Anda di halaman 1dari 40

BAB I: PENDAHULUAN

DEFINISI IKTERUS
Ikterus berasal dari Bahasa Perancis jaune artinya kuning atau ikterus dalam bahasa Latin
yang artinya pewarnaan kuning pada kulit, sklera dan membran mukosa oleh deposit
bilirubin (pigmen empedu kuning-oranye) pada jaringan tersebut. Ikterus dapat dilihat pada
sklera pada konsentrasi 2-2,5 mg/dl (34-43 umol/l). Jika ikterus sudah terlihat nyata, kadar
bilirubin sudah mencapai angka 7 mg/dl.1,
Penampakan ikterus tergantung dari pigmentasi kulit seseorang karena itu sebaiknya
digunakan terminologi hiperbilirubinemia, karena lebih objektif.3,4 Ikterus harus dibedakan
dengan karotenemia yaitu warna kulit kekuningan yang asupan berlebih buah-buahan yang
mengandung pigmen lipokrom, misalnya wortel, pepaya, dan jeruk. Bilirubin merupakan
suatu pigmen berwarna kuning yang berasal dari unsur porfirin dalam hemoglobin yang
terbentuk sebagai akibat penghancuran sel darah merah oleh sel-sel retikuloendotel.
METABOLISME BILIRUBIN
Hemoglobin yang berasal dari penghancuran eritrosit oleh makrofag di dalam limfa, hati,
dan alat retikuloendotel lain akan mengalami pemecahan menjadi heme dan globin.
Komponen globin mengalami degradasi menjadi asam amino melalui suatu proses oksidasi.
Heme selanjutnya teroksidasi menjadi biliverdin oleh heme-oksidase dengan melepas zat
besi dan karbonmonoksida. Biliverdin reduktase akan mereduksi biliverdin menjadi
bilirubin tidak terkonjugasi.
Bilirubin tidak terkonjugasi bersifat larut dalam lemak dan hampir tidak larut dalam air
sehingga tidak dapat dikeluarkan dalam urin melalui ginjal. Bilirubin ini disebut juga
bilirubin indirek karena hanya bereaksi positif pada tes setelah dilarutkan dalam alkohol.
Setelah dilepas ke dalam plasma, sebagian besar bilirubin tidak terkonjugasi berikatan
dengan albumin sehingga dapat larut di dalam darah kemudian berdifusi ke dalam
hepatosit. Di dalam hepatosit, bilirubin tidak terkonjugasi akan dikonjugasikan dengan
asam glukuromat membentuk bilirubin glukuronida atau bilirubin terkonjugasi (bilirubin
direk). Reaksi ini dikatalisasi oleh enzim glukonil transferase, suatu enzim dalam retikulum
endoplasmik dan merupakan kelompok enzim yang mampu memodifikasi zat asing yang
bersifat toksik.
Bilirubin terkonjugasi bersifat larut dalam air sehingga dapat dikeluarkan melalui ginjal
namun dalam keadaan normal tidak terdeteksi di dalam urin. Sebagian besar bilirubin
terkonjugasi dikeluarkan ke dalam empedu, suatu campuran kolesterol, fosfolipid, bilirubin

diglukonorida dan garam empedu. Di dalam saluran cerna, bilirubin terkonjugasi diaktifasi
oleh enzim bakteri dalam usus, sebagian menjadi komponen urobilinogen yang akan keluar
dalam tinja (sterkobilin) atau diserap kembali dari saluran cerna, dibawa ke hati dan
dikeluarkan kembali ke dalam empedu. Urobilinogen bersifat larut dalam air sehingga
sebagian dikeluarkan melalui ginjal.5
PATOFISIOLOGI
Hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana konsentrasi bilirubin di dalam darah sangat
tinggi. Hiperbilirubinemia dibagi menjadi tiga yaitu hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi,
hiperbilirubinemia terkonjugasi dan hiperbilirubinemia campuran. Hiperbilirubinemia
tidak terkonjugasi terjadi bila bilirubin direk 15%, sedangkan pada hiperbilirubinemia
terkonjugasi kadar bilirubin direk 15%.6
Hiperbilirubinemia disebabkan karena produksi bilirubin yang meningkat, penurunan
klirens bilirubin dan gangguan konjugasi genetik. Hiperbilirubinemia terkonjugasi dapat
disebabkan oleh gangguan fungsi klirens yang bersifat familial, sedangkan
hiperbilirubinemia terkonjugasi yang didapat disebabkan oleh penggunaan beberapa jenis
obat (asetaminofen, penisilin, kontrasepsi oral, promacin, estrogen dan steroid anabolik)
serta hambatan aliran empedu ke dalam duodenum yang sering disebut kolestasis
ekstrahepatik.
Produksi bilirubin yang berlebihan
Peningkatan produksi bilirubin paling sering disebabkan oleh penghancuran sel darah
merah yang berlebihan dan menyebabkan ikterus hemolitik. Terjadi peningkatan kadar
bilirubin tidak terkonjugasi dalam plasma. Sebagai kompensasinya, terjadi peningkatan
penyerapan ke dalam sel hati dan ekskresi bilirubin. Selanjutnya akan terjadi peningkatan
pembentukan urobilinogen dalam saluran cerna yang akan diserap kembali dan dikeluarkan
melalui urin sehingga kadar urobilinogen urin meningkat. Bilirubin tidak terkonjugasi tidak
dikeluarkan dalam urin.
Penurunan kecepatan penyerapan bilirubin oleh sel hati
Pada keadaan ini kadar bilirubin plasma meningkat namun tidak terjadi peningkatan kadar
urobilinogen dalam urin. Dapat disebabkan oleh beberapa kelainan genetik seperti sindrom
Gilbert serta beberapa jenis obat.
Gangguan konjugasi bilirubin
Terjadi bila terdapat kekurangan atau tidak adanya enzim glukonil transferase, misalnya
pada kelainan genetik seperti sindrom Crigler-Najjar atau karena pengaruh obat-obatan.
Apabila enzim glukonil transferase tidak ada maka ditemui kadar bilirubin tidak

