PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Filariasis adalah penyakit menular ( Penyakit Kaki Gajah ) yang disebabkan oleh
cacing Filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini bersifat menahun
(kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa
pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki. Akibatnya
penderita tidak dapat bekerja secara optimal bahkan hidupnya tergantung kepada orang lain
sehingga menjadi beban keluarga, masyarakat dan Negara ( Soedarmo, 2010).
Menurut WHO, lebih dari sekitar 1 milyar orang di lebih dari 80 negara beresiko
tertular Filariasis. Lebih dari 120 juta orang telah terinfeksi Filariasis dan lebih dari 40 juta
orang dari mereka beresiko tertular dan terinfeksi oleh Filariasis. Sepertiga dari orang yang
terinfeksi dengan penyakit ini hidup di India, sepertiga berada di Afrika dan sebagian besar
sisanya berada di Asia Selatan, Pasifik dan Amerika. Di daerah tropis dan subtropics di mana
filariasis limfatik adalah mapan, prevalensi infeksi terus meningkat. Penyebab utama dari
peningkatan ini adalah pertumbuhan yang cepat dan tidak terencana kota,yang menciptakan
tempat berkembang biak banyak untuk nyamuk yang menularkan penyakit (WHO, 2015)
Dalam manifestasi yang paling jelas, filariasis limfatik menyebabkan pembesaran
seluruh kaki atau lengan, alat kelamin, vulva dan payudara. Di komunitas endemik, 10-50%
laki-laki dan sampai dengan 10% perempuan dapat dipengaruhi. Stigma psikologis dan sosial
yang terkait dengan aspek-aspek dari penyakit ini sangat besar ( WHO, 2015)
Di Indonesia penyakit Kaki Gajah tersebar luas hampir di seluruh propinsi.
Berdasarkan laporan dari hasil survei pada tahun 2000 yang lalu tercatat sebanyak 1553 desa
di 647 Puskesmastersebar di 231 Kabupaten 26 Propinsi sebagai lokasi yang endemis,
dengan jumlah kasuskronis 6233 orang. Hasil survei laboratorium, melalui pemeriksaan
darah jari, rata-ratamikrofilaria rate (Mf rate) 3,1 %, berarti sekitar 6 juta orang sudah
terinfeksi cacing filaria dan sekitar 100 juta orang mempunyai resiko tinggi untuk ketularan
karena vektornya tersebar luas (Pusat informasi penyakit infeksi, 2010)
WHO sudah menetapkan Kesepakatan Global (The Global Goal of Elimination of
Lymphatic Filariasis as a Public Health problem by The Year 2020). Program eliminasi
1
dilaksanakan melalui pengobatan massal dengan DEC dan Albendazol setahun sekali selama
5 tahun di lokasi yang endemis dan perawatan kasus klinis baik yang akut maupun kronis
untuk mencegah kecacatan dan mengurangi penderitanya. Indonesia akan melaksanakan
eliminasi penyakit kaki gajah secara bertahap dimulai pada tahun 2002 di 5 kabupaten.
Perluasan wilayah akan dilaksanakan setiap tahun. Penyebab penyakit kaki gajah adalah tiga
spesies cacing filarial yaitu; Wucheria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Vektor
penular : di Indonesia hingga saat ini telah diketahui ada 23 spesies nyamuk dari genus
Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes, dan Armigeres yang dapat berperan sebagai vektor
penular penyakit kaki gajah (Melindacare, 2013)
Evaluasi program penanggulangan penyakit Filariasis di Puskesmas Beji Depok
periode 2014 ini dibuat untuk mengetahui keberhasilan sasaran pengobatan masal yang
direkomendasikan oleh WHO dalam memberantas penyakit Filariasis serta kendala-kendala
yang dihadapi di lapangan dalam mewujudkan keberhasilan program tersebut.
1.2. Perumusan Masalah
Tidak adanya evaluasi tahunan program minum obat massal filariasis di
Puskesmas Beji membuat keberhasilan program masih belum dapat diketahui.
.
1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan umum
Mendapatkan gambaran program minum obat massal pencegahan (POMP)
Filariasis periode Januari Desember 2014 di Puskesmas Kecamatan Beji, Depok.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Diketahuinya keberhasilan program POMP Filariasis periode Januari-Desember
2014 di Puskesmas Kecamatan Beji, Depok.
2. Diketahuinya masalah dalam pelaksanaan program POMP Filariasis periode
Januari-Desember 2014 di Puskesmas Kecamatan Beji, Depok.
3. Diketahuinya prioritas masalah program POMP Filariasis periode JanuariDesember 2014 di Puskesmas Kecamatan Beji, Depok.
1.4. Manfaat
1.4.1. Manfaat Bagi Puskesmas
1. Sebagai bahan masukan dalam pelaksanaan POMP Filariasis di Puskesmas
Beji.
2. Mendapatkan alternatif pemecahan masalah pada POMP Filariasis di
Puskesmas Beji.
3. Sebagai bahan masukan untuk melakukan penyuluhan kesehatan sebagai upaya
peningkatan keberhasilan dari POMP Filariasis di Puskesmas Beji.
1.4.2. Manfaat bagi Universitas
Melaksanakan tanggung jawab universitas yang tertuang dalam tridharma
perguruan tinggi dengan melaksanakan fungsi dan tugas perguruan tinggi sebagai
lembaga penyelenggaraan pendidikan, penelitian dan pengabdian bagi masyarakat.
1.4.3. Manfaat bagi Mahasiswa
1. Mendapatkan pengetahuan mengenai manajemen dan evaluasi program
Puskesmas
2. Dapat mengaplikasikan ilmu yang telah didapat selama menjalani pendidikan di
Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional
Veteran Jakarta.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Teori Dasar Filariasis
2.1.1. Definisi
Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria Wuchereria bancrofti,
Brugia malayi atau B. timori. Parasit ini ditularkan pada tubuh manusia melalui gigitan
nyamuk Armigeres, Mansonia, Culex, Aedes dan Anopheles yang mengandung larva
stadium III atau (L3).Ketika masih dalam bentuk larva dan mikrovilia, cacing ini berada
di dalam darah. Pada saat berubah menjadi cacing dewasa, cacing-cacing ini akan
menyerang
pembuluh
limfatik
sehingga
menyebabkan
kerusakan
parah
dan
pembengkakan. Jika tidak segera diobati, penyakit ini dapat menyebabkan cacat berupa
pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin (Soedarmo, Herry, Sri, 2010).
2.1.2. Etiologi
A. Penyebab utama Filariasis limfatik :
1.
