Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belang
Indonesia merupakan negara agraris dengan daratan yang luas dan banyak
dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Luasnya wilayah daratan yang dimiliki
menggambarkan Indonesia mempunyai keberagaman jenis tanah yang bisa
dimanfaatkan. Keberagaman tersebut dipengaruhi beberapa faktor diantaranya
seperti iklim mikro, tofografi, kadar bahan organik suatu tanah, tekstur dan
struktur tanah dll. Lahan merupakan sumber daya alam yang sangat penting untuk
pengembangan usaha pertanian.
Lahan-lahan yang ada di Indonesia tidak semuanya memilik kemampuan
yang baik untuk semua jenis tanaman. Hal tersebut akan berdampak pada
kurangnya produktifitas suatu lahan jika dikaitkan dalam hal ekonomi.
Masyarakat tani yang tradisional memenuhi kebutuhan pangannya dengan
menanam secara tradisional. Kegiatan pertania ini menyebabkan degradasi
kesuburan tanah melalui erosi dan penggunaan tanah terus-menurus. Lahan yang
terdegredasi menjadi faktor pembatas dan menghambat produksi pertanian.
Pengunaan lahan yang demikian harus adanya tindakan usaha konservasi tanah
yang baik sehingga tidak akan mempercepat teradinya erosi. Apabila tanah sudah
tererosi maka produktifitas tanah menurun mengakibatkan ketahanan pangan
indonesia menurun. Perluanya petani Indonesia melakukan tindakan evaluasi
kemampuan lahan agar menghasilkan produksi yang makasimal.
Kemampuan lahan adalah potensi lahan untuk penggunaan berbagai sistem
pertania secara umum tanpa menjelaskan peruntukan untuk jenis tanaman tertentu
maupun

tindakan-tindakan

pengelolaannya.

Tujuannya

adalah

untuk

mengelompokkan lahan yang dapat diusahakan bagi pertanian berdasarkan


potensi dan pembatasnya agar dapat berproduksi secara berkesinambungan
kemampuan lahan merupakan lingkungan fisik yang meliputi iklim, relif, tanah
hidrologi, dan vegetasi. Faktor-faktor ini hingga batas tertentu mempengarui

potensi dan kemampuan lahan untuk mendukung suatu tipe penggunaan tertentu
(Arsyad, 1989 dalam Idjudin.dkk, 2013).
Berdasrkan hal tersebut perlunya tindakan yang dilakukan seperti evaluasi
kemampuan lahan. Evaluasi kemampuan lahan ini akan menjadi solusi bagi
pengguna lahan dari faktor pembatas pada suatu lahan yang dimanfaatkan agar
menghasilkan produksi yang maksimal. Adapun pembahasan mengenai cara
mengevaluasi kemampuan lahan akan dibahas lebih jelas pada bab selanjutnya.
1.1 Tujuan
1. Untuk mengevaluasi kemampuan suatu lahan yang akan digunakan
2. Untuk mengetahui faktor pembatas pada suatu lahan

1.2 Manfaat
1. Agar mahasiswa mampu mengetahui faktor pembatas yang menjadi
penghambat dalam suatu areal.
2. Agar mahasiswa mampu mengatasi faktor pembatas pada suatu areal
sehingga bisa memanfaatkan suatu lahan secara optimum.
3. Agar pembudidaya mampu menghasilkan produksi maksimal.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2

2.1 Klasifikasi Kemampuan Lahan


Klasifiasi kemampuan lahan (kapabilitas) lahan merupakan klasifikasi
potensi lahan untuk penggunan berbagai sistem pertanian secara umum tanpa
menjelaskan peruntukan untuk jenis tanaman tertentu maupun tindakan-tindakan
pengelolaannya. Tujuannya adalah untuk mengelompokkan lahan yang dapat
diusahakan bagi pertanian (arable land) berdasarkan potensi dan pembatasanya
agar dapat berproduksi secara berkesinambungan (Rayes, 2007). Salah satu sistem
klasifikasi kemampuan lahan yang banyak digunakan adalah sistem yang
dikembangkan oleh SCS-USDA, sistem ini mengenal tiga kategori utama yaitu
kelas, sub-kelas dan satuan kemampuan atau pengelolaan (Unit).

