Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Regulasi Kadar Glukosa Darah


Glukosa, suatu gula monosakarida, adalah salah satu karbohidrat
terpenting yang digunakan sebagai sumber tenaga utama dalam tubuh.
Glukosa merupakan prekursor untuk sintesis semua karbohidrat lain di dalam
tubuh seperti glikogen, ribose dan deoxiribose dalam asam nukleat, galaktosa
dalam laktosa susu, dalam glikolipid, dan dalam glikoprotein dan
proteoglikan.5
Glukosa adalah bahan bakar metabolik utama yang dibutuhkan oleh
otak. Otak tidak dapat menyintesis glukosa maupun menyimpan dalam
bentuk glikogen sehingga otak memerlukan suplai glukosa yang terusmenerus dari aliran darah.2 Ketika konsentrasi glukosa darah turun di bawah
normal, kebutuhan otak akan glukosa tidak akan tepenuhi dan akan
menggangu metabolisme serta fungsi otak. Oleh karena itu terdapat
mekanisme fisiologis yang mengatur kadar glukosa darah tetap dalam rentang
normal.2
Pankreas, hati, otot dan jaringan lemak merupakan organ-organ tubuh
yang paling berperan dalam homeostasis glukosa. Sedangkan otak mampu
memanfaatkan glukosa tanpa memerlukan insulin. Pankreas menghasilkan
insulin dan glukagon, sedangkan hati merupakan tempat produksi glukosa
(glukoneogenesis) dan sekaligus tempat penyimpanan glikogen. Jaringan otot
juga merupakan tempat pemanfaatan glukosa serta penyimpanan glikogen.
Dalam keadaan puasa, glukosa darah merupakan hasil glukoneogenesis di
dalam hati, sedangkan sesudah makan merupakan hasil absorbs makanan
dari usus halus. Peningkatan glukosa darah akan merangsang pancreas
mensekresi insulin.4,5,6
Konsentrasi glukosa darah normal dijaga tetap pada rentan 70-110
mg/dl (3.9-6.1 mmol/L).2 Kadar ini meningkat setelah makan dan biasanya

berada pada level terendah pada pagi hari, sebelum orang makan dan pada
keadaan puasa. Dalam keadaan puasa, glukosa darah tetap dihasilkan secara
endogen melalui glikogenolisis dan glukoneogenesis di hati. Cara ini
sebenarnya dapat mencukupi kebutuhan glukosa tubuh selama puasa (8 jam)
namun periode ini dapat menjadi lebih singkat apabila kebutuhan glukosa
meningkat karena aktivitas atau cadangan glikogen yang menurun akibat
penyakit maupun kelaparan.2
Kadar glukosa yang rendah, yaitu hipoglikemia dicegah dengan
pelepasan glukosa dari simpanan glikogen hati melalui jalur glikogenolisis
dan sintesis glukosa dari laktat, gliserol, dan asam amino di hati melalui jalur
glukoneogenesis dan melalui pelepasan asam lemak dari simpanan jaringan
adiposa apabila pasokan glukosa tidak mencukupi. Kadar glukosa darah yang
tinggi yaitu hiperglikemia dicegah oleh perubahan glukosa menjadi glikogen
dan perubahan glukosa menjadi triasilgliserol di jaringan adiposa.
Keseimbangan antarjaringan dalam menggunakan dan menyimpan glukosa
selama puasa dan makan terutama dilakukan melalui kerja hormon
homeostasis metabolik yaitu insulin dan hormon counterregulatory.6
Glikogenolisis dan glukoneogenesis diatur oleh glukagon, hormon yang
dihasilkan oleh sel alfa pankreas. Selama 8-12 jam pertama selama puasa,
glikogenolisis adalah mekanisme primer dalam menjaga kadar glukosa darah.
(Gambar 1). Glukagon memfasilitasi proses ini supaya tidak terjadi
hipoglikemia. Apabila puasa berlangsung lebih lama, glukosa akan dihasilkan
oleh hepar melalui proses glukoneogenesis.7

