PENDAHULUAN
Blighted ovum (kehamilan kosong) merupakan salah satu jenis keguguran yang
terjadi pada awal kehamilan. Disebut juga anembryonic pregnancy, blighted
ovum terjadi ketika telur yang dibuahi berhasil melekat pada dinding rahim,
tetapi tidak berisi embrio, hanya terbentuk plasenta dan kulit ketuban yang
ditandai dengan adanya kantung gestasi. Kegagalan telur biasanya terjadi saat
usia 6 minggu, sehingga dapat diabsorbsi kembali oleh uterus. Kasus ini terjadi
ditandai dengan ancaman keguguran atau abortus sebelumnya.1,2,3
Abortus merupakan suatu keadaan dimana terjadinya pengeluaran hasil
konsepsi pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat hasil konsepsi
kurang dari 500 gram. Abortus merupakan komplikasi paling sering dari
kehamilan dan dapat menjadi stress emosional bagi pasangan yang
mengharapkan anak. Pada kehamilan yang secara klinis diketahui, angka
gagalnya kehamilan sebesar 15% untuk usia gestasi 20 minggu dihitung dari
haid pertama haid terakhir. Blighted ovum dianggap merupakan kejadian
kromosomal random yang terjadi pada sekitar 1:5 hingga 1:10 kasus abortus. 1,2
Pada saat konsepsi, sel telur (ovum) yang matang bertemu sperma.
Perkembangan kehamilan dimulai dengan tumbuhnya villi korionik pada
permukaan luar blastokist dan berimplantasi ke dinding rahim. Villi
memproduksi gonadotropin yang merangsang pituitary melepaskan lutenizing
hormone (LH), yang berperan memicu corpus luteum di ovarium membentuk
progesterone dalam jumlah banyak. Normalnya, pada tingkat ini, massa inner
cell mulai membelah dan berdiferensiasi menjadi organ-organ. Sekitar usia 6
minggu, fetus mulai mengembangkan sirkulasinya, dan setelah 8 minggu villi
chorialis mengatur sirkulasi dan membentuk plasenta. Namun pada blighted
ovum, kantung amnion tidak berisi fetus yang disebabkan berbagai faktor maka
sel telur yang telah dibuahi sperma tidak dapat berkembang sempurna, dan
hanya terbentuk plasenta yang berisi cairan. Meskipun demikian plasenta
tersebut tetap tertanam di dalam rahim. 5,6,7 Plasenta menghasilkan hormon hCG
2
(human chorionic gonadotropin) dimana hormon ini akan memberikan sinyal
pada indung telur (ovarium) dan otak sebagai pemberitahuan bahwa sudah
terdapat hasil konsepsi di dalam rahim. Hormon hCG yang menyebabkan
munculnya gejala-gejala kehamilan seperti mual, muntah, dan menyebabkan tes
kehamilan menjadi positif.2,3
II.
ETIOLOGI
Sekitar 60% blighted ovum disebabkan kelainan kromosom dalam proses
pembuahan sel telur dan sperma. Infeksi TORCH, rubella dan streptokokus,
penyakit kencing manis (diabetes mellitus) yang tidak terkontrol, rendahnya
kadar beta-hCG serta faktor imunologis seperti adanya antibodi terhadap janin
juga dapat menyebabkan blighted ovum. Risiko juga meningkat bila usia suami
atau istri semakin tua karena kualitas sperma atau ovum menjadi turun. Teori
lain menunjukkan bahwa blighted ovum disebabkan sel telur yang normal
dibuahi sperma yang abnormal. Penyebab terjadinya blighted ovum ini sulit
dipisahkan dengan penyebab abortus pada umumnya, karena faktor-faktor
penyebab gagalnya perkembangan hasil konsepsi ini dapat mengarah ke
gagalnya mempertahankan kehamilan.3,4
A. Faktor Genetik
Abnormalitas kromosom orang tua dan beberapa faktor imunologi
berhubungan dengan blighted ovum dan abortus secara umum telah diteliti.
