakan CT dengan


kontras luminal (khususnya apabila terdapat anastomosis in-situ). Re-laparotomi diperlukan
apabila terdapat peritonitis generalisata. Drainase perkutaneus dengan antobiotik pilihan
terbaik merupakan terapi pada tempat yang terlokalisir. Terapi antibiotik disesuaikan dengan
kultur yang diambil dari hasil drainase. Sepsis abdominal mengakibatkan mortalitas sekitar
30-60%. Faktor yang mempengaruhi tingkat mortalitas adalah :
-

Usia

Penyakit kronis

Wanita

Sepsis pada daerah upper gastrointestinal

Kegagalan menyingkirkan sumber sepsis.


3. Adhesi

Dapat menyebabkan obstruksi intestinal atau volvulus.

2.10. Prognosa
Prognosis untuk peritonitis lokal dan ringan adalah baik, sedangkan pada peritonitis
umum prognosisnya mematikan akibat organisme virulen.1

DAFTAR PUSTAKA

1. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R. 2011 Buku ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta : EGC.
2. Schwartz, Shires, Spencer. 2000.Peritonitis dan Abses Intraabdomen dalam Intisari
Prinsip Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Jakarta : EGC. Hal 489 493
3. Schrock. T. R.. 2000.Peritonitis dan Massa abdominal dalam Ilmu Bedah, Ed.7, alih
bahasa dr. Petrus Lukmanto, EGC, Jakarta.
4. Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S, 2000, Bedah Digestif, dalam Kapita
Selekta Kedokteran, Ed:3; Jilid: 2; p 302-321, Media Aesculapius FKUI, Jakarta.
5. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R, 1997.Gawat Abdomen, dalam Buku ajar Ilmu Bedah;
221-239, EGC, Jakarta.
6. Price, Sylvia. 2005.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6.
Jakarta : EGC.
7. Philips Thorek, Surgical Diagnosis,Toronto University of Illnois College of
Medicine,third edition,1997, Toronto.
8. Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I.1999.Abdomen Akut, dalam Radiologi
Diagnostik, Hal 256-257, Gaya Baru, Jakarta.
9. Rotstein. O. D., Simmins. R. L., 1997, Peritonitis dan Abses Intra-abdomen dalam
Terapi Bedah Mutakhir, Jilid 2, Ed.4, alih bahasa dr. Widjaja Kusuma, Binarupa
Aksara, Jakarta

2.Obat Induksi Propofol


Propofol telah menjadi obat induksi pilihan dalam berbagai macam anastesi. Dengan .
menggunakan propofol didapatkankesadaran yang lebih cepat kembali dengan efek residul
yang minimum pada sistem saraf pusat jika dibandingkan dengan obat induksi lainnya.
Propofol diberikan secara intravena sebagai 1% solusio di dalam pelarut yang seperti susu
putih. Pada saat injeksi didapatkan rasa nyeri pada beberapa pasie, hal ini disebabkan karena
lokasi injeksi terdapat pada vena kecil yang napak di tangan, ketidaknyamanan ini bisa
dikurangi dengan meilih vena yang lebih besar untuk lokasi penyuntikan.
Propofol dengan efek sedatif dan hipnotisnya dianggap muncul karena adanya
interaksi antra propofol degan GABA (Gamma Amino Butiric acid). GABA ialah peghambat
neuroransmitter utama pada sistem saraf pusat.
1. Efek pada cardiovascular : propofol menyebabkan penurunan pada resistensi
pembuluh darah sistemik dan tekanan darah sistemik, dimana efek ini lebih besar
dibandingkan pada penggunaan tiopental. Propofol menyebabkan relaksasi pada otot
halus di pembuluh darah yang disebabakan karena adanya hambatan pada saraf
simpatis. Inotropik negatif juga bisa muncul akibat dikarenakan uptake kalsium
intraseluler juga dihambat. Efek tekanan darah yang sistemik bisa sangat berlebihan
pada pasien-pasien hipovolemik, pasien usia tua, ataupun pada pasien dengan
gangguan jantung. Propofol menghambat kerja dari saraf simpatis pada batas yang
luas sehingga efek parasimpatisnya sangat terasa. Bradikardi dan asistol pernah
dilaporkan kejadiannya setelah induksi dengan propofol, oleh sebab itu kita harus
menyiapkan obat antikolinergik untuk mengatasi stimulasi vagal yg bisa muncul
akibat pemberian propofol.
2. Efek pada ventilasi : rumatan propofol bisa menurunkan tidal volume dan frekuensi
napas. Propofol bisa menyebabkan bronkodilatasi dan menurunkan kemungkinan
terjadinya wheezing saat oprerasi pada pasien-pasien dengan asma.

