Anda di halaman 1dari 20

I.

PENDAHULUAN
Blighted ovum (kehamilan kosong) merupakan salah satu jenis keguguran yang
terjadi pada awal kehamilan. Disebut juga anembryonic pregnancy, blighted
ovum terjadi ketika telur yang dibuahi berhasil melekat pada dinding rahim,
tetapi tidak berisi embrio, hanya terbentuk plasenta dan kulit ketuban yang
ditandai dengan adanya kantung gestasi. Kegagalan telur biasanya terjadi saat
usia 6 minggu, sehingga dapat diabsorbsi kembali oleh uterus. Kasus ini terjadi
ditandai dengan ancaman keguguran atau abortus sebelumnya.1,2,3
Abortus merupakan suatu keadaan dimana terjadinya pengeluaran hasil
konsepsi pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat hasil konsepsi
kurang dari 500 gram. Abortus merupakan komplikasi paling sering dari
kehamilan dan dapat menjadi stress emosional bagi pasangan yang
mengharapkan anak. Pada kehamilan yang secara klinis diketahui, angka
gagalnya kehamilan sebesar 15% untuk usia gestasi 20 minggu dihitung dari
haid pertama haid terakhir. Blighted ovum dianggap merupakan kejadian
kromosomal random yang terjadi pada sekitar 1:5 hingga 1:10 kasus abortus. 1,2
Pada saat konsepsi, sel telur (ovum) yang matang bertemu sperma.
Perkembangan kehamilan dimulai dengan tumbuhnya villi korionik pada
permukaan luar blastokist dan berimplantasi ke dinding rahim. Villi
memproduksi gonadotropin yang merangsang pituitary melepaskan lutenizing
hormone (LH), yang berperan memicu corpus luteum di ovarium membentuk
progesterone dalam jumlah banyak. Normalnya, pada tingkat ini, massa inner
cell mulai membelah dan berdiferensiasi menjadi organ-organ. Sekitar usia 6
minggu, fetus mulai mengembangkan sirkulasinya, dan setelah 8 minggu villi
chorialis mengatur sirkulasi dan membentuk plasenta. Namun pada blighted
ovum, kantung amnion tidak berisi fetus yang disebabkan berbagai faktor maka
sel telur yang telah dibuahi sperma tidak dapat berkembang sempurna, dan
hanya terbentuk plasenta yang berisi cairan. Meskipun demikian plasenta
tersebut tetap tertanam di dalam rahim. 5,6,7 Plasenta menghasilkan hormon hCG

2
(human chorionic gonadotropin) dimana hormon ini akan memberikan sinyal
pada indung telur (ovarium) dan otak sebagai pemberitahuan bahwa sudah
terdapat hasil konsepsi di dalam rahim. Hormon hCG yang menyebabkan
munculnya gejala-gejala kehamilan seperti mual, muntah, dan menyebabkan tes
kehamilan menjadi positif.2,3
II.

ETIOLOGI
Sekitar 60% blighted ovum disebabkan kelainan kromosom dalam proses
pembuahan sel telur dan sperma. Infeksi TORCH, rubella dan streptokokus,
penyakit kencing manis (diabetes mellitus) yang tidak terkontrol, rendahnya
kadar beta-hCG serta faktor imunologis seperti adanya antibodi terhadap janin
juga dapat menyebabkan blighted ovum. Risiko juga meningkat bila usia suami
atau istri semakin tua karena kualitas sperma atau ovum menjadi turun. Teori
lain menunjukkan bahwa blighted ovum disebabkan sel telur yang normal
dibuahi sperma yang abnormal. Penyebab terjadinya blighted ovum ini sulit
dipisahkan dengan penyebab abortus pada umumnya, karena faktor-faktor
penyebab gagalnya perkembangan hasil konsepsi ini dapat mengarah ke
gagalnya mempertahankan kehamilan.3,4
A. Faktor Genetik
Abnormalitas kromosom orang tua dan beberapa faktor imunologi
berhubungan dengan blighted ovum dan abortus secara umum telah diteliti.
Pada tahun 1981 Granat dkk mendeskripsikan adanya translokasi 22/22
pada pria yang istrinya mengalami 6 kali abortus secara berurutan,. Pada
tahun 1990, Smith dan Gaha menemukan insiden yang cukup besar dari
carrier translokasi kromosom pada suatu penelitian terhadap keluarga
abortus habitualis dan didapatkan 15 balanced reciprocal translocations
dan 9 fusi robertsonian pada populasi ini. Kelainan kromosom yang paling
banyak menyebabkan

abortus habitualis adalah balanced translocation

3
yang menyebabkan konsepsi trisomi. Kelainan struktural kromosom yang
lain adalah mosaicism, single gene disorder dan inverse dapat menyebabkan
abortus habitualis. Single gene disorder dapat diketahui dengan melakukan
pemeriksaan yang seksama terhadap riwayat keluarga atau dengan
mengidentifikasi pola dari kelainan