Pada tahun 1981 Granat dkk mendeskripsikan adanya translokasi 22/22
pada pria yang istrinya mengalami 6 kali abortus secara berurutan,. Pada
tahun 1990, Smith dan Gaha menemukan insiden yang cukup besar dari
carrier translokasi kromosom pada suatu penelitian terhadap keluarga
abortus habitualis dan didapatkan 15 balanced reciprocal translocations
dan 9 fusi robertsonian pada populasi ini. Kelainan kromosom yang paling
banyak menyebabkan
3
yang menyebabkan konsepsi trisomi. Kelainan struktural kromosom yang
lain adalah mosaicism, single gene disorder dan inverse dapat menyebabkan
abortus habitualis. Single gene disorder dapat diketahui dengan melakukan
pemeriksaan yang seksama terhadap riwayat keluarga atau dengan
mengidentifikasi pola dari kelainan
keturunan.2,3,4,7,8
B. Kelainan Anatomi
Kelainan anatomi mungkin berupa kelainan kongenital atau kelainan yang
didapat. Kelainan kongenital termasuk fusi duktus Mulleri yang inkomplit
atau defek resorpsi septum, paparan diethylstilbestrol (DES) dan kelainan
servik uterus. Wanitawanita dengan septum intrauterin memiliki risiko
abortus spontan sebesar 60%, kebanyakan abortus pada trimester dua,
tetapi dapat juga terjadi pada trimester pertama. Apabila embrio
berimplantasi pada septum karena endometrium pada septum berkembang
buruk
dapat
menyebabkan
kelainan
plasenta.
Pada
paparan
C. Kelainan Hormonal
4
Faktorfaktor endokrinologi yang berhubungan dengan abortus dan
blighted ovum termasuk insufisiensi fase luteal dengan atau tanpa kelainan
dimana luteinizing hormone (LH) hipersekresi, diabetes mellitus, dan
penyakit tiroid. Perkembangan pada kehamilan awal tergantung pada
produksi
estrogen
yang
dihasilkan
oleh
korpus
luteum
sampai
seharusnya
5
tinggi, adanya antitiroid antibodi
Telah ada dalam waktu yang lama tanpa menimbulkan gejala pada ibu
secara nyata sehingga keadaan ini menjadi tidak terdiagnosis dan tidak
diobati
6
akibat dari aktifasi imunologi sebagai respon dari adanya organisme
patologis.4
E. Imunologik
Respon imunologi diatur oleh gen-gen dari major histocompability
complex (MHC) yang berlokasi pada kromosom G. Antigen MHC
golongan I (human leucocyte antigens (HLA)-A, HLA-B dan HLA-C) dan
antigen MHC golongan II (HLA-DF, HLA-DP dan HLA-DQ) menentukan
kompatibilitas imunologik jaringan. Golongan I antigen MHC penting
utnuk mengenali struktur dalam menolak respon mediator dengan limposit
T sitotoksik.3,4
Golongan II antigen MHC menunjukkan antigen untuk limposit T dan
memulai imunitas. Golongan II gen-gen MHC desebut gen-gen respon
imun, secara genetik diatur dan dipercaya untuk menyebabkan penyakit.
Akhir-akhir ini, antigen golongan I MHC nonclassical truncated yang
dikenal HLA-G telah dipaparkan dalam sitotrofoblas manusia dan sel
trofoblas JEG-3, tatapi kemaknaan HLA-G masih spekulasi karena ia
merupakan trofoblas yang unik dan ada hipotasis yang mengatakan bahwa
HLA-G penting untuk gestasi yang berhasil dan respon terhadap HLA-G
yang menyimpang akan mengakibatkan abortus. Faktor-faktor imunologi
terbagi dua, yaitu:2,4
1. Kelainan imunitas seluler
Endometrium dan desisua manusia penuh dengan sel-sel imun dan
inflamasi yang mampu mensekresi sitokin. Respon imun seluler T helper
1 yang abnormal melibatkan sitokin interferon- (IFN-) dan tumor
nekrosis factor (TNF) merupakan hipotesis yang paling sering
dikemukakan untuk kegagalan imunologi reproduksi. Hipotesis ini
menyatakan bahwa konseptur merupakan target local dan respon cell
mediate imun yang akan menyebabkan abortus. Pada wanita-wanita
7
yang mengalami abortus, antigen trofoblas mengaktivasi makrofag dan
limfosit, mengakibatkan respon imun seluler oleh sitokin T helper 1,
IFN- dan TNF yang ditunjukkan dengan menghambat pertumbuhan
embrio in vitro dan perkembangan serta fungsi dari trofoblast. Kadar
TNF dan interleukin 2 yang tinggi didapatkan di serum perifer pada
wanita-wanita yang mengalami abortus dibandingkan dengan wanita
hamil normal, tetapi mekanisme dari hubungan ini belum dapat
dijelaskan.2,4
Mekanisme imun seluler lain yang berperan dalam abortus seperti
defisiensi sel supresor dan aktivasi makrofag berhubungan dengan
kematian janin, meskipun mekanismenya belum bisa dipaparkan.