Filaria bancrofti (Wuchereria bancrofti)
Filariasis bancrofti adalah infeksi yang disebakan oleh Wuchereria bancrofti. Cacing
dewasa hidup di dalam kelenjar dan saluran limfe, sedangkan mikrofilaria ditemukan di
dalam darah. Secara klinis, infeksi bias terjadi tanpa gejala atau manifestasinya berupa
peradangan dan sumbatan saluran limfe. Manusia merupakan satu-satunya hospes yang
diketahui. Wuchereria bancrofti akan mencapai kematangan seksual dikelenjar dan
saluran limfe. Cacing dewasa berwarna putih, kecil seperti benang. Cacing jantan
berukran 40 mm x 0,2 mm, sedangkan cacing betina berukuran dua kali cacing jantan
yaitu 80-100 mm x 0.2-0.3 mm (Behrman, 2007).
2.
Penyebab Filariasis Malayi adalah filaria Brugia malayi. Cacing dewasa jenis ini
memiliki ukuran panjang 13-33 mm dengan diaameter 70-80 mikrometer. Sedangkan
cacing betinanya berukuran panjang 43-55 mm dan berdiameter 130-170 mikrometer.
3.
Timor microfilaria (Brugia timori)
Penyebab penyakit ini adalah filaria tipe Brugia timori. Cacing jantan berukuran panjang
20 mm dengan diameter 70-80 mikrometer. Sedangkan yang betina berukuran panjang
30 mm dengan diameter 100 mikrometer. Filaria tipe ini terdapat di daerah Timor, pulau
Rote, Flores dan beberapa pulau sekitarnya. Cacing dewasa hidup di dalam saluran dan
kelenjar limfe. Vektornya adalah Anopheles barbirostis. Mikrofilarianya menyerupai
mikrofilaria Brugia Malayi, yaitu lekuk badannya patah-patah dan susunan intinya tidak
teratur, perbedaannya terletak di dalam hal (Rudolph,2007) :
Panjang kepala sama dengan 3x lebar kepala
Ekornya mempunyai 2 inti tambahan, yang ukurannya lebih kecil daripada inti-inti
lainnya dan letaknya lebih berjauhan bila dibandingkan dengan letak inti tambahan
Brugia malayi.
Sarungnya tidak mengambil warna pulasan Giemsa
Ukurannya lebih panjang daripada mikrofilaria Brugia malayi. Mikrofilaria bersifat
periodik nokturnal.
Filariasis limfatik ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles spp.,Culex spp., Aedes
spp. dan Mansonia spp.
B. Penyebab Filariasis subkutan:
1.
Onchorcercia spp
Penyebab penyakit ini adalah Onchocerca volvulus. Juga dikenal sebagai hanging groins,
leopard skin, river blindness, atau sowda. Gejala klinis akibat adanya microfilaria di kulit
dan termasuk pruritus, bengkak subkutaneous, lymphadenitis, dan kebutaan
Cacing dewasa berukuran panjang 10-42 mm dengan diameter 130-210 mikrometer.
Sedangkan cacing betina berukuran panjang 33,5-50 mm dengan diameter 270-400
mikrometer.
Cacing dewasa berada dalam nodulus di jaringan subkutis atau lebih dalam, biasanya
timbul di daerah pelvis, temporal dan daerah occipital.Mikrofilarianya dapat ditemukan
didalam jaringan subkutis, darah tepi, urine dan sputum (Behrman, 2007).
2.
Loaiasis
Penyababnya adalah cacing Loa loa. Cacing jantan memiliki panjang 30-34 mm dan lebar
0,35-0,43 mm. Sedangkan cacing betina loa-loa berukuran 40-70 mm dengan lebar 0,5
6
mm. Lalat buah mangga atau deerflies dari Chrysops diduga sebagai vektor dari penyakit
loaiasis (Behrman, 2007).
2.1.3.
Epidemiologi
Menurut WHO, lebih dari sekitar 1 milyar orang di sekitar 80 negara beresiko
tertular filariasis. Sementara di Indonesia sekitar 100 juta orang beresiko tertular penyakit
ini. Pada anak-anak, pengaruh penyebaran parasit filaria berkembang dengan lambat
namun, pembengkakan kelenjar getah bening dapat diamati sejak dini yaitu di usia dua
tahun. Perkembangan penyakit ini terhadap anak perempuan dapat tampak di usia 13
tahun, sementara pada anak laki-laki penyakit ini dapat terdeteksi di usia 11 tahun.
Hingga saat ini WHO telah menetapkan Kesepakatan Global untuk pemberantasan
penyakit ini secara bertahap sejak tahun 2002 (WHO, 2015)
Di Indonesia penyakit Kaki Gajah tersebar luas hampir di seluruh propinsi.
Berdasarkan laporan dari hasil survei pada tahun 2000 yang lalu tercatat sebanyak 1553
desa di 647 Puskesmastersebar di 231 Kabupaten 26 Propinsi sebagai lokasi yang
endemis, dengan jumlah kasuskronis 6233 orang. Hasil survei laboratorium, melalui
pemeriksaan darah jari, rata-ratamikrofilaria rate (Mf rate) 3,1 %, berarti sekitar 6 juta
orang sudah terinfeksi cacing filaria dan sekitar 100 juta orang mempunyai resiko tinggi
untuk ketularan karena vektornya tersebar luas. Untuk memberantas penyakit ini sampai
tuntas (Pusat informasi penyakit infeksi, 2010)
2.1.4.
Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala filariasis bancrofti sangat berbeda dari satu daerah endemik
dengan daerah endemic lainnya. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan
intensitas paparan terhadap vektor yang infektif diantara daerah endemic tersebut.
Asymptomatic amicrofilaremia, adalah suatu keadaan yang terjadi apabila seseorang
yang terinfeksi mengandung cacing dewasa, namun tidak ditemukan mikriofilaria
didalam darah, atau karena microfilaremia sangat rendah sehingga tidak terdeteksi
dengan prosedur laboratorium yang biasa (Soedarmo, 2010).
Asymptomatic microfilaremia, pasien mengandung microfilaremia yang berat tetapi
tanpa gejala sama sekali.
Manifestasi akut, berupa demam tinggi (demam filarial atau elefantoid), menggigil
dan lesu, limfangitis dan limfadenitis yang berlangsung 3-15 hari, dan dapat terjadi
beberapa kali dalam setahun. Pada banyak kasus, demam filarial tidak menunjukan
microfilaremia. Limfangitis akan meluas kedaerah distal dari kelenjar yang terkena
tempat cacing ini tinggal. Limfangitis dan limfadenitis berkembang lebih sering di
ekstremitas bawah dari pada atas. Selain pada tungkai, dapat mengenai alat kelamin,
(tanda khas infeksi W.bancrofti) dan payudara (Soedarmo, 2010).
