Anda di halaman 1dari 26

CARDIORESPIRATORY ARREST

A. Pendahuluan
Setiap Tahun di Amerika Serikat, lebih dari 250.000 orang meninggal tiba-tiba
oleh karena berbagai bentuk penyakit jantung. Oleh karena berbagai kemajuaan yang
terjadi selama 30 tahun belakangan ini dalam hal mengidentifikasi faktor-faktor
penyebab kematian secara tiba-tiba, meresusitasi korban yang henti jantung, serta
mengatasi berbagai aritmia dengan antiaritmia yang spesifik, angka kematian tiba-tiba
tersebut menurun secara drastis. Tetapi seiring dengan peningkatan jumlah lansia, henti
jantung juga masih menjadi masalah yang penting.1
Evaluasi dan pengobatan efektif terhadap pasien yang memiliki resiko henti
jantung membutuhkan pemahaman terhadap patomekanisme terjadinya henti jantung
tersebut sehingga strategi dalam pencegahan primer serta tehnik dan modalitas
penanganan dalam pencegahan sekunder dapat dipersiapkan untuk memperoleh hasil
yang lebih baik.2
Kasus Henti jantung mungkin jarang/ tidak selalu didapatkan setiap hari sebagai
seorang praktisi kesehatan. Akan tetapi setiap anggota praktisi kesehatan harus
menguasai dan kompeten dalam melakukan basic life support terhadap henti jantung
yang merupakan kasus Life-Threatening (mengancam jiwa).2
B. Definisi
Cardiopulmonary arrest adalah penghentian mendadak fungsi mekanik jantung
dan paru-paru, yang fungsinya dapat kembali dengan penatalaksanaan segera tetapi
juga dapat mengarah ke kematian jika tidak segera di terapi.Keberhasilan penanganan
tersebut sangat bergantung kepada mekanisme berhentinya jantung, kondisi, serta
seberapa cepat henti jantung tersebut ditangani. Henti jantung ini dapat disebabkan oleh
Fibrilasi Ventrikel, Takikardi ventrikel, asistol, bradikardi, Pulseless electrical activity,
dan faktor mekanik.3

Sejak
menetapkan
dengan

tahun

1966,

American

Heart

Assocation

telah

pedoman resusitasi dengan urutan langkah-langkah (sekuens) BHD

akronim

A-B-C

yaitu membuka

jalan

napas

memberikan bantuan napas (Breathing) dan kemudian


dada

(AHA)

(Circulation).

Namun

ternyata

sekuens

korban

(Airway),

memberikan

kompresi

ini berdampak pada penundaan

bermakna sekitar 30 detik untuk memberikan kompresi dada lebih

awal

untuk

mempertahankan sirkulasi pada korban. Pada menit-menit awal korban/pasien


mengalami henti jantung, dalam darah pasien masih terkandung residu oksigen
dalam bentuk ikatan oksihemoglobin yang dapat diedarkan dengan bantuan
sirkulasi buatan melalui kompresi dada. Sehingga dalam Guidelines 2010, AHA
mengatur ulang

sekuens

RJP

dari

A-B-C

menjadi

C-A-B,

sehingga

memungkinkan setiap penolong memulai kompresi dada sesegera mungkin.6


Update terbaru dari AHA mengenai guideline / algoritma CPR 2015, lebih
memberikan penekanan pada detail kecepatan dan kedalaman kompresi dada selama
CPR. Sedikit berbeda dengan guideline 2010 yang hanya menekankan untuk
melakukan kompresi dada paling sedikit 100x/menit dan paling sedikit kedalaman 2
inchi, guideline yang baru saja dirilis ini memberikan batasan yang lebih detail yaitu
kecepatan kompresi dada antara 100 hingga 120 kali permenit dan kedalaman kompresi
dada antara 2 hingga 2,4 inchi.
Rangkaian bantuan hidup dasar pada dasarnya dinamis, namun sebaiknya
tidak ada langkah yang terlewatkan untuk memperoleh hasil yang optimal. Pedoman
baru ini berisi beberapa rekomendasi yang didasarkan pada pembuktian ilmiah, yaitu: 6
-

Pengenalan segera henti jantung tiba-tiba (suddent cardiact arrest) didasarkan pada
pemeriksaan kondisi unresponsive dan tidak adanya napas normal (seperti,
korban tidak bernapas atau hanya gasping/terengah-engah). Penolong tidak boleh
menghabiskan waktu lebih dari 10 detik untuk melakukan pemeriksaan
nadi. Jika nadi tidak dapat dipastikan dalam 10 detik, maka dianggap tidak
ada nadi dan RJP harus dimulai atau memakai AED (automatic external
defibrilator) jika tersedia.
2

Look, Listen and Feel telah dihilangkan dari algoritme bantuan hidup dasar
Kecepatan kompresi dada 100 kali per menit
Penolong terus melakukan RJP hingga terjadi return of spontaneous circulation

(ROSC)
Kedalaman kompresi untuk korban dewasa telah diubah dari 1 - 2 inchi

menjadi 2 inchi (5 cm)


