Referat
Referat
PENDAHULUAN
Hipotesis yang menyatakan pengaruh faktor psikologi dengan tekanan darah telah
diteliti sejak 100 tahun yang lalu. Istilah polisitemia hipertonika pernah digunakan untuk
mendeskripsikan stress emosional yang mendasari peningkatan tekanan darah. Stress,
kecemasan, dan depresi diketahui berhubungan dengan peningkatan tekanan darah, tetapi
mekanisme yang mendasarinya masih terus diteliti.1
Peningkatan tekanan darah akut sering ditemui dalam praktik klinik terutama di
instalasi gawat darurat. Tekanan darah tinggi tersebut dapat bersifat transien. Klinisi harus
berhati-hati agar tidak terburu-buru mendiagnosis dan menatalaksana pasien sebagai pasien
hipertensi. Hal yang penting untuk diingat adalah bahwa diagnosis hipertensi tidak boleh
ditegakkan berdasarkan sekali pengukuran, kecuali bila tekanan darah diastolik (TDD) 120
mmHg dan atau tekanan darah sistolik (TDS) 210 mmHg. Pengukuran pertama harus
dikonfirmasi pada sedikitnya dua kunjungan lagi dalam waktu satu sampai beberapa minggu
(tergantung dari tingginya tekanan darah tersebut). Diagnosis hipertensi ditegakkan bila dari
pengukuran berulang-ulang tersebut diperoleh nilai rata-rata TDD 90 mmHg dan atau TDS
140 mmHg.2
Dalam praktik sehari-hari, dikenal istilah hipertensi reaktif. Hipertensi reaktif adalah
tekanan darah tinggi yang terjadi sekunder akibat kejadian atau stimulus akut yang jelas.
Hipertensi reaktif harus dibedakan dengan hipertensi paroksismal dimana hipertensi
paroksismal terjadi akibat masalah psikiatri yang mendasari (pasien dengan gangguan
cemas). Kondisi tersebut sering terjadi tanpa adanya presipitan yang jelas dan menyerupai
feokromositoma yaitu adanya hipertensi labil terkait dengan simtom somatis. Pasien
umumnya menyangkal adanya hubungan dengan stress, ansietas, nyeri, atau masalah
emosional. Terdapat pula istilah white coat hypertension dimana didapatkan peningkatan
tekanan darah lebih dari 10-15 mmHg saat pasien berada di lingkungan medis. Pada beberapa
kasus, penggunaan obat anti-ansietas dan anti depresan dapat mengeliminasi hipertensi labil.
Klinisi harus detail dalam mencari kondisi yang mendasari peningkatan tekanan darah pada
pasien dengan mengevaluasi riwayat, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, dan bila
perlu mengobservasi tekanan darah pasien selama 24 jam. Berbagai kondisi yang
menstimulasi sistem syaraf simpatis diketahui dapat mendasari peningkatan tekanan darah.3
Stress telah diketahui berhubungan dengan peningkatan tekanan darah akut melalui
berbagai mekanisme. Stress akut dapat memicu peningkatan cardiac output dan denyut
1
jantung. Pada keadaan stress akut juga didapatkan peningkatan kadar katekolamine, kortisol,
vasopresin, endorphin, dan aldosteron, yang menjelaskan mekanisme peningkatan tekanan
darah. Meskipun faktor utama yang berperan karena aktivasi sistem saraf simpatis telah
didukung oleh berbagai penelitian, mekanisme lain terus diteliti seperti adanya jalur-jalur
khusus sistem saraf pusat, yang mengubah rangsangan stress menjadi respon kardiovaskuler
tanpa partisipasi kortikal. Lebih jauh lagi, stress akut akan mengurangi ekskresi natrium
ginjal, yang ikut berkontribusi dalam peningkatan tekanan darah. Beberapa penelitian bahkan
menunjukkan bahwa stress yang berkepanjangan/ kronik dapat menjadi faktor risiko
