Melakukan integrasi data geofisik DAS yang diperoleh hasil interpretasi citra
penginderaan jauh dan peta dasar serta peta-peta tematik dengan data sosial
ekonomi budaya dan kelembagaan DAS hasil pengumpulan data sekunder dari
instansional.
Konsep yang lain menyatakan bahwa DAS memiliki 3 komponen utama
yang menjadi ciri khas atau penciri utamanya, yaitu:
a. suatu wilayah yang dibatasi oleh puncak gunung/bukit dan punggung/igirigirnya;
b.
hujan yang jatuh di atasnya diterima, disimpan, dan dialirkan oleh sistem
sungai;
c. sistem sungai itu keluar melalui satu outlet tunggal. Selanjutnya beberapa
ahli DAS membuat suatu kesimpulan bahwa DAS merupakan: suatu wilayah
bentanglahan dengan batas topografi; suatu wilayah kesatuan hidrologi; dan
suatu wilayah kesatuan ekosistem. Dari ketiga konsep wilayah tersebut maka
definisi DAS adalah: suatu wilayah kesatuan ekosistem yang dibatasi oleh
pemisah topografis dan berfungsi sebagai pengumpul, penyimpan, dan penyalur
air, sedimen, polutan, dan unsur hara dalam sistem sungai dan keluar melalui
satu outlettunggal.
satu liter. Satuan curah hujan selalu dinyatakan dalam satuan millimeter atau
inchi namun untuk di Indonesia satuan curah hujan yang digunakan adalah
dalam satuan millimeter (mm). Hujan merupakan input air yang masuk dalam
suatu DAS, oleh karena itu mengetahui besarnya curah hujan sangat penting.
Untuk dapat mengetahui besarnya curah hujan yang terjadi diperlukan data
curah hujan yang diperoleh melalui stasiun-stasiun hujan, baik yang dikelola oleh
BMKG, Kementerian Kehutanan ataupun dinas/instansi lain yang bersangkutan.
Metode untuk menggambarkan curah hujan pada suatu wilayah dapat digunakan
metode poligon Theissen ataupun metode ishohyet. Poligon Theissen digunakan
apabila wilayah yang dipetakan memiliki topografi datar, sedangkan jika
wilayahnya memiliki topografi berombak hingga bergunung maka metode yang
paling sesuai adalah Ishohyet. Klasifikasi curah hujan yag digunakan dalam
kajian karakteristik DAS ini dapat dilihat pada tabel
2. Materi
3. Proses Topografi
Dalam pemetaan bentuk lahan secara garis besar dibedakan menjadi 6
klas, yaitu : datar, landai, berombak, bergelombang, berbukit dan bergunung.
Untuk materi dibedakan dalam beberapa klas, yaitu : Fluvial, Marin, Vulkanik,
Struktural, Denudasional, Aeolin, dan Organisme. Yang terakhir adalah untuk
proses digunukan keterangan tentang proses yang terjadi pada bentuk lahan
tersebut, misalnya terkikis kuat, terkikis lemah, dan seterusnya. Proses
penamaan bentuk lahan juga menggunakan ketiga kriteria tersebut, sebagai
contoh adalah :
1. Perbukitan Denudasional Terkikis Kuat
2. Pegunungan Struktural Lipatan Terkikis Lemah
Sistem klasifikasi bentuk lahan yang digunakan dalam proses pemetaan
bentuk lahan mengacu pada sistem klasifikasi bentuk lahan yang dikeluarkan
oleh BAKOSURTANAL sebagaimana tercantum pada Format.
c. Topografi
Variabel topografi dalam karakteristik DAS ini dibagi ke dalam 4 variabel,
yaitu ketinggian DAS, orientasi DAS, kemiringan lereng DAS dan bentuk lereng
DAS. Keempat variabel topografi tersebut mempunyai peranan yang erat dengan
proses terjadinya infiltrasi, limpasan permukaan dan erosi yang terjadi akibat air
hujan yang turun.
