Anda di halaman 1dari 55

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Filariasis adalah penyakit menular ( Penyakit Kaki Gajah ) yang disebabkan oleh
cacing Filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini bersifat menahun
(kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa
pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki. Akibatnya
penderita tidak dapat bekerja secara optimal bahkan hidupnya tergantung kepada orang lain
sehingga menjadi beban keluarga, masyarakat dan Negara ( Soedarmo, 2010).
Menurut WHO, lebih dari sekitar 1 milyar orang di lebih dari 80 negara beresiko
tertular Filariasis. Lebih dari 120 juta orang telah terinfeksi Filariasis dan lebih dari 40 juta
orang dari mereka beresiko tertular dan terinfeksi oleh Filariasis. Sepertiga dari orang yang
terinfeksi dengan penyakit ini hidup di India, sepertiga berada di Afrika dan sebagian besar
sisanya berada di Asia Selatan, Pasifik dan Amerika. Di daerah tropis dan subtropics di mana
filariasis limfatik adalah mapan, prevalensi infeksi terus meningkat. Penyebab utama dari
peningkatan ini adalah pertumbuhan yang cepat dan tidak terencana kota,yang menciptakan
tempat berkembang biak banyak untuk nyamuk yang menularkan penyakit (WHO, 2015)
Dalam manifestasi yang paling jelas, filariasis limfatik menyebabkan pembesaran
seluruh kaki atau lengan, alat kelamin, vulva dan payudara. Di komunitas endemik, 10-50%
laki-laki dan sampai dengan 10% perempuan dapat dipengaruhi. Stigma psikologis dan sosial
yang terkait dengan aspek-aspek dari penyakit ini sangat besar ( WHO, 2015)
Di Indonesia penyakit Kaki Gajah tersebar luas hampir di seluruh propinsi.
Berdasarkan laporan dari hasil survei pada tahun 2000 yang lalu tercatat sebanyak 1553 desa
di 647 Puskesmastersebar di 231 Kabupaten 26 Propinsi sebagai lokasi yang endemis,
dengan jumlah kasuskronis 6233 orang. Hasil survei laboratorium, melalui pemeriksaan
darah jari, rata-ratamikrofilaria rate (Mf rate) 3,1 %, berarti sekitar 6 juta orang sudah
terinfeksi cacing filaria dan sekitar 100 juta orang mempunyai resiko tinggi untuk ketularan
karena vektornya tersebar luas (Pusat informasi penyakit infeksi, 2010)
WHO sudah menetapkan Kesepakatan Global (The Global Goal of Elimination of
Lymphatic Filariasis as a Public Health problem by The Year 2020). Program eliminasi
1

dilaksanakan melalui pengobatan massal dengan DEC dan Albendazol setahun sekali selama
5 tahun di lokasi yang endemis dan perawatan kasus klinis baik yang akut maupun kronis
untuk mencegah kecacatan dan mengurangi penderitanya. Indonesia akan melaksanakan
eliminasi penyakit kaki gajah secara bertahap dimulai pada tahun 2002 di 5 kabupaten.
Perluasan wilayah akan dilaksanakan setiap tahun. Penyebab penyakit kaki gajah adalah tiga
spesies cacing filarial yaitu; Wucheria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Vektor
penular : di Indonesia hingga saat ini telah diketahui ada 23 spesies nyamuk dari genus
Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes, dan Armigeres yang dapat berperan sebagai vektor
penular penyakit kaki gajah (Melindacare, 2013)
Evaluasi program penanggulangan penyakit Filariasis di Puskesmas Beji Depok
periode 2014 ini dibuat untuk mengetahui keberhasilan sasaran pengobatan masal yang
direkomendasikan oleh WHO dalam memberantas penyakit Filariasis serta kendala-kendala
yang dihadapi di lapangan dalam mewujudkan keberhasilan program tersebut.
1.2. Perumusan Masalah
Tidak adanya evaluasi tahunan program minum obat massal filariasis di
Puskesmas Beji membuat keberhasilan program masih belum dapat diketahui.
.
1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan umum
Mendapatkan gambaran program minum obat massal pencegahan (POMP)
Filariasis periode Januari Desember 2014 di Puskesmas Kecamatan Beji, Depok.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Diketahuinya keberhasilan program POMP Filariasis periode Januari-Desember
2014 di Puskesmas Kecamatan Beji, Depok.
2. Diketahuinya masalah dalam pelaksanaan program POMP Filariasis periode
Januari-Desember 2014 di Puskesmas Kecamatan Beji, Depok.
3. Diketahuinya prioritas masalah program POMP Filariasis periode JanuariDesember 2014 di Puskesmas Kecamatan Beji, Depok.

4. Diketahuinya penyebab dari prioritas masalah program POMP Filariasis periode


Januari-Desember 2014 di Puskesmas Kecamatan Beji, Depok.
5. Diketahuinya alternatif pemecahan masalah program program POMP Filariasis
periode Januari-Desember 2014 di Puskesmas Kecamatan Beji, Depok.
6. Diketahuinya cara pemecahan masalah program POMP Filariasis periode JanuariDesember 2014 di Puskesmas Kecamatan Beji, Depok.

1.4. Manfaat
1.4.1. Manfaat Bagi Puskesmas
1. Sebagai bahan masukan dalam pelaksanaan POMP Filariasis di Puskesmas
Beji.
2. Mendapatkan alternatif pemecahan masalah pada POMP Filariasis di
Puskesmas Beji.
3. Sebagai bahan masukan untuk melakukan penyuluhan kesehatan sebagai upaya
peningkatan keberhasilan dari POMP Filariasis di Puskesmas Beji.
1.4.2. Manfaat bagi Universitas
Melaksanakan tanggung jawab universitas yang tertuang dalam tridharma
perguruan tinggi dengan melaksanakan fungsi dan tugas perguruan tinggi sebagai
lembaga penyelenggaraan pendidikan, penelitian dan pengabdian bagi masyarakat.
1.4.3. Manfaat bagi Mahasiswa
1. Mendapatkan pengetahuan mengenai manajemen dan evaluasi program
Puskesmas
2. Dapat mengaplikasikan ilmu yang telah didapat selama menjalani pendidikan di
Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional

Veteran Jakarta.

3. Mendapatkan informasi mengenai pelaksanaan POMP Filariasis di Puskesmas


Kecamatan Beji periode Januari Desember 2014.

4. Dapat mengidentifikasi masalah dan memberikan alternatif penyelesaian


masalah sebagai masukan untuk pelaksanaan POMP Filariasis di Puskesmas
Kecamatan Beji periode Januari Desember 2014.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Teori Dasar Filariasis
2.1.1. Definisi
Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria Wuchereria bancrofti,
Brugia malayi atau B. timori. Parasit ini ditularkan pada tubuh manusia melalui gigitan
nyamuk Armigeres, Mansonia, Culex, Aedes dan Anopheles yang mengandung larva
stadium III atau (L3).Ketika masih dalam bentuk larva dan mikrovilia, cacing ini berada
di dalam darah. Pada saat berubah menjadi cacing dewasa, cacing-cacing ini akan
menyerang

pembuluh

limfatik

sehingga

menyebabkan

kerusakan

parah

dan

pembengkakan. Jika tidak segera diobati, penyakit ini dapat menyebabkan cacat berupa
pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin (Soedarmo, Herry, Sri, 2010).
2.1.2. Etiologi
A. Penyebab utama Filariasis limfatik :
1.
Filaria bancrofti (Wuchereria bancrofti)
Filariasis bancrofti adalah infeksi yang disebakan oleh Wuchereria bancrofti. Cacing
dewasa hidup di dalam kelenjar dan saluran limfe, sedangkan mikrofilaria ditemukan di
dalam darah. Secara klinis, infeksi bias terjadi tanpa gejala atau manifestasinya berupa
peradangan dan sumbatan saluran limfe. Manusia merupakan satu-satunya hospes yang
diketahui. Wuchereria bancrofti akan mencapai kematangan seksual dikelenjar dan
saluran limfe. Cacing dewasa berwarna putih, kecil seperti benang. Cacing jantan
berukran 40 mm x 0,2 mm, sedangkan cacing betina berukuran dua kali cacing jantan
yaitu 80-100 mm x 0.2-0.3 mm (Behrman, 2007).

2.

Filaria malayi (Brugia malayi)

Penyebab Filariasis Malayi adalah filaria Brugia malayi. Cacing dewasa jenis ini
memiliki ukuran panjang 13-33 mm dengan diaameter 70-80 mikrometer. Sedangkan
cacing betinanya berukuran panjang 43-55 mm dan berdiameter 130-170 mikrometer.
3.
Timor microfilaria (Brugia timori)
Penyebab penyakit ini adalah filaria tipe Brugia timori. Cacing jantan berukuran panjang
20 mm dengan diameter 70-80 mikrometer. Sedangkan yang betina berukuran panjang
30 mm dengan diameter 100 mikrometer. Filaria tipe ini terdapat di daerah Timor, pulau
Rote, Flores dan beberapa pulau sekitarnya. Cacing dewasa hidup di dalam saluran dan
kelenjar limfe. Vektornya adalah Anopheles barbirostis. Mikrofilarianya menyerupai
mikrofilaria Brugia Malayi, yaitu lekuk badannya patah-patah dan susunan intinya tidak
teratur, perbedaannya terletak di dalam hal (Rudolph,2007) :
Panjang kepala sama dengan 3x lebar kepala
Ekornya mempunyai 2 inti tambahan, yang ukurannya lebih kecil daripada inti-inti
lainnya dan letaknya lebih berjauhan bila dibandingkan dengan letak inti tambahan
Brugia malayi.
Sarungnya tidak mengambil warna pulasan Giemsa
Ukurannya lebih panjang daripada mikrofilaria Brugia malayi. Mikrofilaria bersifat
periodik nokturnal.
Filariasis limfatik ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles spp.,Culex spp., Aedes
spp. dan Mansonia spp.
B. Penyebab Filariasis subkutan:
1.
Onchorcercia spp
Penyebab penyakit ini adalah Onchocerca volvulus. Juga dikenal sebagai hanging groins,
leopard skin, river blindness, atau sowda. Gejala klinis akibat adanya microfilaria di kulit
dan termasuk pruritus, bengkak subkutaneous, lymphadenitis, dan kebutaan
Cacing dewasa berukuran panjang 10-42 mm dengan diameter 130-210 mikrometer.
Sedangkan cacing betina berukuran panjang 33,5-50 mm dengan diameter 270-400
mikrometer.
Cacing dewasa berada dalam nodulus di jaringan subkutis atau lebih dalam, biasanya
timbul di daerah pelvis, temporal dan daerah occipital.Mikrofilarianya dapat ditemukan
didalam jaringan subkutis, darah tepi, urine dan sputum (Behrman, 2007).
2.
Loaiasis
Penyababnya adalah cacing Loa loa. Cacing jantan memiliki panjang 30-34 mm dan lebar
0,35-0,43 mm. Sedangkan cacing betina loa-loa berukuran 40-70 mm dengan lebar 0,5
6

mm. Lalat buah mangga atau deerflies dari Chrysops diduga sebagai vektor dari penyakit
loaiasis (Behrman, 2007).
2.1.3.

Epidemiologi
Menurut WHO, lebih dari sekitar 1 milyar orang di sekitar 80 negara beresiko

tertular filariasis. Sementara di Indonesia sekitar 100 juta orang beresiko tertular penyakit
ini. Pada anak-anak, pengaruh penyebaran parasit filaria berkembang dengan lambat
namun, pembengkakan kelenjar getah bening dapat diamati sejak dini yaitu di usia dua
tahun. Perkembangan penyakit ini terhadap anak perempuan dapat tampak di usia 13
tahun, sementara pada anak laki-laki penyakit ini dapat terdeteksi di usia 11 tahun.
Hingga saat ini WHO telah menetapkan Kesepakatan Global untuk pemberantasan
penyakit ini secara bertahap sejak tahun 2002 (WHO, 2015)
Di Indonesia penyakit Kaki Gajah tersebar luas hampir di seluruh propinsi.
Berdasarkan laporan dari hasil survei pada tahun 2000 yang lalu tercatat sebanyak 1553
desa di 647 Puskesmastersebar di 231 Kabupaten 26 Propinsi sebagai lokasi yang
endemis, dengan jumlah kasuskronis 6233 orang. Hasil survei laboratorium, melalui
pemeriksaan darah jari, rata-ratamikrofilaria rate (Mf rate) 3,1 %, berarti sekitar 6 juta
orang sudah terinfeksi cacing filaria dan sekitar 100 juta orang mempunyai resiko tinggi
untuk ketularan karena vektornya tersebar luas. Untuk memberantas penyakit ini sampai
tuntas (Pusat informasi penyakit infeksi, 2010)
2.1.4.

Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala filariasis bancrofti sangat berbeda dari satu daerah endemik

dengan daerah endemic lainnya. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan
intensitas paparan terhadap vektor yang infektif diantara daerah endemic tersebut.
Asymptomatic amicrofilaremia, adalah suatu keadaan yang terjadi apabila seseorang
yang terinfeksi mengandung cacing dewasa, namun tidak ditemukan mikriofilaria
didalam darah, atau karena microfilaremia sangat rendah sehingga tidak terdeteksi
dengan prosedur laboratorium yang biasa (Soedarmo, 2010).
Asymptomatic microfilaremia, pasien mengandung microfilaremia yang berat tetapi
tanpa gejala sama sekali.

Manifestasi akut, berupa demam tinggi (demam filarial atau elefantoid), menggigil
dan lesu, limfangitis dan limfadenitis yang berlangsung 3-15 hari, dan dapat terjadi
beberapa kali dalam setahun. Pada banyak kasus, demam filarial tidak menunjukan
microfilaremia. Limfangitis akan meluas kedaerah distal dari kelenjar yang terkena
tempat cacing ini tinggal. Limfangitis dan limfadenitis berkembang lebih sering di
ekstremitas bawah dari pada atas. Selain pada tungkai, dapat mengenai alat kelamin,
(tanda khas infeksi W.bancrofti) dan payudara (Soedarmo, 2010).
Manifestasi kronik, disebabkan oleh berkurangnya fungsi saluran limfe terjadi
beberapa bulan sampai bertahun-tahun dari episode akut. Gejala klinis bervariasi mulai
dari ringan sampai berat yang diikuti dengan perjalanan penyakit obstruksi yang kronis.
Tanda klinis utama yaitu hydrocele,limfedema,elefantiasis dan chyluria, meningkat sesuai
bertambahnya usia (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2009)
Manifestasi genital, di banyak daerah, gambaran kronis yang terjadi adalah
hydrocele. Selain itu dapat dijumpai epedidimitis kronis, funikulitis, edem karena
penebalan kulit skrotum, sedangkan pada perempuan bisa dijumpai limfedema vulva.
Limfedema dan elefantiasis ekstremitas, episode limfedema pada ekstremitas akan
menyebabkan elefantiasis di daerah saluran limfe yang terkena dalam waktu bertahuntahun. Lebih sering terkena ekstremitas bawah. Pada W.bancrofti, infeksi didaerah paha
dan ekstremitas bawah sama seringnya, berbeda dengan B.malayi yang hanya mengenai
ekstremitas bawah saja (Soedarmo, 2010).

Progresivitas filarial limfedema dibagi atas 3 derajat (WHO) (Soedarmo, 2010):


Derajat 1 : Limfedema umumnya bersifat edem pitting, hilang dengan spontan bila
kaki dinaikan.
Derajat 2 : Limfedema umumnya edem nonpitting, tidak secara spontan hilang
dengan menaikan kaki.
Derajat 3 : Limfedema (elefantiasis),volume edem non fitting bertambah dengan
8

dermatosclerosis dan lesi papillomatous.


2.1.5.

Patofisiologi
Penularan ke manusia melalui gigitan vektor nyamuk (Mansonia dan Anopheles).

Bila manusia digigit maka microfilaria akan menempel di kulit dan menembus kulit
melalui luka tusuk dan melalui sistem limfe ke kelenjar getah bening. Cacing yang
sedang hamil akan menghasilkan microfilaria. Cacing tersebut muncul dalam darah dan
menginfeksi kembali serangga yang menggigit (Soedarmo, 2010).
Pada manusia, masa pertumbuhan penularan filariasis belum diketahui secara
pasti, tetapi diduga 7 bulan. Microfilaria yang terisap oleh nyamuk melepaskan
sarungnya di dalam lambung, menembus dinding lambung dan bersarang diantara otototot torax. Mula-mula parasit ini memendek, bentuknya menyerupai sosis dan disebut
larva stadium I. dalam waktu seminggu, larva ini bertukar kulit, tumbuh menjadi lebih
gemuk dan panjang dan disebut larva stadium II. Pada hari ke 10 dan selanjutnya, larva
ini bertukar kulit sekali lagi, tumbuh makin panjang dan lebih kurus dan disebut larva
stadium III. Larva ini sangat aktif dan sering bermigrasi mula-mula ke rongga abdomen
kemudia ke kepala dan alat tusuk nyamuk. Bila nyamuk yang mengandung larva stadium
III ini menggigit manusia, maka larva tersebut secara aktif masuk melalui luka tusuk ke
dalam tubuh hospes dan bersarang di saluran limpah setempat. Di dalam tubuh hospes,
larva ini mengalami dua kali pergantian kulit, tumbuh menjadi larva stadium IV, stadium
V atau stadium dewasa. Umur cacing dewasa filarial 5-10 tahun.Cara penularan filariasis
melalui gigitan nyamuk Culex fatigans, Armigeres, Aedes, Anopheles, dan Mansonia
(Soedarmo, 2010).
Seseorang dapat tertular atau terinfeksi penyakit kaki gajah apabila orang tersebut
digigit nyamuk yang terinfektif yaitu nyamuk yang mengandung larva infektif atau larva
stadium III (L3). Nyamuk tersebut mendapat cacing filaria kecil(mikrofilaria) sewaktu
menghisap darah penderita yang mengandung mikrofilaria atau binatang reservoar yang
mengandung mikrofilaria (Wikipedia, 2010)

Gambar 1.1 Sklius Hidup


Brugia timori ditularkan oleh An. barbirostris. Didalam tubuh nyamuk betina,
mikrofilaria yang terisap waktu menghisap darah akan melakukan penetrasi pada dinding
lambung dan berkembang dalam otot thorax hingga menjadi larva filariform infektif,
kemudian berpindah ke proboscis. Saat nyamuk menghisap darah, larva filariform
infektif akan ikut terbawa dan masuk melalui lubang bekas tusukan nyamuk di kulit.
Larva infektif tersebut akan bergerak mengikuti saluran limfa dimana kemudian akan
mengalami perubahan bentuk sebanyak dua kali sebelum menjadi cacing dewasa
(Doctorology,
2.1.6.
2.1.6.1.

Gejala Klinis
Gejala klinis akut filariasis, berupa :
d. Demam berulang ulang selama 3-5 hari. Demam dapat hilang bila istirahat dan
timbul lagi setelah bekerja berat.
10

e. Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan paha,
ketiak(lymphadentitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit.
f. Radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit menjalar dari
pangkal kaki atau pangkal lengan ke arah ujung (retrograde lymphangitis).
g. Filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah bening,
dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah.
h. Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, kantong zakar yang terlihat agak
2.1.6.2.

kemerahan dan terasa panas (Early Imphodema) (Soedarmo, 2010).


Gejala kronis Filariasis berupa :
Pembesaran yang menetap (elephantiasis) pada tungkai,lengan, buah dada, buah

zakar (elephantiasis skroti). Gejala klinis filariasis disebabkan oleh cacing dewasa pada
sistem limfatik dan oleh reaksi hiperresponsif berupa occult filariasis. Dalam perjalanan
penyakit filariasis bermula dengan adenolimfangitis akuta berulang dan berakhir dengan
terjadinya obstruksi menahun dari sistem limfatik. Perjalanan penyakit tidak jelas dari
satu stadium ke stadium berikutnya tetapi bila diurut dari masa inkubasi maka dapat
dibagi menjadi (Soedamo, Herry, Sri, dkk 2010).
1.Masa prepaten
Masa prepaten, masa antara masuknya larva infektif sampai terjadinya
mikrofilaremia berkisar antara 37 bulan. Hanya sebagian saja dari penduduk di daerah
endemik yang menjadi mikrofilaremik, dan dari kelompok mikrofilaremik inipun tidak
semua kemudian menunjukkan gejala klinis. Terlihat bahwa kelompok ini termasuk
kelompok yang asimtomatik amikrofi laremik dan asimtomatik mikrofilaremik.
2. Masa inkubasi
Masa inkubasi, masa antara masuknya larva infektif sampai terjadinya gejala
klinis berkisar antara 8-16 bulan.
3.Gejala klinik akut
Gejala klinik akut merupakan limfadenitis dan limfangitis disertai panas dan
malaise. Kelenjar yang terkena biasanya unilateral. Penderita dengan gejala klinis akut
dapat amikrofi laremik maupun mikrofilaremik.

11

Filariasis bancrofti pembuluh limfe alatkelamin laki-laki sering terkena disusul


funikulitis, epididimitis dan orchitis. Adenolimfangitis inguinal atau aksila, sering
bersama dengan limfangitis retrograd yang umumnya sembuh sendiri dalam 3-15 hari
dan serangan terjadi beberapa kali dalam setahun.
Filariasis brugia Limfadenitis paling sering mengenai kelenjar inguinal, sering
terjadi setelah bekerja keras. Kadang-kadang disertai limfangitis retrograd. Pembuluh
limfe menjadi keras dan nyeri dan sering terjadi limfedema pada pergelangan kaki dan
kaki. Penderita tidak mampu bekerja selama beberapa hari. Serangan dapat terjadi 12
x/tahun sampai beberapa kali perbulan. Kelenjar limfe yang terkena dapat menjadi abses,
memecah, membentuk ulkus dan meninggalkan parut yang khas, setelah 3 minggu 3
bulan.
4. Gejala menahun
Gejala menahun terjadi 10-15 tahun setelah serangan akut pertama. Mikrofilaria
jarang ditemukan pada stadium ini, sedangkan adenolimfangitis masih dapat terjadi.
Gejala menahun ini menyebabkan terjadinya cacat yang mengganggu aktivitas penderita
serta membebani keluarganya.
Filariasis bancrofti hidrokel paling banyak ditemukan. Di dalam cairan hidrokel
ditemukan mikrofilaria. Limfedema dan elefantiasis terjadi di seluruh tungkai atas,
tungkai bawah, skrotum, vulva atau buah dada, dan ukuran pembesaran di tungkai dapat
3 kali dari ukuran asalnya.
Chyluria terjadi tanpa keluhan, tetapi pada beberapa penderita menyebabkan
penurunan berat badan dan kelelahan.
Filariasis brugia elefantiasis terjadi di tungkai bawah di bawah lutut dan lengan
bawah, sedang ukuran pembesaran ektremitas tidak lebih dari 2 kali ukuran asalnya.
2.1.7.

Diagnosis
Didaerah endemis, bila ditemukan adanya limfedema di daerah ekstremitas
disertai dengan kelainan genital laki-laki pada penderita dengan usia lebih dari 15 tahun,

12

bila tidak ada sebab lain seperti trauma atau gagal jantung kongestif kemungkinan
filariasis sangat tinggi.
Pemeriksaan laboratorium dapat berupa :
Identifikasi mikrofilaria dari darah, cairan hidrokel atau walau sangat jarang dari
cairan tubuh lain. Bila sangat diperlukan dapat dilakukan Diethylcarbamazine
provocative test.
Identifikasi cacing dewasa pada pembuluh limfe skrotum dan dada wanita dengan
memakai high frequency ultrasound dan teknik Doppler, cacing dewasa terlihat
bergerak-gerak ( filaria dance sign ) dalam pembuluh limfe yang berdilatasi.
Pemeriksaan ini selain memerlukan peralatan canggih juga sulit mengidentifikasi
cacing dewasa di tempat lain.
Identifikasi antigen filaria ( circulating filarial antigen / CFA ) dengan teknik :
ELISA, Rapid Immu-nochromatography Card. Pemeriksaan ini memberikan nilai
sensitifitas dan spesifitas yang tinggi
Identifikasi DNA mikrofilaria melalui pemeriksaan PCR
Identifikasi antibodi spesifik terhadap filaria : sedang dikembangkan lebih lanjut
karena hasil dari penelitian awal menunjukkan nilai spesifitas yang kurang.
Penelitian mengenai deteksi antifilaria IgG4 memberi perbaikan akan kinerja uji
identiifikasi antibodi terhadap filaria karena reaksi silang terhadap antigen cacing
lain relatif kecil. Perbaikan kinerja juga diperlihatkan bila reagen yang dipakai
berupa antigen rekombinan yang spesifik untuk filaria. Uji identifikasi antibodi
ini penting untuk menapis penderita filariasis yang disebabkan oleh Brugia spp.
karena uji identifikasi antigen untuk jenis cacing tersebut belum ada yang
memuaskan.
2.1.8.

Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan leukositosis dengan eosinofilia sampai

10-30%. Cacing filaria dapat ditemukan dengan pengambilan darah tebal atau tipis pada
waktu malam hari antara jam 10 malam sampai jam 2 pagi yang dipulas dengan
pewarnaan Giemsa atau Wright.Dengan pemeriksaan sediaan darah jari yang diambil

13

pukul mulai 20.00 malam waktu setempat. Seseorang dinyatakan sebagai penderita
filariasis, apabila dalam sediaan darah tebal ditemukan microfilaria (Medscape, 2013).
2.1.9.

Penatalaksanaan
Terapi filariasis bertujuan untuk mencegah atau memperbaiki perjalanan penyakit.

Obat antifilaria berupa Diethylcarbamazine citrate ( DEC ) dan Ivermectine. DEC


memiliki khasiat anti mikrofilaria dan mampu membunuh cacing dewasa, Ivermectine
merupakan anti mikrofilaria yang kuat tapi tidak memiliki efek makrofilarisida ( Ikatan
Dokter Anak Indonesia, 2009).
2.1.9.1. Diethylcarbamazine citrate ( DEC )
Diethylcarbamazine merupakan senyawa sintetis turunan piperazine, dipasarkan
dalam bentuk senyawa garam sitrat ( DEC ).DEC tidak memiliki efek mematikan yang
langsung terhadap mikrofilaria tetapi dengan merubah struktur permukaan larva sehingga
mudah dikeluarkan dari jaringan tubuh dan membuatnya lebih mudah dihancurkan oleh
sistim pertahanan tuan rumah. Efek mematikan terhadap cacing dewasa secara in vivo
dapat ditunjukkan melalui pemantauan ultrasonografi, namun mekanisme pastinya belum
diketahui.6,15
Dosis 6 mg/kg BB dibagi dalam 3 dosis, setelah makan, selama 12 hari, pada
Tropical Pulmonary Eosinophylia (TPE) pengobatan diberikan selama tiga minggu.
Pengobatan dapat diulang 6 bulan kemudian bila masih terdapat mikrofilaremia atau
masih menunjukkan gejala. Efek samping bisa terjadi sebagai reaksi terhadap DEC atau
reaksi terhadap cacing dewasa yang mati. Reaksi terhadap DEC dapat berupa sakit
kepala,malaise,anoreksia,rasa lemah,mual,muntah, dan pusing. Reaksi tubuh terhadap
protein yang dilepaskan pada saat cacing dewasa mati dapat terjadi beberapa jam setelah
pengobatan, didapat 2 bentuk yang mungkin terjadi yaitu reaksi sistemik dan reaksi lokal
(WHO, 2015).
Reaksi

sistemik

badan,pusing,anoreksia,malaise

dapat
dan

berbentuk

demam,sakit

muntah-muntah.

Reaksi

kepala,

sistemik

nyeri

cenderung

berhubungan dengan intensitas infeksi. Reaksi lokal berbentuk limfadenitis,abses,dan


transien limfedema. Pada Bancroftian filariasis dapat terjadi funikulitis, epididimitis, dan
hidrokel. Perdarahan retina, bronkospame, dan ensefalopati walaupun sangat jarang
14

namun pernah dilaporkan. Reaksi lokal terjadi lebih lambat namun berlangsung lebih lama
dari reaksi sistemik. Efek samping DEC lebih berat pada penderita onchorcerciasis ,
sehingga obat tersebut tidak diberikan dalam program

pengobatan masal di daerah

endemis filariasis dengan ko-endemis Onchorcercia valvulus (Medscape, 2013).


2.1.9.2.

Ivermectin.
Pemberian dosis tunggal ivermectine 150 ug/kg BB efektif terhadap penurunan

derajat mikrofilaria W.bancrofti, namun pada filariasis oleh Brugia spp. penurunan
tersebut bersifat gradual. Efek samping ivermectine sama dengan DEC, ivermectine tidak
boleh diberikan pada wanita hamil atau anak anak yang berumur kurang dari 5 tahun.
Karena tidak memiliki efek terhadap cacing dewasa, ivermectine harus diberikan setiap 6
bulan atau 12 bulan untuk menjaga agar derajat mikrofilaremia tetap rendah (Medscape,
2013).
2.1.9.3.

Pengobatan simtomatik
Pemeliharaan kebersihan kulit, dan bila perlu pemberian antibiotik dan atau anti

jamur akan mengurangi serangan berulang, sehingga mencegah terjadinya limfedema


kronis. Fisioterapi kadang diperlukan pada penderita limfedema kronis. Antihistamin dan
kortikosteroid diperlukan untuk mengatasi efek samping pengobatan. Analgetik dapat
diberikan bila diperlukan (WHO, 2015).
2.1.9.4.

Pengobatan operatif
Kadang-kadang hidrokel kronik memerlukan tindakan operatif, demikian pula

pada chyluria yang tidak membaik dengan terapi konservatif. Pengobatan operatif
elefantiasis kaki pada umumnya tidak memberi hasil yang memuaskan, ahir-ahir ini
dengan memakai lymphovenous prosedur diikuti dengan pembuangan jaringan subkutan
dan lemak yang berlebihan, disertai dengan drainase postural dan fisioterapi yang adekuat
memberi berbagai keuntungan bagi penderita.
2.1.10.

Pencegahan dan Pengendalian Penyakit


1. Pemberantasan nyamuk dewasa
a.Anopheles : residual indoor spraying
b.Aedes : aerial spraying
2. Pemberantasan jentik nyamuk
a.Anopheles : Abate 1%
15

b.Culex : minyak tanah


c. Mansonia : melenyapkan tanaman air tempat perindukan,
mengeringkan rawa dan saluran air
3. Mencegah gigitan nyamuk
a. Menggunakan kawat nyamuk/kelambu
b.Menggunakan Repellent
Penyuluhan

tentang

penyakit

filariasis

dan

penanggulangannya

perlu

dilaksanakan sehingga terbentuk sikap dan perilaku yang baik untuk menunjang
penanggulangan filariasis. Sasaran penyuluhan adalah penderita filariasis beserta keluarga
dan seluruh penduduk daerah endemis, dengan harapan bahwa penderita dengan gejala
klinik filariasis segera memeriksakan diri ke Puskesmas, bersedia diperiksa darah kapiler
jari dan minum obat DEC secara lengkap dan teratur serta menghindarkan diri dari gigitan
nyamuk. Evaluasi hasil pemberantasan dilakukan setelah 5 tahun, dengan melakukan
pemeriksaan vektor dan pemeriksaan darah tepi untuk deteksi mikrofilaria.
2.1.11.

Prognosis
Prognosis penyakit ini tergantung dari jumlah cacing dewasa dan mikrofilaria

dalam tubuh penderita, potensi cacing untuk berkembang biak, kesempatan untuk infeksi
ulang dan aktivitas RES.Pada kasus-kasus dini dan sedang, prognosis baik terutama bila
pasien pindah dari daerah endemik. Pengawasan daerah endemik tersebut dapat dilakukan
dengan pemberian obat, serta pemberantasan vektornya. Pada kasus-kasus lanjut terutama
dengan edema pada tungkai, prognosis lebih buruk.

2.2. Sistem
2.2.1 Pengertian sistem
Kata Sistem awalnya berasal dari bahasa Yunani (sustma) dan bahasa Latin
(systma). Terdapat beberapa macam pengertian dari sistem yang dikemukakan, antara
lain:
16

a) Sistem adalah sekumpulan unsur / elemen yang saling berkaitan dan saling
mempengaruhi dalam melakukan kegiatan bersama untuk mencapai suatu
tujuan.
b) Sistem adalah gabungan dari elemen-elemen yang saling dihubungkan oleh
suatu proses atau struktur dan berfungsi sebagai satu kesatuan organisasi
dalam upaya menghasilkan sesuatu yang telah ditetapkan (Ryans).
Sesuatu disebut sebagai sistem apabila ia memiliki beberapa ciri pokok sistem.
Ciri-ciri pokok yang dinaksud banyak macamnya, jika disederhanakan dapat dibedakan
atas empat macam, yaitu (Anwar dkk., 2008):
1. Dalam sistem terdapat bagian atau elemen yang satu sama lain saling
berhubungan dan mempengaruhi yang kesemuanya membentuk satu
kesatuan, dalam arti semuanya berfungsi untuk mencapai tujuan yang
sama yang telah ditetapkan.
2. Fungsi yang diperankan oleh masing-masing bagian atau elemen yang
membentuk satu kesatuan tersebut adalah dalam rangka mengubah
masukan menjadi keluaran yang direncanakan.
3. Dalam melaksanakan fungsi tersebut, semuanya bekerja sama secara
bebas namun terkait, dalam arti terdapat mekanisme pengendalian yang
mengarahkannya

agar

tetap

berfungsi

sebagaimana

yang

telah

direncanakan.
4. Sekalipun sistem merupakan satu kesatuan yang terpadu, bukan berarti ia
tertutup terhadap lingkungan (Anwar dkk., 2008).

2.2.2. Unsur Sistem


Sistem terbentuk dari bagian atau elemen yang saling berhubungan dan
mempengaruhi. Adapun yang dimaksud dengan bagian atau elemen tersebut
disederhanakan dapat dikelompokan ke dalam enam unsur, yaitu (Anwar dkk., 2008):
1. Masukan (input)

17

Masukan adalah kumpulan bagian atau elemen yang terdapat dalam sistem
dan yang diperlukan untuk dapat berfungsinya sistem tersebut.
2. Proses (process)
Proses adalah kumpulan bagian atau elemen yang terdapat dalam sistem
dan yang berfungsi untuk mengubah masukan menjadi keluaran yang
direncanakan.
3. Keluaran (output)
Keluaran adalah kumpulan bagian atau elemen yang dihasilkan dari
berlangsungnya proses dalam sistem.
4. Umpan balik (feed back)
Umpan balik adalah kumpulan bagian atau elemen yang merupakan
keluaran dari sistem dan sekaligus sebagai masukan bagi sistem tersebut.
5. Dampak (impact)
Dampak adalah akibat yang dihasilkan oleh keluaran suatu sistem.
6.

Lingkungan (environment)
Lingkungan adalah dunia diluar sistem yang tidak dikelola olah sistem
tetapi mempunyai pengaruh besar terhadap sistem (Azrul., 2008).

LINGKUNGAN

MASUKAN

PROSES

UMPAN BALIK

KELUARAN

DAMPAK

18

Bagan 2.1 Hubungan Unsur-unsur Sistem


2.2.3. Pendekatan Sistem
Dibentuknya suatu sistem pada dasarnya untuk mencapai suatu tujuan tertentu
yang telah ditetapkan. Untuk terbentuknya sistem tersebut perlu dirangkai berbagai
unsur atau elemen sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan membentuk suatu
kesatuan dan secara bersama-sama berfungsi untuk mencapai tujuan kesatuan (Azrul
dkk., 2008). Apabila prinsip pokok atau cara kerja sistem ini diterapkan pada waktu
menyelenggarakan pekerjaan administrasi, maka prinsip pokok atau cara kerja ini
dikenal dengan nama pendekatan sistem (system approach).
Pada sistem ini batasan tentang pendekatan sistem banyak macamnya, beberapa
yang terpenting adalah :
1.

Pendekatan sistem adalah penerapan suatu prosedur yang


logis dan rasional dalam merancang suatu rangkaian komponen-komponen
yang berhubungan sehingga dapat berfungsi sebagai satu kesatuan mencapai
tujuan yang telah ditetapkan (L.James Harvey).

2.

Pendekatan

sistem

adalah

suatu

strategi

yang

menggunakan metode analisis, desain dan manajemen untuk mencapai tujuan


yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien (Anwar Azrul dkk., 2008).
3.