Manifestasi kronik, disebabkan oleh berkurangnya fungsi saluran limfe terjadi
beberapa bulan sampai bertahun-tahun dari episode akut. Gejala klinis bervariasi mulai
dari ringan sampai berat yang diikuti dengan perjalanan penyakit obstruksi yang kronis.
Tanda klinis utama yaitu hydrocele,limfedema,elefantiasis dan chyluria, meningkat sesuai
bertambahnya usia (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2009)
Manifestasi genital, di banyak daerah, gambaran kronis yang terjadi adalah
hydrocele. Selain itu dapat dijumpai epedidimitis kronis, funikulitis, edem karena
penebalan kulit skrotum, sedangkan pada perempuan bisa dijumpai limfedema vulva.
Limfedema dan elefantiasis ekstremitas, episode limfedema pada ekstremitas akan
menyebabkan elefantiasis di daerah saluran limfe yang terkena dalam waktu bertahuntahun. Lebih sering terkena ekstremitas bawah. Pada W.bancrofti, infeksi didaerah paha
dan ekstremitas bawah sama seringnya, berbeda dengan B.malayi yang hanya mengenai
ekstremitas bawah saja (Soedarmo, 2010).
Patofisiologi
Penularan ke manusia melalui gigitan vektor nyamuk (Mansonia dan Anopheles).
Bila manusia digigit maka microfilaria akan menempel di kulit dan menembus kulit
melalui luka tusuk dan melalui sistem limfe ke kelenjar getah bening. Cacing yang
sedang hamil akan menghasilkan microfilaria. Cacing tersebut muncul dalam darah dan
menginfeksi kembali serangga yang menggigit (Soedarmo, 2010).
Pada manusia, masa pertumbuhan penularan filariasis belum diketahui secara
pasti, tetapi diduga 7 bulan. Microfilaria yang terisap oleh nyamuk melepaskan
sarungnya di dalam lambung, menembus dinding lambung dan bersarang diantara otototot torax. Mula-mula parasit ini memendek, bentuknya menyerupai sosis dan disebut
larva stadium I. dalam waktu seminggu, larva ini bertukar kulit, tumbuh menjadi lebih
gemuk dan panjang dan disebut larva stadium II. Pada hari ke 10 dan selanjutnya, larva
ini bertukar kulit sekali lagi, tumbuh makin panjang dan lebih kurus dan disebut larva
stadium III. Larva ini sangat aktif dan sering bermigrasi mula-mula ke rongga abdomen
kemudia ke kepala dan alat tusuk nyamuk. Bila nyamuk yang mengandung larva stadium
III ini menggigit manusia, maka larva tersebut secara aktif masuk melalui luka tusuk ke
dalam tubuh hospes dan bersarang di saluran limpah setempat. Di dalam tubuh hospes,
larva ini mengalami dua kali pergantian kulit, tumbuh menjadi larva stadium IV, stadium
V atau stadium dewasa. Umur cacing dewasa filarial 5-10 tahun.Cara penularan filariasis
melalui gigitan nyamuk Culex fatigans, Armigeres, Aedes, Anopheles, dan Mansonia
(Soedarmo, 2010).
Seseorang dapat tertular atau terinfeksi penyakit kaki gajah apabila orang tersebut
digigit nyamuk yang terinfektif yaitu nyamuk yang mengandung larva infektif atau larva
stadium III (L3). Nyamuk tersebut mendapat cacing filaria kecil(mikrofilaria) sewaktu
menghisap darah penderita yang mengandung mikrofilaria atau binatang reservoar yang
mengandung mikrofilaria (Wikipedia, 2010)
Gejala Klinis
Gejala klinis akut filariasis, berupa :
d. Demam berulang ulang selama 3-5 hari. Demam dapat hilang bila istirahat dan
timbul lagi setelah bekerja berat.
10
e. Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan paha,
ketiak(lymphadentitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit.
f. Radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit menjalar dari
pangkal kaki atau pangkal lengan ke arah ujung (retrograde lymphangitis).
g. Filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah bening,
dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah.
h. Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, kantong zakar yang terlihat agak
2.1.6.2.
zakar (elephantiasis skroti). Gejala klinis filariasis disebabkan oleh cacing dewasa pada
sistem limfatik dan oleh reaksi hiperresponsif berupa occult filariasis. Dalam perjalanan
penyakit filariasis bermula dengan adenolimfangitis akuta berulang dan berakhir dengan
terjadinya obstruksi menahun dari sistem limfatik. Perjalanan penyakit tidak jelas dari
satu stadium ke stadium berikutnya tetapi bila diurut dari masa inkubasi maka dapat
dibagi menjadi (Soedamo, Herry, Sri, dkk 2010).
1.Masa prepaten
Masa prepaten, masa antara masuknya larva infektif sampai terjadinya
mikrofilaremia berkisar antara 37 bulan. Hanya sebagian saja dari penduduk di daerah
endemik yang menjadi mikrofilaremik, dan dari kelompok mikrofilaremik inipun tidak
semua kemudian menunjukkan gejala klinis. Terlihat bahwa kelompok ini termasuk
kelompok yang asimtomatik amikrofi laremik dan asimtomatik mikrofilaremik.
2. Masa inkubasi
Masa inkubasi, masa antara masuknya larva infektif sampai terjadinya gejala
klinis berkisar antara 8-16 bulan.
3.Gejala klinik akut
Gejala klinik akut merupakan limfadenitis dan limfangitis disertai panas dan
malaise. Kelenjar yang terkena biasanya unilateral. Penderita dengan gejala klinis akut
dapat amikrofi laremik maupun mikrofilaremik.
11
Diagnosis
Didaerah endemis, bila ditemukan adanya limfedema di daerah ekstremitas
disertai dengan kelainan genital laki-laki pada penderita dengan usia lebih dari 15 tahun,
12
bila tidak ada sebab lain seperti trauma atau gagal jantung kongestif kemungkinan
filariasis sangat tinggi.
Pemeriksaan laboratorium dapat berupa :
Identifikasi mikrofilaria dari darah, cairan hidrokel atau walau sangat jarang dari
cairan tubuh lain. Bila sangat diperlukan dapat dilakukan Diethylcarbamazine
provocative test.
Identifikasi cacing dewasa pada pembuluh limfe skrotum dan dada wanita dengan
memakai high frequency ultrasound dan teknik Doppler, cacing dewasa terlihat
bergerak-gerak ( filaria dance sign ) dalam pembuluh limfe yang berdilatasi.
Pemeriksaan ini selain memerlukan peralatan canggih juga sulit mengidentifikasi
cacing dewasa di tempat lain.
