Anestesi
Anestesi
A. Pendahuluan
Setiap Tahun di Amerika Serikat, lebih dari 250.000 orang meninggal tiba-tiba
oleh karena berbagai bentuk penyakit jantung. Oleh karena berbagai kemajuaan yang
terjadi selama 30 tahun belakangan ini dalam hal mengidentifikasi faktor-faktor
penyebab kematian secara tiba-tiba, meresusitasi korban yang henti jantung, serta
mengatasi berbagai aritmia dengan antiaritmia yang spesifik, angka kematian tiba-tiba
tersebut menurun secara drastis. Tetapi seiring dengan peningkatan jumlah lansia, henti
jantung juga masih menjadi masalah yang penting.1
Evaluasi dan pengobatan efektif terhadap pasien yang memiliki resiko henti
jantung membutuhkan pemahaman terhadap patomekanisme terjadinya henti jantung
tersebut sehingga strategi dalam pencegahan primer serta tehnik dan modalitas
penanganan dalam pencegahan sekunder dapat dipersiapkan untuk memperoleh hasil
yang lebih baik.2
Kasus Henti jantung mungkin jarang/ tidak selalu didapatkan setiap hari sebagai
seorang praktisi kesehatan. Akan tetapi setiap anggota praktisi kesehatan harus
menguasai dan kompeten dalam melakukan basic life support terhadap henti jantung
yang merupakan kasus Life-Threatening (mengancam jiwa).2
B. Definisi
Cardiopulmonary arrest adalah penghentian mendadak fungsi mekanik jantung
dan paru-paru, yang fungsinya dapat kembali dengan penatalaksanaan segera tetapi
juga dapat mengarah ke kematian jika tidak segera di terapi.Keberhasilan penanganan
tersebut sangat bergantung kepada mekanisme berhentinya jantung, kondisi, serta
seberapa cepat henti jantung tersebut ditangani. Henti jantung ini dapat disebabkan oleh
Fibrilasi Ventrikel, Takikardi ventrikel, asistol, bradikardi, Pulseless electrical activity,
dan faktor mekanik.3
Sejak
menetapkan
dengan
tahun
1966,
American
Heart
Assocation
telah
akronim
A-B-C
yaitu membuka
jalan
napas
(AHA)
(Circulation).
Namun
ternyata
sekuens
korban
(Airway),
memberikan
kompresi
awal
untuk
sekuens
RJP
dari
A-B-C
menjadi
C-A-B,
sehingga
Pengenalan segera henti jantung tiba-tiba (suddent cardiact arrest) didasarkan pada
pemeriksaan kondisi unresponsive dan tidak adanya napas normal (seperti,
korban tidak bernapas atau hanya gasping/terengah-engah). Penolong tidak boleh
menghabiskan waktu lebih dari 10 detik untuk melakukan pemeriksaan
nadi. Jika nadi tidak dapat dipastikan dalam 10 detik, maka dianggap tidak
ada nadi dan RJP harus dimulai atau memakai AED (automatic external
defibrilator) jika tersedia.