hipertensi yang bersifat persisten.4
BAB II
STRESS
2.1. Definisi Stress
Berdasarkan Departemen Kesehatan RI, stress adalah reaksi tubuh berupa serangkaian
respons yang bertujuan untuk mengurangi dampak. Stress merupakan ketidakmampuan
mengatasi ancaman yang dihadapi oleh mental, fisik, emosional, dan spiritual manusia, yang
pada suatu saat dapat mempengaruhi kesehatan fisik manusia tersebut. Stress adalah persepsi,
baik nyata maupun imajinasi, persepsi terhadap stress sebenarnya berasal dari rasa takut atau
marah. Perasaan ini dapat diekspresikan dalam sikap tidak sabar, frustasi, iri, tidak ramah,
depresi, bimbang, cemas, rasa bersalah, khawatir, atau apatis.5
Stress adalah sekumpulan perubahan atau reaksi fisiologis akibat terganggunya
homeostasis tubuh. Stress memiliki dua komponen berupa fisik yakni perubahan fisiologis
dan psikologis yakni bagaimana seseorang merasakan keadaan dalam hidupnya. Menurut
WHO, konteks stress dapat digunakan secara bergantian untuk menjelaskan berbagai stimulus
dengan intensitas berlebihan yang tidak disukai berupa respons fisiologis, perilaku, dan
subjektif terhadap stress tersebut; konteks yang menjembatani pertemuan antara individu
dengan stimulus yang membuat stres; dan sebagai suatu sistem.5
Stress dapat dibagi dua yaitu stress baik/ positif/ eustress dan stress buruk/ negatif/
distress. Stress baik disebut sebagai stress positif merupakan situasi atau kondisi apapun yang
dapat memotivasi atau memberikan inspirasi. Stress buruk adalah stress yang membuat
marah, tegang, bingung, cemas, merasa bersalah, atau kewalahan. Stress juga dapat dibagi
menjadi dua bentuk yaitu stress akut dan stress kronik. Stress akut muncul cukup kuat tetapi
menghilang dengan cepat, sedangkan stress kronik munculnya tidak terlalu kuat, tetapi dapat
bertahan sampai berhari-hari sampai berbulan-bulan. Stress kronik yang berulang kali dapat
mempengaruhi kesehatan dan produktivitas seseorang.5
Hubungan antara stress psikologi dan berbagai macam kondisi kesehatan merupakan
aspek yang terus diteliti dalam beberapa dekade terakhir. Berbagai hasil penelitian
mendukung adanya hubungan antara sistem imun, sistem saraf pusat, dan sistem endokrin
dengan stress psikologi. Stressor psikologi sendiri dapat berupa adanya perubahan kehidupan,
hubungan sosial, perasaan marah, takut, depresi, dan lainnya.5
Stressor dapat berupa stressor psikososial, stressor fisik, dan stress kimia. Stressor
psikososial adalah pengalaman traumatik yang luar biasa yang dapat meliputi ancaman serius
terhadap keamanan atau integritas fisik dari individu atau orang-orang yang dicintainya atau
3
perubahan yang mendadak yang tidak biasa dan perubahan yang mengancam kedudukan
sosial dan/atau jaringan relasi dari yang bersangkutan, seperti kedukaan yang bertubi-tubi
atau kebakaran. Risiko terjadinya gangguan ini makin bertambah apabila ada kelelahan fisik
atau faktor organik lainnya, misalnya lanjut usia. Stressor tidak bermakna sama untuk semua
gender dan kelompok suku. Sebagai contoh, berbagai literatur melaporkan bahwa laki-laki
memiliki kecenderungan untuk mengalami peningkatan tekanan darah terkait stressor berupa
tantangan menyelesaikan tugas seperti video game.6
2.2. Mekanisme Stress
Otak merupakan organ kunci dalam reaktivitas stress, sistem coping, dan proses