Identifikasi antigen filaria ( circulating filarial antigen / CFA ) dengan teknik :
ELISA, Rapid Immu-nochromatography Card. Pemeriksaan ini memberikan nilai
sensitifitas dan spesifitas yang tinggi
Identifikasi DNA mikrofilaria melalui pemeriksaan PCR
Identifikasi antibodi spesifik terhadap filaria : sedang dikembangkan lebih lanjut
karena hasil dari penelitian awal menunjukkan nilai spesifitas yang kurang.
Penelitian mengenai deteksi antifilaria IgG4 memberi perbaikan akan kinerja uji
identiifikasi antibodi terhadap filaria karena reaksi silang terhadap antigen cacing
lain relatif kecil. Perbaikan kinerja juga diperlihatkan bila reagen yang dipakai
berupa antigen rekombinan yang spesifik untuk filaria. Uji identifikasi antibodi
ini penting untuk menapis penderita filariasis yang disebabkan oleh Brugia spp.
karena uji identifikasi antigen untuk jenis cacing tersebut belum ada yang
memuaskan.
2.1.8.
Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan leukositosis dengan eosinofilia sampai
10-30%. Cacing filaria dapat ditemukan dengan pengambilan darah tebal atau tipis pada
waktu malam hari antara jam 10 malam sampai jam 2 pagi yang dipulas dengan
pewarnaan Giemsa atau Wright.Dengan pemeriksaan sediaan darah jari yang diambil
13
pukul mulai 20.00 malam waktu setempat. Seseorang dinyatakan sebagai penderita
filariasis, apabila dalam sediaan darah tebal ditemukan microfilaria (Medscape, 2013).
2.1.9.
Penatalaksanaan
Terapi filariasis bertujuan untuk mencegah atau memperbaiki perjalanan penyakit.
sistemik
badan,pusing,anoreksia,malaise
dapat
dan
berbentuk
demam,sakit
muntah-muntah.
Reaksi
kepala,
sistemik
nyeri
cenderung
namun pernah dilaporkan. Reaksi lokal terjadi lebih lambat namun berlangsung lebih lama
dari reaksi sistemik. Efek samping DEC lebih berat pada penderita onchorcerciasis ,
sehingga obat tersebut tidak diberikan dalam program
Ivermectin.
Pemberian dosis tunggal ivermectine 150 ug/kg BB efektif terhadap penurunan
derajat mikrofilaria W.bancrofti, namun pada filariasis oleh Brugia spp. penurunan
tersebut bersifat gradual. Efek samping ivermectine sama dengan DEC, ivermectine tidak
boleh diberikan pada wanita hamil atau anak anak yang berumur kurang dari 5 tahun.
Karena tidak memiliki efek terhadap cacing dewasa, ivermectine harus diberikan setiap 6
bulan atau 12 bulan untuk menjaga agar derajat mikrofilaremia tetap rendah (Medscape,
2013).
2.1.9.3.
Pengobatan simtomatik
Pemeliharaan kebersihan kulit, dan bila perlu pemberian antibiotik dan atau anti
Pengobatan operatif
Kadang-kadang hidrokel kronik memerlukan tindakan operatif, demikian pula
pada chyluria yang tidak membaik dengan terapi konservatif. Pengobatan operatif
elefantiasis kaki pada umumnya tidak memberi hasil yang memuaskan, ahir-ahir ini
dengan memakai lymphovenous prosedur diikuti dengan pembuangan jaringan subkutan
dan lemak yang berlebihan, disertai dengan drainase postural dan fisioterapi yang adekuat
memberi berbagai keuntungan bagi penderita.
2.1.10.
tentang
penyakit
filariasis
dan
penanggulangannya
perlu
dilaksanakan sehingga terbentuk sikap dan perilaku yang baik untuk menunjang
penanggulangan filariasis. Sasaran penyuluhan adalah penderita filariasis beserta keluarga
dan seluruh penduduk daerah endemis, dengan harapan bahwa penderita dengan gejala
klinik filariasis segera memeriksakan diri ke Puskesmas, bersedia diperiksa darah kapiler
jari dan minum obat DEC secara lengkap dan teratur serta menghindarkan diri dari gigitan
nyamuk. Evaluasi hasil pemberantasan dilakukan setelah 5 tahun, dengan melakukan
pemeriksaan vektor dan pemeriksaan darah tepi untuk deteksi mikrofilaria.
2.1.11.
Prognosis
Prognosis penyakit ini tergantung dari jumlah cacing dewasa dan mikrofilaria
dalam tubuh penderita, potensi cacing untuk berkembang biak, kesempatan untuk infeksi
ulang dan aktivitas RES.Pada kasus-kasus dini dan sedang, prognosis baik terutama bila
pasien pindah dari daerah endemik. Pengawasan daerah endemik tersebut dapat dilakukan
dengan pemberian obat, serta pemberantasan vektornya. Pada kasus-kasus lanjut terutama
dengan edema pada tungkai, prognosis lebih buruk.
2.2. Sistem
2.2.1 Pengertian sistem
Kata Sistem awalnya berasal dari bahasa Yunani (sustma) dan bahasa Latin
(systma). Terdapat beberapa macam pengertian dari sistem yang dikemukakan, antara
lain:
16
a) Sistem adalah sekumpulan unsur / elemen yang saling berkaitan dan saling
mempengaruhi dalam melakukan kegiatan bersama untuk mencapai suatu
tujuan.
b) Sistem adalah gabungan dari elemen-elemen yang saling dihubungkan oleh
suatu proses atau struktur dan berfungsi sebagai satu kesatuan organisasi
dalam upaya menghasilkan sesuatu yang telah ditetapkan (Ryans).
Sesuatu disebut sebagai sistem apabila ia memiliki beberapa ciri pokok sistem.
Ciri-ciri pokok yang dinaksud banyak macamnya, jika disederhanakan dapat dibedakan
atas empat macam, yaitu (Anwar dkk., 2008):
1. Dalam sistem terdapat bagian atau elemen yang satu sama lain saling
berhubungan dan mempengaruhi yang kesemuanya membentuk satu
kesatuan, dalam arti semuanya berfungsi untuk mencapai tujuan yang
sama yang telah ditetapkan.
2. Fungsi yang diperankan oleh masing-masing bagian atau elemen yang
membentuk satu kesatuan tersebut adalah dalam rangka mengubah
masukan menjadi keluaran yang direncanakan.
3. Dalam melaksanakan fungsi tersebut, semuanya bekerja sama secara
bebas namun terkait, dalam arti terdapat mekanisme pengendalian yang
mengarahkannya
agar
tetap
berfungsi
sebagaimana
yang
telah
direncanakan.