Gambar 1. Glikogenolisis dan Glukoneogenesis

Hormon regulator glukosa meliputi insulin, glucagon, amylin, GLP-1,


epinefrin, kortisol, growth hormone, dan , glucose-dependent insulinotropic
peptide (GIP). Insulin dan amylin dihasilkan oleh sel beta pankreas, glukagon
dihasilkan sel alfa pankreas, dan GLP-1 dan GIP dihasilkan oleh L-cells pada
usus. Meskipun telah disebutkan beberapa hormon regulator glukosa, terdapat
model bi-hormonal dalam homeostasis glukosa. Insulin sebagai hormon
utama yang mengurangi kadar glukosa darah, dan glukagon sebagai hormon
utama yang meningkatkan kadar glukosa darah.
Hormon regulator glukosa berperan untuk menjaga konsentrasi glukosa
darah tetap dalam rentang normal. Dalam keadaan puasa, glukosa dalam
sirkulasi berkurang dengan kecepatan yang konstan. Untuk mengimbangi
kehilangan glukosa, dibutuhkan produksi glukosa secara endogen. Produksi
glukosa endogen terjadi terutama di hepar. Glukoneogenesis dapat juga
terjadi di ginjal dalam kondisi kelaparan yang ekstrim. Hepar dan ginjal dapat
mensintesis

glukosa

karena

dapat

menghasilkan

enzim

glucose-6-

phosphatase, enzim yang dibutuhkan untuk melepaskan glukosa kedalam


sirkulasi.
2.1.1 Hormon Sel Beta Pankreas
2.1.1.1 Insulin
Insulin, sebuah protein yang terdiri dari dua rantai polipeptida yang
mengandung 51 asam amino, adalah hormon anabolik utama yang disekresi
sebagai respon dari meningkatnya glukosa darah setelah makan. Insulin
berikatan dengan reseptor spesifik pada sel seperti sel lemak, hepar dan sel
otot untuk menyimpan glukosa dalam bentuk glikogen di dalam sel tersebut.
Insulin berperan dalam mengontrol glukosa darah postprandial melalui
tiga mekanisme. Pertama, insulin memberikan sinyal kepada sel-sel yang
sensitif terhadapnya untuk mengambil glukosa.8 Kedua, insulin mencetuskan
glikogenesis di hepar. Ketiga, insulin secara simultan menghambat sekresi
glukagon oleh sel alfa pankreas. Ketiga mekanisme tersebut menurunkan
glukosa darah. Fungsi insulin lainnya adalah menstimulasi sintesis lemak,
menyimpan trigliserida dalam sel lemak, mempromosikan sintesis protein di
hepar dan otot, serta berperan dalam proliferasi sel.8
Insulin tidak disekresikan apabila konsentrasi glukosa darah <70 mg/dl.
Saat postprandial, sekresi insulin terjadi dalam dua fase; fase awal selama 10
menit setelah rangsangan, diikuti sekresi insulin fase lanjut yang berakhir
dalam beberapa jam.Sekresi insulin fase awal merupakan pelepasan insulin
yang telah disintesis didalam granul sekresi sel-sel beta pankreas, sementara
sekresi insulin fase lanjut merupakan pelepasan insulin yang baru disintesis
sebagai respons terhadap rangsangan sel-sel beta pancreas selanjutnya.7
Glukosa merupakan stimulus insulin yang paling poten. Selain glukosa,
peningkatan asam amino dalam plasma, terutama arginin, leusin, dan lisin;
GLP-1 danGIP yang dilepaskan usus mengikuti makanan; dan rangsangan
parasimpatis melalui nervus vagus dapat merangsang sekresi insulin.7

2.1.1.2 Amylin
Amylin pertama kali dilaporkan pada tahun 1987 setelah diisolasi dari
deposit amyloid pada islet Langerhans. Amylin, yang terdiri dari 37 asam
amino, adalah hormon neuroendokrin yang disekresikan bersamaan dengan
insulin dari sel beta pankreas sebagai respon dari stimulus nutrisi.7 Ketika
disekresikan, rasio antara insulin dan amylin adalah 50:1. Hepar kemudian
mengekstraksi insulin sehingga dalam sirkulasi perifer perbandingan antara
insulin dan amylin menjadi 20:1.9
Beberapa penelitian pada manusia menunjukan bahwa sekresi dan
konsentrasi insulin serta amylin dalam plasma rendah ketika dalam keadaan
puasa dan meningkat seiring intake makanan. Pada orang dewasa sehat,
konsentrasi amylin dalam plasma ketika puasa adalah 4-8 pmol/L meningkat
mencapai 25 pmol/L saat postprandial. Penelitian menunjukkan bahwa
amylin bekerja sama dengan insulin untuk mengkordinasikan kadar glukosa
darah, untuk mencegah kenaikan abnormal onsentrasi glukosa.9

Gambar 2. Regulasi Glukosa Darah

Amylin melengkapi efek insulin melalui dua mekanisme (Gambar 3).