penyembuhan terhadap stress. Sirkuit neural dalam otak menentukan apakah stressor yang
didapatkan akan mengancam individu. Instrumen sirkuit tersebut meliputi hipokampus
(memori dan mood), amigdala (deteksi dan respon ancaman dari lingkungan), dan area
korteks prefrontal (pengambilan keputusan dan regulasi emosi, impulsifitas, dan fungsi
autonom serta neuroendokrin) yang bersama-sama meregulasi proses fisiologi dan sikap
terhadap stress. Respon tersebut dapat bersifat adaptif dalam jangka waktu pendek atau
maladaptif dalam jangka waktu panjang. Respon tersebut merupakan hasil komunikasi
bidieksional antara otak dan sistem autonom, kardiovaskuler, dan imun melalui mekanisme
neural dan endokrin. Mekanisme bidireksional ini dapat memicu adaptasi jangka pendek
(allostasis) dan pada titik tertentu menyebabkan disregulasi allostasis dimana memicu proses
maladapatif otak dan tubuh akibat kondisi stress kronik (allostatic load).7
Studi McEwen laporkan adanya proses wear and tear pada tubuh selama allostatic
overload akibat stress kronik. Proses tersebut dapat mengarah ke berbagai macam kondisi
patologi meliputi penurunan fungsi imun, hipertensi, atherosklerosis, peningkatan reaktivitas
platelet, obesitas abdominal, demineralisasi tulang, atrofi neuron pada hipokampus dan
korteks pre frontal, serta peningkatan aktivitas amigdala.7
Gambar 2. Persepsi stress dipengaruhi oleh pengalaman individu, genetik, dan tingkah
laku. Ketika otak menerima stressor, respon fisiologi dan sikap akan menginisiasi allostasis
dan adaptasi. Lama kelamaan dapat terjadi akumulasi allostatic load dan overekspos terhadap
sistem neural, endokrin, dan mediator imun yang menyebabkan efek merugikan pada
berbagai organ hingga menjadi penyakit.7
Respon stress manusia melibatkan jalur pensinyalan yang kompleks di antara neuron
dan sel somatik. Peran dua hormon peptida yaitu corticotropin-releasing hormone (CRH) dan
arginine-vassopressin (AVP) telah dipelajari secara detail dimana adanya stressor akan
menstimulasi neuron hipotalamus untuk mensekresi CRH dan AVP. CRH merupakan
polipeptida pendek yang ditransportasikan ke hiposisis anterior, dimana dapat menstimulasi
sekresi kortikotropin. Secara berurutan, kortikotropin via aliran darah menstimulasi
peningkatan produksi kortikosteroid di korteks adrenal termasuk kortisol yang merupakan
aktor utama dalam respon stress. Vasopresin, hormon dengan molekul kecil, meningkatkan
reabsorpsi air di tubulus kolektivus ginjal dan menginduksi vasokonstriksi sehingga memicu
peningkatan tekanan darah. Secara bersama-sama, CRH dan vasopresin mengaktivasi aksis
hipotalamik-pituitari-adrenal (HPA).8,9
glikogen di hepar dimana menurunkan kadar glukosa darah. Adanya mekanisme dengan
fungsi berkebalikan ini membuat kortisol dapat meregulasi kadar glukosa darah. 8,9
Peran kortisol dalam regulasi ion terutama pada natrium dan kalium. Kortisol
mencegah sel kehilangan natrium dan mengakselerasi laju ekskresi kalium. Hal ini membantu
regulasi pH dalam tubuh, mengembalikan ke titik ekuilibrium setelah terjadi kondisi yang
tidak stabil. Kemampuan kortisol meregulasi aksi pompa natrium-kalium menimbulkan
spekulasi bahwa kortisol berperan sebagai transporter natrium. 8,9
Kemampuan kortisol melemahkan efek respon imun telah didokumentasikan dengan