terkonjugasi yang sangat tinggi. Tidak terbentuknya bilirubin terkonjugasi akan


menyebabkan tidak ditemukannya bilirubin terkonjugasi di dalam empedu. Empedu
menjadi tidak berwarna, tinja pucat dan tidak terdapat urobilinogen di dalam urin. Apabila
hanya terdapat kekurangan enzim glukonil transferase, maka gejala hiperbilirubinemia akan
tampak lebih ringan. Empedu tetap berwarna dan urobilinogen dapat ditemukan dalam urin.
Gangguan pengeluaran bilirubin
Dapat terjadi pada kerusakan sel hati atau sumbatan saluran empedu di dalam atau di luar
hati. Sumbatan saluran empedu dalam hati (kolestasis intrahepatik) dapat terjadi pada
kelainan genetik, obat-obatan yang mempengaruhi sekresi melalui membran sel hati atau
penyakit hati. Sumbatan di luar hati (kolestasis ekstrahepatik) umumnya disebabkan oleh
batu empedu yang menyebabkan ikterus obstruktif. Pada gangguan pengeluaran empedu,
kadar bilirubin terkonjugasi dalam darah akan meningkat dan akan dikeluarkan melalui urin
sehingga urin akan menjadi gelap. Sebaliknya tinja akan menjadi pucat dan kadar
urobilinogen dalam urin menurun.
Pembagian terdahulu mengenai tahapan metabolisme bilirubin dalam 3 fase; prahepatik,
intrahepatik, dan pascahepatik masih relevan untuk digunakan. Pembagian yang baru
menambahkan menjadi 5 fase, yaitu fase pembentukan bilirubin, transpor plasma, liver
uptake, konjugasi, dan ekskresi bilier.
Fase Prahepatik
1. Pembentukan bilirubin. Setiap harinya dibentuk bilirubin sebanyak 250-350 mg
atau 4 mg/kg berat badan. 70-80% berasal dari pemecahan sel darah merah matang,
sisanya (early labelled bilirubin) berasal dari protein hem lainnya yang berada
terutama di dalam sumsum tulang dan hati. Sebagian protein hem dipecah menjadi
besi dan produk antara biliverdin dengan katalisasi enzim hemeoksidase. Biliverdin
reduktase mengubah biliverdin menjadi bilirubin. Tahapan ini terjadi terutama
dalam sel sistem retikuloendotelial. Peningkatan hemolisis sel darah merah
merupakan penyebab utama peningkatan pembentukan bilirubin. Pembentukan
early labelled bilirubin meningkat pada kelainan dengan eritropoiesis yang tidak
efektif namun secara klinis kurang penting.
2. Transpor plasma. Bilirubin tidak terkonjugasi terikat dengan albumin dan tidak
dapat melalui membran glomerulus sehingga tidak ditemukan pada urin. Ikatan
akan melemah pada beberapa keadaan seperti asidosis dan beberapa bahan seperti
antibiotik tertentu seperti salisilat yang berlomba pada tempat ikatan dengan
albumin.
Fase Intrahepatik

1. Liver uptake. Proses pengambilan bilirubin tidak terkonjugasi oleh hati secara rinci
dan pentingnya protein pengikat seperti ligandin atau protein Y, belum jelas.
Pengambilan bilirubin melalui transpor yang aktif dan berjalan cepat, namun tidak
termasuk pengambilan albumin.
2. Konjugasi. Bilirubin tidak terkonjugasi mengalami konjugasi dengan asam
glukoronik membentuk bilirubin terkonjugasi atau bilirubin direk. Reaksi ini
dikatalisasi oleh enzim mikrosomal glukoronil-transferase menghasilkan bilirubin
yang larut dalam air.
Fase Pascahepatik
1. Ekskresi bilirubin. Bilirubin terkonjugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus. Di
dalam usus flora bakteri mendekonjugasi dan mereduksi bilirubin menjadi
sterkobilinogen dan mengeluarkan sebagian besar ke dalam tinja dan memberi
warna coklat. Sebagian dikeluarkan dan diserap kembali ke dalam empedu, dan
sebagian kecil mencapai urin sebagai urobilinogen. Ginjal dapat mengeluarkan
diglukuronida tapi tidak bilirubin tidak terkonjugasi. Hal ini menjelaskan warna urin
yang gelap yang khas pada gangguan hepatoselular atau kolestatik intrahepatik.
Bilirubin tidak terkonjugasi tidak larut dalam air tapi larut dalam lemak, karenanya
dapat melewati sawar darah otak atau masuk ke dalam plasenta. Dalam hepatosit,
bilirubin tidak terkonjugasi mengalami proses konjugasi dengan gula melalui enzim
glukoronil transferase dan larut dalam empedu cair.
BAB II: PENYAKIT GANGGUAN METABOLISME BILIRUBIN
1. Hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi
2. Hiperbilirubinemia terkonjugasi
Hiperbilirubinemia Tidak Terkonjugasi

Hemolisis

Peningkatan konsentrasi bilirubin pada keadaan hemolisis dapat melebihi kemampuan hati
yang normal untuk memetabolisme kelebihan bilirubin. Pada hemolisis yang berat
konsentrasi billirubin jarang lebih dari 5 mg/dl kecuali jika terdapat kerusakan hati.
Kombinasi hemolisis yang sedang dan penyakit hati yang ringan dapat menyebabkan
ikterus yang lebih berat sehingga terjadi hiperbilirubinemia campuran akibat ekskresi
empedu kanalikuler terganggu.

Sindrom Gilbert

Penyakit ini mengenai 3-5% orang, biasa pada kelompok umur dewasa muda dengan
keluhan tidak spesifik dan tidak sengaja ditemukan. Kemungkinan disebabkan karena
adanya defek yang kompleks dalam pengambilan bilirubin dari plasma yang berfluktuasi
antara 2-5 mg/dl yang cenderung naik dengan berpuasa, dan keadaan stres lainnya. Sindrom
Gilbert dapat dengan mudah dibedakan dengan hepatitis dengan tes faal hati yang normal,
tidak terdapatnya empedu dalam urin, dan fraksi bilirubin indirek yang dominan.
Hemolisis dibedakan dengan tidak terdapatnya anemia atau retikulosis. Histologi hati
normal dan tidak diperlukan biopsi hati untuk diagnosis.

Sindrom Crigler-Najjar

Merupakan penyakit genetik yang disebabkan karena kekurangan enzim


glukuroniltransferase. Pasien dengan penyakit autosom resesif tipe I (lengkap) mempunyai
hiperbilirubinemia yang berat dan biasanya meninggal pada umur 1 tahun. Sedangkan tipe
II (parsial) mempunyai hiperbilirubinemia yang kurang berat dan biasanya bisa hidup
sampai dewasa tanpa kerusakan neurologis.

Hiperbilirubinemia Shunt Primer

Jarang dijumpai. Bersifat jinak dan familial dengan produksi early labeled bilirubin yang
berlebihan.
Hiperbilirubinemia Konjugasi Non Kolestasis

Sindrom Dubin Johnson

Merupakan penyakit autosom resesif yang ditandai dengan ikterus ringan. Didasari akibat
gangguan ekskresi anion organik seperti bilirubin namun ekskresi garam empedu tidak
terganggu. Berbeda dengan Sindrom Gilbert, hiperbilirubinemia yang terjadi adalah
bilirubin terkonjugasi dan empedu ditemukan dalam urin.

Sindrom Rotor

Menyerupai Sindrom Dubin Johnson tapi hati tidak mengalami pigmentasi dan perbedaan
metabolik lain
Hiperbilirubinemia Konjugasi Kolestasis

Kolestasis Intrahepatik

Penyebab paling sering adalah hepatitis, keracunan obat, penyakit hati karena alkohol, dan
penyakit hepatitis autoimun. Penyebab yang kurang sering adalah sirosis hati bilier primer,
kolestasis pada kehamilan, karsinoma metastatik, dan penyakit lain yang jarang.