4. Sekalipun sistem merupakan satu kesatuan yang terpadu, bukan berarti ia
tertutup terhadap lingkungan (Anwar dkk., 2008).
17
Masukan adalah kumpulan bagian atau elemen yang terdapat dalam sistem
dan yang diperlukan untuk dapat berfungsinya sistem tersebut.
2. Proses (process)
Proses adalah kumpulan bagian atau elemen yang terdapat dalam sistem
dan yang berfungsi untuk mengubah masukan menjadi keluaran yang
direncanakan.
3. Keluaran (output)
Keluaran adalah kumpulan bagian atau elemen yang dihasilkan dari
berlangsungnya proses dalam sistem.
4. Umpan balik (feed back)
Umpan balik adalah kumpulan bagian atau elemen yang merupakan
keluaran dari sistem dan sekaligus sebagai masukan bagi sistem tersebut.
5. Dampak (impact)
Dampak adalah akibat yang dihasilkan oleh keluaran suatu sistem.
6.
Lingkungan (environment)
Lingkungan adalah dunia diluar sistem yang tidak dikelola olah sistem
tetapi mempunyai pengaruh besar terhadap sistem (Azrul., 2008).
LINGKUNGAN
MASUKAN
PROSES
UMPAN BALIK
KELUARAN
DAMPAK
18
2.
Pendekatan
sistem
adalah
suatu
strategi
yang
yang teratur dan sistematis dalam membandingkan hasil yang dicapai dengan tolok ukur
dan kriteria yang telah ditetapkan, dilanjutkan dengan pengambilan kesimpulan serta
penyusunan saran-saran, yang dapat dilakukan pada setiap tahap dari pelaksanaan
program. Menurut Riecken, evaluasi adalah pengukuran terhadap akibat yang
ditimbulkan dari dilaksanakannya program dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
Evaluasi dapat dilakukan pada setiap tahap program tergantung tujuannya, yakni:
1. Evaluasi formatif (dilakukan pada tahap perencanaan program)
Tujuannya adalah meyakinkan bahwa rencana yang akan disusun benar-benar
telah sesuai dengan masalah yang ditemukan sehingga nantinya dapat
menyelesaikan masalah tersebut.
2. Evaluasi promotif (pada tahap pelaksanaan program)
Tujuannya untuk mengukur apakah program yang sedang dilaksanakan
tersebut telah sesuai dengan rencana atau tidak dan apakah terjadi
penyimpangan yang dapat merugikan tujuan program.
3. Evaluasi sumatif (dilakukan pada tahap akhir program)
Tujuannya untuk mengukur keluaran atau dampak bila memungkinkan. Jenis
evaluasi ini yang dilakukan dalam makalah ini.
Ruang lingkup evaluasi program secara sederhana dibedakan menjadi 4
kelompok, yakni evaluasi terhadap masukan, proses, keluaran dan dampak secara
umum. Evaluasi bertujuan untuk menilai keberhasilan program serta meningkatkan
keberhasilan program di masa yang akan datang
Langkah-langkah yang ditempuh dalam melakukan evaluasi terhadap suatu program
meliputi :
1. Penetapan indikator dari unsur keluaran
2. Penetapan tolok ukur dari tiap indikator keluaran
3. Membandingan pencapaian masing-masing indikator keluaran program
dengan
tolok ukurnya
20
kesimpulan
dan saran
BAB III
METODE EVALUASI
3.1. Variabel dan Tolok Ukur Penilaian
21
Variable
Tolok Ukur
Keberhasilan
1.
Angka cakupan
85%
obat
2.
ESO
0%
samping obat
3.
4.
Jumlah penemuan
Berkurang /
kasus baru
pengobatan.
Tidak Ada
Dilakukannya evaluasi
Mf rate
epidemiologis
menurun
monitoring jangka
dilakukan.
panjang
Bahan Kerja
Data Primer
22
interpretasi data
3.2.4. Lokasi
Pengumpulan data dilakukan di Puskesmas Kecamatan Beji, Depok.
3.2.5. Waktu
23
24
Variabel
Tenaga
Tolok Ukur
Tenaga pelaksana pada setiap kelurahan minimal terdiri dari 1 orang
penanggung jawab program. 2 orang dokter, 2 orang
perawat/tenaga kesehatan, 1 orang petugas apotek dan 2 orang
tenaga nonkesehatan misalnya kader.
25
penyakitnya.
Tersedianya dana yang cukup untuk melaksanakan program
Dana
Sarana
Tersedianya sarana:
1.
2.
kursinya.
Dilakukan penyuluhan secara berkelompok di 2 kelurahan sebelum
Metode
Sumber : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014 dan Penilaian Kinerja Puskesmas, 2014
Variabel
Perencanan
Tolok Ukur
Adanya dokumen perencanaan pengobatan massal yang tertulis.
Adanya perencanaan operasional (plan of action) yang jelas, jenis,
target dan waktu kegiatan.
Pengorganisa
a.
si-an
b.
Pelaksanaan
a.
26
Pencatatan
a.
dan pelaporan
b.
Sumber : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014 dan Penilaian Kinerja Puskesmas, 2014
Variabel
Lingkungan
Tolok Ukur
a.
b.
Transportasi murah
c.
d.
Dampak
Sumber : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014 dan Penilaian Kinerja Puskesmas, 2014
3.3.6.
Dari berbagai alternatif cara pemecahan masalah yang telah dibuat, dipilih salah
satu cara pemecahan masalah yang dianggap paling baik dan memungkinkan.
Pemilihan/penentuan prioritas cara pemecahan masalah ini dengan memakai teknik
kriteria matriks. Dua kriteria yang lazim digunakan adalah:
1.
Menghitung nilai prioritas (P) untuk setiap alternatif jalan keluar dengan
rumus :
P=MxIxV
C
Jalan keluar dengan nilai P tertinggi adalah prioritas jalan keluar terpilih
BAB IV
PENYAJIAN DATA PUSKESMAS BEJI
4.1. Data Umum
4.1.1. Gambaran Umum Puskesmas Beji
Kode Puskesmas
: P.3.27.606.02.01
Nama Puskesmas
: Beji
Kecamatan
: Beji
Kabupaten/Kotamadya : Depok
Provinsi
: Jawa Barat
29
Puskesmas Beji merupakan Puskesmas Rawat Jalan yang terletak di Jl. Bambon
Raya no. 7B Kelurahan Beji Timur, berdiri sekitar bulan Agustus tahun 1981, pada awal
berdirinya karyawannya hanya berjumlah 12 orang. Seiring dengan berjalannya waktu
Puskesmas Beji berkembang pesat, dan terus meningkatkan pelayanan. Saat ini
Puskesmas Beji mempunyai karyawan 66 orang, sejak bulan April 2014 mulai menjadi
Puskesmas 24 jam dan PONED (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar) dan
Klinik dampak merokok. Saat ini Puskesmas menyelenggarakan Rawat jalan 24 jam dan
melayani persalinan normal. Dan pada tahun yang sama Puskesmas Beji juga mulai
membuka Puskesmas Pembantu (Pustu) yang terletak di Jl. Halmahera Depok Utara
Kelurahan Beji.