baik. Sel limfosit T merupakan komponen esensial imunitas yang dimediasi sel (cell
mediated imunity). Sel T berespon terhadap molekul sitokin berupa interleukin via jalur
pensinyalan. Kortisol memblok proliferasi sel T dengan mencegah beberapa sel T mengenali
sinyal interleukin. Kortisol juga menghambat inflamasi dengan menginhibisi sekresi
histamin. Kemampuan kortisol menurunkan respon imun dapat menyebabkan individu
dengan stress kronik rentan terhadap infeksi. 8,9
Peran kortisol dalam memori juga telah diteliti. Hipocampus, regio di otak yang
mengolah dan menyimpan memori diketahui mengandung banyak reseptor kortisol. Kadar
kortisol normal tidak berefek pada hipokampus, tetapi bila kadarnya berlebih akan
menyebabkan atrofi pada hipokampus. Individu dengan kadar kortisol yang meningkat
cenderung mengalami kehilangan memori secara signifikan akibat kerusakan hipokampus. 7,8
Kortisol juga berpartisipasi dalam feedback negatif dengan memblok sekresi CRH,
menghambat interaksi sentral aksis HPA dengan sekresi glukokortikoid. Stress kronik dapat
mengganggu keseimbangan feedback ini sehingga kortisol terus menerus diproduksi. 8,9
2.3. Faktor Risiko Stress
Tidak semua orang mengalami stressor psikososial yang sama akan mengalami stress.
Ada dua tipe kepribadian yang membuat seseorang berbeda dalam menghadapi stressor
sosial, yaitu tipe kepribadian A atau pola perilaku tipe A dan tipe kepribadian B atau
pola perilaku tipe B Menurut Resonmen dan Chesney, seseorang dengan kepribadian tipe
A ini lebih rentan terkena stress dengan ciri-ciri ambisius, agresif, dan kompetitif, banyak
jabatan rangkap; kurang sabar, mudah tegang, mudah tersinggung dan marah; kewaspadaan
berlebihan, kontrol diri kuat, percaya diri berlebihan; cara bicara cepat, bertindak serba cepat
hiperaktif, tidak dapat diam; bekerja tidak mengenal waktu; pandai berorganisasi, memimpin
dan memerintah; lebih suka bekerja sendirian bila ada tantangan; kaku terhadap waktu, tidak
dapat tenang serba tergesa-gesa; mudah bergaul, pandai menimbulkan perasaan empati dan
7
bila tidak tercapai maksudnya mudah bersikap bermusuhan; tidak mudah dipengaruhi, kaku;
bila berlibur pikirannya ke pekerjaan, tidak dapat santai; berusaha keras untuk dapat segala
sesuatunya terkendali.10
6. Stress tahap VI
Tahapan ini disebut dengan tahapan klimaks karena seseorang mengalami serangan
panik dan perasaan takut mati. Ciri-ciri stres tahap VI adalah debaran jantung teramat
keras, sesak nafas dan megap-megap, tubuh gemetar, dingin dan keringat berkucuran,
ketiadaan tenaga untuk hal ringan, serta pingsan dan kolaps.
2.5. Respon Tubuh Terhadap Stress
Mekanisme respon tubuh terhadap stress melibatkan aksis neural, aksis neuroendokrin,
dan aksis endokrin. Respon tubuh terhadap stress menimbulkan respons adaptasi dan
memperbaiki keseimbangan yaitu,12
1. Respon neurotransmiter terhadap stress
Stressor mengaktifkan sistem noradrenergik pada otak (khususnya pada locus serelus)
dan menyebabkan pengeluaran katekolamin dari sistim saraf otonomik. Selain
noradrenergik, stressor juga mengaktivasi sistem serotonergik di otak dengan
peningkatan ambilan kembali seronin. Juga terjadi peningkatan dopaminergik pada
mesoprefrontal. Akibat peningkatan sistem saraf otonom adalah meningkatnya denyut
jantung dan tekanan darah.