Kolestasis Ekstrahepatik

Penyebab yang sering adalah batu duktus koledokus dan kanker pankreas. Penyebab
lainnya yang relatif jarang adalah striktur jinak pada duktus koledokus, karsinoma duktus
koledokus, pankreatitis atau pseudocyst pankreas, dan kolangitis sklerosing. Retensi
bilirubin menghasilkan campuran hiperbilirubinemia dengan kelebihan bilirubin
terkonjugasi yang masuk ke dalam urin. Tinja berwarna pucat karena sedikit yang
mencapai saluran cerna usus halus.
BAB III: PENDEKATAN KLINIS IKTERUS PADA DEWASA
Anamnesis
Biasanya ditanyakan keluhan ikterus, seperti warna urin, warna tinja, keluhan gatal, mual
muntah, dan nyeri perut serta kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat menyebabkan
ikterus seperti stres, infeksi, kehamilan, dan obat-obatan tertentu.
Pemeriksaan Fisik
Ditemukan adanya bekas garukan, spider nevi, eritema palmaris, ginekomastia, atrofi testis,
edema tungkai, dan asites.
Pemeriksaan Laboratorium
Hiperbilirubinemia dengan nilai aminotransferase dan fosfatase alkali yang normal
menunjukkan kemungkinan proses hemolisis atau penyakit Sindrom Gilbert, hal ini
dipastikan dengan fraksional bilirubin. Beratnya ikterus dan fraksional bilirubin tidak bisa
membantu untuk membedakan ikterus hepatoselular dari keadaan ikterus kolestatik.
Peningkatan kadar aminotransferase 500 U lebih mengarah pada hepatitis atau keadaan
hipoksia akut. Peningkatan fosfatase alkali yang tidak proporsional mengarah kepada
kolestasis atau kelainan infiltrat. Pada keadaan yang disebut belakangan, bilirubin biasanya
normal atau hanya naik sedikit saja. Bilirubin di atas 25 sampai 30 mg/dl seringkali
disebabkan karena hemolisis atau disfungsi ginjal yang menyertai pada keadaan penyakit
hepatobilier berat. Inversi rasio konsentrasi albumin dan globulin menunjukkan adanya
penyakit kronis. Peningkatan waktu protrombin yang membaik setelah pemberian vitamin
K (5-10 mg IM selama 2-3 hari) lebih mengarah pada kolestasis daripada proses
hepatoselular.
Pencitraan
Pemeriksaan sonografi, CT, dan MRI memperlihatkan adanya pelebaran saluran bilier, yang
menunjukkan adanya sumbatan mekanik, walaupun jika tidak ada tidak selalu berarti

sumbatan intrahepatik, terutama dalam keadaan masih akut. Kebanyakan center


menggunakan USG karena biaya yang murah.
Endoscopic Retrograde Cholangio-Pancreatography (ERCP) memungkinkan untuk
melihat secara langsung saluran bilier dan bermanfaat untuk menetapkan sebab sumbatan
ekstrahepatik.
Percutaneus Transhepatic Cholangiography (PTC) dapat digunakan untuk melihat
langsung saluran empedu dan mendeteksi batu dan kelainan duktus lainnya.

Pengobatan
Pengobatan ikterus sangat tergantung penyebabnya. Beberapa gejala yang cukup
mengganggu misalnya pruritus pada keadaan kolestasis intrahepatik, pengobatan untuk
penyakit dasarnya sudah mencukupi. Pruritus pada keadaan yang ireversibel (seperti sirosis
bilier primer) biasanya responsif terhadap kolestiramin 4-16 g/hari dalam dosis terbagi dua
yang akan mengikat garam empedu di usus.
Suplemen kalsium dan vitamin D dapat diberikan pada kolestasis yang ireversibel.
Suplemen vitamin A dapat mencegah kekurangan vitamin dan steatorrhea yang berat dapat
dikurangi dengan pemberian sebagian lemak dalam diet dengan medium chain triglyceride.
Sumbatan bilier ekstrahepatik biasanya membutuhkan tindakan pembedahan,
ekstraksi batu empedu di duktus atau insersi stent, dan drainase via kateter untuk kasus
striktur. Untuk sumbatan yang non operabel, drainase bilier paliatif dapat dilakukan
melalaui stent yang ditempatkan melalui hati (transhepatik) atau secara endoskopik
DAFTAR PUSTAKA
1. Sulaiman A., Pendekatan Klinis pada Pasien Ikterus. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
jilid I. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
2007. p.420-423.
2. M. Lamah Indkaghd. Anatomical Variations of the Extrahepatic Biliary. Tree:
Review of the World Literature. Clinical Anatomy 14; 2001. p.167-172.
3. Wolkoff A.W. The Hyperbilirubinemia in Kaspen et all. Harrisons Principles of
Internal Medicine. 16th edition. Mc Graw Hill, Singapore; 2005. p.1817-1821.

4. Roche S.P., Kobos R. Jaundice in The Adult Patient. American Family Physician;
2004. p.229-304.
5. Kanoko M. Metabolisme Bilirubin dan Patofisiologi Ikterus. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam jilid I. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbit Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI; 2007. p.5-8.
6. Wilson L.M., Lester L.B., Hati, Empedu, dan Pankreas. Dalam : Price S.A., Wilson
L.M. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Buku 1. Edisi 4. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1995. p.426-463.

BAGIAN ILMU PENYAKIT ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN
2005

BAB I
PENDAHULUAN
Kern ikterus merupakan suatu sindroma kerusakan otak yang ditandai dengan athetoid
cerebral palsy, gangguan pendengaran hingga ketulian, gangguan penglihatan, dan mental
retardasi.
Pada beberapa bayi baru lahir, hati memproduksi pigmen kuning yang disebut bilirubin
yang berlebihan, sehingga mengakibatkan kulit dan sklera mata berubah warna menjadi
kuning. Keadaan ini disebut dengan ikterus. Beberapa bayi, keadaan ini bisa hilang sendiri,
tetapi pada beberapa bayi lainnya bila tidak ditangani dengan cepat dan benar maka bisa
menyebabkan kadar bilirubin menjadi sangat tinggi yang bersifat toksik dan dapat merusak
otak.
Bayi baru lahir dengan ikterus yang tidak ditangani secara medis bisa saja mengalami kern
ikterus, tetapi bukan berarti setiap bayi kuning akan menghadapi masalah ini. Bila timbul
ikterus, dapat diterapi dengan fototerapi, tetapi bila tidak berhasil maka dapat dilakukan
transfusi tukar (exchange transfusion).

Beberapa tanda kern ikterus yaitu; kulit bayi yang sangat kuning bahkan oranye, tidur yang
berkepanjangan bahkan sulit untuk dibangunkan, menyusui sangat kurang, serta kelemahan
umum.
Pada kasus kern ikterus ini, pencegahan lebih baik daripada pengobatan, terlebih bila bayi
sudah mencapai tingkat kerusakan otak yang hebat sehingga menjadikan prognosis kern
ikterus buruk.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
KERN IKTERUS
2.1. Definisi
Kern ikterus adalah sindroma neurologik yang disebabkan oleh menumpuknya
bilirubin indirek/tak terkonjugasi dalam sel otak1, 2, 3, 6.
2.2. Insidensi
Dengan menggunakan kriteria patologis, sepertiga bayi (semua umur kehamilan)
yang penyakit hemolitiknya tidak diobati dan kadar bilirubinnya lebih dari 20 mg/dL, akan
mengalami kern ikterus. Insidensi pada otopsi bayi prematur dengan hiperbilirubinemia
adalah 2-16 %. Perkiraan frekuensi klinis tidak dapat dipercaya karena luasnya spektrum
manifestasi penyakit2, 7, 9.
Di Amerika Serikat, 8-10 % dari semua bayi sehat tetap dapat terjadi
hiperbilirubinemia berat yang selanjutnya mengalami kern ikterus.

Terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan meningkatnya kasus kern ikterus,
yaitu:
- Para orang tua tidak mengetahui tanda-tanda ikterus sehingga mereka tidak segera
menghubungi dokter.
- Banyaknya bayi baru lahir yang segera meninggalkan Rumah Sakit, padahal kadar
bilirubin darah belum mencapai puncaknya (48-72 jam setelah kelahiran), ditambah
dengan tidak kontrol kembali dalam jangka waktu satu minggu kemudian.
- Dokter yang hanya mengandalkan penglihatan dalam menilai derajat kuningnya kulit
akibat ikterus yang mana rentan terhadap kesalahan terutama pada kasus yang berat dan
tidak adanya informasi kepada para orang tua untuk memperhatikan kualitas kuningnya
kulit pada bayi mereka.
- Beberapa bayi baru lahir pulang dari Rumah Sakit dalam kondisi pemeriksaan kadar
bilirubin yang belum selesai5, 6,8,10.
2.3. Klasifikasi
Stadium 1
Refleks moro jelek, hipotoni, letargi, poor feeding, vomitus, high pitched cry, kejang.
Stadium 2
Opistotonus, panas, rigiditas, occulogyric crises, mata cenderung deviasi ke atas.
Stadium 3
Spastisitas menurun, pada usia sekitar 1 minggu.
Stadium 4

Gejala sisa lanjut; spastisitas, atetosis, tuli parsial/komplit, retardasi mental, paralisis bola
mata ke atas, displasia mental1.
2.4. Etiologi
Penyebab kern ikterus adalah dikarenakan kadar bilirubin yang sangat tinggio yang dapat
mencapai tingkat toksik sehingga merusak sel-sel otak.
Kadar bilirubin yang tinggi merupakan kelanjutan dari ikterus neonatorum yang disebabkan
oleh:
Ikterus fisiologis:
- Peningkatan jumlah bilirubin yang masuk ke dalam sel hepar.
- Defek pengambilan bilirubin plasma.
- Defek konjugasi bilirubin.
- Ekskresi bilirubin menurun.
Ikterus patologis:
- Anemia hemolitik: isoimunisasi, defek eritrosit, penyakit hemolitik bawaan, sekunder
dari infeksi, dan mikroangiopati.
- Ekstravasasi darah: hematoma, ptekie, perdarahan paru, otak, retroperitoneal dan
sefalhematom.
- Polisitemia.
- Sirkulasi enterohepatik berlebihan: obstruksi usus, stenosis pilorus, ileus mekonium,
ileus paralitik, dan penyakit hirschprung.

- Berkurangnya uptake bilirubin oleh hepar: gangguan transportasi bilirubin, obstruksi


aliran empedu1,2,3.
2.5. Patogenesis
Patogenesis kern ikterus bersifat multi faktorial dan melibatkan interaksi antara kadar
bilirubin yang tidak terjonjugasi, ikatan albumin dan kadar bilirubin yang tak terikat/bebas,
menembusnya ke sawar darah otak, dan kerentanan neurologik terhadap jejas.
Permeabilitas sawar darah otak dapat dipengaruhi oleh penyakit, asfiksia, dan maturasi
otak.
Pada setiap bayi, nilai persis kadar bilirubin yang dapat bereaksi indirek atau kadar
bilirubin bebas dalam darah yang kalau dilebihi akan bersifat toksik, tidak dapat
diramalkan, tetapi kern ikterus jarang terjadi pada bayi cukup bulan yang sehat dan pada
bayi tanpa adanya hemolisis, yaitu bila kadar serum berada di bawah 25 mg/dL. Pada bayi
yang mendapat ASI, kern ikterus dapat terjadi bila kadar bilirubin melebihi 30 mg/dL,
meskipun batasannya luas yaitu antara 21-50 mg/dL. Onset terjadi dalam minggu pertama
kehidupan, tetapi dapat terjadi terlambat hingga minggu ke-2 bahkan minggu ke-3.
Lamanya waktu pemajanan yang diperlukan untuk menimbulkan pengaruh toksik juga
belum diketahui. Bayi yang kurang matur lebih rentan terhadap kern ikterus.
Resiko pengaruh toksik dari meningkatnya kadar bilirubin tak terkonjugasi dalam serum
menjadi bertambah dengan adanya faktor-faktor yang mengurangi retensi bilirubin dalam
sirkulasi, yaitu hipoproteinemia, perpindahan bilirubin dari tempat ikatannya pada albumin
karena ikatan kompetitif obat-obatan seperti sulfisoksazol dan moksalaktam, asidosis,
kenaikan sekunder asam lemak bebas akibat hipoglikemia, kelaparan, atau hipotermia) atau
oleh faktor-faktor yang meningkatkan permeabilitas sawar darah otak atau membran sel
saraf terhadap bilirubin, atau kerentanan sel otak terhadap toksisitasnya seperti asfiksia,
prematuritas, hiperosmolalitas, dan infeksi2.

Permukaan otak biasanya berwarna kuning pucat. Pada pemotongan, daerah-daerah tertentu
secara khas berwarna kuning akibat bilirubin tak terkonjugasi, terutama pada korpus
subtalamikus, hipokampus dan daerah olfaktorius yang berdekatan, korpus striata, talamus,
globus palidus, putamen, klivus inferior, nukleus serebelum, dan nukleus saraf kranial.
Daerah yang tak berfigmen juga dapat cedera. Hilangnya neuron, gliosis reaktif dan atrofi
sistem serabut yang terlibat ditemukan pada penyakit yang lebih lanjut. Pola jejas
dihubungkan dengan perkembangan sistem enzim oksidatif pada berbagai daerah otak dan
bertumpang-tindih dengan yang terdapat pada cedera otak hipoksik. Bukti yang mendukung
hipotesis bahwa bilirubin mengganggu penggunaan oksigen oleh jaringan otak, mungkin
dengan menimbulkan jejas pada membran sel; jejas hipoksia yang telah terjadi sebelumnya
meningkatkan kerentanan sel otak terhadap jejas. Pewarnaan bilirubin yang jelas tanpa
hiperbilirubinemia atau perubahan mikroskopik yang spesifik kern ikterus mungkin tidak
merupakan kesatuan yang sama2, 9, 10.
2.6. Kriteria Diagnosis
Secara umum, ditandai dengan athetoid cerebral palsy, gangguan pendengaran hingga
ketulian, gangguan penglihatan, dan mental retardasi.
Tanda-tanda dan gejala-gejala kern ikterus biasanya muncul 2-5 hari sesudah lahir
pada bayi cukup bulan dan paling lambat hari ke-7 pada bayi prematur, tetapi
hiperbilirubinemia dapat menyebabkan sindroma setiap saat selama masa neonatus. Tandatanda awal bisa tidak terlihat jelas dan tidak dapat dibedakan dengan sepsis, asfiksia,
hipoglikemia, pendarahan intrakranial dan penyakit sistemik akut lainnya pada bayi
neonatus. Lesu, nafsu makan jelek dan hilangnya refleks Moro merupakan tanda-tanda
awal yang lazim. Selanjutnya, bayi dapat tampak sangat sakit, tidak berdaya disertai refleks
tendo yang menjadi negatif dan kegawatan pernapasan. Opistotonus, dengan fontanela yang
mencembung, muka dan tungkai berkedut, dan tangisan melengking bernada tinggi dapat
menyertai. Pada kasus yang lanjut terjadi konvulsi dan spasme, kekakuan pada bayi dengan