2
Look, Listen and Feel telah dihilangkan dari algoritme bantuan hidup dasar
Kecepatan kompresi dada 100 kali per menit
Penolong terus melakukan RJP hingga terjadi return of spontaneous circulation
(ROSC)
Kedalaman kompresi untuk korban dewasa telah diubah dari 1 - 2 inchi
kedalaman
kompresi
diberikan
dengan
adekuat
Otak dan jantung memiliki tingkat yang relatif tinggi konsumsi oksigen (4mls/min
dan 23mls/min masing-masing) dan pengiriman O2 kepada mereka akan jatuh di bawah
tingkat kritis selama serangan jantung/henti jantung. Dalam kasus fibrilasi ventrikel,
metabolisme miokard berlanjut pada tingkat normal namun metabolism oksigen
menghasilkan zat lemas dan pasokan energi fosfat yang tinggi. Asidosis kemudian muncul
sebagai hasil dari metabolisme anaerob meningkat dan akumulasi karbon dioksida di
jaringan.2
Tingkat asidosis berkembang di otak, bahkan dengan dukungan bantuan dasar, akan
mengancam kelangsungan hidup jaringan dalam waktu 5 - 6 menit. Selain itu, di jantung,
bahkan setelah pemulihan irama perfusi, meminimalkan kontraktilitas asidosis, masih
mempunyai resiko yang tinggi untuk terjadinya aritmia.2
Setelah jantung mendapat respon yang berat, katekolamin dilepaskan dalam jumlah
besar, bersama-sama dengan kortikosteroid adrenal, hormon anti-diuretik dan tanggapan
hormon lainnya. Efek merugikan yang mungkin timbul dari perubahan ini termasuk
hiperglikemia, hipokalemia, tingkat laktat meningkat dan kecenderungan aritmia lebih
lanjut.2
2. Penyebab henti jantung
Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel atau takikardi tanpa
denyut (80-90%), kemudian disusul oleh ventrikel asistol (+10%) dan terakhir
disosiasi
oleh
elektromekanik (+5%). Dua jenis henti jantung yang terakhir lebih sulit
normal akan menyebabkan kortek serebri rusak menetap, walaupun setelah itu dapat
membuat jantung berdenyut kembali.3
Henti jantung kebanyakan dialami oleh orang yang telah mempunyai penyakit
jantung sebelumnya. Diantaranya pada kelainan:
3. Penyakit jantung koroner
Penyakit jantung koroner pada mulanya disebabkan oleh penumpukan lemak pada
dinding dalam pembuluh darah jantung (pembuluh koroner), dan hal ini lama kelamaan
diikuti oleh berbagai proses seperti penimbunan jarinrangan ikat, perkapuran, pembekuan
darah, dll.,yang kesemuanya akan mempersempit atau menyumbat pembuluh darah
tersebut. Hal ini akan mengakibatkan otot jantung di daerah tersebut mengalami
kekurangan aliran darah dan dapat menimbulkan berbagai akibat yang cukup serius,
dari angina pectoris (nyeri dada) sampai infark miokard, yang dalam masyarakat di kenal
dengan serangan jantung yang dapat menyebabkan kematian mendadak.2
4. Kelainan vaskular
Terjadi penyempitan pembuluh darah, jantung berusaha untuk memberikan suplai
yang cukup pada tubuh, sehingga bekerja lebih keras namun aliran balik yang dihasilkan
hanya sedikit sehingga dapat menyebabkan kerusakan pada sel otot jantung. Kemudian
pada serangan jantung (MCI) pembuluh darah koroner jantung terhambat oleh
penyumbatan, sehingga sangat mungkin terjadinya fibrilasi ventrikel dan berujung pada
henti jantung.3
5. Penyakit jantung non iskemik 3
5.1 Gagal Jantung Kongesti
Pada penyakit jantung kongesti permasalahannya terdapat pada katup jantung,
seperti aorta stenosis juga dapat meningkatkan resiko henti jantung tiba-tiba.
5
5.2 Kardiomiopati
Merupakan penyakit jantung dimana otot jantung tidak berkontraksi, paling sering
diakibatkan oleh iskemik, dimana bagian dari otot jantung tidak mendapatkan suplai darah
yang cukup untuk jangka waktu lama dan tidak lagi dapat memompa darah secara efisien.
Orang-orang yang ejeksi fraksi (jumlah darah yang dipompa keluar dari jantung dengan
setiap denyut jantung) kurang dari 30% berada pada risiko lebih besar untuk kematian
mendadak (fraksi ejeksi normal adalah di atas 50%). Pada beberapa orang, cardiomyopathy
mungkin berkembang tanpa adanya penyakit jantung iskemik.
6. Kelainan kongenital
6
Beberapa orang lahir dengan system konduksi listrik jantung yang lemah , dimana
memiliki resiko tinggi untuk mengalami kerusakan
jantungnya. Seperti pada Wolff-Parkinson-White syndrome dan ada juga yang mengalami
gangguan pada struktur nya seperti yang didapatkan pada Marfan syndrome.