2. Respon endokrin terhadap stress
Corticotropin-releasing factor (CRF) sebagai neurotransmiter, disekresikan dari
hipotalamus ke sistem portal hipose-pituitari. CRF pada pituitari anterior memicu
pelepasan hormon adrenokortikotropik (ACTH). ACTH yang dilepas ini menstimulasi
sintesis dan pelepasan glukokortikoid yang mempunyai banyak efek dalam tubuh,
tetapi perananya dapat disimpulkan secara singkat adalah meningkatkan penggunaan
energi, meningkatkan aktivitas kardiovaskuler sebagai respon fight or flight, dan
menghambat fungsi seperti pertumbuhan, reproduksi dan imunitas.
3. Respon imun terhadap stress
Respon terhadap stress juga berupa penghambatan pada fungsi imun oleh
glukokortikoid. Akan tetapi penghambatan ini dapat merupakan kompensasi dari aksis
hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) untuk meredakan efek fisiologis lain dari stress.
Stress dapat meningkatkan aktivitas imun melalui berbagai jalan. CRF sendiri dapat
menstimulasi pelepasan norefineprin melalui reseptor CRF yang berada di locus
seruleus yang mengaktivasi sistem saraf simpatis, keduanya secara sentral dan
periferal dan meningkatkan pelepasan efineprin dari medula adrenal. Adanya
hubungan yang langsung neuron norefineprin yang bersinap pada target sel imun,
sehingga ketika berhadapan dengan stressor juga terjadi aktivitas imun yang sangat
besar, termasuk pelepasan faktor imun humoral (sitokin) seperti interleukin-1 (IL-a)
10
dan IL-6. Sitokin ini sendiri dapat melepaskan CRF, yang secara teori menyebabkan
peningkatan efek glukokortikoid dan membatasi aktivitas imun.
BAB III
TEKANAN DARAH
3.1. Definisi
11
Tekanan darah merupakan gaya yang ditimbulkan oleh darah terhadap dinding
pembuluh, bergantung pada volume darah yang terkandung di dalam pembuluh dan
compliance atau daya regang dinding pembuluh darah yang bersangkutan. Tekanan
maksimum yang ditimbulkan di arteri sewaktu darah disemprotkan masuk ke dalam arteri
selama sistole (tekanan sistolik) rata-rata adalah 120 mmHg. Tekanan minimum di dalam
arteri sewaktu darah mengalir ke luar ke pembuluh di hilir selama diastole (tekanan diastolik)
rata-rata adalah 80 mmHg. Sedangkan tekanan pada nadi adalah perbedaan antara tekanan
sistolik dan diastolik.13
12
Tekanan darah tinggi (hipertensi) adalah suatu peningkatan tekanan darah dalam arteri.
Apabila tidak diobati dan tidak dikontrol, hipertensi bisa mengakibatkan kematian
disebabkan oleh komplikasi. Penyakit ini dipengaruhi oleh cara dan kebiasaan hidup
seseorang, sering disebut juga sebagai the silent killer (pembunuh diam-diam) karena
penderita tidak mengetahui kalau dirinya mengidap hipertensi. Hipertensi juga dikenal
sebagai heterogeneouse group of disease karena dapat menyerang siapa saja dari berbagai
kelompok umur, sosial, dan ekonomi.2
13
potensial aksi sebagai respon terhadap tekanan di dalam arteri. Jika tekanan arteri
meningkat, potensial aksi juga akan meningkat sehingga kecepatan pembentukan
potensial aksi di neuron eferen yang bersangkutan juga ikut meningkat. Begitu juga
sebaliknya, jika terjadi penurunan tekanan darah. Setelah mendapat informasi bahwa
tekanan arteri terlalu tinggi oleh peningkatan potensial aksi tersebut, pusat kontrol
kardiovaskuler berespon dengan mengurangi aktivitas simpatis dan meningkatkan
aktivitas parasimpatis. Sinyal-sinyal eferen ini menurunkan kecepatan denyut jantung,
menurunkan volume sekuncup, menimbulkan vasodilatasi arteriol dan vena serta
menurunkan curah jantung dan resistensi perifer total, sehingga tekanan darah
kembali normal. Begitu juga sebaliknya jika tekanan darah turun dibawah normal.