Pendekatan sistem adalah penerapan dari cara berpikir


yang sistematis dan logis dalam membahas dan mencari pemecahan dari suatu
masalah atau keadaan yang dihadapi (Azrul dkk., 2008).

2.3. Evaluasi program


Menurut The American Public Association definisi evaluasi adalah suatu proses
untuk menentukan nilai atau jumlah keberhasilan dari pelaksanaan suatu program dalam
mencapai tujuan yang telah ditetapkan, sedangkan menurut The International Clearing
House on Adolescent Fertility Control For Population Options, evaluasi adalah suatu
19

yang teratur dan sistematis dalam membandingkan hasil yang dicapai dengan tolok ukur
dan kriteria yang telah ditetapkan, dilanjutkan dengan pengambilan kesimpulan serta
penyusunan saran-saran, yang dapat dilakukan pada setiap tahap dari pelaksanaan
program. Menurut Riecken, evaluasi adalah pengukuran terhadap akibat yang
ditimbulkan dari dilaksanakannya program dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
Evaluasi dapat dilakukan pada setiap tahap program tergantung tujuannya, yakni:
1. Evaluasi formatif (dilakukan pada tahap perencanaan program)
Tujuannya adalah meyakinkan bahwa rencana yang akan disusun benar-benar
telah sesuai dengan masalah yang ditemukan sehingga nantinya dapat
menyelesaikan masalah tersebut.
2. Evaluasi promotif (pada tahap pelaksanaan program)
Tujuannya untuk mengukur apakah program yang sedang dilaksanakan
tersebut telah sesuai dengan rencana atau tidak dan apakah terjadi
penyimpangan yang dapat merugikan tujuan program.
3. Evaluasi sumatif (dilakukan pada tahap akhir program)
Tujuannya untuk mengukur keluaran atau dampak bila memungkinkan. Jenis
evaluasi ini yang dilakukan dalam makalah ini.
Ruang lingkup evaluasi program secara sederhana dibedakan menjadi 4
kelompok, yakni evaluasi terhadap masukan, proses, keluaran dan dampak secara
umum. Evaluasi bertujuan untuk menilai keberhasilan program serta meningkatkan
keberhasilan program di masa yang akan datang
Langkah-langkah yang ditempuh dalam melakukan evaluasi terhadap suatu program
meliputi :
1. Penetapan indikator dari unsur keluaran
2. Penetapan tolok ukur dari tiap indikator keluaran
3. Membandingan pencapaian masing-masing indikator keluaran program

dengan

tolok ukurnya
20

4. Penetapan prioritas masalah


5. Pembuatan kerangka konsep dari masalah yang diprioritaskan
6. Identifikasi penyebab masalah
7. Pembuatan alternatif pemecahan masalah
8. Penentuan prioritas cara pemecahan masalah yang dirangkum dalam

kesimpulan

dan saran

BAB III
METODE EVALUASI
3.1. Variabel dan Tolok Ukur Penilaian

21

Evaluasi ini dilakukan dengan pendekatan sistem. Data dikumpulkan


menurut komponen sistem, baik tolok ukur maupun pencapaian program. Sumber
rujukan variabel dan tolok ukur penilaian yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Profil kesehatan Puskesmas Beji Tahun 2014
2. Perencanaan Program Puskesmas Beji tahun 2014
3. Hasil wawancara dengan koordinator pelaksana program filariasis di
Puskesmas Beji
4. Buku laporan tahunan Puskesmas Kecamatan Beji, Depok.
Tabel 3.1. Variabel dan Tolok Ukur Penilaian
No

Variable

Definisi operasional atau rumus

Tolok Ukur
Keberhasilan

1.

Angka cakupan

Jumlah penduduk yang minum obat

85%

penduduk yang minum


(WHO)

obat
2.

Angka kecacatan dan

Jumlah penduduk yang cacat dan meninggal akibat

kematian akibat efek

ESO

0%

samping obat
3.

4.

Jumlah penemuan

Jumlah kasus baru yang ditemukan per periode

Berkurang /

kasus baru

pengobatan.

Tidak Ada

Dilakukannya evaluasi

Evaluasi bertujuan untuk mengetahui penurunan

Mf rate

epidemiologis

prevalensi (mf- rate) setelah pengobatan massal

menurun

monitoring jangka

dilakukan.

panjang

Sumber : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014 dan Penilaian Kinerja


Puskesmas, 2014
3.2.

Bahan Kerja

3.2.1. Pengumpulan Data


Data yang digunakan pada evaluasi program POMP Filariasis meliputi:
1.

Data Primer
22

Diperoleh melalui wawancara dengan koordinator program pelaksana


POMP Filariasis di Puskesmas Kecamatan Beji, Depok.
2. Data Sekunder
Diperoleh dari dokumentasi puskesmas berupa laporan bulanan POMP
Filariasis di Puskesmas Kecamatan Beji periode Januari-Desember 2014
dan data Kelurahan Beji, Depok.
3. Data POMP Filariasis Puskesmas Beji, Depok
Sumber data yang digunakan meliputi:
a.Sumber data primer
Diperoleh dari koordinator program dan pelaksana POMP Filariasis di
Puskesmas Kecamatan Beji, Depok.
b.Sumber data sekunder
Meliputi laporan bulanan kegiatan POMP Filariasis di Puskesmas
Kecamatan Beji periode Januari Desember 2014 dan data Kelurahan
Beji.
3.2.2. Pengolahan data
Pengolahan data yang dilakukan secara manual dengan tabel-tabel yang sudah
dipersiapkan, kemudian dilanjutkan dengan perhitungan komputerisasi.
3.2.3. Penyajian data
Penyajian data dilakukan dalam bentuk tekstular dan tabular

interpretasi data

dilakukan dengan bantuan kepustakaan.

3.2.4. Lokasi
Pengumpulan data dilakukan di Puskesmas Kecamatan Beji, Depok.
3.2.5. Waktu

23

Pengumpulan data dilakukan pada bulan Januari - Desember 2014.


3.3. Cara Analisis
3.3.1. Menetapkan Masalah
Masalah yang dimaksud dalam pendekatan sistem adalah kesenjangan antara tolok
ukur dengan hasil pencapaian pada unsur keluaran. Adanya masalah diidentifikasi dengan
membandingkan keluaran pada program dengan tolok ukur yang ada.
3.3.2. Menetapkan Prioritas Masalah
Penentuan prioritas masalah harus dilakukan jika terdapat lebih dari satu masalah. Hal
ini disebabkan oleh adanya keterbatasan dan sumber daya, serta kemungkinan adanya
masalah-masalah tersebut berkaitan satu dengan yang lainnya. Masalah yang dianggap paling
besar, mudah diintervensi, dan paling penting, akan menjadi prioritas, dimana jika masalah
tersebut diatasi maka masalah-masalah lain diharapkan juga teratasi. Penentuan prioritas
masalah dilakukan menggunakan teknik kriteria matriks yang terdiri dari 3 komponen:
1.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
2.

Pentingnya masalah (I), yang terdiri dari:


Besarnya masalah (P)
Akibat yang ditimbulkan oleh masalah (S)
Kenaikan besarnya masalah (RI)
Derajat kenaikan masyarakat yang tidak terpenuhi (DU)
Keuntungan sosial karena selesainya masalah (SB)
Rasa prihatin masyarakat terhadap masalah (PB)
Suasana politik (PC)
Kelayakan teknologi (T)
Teknologi yang layak dan tersedia dapat dipakai untuk mengatasi masalah,

makin diprioritaskan masalah tersebut.


3. Sumber daya yang tersedia (R)
Terdiri dari man, money, material, makin tersedia sumber daya yang dapat
dipakai untuk mengatasi masalah makin diprioritaskan masalah tersebut.
Tahap selanjutnya adalah memberikan nilai antara 1 (tidak penting) sampai
dengan 5 (sangat penting) sesuai dengan jenis masalah masing-masing pada
tiap kotak dalam matriks. Masalah yang dipilih sebagai prioritas adalah yang
memiliki nilai I x T x R tertinggi.

24

3.3.3. Penentuan Penyebab Masalah dan Prioritas Penyebab Masalah


Tolok ukur /standar komponen-komponen input, proses, lingkungan dan umpan balik
dengan pencapaian di lapangan dibandingkan untuk mengidentifikasi penyebab masalah.
Penyebab masalah didapatkan apabila didapatkan adanya kesenjangan.
Teknik kriteria matriks (crtiteria matrix technique) dipakai untuk menentukan
prioritas penyebab masalah. Hal ini tergantung dari kontribusi (C/contribution), kelayakan
teknologi (T/technical feasibility), dan ketersediaan sumber daya (R/resource availability).
Penetapan prioritas (P/priority) masalah dilakukan dengan cara mengalikan C, T, R.
3.3.4. Kerangka Konsep
Dibuat untuk menentukan penyebab masalah yang telah diprioritaskan. Tujuannya
adalah untuk menentukan faktor-faktor penyebab masalah yang telah diprioritaskan yang
berasal dari komponen sistem yang lainnya, yaitu komponen input, proses, lingkungan dan
umpan balik. Dengan membuat kerangka konsep diharapkan semua faktor penyebab masalah
yang ada dapat diketahui dan diidentifikasi secara keseluruhan.
3.3.5. Identifikasi Penyebab Masalah
Identifikasi penyebab masalah dilakukan dengan:
1. Mengelompokkan faktor-faktor yang diperkirakan berpengaruh terhadap
prioritas masalah dalam unsur masukan, proses, umpan balik dan lingkungan.
2. Menentukan indikator-indikator serta tolok ukurnya masing-masing dari
faktor-faktor tersebut.
3. Mengukur besarnya nilai indikator-indikator tersebut di lapangan.
4. Membandingkan nilai dari tiap-tiap indikator tersebut dengan tolok ukurnya.
Diperlukan pengumpulan data dari dokumentasi puskesmas, wawancara, atau
kuesioner untuk mengetahui pencapaian di lapangan.
Tabel 3.2. Tolok ukur pada komponen masukan
No
1

Variabel
Tenaga

Tolok Ukur
Tenaga pelaksana pada setiap kelurahan minimal terdiri dari 1 orang
penanggung jawab program. 2 orang dokter, 2 orang
perawat/tenaga kesehatan, 1 orang petugas apotek dan 2 orang
tenaga nonkesehatan misalnya kader.

25

Kader telah mendapatkan penyuluhan dan latihan tentang


pelaksanaan pengobatan massal filariasis dan edukasi
2

penyakitnya.
Tersedianya dana yang cukup untuk melaksanakan program

Dana

Tersedianya sumber dana berupa subsidi penuh dari pemerintah


sehingga tidak diperlukan pendanaan dari masyarakat untuk
membeli obat.
Tersedianya dana untuk penyuluhan secara berkelompok
3

Sarana

Tersedianya sarana:
1.

Sarana medis: Tersedianya jumlah obat yang disediakan


dinas kesehatan ( Albendazole, DEC, Paracetamol)

2.

Sarana non medis: Tersedianya ruangan pengobatan


disetiap kelurahan alat tulis, buku laporan, meja dan

kursinya.
Dilakukan penyuluhan secara berkelompok di 2 kelurahan sebelum

Metode

dilaksanakan pengobatan massal.

Sumber : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014 dan Penilaian Kinerja Puskesmas, 2014

Tabel 3.3. Tolok urkur pada komponen proses


No
1

Variabel
Perencanan

Tolok Ukur
Adanya dokumen perencanaan pengobatan massal yang tertulis.
Adanya perencanaan operasional (plan of action) yang jelas, jenis,
target dan waktu kegiatan.

Pengorganisa

a.

Terdapat struktur organisasi pelaksana program.

si-an

b.

Terdapat pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas.

Pelaksanaan

a.

Pemberian obat sesuai dengan jumlah penduduk yang wajib


minum obat.

26

Pencatatan

a.

dan pelaporan

Terdapat laporan tertulis pengobatan massal berisikan data


mengenal tempat target dan hasil pelaksanaan kegiatan.

b.

Penyimpanan laporan tertulis yang benar

Sumber : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014 dan Penilaian Kinerja Puskesmas, 2014

Tabel 3.4. Tolak ukur lingkungan, dampak dan umpan balik


No
1

Variabel
Lingkungan

Tolok Ukur
a.