7. Faktor lain
Banyak hal lain yang dapat menyebabkan henti jantung, seperti :
Pulmonary emboli, emboli yang berasal dari perifer dapat mengikuti sirkulasi
sentral,
Faktor risiko pada kelainan pembekuan darah termasuk pembedahan
Imobilisasi yang lama (misalnya, rumah sakit, naik mobil panjang atau perjalanan
pesawat )
Trauma, atau penyakit tertentu seperti kanker
Trauma tumpul dada, seperti pada kecelakaan kendaraan bermotor, dapat mengakibatkan
fibrilasi ventrikel dan akhirnya menyebabkan henti jantung, cacat jantung bawaan,
tenggelam, tersengat listrik, henti napas, tersedak. Sedangkan resiko untuk terjadinya henti
jantung yaitu pada orang-orang dengan penyakit jantung koroner, cacat jantung bawaan,
ketidakseimbangan elektrolit, merokok, diabetes,penguna narkoba seperti kokain dan
methamphetamine.
2.6 Penatalaksanaan
Ketika mendekati seorang pasien yang tampaknya telah mengalami serangan
jantung penyelamat harus memeriksa bahwa tidak ada bahaya untuk dirinya sendiri
sebelum melanjutkan untuk merawat pasien. Meskipun hal ini jarang muncul di rumah
sakit, pasien mungkin menderita serangan jantung akibat guncangan listrik atau zat
beracun. Dalam situasi penyelamat mungkin dalam bahaya yang cukup besar, dan harus
memastikan bahwa bahaya apapun diambil rekening dan dieliminasi sebagai risiko.4
2.6.1 Resusitasi
Basic Life Support (BLS) membebaskan jalan napas, diikuti dengan ventilasi bantuan
dan ketersediaan dari sirkulasi. Semua tanpa bantuan peralatan khusus. Tujuan utama
Indikasi
8
a) Henti Napas
Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak hal,
misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi asap/uap/gas,
obstruksi jalan napas oleh benda asing, tesengat listrik, tersambar petir,
serangan infark jantung, radang epiglotis, tercekik (suffocation), trauma dan
lain-lainnya4.
Pada awal henti napas, jantung masih berdenyut, masih teraba nadi, pemberian
O2 ke otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai beberapa menit. Kalau
henti napas mendapat pertolongan segera maka pasien akan teselamatkan
hidupnya dan sebaliknya kalau terlambat akan berakibat henti jantung4.
b) Henti Jantung
Henti jantung primer (cardiac arrest) ialah ketidak sanggupan curah jantung
untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara
mendadak dan dapat balik normal, kalau dilakukan tindakan yang tepat atau
akan menyebabkan kematian atau kerusakan otak. Henti jantung terminal akibat
usia lanjut atau penyakit kronis tentu tidak termasuk henti jantung4.
Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel atau takikardi
tanpa denyut (80-90%), kemudian disusul oleh ventrikel asistol (+10%) dan
terakhir oleh disosiasi elektro-mekanik (+5%). Dua jenis henti jantung yang
terakhir lebih sulit ditanggulangi karena akibat gangguan pacemaker jantung.
Fibirilasi ventrikel terjadi karena koordinasi aktivitas jantung menghilang. Henti
jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba (karotis femoralis, radialis)
disertai kebiruan (sianosis) atau pucat sekali, pernapasan berhenti atau satu-satu
(gasping, apnu), dilatasi pupil tak bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien
tidak sadar5.
Pengiriman O2 ke otak tergantung pada curah jantung, kadar hemoglobin (Hb),
saturasi Hb terhadap O2 dan fungsi pernapasan. Iskemi melebih 3-4 menit pada
suhu normal akan menyebabkan kortek serebri rusak menetap, walaupun setelah
itu dapat membuat jantung berdenyut kembali4.
D. Fase CPCR
9
10
E. Prosedur RJPO
Sebelum melakukan tahapan resusitasi jantung paru, harus terlebih
dahulu dilakukan prosedur awal pada korban/pasien, yaitu: 6
a. Danger (Bahaya)
Memastikan keamanan baik penolong, korban maupun lingkungan.