Peningkatan fokus untuk memastikan bahwa RJP diberikan dengan high-quality
didasarkan pada :
a. Kecepatan dan

kedalaman

kompresi

diberikan

dengan

adekuat

dan memungkinkan full chest recoil antara kompresi


b. Meminimalkan interupsi saat memberikan kompresi dada
c. Menghindari pemberian ventilasi yang berlebihan
C. Patofisiologi
Pemeliharaan metabolisme jaringan normal pada prinsipnya terutama bergantung
pada pengiriman oksigen yang adekuat sesuai dengan fungsi sirkulasi. Kegagalan
pengiriman cepat menghasilkan beberapa perubahan yaitu :
1. Hipoksia
Setelah periode singkat henti jantung, PaO2 turun secara dramatis akan tetapi
oksigen terus diperlukan untuk dikonsumsi. Selain itu, akumulasi progresif karbon dioksida
menggeser kurva disosiasi hemoglobin-oksigen ke kanan. Hal ini pada awalnya
meningkatkan transfer oksigen ke jaringan tapi tanpa terjadi proses pengiriman sehingga
terjadi hipoksia jaringan yang lebih lanjut. Di otak, PaO2 turun dari 13 kPa menjadi 2,5
kPa dalam waktu 15 detik dan kesadaran hilang, setelah satu menit, PaO2 akan telah jatuh
ke angka nol.2
2. Asidosis

Otak dan jantung memiliki tingkat yang relatif tinggi konsumsi oksigen (4mls/min
dan 23mls/min masing-masing) dan pengiriman O2 kepada mereka akan jatuh di bawah
tingkat kritis selama serangan jantung/henti jantung. Dalam kasus fibrilasi ventrikel,
metabolisme miokard berlanjut pada tingkat normal namun metabolism oksigen
menghasilkan zat lemas dan pasokan energi fosfat yang tinggi. Asidosis kemudian muncul
sebagai hasil dari metabolisme anaerob meningkat dan akumulasi karbon dioksida di
jaringan.2
Tingkat asidosis berkembang di otak, bahkan dengan dukungan bantuan dasar, akan
mengancam kelangsungan hidup jaringan dalam waktu 5 - 6 menit. Selain itu, di jantung,
bahkan setelah pemulihan irama perfusi, meminimalkan kontraktilitas asidosis, masih
mempunyai resiko yang tinggi untuk terjadinya aritmia.2
Setelah jantung mendapat respon yang berat, katekolamin dilepaskan dalam jumlah
besar, bersama-sama dengan kortikosteroid adrenal, hormon anti-diuretik dan tanggapan
hormon lainnya. Efek merugikan yang mungkin timbul dari perubahan ini termasuk
hiperglikemia, hipokalemia, tingkat laktat meningkat dan kecenderungan aritmia lebih
lanjut.2
2. Penyebab henti jantung
Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel atau takikardi tanpa
denyut (80-90%), kemudian disusul oleh ventrikel asistol (+10%) dan terakhir
disosiasi

oleh

elektromekanik (+5%). Dua jenis henti jantung yang terakhir lebih sulit

ditanggulangi karena akibat gangguan pacemaker jantung.2


Fibirilasi ventrikel terjadi karena koordinasi aktivitas jantung menghilang. Henti
jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba (karotis femoralis, radialis) disertai
kebiruan (sianosis) atau pucat sekali, pernapasan berhenti atau satu-satu (gasping, apnu),
dilatasi pupil tak bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak sadar.2
Pengiriman O2 ke otak tergantung pada curah jantung, kadar hemoglobin (Hb),
saturasi Hb terhadap O2 dan fungsi pernapasan. Iskemi melebih 3-4 menit pada suhu
4

normal akan menyebabkan kortek serebri rusak menetap, walaupun setelah itu dapat
membuat jantung berdenyut kembali.3
Henti jantung kebanyakan dialami oleh orang yang telah mempunyai penyakit
jantung sebelumnya. Diantaranya pada kelainan:
3. Penyakit jantung koroner
Penyakit jantung koroner pada mulanya disebabkan oleh penumpukan lemak pada
dinding dalam pembuluh darah jantung (pembuluh koroner), dan hal ini lama kelamaan
diikuti oleh berbagai proses seperti penimbunan jarinrangan ikat, perkapuran, pembekuan
darah, dll.,yang kesemuanya akan mempersempit atau menyumbat pembuluh darah
tersebut. Hal ini akan mengakibatkan otot jantung di daerah tersebut mengalami
kekurangan aliran darah dan dapat menimbulkan berbagai akibat yang cukup serius,
dari angina pectoris (nyeri dada) sampai infark miokard, yang dalam masyarakat di kenal
dengan serangan jantung yang dapat menyebabkan kematian mendadak.2
4. Kelainan vaskular
Terjadi penyempitan pembuluh darah, jantung berusaha untuk memberikan suplai
yang cukup pada tubuh, sehingga bekerja lebih keras namun aliran balik yang dihasilkan
hanya sedikit sehingga dapat menyebabkan kerusakan pada sel otot jantung. Kemudian
pada serangan jantung (MCI) pembuluh darah koroner jantung terhambat oleh
penyumbatan, sehingga sangat mungkin terjadinya fibrilasi ventrikel dan berujung pada
henti jantung.3
5. Penyakit jantung non iskemik 3
5.1 Gagal Jantung Kongesti
Pada penyakit jantung kongesti permasalahannya terdapat pada katup jantung,
seperti aorta stenosis juga dapat meningkatkan resiko henti jantung tiba-tiba.
5

5.2 Kardiomiopati
Merupakan penyakit jantung dimana otot jantung tidak berkontraksi, paling sering
diakibatkan oleh iskemik, dimana bagian dari otot jantung tidak mendapatkan suplai darah
yang cukup untuk jangka waktu lama dan tidak lagi dapat memompa darah secara efisien.
Orang-orang yang ejeksi fraksi (jumlah darah yang dipompa keluar dari jantung dengan
setiap denyut jantung) kurang dari 30% berada pada risiko lebih besar untuk kematian
mendadak (fraksi ejeksi normal adalah di atas 50%). Pada beberapa orang, cardiomyopathy
mungkin berkembang tanpa adanya penyakit jantung iskemik.