lengan yang terekstensi dan berotasi ke dalam serta tangannya menggenggam. Rigaditas
jarang terjadi pada stadium lanjut2.
Banyak bayi yang menjelek ke tanda-tanda neurologis berat ini meninggal; yang bertahan
hidup biasanya mengalami cedera berat tetapi agaknya dapat sembuh dan 2-3 bulan
kemudian timbul beberapa kelainan. Selanjutnya, pada usia 1 tahun opistotonus, rigiditas
otot, gerakan yang tidak teratur dan konvulsi cenderung kambuh. Pada tahun ke-2
opistotonus dan kejang mereda, tetapi gerakan-gerakan yang tidak teratur dan tidak
disadari, rigiditas otot atau pada beberapa bayi, hipotonia bertambah secara teratur. Pada
umur 3 tahun sering tampak sindrom neurologis yang lengkap terdiri atas koreotetosis
dengan spasme otot involunter, tanda-tanda ekstrapira-midal, kejang defisiensi mental,
wicara disartrik, kehilangan pendengaran terhadap frekuensi tinggi, strabismus dan gerakan
mata ke atas tidak sempurna. Tanda-tanda piramidal, hipotonia, atau ataksia terjadi
beberapa bayi. Pada bayi yang terkenanya ringan sindrom ini hanya dapat ditandai melalui
inkoordonasi neoromuskular ringan sampai sedang, ketilian parsial, atau disfungsi otak
minimal yang terjadi sendiri atau bersamaan, masalah ini mungkin tidak tampak sampai
anak masuk sekolah2,4,5, 7.
2.7. Diagnosis Banding
2.7.1.Sepsis
Merupakan sindroma klinis yang ditandai gejala sistemik dan disertai bakteriemia.
Kriteria diagnosis meliputi gejala klinis berupa gangguan keadan umum (tampak tidak
sehat, tidak mau minum, suhu badan labil), saluran cerna, pernapasan, kardiovaskuler,
Susunan Saraf Pusat, hematologik dan kulit. Dari hasil laboratorium didapatkan anemia,
leukopenia, netropenia absolut, trombositopenia, peningkatan Laju Endap Darah dan CReactive Protein.
2.7.2. Asfiksia

Merupakan keadaan yang ditandai oleh gejala-gejala akibat hipoksia yang progresif,
akumulasi CO2, dan asidosis.
2.7.3. Hipoglikemia
Merupakan keadaan yang terdapat pada bayi kurang bulan dan berat badan lahir rendah,
mempunyai kadar glukosa darah <>
Kriteria diagnosis ditandai dengan atau tanpa gejala; letargi/apati, tremor, apnea, sianosis,
kejang, koma, menangis lemah atau high pitched cry, poor feeding.
2.8. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan kadar bilirubin.
Bertujuan untuk mengetahui tingkat kerusakan yang masih akan timbul akibat toksisitas
kadar bilirubin yang sangat tinggi.
- Pemeriksaan fungsi otak: EEG
Bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kerusakan otak yang telah terjadi.
2.9. Pengobatan
2.9.1. Transfusi Tukar
Jika ada tanda-tanda kern ikterus, transfusi tukar merupakan indikasi. Jadi jika ada
tanda-tanda kern ikterus selama evaluasi atau pengobatan, pada kadar bilirubin berapapun,
maka transfusi tukar darurat harus dilakukan.
Pengobatan yang diterima secara luas ini (transfusi tukar) harus diulangi sesering yang
diperlukan untuk mempertahankan kadar bilirubin indirek dalam serum di bawah kadar
yang tercatat pada tabel. Ada berbagai faktor yang dapat mengubah kriteria ini ke arah yang

sebaliknya, namun bergantung pada individu penderita. Munculnya tanda-tanda klinis yang
memberi kesan kern ikterus merupakan indikasi untuk melakukan transfusi tukar pada
kadar bilirubin serum berapapun. Bayi cukup bulan yang sehat dengan ikterus fisiologis
atau akibat ASI, dapat mentoleransi kadar bilirubin sedikit lebih tinggi dari 25 mg/dL tanpa
tampak sakit, sedangkan bayi prematur yang sakit dapat mengalami ikterus pada kadar
bilirubin yang sangat rendah. Kadar yang mendekati perkiraan kritis pada setiap bayi dapat
merupakan indikasi untuk transfusi tukar semasa usia 1 atau 2 hari ketika kenaikan yang
lebih lanjut diantisipasi, tetapi bukan pada hari ke-4 pada bayi cukup bulan atau pada hari
ke-7 pada bayi prematur, ketika penurunan yang terjadi segera bisa diantisipasi saat
mekanisme konjugasi hati menjadi lebih efektif2.

Teknik transfusi tukar:


Bayi ditempatkan di meja resusitasi yang dihangatkan, anggota badan pada posisi istirahat.
Kerjakan melalui vena umbilikalis/vena sefana magna.
Gunakan darah segar dari donor darah (<>
Darah yang digunakan yaitu darah citrat atau mengandung heparin.

Transfusi ganti diberikan biasanya 2 x volume darah bayi (80 ml/kg BB), yaitu 160 ml/kg B
(diharapkan dapat menggantikan darah bayi 87 %). Setiap kali menukar/mengambildan
memasukkan darah sebesar 10-20 ml (tergantung toleransi bayi.
Bayi sakit atasi dulu penyakitnya (misalnya: asfiksia dan hipoglikemia)
Bayi-bayi yang disertai anemia (HT<35 style="">partial exchange dengan PRC (25-80 ml/kg BB)
sampai HT naik menjadi 40 %. Bila keadan sudah stabil, lakukan transfusi untuk mengatasi
hiperbilirubinemia.
Jika mungkin albumin miskin garam diberikan 1-2 jam sebelum transfusi ganti sebanyak 1 g/kg BB.
Pembantu mencatat volume darah yang ditukar, mengobservasi tanda vital bayi dan bisa melakukan
resusitasi.
Sebelum transfusi ganti, ukur tekanan vena.
Donor darah harus dihangatkan pada suhu 27-37oC.
Setiap 100 ml darah dikocok.
Alat steril.
Darah segar dipasang dengan infus set. Selanjutnya dihubungkan dengan jarum suntik dan kateter
v.umbilikalis.
Minimalisir efek samping dan tiap tahapan berlangsung 3-5 menit.
Jika kateter gagal dipasang di v. Umbilikalis, bisa dilakukan di v. Safena magna.
Kateter jangan terbuka terhadap udara.
Dengan jarum suntik, keluarkan darah bayi 20 ml untuk pemeriksaan laboratorium pratransfusi; Hb,
urea N, elektrolit, kalsium, gula, SGOT,SGPT, osmolaritas, analisa gas darah, dan kultur.
Masukkan darah segar 20 ml perlahan, dilakukan sampai selesai.

Untuk darah citrat, setiap 100ml darah ganti diberi 1 ml kalsium glukonas 10%.
Setelah transfusi selesai, ambil darh bayi untuk pemeriksaan pasca transfusi.
Bayi harus puasa, bila tanda vital stabil boleh diberi minum.
Transfusi dihentikan bila; emboli, hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglikemia,
gangguan pembekuan, dan perforasi pembuluh darah.
Komplikasi transfusi tukar; gangguan vaskular, kelainan jantung, gangguan elektrolit, koagulasi, infeksi,
hipotermia, dan hipoglikemia.
2.9.2. Fisioterapi
Untuk
tinggi,

yang

pengobatan

kekakuan
intelek

bayi

otot

mengalami

diarahkan

dan

(kognitif).

sudah

gerakan
Dengan

pada
serta

cara

cacat

fisioterapi

stimulasi
ini

akibat
untuk

diharapkan

kadar

bilirubin

untuk

memperbaiki

mengoptimalkan
kemampuan

terlalu

si

fungsi
anak

sebisanya mendekati normal.