Biasa disingkat dengan 3A (Tiga Aman). Keamanan penolong harus lebih
diutamakan sebelum mengambil keputusan untuk menolong korban agar
penolong tidak menjadi korban kedua atau korban berikutnya.
b. Response
Memastikan keadaan pasien dengan memanggil nama/sebutan yang
umum dengan keras seperti Pak! / Bu! / Mas! / Mbak! disertai menyentuh atau
menggoyangkan
pergerakan
bahu
yang
dengan
lembut
berlebihan. Memanggil
dan
mantap untuk
korban
juga
dapat
mencegah
disertai
dengan memberikan instruksi sederhana seperti Pak, buka matanya!, Pak, siapa
namanya pak?. Prosedur ini disebut sebagai teknik touch and talk. Hal ini
cukup untuk membangunkan orang tidur atau merangsang seseorang untuk
bereaksi.7
Jika tidak ada respon, kemungkinan pasien tidak sadar. Jika pasien
berespon atau terbangun, tinggalkan pada posisi seperti pada saat ditemukan dan
hindari kemungkinan resiko cedera lain yang bisa terjadi. Analisa kebutuhan
perlunya bantuan dari tim gawat darurat. Jika sendirian, tinggalkan pasien
sementara dan meminta bantuan, kemudian lakukan observasi dan kaji ulang
secara reguler.
11
segera meminta
tidak
sadar
bantuan
dengan
untuk mengaktifkan
cara
berteriak Tolong!,
emergency
medical
ada
service
(EMS).
d. Pengaturan Posisi
1) Posisi Pasien
Pasien terlentang pada permukaan keras dan rata. Jika ditemukan tidak
dalam posisi terlentang, terlentangkan pasien dengan teknik log roll,
yaitu digulingkan secara bersamaan kepala, leher dan punggung.
2) Posisi Penolong 7
Berlutut sejajar dengan bahu pasien agar dapat memberikan resusitasi
jantung paru (RJP) secara efektif tanpa harus mengubah posisi atau
menggeser lutut.
12
tangan
(jari
13
telunjuk
dan
trakhea, kemudian kedua jari digeser kira 2 3 cm ke sisi kanan atau kiri
(sebaiknya sisi yang terdekat dengan penolong). Jika dalam 10 detik nadi
karotis sulit dideteksi, kompresi dada harus segera dimulai.
sebagai mekanisme
sering
untuk
menilai
mengalami kesulitan
henti
mendeteksi
jantung
nadi,
karena
sehingga
14
Dengan posisi badan tegak lurus, penolong mekan dada lurus ke bawah
secara
kedalaman
adekuat.
AHA
cepat
dalam
(push
and
hard) dengan
rasio 30 : 2 (1
itu,
kompresi
yang
dilakukan
memungkinkan
terjadinya
complete chest recoil atau pengembangan dada seperti semula setelah kompresi
sebelum memulai kompresi kembali. Dari tindakan kompresi yang benar
hanya akan mencapai tekanan sistolik 6080 mmHg, dan diastolik yang sangat
rendah, sedangkan curah jantung (cardiac output) hanya 25% dari curah
jantung normal. Selang waktu mulai dari menemukan pasien dan dilakukan
prosedur dasar sampai dilakukannya tindakan bantuan sirkulasi (kompresi
dada) tidak boleh melebihi 30 detik. 6
b)
Airway
15
Penolong
memastikan
jalan
napas
bersih
dan
terbuka
sehingga
memungkinkan pasien dapat diberi bantuan napas, sehingga langkah ini terdiri atas
dua tahapan, yaitu:
1) Membersihkan jalan napas
- Membuka mulut dengan cara jari silang (cross finger), ibu jari diletakkan
-
Jika
ditemukan
sumbatan benda cair, bersihkan dengan teknik finger sweep (sapuan jari)
yaitu menyusuri rongga mulut dengan dua jari, bisa dilapisi dengan kas aatau
potongan
kain
untuk
menyerap
cairan.
Jika
ditemukan sumbatan
16
Menggunakan head tilt-chin lift untuk membuka jalan napas pada pasien yang
tidak ada kecurigaan trauma kepala dan leher. Sekitar 0,12-3,7% mengalami
cedera spinal dan risiko cedera spinal meningkat jika pasien mengalami cedera
di
tiap
sisi
kepala
pasien)
dari
immobilization devices karena dapat mengganggu jalan napas, namun alat ini
bermanfaat mempertahankan kesejajaran spinal selama transportasi.
c) Breathing
Bantuan napas dapat dilakukan melalui mulut ke mulut, mulut ke
hidung atau mulut
dengan
ke
cara memberikan
stoma
(lubang
hembusan
yang
napas
dibuat
sebanyak
pada
2
kali
tenggorokan)
hembusan.