Amylin mensupresi sekresi glukagon postprandial, sehingga menurunkan
produksi glukosa di hepar. Supresi ini dimediasi oleh nervus vagus. Satu hal
yang penting, amylin tidak mensupresi sekresi glukagon ketika terjadi
hipoglikemia akibat insulin.9 Amylin juga memperlambat pengosongan
lambung sehingga memperlambat aliran makanan dari lambung ke usus halus
untuk absorpsi.9

Gambar 3. Fungsi Hormon Amylin

Secara singkat, amylin berfungsi untuk mengatur peningkatan glukosa


secara endogen (melalui hepar) dan secara eksogen (melalui makanan), dan
insulin berfunsi mengatur penurunan kadar glukosa darah.7
2.1.2 Hormon Sel Alfa Pankreas
2.1.2.1 Glukagon
Glukagon merupakan hormon katabolik utama yang terdiri dari 29 asam
amino. Glukagon disekresikan oleh sel alfa pankreas yang memiliki efek

berlawanan terhadap insulin. Glukagon berperan dalam produksi glukosa


melalui hepar.10
Produksi glukosa melalui hepar mempertahankan kadar glukosa basal
tetap dalam rentang normal selama puasa. Ketika glukosa darah turun di
bawah

rentang

normal,

sekresi

glukagon

meningkat,

menyebabkan

peningkatan produksi glukosa hepar sehingga kadar glukosa kembali normal.7

Gambar 4. Perbandingan Kadar Glukosa, Insulin, dan Glukagon

Pada orang dengan diabetes, supresi terhadap glukagon postprandial


tidak adekuat (hiperglukagonemia) yang menyebabkan tetap terjadinya
produksi glukosa di hepar. Sayangnya, terapin insulin secara eksogen tidak
dapat mensupresi sekresi glukagon melalui efek parakrin. Hal ini
menyebabkan tingginya rasio glukagon-insulin yang menyebabkan pelepasan

glukosa hepar. Hal ini dicurigai sebagai faktor penting yang menyebabkan
terjadinya hiperglikemia postprandial pada penderita diabetes.7
2.1.3 Hormon Incretin GLP-1 DAN GIP
Pada akhir tahun 1960-an, Perley dan Kipnis menunjukkan bahwa
glukosa yang diberikan peroral menyebabkan peningkatan insulin yang lebih
tinggi dibandingkan glukosa yang diberikan secara intravena. Efek ini
kemudian disebut dengan efek incretin, yang menunjukkan bahwa saluran
cerna memiliki peran dalam regulasi hormonal untuk menurunkan glukosa
darah.7
Hormon incretin yang paling berperan dalam homeostasis glukosa
adalah GIP dan GLP-1. GIP menstimulasi sekresi insulin dan mengatur
metabolisme lemak, tetapi tidak menghambat sekresi glukagon maupun
pengosongan lambung. Kadar GIP dapat normal maupun sedikit meningkat
pada orang dengan DM tipe 2.7
GLP-1 menstimulasi sekresi insulin ketika glukosa plasma tinggi tetapi
tidak memiliki efek apabila kadar glukosa normal maupun turun di bawah
normal. GLP-1 juga berfungsi menghambat sekresi glukagon dan
memperlambat pengosongan lambung. GLP-1 dibentuk dari molekul
proglukagon di usus, GLP-1 disintesis dan disekresikan oleh sel L yang
terdapat di sepanjang ileum dan kolon. Konsentrasi GLP-1 dalam plasma
rendah ketika puasa. Sekresi GLP-1 dan GIP distimulasi oleh makanan yang
banyak mengandung lemak dan karbohidrat.7 GLP-1 membantu mengatur
pengosongan lambung dan sekresi asam lambung dengan cara memberi
sinyal pada reseptor GLP-1 di otak dan menstimulasi nervus vagus. Ketika
pengosongan lambung diperlambat, glukosa postprandial menjadi berkurang.
Ada beberapa penelitian yang mengatakan bahwa GLP-1 meningkatkan
sensitivitas insulin.7