1. Ketinggian ( Elevation ) DAS
Elevasi ratarata dan variasi ketinggian pada suatu DAS merupakan
faktor penting yang berpengaruh terhadap temperatur dan pola hujan, khususnya
pada daerah dengan topografi bergunung. Ketinggian suatu tempat dapat
diketahui dari peta topografi, diukur di lapangan atau melalui foto udara, jika
terdapat salah satu titik kontrol sebagai titik ikat. Hubungan antara elevasi
dengan luas DAS dapat dinyatakan dalam bentuk hipsometrik (Hypsometric
Curve). Perhitungan ketinggian rata rata DAS ditunjukkan pada gambar
berikut :
Gambar c.1.1
Perhitungan Tinggi Rata-rata DAS
Gambar c.1.2
Kurva hipsometrik suatu DAS
Gambar c.2
Arah atau Azimuth DAS
Untuk memudahkan proses pemetaan dari variabel lereng tersebut, maka peta
lereng yang sudah dihasilkan dikelompokkan atau dikelaskan ke dalam 5 kelas,
yaitu :
2. Menggunakan Planimeter
3. Menggunakan Sistem Informasi Geografis
Gambar E.1
Luas DAS
2. Bentuk DAS
Bentuk DAS mempunyai pengaruh pada pola aliran sungai dan ketajaman
puncak discharge banjir. Bentuk daerah aliran sungai ini sulit untuk dinyatakan
secara kuantitatif. Dengan membandingkan konfigurasi basin, dapat dibuat suatu
indeks yang didasarkan pada derajat kekasaran atau circularity dari DAS.
3. Jaringan Sungai
Pola aliran atau susunan sungai pada suatu DAS merupakan karakteristik
fisik setiap drainase basin yang penting karena pola aliran sungai mempengaruhi
efisiensi sistem drainase serta karakteristik hidrografis dan pola aliran
menentukan bagi pengelola DAS untuk mengetahui kondisi tanah dan
permukaan DAS khususnya tenaga erosi. Metode kuantitatif untuk
mengklasifikasikan sungai dalam DAS adalah pemerian orde sungai maupun
cabang cabang sungai secara sistematis seperti berikut ini :
1. Sungai-sungai pada daerah hulu mendapat skala terkecil (1)
2. Pertemuan sungai dengan orde sama, maka terjadi kenaikan orde.
3. Pertemuan sungai dengan orde yang berbeda tidak terjadi kenaikan orde
Gambar E.3
Jaringan DAS
4. Pola Aliran
Bentuk pola aliran (drainage pattern) ada bermacam macam yang
masing masing dicirikan oleh kondisi yang dilewati oleh sungai tersebut. Bentuk
pola aliran yang biasa dijumpai ada tujuh jenis yaitu :
1. Dendritik: seperti percabangan pohon, percabangan tidak teratur dengan
arah dan sudut yang beragam. Berkembang di batuan yang homogen dan
tidak terkontrol oleh struktur, umunya pada batuan sedimen dengan
perlapisan horisontal, atau pada batuan beku dan batuan kristalin yang
homogen.
2. Paralel: anak sungai utama saling sejajar atau hampir sejajar, bermuara
pada sungai-sungai utama dengan sudut lancip atau langsung bermuara
ke laut. Berkembang di lereng yang terkontrol oleh struktur (lipatan
monoklinal, isoklinal, sesar yang saling sejajar dengan spasi yang pendek)
atau dekat pantai.
3. Radial: sungai yang mengalir ke segala arah dari satu titik. Berkembang
pada vulkan atau dome.
4. Trellis: percabangan anak sungai dan sungai utama hampir tegak lurus,
sungai-sungai utama sejajar atau hampir sejajar. Berkembang di batuan
sedimen terlipat atau terungkit dengan litologi yang berselang-seling
antara yang lunak dan resisten.
5. Annular: sungai utama melingkar dengan anak sungai yang membentuk
sudut hampir tegak lurus. Berkembang di dome dengan batuan yang
berseling antara lunak dan keras.
6. Centripetal: sungai yang mengalir memusat dari berbagai arah.
Berkembang di kaldera, karater, atau cekungan tertutup lainnya.