Beji adalah Puskesmas Kecamatan yang membawahi 2 Puskesmas Kelurahan,
yaitu : Puskesmas Kemiri Muka dan Puskesmas Tanah Baru. Dalam kegiatannya
Puskesmas Beji bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di 2
wilayah kelurahan yaitu Kelurahan Beji dan Beji Timur dengan luas wilayah kerja 3,17
km2. Kondisi alam di wilayah kerja Puskesmas Beji sebagian Besar merupakan daerah
pemukiman dimana apabila musim penghujan lokasi daerah yang rawan bencana
terutama banjir ada di Kelurahan Beji yaitu di RW 03 dan Kelurahan Beji Timur di RW
01.
Letaknya dekat dengan perumahan dan dekat dengan Kampus UI Depok sehingga
cukup mudah dilalui kendaraan mobil dan motor sampai ke lokasi Puskesmas, disamping
juga dilalui oleh jalur angkot. Adapun wilayah kerja Puskesmas Beji dibatasi oleh
wilayah-wilayah sebagai berikut :
Batas Utara
: Kelurahan Kukusan
30
Batas Selatan
: Kecamatan Beji
Batas Barat
: Kelurahan Tanah Baru
Batas Timur
: Kelurahan Kemiri muka
Semakin berkembangnya jumlah dan jenis pelayanan kesehatan dan beragamnya
tuntutan dari masyarakat saat ini dan di masa yang akan datang maka UPT Puskesmas
Kecamatan Beji selalu berusaha untuk memenuhi kriteria mutu pelayanan kesehatan yang
baik dengan selalu mengingkatkan kinerja sumber daya manusia serta mengembangkan
fungsi sosial puskesmas.
Sejak pertengahan tahun 2012, tepatnya 1 juli 2012 Puskesmas Beji telah
mengimplementasikan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001 : 2008 pada beberapa
pelayanannya. Adapun pelayanan yang telah menerapkan antara lain : Poli Umum, Poli Gigi,
Poli MTBS, Laboratorium, Loket, Farmasi, dan TU sebagai penunjang. Pada tanggal 4
Desember 2012 Puskesmas Beji telah dilakukan audit sertifikasi ISO 9001:2008 oleh Badan
Sertifikasi Beureu Veritas (BV) dan berhak untuk mendapatkan sertifikat ISO 9001:2008.
Dengan diterapkannya Sistem Manajemen Mutu berdasarkan ISO 9001:2008 diharapkan
Puskesmas Kecamatan Beji dapat menjadi pusat pelayanan kesehatan yang berkualitas dan
dapat memenuhi kepuasan pelanggan. Pada bulan Juli 2014 dan Januari 2015 UPT
Puskesmas Beji telah dilakuakan audit Surveilance ISO 9001:2008 oleh Badan Sertifikasi
SAI Global pada beberapa pelayanan yaitu : Poli Umum, Poli KIA/KB, Poli Gigi, Farmasi,
Loket dan TU sebagai Pendukung.
4.1.2. Visi, Misi, dan Kebijakan Mutu
Visi
Terwujudnya Kecamatan Beji Sehat 2020 Dengan Layanan Kesehatan Berkualitas.
Misi
Kebijakan Mutu
a. Puskesmas Kecamatan Beji bertekad memberikan pelayanan berkualitas, menuju
masyarakat sehat yang mandiri secara berkesinambungan
b. Berkomitmen memenuhi semua peraturan perundang-undangan yang berlaku
c. Melakukan pengkajian secara berkala kebijakan, sasaran mutu dan mekanisme kerja
untuk memastikan efektifitas penerapan sistem manajemen mutu
31
2. Upaya
Kesehatan
Perorangan,
Pelayanan
Kefarmasian
dan
Pelayanan
Pemeriksaan Penunjang
a. Layanan Umum dan 24 jam dan Kegawatdaruratan
b. Layanan Gigi dan Mulut
c. MTBS
d. Lansia
e. Layanan KIA dan KB
f. Konseling Gizi dan Menyusui
g. Klinik Sanitasi
h. Klinik TB Paru
i. Layanan Farmasi
j. Layanan Laboratorium
k. PONED
l. Puskemas Pembantu (Pustu)
33
34
4.1.6. Ketenagaan
35
Puskesmas Beji pada tahun 2014 memiliki 66 karyawan yang terdiri dari pegawai
negeri sipil dan 8 sukwan/swakelola dengan berbagai kualifikasi bidang pendidikan,
sebagaimana dijelaskan dalam tabel berikut :
Tabel 4.1 Sumber Daya Manusia Puskesmas Beji tahun 2014
4.1.7. Demografi
Berdasarkan proyeksi penduduk BPS Kota Depok penduduk wilayah Puskesmas
Beji tahun 2014 meliputi kelurahan Beji dan Beji Timur berjumlah 66.645 orang.
Penduduk Kelurahan Beji berjumlah 54.569 orang dengan kepadatan penduduk sebesar
3818 orang/km2 dan pada kelurahan Beji Timur berjumlah 12.076 orang dengan
kepadatan penduduk 980 orang/km2.
Jumlah Penduduk
: 66.645 orang
Kepadatan
: 2.505 orang/km2
Jumlah KK
: 19.458
Laki-laki
: 33.414 orang
Perempuan
: 33.231 orang
: 1760 orang
Jumlah Bulin/Bufas
: 1680 orang
Jumlah Bayi
: 1536 orang
36
Jumlah Balitas
: 5910 orang
Jumlah PUS
: 24.423 orang
Jumlah Lansia
: 2035 orang
Grafik 4.1. Jumlah Penduduk berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelompok Umur
karena
pelaksanaan
pembangunan
tidak
cukup
hanya
mengandalkan sumber daya alalm tetapi tergantung juga pada sumber daya
manusia. Mutu penduduk wilayah Puskesmas beji dapat dilihat dari kemampuan
baca tulis juga tingkat pendidikan formal yang diselesaikan. Tingkat pendidikan
formal penduduk dapat dijadikan dasar perencanaan program kesehatan
khususnya bidang promotif dan preventif.