Ekspresi antigen golongan II MHC yang abnormal atau ekspresi
Golingan I MHC yang tinggi pada sitotrofoblas menimbulkan respon
dari IFN- yang mengakibatkan abortus melalui serangan sitotoksik sel
T yang tinggi.2,4
2. Kelainan imunitas humoral
Antifosfolipid antibodi adalah autoantibodi yang ditujukan melawan
fosfolipid yang bermuatan negatif, yang merupakan komponen esensial
dari membran sel yang memiliki peranan penting dalam fusi selmembran sel. Antifosfolipid antibodi termasuk juga lupus antikoagulan
(walaupun tidak terdapat sistemik lupus eritematosus) dan antibodi
terhadap
kardiolipin
dan
phospatydilgliserin.
Secara
klinis
8
dan juga preeklampsia.
Hasil pemeriksaan
dapat dibuktikan. 2
F. Faktor Lain
Faktor lain yang berhubungan dengan keguguran berulang termasuk juga zatzat racun pada lingkungan, terutama logam berat dan paparan yang lama
terhadap pelarut organik, obat-obatan seperti antiprogestogen, obat
antineoplasma, anestesi, nikotin dan alkohol, demikian juga radiasi. Latihan
yang berat juga belum dapat dibuktikan secara pasti menyebabkan terjadinya
9
keguguran berulang. Koitus dihubungkan dengan adanya persalinan preterm
tetapi untuk terjadinya keguguran belum dapat dipastikan.2,7,10
III. GEJALA KLINIK
Blighted ovum adalah keadaan dimana seorang wanita merasa hamil tetapi tidak
ada bayi di dalam kandungan. Seorang wanita yang mengalaminya juga
merasakan gejala-gejala kehamilan seperti terlambat menstruasi, mual dan
muntah pada awal kehamilan (morning sickness), payudara mengeras, serta
terjadi pembesaran perut, bahkan saat dilakukan tes kehamilan baik planotest
maupun laboratorium hasilnya pun positif.
Gejala penderita dengan blighted ovum menyerupai keguguran pada
umumnya. Keluhan antara lain berupa keluar bercak darah akibat berkurangya
kadar hormon, dan keluhan kehamilan akan berkurang. Jika mulai terjadi proses
keguguran atau sirkulasi fetus dan villi korialis mulai tidak stabil, sekitar usia
10 minggu, dapat terjadi perdarahan intermiten atau kontinu, yang diikuti nyeri
dan abortus komplit. Pada pemeriksaan dengan inspekulo, ostium uteri bias
tertutup (yang didiagnosis dengan abortus imminens) atau terbuka (abortus
inkomplit). 5
Pada beberapa kasus, dapat terjadi resorpsi kehamilan kosong, sehingga
tanda-tanda hamil dapat menghilang dan akhirnya pada pemeriksaan, pasien
dianggap tidak hamil. Hal ini dapat membingungkan bagi penderita karena
terjadi perubahan dari kondisi hamil menjadi tidak hamil.5,6
IV. DIAGNOSIS
Blighted ovum dapat segera terdeteksi segera pada pemeriksaan ultrasonografi
pada minggu 6, karena tidak tampaknya fetus. Pada usia 7 minggu dipastikan
tidak ada fetus. Pencitraan USG dapat dilakukan transabdominal maupun
transvaginal, namun cara yang kedua lebih akurat pada usia kehamilan yang
sangat dini.
10
Pada usia 8 dan 9 minggu, jika perhitungan HPHT tepat, detak jantung bayi atau
pulsasi sudah dapat terdeteksi. Kantung gestasi mulai tampak pada pertengahan
minggu ke 4, dan yolk sac normalnya tampak pada minggu 5. Sehingga, embrio
dapat terlihat jelas mulai pertengahan minggu 5 pada pemeriksaan USG
tranvaginal.
11
Pemeriksaan kadar hormon pada kehamilan dapat juga membantu pemeriksaan
dimana beta-hCG dibentuk oleh plasenta. Normalnya, pada pemeriksaan darah
hormon ini dapat dideteksi pada hari 11 setelah konsepsi, dan pada tes urin pada
hari ke 12-14 hari. Produksi hormone ini akan menjadi 2 kali lipat tiap 72 jam.