b. Osmoreseptor hipotalamus dan reseptor volume pada atrium kiri
Osmoreseseptor pada hipotalamus peka terhadap perbahan osmolaritas darah yang
dipengaruhi oleh keseimbangan cairan tubuh, keduanya mempengaruhi regulasi
jangka panjang tekanan darah dengan mengontrol volume darah.
c. Kemoreseptor pada arteri karotis dan aorta
Kemoreseptor tersebut peka terhadap kadar O2 rendah atau keasaman tinggi pada
darah. Fungsi utamanya adalah secara refleks meningkatkan aktivitas penafasan
sehingga lebih banyak O2 yang masuk atau lebih banyak CO2 pembentuk asam yang
keluar. Selain itu, reseptor ini juga akan menyampaikan impuls eksitatorik ke pusat
kardiovaskuler.
d. Sistem saraf pusat
Sistem saraf akan mempengaruhi tekanan darah melaui perangsangan simpatis dan
parasimpatis. Emosi dan perilaku tertentu mempengaruhi kerja simpatis yang berefek
pada respon kardiovaskuler.
e. Olahraga
Perubahan mencolok pada sistem kardiovaskular terjadi saat berolahraga, termasuk
peningkatan besar aliran darah otot rangka, peningkatan curah jantung, penurunan
resistensi perifer total.
f. Kontrol Hipotalamus terhadap arteriol kulit
Tekanan darah dapat turun pada saat pembuluh kulit mengalami dilatasi menyeluruh
untuk mengeluarkan kelebihan panas dari tubuh.
15
16
Renin dan angiotensin memegang peranan penting dalam pengaturan tekanan darah.
Mekanisme terjadinya peningkatan tekanan darah patologis adalah melalui terbentuknya
angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme (ACE). Angiotensin II
inilah yang berperan penting dalam meningkatkan tekanan darah karena bersifat
vasokonstriktor kuat pada pembuluh darah dan juga berperan dalam pelepasan aldosteron
oleh korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting
pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi
ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi
NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang
pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah. 13,14
BAB IV
HUBUNGAN STRESS DAN PENINGKATAN TEKANAN DARAH
Hubungan antara stress dengan peningkatan tekanan darah diduga terjadi melalui
aktivitas saraf simpatis, yang dapat meningkatkan tekanan darah secara bertahap. Brod et al.
mengevaluasi subjek penelitian sebelum dan selama stress emosional akut dimana selama
stress, rata-rata tekanan arterial meningkat dari 100 mmHg sampai 120 mmHg. Peningkatan
aktivitas simpatis akan meningkatkan kerja jantung dan meningkatkan tekanan darah. Lebih
kompleks lagi, stress dapat secara akut meningkatkan tekanan darah melalui peningkatan
17
hasil sekresi simpatis, penurunan aktivitas/ tonus vagal, dan peningkatan kadar katekolamin,
sistem renin angiotensin aldosterone, hormon antidiuretik, hormon adrenokortikotropik,
dan pelepasan kortisol.4
Fase ketiga adalah fase kelelahan dimana individu tidak dapat lagi beradaptasi dengan
stressor yang menyebaban berbagai penyakit seperti penyusutan timus, limpa, dan nodul
limfe, serta ulkus peptikum, hingga kematian.16
ventrolateral
medulla,
mensintesis
adrenalin
pada
kondisi
stress
untuk
20
physicians
[Internet].
2011
[cited
Jan
2016].