2.10. Prognosis
Tanda-tanda neurologis yang jelas mempunyai prognosis yang jelek, ada 74 % atau
lebih bayi-bayi yang demikian meninggal, dan 80 % yang bertahan hidup menderita
koreoatetosis bilateral dengan spasme otot involunter. Retardasi mental, ketulian, dan
kuadriplegia spastis lazim terjadi. Bayi yang beresiko harus menjalani skrining
pendengaran2.
2.11. Pencegahan
- Segera menurunkan kadar bilirubin indirek.
- Penanganan bayi ikterus; fototerapi, kemoterapi, transfusi tukar.

Bayi dengan kadar bilirubin tinggi diobati dengan menggunakan fototerapi, bahkan
dengan transfusi tukar. Kini terdapat obat baru yaitu Stanate yang dalam ujicoba terbukti
dapat memblokade produksi bilirubin sehingga dapat mencegah kern ikterus, hingga
sekarang obat ini masih terus dikembangkan4.
Tanpa memandang etiologi, tujuan terapi adalah mencegah kadar yang
memungkinkan terjadinya neurotoksikosis, dianjurkan agar fototerapi, dan jika tidak
berhasil, transfusi tukar dilakukan untuk mempertahankan kadar maksimum bilirubin total
dalam serum di bawah kadar yang ditunjukkan pada tabel 1 (untuk preterm) dan tabel 2
(untuk bayi cukup bulan). Pada setiap bayi, resiko jejas bilirubin terhadap sistem saraf
pusat harus dipertimbangkan dengan resiko yang ditimbulkan oleh pengobatan. Belum ada
persetujuan yang umum mengenai kriteria untuk memulai fototerapi. Karena fototerapi
mungkin memerlukan 6-12 jam untuk mempunyai pengaruh yang dapat diukur, maka
fototerapi ini harus dimulai saat kadar bilirubun masih berada di bawah kadar yang
diindikasi untuk transfusi darah. Bila teridentifikasi, penyebab dasar dasar ikterus harus
diobati, misalnya antibiotik untuk septikemia. Faktor-faktor fisiologis yag menambah
resiko cedera neurologis harus diobati juga (misalnya koreksi terhadap asidosis)2.
Fototerapi biasanya dimulai pada 50-70 % dari kadar maksimum bilirubin indirek.
Jika nilai sangat melebihi kadar ini, jika fototerapi tidak berhasil mengurangi kadar
bilirubin maksimum, atau jika ada tanda-tanda kern ikterus, transfusi tukar merupakan
indikasi. Jadi jika ada tanda-tanda kern ikterus selama evaluasi atau pengobatan, pada kadar
bilirubin berapapun, maka transfusi tukar darurat harus dilakukan2.
- Melakukan pemeriksaan kadar bilirubin pada semua bayi baru lahir sebelum
meninggalkan Rumah Sakit.
- Kontrol bayi baru lahir ke dokter dalam jangka waktu 24-48 jam setelah meninggalkan
Rumah Sakit.
- Meningkatkan pengetahuan orang tua tentang ikterus5.

Tabel 1.
Kadar bilirubin serum indirek maksimum yang disarankan pada bayi preterm.

Berat Badan Lahir

Tidak Ada Komplikasi

Ada Komplikasi*

(g/dL)

(g/dL)

<>

12-13

10-12

1000-1250

12-14

10-12

1251-1499

14-16

12-14

1500-1999

16-20

15-17

2000-2500

20-22

18-20

(gram)

*Komplikasi meliputi asfiksia perinatal, asidosis, hipoksia, hipotermia, hipoalbuminemia, meningitis, PIV,
hemolisis, hipoglikemia, atau tanda-tanda kern ikterus.

Tabel 2.
Srategi pengobatan terhadap hiperbilirubinemia indirek pada bayi cukup bulan yang sehat
tanpa hemolisis.

Umur

Fototerapi

(Jam)

(g/dL)

Fototerapi &

Transfusi Tukar

Persiapan

Jika Fototerapi

Transfusi Tukar*

Gagal

(g/dL)

(g/dL)

<>

**

**

**

24-48

15-18

25

20

49-72

18-20

30

25

> 72

20

30

25

> 2 minggu

***

***

***

* Jika bilirubin awal yang terpresentasi tinggi, fototerapi yang intensif harus dimulai dan persiapan untuk
transfusi tukar dilakukan. Jika fototerapi gagal mengurangi kadar bilirubuin sampai ke kadar yang tercatat
pada kolom sebelah kanan, mulailah transfusi tukar.
** Ikterus pada umur 24 jam tidak tampak pada bayi sehat.
*** Ikterus mendadak muncul pada umur 2 minggu atau berlanjut sesudah umur 2 minggu dengan kadar
hiperbilirubinemia yang berarti; untuk membenarkan pemberian terapi maka harus diamati secara rinci,
karena ikterus ini paling mungkin disebabkan etiologi yang sudah ada seperti atresia biliaris, galaktosemia,
hipotyiroidisme, atau hepatitis neonatus.

BAB III
KESIMPULAN
Kern ikterus merupakan suatu sindroma kerusakan otak yang diakibatkan oleh tingginya
kadar bulirubin sehingga bersifat toksik terhadap otak, ditandai dengan athetoid cerebral
palsy, gangguan pendengaran hingga ketulian, gangguan penglihatan, dan mental retardasi.
Kern ikterus timbul terutama pada bayi-bayi ikterus yang tidak ditangani dengan baik.
Penanganan ikterus harus mengikutsertakan semua aspek secara menyeluruh , mulai dari

peran orang tua, tenaga medis, maupun sarana kesehatan dalam rangka mencegah
timbulnya kern ikterus serta rehabilitasi pasca kern ikterus.

DAFTAR PUSTAKA
1. Abdurachman Sukadi, Ali Usman, Syarief Hidayat Efendi. 2002. Ikterus
Neonatorum.

Perinatologi.

Bandung.

Bagian/SMF

Ilmu

Kesehatan

Anak

FKUP/RSHS. 64-84.
2. Behrman, Kliegman, Jenson. 2004. Kernicteru. Textbook of Pediatrics. New Yorkl.
17th edition. Saunders. 596-598.
3. Garna Herry, dkk. 2000. Ikterus Neonatorum. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 97103
4. http://rarediseases.about.com/cs/kernicterus/a/090703.htm
5. http://www.cdc.gov/ncbddd/dd/kernicterus.htm
6. http://www.kafemuslimah.com/article_detail.php?id=540
7. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0603/21/hikmah/konsultasi.htm
8. http://adam.about.com/surgery/100018.htm#
9. http://www.ijppediatricsindia.org/article.asp?issn=0019-5456;year=2005
10. http://jama.ama-assn.org/cgi/content/full/286/3/299

Senin, 07 Juni 2010


HiperBilirubinemia
Sebelum membahas Hiperbilirubinemia, maka perlu diketahui dulu tentang
ikterus pada bayi. Karena itu merupakan salah satu tanda Hiperbilirubinemia yang
dapat diketahui oleh seorang perawat sebelum dilakukan pemeriksaan penunjang.
A. Definisi
1. Ikterus
Adalah perubahan warna kuning pada kulit, membrane mukosa, sclera dan
organ lain yang disebabkan oleh peningkatan kadar bilirubin di dalam darah dan
ikterus sinonim dengan jaundice.
2. Ikterus Fisiologis
Ikterus fisiologis menurut Tarigan (2003) dan Callhon (1996) dalam Schwats
(2005) adalah ikterus yang memiliki karakteristik sebagai berikut:

Timbul pada hari kedua ketiga

Kadar bilirubin indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg %

pada neonatus cukup bulan dan 10 mg % per hari pada kurang bulan

Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg % perhari

Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg %

Ikterus hilang pada 10 hari pertama

Tidak mempunyai dasar patologis

3. Ikterus Pathologis/ hiperbilirubinemia


Ikterus

patologis/hiperbilirubinemia

adalah

suatu

keadaan

dimana

kadar

konsentrasi bilirubin dalam darah mencapai nilai yang mempunyai potensi untuk
menimbulkan kern ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik, atau
mempunyai

hubungan

dengan

keadaan

yang

patologis.