38
:1
:1
:1
:1
::1
:1
:6
:4
:7
: 32
:8
TK /RA
SD/Madrasah
SMP
SMA
SLB
Panti Asuhan
: 12
: 21
:8
:6
:1
:1
Jumlah Posyandu
Jumlah Kader Aktif
: 32
: 314
39
Jumlah Posbindu
Jumlah Kelompok Dana Sehat
Jumlah Toga
: 31
: 23
: 24
4.1.12 Kendaraan
Pusling
Ambulan Siaga
Motor
Data Khusus
Tabel 4.5. Jumlah penduduk berdasarkan umur pada kelurahan Beji 2014
No
Keterangan
Jumlah
2-5 tahun
3.572
6-14 tahun
8.875
15tahun
26.523
Jumlah penduduk
38.970
Tabel 4.6. Jumlah penduduk berdasarkan umur pada kelurahan Beji Timur 2014
No
Keterangan
Jumlah
2-5 tahun
704
6-14 tahun
1.378
15tahun
6.683
Jumlah penduduk
8.765
Tabel 4.7. Data penyakit filariasis di wilayah Puskesmas Beji tahun 2014
Masalah Kesehatan
Tahun 2014
Kasus Penyakit
Baru
Filariasis
Lama
0
Total
0
Tabel 4.8.Data obat yang diberikan Dinas Kesehatan untuk pengobatan massal
filariasis tahun 2014
No
Kelurahan
DEC
Albendazole
41
124.400
47.735
124.400
47.735
Sumber : Laporan program minum obat missal Filariasis Puskesmas beji tahun 2014
Tabel 4.9. Laporan Pengobatan Massal Filariasis 2014 Puskesmas Beji
No
1
Keterangan
Jumlah penduduk yang diwajibkan minum
Kelurahan
Beji
39.983
Beji timur
9.837
Jumlah
49.820
1.013
1.072
2.085
38.970
8.765
47.735
4
5
38.970
8
8.765
2
47.735
10
Sumber : Laporan program minum obat missal Filariasis Puskesmas beji tahun 2014
BAB V
HASIL EVALUASI
5.1. Identifikasi Masalah
Masalah ditetapkan jika terdapat kesenjangan antara keluaran dengan tolok ukur,
sedangkan penyebab masalah ditentukan bila ada kesenjangan antara unsur sistem lainnya
dengan tolok ukur. Proses identifikasi masalah dilakukan secara bertahap, dimulai dari
keluaran program kerja puskesmas kemudian bila ditemukan adanya kesenjangan antara
tolok ukur dengan data keluaran tersebut maka harus dicari kemungkinan penyebab masalah
pada unsur masukan, proses, lingkungan, umpan balik dan dampak.
Identifikasi masalah POMP Filariasis pada program di Puskesmas Kecamatan BejiDepok periode Januari hingga Desember 2014 dilakukan dengan membandingkan antara
pencapaian keluaran dengan tolok ukur program.
42
Variable
Tolok Ukur
Masalah
Keberhasilan
1.
Angka
85%
(+)
0%
(-)
Berkurang /
(-)
cakupan
75,03%
penduduk
yang minum
obat
2.
Angka
kecacatan dan
akibat ESO
kematian
0%
akibat efek
samping obat
3.
Jumlah
penemuan
periode pengobatan
Tidak Ada
kasus baru
( Tidak Ada)
4.
Dilakukannya
Mf rate
evaluasi
menurun
epidemiologis
(-)
dilakukan.
monitoring
Dilakukan,
jangka
panjang
43
Variabel
Tolok Ukur
Pencapaian
Penyebab
Masalah
Tenaga
orang
dokter,
minimal
terdiri
2
dari
orang
perawat/tenaga
orang
tenaga
(+)
nonkesehatan.
nonkesehatan
misalnya kader.
Kader telah mendapatkan penyuluhan
dan
latihan
pengobatan
tentang
massal
pelaksanaan
filariasis
dan
Dana
telah
mendapatkan
edukasi
penyakitnya.
Dana yang tersedia mencukupi
melaksanakan program
Tersedianya
sumber
dana
berupa
Tersedianya
sumber
berupa
tidak
pendanaan
dari
subsidi
dikenakan
penuh
biaya
(-)
dana
(-)
edukasi penyakitnya.
2
Kader
dari
(-)
untuk
pengobatan.
Tersedianya dana untuk penyuluhan
penyuluhan
(-)
(-)
yang
disediakan
secara berkelompok
Dana
untuk
tersedia
3
Sarana
Tersedianya sarana:
disediakan
dinas
kesehatan
dinas
kesehatan
( Albendazole, DEC)
Tersedianya
ruangan
pengobatan
disetiap
(-)
45
kelurahan,alat
tulis,
buku
Metode
Dilakukan
penyuluhan
secara
Penyuluhan dilaksanakan di 2
(-)
kelurahan
Tabel 5.3. Konfirmasi penyebab masalah program POMP Filariasis pada komponen proses
No
Variabel
Tolok Ukur
Pencapaian
Penyebab
Masalah
Perencanan
Adanya
dokumen
perencanaan
Adanya
Terdapat
perencanaan
operasional
perencanaan
(-)
(-)
yang tertulis.
2
Pengorganis
Terdapat
asi-an
pelaksana program.
Terdapat
struktur
organisasi
Pelaksanaan
Pemberian
pembagian
obat
struktur
(-)
(-)
organisasi pelaksana
tugas
dan
Terdapat
sesuai
jelas
Pemberian
obat
sesuai
obat.
Pencatatan
dan
massal
pengobatan
pelaporan
berisikan
kegiatan.
berisikan
data
mengenal
(-)
(-)
massal
data
mengenai
pelaksanaan kegiatan
Penyimpanan laporan tertulis yang
Penyimpanan
benar
Hardcopy
tertulis
(-)
dan
softcopy.
Tabel 5.4.Konfirmasi penyebab masalah program POMP Filariasis pada komponen lingkungan,
umpan balik dan dampak
No
Variabel
Tolok Ukur
Pencapaian
Penyebab
46
masalah
1
Lingkungan
Lokasi
pelaksanaan
pengobatan
massal
mudah
(-)
dicapai.
Transportasi murah .
Transportasi murah
(-)
(+)
menunjang
keberhasilan
Hasil
memacu
masyarakat
untuk
sebelumnya
memacu
Umpan
Adanaya
Balik
pelaporan
digunakan
program selanjutnya.
Dampak
Angka
morbiditas
dan
pencatatn
tahun
masukan
mobiditas
dan
filariasis
filariasis
di
wilayah
Puskesmas menurun.
kerja
di
(-)
sebelumnya
sebagai
selanjutnya
Angka
dan
(-)
wilayah
(-)
kerja
menurun.