Available
from:
http://www.healio.com/cardiology/vascular-medicine/news/print/cardiology-today/
22
%7B5c90e4bc-bc2a-4251-8cea-b7daddba8a24%7D/differentiating-between-variousforms-of-hypertension-presents-challenges-for-physicians
4. Zimmerman RS, Frohlich ED. Stress and hypertension. J Hypertens Suppl.
1990;8(4):103-107.
5. McEwen BS. Physiology and neurobiology of stress and adaptation: central role of the
brain. Physiol Rev. 2007;87:873904.
6. Matthews KA, Katholi CR, McCreath H, Whooley MA, Williams DR, Zhu S, Markovitz,
JH. Blood Pressure Reactivity to Psychological Stress Predicts Hypertension in the
CARDIA Study. Circulation. 2004;110:74-78.
7. McEwen BS, Gianaros PJ. Central role of the brain in stress and adaptation: links to
socioeconomic status, health, and disease. Ann. N.Y. Acad. Sci. 2010;1186:190222.
8. Dartmouth Undergraduate Journal of Science. The physiology of stress: cortisol and the
hypothalamic-pituitary-adrenal axis [Internet]. 2011 [cited 1 Jan 2016]. Available from:
http://dujs.dartmouth.edu/2011/02/the-physiology-of-stress-cortisol-and-thehypothalamic-pituitary-adrenal-axis/#.VqHPHlLIbhA
9. Everly GS Jr, Lating JM. A clinical guide to the treatment of the human stress response.
New York (USA): Springer; 2002. Book Series: The Plenum Series on Stress and
Coping.
10. Darshani RKND. A review of personality types and locus of control as moderators of
stress and conflict management. International Journal of Scientific and Research
Publications. 2014;4(2):1-8.
11. Sunaryo. Psikologi untuk keperawatan. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2002.
12. George E. Managing stress: physiology of stress. Seaward, B.L. (Ed). 35-46. Jones &
Bartlett Publishers, Sudbury, MA. 2004.
13. Guyton AC. Textbook of medical physiology.11th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders;
2007.
14. Sherwood L. Fundamentals of physiology: a human perspective. 3rd ed. Belmont, Calif. :
Brooks/Cole ; 2006.
15. Oparil S, Zaman MA, Calhoun DA. Pathogenesis of hypertension. Ann Intern Med.
2003;139:761-776.
16. Jacobs GD. The physiology of mind-body interactions: the stress response and the
relaxation response. The Journal of Alternative and Complementary Medicine.
2001;7(1):83-92.
17. Vrijkotte TGM, van Doornen LJP, de Geus EJC. Effects of work stress om ambulatory
blood pressure, heart rate, and heart rate variability. Hypertension. 2000;35:880-886.
18. Sarwanto. Prevalensi penyakit hipertensi penduduk di indonesia dan faktor yang
beresiko. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. 2009;12(2):154-162.
23
19. Yan LL, Liu K, Matthews KA, Daviglus ML, Ferguson TF, Kiefe CI. Psychosocial
factors and risk of hypertension. The Coronary Artery Risk Development in Young
Adults (CARDIA) Study. JAMA. 2003;290:2138-2148.
20. Gasperin D, Netuveli G, Dias-da-Costa JS, Pattussi MP. Effect of psychological stress on
blood pressure increase: A meta-analysis of cohort studies. Cad Saude Publica. 2009;
25:715726.
21. Marvar PJ, Vinh A, Thabet SR, Lob HE, Geem D, Ressler KJ, Harrison DG. T
lymphocytes and vascular inflammation contribute to stress-dependent hypertension. Bio
Psychiatry. 2012;71(9):774-782.
22. Marvar PJ, Thabet SR, Guzik TJ, Lob EH, McCann LA, Weyand C, et al. Central and
peripheral mechanisms of T-lymphocyte activation and vascular inflammation produced
by angiotensin IIinduced hypertension. Circ Res. 2010;107:263-270.
24