2.2 Hipoglikemia
2.2.1 Definisi
Hipoglikemia adalah suatu keadaan klinis yang terjadi akibat kadar
glukosa darah di bawah rentang batas normal. Nilai cut off dari kadar glukosa
plasma untuk menetapkan hipoglikemi masih simpang siur. Berbagai
kepustakaan menggunakan rentang nilai antara 45 sampai 75 mg/dl (2,5 4,2
mmol/l). Dalam praktek sehari-hari, definisi hipoglikemi disesuaikan dengan
keadaan klinis. Walaupun tidak ada ketentuan pasti tentang seberapa rendah
kadar glukosa darah sebagai patokan mendefinisikan hipoglikemi, namun
terdapat kesepakatan bahwa kadar glukosa plasma vena antara 45 sampai 60
mg/dl (2,5 3,3 mmol/l) jelas mendukung diagnosis hipoglikemi, dan bila
dibawah 45 mg/dl (2,5 mmol/l) biasanya sudah menimbulkan gejala klinis
yang berat. Bila kadar glukosa darah yang rendah disertai dengan gejalagejala neurologik, kecurigaan terhadap hipoglikemi lebih tinggi dan perlu
segera dicari factor penyebabnya. Pada pasien diabetes yang diterapi dengan
insulin, kadar glukosa darah hendaklah dipertahankan diatas 75 mg/dl
(4,2mmol/l)

untuk

mencegah

kemungkinan

terjadinya

hipoglikemi

simtomatis dan hypoglycemia unawareness.14


2.2.2 Etiologi
Hipoglikemia dapat terjadi pada pasien diabetes maupun nondiabetes
dengan etiologi sebagai berikut:
a. Pada penderita diabetes:
- Overdose insulin
- Asupan makanan yang kurang (tertunda atau lupa, terlalu
sedikit, output yang berlebihan, diet berlebihan).
- Aktivitas berlebihan
- Gagal ginjal
- Hipotiroid
b. Pada nondiabetes:
- Peningkatan produksi insulin
- Pascaaktivitas berlebihan

10

Konsumsi makanan yang rendah kalori


Konsumsi alkohol
Pascamelahirkan
Postgastrektomi
Penggunaan obat-obatan yang berlebihan (salisilat, sulfonamide,
dll)

2.2.3 Gejala dan Tanda Hipoglikemia


Tanda-tanda dan gejala-gejala hipoglikemi dibagidalam 2 kategori,
yaitu otonomik dan neuroglikopenik. Tanda-tanda dan gejala-gejala otonomik
terjadi akibat aktivasi system saraf otonom melalui pelepasan epinefrin dari
medulla adrenal kedalam sirkulasi dan norepinefrin dari ujung-ujung saraf
simpatis postganglionic kedalam jaringan-jaringan target. Dalam keadaan
normal, ambang glikemik bagi pelepasan katekolamin lebih tinggi daripada
ambangnya bagi induksi gejala-gejala neuroglikopenik. Sehingga gejalagejala otonomik mengawali timbulnya gejala-gejala neuroglikopenik. Gejalagejala dan tanda-tanda yang berhubungan dengan pelepasan katekolamin
dapat berupa tremor, mukapucat, palpitasi, takikardia, tekanan nadi yang
melebardan rasa cemas (anxietas). Berkeringat, rasa lapar dan parestesia juga
umum ditemukan, yang biasanya dimediasi oleh adanya pelepasan asetilkolin.
Pada orang dewasa, pengeluaran keringat lebih mencolok, hal ini diduga
akibat stimulasi oleh saraf simpatis kolinergik postganglionik. Gejala-gejala
neuroglikopenik terjadi akibat kekurangan glukosa didalam otak. Karena
glukosa merupakan sumber energy utama untuk metabolisme jaringan otak,
maka penurunan kadar glukosa darah tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan energy bagi otak. Gejala-gejala neuroglikopenik tidak dapat
dibedakan dengan gejala-gejala akibat terjadinya hipoksia jaringan otak.
Gejala tersebut antara lain berupa rasa lemas, kelelahan, pusing, sakit kepala,
perubahan perilaku dan bingung. Pasien dapa tmengalami letargi, mudaht
ersinggung dan bahkan dapat bersikap agresif. Dapat pula terjadi gangguan
fungsi kognitif, gangguan berfikir dan berkonsentrasi, aphasia dan bicara
kacau. Disamping itu, hipoglikemia dapat menyebabkan pandangan kabur,