yang dikenal dengan pola

keturunan.2,3,4,7,8
B. Kelainan Anatomi
Kelainan anatomi mungkin berupa kelainan kongenital atau kelainan yang
didapat. Kelainan kongenital termasuk fusi duktus Mulleri yang inkomplit
atau defek resorpsi septum, paparan diethylstilbestrol (DES) dan kelainan
servik uterus. Wanitawanita dengan septum intrauterin memiliki risiko
abortus spontan sebesar 60%, kebanyakan abortus pada trimester dua,
tetapi dapat juga terjadi pada trimester pertama. Apabila embrio
berimplantasi pada septum karena endometrium pada septum berkembang
buruk

dapat

menyebabkan

kelainan

plasenta.

Pada

paparan

diethylstilbestrol (DES) intra uterine dapat menyebabkan kelainan uterus,


yang paling sering adalah hipoplasia yang dapat menyebabkan abortus
pada trimester pertama dan kedua, serviks inkompeten dan persalinan
prematurus. Kelainan anatomi

didapat yang potensial menyebabkan

abortus seperti adhesi intra uterine (Sindroma Asherman) yang disebabkan


oleh kuretase endometrium atau evakuasi hasil konsepsi yang terperangkap
terlalu dalam dan berulang, leiomioma yang mempengaruhi arah dari
kavum uteri dan endometriosis. Hubungan keadaan ini dengan adanya
keguguran berulang secara teori ialah bahwa pada kasus adesi dan
leiomioma terjadi adanya gangguan suplai darah, sementara pada
endometriosis berhubungan dengan faktor imunologi.2,5

C. Kelainan Hormonal

4
Faktorfaktor endokrinologi yang berhubungan dengan abortus dan
blighted ovum termasuk insufisiensi fase luteal dengan atau tanpa kelainan
dimana luteinizing hormone (LH) hipersekresi, diabetes mellitus, dan
penyakit tiroid. Perkembangan pada kehamilan awal tergantung pada
produksi

estrogen

yang

dihasilkan

oleh

korpus

luteum

sampai

kecukupannya terpenuhi diproduksi oleh perkembangan trofoblast, yang


terjadi pada usia kehamilan 79 minggu. Abortus spontan terjadi pada
kehamilan kurang dari 10 minggu jika korpus luteum gagal untuk
memproduksi progesteron yang cukup, adanya gangguan distribusi
progesteron ke uterus, atau bila pemakaian hormon progesteron pada
endometrium dan desidua terganggu. Keguguran juga dapat terjadi apabila
trofoblas

tidak dapat menghasilkan progesteron yang

seharusnya

menggantikan progesteron dari korpus luteum ketika korpus luteum


menghilang.2,9
Sekresi LH yang abnormal juga memiliki akibat langsung pada
perkembangan oosit, menyebabkan penuaan yang prematur, dan pada
endometrium menyebabkan maturasi yang tidak sinkron. Dipihak lain,
sekresi luteinizing hormone yang abnormal dapat menimbulkan keguguran
secara tidak langsung dengan cara meningkatkan kadar hormon testosteron.
Keadaan gangguan sekresi luteinizing hormone biasanya berhubungan
dengan adanya polikistik ovarium.4
Mekanisme yang mungkin menyebabkan terjadinya keguguran pada
penderita diabetes mellitus ialah gangguan aliran darah pada uterus
terutama sekali pada kasus-kasus dengan diabetes mellitus tahap lanjut. 4
Hipotiroid merupakan gangguan endokrin lain yang dihubungkan
dengan adanya abortus berulang, terutama sekali sebagai akibat disfungsi
korpus luteum dan ovulasi yang sering menyertai penyakit tiroid.
Antitiroid antibodi juga dihubungkan dengan abortus berulang. Karena
pada awal kehamilan tubuh membutuhkan kadar hormon tiroid yang lebih

5
tinggi, adanya antitiroid antibodi

dapat menjadi suatu petanda bagi

seseorang untuk terjadi peningkatan risiko terjadinya abnormalitas tiroid


yang dapat berakhir pada keguguran. Kelainan-kelainan regulasi hormonal
tersebut juga mampu menyebabkan kegagalan perkembangan atau
pembentukan janin.2,4
D. Infeksi Saluran Reproduksi
Walaupun keguguran telah dihubungkan dengan organisme seperti
Ureaplasma urealyticum, Mycoplasma hominis, Chlamydia trachomatis,
dan Toxoplasma gondii, namun tidak ada hubungan yang meyakinkan
dengan abortus berulang. Adanya organisme tersebut pada saat terjadinya
keguguran tidak dapat dianggap sebagai bukti organisme tersebut sebagai
penyebab dari keguguran. Organisme-organisme tersebut dapat menjadi
penyebab keguguran apabila4:

Telah ada dalam waktu yang lama tanpa menimbulkan gejala pada ibu
secara nyata sehingga keadaan ini menjadi tidak terdiagnosis dan tidak
diobati

Memiliki jalur untuk masuk ke lingkungan intrauteri sehingga


menginfeksi jaringan fetus dan/atau menstimulasi terjadinya proses
radang.