Ikterus

yang

kemungkinan menjadi patologis atau hiperbilirubinemia dengan karakteristik


sebagai berikut :
a. Menurut Surasmi (2003) bila :

Ikterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran

Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg % atau > setiap 24 jam

Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg % pada neonatus <>

Ikterus disertai proses hemolisis


(inkompatibilitas darah, defisiensi enzim G6PD dan sepsis)

Ikterus disertai berat lahir <>


b. Menurut tarigan (2003), adalah :

Suatu keadaan dimana kadar bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai
yang mempunyai potensi untuk menimbulkan Kern Ikterus kalau tidak
ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan
yang patologis. Brown menetapkan hiperbilirubinemia bila kadar bilirubin
mencapai 12 mg % pada cukup bulan, dan 15 mg % pada bayi yang kurang
bulan. Utelly menetapkan 10 mg % dan 15 mg %.
4. Kern Ikterus
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak.
Kern Ikterus ialah ensefalopati bilirubin yang biasanya ditemukan pada
neonatus cukup bulan dengan ikterus berat (bilirubin lebih dari 20 mg %) dan
disertai penyakit hemolitik berat dan pada autopsy ditemukan bercak bilirubin
pada otak. Kern ikterus secara klinis berbentuk kelainan syaraf spatis yang
terjadi secara kronik.
B. Jenis Bilirubin
Menuru Klous dan Fanaraft (1998) bilirubin dibedakan menjad dua jenis yaitu:
1. Bilirubin tidak terkonjugasi atau bilirubin indirek atau bilirubin bebas yaitu
bilirubin tidak larut dalam air, berikatan dengan albumin untuk transport dan
komponen bebas larut dalam lemak serta bersifat toksik untuk otak karena bisa
melewati sawar darah otak.
2. bilirubin terkonjugasi atau bilirubin direk atau bilirubin terikat yaitu bilirubin larut
dalam air dan tidak toksik untuk otak.
C. Etiologi
Etiologi hiperbilirubin antara lain :
1. Peningkatan produksi

Hemolisis, misalnya pada inkompalibilitas yang terjadi bila terdapat


ketidaksesuaian
golongan darah dan anak pada penggolongan rhesus dan ABO.

Perdarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran

Ikatan bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolic yang


terdapat pada
bayi hipoksia atau asidosis

Defisiensi G6PD (Glukosa 6 Phostat Dehidrogenase)

Breast milk jaundice yang disebabkan oleh kekurangannya pregnan 3 (alfa), 20


(beta),
diol (steroid)

Kurangnya enzim glukoronil transferase, sehingga kadar bilirubin indirek


meningkat misalnya pada BBLR

Kelainan congenital

2. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya


hipoalbuminemia

atau

karena

pengaruh

obat-obat

tertentu

misalnya

sulfadiazine.
3. Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau
toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti infeksi,
toksoplasmasiss, syphilis.
4. Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ektra hepatic.

5. Peningkatan sirkulasi enterohepatik, misalnya pada ileus obstruktif.


D. Patofisiologi
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan.
Keadaan yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban
bilirubin pada sel hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat
peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia.
Gangguan pemecahan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan
kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang,
atau pada bayi hipoksia, asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan
kadar bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar atau neonatus
yang mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan
tubuh. Toksisitas terutama ditemukan ada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut
dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek
patologis pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus darah otak. Kelainan
yang terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa
kelainan pada syaraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin
indirek lebih dari 20 mg/dl.
Mudah tidaknya kadar bilirubin melewati darah otak ternyata tidak hanya
tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin indirek akan mudak melewati darah
otak apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir Rendah, hipoksia, dan
hipolikemia.
E. Tanda dan Gejala
Menurut Surasmi (2003) gejala hiperbilirubinemia dikelompokkan menjadi :
a. Gejala akut : gejala yang dianggap sebagai fase pertama kernikterus pada
neonatus adalah letargi, tidak mau minum dan hipotoni.

b. Gejala kronik : tangisan yang melengking (high pitch cry) meliputi hipertonus
dan opistonus (bayi yang selamat biasanya menderita gejala sisa berupa
paralysis serebral dengan atetosis, gengguan pendengaran, paralysis sebagian
otot mata dan displasia dentalis
Sedangkan menurut Handoko (2003) gejalanya adalah warna kuning (ikterik) pada
kulit, membrane mukosa dan bagian putih (sclera) mata terlihat saat kadar
bilirubin darah mencapai sekitar 40 mol/l.

F. Komplikasi
Terjadi kern ikterus yaitu keruskan otak akibat perlangketan bilirubin indirek
pada otak. Pada kern ikterus gejala klinik pada permulaan tidak jelas antara lain :
bayi tidak mau menghisap, letargi, mata berputar-putar, gerakan tidak menentu
(involuntary movements), kejang tonus otot meninggi, leher kaku, dn akhirnya
opistotonus.
G. Pemeriksaan Penunjang
Bila tersedia fasilitas, maka dapat dilakukan pemeriksaan penunjang sebagai
berikut :

Pemeriksaan golongan darah ibu pada saat kehamilan dan bayi pada saat
kelahiran

Bila ibu mempunyai golongan darah O dianjurkan untuk menyimpan darah tali
pusat pada
setiap persalinan untuk pemeriksaan lanjutan yang dibutuhkan

Kadar bilirubin serum total diperlukan bila ditemukan ikterus pada 24 jam
pertama kelahiran

H. Penilaian Ikterus Menurut Kramer

Ikterus dimulai dari kepala, leher dan seterusnya. Dan membagi tubuh bayi
baru lahir dalam lima bagian bawah sampai tumut, tumit-pergelangan kaki dan
bahu pergelanagn tangan dan kaki seta tangan termasuk telapak kaki dan telapak
tangan.
Cara pemeriksaannya ialah dengan menekan jari telunjuk ditempat yang tulangnya
menonjol seperti tulang hidung, tulang dada, lutut dan lain-lain. Kemudian
penilaian kadar bilirubin dari tiap-tiap nomor disesuaikan dengan angka rata-rata
didalam gambar di bawah ini :
Tabel hubungan kadar bilirubin dengan ikterus

Derajat

Daerah Ikterus

Perkiraan kadar Bilirubin


(rata-rata)

Ikterus

Aterm

Prematur

Kepala sampai leher

5,4

Kepala, badan sampai


dengan umbilicus

8,9

9,4

Kepala, badan, paha,


sampai dengan lutut

11,8

11,4

Kepala, badan,
ekstremitas sampai
dengan tangan dan
kaki

15,8

13,3

Kepala, badan, semua


ekstremitas sampai
dengan ujung jari

I. Diagnosis Banding Ikterus

Anamnesis

Timbul saat
lahir hari ke-2

Riwayat
ikterus pada
bayi
sebelumnya

Riwayat
penyakit
keluarga:
ikterus,
anemia,
pembesaran
hati,pengangk
atan limfa,
defisiensi
G6PD