Gambar 1.

Skema hubungan antara kelas kemampuan laahn dengn intensitas


dan macam penggunaan tanah (Suripin, 2002).

2.2 Kelas Kemampuan Lahan


Menurut ( Hendro, tanpa tahun) kemampuan lahan dapat dikelaskan yaitu

Kelas I. Lahan kelas 1 mempunyai sedikit hambatan yang membentuk


penggunaannya. Lahan kelas I sesuai untuk berbagai penggunaan pertanian, mulai
dari tanaman semusim (dan tanaman pertanian pada umumnya), tanaman rumput,
hutan dan cagar alam. Lahan kelas I mempunyai sifat-sifat lahan dan kualitas
lahan sebagai berikut: 1) terletak pada topografi hampir datar, 2) ancaman erosi
kecil, 3) mempunyai kedalaman tanah efektif yang dalam 4) umumnya drainase
baik, 5) mudah diolah, 6) kapasitas menahan air baik, 7) subur atau responsif
terhadap pemupukan, 8) tidak tercemar banjir 9) di bawah iklim setempat yang
sesuai bagi pertubuhan tanaman umumnya.
Di daerah beriklim kering yang telah dibangun fasilitas irigasi, suatu lahan
dapat dimasukkan ke dalam kelas I jika topografi hampir datar, daerah perakaran
dalam, permeabilitas dan lapasitas menahan air baik, dan mudah diolah. Beberapa
dari lahan yang dimasukkan ke dalam kelas ini mungkin memerlukan perbaikan
pada awalnya seperti perataan pencucian garam laut, atau penurunan permukaan
air tanah musiman. Jika hambatan oleh garam, permukaan air tanah ancaman
banjir, atau ancaman erosi akan terjadi kembali, maka lahan tersebut mempunyai
hambatan alami permanan, oleh karenanya tidak dapat dimasukkan ke dalam kelas
ini.
Tanah

yang

kelebihan

air

dan

mempunyai

lapisan

bawah

yang

permeabilitasnya lambat tidak dimasukan ke dalam kelas I. Lahan dalam kelas


yang dipergunakan untuk penanaman tanaman pertanian memerlukan tindakan
pengelolaan unuk memelihara produktivitas, berupa pemupukan dan pengapuran,
penggunaan taamn penutup tanah dan pupuk hijau, penggunaan sisa-sisa tanaman
dan pupuk kandang, dan pergiliran tanaman. Pada peta kelas kemampuan lahan,
lahan kelas I biasanya diberi warna hijau.
Kelas II. Lahan dalam kelas II memiliki beberapa hambatan atau
mengakibatkan memerlukan tindakan konservasi tanah sedang. Lahan kelas II
memerlukan pengelolaan yang hati-hati, termasuk di dalamnya tindakan-tindakan
konservasi tanah untuk mencgah kerusakan atau memperbaiki hubungan air da
udara jika lahan diusahakan untuk pertanian. Hambatan pada kelas II sedikit, dan
tindakan yang diperlukan mudah diterpakan. Lahan ini sesuai untuk penggunaan

tanaman semusim, tanaman rumput, padang pengembalaan, hutan produksi, hutan


lindung dan cagar alam.
Hambatan atau ancaman kerusakan pada kelas II adalah salah satu atau
kombinasi dari pengaruh ber: 1) lereng yang landai, 2) kepekaan erosi atau
ancaman erosi sedang atau telah mengalami erosi sedang, 3) kedalaman tanah,
efektif agak dalam 4) struktur tanah dan daya olah agak kurang baik, 5) salinitas
ringan sampai sedang atau terdapat garam natrium yang mudah dihilangkan.
Meskipun besar kemungkinan timbul kembali, 7) keleihan air dapat diperbaiki
dengan drainase, akan tetapi tetap ada sebagian pembatas yang sedang
tingkatannya, atau 8) keadaan iklim agak kurnag sesuai bagi tanaman dan
pengelolaan.
Lahan dalam kelas ii memberikan pilihan penggunaan yag kuran gdan
tuntunan pengelolaan yang lebih bera. Lahan