Terdapat bukti bahwa vaginosis bakterialis berhubungan dengan keguguran


dan juga menjadi faktor risiko terjadinya persalinan preterm. Bakterial
vaginosis disebabkan karena terganggunya flora normal dari vagina.
Terjadi pertumbuhan berlebih dari bakteri anaerob dan lactobacilli yang
normal tidak ada atau tidak banyak terdapat. Tidak didapatkan adanya
hubungan yang nyata dengan keguguran dan hubungan ini masih perlu
dibuktikan. Terdapat teori yang menyatakan bahwa keguguran merupakan

6
akibat dari aktifasi imunologi sebagai respon dari adanya organisme
patologis.4
E. Imunologik
Respon imunologi diatur oleh gen-gen dari major histocompability
complex (MHC) yang berlokasi pada kromosom G. Antigen MHC
golongan I (human leucocyte antigens (HLA)-A, HLA-B dan HLA-C) dan
antigen MHC golongan II (HLA-DF, HLA-DP dan HLA-DQ) menentukan
kompatibilitas imunologik jaringan. Golongan I antigen MHC penting
utnuk mengenali struktur dalam menolak respon mediator dengan limposit
T sitotoksik.3,4
Golongan II antigen MHC menunjukkan antigen untuk limposit T dan
memulai imunitas. Golongan II gen-gen MHC desebut gen-gen respon
imun, secara genetik diatur dan dipercaya untuk menyebabkan penyakit.
Akhir-akhir ini, antigen golongan I MHC nonclassical truncated yang
dikenal HLA-G telah dipaparkan dalam sitotrofoblas manusia dan sel
trofoblas JEG-3, tatapi kemaknaan HLA-G masih spekulasi karena ia
merupakan trofoblas yang unik dan ada hipotasis yang mengatakan bahwa
HLA-G penting untuk gestasi yang berhasil dan respon terhadap HLA-G
yang menyimpang akan mengakibatkan abortus. Faktor-faktor imunologi
terbagi dua, yaitu:2,4
1. Kelainan imunitas seluler
Endometrium dan desisua manusia penuh dengan sel-sel imun dan
inflamasi yang mampu mensekresi sitokin. Respon imun seluler T helper
1 yang abnormal melibatkan sitokin interferon- (IFN-) dan tumor
nekrosis factor (TNF) merupakan hipotesis yang paling sering
dikemukakan untuk kegagalan imunologi reproduksi. Hipotesis ini
menyatakan bahwa konseptur merupakan target local dan respon cell
mediate imun yang akan menyebabkan abortus. Pada wanita-wanita

7
yang mengalami abortus, antigen trofoblas mengaktivasi makrofag dan
limfosit, mengakibatkan respon imun seluler oleh sitokin T helper 1,
IFN- dan TNF yang ditunjukkan dengan menghambat pertumbuhan
embrio in vitro dan perkembangan serta fungsi dari trofoblast. Kadar
TNF dan interleukin 2 yang tinggi didapatkan di serum perifer pada
wanita-wanita yang mengalami abortus dibandingkan dengan wanita
hamil normal, tetapi mekanisme dari hubungan ini belum dapat
dijelaskan.2,4
Mekanisme imun seluler lain yang berperan dalam abortus seperti
defisiensi sel supresor dan aktivasi makrofag berhubungan dengan
kematian janin, meskipun mekanismenya belum bisa dipaparkan.
Ekspresi antigen golongan II MHC yang abnormal atau ekspresi
Golingan I MHC yang tinggi pada sitotrofoblas menimbulkan respon
dari IFN- yang mengakibatkan abortus melalui serangan sitotoksik sel
T yang tinggi.2,4
2. Kelainan imunitas humoral
Antifosfolipid antibodi adalah autoantibodi yang ditujukan melawan
fosfolipid yang bermuatan negatif, yang merupakan komponen esensial
dari membran sel yang memiliki peranan penting dalam fusi selmembran sel. Antifosfolipid antibodi termasuk juga lupus antikoagulan
(walaupun tidak terdapat sistemik lupus eritematosus) dan antibodi
terhadap

kardiolipin

dan

phospatydilgliserin.

Secara

klinis

antifosfolipid antibodi dihubungkan dengan trombositopenia, trombosis


dan keguguran berulang.

Juga dihubungkan sebagai penyebab dari

komplikasi kehamilan yang lain apabila kehamilan berlanjut hingga


trimester ketiga, seperti persalinan prematur, ketuban pecah sebelum
waktunya, kematian janin dalam rahim, pertumbuhan janin terhambat

8
dan juga preeklampsia.