5.3 Kelainan pada sistim konduksi jantung


Henti jantung kebanyakan merupakan kelanjutan dari sinus aritmia jantung .Aritmia
jantung merupakan suatau kerusakan pada system konduksi listrik akibat suatu penyakit
atau ganggguan tertentu sperti serangan jantung. Aritmia jantung yang cepat menyebabkan
henti jantung diantaranya ventikel takikardi, ventrikel fibrilasi, bradikardi, heart block
selain itu long QT syndrome juga dapat berakir dengan henti jantung.

5.4 Inflamasi Otot Jantung


Inflamasi pada otot jantung yang dikenal dengan miokarditis juga dapat
mennyebabkan kekacauan pada ritme jantung. Penyakit-penyakit seperti sarcoidosis,
amiloidosis,dan infeksi dapat menyebabkan inflamasi pada otot jantung.

6. Kelainan kongenital
6

Beberapa orang lahir dengan system konduksi listrik jantung yang lemah , dimana
memiliki resiko tinggi untuk mengalami kerusakan

pada regularisasi listrik pada

jantungnya. Seperti pada Wolff-Parkinson-White syndrome dan ada juga yang mengalami
gangguan pada struktur nya seperti yang didapatkan pada Marfan syndrome.

7. Faktor lain
Banyak hal lain yang dapat menyebabkan henti jantung, seperti :
Pulmonary emboli, emboli yang berasal dari perifer dapat mengikuti sirkulasi

sentral,
Faktor risiko pada kelainan pembekuan darah termasuk pembedahan
Imobilisasi yang lama (misalnya, rumah sakit, naik mobil panjang atau perjalanan

pesawat )
Trauma, atau penyakit tertentu seperti kanker
Trauma tumpul dada, seperti pada kecelakaan kendaraan bermotor, dapat mengakibatkan
fibrilasi ventrikel dan akhirnya menyebabkan henti jantung, cacat jantung bawaan,
tenggelam, tersengat listrik, henti napas, tersedak. Sedangkan resiko untuk terjadinya henti
jantung yaitu pada orang-orang dengan penyakit jantung koroner, cacat jantung bawaan,
ketidakseimbangan elektrolit, merokok, diabetes,penguna narkoba seperti kokain dan
methamphetamine.
2.6 Penatalaksanaan
Ketika mendekati seorang pasien yang tampaknya telah mengalami serangan
jantung penyelamat harus memeriksa bahwa tidak ada bahaya untuk dirinya sendiri
sebelum melanjutkan untuk merawat pasien. Meskipun hal ini jarang muncul di rumah
sakit, pasien mungkin menderita serangan jantung akibat guncangan listrik atau zat
beracun. Dalam situasi penyelamat mungkin dalam bahaya yang cukup besar, dan harus
memastikan bahwa bahaya apapun diambil rekening dan dieliminasi sebagai risiko.4
2.6.1 Resusitasi
Basic Life Support (BLS) membebaskan jalan napas, diikuti dengan ventilasi bantuan
dan ketersediaan dari sirkulasi. Semua tanpa bantuan peralatan khusus. Tujuan utama

resusitasi adalah untuk mengembalikan denyut jantung dan mengembalikan fungsi


sirkulasi. Memberikan bantuan dasar untuk mempertahankan hidup.Umumnya pasien yang
memerlukan resusitasi jantung paru ditemukan dalam tiga keaadaan yaitu :
1. Tanpa denyutan nadi tapi masih ada pernapasan
2. Adanya denyut nadi tapi tanpa pernapasan
3. Tanpa denyut nadi dan pernapasan
Cardiopulmonary resuscitation (CPR) / Resusitasi Jantung Paru adalah prosedur
darurat yang dilakukan dalam upaya untuk mengmembalikan hidup seseorang dalam
serangan jantung. Hal ini ditujukan pada orang-orang yang responsif tanpa bernapas atau
terengah-engah saja. Ini dapat dicoba baik di dalam maupun di luar rumah sakit. CPR
melibatkan penekanan dada pada tingkat minimal 100 per menit dalam upaya untuk
menciptakan sirkulasi buatan secara manual memompa darah melalui jantung. Selain itu
penyelamat bisa memberikan napas oleh salah satu dengan menghembuskan napas ke
dalam mulut mereka atau menggunakan perangkat yang mendorong udara ke dalam paruparu. Proses menyediakan ventilasi eksternal disebut pernafasan buatan.Rekomendasi saat
ini menekankan pada penekanan dada kualitas tinggi di atas pernafasan buatan dan metode
yang melibatkan penekanan dada hanya direkomendasikan untuk penyelamat terlatih.4
CPR sendiri tidak mungkin untuk me-restart jantung. Tujuan utamanya adalah untuk
memulihkan aliran darah parsial oksigen ke otak dan jantung. Ini dapat menunda kematian
jaringan dan memperluas jendela singkat kesempatan untuk resusitasi sukses tanpa
kerusakan otak permanen. Suatu administrasi dari sengatan listrik ke jantung, disebut
defibrilasi, biasanya diperlukan untuk mengembalikan "perfusi" layak atau irama jantung.
Defibrilasi hanya efektif untuk irama jantung tertentu, yaitu fibrilasi ventrikel atau
takikardi ventrikel pulseless, daripada aktivitas listrik asystolic atau pulseless. Namun CPR
dapat menyebabkan kejutan irama. CPR umumnya terus dilakukan sampai orang tersebut
mendapatkan kembali kembalinya sirkulasi spontan (return of spontaneous circulation
(ROSC)) atau dinyatakan mati4.
C.