Lokasi pelaksanaan pengobatan massal mudah dicapai

b.

Transportasi murah

c.

Tingkat pemahaman mengenai pentingnya pengobatan massal


menunjang keberhasilan pengobatan massal filariasis.

d.

Hasil pengobatan sebelumnya memacu masyarakat untuk


berperan aktif dalam pengobatan massal tahun berikutnya.

Umpan Balik Pencatatan dan pelaporan tahun sebelumnya digunakan sebagai

Dampak

masukan dalam upaya perbaikan program selanjutnya.


Angka morbiditas dan mortalitas serta kecatatan akibat filariasis di
wilayah kerja Puskesmas menurun.

Sumber : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014 dan Penilaian Kinerja Puskesmas, 2014

3.3.6.

Alternatif Pemecahan Masalah dan Prioritas Cara Pemecahan Masalah


3.3.6.1 Alternatif Pemecahan Masalah
Setelah mengetahui semua penyebab masalah, langkah selanjutnya adalah
membuat beberapa alternatif penyelesaian masalah. Alternatif pemilihan pemecahan
masalah harus disesuaikan dengan kemampuan serta situasi dan kondisi puskesmas.
Alternatif pemecahan masalah dibuat secara rinci, meliputi tujuan umum dan khusus,
sasaran, target, metode, jadwal kegiatan, serta rincian pendanaan. Untuk mengetahui hal
tersebut maka diperlukan wawancara dengan pihak puskesmas yang diperkirakan akan
melakukan tugas tersebut, sumber rujukan lain yang penting adalah referensi dari jurnal
maupun pengalaman dari orang lain yang direkomendasikan.
3.3.6.2.

Prioritas Cara Pemecahan Masalah


27

Dari berbagai alternatif cara pemecahan masalah yang telah dibuat, dipilih salah
satu cara pemecahan masalah yang dianggap paling baik dan memungkinkan.
Pemilihan/penentuan prioritas cara pemecahan masalah ini dengan memakai teknik
kriteria matriks. Dua kriteria yang lazim digunakan adalah:
1.

Efektifitas Jalan Keluar


Menetapkan nilai efektifitas (effectiveness) untuk setiap alternatif jalan
keluar, yaitu dengan memberikan angka 1 (paling tidak efektif) sampai angka 5
(paling efektif). Prioritas jalan keluar adalah yang nilai efektifitasnya paling
tinggi. Untuk menentukan efektifitas jalan keluar, dipergunakan kriteria
tambahan sebagai berikut:
a. Besarnya masalah yang dapat diselesaikan (Magnitude)
Makin besar masalah yang dapat diatasi, makin tinggi prioritas jalan
keluar tersebut.
b. Pentingnya Jalan Keluar (Importancy)
Pentingnya jalan keluar dikaitkan dengan kelanggengan penyelesaian
masalah. Makin lama masa bebas masalah, makin penting jalan keluar
tersebut.

c. Sensitivitas Jalan Keluar (Vulnerability)


Sensitivitas dikaitkan dengan kecepatan jalan keluar mengatasi
masalah. Makin cepat masalah diatasi, makin sensitif jalan keluar
tersebut.
2. Efisiensi Jalan Keluar (Cost)
Menetapkan nilai efisiensi (efficiency) untuk setiap alternatif jalan keluar.
Nilai efisiensi ini biasanya dikaitkan dengan biaya (cost) yang diperlukan untuk
melaksanakan jalan keluar. Makin besar biaya yang diperlukan, maka makin
tidak efisien jalan keluar tersebut. Beri angka 1 (biaya paling sedikit) sampai
angka 5 (biaya paling besar).
28

Menghitung nilai prioritas (P) untuk setiap alternatif jalan keluar dengan
rumus :
P=MxIxV
C

Jalan keluar dengan nilai P tertinggi adalah prioritas jalan keluar terpilih

BAB IV
PENYAJIAN DATA PUSKESMAS BEJI
4.1. Data Umum
4.1.1. Gambaran Umum Puskesmas Beji
Kode Puskesmas
: P.3.27.606.02.01
Nama Puskesmas

: Beji

Kecamatan

: Beji

Kabupaten/Kotamadya : Depok
Provinsi

: Jawa Barat

29

Puskesmas Beji merupakan Puskesmas Rawat Jalan yang terletak di Jl. Bambon
Raya no. 7B Kelurahan Beji Timur, berdiri sekitar bulan Agustus tahun 1981, pada awal
berdirinya karyawannya hanya berjumlah 12 orang. Seiring dengan berjalannya waktu
Puskesmas Beji berkembang pesat, dan terus meningkatkan pelayanan. Saat ini
Puskesmas Beji mempunyai karyawan 66 orang, sejak bulan April 2014 mulai menjadi
Puskesmas 24 jam dan PONED (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar) dan
Klinik dampak merokok. Saat ini Puskesmas menyelenggarakan Rawat jalan 24 jam dan
melayani persalinan normal. Dan pada tahun yang sama Puskesmas Beji juga mulai
membuka Puskesmas Pembantu (Pustu) yang terletak di Jl. Halmahera Depok Utara
Kelurahan Beji.
Beji adalah Puskesmas Kecamatan yang membawahi 2 Puskesmas Kelurahan,
yaitu : Puskesmas Kemiri Muka dan Puskesmas Tanah Baru. Dalam kegiatannya
Puskesmas Beji bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di 2
wilayah kelurahan yaitu Kelurahan Beji dan Beji Timur dengan luas wilayah kerja 3,17
km2. Kondisi alam di wilayah kerja Puskesmas Beji sebagian Besar merupakan daerah
pemukiman dimana apabila musim penghujan lokasi daerah yang rawan bencana
terutama banjir ada di Kelurahan Beji yaitu di RW 03 dan Kelurahan Beji Timur di RW
01.
Letaknya dekat dengan perumahan dan dekat dengan Kampus UI Depok sehingga
cukup mudah dilalui kendaraan mobil dan motor sampai ke lokasi Puskesmas, disamping
juga dilalui oleh jalur angkot. Adapun wilayah kerja Puskesmas Beji dibatasi oleh
wilayah-wilayah sebagai berikut :

Gambar 4.1. Batas Wilayah Beji, Depok

Batas Utara

: Kelurahan Kukusan
30

Batas Selatan
: Kecamatan Beji
Batas Barat
: Kelurahan Tanah Baru
Batas Timur
: Kelurahan Kemiri muka
Semakin berkembangnya jumlah dan jenis pelayanan kesehatan dan beragamnya
tuntutan dari masyarakat saat ini dan di masa yang akan datang maka UPT Puskesmas
Kecamatan Beji selalu berusaha untuk memenuhi kriteria mutu pelayanan kesehatan yang
baik dengan selalu mengingkatkan kinerja sumber daya manusia serta mengembangkan
fungsi sosial puskesmas.
Sejak pertengahan tahun 2012, tepatnya 1 juli 2012 Puskesmas Beji telah
mengimplementasikan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001 : 2008 pada beberapa
pelayanannya. Adapun pelayanan yang telah menerapkan antara lain : Poli Umum, Poli Gigi,
Poli MTBS, Laboratorium, Loket, Farmasi, dan TU sebagai penunjang. Pada tanggal 4
Desember 2012 Puskesmas Beji telah dilakukan audit sertifikasi ISO 9001:2008 oleh Badan
Sertifikasi Beureu Veritas (BV) dan berhak untuk mendapatkan sertifikat ISO 9001:2008.
Dengan diterapkannya Sistem Manajemen Mutu berdasarkan ISO 9001:2008 diharapkan
Puskesmas Kecamatan Beji dapat menjadi pusat pelayanan kesehatan yang berkualitas dan
dapat memenuhi kepuasan pelanggan. Pada bulan Juli 2014 dan Januari 2015 UPT
Puskesmas Beji telah dilakuakan audit Surveilance ISO 9001:2008 oleh Badan Sertifikasi
SAI Global pada beberapa pelayanan yaitu : Poli Umum, Poli KIA/KB, Poli Gigi, Farmasi,
Loket dan TU sebagai Pendukung.
4.1.2. Visi, Misi, dan Kebijakan Mutu
Visi
Terwujudnya Kecamatan Beji Sehat 2020 Dengan Layanan Kesehatan Berkualitas.
Misi

Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan Yang Berkualitas


Memelihara dan Meningkatkan Kesehatan perorangan, Keluarga & Masyarakat
Menyelenggarakan Pembangunan Berwawasan Kesehatan.

Kebijakan Mutu
a. Puskesmas Kecamatan Beji bertekad memberikan pelayanan berkualitas, menuju
masyarakat sehat yang mandiri secara berkesinambungan
b. Berkomitmen memenuhi semua peraturan perundang-undangan yang berlaku
c. Melakukan pengkajian secara berkala kebijakan, sasaran mutu dan mekanisme kerja
untuk memastikan efektifitas penerapan sistem manajemen mutu
31

d. Mengomunikasikan kebijakan, sasaran mutu dan mekanisme kerja sistem manajemen


mutu kepada semua pegawai Puskesmas Beji sehingga dapat dipahami dan
dijalankan dengan baik di lapangan.
e. Terus-menerus melakukan monitoring dan evaluasi penerapan sistem manajemen
secara mutu untuk memastikan peningkatan secara berkelanjutan
4.1.3. Moto dan Tata Kerja
Moto
Melayani dengan Senyum dan Sepenuh Hati
Tata Kerja
Profesional dalam memberikan pelayanan
Responsibility dalam melaksanakan tugas yang diberikan
Inovatif dalam pelayanan kesehatan yang diberikan
Masurable dalam kualitas pelayanan kesehatan
Aktif dalam melakukan perbaikan dan pengembangan

4.1.4. Bentuk Kegiatan


Puskesmas Beji termasuk kategori Puskesmas kawasan perkotaan, Puskesmas
Beji dalam menyelenggarakan pembangunan kesehatan di wilayahnya melakukan upaya
kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat, yang keduanya jika ditinjau dari
sistem kesehatan nasional merupakan pelayanan kesehatan tingkat pertama. Upaya
Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya di singkat UKM adalah setiap kegiatan untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah dan menanggulangi timbulnya
masalah kesehatan dengan sasaran keluarga, kelompok, dan masyarakat. Upaya
Kesehatan Perorangan yang selanjutnya disingkat UKP adalah suatu kegiatan dan/ atau
serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang ditunjukan untuk peningkatan,
pencegahan, penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaaan akibat penyakit dan
memulihkan kesehatan perseorangan.
1. Upaya Kesehatan Masyarakat
32

a. Upaya Pelayanan Masyarakat Esensial


- Pelayanan Promosi Ksehatan (Promkes)
- Pelayanan Kesehatan Lingkungan
- Pelayanan Kesehatan Ibu, anak, dan Keluarga Berencana
- Pelayanan Gizi
- Pelayanan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
b. Upaya Kesehatan Masyarakat Pengembangan
- Upaya kesehatan Olahraga
- Upaya kesehatan Jiwa
- Upaya kerja dan Indra
- Upaya kesehatan Gigi Masyarakat
- Usaha Kesehatan Sekolah
- Pelayanan Perawatan Kesehatan Masyarakat (Perkemas)
- Upaya kesehatan Tradisional
- Upaya kesehatan Lansia

2. Upaya

Kesehatan

Perorangan,

Pelayanan

Kefarmasian

dan

Pelayanan

Pemeriksaan Penunjang
a. Layanan Umum dan 24 jam dan Kegawatdaruratan
b. Layanan Gigi dan Mulut
c. MTBS
d. Lansia
e. Layanan KIA dan KB
f. Konseling Gizi dan Menyusui
g. Klinik Sanitasi
h. Klinik TB Paru
i. Layanan Farmasi
j. Layanan Laboratorium
k. PONED
l. Puskemas Pembantu (Pustu)

33

4.1.5. Struktur Organisasi

34

4.1.6. Ketenagaan

35

Puskesmas Beji pada tahun 2014 memiliki 66 karyawan yang terdiri dari pegawai
negeri sipil dan 8 sukwan/swakelola dengan berbagai kualifikasi bidang pendidikan,
sebagaimana dijelaskan dalam tabel berikut :
Tabel 4.1 Sumber Daya Manusia Puskesmas Beji tahun 2014

4.1.7. Demografi
Berdasarkan proyeksi penduduk BPS Kota Depok penduduk wilayah Puskesmas
Beji tahun 2014 meliputi kelurahan Beji dan Beji Timur berjumlah 66.645 orang.
Penduduk Kelurahan Beji berjumlah 54.569 orang dengan kepadatan penduduk sebesar
3818 orang/km2 dan pada kelurahan Beji Timur berjumlah 12.076 orang dengan
kepadatan penduduk 980 orang/km2.
Jumlah Penduduk

: 66.645 orang

Kepadatan

: 2.505 orang/km2

Jumlah KK

: 19.458

Laki-laki

: 33.414 orang

Perempuan

: 33.231 orang

Jumlah Ibu Hamil

: 1760 orang

Jumlah Bulin/Bufas

: 1680 orang

Jumlah Bayi

: 1536 orang
36

Jumlah Balitas

: 5910 orang

Jumlah PUS

: 24.423 orang

Jumlah Lansia

: 2035 orang

1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelompok Umur

Grafik 4.1. Jumlah Penduduk berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelompok Umur

2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencarian


Tabel 4.2. Penduduk puskesmas Beji Berdasarkan Mata Pencarian

3. Jumlah Penduduk menurut Agama


Tabel 4.3. Penduduk Puskesmas Beji Menurut Agama

4. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan


37

Penduduk sebagai sumber daya manusia merupakan modal dasar


pembangunan

karena

pelaksanaan

pembangunan

tidak

cukup

hanya

mengandalkan sumber daya alalm tetapi tergantung juga pada sumber daya
manusia. Mutu penduduk wilayah Puskesmas beji dapat dilihat dari kemampuan
baca tulis juga tingkat pendidikan formal yang diselesaikan. Tingkat pendidikan
formal penduduk dapat dijadikan dasar perencanaan program kesehatan
khususnya bidang promotif dan preventif.