Kadarnya akan mencapai jumlah tertinggi pada kehamilan usia 8-11 minggu
lalu menurun. Jika penurunan kadar beta-hCG ini terjadi lebih dini, dapat
dicurigai terjadinya blighted ovum.
V.
PENATALAKSANAAN
Jika telah didiagnosis blighted ovum, maka tindakan selanjutnya adalah
mengeluarkan hasil konsepsi dari rahim (kuretase). Hasil kuretase akan
dianalisis untuk memastikan apa penyebab blighted ovum lalu mengatasi
penyebabnya. Jika karena infeksi maka dapat diobati sehingga kejadian ini tidak
berulang. Jika penyebabnya antibodi maka dapat dilakukan program
imunoterapi sehingga kelak dapat hamil sungguhan.
Untuk mencegah terjadinya blighted ovum, maka dapat dilakukan beberapa
tindakan pencegahan seperti pemeriksaan TORCH, imunisasi rubella pada
wanita yang hendak hamil, bila menderita penyakit disembuhkan dulu,
dikontrol gula darahnya, melakukan pemeriksaan kromosom terutama bila usia
di atas 35 tahun, menghentikan kebiasaan merokok agar kualitas sperma/ovum
baik, memeriksakan kehamilan yang rutin dan membiasakan pola hidup sehat.
Penderita keguguran akan memiliki pertanyaan menyangkut risiko berulangnya
keguguran atau blighted ovum.
Beberapa peneliti menyatakan riwayat blighted ovum tidak memberikan
risiko keguguran selanjutnya, dan 80-85% kehamilan selanjutnya pada
berlangsung hingga aterm. Namun, berbagai penelitian menggambarkan 2550% wanita dengan riwayat keguguran dapat mengalami keguguran ulang. Hal
ini sangat berhubungan dengan etiologi dari keguguran, sehingga deteksi
penyebab dan penatalaksanaan yang tepat perlu dilakukan.
12
Apabila, tindakan evakuasi dilakukan untuk mengeluarkan sisa hasil
konsepsi, penting untuk untuk diperiksa apakah terdapat kelainan pada uterus
seperti uterus bikornus, adanya septum uterus. Pada terhentinya kehamilan
pada trimester pertama, hasil konsepsi sebaiknya dikirim ke bagian histologi
untuk konfirmasi diagnosis dan untuk kariotiping. Pada keguguran dimana
fetus telah terbentuk maka kariotipe fetus harus diperiksa dan pasangan tersebut
disarankan agar bersedia dilakukan pemeriksaan autopsi.
Kemudian harus
histerosalfingografi
atau
apabila
terdapat
ahlinya
lakukan
13
Pemeriksaan sperma
Hal-hal yang perlu diperiksa pada sediaan sperma antara lain volume, waktu
mencairnya, jumlah sel sperma per mililiter, gerakan sperma, PH, jumlah sel
darah putih dan kadar fruktosanya. Sebelum dilakukan pengambilan sampel
sperma (semen) harus melakukan abstinen/tidak mengeluarkan sperma/
ejakulasi 2 - 5 hari sebelumnya. Hal ini bertujuan agar sperma dalam kondisi
paling baik.
Tabel 1. Komponen Analisis Sperma
Volume
Waktu
mencair
Jumlah
sperma
Bentuk
sperma
Gerakan
sperma
pH
Sel darah
putih
Kadar
fruktosa
14
Jika ditemukan jumlah sperma yang rendah atau tingginya abnormalitas, perlu
dilakukan pemeriksaan lanjutan seperti pengukuran kadar hormon: testosteron,
luteinizing hormone (LH), follicle-stimulating hormone (FSH), atau hormon
prolaktin. Juga dilakukan biopsi testis (zakar) dalam kondisi yang sangat
ekstrim (steril misalnya).
Kultur serviks untuk mikoplasma, ureaplasma dan klamidia.
Pemeriksaan lain dilakukan setelah pemeriksaan rutin ini didapatkan penemuan
yang positif, yaitu :
A. Faktor Genetik
Bila ditemukan adanya tanda-tanda abnormalitas dari genetik maka perlu
dilakukan konsultasi terhadap ahli genetik. Perlu dilakukan konseling terhadap
pasangan karena pemeriksaan dari keadaan ini memerlukan biaya yang besar,
selain itu kemungkinan untuk terjadinya kehamilan yang normal kecil. 7
B. Kelainan Anatomi
Bentuk dari kavum uteri harus diperiksa pada setiap wanita yang mengalami
keguguran tiga kali atau lebih secara berturut-turut untuk mengeluarkan
kemungkinan penyebab berupa kelainan bentuk dari uterus.