Uteroplasental trombosis dianggap sebagai

penyebab utama dari berakhirnya kehamilan.4,7


Lupus antikoagulan menyebabkan tes koagulasi yang bergantung
dengan

phospholipid seperti activated partial thromboplastin time

(APTT) menjadi memanjang dan dan tetap demikian walaupun telah


ditambah dengan plasma yang normal. Anti kardiolipin IgG atau IgM
dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan ELISA.

Hasil pemeriksaan

yang positif sebaiknya dulangi kembali setelah beberapa minggu untuk


memastikan kebenaran hasil positif ini. 4
Prevalensi dari antifosfolipid antibodi ini pada populasi antenatal
secara umum adalah sekitar 2% dibandingkan dengan ibu-ibu yang
mengalami keguguran berulang yaitu sekitar 15%. Tingkat keberhasilan
kehamilan pada keadaan yang tidak diobati ialah sekitar 10-15% dan
keguguran berulang seringkali merupakan manifestasi awal penyakit.
Mekanisme untuk terjadinya keguguran akibat dari antifosfolipid
antibodi adalah peningkatan tromboksan dan penurunan sintesis
prostasiklin sehingga menimbulkan adesi platelet pada pembuluh darah
di plasenta.4,7
Keadaan immunologik lain yang mungkin juga menyebabkan
terjadinya keguguran ialah antibodi antisperma, antibodi antitrofoblas,
dan defisiensi blocking antibody.

Namun keadaan ini masih belum

dapat dibuktikan. 2
F. Faktor Lain
Faktor lain yang berhubungan dengan keguguran berulang termasuk juga zatzat racun pada lingkungan, terutama logam berat dan paparan yang lama
terhadap pelarut organik, obat-obatan seperti antiprogestogen, obat
antineoplasma, anestesi, nikotin dan alkohol, demikian juga radiasi. Latihan
yang berat juga belum dapat dibuktikan secara pasti menyebabkan terjadinya

9
keguguran berulang. Koitus dihubungkan dengan adanya persalinan preterm
tetapi untuk terjadinya keguguran belum dapat dipastikan.2,7,10
III. GEJALA KLINIK
Blighted ovum adalah keadaan dimana seorang wanita merasa hamil tetapi tidak
ada bayi di dalam kandungan. Seorang wanita yang mengalaminya juga
merasakan gejala-gejala kehamilan seperti terlambat menstruasi, mual dan
muntah pada awal kehamilan (morning sickness), payudara mengeras, serta
terjadi pembesaran perut, bahkan saat dilakukan tes kehamilan baik planotest
maupun laboratorium hasilnya pun positif.
Gejala penderita dengan blighted ovum menyerupai keguguran pada
umumnya. Keluhan antara lain berupa keluar bercak darah akibat berkurangya
kadar hormon, dan keluhan kehamilan akan berkurang. Jika mulai terjadi proses
keguguran atau sirkulasi fetus dan villi korialis mulai tidak stabil, sekitar usia
10 minggu, dapat terjadi perdarahan intermiten atau kontinu, yang diikuti nyeri
dan abortus komplit. Pada pemeriksaan dengan inspekulo, ostium uteri bias
tertutup (yang didiagnosis dengan abortus imminens) atau terbuka (abortus
inkomplit). 5
Pada beberapa kasus, dapat terjadi resorpsi kehamilan kosong, sehingga
tanda-tanda hamil dapat menghilang dan akhirnya pada pemeriksaan, pasien
dianggap tidak hamil. Hal ini dapat membingungkan bagi penderita karena
terjadi perubahan dari kondisi hamil menjadi tidak hamil.5,6
IV. DIAGNOSIS
Blighted ovum dapat segera terdeteksi segera pada pemeriksaan ultrasonografi
pada minggu 6, karena tidak tampaknya fetus. Pada usia 7 minggu dipastikan
tidak ada fetus. Pencitraan USG dapat dilakukan transabdominal maupun
transvaginal, namun cara yang kedua lebih akurat pada usia kehamilan yang
sangat dini.

10
Pada usia 8 dan 9 minggu, jika perhitungan HPHT tepat, detak jantung bayi atau
pulsasi sudah dapat terdeteksi. Kantung gestasi mulai tampak pada pertengahan
minggu ke 4, dan yolk sac normalnya tampak pada minggu 5. Sehingga, embrio
dapat terlihat jelas mulai pertengahan minggu 5 pada pemeriksaan USG
tranvaginal.