3. Efek pada sistem saraf pusat : menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen,
laju darah otak, dan tekanan intracranial.

Penggunaan : Propofol telah menggantikan penggunaan thiopental dalam berbagai keadaan


dikarenakan recovery yang hampir komplit tanpa residual efek pada sistem saraf pusat, juga
dikarenakan kecilnya insiden mual dan muntah post operasi. Propofol bersifat hipnotik
murni tanpa disertai efek analgetik maupun relaksasi otot.
Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam anastesi umum untuk pasien
dewasa dan anak yg berusia lebih dari 3 tahun.
Propofol mempunyai efek antikonvulsan yang dominan sehingga aman untuk pasien epilepsy.
Dosis induksi dengan propofol bisa dicapai dengan dosis 1,5 2,5 mg/kgBB IV, sedasi 25100 mcg/kgBB IV infus, dan dosis peeliharaan 100 150 mcg/kgBB/jam. dan menyebabkan
ketidaksadaran dalam waktu 30 detik.

3. Functional residual capasity (FRC)

Kapasitas residu fungsional (KRF) atau Functional residual capacity(FRC) adalah


volume gas yang tersisa dalam paru pada saat akhir expirasi normal tanpa paksaan. Volume
relaksasi (Vr) adalah volume udara saat tendensi paru untuk kolaps atau menguncup melawan
tendensi dinding dada untuk mengembang, saat otot dalam keadaan netral. Ini adalah volume
setelah ekspirasi tidal secara alami /rileks, disebut kapasitas residu fungsional. Jika paru
dipisahkan dengan dinding toraks, seperti saat torakotomi, paru akan kolaps sampai volume
minimum (MV), ditentukan oleh elastisitas paru. Volumenya lebih kecil dari volume residu
dan normalnya sekitar 10% KPT.
KRF membentuk cadangan oksigen. pada saat pasien tidak sadar dengan apnea,
transfer oksigen tetap berlangsung dari udara dalam kapasitas residu. Mekanisme ini akan
mempertahankan saturasi oksigen sampai sekitar 1 menit. Jika tidak ada udara yang tersisa di
paru saat akhir ekspirasi, desaturasi akan segera terjadi. Jika subjek bernapas dengan oksigen
100% sebelum hilang kesadaran (seperti saat induksi anestesi), saturasi akan bertahan jauh
lebih lama, karena kadar oksigen yang 5 kali lebih tinggi dalam KRF.
Volume KRF normal 50% kapasitas paru total (KPT) dan sedikit meningkat dengan
bertambahnya usia, karenya berkurangnya rekoil dan elastisitas paru. Volume tidal normal

saat istirahat sekitar 500 ml. Pada ventilasi mekanik biasanya volume tidal sebesar 7-10
ml/kg BB.
Beberapa faktor yang mempengaruhi KRF:
a. Faktor fisiologis
- Pengerahan tenaga (exertion).
Pada pernapasan tidal biasa, ekspirasi adalah proses pasif saat otot ekspirasi relaksasi.
dengan meningkatnya kebutuhan ventilasi, seperti saat latihan, otot ekspirasi mulai bekerja.
KRF selanjutnya berkurang mendekati volume residu.
- Posisi tubuh.
KRF akan berkurang 25% (rata-rata berkurang dari 3,0 liter menjadi 2,2 liter) pada posisi
supine (terlentang), didorong oleh diafragma akibat organ intra abdomonal yang bergeser ke
kranial.
- Anestesi.
Induksi anestesi akan mengurangi volume KRF 15-20% pada subjek dengan posisi supine.
Reduksi tetap terjadi baik obat pelumpuh otot digunakan atau tidak, dan terjadi pada semua
obat anestesi.
b. Faktor patologis
- Penyakit paru fibrotik.
Paru menjadi lebih kecil dan kaku, dan KRF juga mengecil.
-Penyakit saluran napas obstruktif.
KRF meningkat pada emfisema, disebabkan oleh udara terperangkap dan penurunan rekoil
(akibat compliance yang lebih besar) paru.
- Obesitas sangat mengurangi volume KRF.
Sumber: Dakin J, Kourteli E, Winter R. Making sense of lung function test

Anda mungkin juga menyukai