Waktu yang dibutuhkan untuk tiap kali hembusan adalah 1,52 detik dan volume
udara yang dihembuskan adalah 400 -600 ml (10 ml/kg) atau sampai dada
pasien/korban tampak mengembang. Jika mengalami kesulitan untuk memberikan
hembusan napas yang efektif, periksa apakah masih ada sumbatan di mulut pasien
serta perbaiki posisi tengadah kepala dan angkat dagu pasien/korban. 7
Pemberian bantuan pernapasan, terdiri atas 3 (tiga) tekinik yaitu:
17
saat
dilakukan
hembusan napas
harus
dapat menutup seluruh mulut pasien/korban dengan baik agar tidak terjadi
kebocoran saat menghembuskan napas dan juga penolong harus menutup lubang
hidung pasien/korban dengan ibu jari dan jari telunjuk untuk mencegah udara keluar
kembali dari hidung.
kesulitan
pernapasan
maka
harus
dilakukan
bantuan
melanjutkan
kembali
pemberian
Jika tidak ada nadi karotis, penolong kembali melanjutkan kompresi dan
Pemberian bantuan napas (ventilasi) sama dengan rekomendasi AHA 2005, yaitu
a. Pemberian dilakukan sesuai tidal volume
b. Setelah alat intubasi terpasang pada 2 orang penolong : selama
pemberian RJP, ventilasi diberikan tiap 8-10 x/menit tanpa usaha
19
sinkronisasi
maupun
atau tidaknya napas pada pasien tidak sadar karena jalan napas tidak
terbuka atau karena pasien mengalami occasional gasping yang dapat terjadi
pada beberapa menit pertama setelah henti jantung.
-
e) Defibrilation
Defibrilation atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan
istilah defibrilasi adalah suatu terapi kejut jantung dengan memberikan energi
listrik. Hal ini dilakukan jika penyebab henti jantung (cardiac arrest) adalah
kelainan irama jantung yang disebut dengan Fibrilasi Ventrikel. Dimasa
sekarang ini sudah tersedia alat untuk defibrilasi (defibrilator) yang dapat
digunakan oleh orang awam yang disebut Automatic External Defibrilation,
dimana
alat
tersebut dapat
dilakukan defibrilasi atau tidak, jika perlu dilakukan defibrilasi alat tersebut
dapat memberikan tanda kepada penolong untuk melakukan defibrilasi atau
melanjutkan bantuan napas dan bantuan sirkulasi.6
G. Bantuan Hidup Lanjut
Terdiri atas Bantuan hidup dasar ditambah langkah-langkah:
D (Drugs): Pemberian obat-obatan.
Obat-obat tersebut dibagi menjadi 2 golongan:
1) Penting:
a. adrenalin : Mekanisme kerja merangsang reseptor alfa dan beta, dosis yang
diberikan 0,5 1 mg iv diulang setelah 5 menit sesuai kebutuhan dan yang
perlu diperhatikan dapat meningkatkan pemakaian O2 myocard, takiaritmi,
fibrilasi ventrikel5.
b. Natrium Bicarbonat: Penting untuk melawan metabolik asidosis, diberikan
iv dengan dosis awal : 1 mEq/kgBB, baik berupa bolus ataupun dalam infus
20
Mengurangi
tonus
vagus
memudahkan
konduksi
21
kira 60 kali/menit. Juga berguna untuk sinus bradikardi berat yang tidak
berhasil diatasi dengan Atropine5.
b. Propanolol: Suatu beta adrenergic blocker yang efek anti aritmianya
terbukti berguna untuk kasus-kasus takhikardi ventrikel yang berulang atau
fibrilasi ventrikel berulang dimana ritme jantung tidak dapat diatasi dengan
Lidocaine. Dosis umumnya adalah 1 mg iv, dapat diulang sampai total 3
mg, dengan pengawasan yang ketat5.
c. Kortikosteroid: Sekaranfg lebih disukai kortikosteroid sintetis (5 mg/kgBB
methyl prednisolon sodium succinate atau 1 mg/kgBB dexamethasone
fosfat) untuk pengobatan syok kardiogenik atau shock lung akibat henti
jantung. Bila ada kecurigaan edema otak setelah henti jantung, 60-100 mg
methyl prednisolon sodium succinate tiap 6 jam akan menguntungkan. Bila
ada komplikasi paru seperti pneumonia post aspirasi, maka digunakan
dan monitoring.