dalam kelas ini mungkin

memerlukan konservasi tanah khusus, tindakan-tindakan pencegahan erosi,


pengendalian air lebih, atau metode pengelolan jika dipergunaan untuk tanaman
semusim dan tanaman yang memerluka pengelolaan lahan sebagai contoh, tanah
yang dalam dengan lereng yang landai yang terancam erosi sedangkan jika
dipergunakan untuk tanaman semusim mungkin memerlukan salah atu atau
kombinas tindakan-tindakan berikut: guludan, penanaman dalam jalur pengolahan
menurut kontur, pergiliran tanaman atau kombinasi tindakan yang akan
diterapkan, dipergunkan oleh sifat-sifat tanah, iklim dan sistem usha tani. Pada
peta kemampuan lahan biasanya diberi warna kuning pada kerlas lahan kelas fl.
Kelas III. Lahan kelas III mempunyai hambatan berat yang mengurangi
pilihan penggunaan atau memerlukan tindakan konservasi tanah, khusus dan
keduanya. Lahan dalam kelas III mempunyai embatas yang lebih berat dari lahan
kelas II dan jika dipergunakan bagi tanaman yang memerlukan pengelolaan tanah
dan dipelihara. Lahan kelas II dapat dipergunakan untuk tanaman semusim dan
tanaman yang memerlukan pengolahan tanah, tanaman rumput, padan rumput,
hutan produksi, hutan lindung dll.
Hambatan yang terdapat pada tanah kelas III membatasi lama penggunaannya
bagi tanaman semusim, waktu pengolahan, pilihan tanaman atau kombinasi dari
pembatas-pembatas tersebut. Hambatan atau ancaman kerusakan mungkin

disebbkan oleh salah satu relif atau beberapa sifat lahan beriku: 1) lereng yang
agak miring atau bergelombang, 2) peka terhadap erupsi atau telah mengalami
erosi yang berat, 3) seringkali mengalami bajir yang merusak tanaman, 4) lapisan
bawah tanah yang permeabilitas lambat, 5) kedalaman tanah dangkal di atas
batuan, lapisan padas keras (hardpan), lapisan padas rapu (fragipan) atau lapisan
lempung padat (claypan) yang membatasi perakaran dan simpanan air rendah, 8)
salinitas atau kandungan natrium sedang, atau 9) hambatan iklim yang agak besar.
Pada peta kemampuan lahan, laha kelas III biasanya diberi warna merah.
Kelas IV. Hambatan dan ancaman kerusakan pada lahan kelas IV lebih besar
daripada kelas III,dan pilihan tanaman juga lebh terbatas. Jika dipergunakan untuk
tanaman semusim dipergunakan pengelolaan yang lebih hati-hati dan tindakan
konservasi tanah lebih sulit diterapkan dna dipelihara, seperti teras bangku,
saluran bervegetasi dan dalam pengendalian, di samping tindakan yang dilakukan
untuk memeihara kesuburan dan kondisi fisik tanah. Lahan di dalam kelas IV
dapat dipergunakan untukmtanaman semusim dan tanaman pertanian pada
umumnya, tanamn rumput, hutan produksi, padang penggembalaa, hutan lindung
atau suaka alam. Hambatan atau ancaman kerusakan lahan kelas IV disebabka
oleh salah satu atau kombinasi faktor-faktor berikut: 1) lereng miring atau relif
berbukit, 2) kepekaan erosi yang besar, 3) pengaruh erosi agak berat yang telah
terjadi, 4) tanahnya dangkal, 5) kapasitas menahan air yang rendah, 6) sering
tergenang yang menimbulkan kerusakan berat pada tanaman, 7) kelebinan air dan
ancaman kejenuhan atau penggenangan terus terjdi setelah didrainase, 8) salinitas
atau kandungan natrium yang tinggi, dan 9) keadaan iklim yang kurang
menguntungkan. Pada peta kelas kemampuan lahan, lahan kelas IV biasanya
diberi warna biru.
Kelas V. Lahan kelas V tidak terancam erosi, akan tetapi mempunyai
hambatan lain yang tidak dihilangkan dan membatasi pilihan penggunaannya
sehingga hanya sesuai untuk tanaman rumput, padang penggembalaan hutan
produksi atau hutan lindung dan suaka alam. Lahan di dalam kelas V mempunyai
hambatan yang membatasi pilihan macam penggunaan dan tanaman, dan
menghamat pengolahan tanah bagi tanaman semusim. Lahan ini terletak ada
topografi datar atau hampir datar tetapi tergenang air, sering terlanda banjir,