Indikasi
8

a) Henti Napas
Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak hal,
misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi asap/uap/gas,
obstruksi jalan napas oleh benda asing, tesengat listrik, tersambar petir,
serangan infark jantung, radang epiglotis, tercekik (suffocation), trauma dan
lain-lainnya4.
Pada awal henti napas, jantung masih berdenyut, masih teraba nadi, pemberian
O2 ke otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai beberapa menit. Kalau
henti napas mendapat pertolongan segera maka pasien akan teselamatkan
hidupnya dan sebaliknya kalau terlambat akan berakibat henti jantung4.
b) Henti Jantung
Henti jantung primer (cardiac arrest) ialah ketidak sanggupan curah jantung
untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara
mendadak dan dapat balik normal, kalau dilakukan tindakan yang tepat atau
akan menyebabkan kematian atau kerusakan otak. Henti jantung terminal akibat
usia lanjut atau penyakit kronis tentu tidak termasuk henti jantung4.
Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel atau takikardi
tanpa denyut (80-90%), kemudian disusul oleh ventrikel asistol (+10%) dan
terakhir oleh disosiasi elektro-mekanik (+5%). Dua jenis henti jantung yang
terakhir lebih sulit ditanggulangi karena akibat gangguan pacemaker jantung.
Fibirilasi ventrikel terjadi karena koordinasi aktivitas jantung menghilang. Henti
jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba (karotis femoralis, radialis)
disertai kebiruan (sianosis) atau pucat sekali, pernapasan berhenti atau satu-satu
(gasping, apnu), dilatasi pupil tak bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien
tidak sadar5.
Pengiriman O2 ke otak tergantung pada curah jantung, kadar hemoglobin (Hb),
saturasi Hb terhadap O2 dan fungsi pernapasan. Iskemi melebih 3-4 menit pada
suhu normal akan menyebabkan kortek serebri rusak menetap, walaupun setelah
itu dapat membuat jantung berdenyut kembali4.
D. Fase CPCR
9

Resusitasi jantung paru otak dibagi menjadi 3 fase diantaranya5:


1. FASE I : Tunjangan Hidup Dasar (Basic Life Support) yaitu prosedur
pertolongan darurat mengatasi obstruksi jalan nafas, henti nafas dan henti
jantung, dan bagaimana melakukan RJP secara benar.
Terdiri dari :
A (airway) :menjaga jalan nafas tetap terbuka.
B (breathing) :ventilasi paru dan oksigenisasi yang adekuat.
C (circulation) :melakukan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung paru.
2. FASE II : Tunjangan hidup lanjutan (Advance Life Support); yaitu tunjangan
hidup dasar ditambah dengan :
D (drugs) :pemberian obat-obatan termasuk cairan.
E (EKG) : diagnosis elektrokardiografis secepat mungkin, untuk mengetahui
apakah ada fibrilasi ventrikel, asistole atau agonal ventricular complex.
F (fibrillation treatment) :tindakan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel.
3. FASE III : Tunjangan hidup terus-menerus (Prolonged Life Support).
G (Gauge) :Pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring penderita secara
terus menerus, dinilai, dicari penyebabnya dan kemudian mengobatinya.
H (Head) :tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistim saraf dari
kerusakan lebih lanjut akibat terjadinya henti jantung, sehingga dapat dicegah
terjadinya kelainan neurologic yang permanen.
H (Hipotermi) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi susunan saraf
pusat yaitu pada suhu antara 30 32C.
H (Humanization) :Harus diingat bahwa korban yang ditolong adalah manusia
yang mempunyai perasaan, karena itu semua tindakan hendaknya berdasarkan
perikemanusiaan.
I (Intensive care) :perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan ventilasi :
trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus, sonde lambung, pengukuran
pH, pCO2 bila diperlukan, dan tunjangan sirkulasi, mengendalikan kejang5.

10

E. Prosedur RJPO
Sebelum melakukan tahapan resusitasi jantung paru, harus terlebih
dahulu dilakukan prosedur awal pada korban/pasien, yaitu: 6
a. Danger (Bahaya)
Memastikan keamanan baik penolong, korban maupun lingkungan.
Biasa disingkat dengan 3A (Tiga Aman). Keamanan penolong harus lebih
diutamakan sebelum mengambil keputusan untuk menolong korban agar
penolong tidak menjadi korban kedua atau korban berikutnya.
b. Response
Memastikan keadaan pasien dengan memanggil nama/sebutan yang
umum dengan keras seperti Pak! / Bu! / Mas! / Mbak! disertai menyentuh atau
menggoyangkan
pergerakan

bahu

yang

dengan

lembut

berlebihan. Memanggil

dan

mantap untuk

korban

juga

dapat

mencegah
disertai

dengan memberikan instruksi sederhana seperti Pak, buka matanya!, Pak, siapa
namanya pak?. Prosedur ini disebut sebagai teknik touch and talk. Hal ini
cukup untuk membangunkan orang tidur atau merangsang seseorang untuk
bereaksi.7
Jika tidak ada respon, kemungkinan pasien tidak sadar. Jika pasien
berespon atau terbangun, tinggalkan pada posisi seperti pada saat ditemukan dan
hindari kemungkinan resiko cedera lain yang bisa terjadi. Analisa kebutuhan
perlunya bantuan dari tim gawat darurat. Jika sendirian, tinggalkan pasien
sementara dan meminta bantuan, kemudian lakukan observasi dan kaji ulang
secara reguler.