Gambar 1. Gambaran USG Blighted Ovum Dibandingkan dengan Kehamilan


Normal
Tidak ditemukan fetal pole, dengan kantung gestasi (ges sac) diameter lebih dari 10 mm tanpa
yolk sac, diameter 15 mm tanpa mudigah pada USG transvaginal atau lebih dari 25 mm pada
USG transabdominal. Sedangkan pada gambar di sebelah kanan tampak gambaran hiperechoic
berupa fetal pole di dalam ges sac.
Dikutip dari Williams Gynecology

Gambar 2. Blighted ovum pada uterus bicornu unicolis

11
Pemeriksaan kadar hormon pada kehamilan dapat juga membantu pemeriksaan
dimana beta-hCG dibentuk oleh plasenta. Normalnya, pada pemeriksaan darah
hormon ini dapat dideteksi pada hari 11 setelah konsepsi, dan pada tes urin pada
hari ke 12-14 hari. Produksi hormone ini akan menjadi 2 kali lipat tiap 72 jam.
Kadarnya akan mencapai jumlah tertinggi pada kehamilan usia 8-11 minggu
lalu menurun. Jika penurunan kadar beta-hCG ini terjadi lebih dini, dapat
dicurigai terjadinya blighted ovum.
V.

PENATALAKSANAAN
Jika telah didiagnosis blighted ovum, maka tindakan selanjutnya adalah
mengeluarkan hasil konsepsi dari rahim (kuretase). Hasil kuretase akan
dianalisis untuk memastikan apa penyebab blighted ovum lalu mengatasi
penyebabnya. Jika karena infeksi maka dapat diobati sehingga kejadian ini tidak
berulang. Jika penyebabnya antibodi maka dapat dilakukan program
imunoterapi sehingga kelak dapat hamil sungguhan.
Untuk mencegah terjadinya blighted ovum, maka dapat dilakukan beberapa
tindakan pencegahan seperti pemeriksaan TORCH, imunisasi rubella pada
wanita yang hendak hamil, bila menderita penyakit disembuhkan dulu,
dikontrol gula darahnya, melakukan pemeriksaan kromosom terutama bila usia
di atas 35 tahun, menghentikan kebiasaan merokok agar kualitas sperma/ovum
baik, memeriksakan kehamilan yang rutin dan membiasakan pola hidup sehat.
Penderita keguguran akan memiliki pertanyaan menyangkut risiko berulangnya
keguguran atau blighted ovum.
Beberapa peneliti menyatakan riwayat blighted ovum tidak memberikan
risiko keguguran selanjutnya, dan 80-85% kehamilan selanjutnya pada
berlangsung hingga aterm. Namun, berbagai penelitian menggambarkan 2550% wanita dengan riwayat keguguran dapat mengalami keguguran ulang. Hal
ini sangat berhubungan dengan etiologi dari keguguran, sehingga deteksi
penyebab dan penatalaksanaan yang tepat perlu dilakukan.

12
Apabila, tindakan evakuasi dilakukan untuk mengeluarkan sisa hasil
konsepsi, penting untuk untuk diperiksa apakah terdapat kelainan pada uterus
seperti uterus bikornus, adanya septum uterus. Pada terhentinya kehamilan
pada trimester pertama, hasil konsepsi sebaiknya dikirim ke bagian histologi
untuk konfirmasi diagnosis dan untuk kariotiping. Pada keguguran dimana
fetus telah terbentuk maka kariotipe fetus harus diperiksa dan pasangan tersebut
disarankan agar bersedia dilakukan pemeriksaan autopsi.

Kemudian harus

dilakukan follow up dan konseling pada pasien.4


Pemeriksaan yang sebaiknya dilakukan rutin apabila menemukan adanya
abortus dan blighted ovum ialah sebagai berikut. 2,4
Periksa kariotipe kedua pasangan
Lakukan

histerosalfingografi

atau

apabila

terdapat

ahlinya

lakukan

ultrasonografi transvaginal atau histeroskopi untuk melihat kelainan bentuk


uterus, panjang serviks, ataupun adanya adhesi intrauterus
Pemeriksaan luteinizing hormon pada hari 3-6 siklus, pemeriksaan Follicle
Stimulating hormone serta testosteron untuk memeriks adanya hipersekresi
Luteinizing hormone atau adanya sindroma polikistik ovarium. Selain itu
ultrasonografi transvaginal juga berperan dalam menentukan adanya
polikistik ovarium selain untuk memeriksa kelainan pada uterus atau rongga
uterus.
Pemeriksaan Glycosylated hemoglobin (HbA1c) apabila pasien diketahui
mengidap diabetes mellitus atau memiliki riwayat keluarga dengan diabetes
mellitus
Penapisan antifosfolipid antibodi untuk Lupus antikoagulan, IgG dan IgM
anticardiolipin antibodi dan antinuclear faktor.