berbatu-batu ikilm yang kurang sesuai, atau mempunyai kombinasi hambatan


tersebut. Contoh laha kelas V adalah 1) lahan yang sering dilanda banjir, sehingga
sulit dipergunakan utnuk penanaman tanaman semusim secara formal, 2) lahan
datar yang berada pada kondisi iklim yang tidak memungkinkan produksi
tanaman secara normal, 3) lahan datar atau hampir datar yang berbatu-batu. Dan
4) lahan tergenang yang tidak layak didrainase untuk tanaman semusim, tetapi
dapat ditumbuhi rumput atau pohon-pohon. Pada peta kelas kemampuan lahan,
lahan kelas V biasanya diberi warna hijau tua.
Kelas VI. Lahan dalam kelas VI mempunyai hambatan berat yang
menyebabkan lahan ini tidak sesuai untuk penggunaan pertanian, penggunaan
terbatas untuk tanaman rumput atau padang penggembalaan, hutan produksi hutan
lindung atau cagar alam. Lahan dalam kelas VI mempunyai pembatasan atau
ancaman kerusakan yang tidak dapat dihilangkan, berupa salah satu atau
kombinasi faktor-faktor berikut: 1) tedetak pada lereng agak curam, 2) bahaya
erosi berat, 3) telah tererosi berat , 4) mengandung garam larut atau natrium, 5)
berbatu-batu, 6) daerah perakaran sangat dangkal, 7) iklim yang tidak sesuai.
Lahan kelas VI yang terletak pada lereng agak curam jika dipergunakan untuk
pengembalaan dan hutan produksi harus dikelola dengan baik untuk menghindari
erosi. Beberapa tanah di dalam kelas VI yang daerah perakarannya dalam, tetapi
terletak pada lereng agak curam dapat diergunakan untuk tanaman semusim degan
tindakan konservasi tanah yang berat. Pada peta kelas kemampuan lahan, kelas VI
biasanya diberi warna orange.
Kelas VII
Lahan kelas VII tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Jika digunakan sebagai
padang rumput atau hutan produksi harus dilakukan dengan usaha pencegahan
erosi yang berat. Lahan kelas VII yang solumnya dalam dan tidak peka erosi jika
dipergunakan untuk tanaman pertanian hasur dibuat teras bangku yang ditunjang
dengan cara-cara vegetatif untuk konservasi tanah, di samping tindakan
pemupukan. Lahan kelas VII mempunyai beberapa hambatan atau ancaman
kerusakan berat dan tidak dapat dihilangkan seperti: 1) terletak pada lereng yang
curam, 2) tela tererosi sangat berat bahkan berupa erosi parit, dan 3) daerah