Gabar E.4
Jenei Pola Aliaran Sungai
Gambar E.5
Profil Sungai utama
Panjang sungai terpanjang dalam DAS diukur dari outlet ke sumber asal
air, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 9, dari titik O sampai H (OH).
Sedangkan OS adalah panjang sungai utama (induk).
Gambar E.5.2
Pprofil sungai utama
Gambar E.3.1
Perhitungan Tinggi Rata-rata
Salah satu cara menghitung gradien sungai rata rata adalah dengan
slope faktor yang dikembangkan oleh BENSON (1962) yaitu dengan menghitung
lereng saluran antara 10 % dan 85 % jarak dari outlet seperti ditujukkan pada
Gambar 11.
Gambar E.4
Gradien Sungai utama
F. KESEIMBANGAN AIR
Siklus air yang dikatakan seimbang adalah apabila besarnya aliran air
yang masuk / ketersediaan(Inflow) dan keluar kebutuhan (Outflow) siklus adalah
sama, sedangkan ketidakseimbangan air adalah sebaliknya.
Kebutuhan air (Water requirement)
Kebutuhan air di sini adalah suatu gambaran besarnya kebutuhan air
untuk keperluan tumbuhnya tanaman sampai tanaman (padi) itu siap panen.
Kebutuhan air ini harus dipertimbangkan terhadap jenis tanaman, keadaan
medan tanah, sifat-sifat tanah, cara pemberian air, pengolahan tanah, iklim,
waktu tanam (pola tanaman), kandungan air tanah, efisiensi irigasi, curah hujan
efektif, koefisien tanaman bulanan, pemakaian air konsumtif, perkolasi,
kebutuhan air untuk tanaman, dan kebutuhan air di sawah.
Ketersediaan air (Water availability)
Ketersediaan air adalah berapa besar cadangan air yang tersedia untuk
keperluan irigasi. Ketersediaan air ini biasanya terdapat pada air permukaan
seperti sungai, danau, dan rawa-rawa, serta sumber air di bawah permukaan
tanah. Pada prinsipnya perhitungan ketersediaan air ini bersumber dari
banyaknya curah hujan, atau dengan perkataan lain hujan yang jatuh pada
daerah tangkapan hujan(catchment area/ watershed) sebagian akan hilang
menjadi evapotranspirasi, sebagian lagi menjadi limpasan langsung (direct run
off), sebagian yang lain akan masuk sebagai infiltrasi. Infiltrasi ini akan
menjenuhkan tanah atas (top soil), kemudian menjadi perkolasi ke ground water
yang akan keluar menjadi base flow
Di samping data meteorologi, dibutuhkan pula data cahaya
permukaan (exposed surface), dan data kelembaban tanah (soil moisture).
Untuk rumus run off adalah Run off = base flow + direct run off.
Ketidakseimbangan air ini dikarenakan oleh perbedaan antara kebutuhan air
yang lebih banyak dibandingkan dengan ketersediaan air yang ada. Besarnya
perbedaan antara ketersediaan dan kebutuhan air ini di sebabkan oleh salah
satunya adalah kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) bila tahun-tahun lalu air
hujan masih bisa tertampung dan tersimpan dalam tanah kini tidak lagi. Pasalnya
kerusakan DAS dan hutan-hutan sebagai daerah tangkapan air hujan kini
mengalami kerusakan parah. Akibatnya, air hujan itu langsung mengalir ke laut
lepas. Diperparah lagi dengan adanya konversi lahan yang tidak pada
tempatnya.
Pada dasarnya analisis hidrologi mempunyai asumsi bahwa siklus
hidrologi pada daerah pengamatan adalah suatu sistem, di mana terdapat input
dan output sistem. Sistem dalam analisis hidrologi disebut WATER BALANCE,
keseimbangan air, neraca air (memperhitungkan inflow dan outflow),
Keseimbangan air dalam siklus hidrologi tergantung pada daerah yang diamati
sesuai dengan inflow dan outflow.
Gambar F.
Water Balance Model