Metode pemeriksaan yang dapat digunakan ialah histerosalfingografi,
tetapi
dapat
dilakukan
pemeriksaan
ultrasonografi
transvaginal
atau
Tindakan
15
memadai serta memiliki pengalaman dalam tindakan operatif dengan
histeroskopi. 4
Ada peningkatan risiko terjadinya persalinan preterm dan juga abortus
pada wanita dengan kelainan uterus walaupun telah dilakukan perawatan
antenatal yang intensif.
inkompeten serviks.
disarankan, tetapi evaluasi rutin mengenai pendataran dan dilatasi serviks perlu
dilakukan setiap kunjungan antenatal, dan lebih baik bila dilakukan
pemeriksaan ultrasonografi transvaginal.
Pada keadaan adhesi intrauterin (Sindroma Asherman), diagnosis
didapatkan dari histerosalfingografi atau dari histeroskopi. Perlengketan dapat
dilepaskan
dengan
menggunakan
histeroskopi
kemudian
dialkukan
postoperasi.
16
Hipersekresi luteinizing hormon ditegakkan apabila kadar hormon tersebut
pada pemeriksaan darah meningkat 10 IU/L atau lebih, sehingga perlu
dilakukan pemeriksaan darah secara serial. Sebagai alternatif dapat dilakukan
pemeriksaan kadar luteinizing hormon pada urine dimana hipersekresi
lutinizing hormon ditegakkan bila konsentrasi dala urin sebesar 100IU/L atau
lebih. Pengobatan keadaan ini dadalah dengan pemberian GNRH analog yang
akan menekan luteinizing hormone.2,4
Pemeriksaan bagi wanita tanpa adanya gejala atau riwayat diabetes
mellitus tidak perlu dilakukan. Pengendalian kadar gula darah yang optimal
sebelum
kehamilan
merupakan
cara
untuk
keberhasilan
kehamilan.
Pemeriksaan tiroid secara rutin juga belum dapat mendeteksi gangguan fungsi
tiroid. Biasanya pemeriksaan ini dilakukan apabila telah ditemukan adanya
gejala gangguan tiroid.4
D. Infeksi Saluran Reproduksi
Mengenai penatalaksanaan infeksi saluran reproduksi ini tentusaja disesuaikan
dengan jenis organisme yang menginfeksi.
Imunologik
Pemeriksaan anticardiolipin harus dilakukan pada semua wanita dengan
riwayat abortus berulang.
mg/hari) atau heparin dosis rendah (5000-10000 unit tiap 12 jam) telah
dilakukan dan menunjukkan adanya perbaikan pada kehamilan baik itu
dipergunakan sebagai obat tunggal atau kombinasi. Tetapi pemakaian obatobatan ini memiliki risiko.
17
Pada penelitian awal didapatkan adanya gambaran infark yang luas dan nekrosis
pada plasenta wanita yang mengalami abortus yang disebabkan antifosfolipid
antibodi. Berdasarkan dari penelitian ini dan adanya hubungan antara
antifosfolipid antibodi (aPL) dengan adanya trombosis plasenta pada abortus
habitualis, para penemu sepakat mengatakan bahwa adanya trombosis pada
plasenta menyebabkan infark dan menimbulkan kematian fetus. Pada penelitian
De Wolf dkk, didapatkan adanya gambaran vaskulopati desidua yang nekrotik
pada pasien dengan aPL. Ciri-cirinya adalah nekrosis fibrinoid, atherosis
pembuluh desidua (infiltrasi dinding pembuluh darah oleh sel-sel dengan
sitoplasma yang jernih atau foamy cytoplasm) dan inti yang menebal. Ia juga
menemukan bukti adanya vaskulopati desidua pada suatu model murine dengan
kehamilan antifosfolipid. Pada penelitian ini didapatkan administrasi sistemik
pada fraksi IgG pada wanita dengan aPL menyebabkan abortus. Pada
pemeriksaan histologik didapatkan deposit IgG dan fibrin di dalam atau
disekeliling desidua.5-8
Pada penelitian kasus-kontrol yang lain didapatkan mengenai hubungan
antara patologi plasenta dan aPL dan didapatkan bahwa 47 kehamilan
menghasilkan janin mati. Plasenta dari wanita yang menderita aPL memiliki
plasenta yang lebih fibrosis, villi hipovaskular, trombosis dan membran yang