perakaran sangat dangkal. Pada peta kelas kemampuan lahan, lahan kelas VII
biasanya diberi warna coklat.
Kelas VIII. Lahan kelas VIII tidak sesuai untuk budidaya pertanian, tetapi
lebih sesuai untuk dibiarkan dalam keadaan alami. Lahan kelas VIII bermanfaat
sebagai hutan linding, tempat rekreasi atau cagar alam. Pembatas atau ancaman
kerusakan pada kelas VIII dapat berupa 1) terletak pada lereng yang sangat curam
2) berbatu , atau 3) kapasitas menahan air sangat rendah. Contoh tanah kelas VIII
adalah tanah mati, batu tersingkap, pamtai pasir, dan puncak pegunungan. Pada
peta kemampuan lahan, lahan kelas VIII biasanya berwarna putih atau tidak
berwarna.
2.3 Lereng
Lereng atau kemiringan lahan adalah salah satu faktor pemicu terjadinya erosi
dan longsor di lahan pegunungan. Peluang terjadinya erosi dan longsor makin
besar dengan makin curamnya lereng. Makin curam lereng makin besar pula
volume dan kecepatan aliran permukaan yang berpotensi menyebabkan erosi.
Selain kecuraman, panajng lereng juga menentukan besarnya longsor dan erosi.
Makin panjang lereng erosi yang terjadi makin besar. Pada lereng >40 % longsor
sering terjadi terutama disebabkan oleh pengaruh gaya grafitasi. Erosi dan longsor
sering terjadi di wilayah berbukit dan bergunung, terutama pada tanah berpasir.
Dalam sistem budidaya pada lahan berlereng > 15% lebih diutamakan capuran
tanaman semusim dengan tanaman tahunan atau sistem wanatani atau
agroforestry. (Deddy, tanpa tahun).
Derajat kemiringan dan panjang lereng merupakann dua sifat yang utama dari
topografi yang mempengaruhi erosi. Semakin curam dan makin pankang lereng
maka makin besar pula kecepatan aliran air permukaan dan bahaya erosi. Bila kita
hubungakan kenyataan ini dngn lereng yang gundul, maka inilah yang termudah
untuk terjadiny erosi ditinjau dari sudut topografi, karena kecapatan dari pada
aliran air dipermukaan dapat dengan mudah mengikis lapisan tanah atas. Pada
tanah yang datar atau landai kecepatan aliran air lebih kecil dibandingkan dengan
tanah yang miring. Topografi miring memperparah berbagai erosi air, sehingga
dapat membatasi dalamnya solum. Sebaliknya jika air tergenang di suatu dataran

dalam waktu yang lama atau sepanjang tahun, maka pengaruh iklim realif tidak
begitu nampak dalam perkembangan tanah yang teratur (Suripin, 2002).
2.3.1 Kemiringan Lereng
Tabel 1. Kemiringan Lereng
Kelas 1

Kemiringan lereng
0-8% (datar)

Nilai skor
20

Kelas 2
Kelas 3

8-15% (landai)
15-25% (agak curam)

40
60

Kelas 4
Kelas 5

25-45% (curam)
45% (sangat curam)

80
100

Sumber: (Chay Asdak, 1995)


2.3.1 Lereng, Ancaman dan Erosi yang Telah Terjadi
Kecuraman, panjang, dan bentuk lereng (cembung atau cekung) semuanya
mempengaruhi laju aliran permukaan dan erosi. Kecerungan lereng dapat
diketahui dari peta tanah, sedangkan panjang dan bentuk lereng tidak tercatat pada
peta tanah, namun keduanya sering dapat menjadi petunjuk jenis tanah tertentu,
dan pengaruhnya pada penggunaan dan pengolalan tanah dapat dievaluasi sebagai
bagian satuan peta (Suripin, 2002).
2.4 Drainase
Drainase yang berasl dari bahasa inggris drainase mempunyai arti
mengalirkan, mengurus, membuang, atau mengalirkan air. Drainase secara umum
dapat didefinisikan sebgai suatu tindakan teknis untuk mengurangi kelebihan air,
baik yang berasal dari air hujan, rembesan, maupun kelebihan air irigasi dari suatu
kawasan/ lahan, sehingga fungsi kawasan/ lahan tidak terganggu. Drainase dapat
juga diartikan sebagai usaha untuk mengontrol kualitas air tanah dalam kaitannya
dengan salinitas menyangkut tidak hanya air permukaan tapi juga air tanah
(Suripin, 2004).