11

Gambar 1.Cek respon korban6

c. Call for Help


Jika pasien/korban tidak memberikan respon terhadap panggilan atau
instruksi,
orang

segera meminta

tidak

sadar

bantuan

dengan

untuk mengaktifkan

cara

berteriak Tolong!,

emergency

medical

ada

service

(EMS).

Gambar 2.Call for help sebelum melakukan resusitasi6

d. Pengaturan Posisi
1) Posisi Pasien
Pasien terlentang pada permukaan keras dan rata. Jika ditemukan tidak
dalam posisi terlentang, terlentangkan pasien dengan teknik log roll,
yaitu digulingkan secara bersamaan kepala, leher dan punggung.
2) Posisi Penolong 7
Berlutut sejajar dengan bahu pasien agar dapat memberikan resusitasi
jantung paru (RJP) secara efektif tanpa harus mengubah posisi atau
menggeser lutut.

12

Gambar 3.Langkah-langkah CPCR

F. Bantuan Hidup Dasar


Setelah melakukan prosedur dasar, maka langkah-langkah prosedur
selanjutnya yang harus dilakukan, yaitu6:
a) Circulation
Terdiri atas dua tahapan, yaitu:
1) Memastikan ada tidaknya denyut nadi pasien / korban. Ada tidaknya denyut
nadi korban ditentukan dengan meraba arteri karotis yang berada di
daerah leher pasien/korban dengan menggunakan dua jari

tangan

(jari

13

telunjuk

dan

tengah) diletakkan pada pertengan leher sehingga teraba

trakhea, kemudian kedua jari digeser kira 2 3 cm ke sisi kanan atau kiri
(sebaiknya sisi yang terdekat dengan penolong). Jika dalam 10 detik nadi
karotis sulit dideteksi, kompresi dada harus segera dimulai.

Gambar 4.Meraba pulsasi arteri karotis7

AHA Guideline 2010 tidak menekankan pemeriksaan nadi


karotis
penolong

sebagai mekanisme
sering

untuk

menilai

mengalami kesulitan

henti

mendeteksi

jantung
nadi,

karena
sehingga

penolong awam tidak harus memeriksa denyut nadi karotis. Korban


dianggap cardiac arrest jika pasien tiba-tiba tidak sadar, tidak bernapas atau
bernapas tapi tidak normal (hanya gasping).6
2) Melakukan bantuan sirkulasi
Bila nadi karotis tidak teraba, segera mulai lakukan siklus 30
kompresi dan 2 ventilasi, dengan teknik sebagai berikut:
- Penolong berlutut di sisi bahu korban
- Posisi badan tepat diatas dada pasien, bertumpu pada kedua tangan.
- Penolong meletakkan salah satu tumit telapak tangan p ada
sternum, diantara 2 puting susu dan telapak tangan lainnya di atas
tangan pertama dengan jari saling bertaut. 6

14

Gambar 5.Tehnik melakukan kompresi dada6

Dengan posisi badan tegak lurus, penolong mekan dada lurus ke bawah
secara

teratur dengan kecepatan 100x/menit (hampir 2 x/detik) dengan

kedalaman

adekuat.

AHA

kompresi dada dilakukan

cepat

Guideline 2010 merekomendasikan agar


dan

dalam

(push

and

hard) dengan

kedalaman yang adekuat, yaitu:


1) Dewasa : 2 inchi (5 cm), rasio 30 : 2 (1 atau 2 penolong)
2) Anak : 1/3 diameter antero-posterior dada ( 5 cm), rasio 30 : 2 (1
penolong) dan 15 : 2 (2 penolong)
3) Bayi : 1/3 diameter anterio-posterior dada ( 4 cm),

rasio 30 : 2 (1

penolong) dan 15 : 2 (2 penolong).


Selain

itu,

kompresi

yang

dilakukan

memungkinkan

terjadinya

complete chest recoil atau pengembangan dada seperti semula setelah kompresi
sebelum memulai kompresi kembali. Dari tindakan kompresi yang benar
hanya akan mencapai tekanan sistolik 6080 mmHg, dan diastolik yang sangat
rendah, sedangkan curah jantung (cardiac output) hanya 25% dari curah
jantung normal. Selang waktu mulai dari menemukan pasien dan dilakukan
prosedur dasar sampai dilakukannya tindakan bantuan sirkulasi (kompresi
dada) tidak boleh melebihi 30 detik. 6
b)

Airway
15

Penolong

memastikan

jalan

napas

bersih

dan

terbuka

sehingga

memungkinkan pasien dapat diberi bantuan napas, sehingga langkah ini terdiri atas
dua tahapan, yaitu:
1) Membersihkan jalan napas
- Membuka mulut dengan cara jari silang (cross finger), ibu jari diletakkan
-

berlawanan dengan jari telunjuk pada mulut korban.


Memeriksa adanya sumbatan pada jalan napas.

Jika

ditemukan

sumbatan benda cair, bersihkan dengan teknik finger sweep (sapuan jari)
yaitu menyusuri rongga mulut dengan dua jari, bisa dilapisi dengan kas aatau
potongan

kain

untuk

menyerap

cairan.