Pemeriksa
an

Pemeriksaa
n
penunjang
atau
diagnosis
lain yang
sudah
diketahui

Kemungkin
an
diagnosis

Sangat
ikterus

Hb<13>8
mg/dl pada
hari ke-1
atau kadar
Bilirubin>13
mg/dl pada
hari ke-2
ikterus/kadar
bilirubin
cepat

Ikterus
hemolitik
akibat
inkompatibilit
as darah

Sangat
pucat

Bila ada
fasilitas:
Coombs tes
positif
Defisiensi
G6PD
Inkompatibilit
as golongan
darah ABO
atau Rh

Timbul saat
lahir sampai

Sangat
ikterus

dengan hari
ke2 atau lebih

Tanda
infeksi/seps
is: malas
minum,
kurang
aktif, tangis
lemah, suhu
tubuh
abnormal

Riwayat infeksi
maternal

Timbul pada
hari 1

Riwayat ibu
hamil
pengguna obat

Ikterus hebat
timbul pada
hari
ke2

Ensefalopati
timbul

Lekositosis,
leukopeni,
trombositope
nia

Ikterus

Sangat
ikterus,
kejang,
postur
abnormal,
letragi

Ikterus
diduga
karena
infeksi
berat/sepsis

Ikterus
akibat obat

Bila ada
fasilitas:
Hasil tes
Coombs
positif

Ensefalopati

pada hari ke
3-7

Ikterus hebat
yang tidak
atau
terlambat
diobati

Ikterus
menetap
setelah

Ikterus
berlangsung
> 2 minggu
pada bayi
cukup bulan
dan > 3
minggu
pada bayi
kurang
bulan

Faktor
pendukung:
Urine gelap,
feses pucat,
peningkatan
bilirubin
direks

Ikterus
berkepenjang
an
(Prolonged
Ikterus)

usia 2 minggu
Bayi
tampak
sehat

Timbul hari
ke2 atau lebih

Bayi berat
lahir rendah

Ikterus pada
bayi
prematur

J. Penatalaksanaan
Berdasarkan pada penyebabnya maka manajemen bayi dengan hiperbilirubinemia
diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek dari hiperbilirubinemia.
Pengobatan mempunyai tujuan :
1. Menghilangkan anemia
2. Menghilangkan antibody maternal dan eritrosit teresensitisasi

3. Meningkatkan badan serum albumin

1. Menurunkan serum bilirubin


Metode terapi hiperbilirubinemia meliputi : fototerapi, transfuse pangganti,
infuse albumin dan therapi obat.
a. Fototherapi
Fototerapi

dapat

digunakan

sendiri

atau

dikombinasi

dengan

transfuse

pengganti untuk menurunkan bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya dengan


intensitas yang tinggi ( a bound of fluorescent light bulbs or bulbs in the blue light
spectrum) akan menurunkan bilirubin dalam kulit. Fototerapi menurunkan kadar
bilirubin dengan cara memfasilitasi ekskresi bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini
terjadi jika cahaya yang diabsorpsi jaringan merubah bilirubin tak terkonjugasi
menjadi dua isomer yang disebut fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan
ke pembuluh darah melalui mekanisme difusi. Di dalam darah fotobilirubin
berikatan dengan albumin dan di kirim ke hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke
empedu dan di ekskresikan kedalam duodenum untuk di buang bersama feses
tanpa proses konjugasi oleh hati. Hasil fotodegradasi terbentuk ketika sinar
mengoksidasi bilirubin dapat dikeluarkan melalui urine.
Fototerapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar bilirubin,
tetapi

tidak

dapat

mengubah

penyebab

kekuningan

dan

hemolisis

dapat

menyebabkan anemia.
Secara umum fototerapi harus diberikan pada kadar bilirubin indirek 4-5 mg/dl.
Noenatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus difototerapi
dengan konsentrasi bilirubin 5 mg/dl. Beberapa ilmuwan mengarahkan untuk
memberikan fototerapi profilaksasi pada 24 jam pertama pada bayi resiko tinggi
dan berat badan lahir rendah.
Tabel Terapi

Berikut tabel yang menggambarkan kapan bayi perlu menjalani fototerapi dan
penanganan medis lainnya, sesuai The American Academy of Pediaatrics (AAP)
tahun 1994
Bayi lahir cukup bulan (38 42 minggu)

Usia
bayi
(jam)

Pertimbangan
terapi sinar

Terapi
sinar

Transfuse
tukar bila
terapi
sinar
intensif
gagal

Transfuse
tukar dan
terapi sinar
intensif

Kadar bilirubin

Indirek
serum

Mg/dl

25 -48

>9

>12

>20

>25

49 72

>12

>15

>25

>30

>72

>15

>17

>25

>30

<24

Bayi lahir kurang bulan perlu fototerapi jika:

Usia (jam)

Berat lahir
<>

BL 1500
2000 g kadar
bilirubin

BL >2000 g
kadar
bilirubin

<>

>4

>4

>5

25 48

>5

>7

>8

49 72

>7

>8

> 10

> 72

>8

>9

> 12

Panduan terapi sinar berdasarkan kadar bilirubin serum


Saat timbul
ikterus

Bayi cukup
bulan sehat
kadar bilirubin,
mg/dl: (mol/l)

Bayi denagn
factor resiko
(kadar bilirubin,
mg/dl:mol/l)

Hari ke 1

Setiap terlihat
ikterus

Setiap terlihat
ikterus

Hari ke 2

15 (260)

13 (220)

Hari ke 3

18 (310)

16 (270)

Hari ke 4 dst

20 (340)

17 (290)

b. Transfusi Pengganti
Transfuse pengganti atau imediat didindikasikan adanya faktor-faktor :
1. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu
2. Penyakit hemolisis berat pada bayi baru lahir
3. Penyakit hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama
4. Kadar bilirubin direk labih besar 3,5 mg/dl di minggu pertama
5. Serum bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl pada 48 jam pertama
6. Hemoglobin kurang dari 12 gr/dl
7. Bayi pada resiko terjadi kern Ikterus

Transfusi pengganti digunakan untuk:


1. Mengatasi anemia sel darah merah yang tidak susceptible (rentan) terhadap
sel darah merah terhadap antibody maternal

2. Menghilangkan sel darah merah untuk yang tersensitisasi (kepekaan)


3. Menghilangkan serum ilirubin
4. Meningkatkan albumin bebas bilirubin dan meningkatkan keterikatan dangan
bilirubin
Pada Rh Inkomptabilitas diperlukan transfuse darah golongan O segera (kurang
dari 2 hari), Rh negative whole blood. Darah yang dipilih tidak mengandung
antigen A dan antigen B. setiap 4 -8 jam kadar bilirubin harus di cek.
Hemoglobin harus diperiksa setiap hari sampai stabil
c. Therapi Obat
Phenobarbital

dapat

menstimulus

hati

untuk

menghasilkan

enzim

yang

meningkatkan konjugasi bilirubin dan mengekskresikannya. Obat ini efektif baik


diberikan pada ibu hamil untuk beberapa hari sampai beberapa minggu
sebelum melahirkan. Penggunaan Phenobarbital pada post natal masih menjadi
pertentangan karena efek sampingnya (letargi). Coloistrin dapat mengurangi
bilirubin dengan mengeluarkannya lewat urine sehingga menurunkan siklus
enterohepatika

Anda mungkin juga menyukai