11

kebutaan, paresthesia, hemiplegi, hipotermi, dan bahkan koma, kejang dan


berakhir dengan kematian. Episode hipoglikemi yang lama dan berat dapat
menimbulkan kematian sel syaraf, sehingga menyebabkan gangguan fungsi
otak yang permanen. Dengan bertambahnya usia, gejala hipoglikemi menjadi
berkurang dan profil gejala pun mengalami perubahan.14

2.2.4 Patofisiologi Koma Hipoglikemik


Sistem syaraf pusat sangat tergantung dengan oksidasi glukosa sebagai
sumber energi utamanya. Gangguan suplai glukosa akan mengakibatkan
gangguan fungsi otak (neuroglikopenia), dan bila berlangsung lama akan
menyebabkan kerusakan syaraf otak yang irreversibel dan kematian.
Hipoglikemia menyebabkan gejala neurologi seperti delirium, hipotermia,
disfungsi batang otak, gejala seperti stroke, dan kejang. Gejala ini dapat
berkembang menjadi koma dan kematian.
Pada orang dewasa sehat dengan BB 70 kg, kebutuhan glukosa otak
diperkirakan sebanyak 1 mg/kg/menit) atau sebanyak 100 g/hari. Ambilan
glukosa otak difasilitasi oleh 2 transporter glukosa yaitu GLUT 1 dan GLUT3
yang tidak tergantung dengan insulin. Dalam keadaan hipoglikemia, sistem
transportasi glukosa ini mengalami gangguan. Sedangkan pada hipoglikemia
kronik akan terjadi up regulasi transporter glukosa, suatu fenomena penting
yang berperan dalam terjadinya hypoglycemia unawareness.
Dalam keadaan puasa, otak dapat menggunakan benda-benda keton (hydroksi-butirat dan aseto asetat) sebagai sumber energi alternatif. Ambilan
benda-benda keton oleh otak proporsional dengan kadarnya di dalam darah.
Oksidasi benda-benda keton dapat menjadi sumber energi hanya bila
kadarnya didalam sirkulasi mengalami peningkatan, seperti terjadi dalam
keadaan puasa yang lama.
Jadi bila kadar glukosa darah rendah, sedangkan kadar keton sangat
tinggi, maka otak sebagian terlindung dari efek buruk hipoglikemia. Namun
bila kadar glukosa dan keton rendah, seperti terjadi pada hipoglikemi akibat

12

pemberian insulin dan gangguan oksidasi asam lemak, otak akan sangat
rentan terhadap gangguan metabolik. Kadar glukosa didalam sirkulasi
ditentukan oleh keseimbangan antara asupan glukosa (absorpsi + produksi)
dan utilisasi/ penggunaannya oleh berbagai jaringan. Dalam keadaan puasa,
produksi glukosa tergantung pada ketersediaan substrat-subtrat yang
diperlukan bagi proses glikogenolisis dan glukoneogenesis. Sementara
utilisasi glukosa ditentukan oleh ambilan glukosa dan ketersediaan sumber
energi alternatif terutama bagi jaringan otot. Dalam keadaan puasa (post
absorptive state), kadar insulin menurun, sehingga menurunkan ambilan
glukosa oleh hepar, otot dan lemak. Glikogenolisis didalam hati merupakan
proses paling penting untuk memenuhi kebutuhan glukosa dalam keadaan
puasa selama 12 sampai 24 jam. Bila puasa berlangsung lebih lama, setelah
simpanan glikogen hati berkurang, akan terjadi lipolisis dan pemecahan
protein untuk mempertahankan kadar asam lemak, gliserol dan asam amino
didalam aliran darah. Asam lemak akan digunakan oleh otot sebagai sumber
energi dan oleh hati untuk memproduksi benda-benda keton yang akan
digunakan sebagai sumber energi alternatif bagi jaringan tubuh lain. Gliserol
dan asam amino akan diambil oleh hati dan ginjal yang akan digunakan
sebagai bahan utama bagi proses glukoneogenesis. Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa produksi glukosa pada laki-laki sehat sekitar 1,8
mg/kg/menit selama dalam keadaan puasa sampai 40 jam. Kontribusi proses
glukoneogenesis terhadap produksi glukosa basal meningkat dari 41% setelah
12 jam sampai 92% setelah 40 jam puasa. Dalam keadaan puasa yang lama,
ginjal memproduksi 25% atau lebih dari total kebutuhan akan glukosa,
terutama melalui proses glukoneogenesis dari glutamine, laktat dan gliserol.
Pada insufisiensi ginjal kronik yang berat akan terjadi gangguan produksi
glukosa renal sehingga akan menimbulkan hipoglikemi puasa. Bila kadar
glukosa plasma berada dibawah nilai ambang hipoglikemi, akan terjadi
pelepasan