2. Komponen Lingkungan
Kurangnya tingkat pemahaman tentang pentingnya pengobatan massal filariasis.
5.5.
secara langsung karena mungkin ada masalah yang saling berkaitan dan karena adanya
keterbatasan kemampuan dalam menyelesaikan semua masalah. Karena itu harus
ditentukan prioritas penyebab masalah dan mencari alternatif penyelesaian masalah yang
telah diprioritaskan. Penetapan prioritas masalah dilakukan dengan menggunakan teknik
kriteria matriks.
1.
Masalah
Penentu Prioritas
Penyebab
Total
CxTxR
30
60
Pada poin Contribution/C diberikan nilai 5 pada semuanya dikarenakan kedua hal
itu dirasa sangat berpengaruh besar sehingga pada saat pelaksanaan pengobatan tidak
semua penduduk mau untuk minum obat.
Pada poin Technical Feasibility/T tentang tenaga pelaksana dari POMP filariasis
sudah bisa membuat keberhasilan dari program filariasis maka hal ini diberi poin 2.
Kelayakan teknologi untuk masalah kurangnya tingkat pemahaman tentang pentingnya
pengobatan masssal memiliki kelayakan teknologi yang setara dan serta adanya sarana
penyuluhan menggunakan LCD, poster dan leaflet akan meningkatkan pemahaman
masyarakat, sehingga diberi nilai 4.
48
Pada Resources/R diberikan skor 3 dikarenkan sumber daya yang dibutuhkan untuk
memenuhi kedua poin masalah sama sama penting, karena jika sumberdaya dalam tenaga
berkurang maka kegiatan mengenai program peminuman obat massal ini juga tidak
berjalan lancar.
Berdasarkan tabel teknik kriteria matriks di atas maka urutan prioritas penyebab
masalah adalah kurangnya tingkat pemahaman tentang pentingnya pengobatan massal
filariasis
=Rp 70.000,00
Rp. 50.000
Rp. 100.000
Rp. 300.000
Jumlah
Rp. 450.000
Efektifitas
Efisiensi
(C)
Jumlah (P)
50
MxIxV
C
1.
33
2.
21
pengobatan filariasis
filariasis dan pengobatannya lebih maksimal serta akan meningkatkan angka cakupan
pengobatan filariasis di Puskesmas Beji.
Penataan tanggung jawab pekerjaan perbagian dari masing-masing program POMP
dan rencana kegiatan perbagian beserta target kegiatan ini diharapkan dapat dilakukan
secepatnya agar program yang sudah ada dapat berjalan dan dapat mencapai target cakupan
yang sudah ditentukan menurut pedoman yang ada.
Latar Belakang
Filariasis adalah penyakit menular ( Penyakit Kaki Gajah ) yang disebabkan oleh
cacing Filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini bersifat menahun
(kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa
pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki. Akibatnya
penderita tidak dapat bekerja secara optimal bahkan hidupnya tergantung kepada orang lain
sehingga menjadi beban keluarga, masyarakat dan Negara ( Soedarmo, 2010).
Menurut WHO, lebih dari sekitar 1 milyar orang di lebih dari 80 negara beresiko
tertular Filariasis. Lebih dari 120 juta orang telah terinfeksi Filariasis dan lebih dari 40 juta
orang dari mereka beresiko tertular dan terinfeksi oleh Filariasis. Sepertiga dari orang yang
terinfeksi dengan penyakit ini hidup di India, sepertiga berada di Afrika dan sebagian besar
sisanya berada di Asia Selatan, Pasifik dan Amerika. Di daerah tropis dan subtropics di mana
filariasis limfatik adalah mapan, prevalensi infeksi terus meningkat. Penyebab utama dari
peningkatan ini adalah pertumbuhan yang cepat dan tidak terencana kota,yang menciptakan
tempat berkembang biak banyak untuk nyamuk yang menularkan penyakit (WHO, 2015)
Dalam manifestasi yang paling jelas, filariasis limfatik menyebabkan pembesaran
seluruh kaki atau lengan, alat kelamin, vulva dan payudara. Di komunitas endemik, 10-50%
laki-laki dan sampai dengan 10% perempuan dapat dipengaruhi. Stigma psikologis dan sosial
yang terkait dengan aspek-aspek dari penyakit ini sangat besar ( WHO, 2015)
Di Indonesia penyakit Kaki Gajah tersebar luas hampir di seluruh propinsi.
Berdasarkan laporan dari hasil survei pada tahun 2000 yang lalu tercatat sebanyak 1553 desa
52
iii.
8. Materi
Diadakan rapat kordinasi tentang filariasis dan pengobatan filariasis sebelum
dilakukannya POMP Filariasis di puskesmas Kecamatan Beji yang melibatkan tenaga
kesehatan dari puskesmas, yaitu ketua penanggung jawab program POMP Filariasis,
pelaksana program POMP Filariasis dan para kader di bawah tanggung jawab dari kepala
Puskesmas.
Penyampaian materi dilakukan dalam bentuk presentasi singkat mengenai filariasis.
Daftar materi dapat dilihat dibawah ini.
a. Pengertian Filariasis
b. Cara dan peraturan peminuman obat filariasis yang benar
Penyampaian materi dapat menggunakan media komunikasi seperti flipchart, poster dan
leaflet yang dibagikan kepada para peserta. Dapat pula menggunakan alat bantu yang lebih
menarik dengan LCD proyektor yang pengerjaannya dapat dibantu oleh mahasiswa.
Saat penyampaian materi, peserta diperbolehkan untuk tanya jawab atau dapat juga
dilakukan setelah selesai pemberian materi.
9. Anggaran dana
Perencanaan anggaran dana dihitung setiap kali kegiatan dilakukan yaitu :
Jasa tenaga
pengajar
1 x Rp
100.000
=Rp
100.000
10 x Rp
5.000
=Rp
50.000
Kosumsi
10x Rp
10.000
=Rp
100.000
=Rp
100.000
Total dana
=Rp
350.000
54
BAB VI
PENUTUP
6.1. Kesimpulan
Dari hasil evaluasi Program Pemberian Minum Obat Massal Pencegahan (POMP)
Filariasis yang dilakukan dengan pendekatan sistem di Puskesmas Kecamatan Beji
periode Januari - Desember 2014 didapatkan bahwa Program Minum Obat Massal
Pencegahan (POMP) Filariasis kurang berhasil karena masih ditemukan beberapa
masalah yang mempengaruhi keberhasilan program. Adapun hasil evaluasi ini
didapatkan:
6.2. Saran
Kepada puskesmas setempat dapat :
55