Jika

ditemukan sumbatan

benda padat, dapat dikorek dengan menggunakan jari telunjuk yang


dibengkokkan. Namun teknik ini harus dilakukan dengan hati-hati,
karena teknik ini dapat mendorong sumbatan semakin dalam. Semua
prosedur ini tidak boleh dilakukan lebih dari 10 detik. 6
2) Membuka jalan napas
Setelah jalan napas dipastikan bebas dari sumbatan benda asing,
jalan napas pasien/korban harus dibuka. Bia sanya pada korban yang tidak
sadar tonus otot-ototnya menghilang termasuk tonus otot pada palatum
sehingga palatum dapat turun dan menempel pada epiglotis. Kondisi ini
menjadi penyebab sumbatan jalan napas pada pasien tidak sadar.
Pembebasan jalan napas dapat dilakukan dengan menggunakan tiga teknik
yaitu head tilt (tengadah kepala), chin lift (angkat dagu) dan jaw thrust
(dorongan rahang). Ketiga teknik ini dikenal dengan Triple Airway
Manuveur.6

16

Gambar 6.Tehnik membuka jalan napas6

AHA Guideline 2010 merekomendasikan untuk :


-

Menggunakan head tilt-chin lift untuk membuka jalan napas pada pasien yang
tidak ada kecurigaan trauma kepala dan leher. Sekitar 0,12-3,7% mengalami
cedera spinal dan risiko cedera spinal meningkat jika pasien mengalami cedera

kraniofasial dan/atau GCS <8.


Gunakan jaw thrust jika pasien dicurigai mengalami cedera servikal. Pasien
suspek cedera spinal lebih diutamakan dilakukan restriksi manual (menempatkan 1
tangan

di

tiap

sisi

kepala

pasien)

dari

pada menggunakan spinal

immobilization devices karena dapat mengganggu jalan napas, namun alat ini
bermanfaat mempertahankan kesejajaran spinal selama transportasi.
c) Breathing
Bantuan napas dapat dilakukan melalui mulut ke mulut, mulut ke
hidung atau mulut
dengan

ke

cara memberikan

stoma

(lubang

hembusan

yang

napas

dibuat

sebanyak

pada
2

kali

tenggorokan)
hembusan.

Waktu yang dibutuhkan untuk tiap kali hembusan adalah 1,52 detik dan volume
udara yang dihembuskan adalah 400 -600 ml (10 ml/kg) atau sampai dada
pasien/korban tampak mengembang. Jika mengalami kesulitan untuk memberikan
hembusan napas yang efektif, periksa apakah masih ada sumbatan di mulut pasien
serta perbaiki posisi tengadah kepala dan angkat dagu pasien/korban. 7
Pemberian bantuan pernapasan, terdiri atas 3 (tiga) tekinik yaitu:
17

1) Mouth to Mouth (Mulut ke Mulut)


Teknik ini merupakan cara yang cepat dan efektif untuk memberikan
udara ke paruparu korban / pasien. Pada

saat

dilakukan

hembusan napas

penolong harus mengambil napas terlebih dahulu dan mulut penolong

harus

dapat menutup seluruh mulut pasien/korban dengan baik agar tidak terjadi
kebocoran saat menghembuskan napas dan juga penolong harus menutup lubang
hidung pasien/korban dengan ibu jari dan jari telunjuk untuk mencegah udara keluar
kembali dari hidung.

Gambar 7.Tehnik melakukan bantuan napas mouth to mouth6

2) Mouth to Nose (Mulut ke Hidung)


Teknik ini direkomendasikan jika usaha bantuan napas dari mulut
korban tidak memungkinkan, misalnya pada mulut korban mengalami luka
yang berat. Tekniknya sama dengan mouth to mouth, perbedaanya pada saat
memberikan hembusan pada hidung pasien/korban, penolong harus menutup
mulut pasien/korban.6
3) Mouth to Stoma (Mulut ke Stoma)
Pasien yang pernah menjalani laringotomi memiliki lubang (stoma)
pada area leher yang menghubungkan trakhea langsung ke kulit. Bila pasien ini
mengalami

kesulitan

pernapasan

maka

harus

dilakukan

bantuan

pernapasan dari mulut ke stoma. Setelah dilakukan pemberian 2 kali hembusan


napas (ventilasi) maka penolong segera

melanjutkan

kembali

pemberian

kompresi 30 kali dan ventilasi 2 kali hingga 5 siklus.


d) Evaluasi (Penilaian Ulang)
18

Sesudah pemberian 5 siklus kompresi dan ventilasi (kira-kira 2 menit),


penolong kemudian melakukan evaluasi, dengan ketentuan sebagai berikut:
-

Jika tidak ada nadi karotis, penolong kembali melanjutkan kompresi dan

ventilasi dengan rasio 30 : 2 sebanyak 5 siklus


Jika ada nadi tapi napas belum ada, penolong memberikan bantuan napas sebanyak

10- 12 x/menit dan monitor nadi tiap 2 menit.


Jika ada napas dan denyut nadi teraba namun pasien belum sadar, letakkan
pasien/korban pada posisi pemulihan (recovery position) untuk menjadi jalan napas
tetap terbuka dan bila pasien muntah tidak terjadi aspirasi. Waspada terhadap
kemungkinan pasien mengalami henti napas kembali, jika terjadi segera
terlentangkan pasien dan lakukan bantuan napas kembali.
Langkah - langkah pemberian posisi pemulihan dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 8.Langkah pemberian posisi pemulihan 6

AHA Guideline 2010 memberikan beberapa rekomendasi sebagai berikut :


-

Pemberian bantuan napas (ventilasi) sama dengan rekomendasi AHA 2005, yaitu
a. Pemberian dilakukan sesuai tidal volume
b. Setelah alat intubasi terpasang pada 2 orang penolong : selama
pemberian RJP, ventilasi diberikan tiap 8-10 x/menit tanpa usaha
19

sinkronisasi

antara kompresi dan ventilasi. Kompresi dada tidak boleh

dihentikan untuk pemberian ventilasi. 6


Tidak menekankan pemeriksaan breathing karena penolong baik profesional

maupun

awam kemungkinan tidak dapat menentukan secara akurat ada

atau tidaknya napas pada pasien tidak sadar karena jalan napas tidak
terbuka atau karena pasien mengalami occasional gasping yang dapat terjadi
pada beberapa menit pertama setelah henti jantung.
-