Hal ini juga berarti

dilakukannya pemeriksaan VDRL dan APTT


Uji fungsi tiroid, termasuk hormone stimulasi tiroid dan antibodi antitiroid
Pemeriksaan platelet

13
Pemeriksaan sperma
Hal-hal yang perlu diperiksa pada sediaan sperma antara lain volume, waktu
mencairnya, jumlah sel sperma per mililiter, gerakan sperma, PH, jumlah sel
darah putih dan kadar fruktosanya. Sebelum dilakukan pengambilan sampel
sperma (semen) harus melakukan abstinen/tidak mengeluarkan sperma/
ejakulasi 2 - 5 hari sebelumnya. Hal ini bertujuan agar sperma dalam kondisi
paling baik.
Tabel 1. Komponen Analisis Sperma
Volume

Waktu
mencair
Jumlah
sperma
Bentuk
sperma

Gerakan
sperma

pH

Sel darah
putih

Kadar
fruktosa

Normal : minimal 2 mL - 6,5 mL per ejakulasi


Abnormal : Volume yang rendah atau bahkan yang berlebih
dapat menyebabkan masalah kesuburan
Normal : Kurang dari 60 menit
Abnormal: Masa mencair yang lama bisa merupakan tanda
infeksi
Normal : 20150 juta per mL
Abnormal : Jumlah yang rendah kadang masih bisa
menghasilkan keturunan secara normal.
Normal : Minimal 70% memiliki bentuk dan
struktur normal.
Abnormal : Sperma yang abnormal bentuknya kurang dari 15
% disebut teratozoopsermia.
Normal : Minimal 60% sperma bergerak maju ke
depan atau minimal 8 juta sperma per-mL
bergerak normal maju ke depan.
Abnormal : Jika sebagian besar geraknya tidak
normal akan menyebabkan masalah fertilitas.
Normal : pH of 7.18.0
Abnormal : pH yang tinggi atau lebih rendah dapat
mengganggu penetrasi
Normal : Tidak ada sel darah putih atau bakteri.
Abnormal : Bakteri dan sel darah putih yg banyak
menunjukkan adanya infeksi.
Normal : 300 mg per 100 mL ejakulat
Abnormal :Tidak adanya fruktosa memperlihatkan tidak
adanya vesikula seminalis atau blokade pada organ ini.

14
Jika ditemukan jumlah sperma yang rendah atau tingginya abnormalitas, perlu
dilakukan pemeriksaan lanjutan seperti pengukuran kadar hormon: testosteron,
luteinizing hormone (LH), follicle-stimulating hormone (FSH), atau hormon
prolaktin. Juga dilakukan biopsi testis (zakar) dalam kondisi yang sangat
ekstrim (steril misalnya).
Kultur serviks untuk mikoplasma, ureaplasma dan klamidia.
Pemeriksaan lain dilakukan setelah pemeriksaan rutin ini didapatkan penemuan
yang positif, yaitu :
A. Faktor Genetik
Bila ditemukan adanya tanda-tanda abnormalitas dari genetik maka perlu
dilakukan konsultasi terhadap ahli genetik. Perlu dilakukan konseling terhadap
pasangan karena pemeriksaan dari keadaan ini memerlukan biaya yang besar,
selain itu kemungkinan untuk terjadinya kehamilan yang normal kecil. 7
B. Kelainan Anatomi
Bentuk dari kavum uteri harus diperiksa pada setiap wanita yang mengalami
keguguran tiga kali atau lebih secara berturut-turut untuk mengeluarkan
kemungkinan penyebab berupa kelainan bentuk dari uterus.
Metode pemeriksaan yang dapat digunakan ialah histerosalfingografi,
tetapi

dapat

dilakukan

pemeriksaan

ultrasonografi

transvaginal

atau

histeroskopi untuk memeriksa kelainan tersebut .4,7


Defek yang kecil tidak berarti harus dilakukan operasi.

Tindakan

metroplasti abdominal dilakukan pada keadaan terdapatnya septum uterus,


tetapi tindakan ini belum pernah dilakukan evaluasi prospektif secara baik dan
dikatakan memiliki hubungan dengan keadaan infertilitas postperatif.
Tindakan operatif untuk menghilangkan septum uterus ataupun perlengketan
dapat dilakukan dengan cara reseksi transervikal histeroskopi, dikatakan bahwa
tindakan ini memiliki hasil yang cukup memuaskan, namun tindakan operatif
ini hanya dapat dilakukan oleh klinisi yang telah mendapatkan pelatihan yang

15
memadai serta memiliki pengalaman dalam tindakan operatif dengan
histeroskopi. 4
Ada peningkatan risiko terjadinya persalinan preterm dan juga abortus
pada wanita dengan kelainan uterus walaupun telah dilakukan perawatan
antenatal yang intensif.
inkompeten serviks.

Hal ini sering dihubungkan dengan adanya

Pemberian tokolitik oral sebagai profilaksis tidak

disarankan, tetapi evaluasi rutin mengenai pendataran dan dilatasi serviks perlu
dilakukan setiap kunjungan antenatal, dan lebih baik bila dilakukan
pemeriksaan ultrasonografi transvaginal.
Pada keadaan adhesi intrauterin (Sindroma Asherman), diagnosis
didapatkan dari histerosalfingografi atau dari histeroskopi. Perlengketan dapat
dilepaskan

dengan

menggunakan

histeroskopi

kemudian

dialkukan

pemasangan IUD selama 6 minggu untuk mencegah terjadinya perlengketan


kembali.