infark dan sedikit memiliki vaskulosinsitial dibandingkan dengan wanita tanpa
aPL. Kenyataannya pada wanita dengan aPL didapatkan plasentanya trombosis
atau infark. Penelitian ini memberikan bukti yang kuat untuk penyebab
trombosis pada janin mati pada wanita dengan aPL.5-8
Penelitian lain menyebutkan adanya hubungan antara peningkatan kadar
MSAFP dan keguguran dengan wanita dengan aPL. Peningkatan kadar ini tidak
bias dijelaskan dan ditemukan pada 13 dari 60 kehamilan dengan aPL. Pada
penelitian ini juga didapatkan bahwa dengan peningkatan kadar MSAFP
menyebabka peningkatan insiden kematian janin (63% berbanding6%) dan
kematian perinatal (77% berbanding 15%) dibandingkan dengan kadar yang
18
normal. Pada aPL peningkatan kadar MSAFP pada trimester dua bisa
merupakan marker untuk kerusakan palsenta pada trimester dua.3-5
Plasenta dari embrio dengan kromosom trisomi jarang memiliki gambaran
yang bervariasi bila dilihat dengan mata telanjang meskipun ada yang tampak
mikrositik, perubahan vesikuler yang fokal tetapi hampir 50% secara
makroskopik normal. Pada pemeriksaan histologi sebagaian dari plasenta ini
menunjukkan perubahan fokal villi-villi yang hidrofili dan difus, tampak villi
trofoblas hipoplastik dan tampak sel sitotrofoblastik dalams troma villi, sel-sel
ini ditemukan oleh Phillippe dan Bou pada tahun 1969 dan 1970, Cohen pada
tahun 1972 dan Honor, Dill dan Poland pada tahun 1976. Adanya sel-sel
tersebut merupakan gambaran khas dari plasenta trisomi dan adanya
deskuamasi dari lapisan trofoblastik.
Phillippe dan Bou pada tahun 1969 menyatakan bahwa banyak sel-sel
tampak pada kasus-kasus trisomi C, D atau E, tetapi Honor. Dill dan Poland
pada tahun 1976 menyatakan bahwa sel-sel tersebut dapat tampak pada seluruh
jenis sindroma trisomi. Adanya intra stroma bukan merupakan gambaran yang
spesifik pada plasenta trisomi karena mungkin sel-sel ini didapatkan pada
kromosom normal. Hampir 50% pada plasenta trisomi, villinya tidak
menunjukkan perubahan villi tetapi ada juga yang menunjukkan sel-sel stroma
immatur yang persisten dari sel-sel sitotrofoblastik intra stroma.4-8
19
VII. RUJUKAN
1. Wibowo B, Wiknjosastro H: Kelainan dalam lamanya kehamilan. Dalam:
Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T: Ilmu kebidanan. Edisi ketiga.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1994; 302-312
2. Hill JA: Recurrent spontaneous early pregnancy loss. In: Berekj JS, Adashi EY,
Hillard PA: Novaks gynecology 12th edition. Pennsylvania: Williams & Wilkins Co,
1996;963-979
3. Schorge JO, Schaffer JI, Halvorson LM, Hoffman BL, Bradshaw KD, Cunningham
FG. First trimester abortion. In: Williams Gynecology 22 nd ed. New York: McGrawHill; 2008:298-325
4. Porter FT, Branch DW, Scott JR. Early pregnancy loss. In: Danforths Obstetric and
Gynecology 10th ed. New York. Lippincott Williams & Wilkins; 2009:61-70
20
5. Prawirohardjo S, Wiknjosastro H: Gangguan bersangkutan dengan konsepsi. Dalam:
Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T: Ilmu kandungan. Edisi kedua.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1997; 246-250
6. Hatasaka HH: Recurrent miscarriage: epidemiologic factors, definitions and
incidence. In: Clin obstet gynecol 37; 1994; 625-634
7. Byrne JLB, Ward K: Genetic factors in recurrent abortion. In: Clin obstet gynecol 37;
1994; 693-704
8. Hunt JS, Roby KF: Implantation factors. In: Clin obstet gynecol 37; 1994; 635-645
9. Brent RL, Beckman DA: The contributional of environmental teratogens to
embryonic and fetal loss. In: Clin obstet gynecol 37; 1994; 646-664