Bila tersedia, gunakan Automated External Defibrillator (AED).

e) Defibrilation
Defibrilation atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan
istilah defibrilasi adalah suatu terapi kejut jantung dengan memberikan energi
listrik. Hal ini dilakukan jika penyebab henti jantung (cardiac arrest) adalah
kelainan irama jantung yang disebut dengan Fibrilasi Ventrikel. Dimasa
sekarang ini sudah tersedia alat untuk defibrilasi (defibrilator) yang dapat
digunakan oleh orang awam yang disebut Automatic External Defibrilation,
dimana

alat

tersebut dapat

mengetahui korban henti jantung ini harus

dilakukan defibrilasi atau tidak, jika perlu dilakukan defibrilasi alat tersebut
dapat memberikan tanda kepada penolong untuk melakukan defibrilasi atau
melanjutkan bantuan napas dan bantuan sirkulasi.6
G. Bantuan Hidup Lanjut
Terdiri atas Bantuan hidup dasar ditambah langkah-langkah:
D (Drugs): Pemberian obat-obatan.
Obat-obat tersebut dibagi menjadi 2 golongan:
1) Penting:
a. adrenalin : Mekanisme kerja merangsang reseptor alfa dan beta, dosis yang
diberikan 0,5 1 mg iv diulang setelah 5 menit sesuai kebutuhan dan yang
perlu diperhatikan dapat meningkatkan pemakaian O2 myocard, takiaritmi,
fibrilasi ventrikel5.
b. Natrium Bicarbonat: Penting untuk melawan metabolik asidosis, diberikan
iv dengan dosis awal : 1 mEq/kgBB, baik berupa bolus ataupun dalam infus
20

setelah selama periode 10 menit. Dapat juga diberikan intrakardial, begitu


sirkulasi spontan yang efektif tercapai, pemberian harus dihentikan karena
bisa terjadi metabolik alkalosis, takhiaritmia dan hiperosmolalitas. Bila
belum ada sirkulasi yang efektif maka ulangi lagi pemberian dengan dosis
yang sama5.
c. Sulfat Atropin:

Mengurangi

tonus

vagus

memudahkan

konduksi

atrioventrikuler dan mempercepat denyut jantung pada keadaan sinus


bradikardi. Paling berguna dalam mencegah arrest pada keadaan sinus
bradikardi sekunder karena infark miokard, terutama bila ada hipotensi.
Dosis yang dianjurkan mg, diberikan iv. Sebagai bolus dan diulang
dalam interval 5 menit sampai tercapai denyut nadi > 60 /menit, dosis total
tidak boleh melebihi 2 mg kecuali pada blok atrioventrikuler derajat 3 yang
membutuhkan dosis lebih besar.
d. Lidokain: Meninggikan ambang fibrilasi dan mempunyai efek antiaritmia
dengan cara meningkatkan ambang stimulasi listrik dari ventrikel selama
diastole. Pada dosis terapeutik biasa, tidak ada perubahan bermakna dari
kontraktilitas miokard, tekanan arteri sistemik, atau periode refrakter
absolut. Obat ini terutama efektif menekan iritabilitas sehingga mencegah
kembalinya fibrilasi ventrikel setelah defibrilasi yang berhasil, juga efektif
mengontrol denyut ventrikel prematur yang mutlti fokal dan episode
takhikardi ventrikel. Dosis 50-100 mg diberikan iv sebagai bolus, pelanpelan dan bisa diulang bila perlu. Dapat dilanjutkan dengan infus kontinu
1-3 mg.menit, biasanya tidak lebih dari 4 mg.menit, berupa lidocaine 500
ml dextrose 5 % larutan (1 mg/ml) 5.
2) Berguna:
a. Isoproterenol: Merupakan obat pilihan untuk pengobatan segera (bradikardi
hebat karena complete heart block). Ia diberikan dalam infus dengan
jumlah 2 sampai 20 mg/menit (1-10 ml larutan dari 1 mg dalam 500 ml
dectrose 5 %), dan diatur untuk meninggikan denyut jantung sampai kira-

21

kira 60 kali/menit. Juga berguna untuk sinus bradikardi berat yang tidak
berhasil diatasi dengan Atropine5.
b. Propanolol: Suatu beta adrenergic blocker yang efek anti aritmianya
terbukti berguna untuk kasus-kasus takhikardi ventrikel yang berulang atau
fibrilasi ventrikel berulang dimana ritme jantung tidak dapat diatasi dengan
Lidocaine. Dosis umumnya adalah 1 mg iv, dapat diulang sampai total 3
mg, dengan pengawasan yang ketat5.
c. Kortikosteroid: Sekaranfg lebih disukai kortikosteroid sintetis (5 mg/kgBB
methyl prednisolon sodium succinate atau 1 mg/kgBB dexamethasone
fosfat) untuk pengobatan syok kardiogenik atau shock lung akibat henti
jantung. Bila ada kecurigaan edema otak setelah henti jantung, 60-100 mg
methyl prednisolon sodium succinate tiap 6 jam akan menguntungkan. Bila
ada komplikasi paru seperti pneumonia post aspirasi, maka digunakan

dexamethason fosfat 4-8 mg tiap 6 jam5.


E (EKG): Diagnosis elektrokardigrafis untuk mengetahui adanya fibrilasi ventrikel

dan monitoring.
F: (Fibrilation Treatment)
Gambaran EKG pada Ventrikel Fibrilasi ini menunjukan gelombang listrik tidak
teratur baik amplitudo maupun frekuensinya.