Antibiotik berspektrum luas perlu diberikan sampai 1 minggu

postoperasi.

Perkembangan janin pada kehamilan setelah tindakan harus

diawasi secara hati-hati karena adanya kemungkinan implantasi pada tempat


yang kurang ideal.2,4
Mengenai leiomyoma maka perlu dilakukan tindakan operatif bila mioma
tersebut berupa mioma submukosa.

Tindakan operatif tersebut berupa

miomektomi. Pemberian GnRH selama tiga bulan juga dapat mengurangi


ukuran dari mioma tersebut.2,4
C. Abnormalitas Hormonal
Gangguan fase luteal ditegakkan dengan cara pemeriksaan suhu basal dimana
fase luteal berlangsung selama kurang dari 10 hari, atau kadar progesteron
serum kurang dari 15 nmol/L selama lima siklus berturut-turut. Namun pada
penelitian ternyata didapatkan bahwa tidak adanya bukti yang mendukung
secara nyata bahwa pemberian hormon progesteron tidak mengurangi risiko
terjadinya keguguran .4

16
Hipersekresi luteinizing hormon ditegakkan apabila kadar hormon tersebut
pada pemeriksaan darah meningkat 10 IU/L atau lebih, sehingga perlu
dilakukan pemeriksaan darah secara serial. Sebagai alternatif dapat dilakukan
pemeriksaan kadar luteinizing hormon pada urine dimana hipersekresi
lutinizing hormon ditegakkan bila konsentrasi dala urin sebesar 100IU/L atau
lebih. Pengobatan keadaan ini dadalah dengan pemberian GNRH analog yang
akan menekan luteinizing hormone.2,4
Pemeriksaan bagi wanita tanpa adanya gejala atau riwayat diabetes
mellitus tidak perlu dilakukan. Pengendalian kadar gula darah yang optimal
sebelum

kehamilan

merupakan

cara

untuk

keberhasilan

kehamilan.

Pemeriksaan tiroid secara rutin juga belum dapat mendeteksi gangguan fungsi
tiroid. Biasanya pemeriksaan ini dilakukan apabila telah ditemukan adanya
gejala gangguan tiroid.4
D. Infeksi Saluran Reproduksi
Mengenai penatalaksanaan infeksi saluran reproduksi ini tentusaja disesuaikan
dengan jenis organisme yang menginfeksi.

Belum ditemukan perlunya

dilakukan imunisasi kecuali pada kasus penyakit rubella.7


E.

Imunologik
Pemeriksaan anticardiolipin harus dilakukan pada semua wanita dengan
riwayat abortus berulang.

Tanpa pengobatan hanya didapatkan 10-15%

kehamilan yang berhasil.

Pengobatan dengan aspirin dosis rendah (75

mg/hari) atau heparin dosis rendah (5000-10000 unit tiap 12 jam) telah
dilakukan dan menunjukkan adanya perbaikan pada kehamilan baik itu
dipergunakan sebagai obat tunggal atau kombinasi. Tetapi pemakaian obatobatan ini memiliki risiko.

Heparin jangka panjang diketahui dapat

menyebabkan osteoporosis, dan aspirin dapat menimbulkan perdarahan


gastrointestinal.4,7
VI. GAMBARAN HISTOPATOLOGI

17
Pada penelitian awal didapatkan adanya gambaran infark yang luas dan nekrosis
pada plasenta wanita yang mengalami abortus yang disebabkan antifosfolipid
antibodi. Berdasarkan dari penelitian ini dan adanya hubungan antara
antifosfolipid antibodi (aPL) dengan adanya trombosis plasenta pada abortus
habitualis, para penemu sepakat mengatakan bahwa adanya trombosis pada
plasenta menyebabkan infark dan menimbulkan kematian fetus. Pada penelitian
De Wolf dkk, didapatkan adanya gambaran vaskulopati desidua yang nekrotik
pada pasien dengan aPL. Ciri-cirinya adalah nekrosis fibrinoid, atherosis
pembuluh desidua (infiltrasi dinding pembuluh darah oleh sel-sel dengan
sitoplasma yang jernih atau foamy cytoplasm) dan inti yang menebal. Ia juga
menemukan bukti adanya vaskulopati desidua pada suatu model murine dengan
kehamilan antifosfolipid. Pada penelitian ini didapatkan administrasi sistemik
pada fraksi IgG pada wanita dengan aPL menyebabkan abortus. Pada
pemeriksaan histologik didapatkan deposit IgG dan fibrin di dalam atau
disekeliling desidua.5-8
Pada penelitian kasus-kontrol yang lain didapatkan mengenai hubungan
antara patologi plasenta dan aPL dan didapatkan bahwa 47 kehamilan
menghasilkan janin mati. Plasenta dari wanita yang menderita aPL memiliki
plasenta yang lebih fibrosis, villi hipovaskular, trombosis dan membran yang
infark dan sedikit memiliki vaskulosinsitial dibandingkan dengan wanita tanpa
aPL. Kenyataannya pada wanita dengan aPL didapatkan plasentanya trombosis
atau infark. Penelitian ini memberikan bukti yang kuat untuk penyebab
trombosis pada janin mati pada wanita dengan aPL.5-8
Penelitian lain menyebutkan adanya hubungan antara peningkatan kadar
MSAFP dan keguguran dengan wanita dengan aPL. Peningkatan kadar ini tidak
bias dijelaskan dan ditemukan pada 13 dari 60 kehamilan dengan aPL. Pada
penelitian ini juga didapatkan bahwa dengan peningkatan kadar MSAFP
menyebabka peningkatan insiden kematian janin (63% berbanding6%) dan
kematian perinatal (77% berbanding 15%) dibandingkan dengan kadar yang