Grafik 4.2. Jumlah Penduduk Wilayah Puskesmas Beji Menurut Pendidikan

5. Presentase Penduduk Berdasarkan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Pra


Bayar
Penduduk wilayah Puskesmas Beji yang mendapatkan jaminan kesehatan
Prabayar berupa Askes PNS, Jamkesmas dan Jamkesda sebanyak 30.120 jiwa atau
45% dari jumlah penduduk Puskesmas Beji.

38

Grafik 4.3 Presentase Cakupan Pemeliharaan Kesehatan Pra Bayar di Wilayah


Puskesmas Beji tahun 2014

4.1.8. Fasilitas Kesehatan

Puskesmas Rawat jalan


Puskesmas Pembantu
Klinik Dampak Rokok
Poned
Rumah Sakit
Rumah Bersalin
Puskesmas non Perawatan
Balai Pengobatan/Klinik
Praktek Dokter bersama
Praktek Dokter Perorangan
Posyandu
Apotik

:1
:1
:1
:1
::1
:1
:6
:4
:7
: 32
:8

4.1.9. Fasilitas Pendidikan

TK /RA
SD/Madrasah
SMP
SMA
SLB
Panti Asuhan

: 12
: 21
:8
:6
:1
:1

4.1.10 Peran Serta Masyarakat

Jumlah Posyandu
Jumlah Kader Aktif

: 32
: 314
39

Jumlah Posbindu
Jumlah Kelompok Dana Sehat
Jumlah Toga

: 31
: 23
: 24

4.1.11 Bangunan Fisik


Tabel 4.4. Bangunan Fisik di Puskesmas Beji

4.1.12 Kendaraan

Pusling
Ambulan Siaga
Motor

: 1 kondisi kurang baik


: 2 kondisi baik
: 3, Baik : 2, Kurang Baik :1

4.1.13 Sumber Dana


Sumber dana untuk kegiatan pelayanan kesehatan di Puskesmas Beji selama tahun
2014 terdiri dari :
a. BOP (APBD)
b. Dana BOK
40

c. Dana Pajak Rokok


4.2.

Data Khusus
Tabel 4.5. Jumlah penduduk berdasarkan umur pada kelurahan Beji 2014
No

Keterangan

Jumlah

2-5 tahun

3.572

6-14 tahun

8.875

15tahun

26.523

Jumlah penduduk

38.970

Tabel 4.6. Jumlah penduduk berdasarkan umur pada kelurahan Beji Timur 2014
No

Keterangan

Jumlah

2-5 tahun

704

6-14 tahun

1.378

15tahun

6.683

Jumlah penduduk

8.765

Tabel 4.7. Data penyakit filariasis di wilayah Puskesmas Beji tahun 2014
Masalah Kesehatan

Tahun 2014
Kasus Penyakit
Baru

Filariasis

Lama
0

Total
0

Tabel 4.8.Data obat yang diberikan Dinas Kesehatan untuk pengobatan massal
filariasis tahun 2014
No

Kelurahan

DEC

Albendazole
41

Beji dan Beji Timur


Jumlah

124.400

47.735

124.400

47.735

Sumber : Laporan program minum obat missal Filariasis Puskesmas beji tahun 2014
Tabel 4.9. Laporan Pengobatan Massal Filariasis 2014 Puskesmas Beji
No
1

Keterangan
Jumlah penduduk yang diwajibkan minum

Kelurahan
Beji
39.983

Beji timur
9.837

Jumlah
49.820

1.013

1.072

2.085

obat/sasaran pengobatan ( anak umur 2-5


tahun, 6-14 tahun, 15tahun ) (A)
2

Jumlah penduduk yang ditunda minum obat


dengan alasan ( ibu hamil/menyusui, balita
gizi buruk, anak umur 2 tahun, dewasa

70 tahun, orang sakit berat) (B)


Jumlah penduduk yang boleh minum obat

38.970

8.765

47.735

4
5

(setelah pendataan)(C) = (A)-(B)


Jumlah penduduk yang minum obat (D)
Jumlah penduduk yang mengalami reaksi

38.970
8

8.765
2

47.735
10

efek samping obat

Sumber : Laporan program minum obat missal Filariasis Puskesmas beji tahun 2014

BAB V
HASIL EVALUASI
5.1. Identifikasi Masalah
Masalah ditetapkan jika terdapat kesenjangan antara keluaran dengan tolok ukur,
sedangkan penyebab masalah ditentukan bila ada kesenjangan antara unsur sistem lainnya
dengan tolok ukur. Proses identifikasi masalah dilakukan secara bertahap, dimulai dari
keluaran program kerja puskesmas kemudian bila ditemukan adanya kesenjangan antara
tolok ukur dengan data keluaran tersebut maka harus dicari kemungkinan penyebab masalah
pada unsur masukan, proses, lingkungan, umpan balik dan dampak.
Identifikasi masalah POMP Filariasis pada program di Puskesmas Kecamatan BejiDepok periode Januari hingga Desember 2014 dilakukan dengan membandingkan antara
pencapaian keluaran dengan tolok ukur program.
42

Tabel 5.1. Identifikasi masalah POMP Filariasis Puskesmas Kecamatan Beji


No

Variable

Definisi operasional atau rumus

Tolok Ukur

Masalah

Keberhasilan
1.

Angka

Jumlah penduduk yang minum obat

85%

(+)

0%

(-)

Berkurang /

(-)

cakupan
75,03%

penduduk
yang minum
obat
2.

Angka

Jumlah penduduk yang cacat dan meninggal

kecacatan dan

akibat ESO

kematian
0%

akibat efek
samping obat
3.

Jumlah

Jumlah kasus baru yang ditemukan per

penemuan

periode pengobatan

Tidak Ada

kasus baru
( Tidak Ada)
4.

Dilakukannya

Evaluasi bertujuan untuk mengetahui penurunan

Mf rate

evaluasi

prevalensi (mf- rate) setelah pengobatan massal

menurun

epidemiologis

(-)

dilakukan.

monitoring
Dilakukan,

jangka
panjang

mf rate terukur <1%

Masalah yang ditemukan pada Program POMP Filariasis di Puskesmas Beji


adalah:
1. Proporsi angka cakupan penduduk yang minum obat tidak mencapai lebih dari
85%

5.2 Identifikasi Penyebab Masalah


5.2.1. Kerangka Konsep

43

Sesuai dengan pendekatan sistem, belum terpenuhinya evaluasi proporsi angka


cakupan penduduk terhadap minum obat yang merupakan suatu keluaran yang tidak
sesuai dengan target. Untuk menanganinya dengan pendekatan sistem, harus dilihat
kemungkinan adanya masalah pada unsur sistem yang merupakan penyebab tidak
terintegrasinya keluaran sebagaimana mestinya, mengingat suatu sistem merupakan
keadaan yang berkesinambungan dan saling mempengaruhi. Untuk mempermudah
mengidentifikasi penyebab masalah maka diperlihatkan kerangka konsep sebagai alur
pikir penyebab masalah dengan menggunakan diagram tulang ikan sebagai berikut:

5.2.2. Estimasi Penyebab Masalah


Masalah dalam pelaksanaan Program Minum Obat Massal Pencegahan Filariasis
akan dibahas sesuai dengan pendekatan sistem yang mempertimbangkan seluruh faktor
baik dari unsur masukan, proses, umpan balik, dan lingkungan.
Pada komponen masukan, yang berpotensi menjadi penyebab masalah adalah
kurang lengkapnya tenaga pekerja pada bagian pelaksananya. Komponen proses terdiri
dari: perencanaan dan pengorganisasian, pelaksanaan, pencatatan dan pelaporan. Setiap
program memiliki perencanaan target dan waktu pelaksanaan program, sebagai pedoman
dalam pelaksanaannya. Organisasi juga perlu direncanakan dengan baik, agar terdapat
staffing dan pembagian tugas yang jelas sehingga masing-masing pelaksana dalam
organisasi dapat bekerja sesuai dengan tugasnya masing-masing sehingga tercipta
kerjasama yang baik. Hal-hal diatas pada akhirnya dapat mengakibatkan target
pencapaian program yang telah ditentukan tidak tercapai.
Komponen umpan balik terdiri dari masukan hasil pelaporan tahun sebelumnya
dan evaluasi dari program minum obat missal pencegahan filariasis. Pada Puskemas Beji
didapatkan adanya masukan untuk perbaikan program berikutnya. Hasil pelaporan ini
diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan Puskesmas untuk menyusun rencana
program pada periode selanjutnya sehingga diharapkan adanya perbaikan dari yang
sebelumnya.
5.4.

Konfirmasi Penyebab Masalah


44

Berdasarkan kerangka konsep dari masalah di atas, ditemukan beberapa penyebab


masalah, yaitu dari unsur input, proses, umpan balik dan lingkungan. Identifikasi
tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 5.2. Konfirmasi penyebab masalah program POMP Filariasis pada
komponen masukan
No

Variabel

Tolok Ukur

Pencapaian

Penyebab
Masalah

Tenaga

Tenaga pelaksana pada setiap kelurahan

Terdapat 1 penanggung jawab

orang

program, 1 orang dokter, 1

penanggung jawab program. 2 orang

orang perawat, tidak adanya

dokter,

apoteker, dan adanya tenaga

minimal

terdiri
2

dari

orang

perawat/tenaga

kesehatan, 1 orang petugas apotek dan


2

orang

tenaga

(+)

nonkesehatan.

nonkesehatan

misalnya kader.
Kader telah mendapatkan penyuluhan
dan

latihan

pengobatan

tentang
massal

pelaksanaan
filariasis

dan

Dana

telah

mendapatkan

pelaksanaan pengobatan massal


dan

edukasi

Tersedianya dana yang cukup untuk

penyakitnya.
Dana yang tersedia mencukupi

melaksanakan program

untuk menjalankan program.

Tersedianya

sumber

dana

berupa

Tersedianya

sumber

berupa

tidak

pemerintah jadi pasien tidak

pendanaan

dari

masyarakat untuk membeli obat

subsidi

dikenakan

penuh

biaya

(-)

dana

subsidi penuh dari pemerintah sehingga


diperlukan

(-)

penyuluhan dan latihan tentang


filariasis

edukasi penyakitnya.
2

Kader

dari

(-)

untuk

pengobatan.
Tersedianya dana untuk penyuluhan
penyuluhan

(-)

Sarana medis: Tersedianya jumlah obat

Tersedianya jumlah obat yang

(-)

yang

disediakan

secara berkelompok

Dana

untuk

tersedia
3

Sarana

Tersedianya sarana:

disediakan

dinas

kesehatan

dinas

kesehatan

( Albendazole, DEC)

(Albendazole dan DEC )

Sarana non medis: Tersedianya ruangan

Tersedianya

ruangan

pengobatan disetiap kelurahan alat tulis,

pengobatan

disetiap

(-)

45

buku laporan, meja dan kursinya.

kelurahan,alat

tulis,

buku

laporan, meja dan kursinya.