Gambar 9. Ventrikel Fibrilasi

Terapi definitifnya adalah syok electric (DC-Shock) dan belum ada satu obatpun yang
dapat menghilangkan fibrilasi.
H. Bantuan Hidup terus-menerus
G (Gauge) : Tindakan selanjutnya adalah melakukan monitoring terus-menerus
terutama system pernapasan, kardiovaskuler dan system saraf.
22

H (Head) :tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistim saraf dari
kerusakan lebih lanjut, sehingga dapat dicegah terjadinya kelainan neurologic yang

permanen.
H (Hipotermi) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi susunan saraf

pusat yaitu pada suhu antara 30 32C.


H (Humanization) :Harus diingat bahwa korban yang ditolong adalah manusia yang
mempunyai perasaan, karena itu semua tindakan hendaknya berdasarkan

perikemanusiaan.
I (Intensive care) :perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan ventilasi :
trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus, sonde lambung, pengukuran pH,
pCO2 bila diperlukan, dan tunjangan sirkulasi, mengendalikan kejang.

I.

Penatalaksanaan
Prinsip penanganan dari Pasien henti jantung adalah dengan melakukan Rantai
Keberlangsungan Hidup (Chain of Survival) yang terdiri dari 5 tindakan yang
merupakan suatu kesatuan yaitu :7

Gambar 10.Chain Of Survival7

1. Early recognition and activation. Melakukan pengenalan segera pada


kondisi henti jantung dan mengaktivasi sistem respons gawat darurat
(EMS/Emergency Medical Responses). Pasien henti jantung umumnya tidak
responsif, Pernafasan tidak normal/ bahkan tidak ada, dan nadi tidak teraba.
Melakukan Look-listen-and feel tidak lagi dianjurkan. 7
2. Early CPR. Memberikan resusitasi jantung paru sedini mungkin7
3. Early defibrillation. Melakukan defibrilasi sesegera mungkin. Pada
tempat dan fasilitas umum, biasanya tersedia AED (Automated External
Defibrillation)

23

4. Effective advanced life support. Melakukan pemberian bantuan hidup


lanjut dengan efektif7
Keputusan untuk mengakhiri resusitasi
Keputusan untuk memulai dan mengakhiri usaha resusitasi adalah masalah medis,
tergantung pada pertimbangan penafsiran status serebral dan kardiovaskuler
penderita.Kriteria terbaik adanya sirkulasi serebral dan adekuat adalah reaksi pupil,
tingkat kesadaran, gerakan dan pernafasan spontan dan refleks.Keadaan tidak sadar
yang dalam tanpa pernafasan spontan dan pupil tetap dilatasi 15-30 menit, biasanya
menandakan kematian serebral dan usaha-usaha resusitasi selanjutnya biasanya siasia.Kematian jantung sangat memungkinkan terjadi bila tidak ada aktivitas
elektrokardiografi ventrikuler secara berturut-turut selama 10 menit atau lebih sesudah
RJP yang tepat termasuk terapi obat7.

J. Prognosis
Keberhasilan dari Resusitasi yang diberikan tergantung dari seberapa cepat
resusitasi tersebut dilakukan.Prinsipnya adalah semakin cepat semakin baik. Hal ini
didasari oleh adanya 3 fase yang terjadi pada cardiac arrest : 7
1) Fase 1 (fase elektris). Fase ini berlangsung sejak munculnya henti jantung VF
hingga 5 menit setelah henti jantung. Tindakan defibrilasi awal menjadi
tindakan paling penting selama periode ini. 7
2) Fase 2 (fase sirkulasi atau hemodinamik). Fase ini berlangsung sejak 5 menit hingga
15 menit setelah henti jantung. RJP menjadi tindakan paling penting selama
periode ini, setelah itu diikuti dengan pemberian tindakan defibrilasi jika
tersedia. 7
3) Fase 3 (Fase metabolik). Fase ini berlangsung setelah 15 menit terjadinya
henti jantung. Selama fase ini, efektifitas defibrilasi dan RJP sudah menurun. 7

24

DAFTAR PUSTAKA
1. Dimarco JP. Sudden Cardiac Death. In: Crawford MH, editor. Current Diagnosis
and Treatment: Cardiology. 3rd ed. Mc Graw Hill: Lange. 2009. p. 327-332
2. Colquhoun M. Cardiopulmonary resuscitation in primary care. In: Colquhoun M,
editors. ABC of Resuscitation. 5th ed. BMJ Books. 2004. p. 58-59
3. Myerburg RJ, Castellasnos A. Cardiac arrest and Sudden Cardiac Death. In Mann
DL, et all, editors. Braunwalds Heart Disease: A Textbook Of Cardiovascular
Medicine. Elsevier Saunders. 10th ed. 2015. p. 821-835

25

4. Latief S.A., 2007. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Penerbit FKUI.
Jakarta.
5. Andrey, 2008. Resusitasi Jantung Paru Pada Kegawatan Kardiovaskuler. Diakses
dari

http://yumizone.wordpress.com/2008/11/27/resusitasi-jantung-paru-pada-

kegawatan-kardiovaskuler/
6. Morris F, et all. Cardiac Arrest Rhythims. In : Morris F, et al editors. ABC of
Clinical Electrocardiography. BMJ books. Spain 2003. p. 61-65
7. Travers AH, et all. CPR Overview. American Heart Cardiopulmonary Association
Guidelines for Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. AHA journal,
2010. p. S676 S679.

26

Anda mungkin juga menyukai