F: (Fibrilation Treatment)
Gambaran EKG pada Ventrikel Fibrilasi ini menunjukan gelombang listrik tidak
teratur baik amplitudo maupun frekuensinya.
Terapi definitifnya adalah syok electric (DC-Shock) dan belum ada satu obatpun yang
dapat menghilangkan fibrilasi.
H. Bantuan Hidup terus-menerus
G (Gauge) : Tindakan selanjutnya adalah melakukan monitoring terus-menerus
terutama system pernapasan, kardiovaskuler dan system saraf.
22
H (Head) :tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistim saraf dari
kerusakan lebih lanjut, sehingga dapat dicegah terjadinya kelainan neurologic yang
permanen.
H (Hipotermi) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi susunan saraf
perikemanusiaan.
I (Intensive care) :perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan ventilasi :
trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus, sonde lambung, pengukuran pH,
pCO2 bila diperlukan, dan tunjangan sirkulasi, mengendalikan kejang.
I.
Penatalaksanaan
Prinsip penanganan dari Pasien henti jantung adalah dengan melakukan Rantai
Keberlangsungan Hidup (Chain of Survival) yang terdiri dari 5 tindakan yang
merupakan suatu kesatuan yaitu :7
23
J. Prognosis
Keberhasilan dari Resusitasi yang diberikan tergantung dari seberapa cepat
resusitasi tersebut dilakukan.Prinsipnya adalah semakin cepat semakin baik. Hal ini
didasari oleh adanya 3 fase yang terjadi pada cardiac arrest : 7
1) Fase 1 (fase elektris). Fase ini berlangsung sejak munculnya henti jantung VF
hingga 5 menit setelah henti jantung. Tindakan defibrilasi awal menjadi
tindakan paling penting selama periode ini. 7
2) Fase 2 (fase sirkulasi atau hemodinamik). Fase ini berlangsung sejak 5 menit hingga
15 menit setelah henti jantung. RJP menjadi tindakan paling penting selama
periode ini, setelah itu diikuti dengan pemberian tindakan defibrilasi jika
tersedia. 7
3) Fase 3 (Fase metabolik). Fase ini berlangsung setelah 15 menit terjadinya
henti jantung. Selama fase ini, efektifitas defibrilasi dan RJP sudah menurun. 7
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Dimarco JP. Sudden Cardiac Death. In: Crawford MH, editor. Current Diagnosis
and Treatment: Cardiology. 3rd ed. Mc Graw Hill: Lange. 2009. p. 327-332
2. Colquhoun M. Cardiopulmonary resuscitation in primary care. In: Colquhoun M,
editors. ABC of Resuscitation. 5th ed. BMJ Books. 2004. p. 58-59
3. Myerburg RJ, Castellasnos A. Cardiac arrest and Sudden Cardiac Death. In Mann
DL, et all, editors. Braunwalds Heart Disease: A Textbook Of Cardiovascular
Medicine. Elsevier Saunders. 10th ed. 2015. p. 821-835
25
4. Latief S.A., 2007. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Penerbit FKUI.
Jakarta.
5. Andrey, 2008. Resusitasi Jantung Paru Pada Kegawatan Kardiovaskuler. Diakses
dari
http://yumizone.wordpress.com/2008/11/27/resusitasi-jantung-paru-pada-
kegawatan-kardiovaskuler/
6. Morris F, et all. Cardiac Arrest Rhythims. In : Morris F, et al editors. ABC of
Clinical Electrocardiography. BMJ books. Spain 2003. p. 61-65
7. Travers AH, et all. CPR Overview. American Heart Cardiopulmonary Association
Guidelines for Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. AHA journal,
2010. p. S676 S679.
26