4

Metode

Dilakukan

penyuluhan

secara

berkelompok di 2 kelurahan sebelum

Penyuluhan dilaksanakan di 2

(-)

kelurahan

dilaksanakan pengobatan masal.

Tabel 5.3. Konfirmasi penyebab masalah program POMP Filariasis pada komponen proses
No

Variabel

Tolok Ukur

Pencapaian

Penyebab
Masalah

Perencanan

Adanya

dokumen

perencanaan

Terdapat dokumen perencanaan

pengobatan massal yang tertulis.

pengobatan massal yang tertulis

Adanya

Terdapat

perencanaan

operasional

perencanaan

(plan of action) yang jelas, jenis,

operasional yang jelas sesuai

target dan waktu kegiatan.

dengan dokumen perencanaan

(-)

(-)

yang tertulis.
2

Pengorganis

Terdapat

asi-an

pelaksana program.
Terdapat

struktur

organisasi

Pelaksanaan

Pemberian

pembagian

obat

struktur

(-)

Terdapat pembagian tugas

(-)

organisasi pelaksana
tugas

dan

tanggung jawab yang jelas.


3

Terdapat

sesuai

dan tanggung jawab yang


dengan

jelas
Pemberian

obat

sesuai

jumlah penduduk yang wajib minum

dengan jumlah penduduk

obat.

yang wajib minum obat

Pencatatan

Terdapat laporan tertulis pengobatan

Terdapat laporan tertulis

dan

massal

pengobatan

pelaporan

tempat target dan hasil pelaksanaan

berisikan

kegiatan.

tempat, target dan hasil

berisikan

data

mengenal

(-)

(-)

massal
data

mengenai

pelaksanaan kegiatan
Penyimpanan laporan tertulis yang

Penyimpanan

benar

disimpan ke dalam tempat


khusus.

Hardcopy

tertulis

(-)

dan

softcopy.

Tabel 5.4.Konfirmasi penyebab masalah program POMP Filariasis pada komponen lingkungan,
umpan balik dan dampak
No

Variabel

Tolok Ukur

Pencapaian

Penyebab

46

masalah
1

Lingkungan

Lokasi

pelaksanaan

pengobatan

massal

mudah

Lokasi pelaksana pengobatan

(-)

massal, mudah dicapai.

dicapai.
Transportasi murah .

Transportasi murah

(-)

Tingkat pemahaman mengenai

Penduduk enggan meminum

(+)

pentingnya pengobatan massal

obat, karena kekhawatirannya

menunjang

akan efek samping obat, dan

keberhasilan

pengobatan massal filariasis.

kepatuhan cara peminuman obat


filariasis yang benar

Hasil pengobatan sebelumnya

Hasil

memacu

masyarakat untuk berperan aktif

masyarakat

untuk

sebelumnya

memacu

berperan aktif dalam pengobatan

dalam pengobatan massal.

Umpan

massal tahun berikutnya.


Pencatatan dan pelaporan tahun

Adanaya

Balik

sebelumnya digunakan sebagai

pelaporan

masukan dalam upaya perbaikan

digunakan

program selanjutnya.

dalam upaya perbaikan program

Dampak

Angka

morbiditas

dan

pencatatn
tahun

masukan

mobiditas

dan

mortalitas serta kecatatan akibat

mortalitas serta kecacatan akibta

filariasis

filariasis

di

wilayah

Puskesmas menurun.

kerja

di

(-)

sebelumnya

sebagai

selanjutnya
Angka

dan

(-)

wilayah

(-)

kerja

menurun.

Berdasarkan tabel diatas maka masalah belum tercapainya evaluasi epidemiologis


monitoring jangka panjang untuk program minum obat massal pencegahan filariasis di
Puskesmas Kecamatan Beji untuk Periode Januari-Desember 2014 berdasarkan
komponen masukan, proses, umpan balik, dan lingkungan yaitu :
1. Komponen Masukan
Kurang lengkapnya tenaga pelaksana dari program POMP filariasis.

2. Komponen Lingkungan
Kurangnya tingkat pemahaman tentang pentingnya pengobatan massal filariasis.
5.5.

Penetapan Prioritas Penyebab Masalah


Berdasarkan penyajian data di atas, ditemukan beberapa penyebab dari masalah
yang terjadi. Namun penyebab masalah yang timbul tidak dapat diselesaikan semuanya
47

secara langsung karena mungkin ada masalah yang saling berkaitan dan karena adanya
keterbatasan kemampuan dalam menyelesaikan semua masalah. Karena itu harus
ditentukan prioritas penyebab masalah dan mencari alternatif penyelesaian masalah yang
telah diprioritaskan. Penetapan prioritas masalah dilakukan dengan menggunakan teknik
kriteria matriks.

Tabel 5.5. Prioritas Penyebab Masalah


N
o

1.

Masalah

Kurangnya lengkapnya tenaga pelaksana

Penentu Prioritas
Penyebab

Total
CxTxR

30

60

dari program POMP Filariasis


2.

Kurangnya tingkat pemahaman tentang


pentingnya pengobatan massal filariasis

Pada poin Contribution/C diberikan nilai 5 pada semuanya dikarenakan kedua hal
itu dirasa sangat berpengaruh besar sehingga pada saat pelaksanaan pengobatan tidak
semua penduduk mau untuk minum obat.
Pada poin Technical Feasibility/T tentang tenaga pelaksana dari POMP filariasis
sudah bisa membuat keberhasilan dari program filariasis maka hal ini diberi poin 2.
Kelayakan teknologi untuk masalah kurangnya tingkat pemahaman tentang pentingnya
pengobatan masssal memiliki kelayakan teknologi yang setara dan serta adanya sarana
penyuluhan menggunakan LCD, poster dan leaflet akan meningkatkan pemahaman
masyarakat, sehingga diberi nilai 4.
48

Pada Resources/R diberikan skor 3 dikarenkan sumber daya yang dibutuhkan untuk
memenuhi kedua poin masalah sama sama penting, karena jika sumberdaya dalam tenaga
berkurang maka kegiatan mengenai program peminuman obat massal ini juga tidak
berjalan lancar.
Berdasarkan tabel teknik kriteria matriks di atas maka urutan prioritas penyebab
masalah adalah kurangnya tingkat pemahaman tentang pentingnya pengobatan massal
filariasis

5.6. Alternatif Pemecahan Masalah


Berdasarkan penetapan prioritas penyebab masalah, didapatkan alternatif pemecahan
masalah dan penjabaran programnya adalah:
1. Rapat koordinasi untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang
pentingnya minm obat filariasis.
Tujuan : untuk membentuk tim sosialisasi pengobatan massal filariais
Sasaran : Seluruh petugas program POMP Filarasis
Waktu dan Tempat : ruang aula puskesmas beji
Alokasi dana :
Peminjaman Sarana Untuk Rapat Milik Puskesmas
Konsumsi
= Rp 40.000
ATK
= Rp 30.000
Total dana

=Rp 70.000,00

2. Melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya minum obat filariasis


Tujuan : Supaya masyarakat lebih mengerti tentang pentingnya minum obat filariasis
dengan mengemukakan fakta-fakta yang ada.
Sasaran : masyarakat kecamatan beji
Anggaran :
Dana berasal dari APBD dan atau retribusi Puskesmas (swadaya).
Dana diperkirakan sebesar Rp. 300.000,Rincian biaya :
49

Honor pembicara (1 orang)


Pembelian ATK dan kertas
Konsumsi 100 x Rp 3.000,-

Rp. 50.000
Rp. 100.000
Rp. 300.000

Jumlah

Rp. 450.000

5.7. Penentuan Prioritas Jalan Keluar


Dari berbagai alternatif cara pemecahan masalah yang telah dibuat, dipilih satu cara
pemecahan masalah yang dianggap paling baik dan memungkinkan. Pemilihan prioritas cara
dari pemecahan masalah ini dengan menggunakan teknik kriteria matriks, yaitu dengan
menentukan:
1. Efektifitas Jalan Keluar
Menetapkan nilai efektifitas (effectiveness) untuk setiap alternatif jalan keluar, yaitu
dengan memberikan angka 1 (paling tidak efektif) sampai angka 5 (paling efektif).
Prioritas jalan keluar adalah yang nilai efektifitasnya paling tinggi. Untuk menentukan
efektifitas jalan keluar, dipergunakan kriteria tambahan sebagai berikut:
a. Besarnya masalah yang dapat diselesaikan (Magnitude)
b. Pentingnya Jalan Keluar (Importancy)
c. Sensitivitas Jalan Keluar (Vulnerability)
2. Efisiensi Jalan Keluar (C)
Menetapkan nilai efisiensi (efficiency) untuk setiap alternatif jalan keluar. Nilai efisiensi
ini biasanya dikaitkan dengan biaya (cost) yang diperlukan untuk melaksanakan jalan
keluar. Makin besar biaya yang diperlukan, maka makin tidak efisien jalan keluar
tersebut. Beri angka 1 (biaya paling sedikit) sampai angka 5 (biaya paling besar).
Menghitung nilai prioritas (P) untuk setiap alternatif jalan keluar dengan membagi
hasil perkalian nilai M x I x V dengan C. Jalan keluar dengan nilai P tertinggi adalah
prioritas jalan keluar terpilih.
Tabel 5.6. Penentuan Prioritas Alternatif Pemecahan Masalah
No

Alternatif Pemecahan Masalah

Efektifitas

Efisiensi
(C)

Jumlah (P)

50

MxIxV
C

1.

Dilakukannya rapat koordinasis

33

2.

Sosialisasi terhadap masyarakat tentang

21

pengobatan filariasis

Berdasarkan perhitungan Tabel 5.6 penentuan alternatif pemecahan masalah, maka


alternatif pemecahan masalah terpilih adalah melakukan

sosialisasi kepada masyarakat

tentang pentiungnya pengobatan filariasis.


Pemecahan masalah pada program POMP filariasi dibagian rapat kordinasi
mendapatkan poin Magnitude (M) yang besar yaitu 5 karena lebih efektif dapat
menyelesaikan masalah, dan pada bagian sosialisasi diberikan nilai 4.
Importancy (I) atau pentingnya jalan keluar, berhubungan dengan kelanggengan
penyelesaian masalah. Semakin lama masa bebas masalah, semakin penting alternatif jalan
keluar tersebut. Maka alternatif yang pertama diberikan skor 5 dikarenakan diharapkan
dengan adanya rapat kordinasi dahulu maka masyarakat dapat mengerti tentang pentingnya
minum obat filariasis dan tak memiliki pandangan yang salah, sedangkan alternative kedua
diberikan skor 4.
Vulnerability (V) dinilai dari banyaknya waktu yang dibutuhkan untuk mengatasi
penyebab masalah yang ada. Kedua alternatif diberikan skor 4 karena rapat kordinasi dan
sosialisasi tentang program POMP filariasis kemungkinan dilaksanakan satu kali dalam satu
tahun.
Untuk efisiensi jalan keluar (C), pada alternative pertama dan kedua diberikan skor 3
karena biaya yang dihabiskan tidak terlalu banyak, karena penggunaan sarana yang
digunakan telah dimiliki oleh puskesmas.
5.8. Rancangan Pemecahan Masalah (Plan of Action)
Puskesmas memerlukan rencana untuk dilakukannya sosialisasi tentang pentingnya
pengobatan massal filariasis kepada masyarakat agar program yang ada dapat berjalan
sesuai dengan target. Dengan hal ini maka masyarakat dapat lebih mengerti tentang penyakit
51

filariasis dan pengobatannya lebih maksimal serta akan meningkatkan angka cakupan
pengobatan filariasis di Puskesmas Beji.
Penataan tanggung jawab pekerjaan perbagian dari masing-masing program POMP
dan rencana kegiatan perbagian beserta target kegiatan ini diharapkan dapat dilakukan
secepatnya agar program yang sudah ada dapat berjalan dan dapat mencapai target cakupan
yang sudah ditentukan menurut pedoman yang ada.