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Klasifikasi Kemampuan Lahan
Klasifikasi kemampuan lahan ditujukan untuk megetahui kemampuan
tanah berdasarkan sifat-sifat dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi
mempengaruhinya untk penggunaan tertentu (Suripin, 2002).
Berikut faktor pembatas yang didapat yaitu lereng permukan, dan drainase.
Tabel 2. Klasifikasi kemampuan lahan
Faktor penghambat/
pembatas
Lereng permukaan (%)
Kepekaan erosi

Nilai
18 %
0,26

Kelas kemampuan
lahan
IV-l3
II-KE

Tingkat erosi
Kedalaman tanah (cm)
Tekstur lapisan atas
Tekstur lapis bawah
Permeabilitas (cm/jam)
Drainase
krikil/ batuan
Ancaman banjir

Sedang
>100 cm
Lempung liat berpasir
Lempung liat berpasir
5,26
Sangat buruk
Tidak ada
Tidak pernah

III- e0
I- K0
I- t2
I- sda
I- p3
IV- d4
I- b0
I- O0

3.2 Rekomendasi Faktor Pembatas Lereng


3.2.1 Wanatani
Wanatani (agroforestry) adalah salah satu bentuk usaha konservasi tanah yang
menggabungkan antara tanaman pohon-pohnan, atau tanaman dengan tanaman
komoditas lain yang ditanam secara bersama-sama ataupun bergantian.
Penggunaan tanaman tahunan maupun mengurangi erosi baik daripada tanaman
komoditas pertanian khususnya tanaman semusim. Tanaman tahunan mempunyai
uas penutupan daun yang relatif lebih besar dalam menahan energi kinetik air
hujan, sehingga air yang sampai ke tanah dalam bentuk aliran batang (stemflow)
dan aliran tembus (thoughfall) tidak menghasilkan dampak erosi yang begitu
besar. Sedangkan tanaman semusim mampu memberikan efek penutupan dan
pelindungan tanah yang baik dari butiran hujan yang mempunyai energi perusak.
10

Penggabungan keduanya diharapkan dapat memberi keuntungan ganda baik dari


tanaman tahunan maupun dari tanaman semusim.
Penerapan wanatani pada lahan dengan lereng curam atau agak curam mampu
mengurangi tingkat erosi dan memperbaiki kualitas tanah, dibandingkan apabila
lahan tersebut gundul atau hanya ditanami tanaman semusim yang ideal pada
lereng yang berbeda pada sistem wanatani. Secara umum proporsi tanaman
tahunan makin banyak pada lereng yang semakin uram demikian juga sebliknya.
Tanaman semusim memerlukan pengolahan tanah dan pemeliharaan tanaman
yang lebih intensif dibandingkan dengan tanaman tahunan. Pengolahan tanah pada
tanaman semusim biasanya dilaukukan dengan cara mencangkul, mengaduk
tanah, maupun cara lain yang mengakibatkan hancurnya agregat tanah, sehingga
tanha mudah tererosi. Semakin besar kelerengan suatu lahan, maka resiko erosi
akibat pengolahan tanah juga semakin besar. Penanaman tanaman tahunan tidak
memerlukan pengolahan tanah secara intensif. Perakaran yang dalam dan
penutupan tanah yang rapat mampu melindungi tanah dari erosi. Tanaman tahunan
yang dipilih sebalknya dari jenis yang dapat memberikan nilai tambah bagi petani
dari hasil buah maupu kayunya. Selain dapat menghasilkan keuntungan dengan
lebih cepat dan lebih besar wanatani ini juga merupakan sistem yang snagat baik
dalam mencegah erosi tanah. Sistem wanatani telah lama dikenal di masyarakat
Indonesia dan berkembang menjadi beberapa macam yaitu pertanaman sela,
pertanaman lorong, talun hutan rakyat, kebun campran, pekarangan, tanaman
pelindung dan silvipastura.

Gamabar 1.Acuan umum proporsi tanaman pada kemiringan lahan yang berbeda
(Subagyon.dkk, 2003 dalam P3HTA, 1987)

11

3.2.1.1. Pertanaman sela


Pertanaman sela adalah pertanaman campuran antara tanaman tahunan
dengan tanaman semusim. Sistem ini banyak dijumpai di daerah hutan atau kebun
yang dekat dengan lokasi permukiman. Tanaman sela juga banyak diterapkan di
daerah perkebunan, pekarangan rumah tangga maupun usaha pertanian tanaman
tahunan lainnya. Dari segi konservasi tanah, pertanaman sela bertujuan untuk
meningkatkan intersepsi dan intensitas penutupan permukaan tanah terhadap
terpaan butir-butir air hujan secara langsung sehingga memperkecil resiko
tererosi. Sebelum kanopi tanaman tahunan menutupi tanah, lahan di antara
tanaman tahunan tersebut digunakan untuk tanaman semusim. Di beberapa
wilayah hutan jati daerah Jawa Tengah, ketika pohon jati masih pendek dan belum
terbentuk kanopi, sebagian lahannya ditanami dengan tanaman semusim berupa
jagung, padi gogo, kedelai, kacang-kacangan, dan empon-empon seperti jahe.
Penanaman