hormon-hormon

kontra

regulasi,

sebagai

usaha

untuk

meningkatkan produksi glukosa. Nilai ambang ini diperkirakan pada kadar 67

13

mg/dl. Bagian ventromedial hipothalamus merupakan organ utama yang


berperan dalam respons kontra regulasi.14
Gejala-gejala neurologi pada hipoglikemia, seperti pada pemeriksaan
autopsi, menunjukkan bahwa terdapat peningkatan tekanan intrakranial, dan
kemungkinan edema serebri merupakan penyebab utama terjadinya koma
hipoglikemik. Percobaan pada hewan menunjukkan bahwa kematian yang
disebabkan oleh hipoglikemia dan hipoksia sama baik secara makroskopis
maupun mikroskopis pada otak. Pada pasien hipoksia dan hipoglikemia,
penurunan oksigenasi otak kemungkinan menganggu fungsi Na-K ATPase
pada membran sel yang menyebabkan perpindahan Na dari ekstrasel ke sel
otak. Perpindahan ion Na ini akan meningkatkan osmolalitas otak yang
kemudian akan menyebabkan perpindahan air ke sel otak yang kenudian akan
terjadi edema serebri.11
Penelitian lain menunjukkan bahwa hipoglikemia tidak menyebabkan
penurunan ATP maupun fosfokreatin pada otak. Koma hipoglikemik
kemungkinan terjadi karena kekurangan substrat spesifik pensuplai energi,
seperti glukosa dan metabolitnya.12,13
2.2.5 Tatalaksana Hipoglikemia
Terapi hipoglikemia dapat menggunakan:
1.
2.
3.
4.

Glukosa oral
Glukosa intravena
Glukagon 1 mg (SC/IM)
Thiamine 100 mg (IV/IM) pada pasien alkoholik dan terjadi

wernicke encephalophaty
5. Monitoring
Pedoman tatalaksana hipoglikemia adalah sebagai berikut: (perkeni, 2006)
1. Glukosa diarahkan pada kadar glukosa darah puasa yaitu 120 mg/dl.
2. Bila diperlukan pemberian glukosa cepat (IV) satu flakon (25 cc)
dekstrose 40% (10 gr dekstrose) dapat menaikkan kadar glukosa
kurang lebih 25-30 mg/dl.

14

Manajemen hipoglikemia dilaksanakan menurut derajat hipoglikemia:

Hipoglikemia ringan
1. Diberikan 150-200 ml teh manis atau jus buah atau 6-10 butir permen
atau 2-3 sendok teh sirup atau madu.
2. Bila gejala tidak berkurang dalam 15 menit ulangi pemberianya
3. Tidak dianjurkan untuk mengonsumsi makanan tinggi kalori seperti

coklat, kue, donat, ice cream, cake, dll.


Hipoglikemia berat
1. Tergantung pada tingkat kesadaran pasien
2. Bila pasien dalam keadaan tidak sadar jangan memberikan
makanan atau minuman karena risiko aspirasi sangat tinggi.
Tabel 1. Tatalaksana hipoglikemia

15

Anda mungkin juga menyukai