PROPOSAL RAPAT KORDINASI TENTANG FILARIASIS DAN


PENGOBATAN FILARIASIS BESERTA RANCANGAN TARGET KEGIATAN
1.

Latar Belakang
Filariasis adalah penyakit menular ( Penyakit Kaki Gajah ) yang disebabkan oleh

cacing Filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini bersifat menahun
(kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa
pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki. Akibatnya
penderita tidak dapat bekerja secara optimal bahkan hidupnya tergantung kepada orang lain
sehingga menjadi beban keluarga, masyarakat dan Negara ( Soedarmo, 2010).
Menurut WHO, lebih dari sekitar 1 milyar orang di lebih dari 80 negara beresiko
tertular Filariasis. Lebih dari 120 juta orang telah terinfeksi Filariasis dan lebih dari 40 juta
orang dari mereka beresiko tertular dan terinfeksi oleh Filariasis. Sepertiga dari orang yang
terinfeksi dengan penyakit ini hidup di India, sepertiga berada di Afrika dan sebagian besar
sisanya berada di Asia Selatan, Pasifik dan Amerika. Di daerah tropis dan subtropics di mana
filariasis limfatik adalah mapan, prevalensi infeksi terus meningkat. Penyebab utama dari
peningkatan ini adalah pertumbuhan yang cepat dan tidak terencana kota,yang menciptakan
tempat berkembang biak banyak untuk nyamuk yang menularkan penyakit (WHO, 2015)
Dalam manifestasi yang paling jelas, filariasis limfatik menyebabkan pembesaran
seluruh kaki atau lengan, alat kelamin, vulva dan payudara. Di komunitas endemik, 10-50%
laki-laki dan sampai dengan 10% perempuan dapat dipengaruhi. Stigma psikologis dan sosial
yang terkait dengan aspek-aspek dari penyakit ini sangat besar ( WHO, 2015)
Di Indonesia penyakit Kaki Gajah tersebar luas hampir di seluruh propinsi.
Berdasarkan laporan dari hasil survei pada tahun 2000 yang lalu tercatat sebanyak 1553 desa
52

di 647 Puskesmastersebar di 231 Kabupaten 26 Propinsi sebagai lokasi yang endemis,


dengan jumlah kasuskronis 6233 orang. Hasil survei laboratorium, melalui pemeriksaan
darah jari, rata-ratamikrofilaria rate (Mf rate) 3,1 %, berarti sekitar 6 juta orang sudah
terinfeksi cacing filaria dan sekitar 100 juta orang mempunyai resiko tinggi untuk ketularan
karena vektornya tersebar luas (Pusat informasi penyakit infeksi, 2010)
Pada periode Januari-Desember 2014, angka cakupan peminuman obat filariasis di
Puskesmas Kecamatan Beji tidak memenuhi standar yang ada, sehingga salah satu upaya
untuk mengatasinya, yaitu dengan melakukan sosialisasi tentang filariasis dan pengobatan
filariasis.
Tujuan
Tujuan umum
Meningkatkan keberhasilan pelaksanaan program POMP di Puskesmas Kecamatan
Beji.
Tujuan khusus
a. Melaksanakan rapat kordinasi tentang penyakit filariasis dan pengobatan filariasis
agar tercapai target yang diinginkan
b. Meningkatkan keberhasilan program disegala cakupan
3. Sasaran
Kepala lurah beji kelurahan beji
4. Lokasi
Aula Puskesmas Beji
5.Waktu
Dilakukannya sebelum program POMP Filariasis dilaksanakan
6. Bentuk kegiatan
i.
ii.

Rapat kordinasi tentang filariasis dan pengobatan filariasis.


Waktu sosialisasi dilakukan sebelum program POMP Filariasis dilaksanakan, akan

iii.

dihadiri oleh kepala lurah beji dipuskesmas beji.


Evaluasi terhadap kepala lurah sebelum dan sesudah diberikannya sosialisasi.

7. Alat dan Bahan


Ruang pertemuan
Notebook
Proyektor LCD
Handout
53

8. Materi
Diadakan rapat kordinasi tentang filariasis dan pengobatan filariasis sebelum
dilakukannya POMP Filariasis di puskesmas Kecamatan Beji yang melibatkan tenaga
kesehatan dari puskesmas, yaitu ketua penanggung jawab program POMP Filariasis,
pelaksana program POMP Filariasis dan para kader di bawah tanggung jawab dari kepala
Puskesmas.
Penyampaian materi dilakukan dalam bentuk presentasi singkat mengenai filariasis.
Daftar materi dapat dilihat dibawah ini.
a. Pengertian Filariasis
b. Cara dan peraturan peminuman obat filariasis yang benar
Penyampaian materi dapat menggunakan media komunikasi seperti flipchart, poster dan
leaflet yang dibagikan kepada para peserta. Dapat pula menggunakan alat bantu yang lebih
menarik dengan LCD proyektor yang pengerjaannya dapat dibantu oleh mahasiswa.
Saat penyampaian materi, peserta diperbolehkan untuk tanya jawab atau dapat juga
dilakukan setelah selesai pemberian materi.
9. Anggaran dana
Perencanaan anggaran dana dihitung setiap kali kegiatan dilakukan yaitu :
Jasa tenaga
pengajar

1 x Rp

100.000

=Rp

100.000

Foto kopi materi

10 x Rp

5.000

=Rp

50.000

Kosumsi

10x Rp

10.000

=Rp

100.000

Biaya tak terduga

=Rp

100.000

Total dana

=Rp

Notebook & proyektor milik puskesmas

350.000

54

BAB VI
PENUTUP
6.1. Kesimpulan
Dari hasil evaluasi Program Pemberian Minum Obat Massal Pencegahan (POMP)
Filariasis yang dilakukan dengan pendekatan sistem di Puskesmas Kecamatan Beji
periode Januari - Desember 2014 didapatkan bahwa Program Minum Obat Massal
Pencegahan (POMP) Filariasis kurang berhasil karena masih ditemukan beberapa
masalah yang mempengaruhi keberhasilan program. Adapun hasil evaluasi ini
didapatkan:

Masalah yang menjadi prioritas utama untuk dicari


penyebab masalahnya adalah proporsi penduduk minum obat < 85 %
(75,03%), dikarenakan masih kurangnya pengetahuan masyarakat tentang

filariasis dan masyarakat takut akan efek samping obatnya.


Prioritas utama alternatif pemecahan adalah dilaksanakan rapat kordinasi
secara komprehensif dan menyeluruh dengan mengemukakan fakta-fakta yang
ada dan pentingnya tentang pengobatan filariasis.

6.2. Saran
Kepada puskesmas setempat dapat :

Rapat kordinasi yang dilakukan sebelum pengobatan massal dilaksanakan


diharapkan dapat memberikan informasi yang jelas mengenai Filariasis, agar

terjadi peningkatan proporsi penduduk minum.


Program-program yang telah direncanakan sebaiknya didasarkan atas evaluasi
program yang dibuat dari data-data yang objektif sehingga penanganan
masalah bisa lebih efektif dan tepat sasaran.

55

Anda mungkin juga menyukai

  • FRAMBUSIA
    FRAMBUSIA
    Dokumen9 halaman
    FRAMBUSIA
    Dikla Maulidya Lahira
    Belum ada peringkat
  • IKTERUS
    IKTERUS
    Dokumen41 halaman
    IKTERUS
    Dikla Maulidya Lahira
    Belum ada peringkat
  • Dermatosis Vesikobulosa Kronik New
    Dermatosis Vesikobulosa Kronik New
    Dokumen102 halaman
    Dermatosis Vesikobulosa Kronik New
    Dikla Maulidya Lahira
    Belum ada peringkat
  • Lapkas Kejang Demam Yusni
    Lapkas Kejang Demam Yusni
    Dokumen44 halaman
    Lapkas Kejang Demam Yusni
    Dikla Maulidya Lahira
    Belum ada peringkat
  • Presentation Malaria Gap
    Presentation Malaria Gap
    Dokumen41 halaman
    Presentation Malaria Gap
    Dikla Maulidya Lahira
    Belum ada peringkat
  • Trik Omonia Sis
    Trik Omonia Sis
    Dokumen8 halaman
    Trik Omonia Sis
    Dikla Maulidya Lahira
    Belum ada peringkat
  • Revisi Laporan Psikiatri 2
    Revisi Laporan Psikiatri 2
    Dokumen1 halaman
    Revisi Laporan Psikiatri 2
    Dikla Maulidya Lahira
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen34 halaman
    Bab I
    Dikla Maulidya Lahira
    Belum ada peringkat
  • Ebola
    Ebola
    Dokumen25 halaman
    Ebola
    Dikla Maulidya Lahira
    Belum ada peringkat
  • Asma New Baru!!!
    Asma New Baru!!!
    Dokumen47 halaman
    Asma New Baru!!!
    Dikla Maulidya Lahira
    Belum ada peringkat
  • Evapro Filariasis
    Evapro Filariasis
    Dokumen41 halaman
    Evapro Filariasis
    Dikla Maulidya Lahira
    Belum ada peringkat
  • Fishbone Fix
    Fishbone Fix
    Dokumen1 halaman
    Fishbone Fix
    Dikla Maulidya Lahira
    Belum ada peringkat
  • Purpura
    Purpura
    Dokumen13 halaman
    Purpura
    Dikla Maulidya Lahira
    Belum ada peringkat
  • Lepto Spiros Is
    Lepto Spiros Is
    Dokumen39 halaman
    Lepto Spiros Is
    Dikla Maulidya Lahira
    Belum ada peringkat
  • Evapro Dikla
    Evapro Dikla
    Dokumen27 halaman
    Evapro Dikla
    Dikla Maulidya Lahira
    Belum ada peringkat
  • Jurnal Reading
    Jurnal Reading
    Dokumen27 halaman
    Jurnal Reading
    Dikla Maulidya Lahira
    Belum ada peringkat
  • Nsu Dan Nsgi
    Nsu Dan Nsgi
    Dokumen6 halaman
    Nsu Dan Nsgi
    Dikla Maulidya Lahira
    Belum ada peringkat
  • IMUNOLOGI
    IMUNOLOGI
    Dokumen12 halaman
    IMUNOLOGI
    Dikla Maulidya Lahira
    Belum ada peringkat
  • Anatomi Kelamin
    Anatomi Kelamin
    Dokumen18 halaman
    Anatomi Kelamin
    Dikla Maulidya Lahira
    Belum ada peringkat
  • Granuloma Inguinale
    Granuloma Inguinale
    Dokumen10 halaman
    Granuloma Inguinale
    Dikla Maulidya Lahira
    Belum ada peringkat
  • Erupsi Alergi Obat
    Erupsi Alergi Obat
    Dokumen9 halaman
    Erupsi Alergi Obat
    Dikla Maulidya Lahira
    Belum ada peringkat
  • Trik Omonia Sis
    Trik Omonia Sis
    Dokumen8 halaman
    Trik Omonia Sis
    Dikla Maulidya Lahira
    Belum ada peringkat
  • Herpes Simpleks
    Herpes Simpleks
    Dokumen18 halaman
    Herpes Simpleks
    Dikla Maulidya Lahira
    Belum ada peringkat
  • Purpura
    Purpura
    Dokumen13 halaman
    Purpura
    Dikla Maulidya Lahira
    Belum ada peringkat
  • Gonore 06
    Gonore 06
    Dokumen12 halaman
    Gonore 06
    Dikla Maulidya Lahira
    Belum ada peringkat
  • DIAGNOSA DAN PENGOBATAN KUSTA
    DIAGNOSA DAN PENGOBATAN KUSTA
    Dokumen47 halaman
    DIAGNOSA DAN PENGOBATAN KUSTA
    Dikla Maulidya Lahira
    Belum ada peringkat
  • IMUNOLOGI
    IMUNOLOGI
    Dokumen12 halaman
    IMUNOLOGI
    Dikla Maulidya Lahira
    Belum ada peringkat
  • VM KLL
    VM KLL
    Dokumen4 halaman
    VM KLL
    Dikla Maulidya Lahira
    Belum ada peringkat
  • Cover Ver Fix
    Cover Ver Fix
    Dokumen26 halaman
    Cover Ver Fix
    Dikla Maulidya Lahira
    Belum ada peringkat