18
normal. Pada aPL peningkatan kadar MSAFP pada trimester dua bisa
merupakan marker untuk kerusakan palsenta pada trimester dua.3-5
Plasenta dari embrio dengan kromosom trisomi jarang memiliki gambaran
yang bervariasi bila dilihat dengan mata telanjang meskipun ada yang tampak
mikrositik, perubahan vesikuler yang fokal tetapi hampir 50% secara
makroskopik normal. Pada pemeriksaan histologi sebagaian dari plasenta ini
menunjukkan perubahan fokal villi-villi yang hidrofili dan difus, tampak villi
trofoblas hipoplastik dan tampak sel sitotrofoblastik dalams troma villi, sel-sel
ini ditemukan oleh Phillippe dan Bou pada tahun 1969 dan 1970, Cohen pada
tahun 1972 dan Honor, Dill dan Poland pada tahun 1976. Adanya sel-sel
tersebut merupakan gambaran khas dari plasenta trisomi dan adanya
deskuamasi dari lapisan trofoblastik.
Phillippe dan Bou pada tahun 1969 menyatakan bahwa banyak sel-sel
tampak pada kasus-kasus trisomi C, D atau E, tetapi Honor. Dill dan Poland
pada tahun 1976 menyatakan bahwa sel-sel tersebut dapat tampak pada seluruh
jenis sindroma trisomi. Adanya intra stroma bukan merupakan gambaran yang
spesifik pada plasenta trisomi karena mungkin sel-sel ini didapatkan pada
kromosom normal. Hampir 50% pada plasenta trisomi, villinya tidak
menunjukkan perubahan villi tetapi ada juga yang menunjukkan sel-sel stroma
immatur yang persisten dari sel-sel sitotrofoblastik intra stroma.4-8

19

Gambar 3. Perbandingan Gambaran Histologi Kehamilan Normal dengan


Abnormal
Pada gambar A tampak ovum normal berimplantasi pada usia 11-12 hari, sedangkan
pada gambar B tampak konsepsi abnormal, dengan tropoblas defektif dengan lacuna
yang membesar dan kantung korion yang kosong, dan akan meluruh
Dikutip dari Williams Gynecology

VII. RUJUKAN
1. Wibowo B, Wiknjosastro H: Kelainan dalam lamanya kehamilan. Dalam:
Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T: Ilmu kebidanan. Edisi ketiga.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1994; 302-312
2. Hill JA: Recurrent spontaneous early pregnancy loss. In: Berekj JS, Adashi EY,
Hillard PA: Novaks gynecology 12th edition. Pennsylvania: Williams & Wilkins Co,
1996;963-979
3. Schorge JO, Schaffer JI, Halvorson LM, Hoffman BL, Bradshaw KD, Cunningham
FG. First trimester abortion. In: Williams Gynecology 22 nd ed. New York: McGrawHill; 2008:298-325
4. Porter FT, Branch DW, Scott JR. Early pregnancy loss. In: Danforths Obstetric and
Gynecology 10th ed. New York. Lippincott Williams & Wilkins; 2009:61-70

20
5. Prawirohardjo S, Wiknjosastro H: Gangguan bersangkutan dengan konsepsi. Dalam:
Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T: Ilmu kandungan. Edisi kedua.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1997; 246-250
6. Hatasaka HH: Recurrent miscarriage: epidemiologic factors, definitions and
incidence. In: Clin obstet gynecol 37; 1994; 625-634
7. Byrne JLB, Ward K: Genetic factors in recurrent abortion. In: Clin obstet gynecol 37;
1994; 693-704
8. Hunt JS, Roby KF: Implantation factors. In: Clin obstet gynecol 37; 1994; 635-645
9. Brent RL, Beckman DA: The contributional of environmental teratogens to
embryonic and fetal loss. In: Clin obstet gynecol 37; 1994; 646-664

Anda mungkin juga menyukai