tanaman

semusim

bisa

berkali-kali

tergantung

dari

pertumbuhan tanaman tahunan. Sebagai tanaman pupuk hijau sebaiknya dipilih


dari tanaman legum seperti Leucaena leucocephala, Glyricidia sepium, Cajanus
cajan, Tephrosia candida, dan lain sebagainya. Jarak antara tanaman semusim
dengan tanaman tahunan secara periodik dilebarkan (lahan tanaman semusim
semakin sempit) dengan maksud untuk mencegah kompetisi hara, pengaruh
allelopati dari tanaman tahunan, dan kontak penyakit (Subagyono. dkk, 2003)
3.2.1.2. Pertanaman lorong
Sistem pertanaman lorong atau alley cropping adalah suatu sistem dimana
tanaman pagar pengontrol erosi berupa barisan tanaman yang ditanam rapat
mengikuti garis kontur, seingga membentuk lorong-lorong dan tanaman semusim
berada di antara pagar tersebut (Gambar 2). Sistem ini sesuai untuk diterapkn pada
lahan kering dengan kelerengan 3-40%. Dari hasil penelitian Haryati et al. (1995)
tentang sistem budi daya tanaman lorong di Ungaran pada tanah Typic Eutropepts,
dilaporkan bahwa sistem ini merupakan teknik konservasi yang cukup murah dan
efektif dalam mengendalikan erosi dan aliran permukaan serta mampu
mempertahankan

produktivitas

tanah.

Penanaman

tanaman

pagar

akan

12

mengurangi 5-20% luas lahan efektif budi daya tanaman sehingga untuk tanaman
pagar dipilih dari jenis tanaman yang memenuhi persyaratan di bawah ini (Agus et
al., 1999 dalam Subagyono, 2003):
a.

merupakan tanaman yang mampu mengembalikan unsur hara ke dalam tanah,

misalnya tanaman penabat nitrogen (N2) dari udara


b. menghasilkan banyak bahan hijauan.
c. Tahan terhadap pemangkasan dan tumbuh kembali secara cepat sesudah
pemangkasan.
d. Tingkat persaingan terhadap kebutuhan hara, air, sinar matahari dan tumbuh
e.
f.

dengan tanaman lorong tidak begitu tinggi


Tidak bersifat alelopati (mengeluarkan zat beracun) bagi tanaman utama.
Sebaliknya mempunyai manfaat ganda seperti untuk pakan ternak, kayu bakar,
dan penghasil buah sehinga mudah diadopsi petani.

Gambar 2.

Flemingia congesta sebagai tanaman pagar dalam budi


daya lorong (Subagyono, 2003).

3.2.1.3 Tanaman Pelindung


Tanaman pelindung adalah tanama tahunan yang ditanam di sela-sela
tanaman pokok tahunan. Tanaman pelindung ini dimaksudkan untuk mengurangi
intensitas penyinaran matahari, dan dapat melindungi tanaman pokok dari bahaya
erosi terutama ketika tanaman pokok masih muda. Tanaman pelindung ini dapat
dikelompokka menjadi dua, yaitu:

13

a. Tanaman pelindung sejenis yang membentuk suatu sistem wanatani


deserhana. Misalnya tanaman pokok berupa tanaman kopi dengan satu
jenis taaman pelindung misalnya: gamal (Gliricidia sepium), dadap
(Erythrina subumbrans), lamtoro (Leucaena leucocephala) atau kayu
manis (Cinnamomum burmanii).
b. Tanaman pelindung yang beraneka ragam dan membentuk wanatani
kompleks. Misalnya tanaman pokok berupa tanaman kopi dengan dua atau
lebih tanaman pelindung misalnya: kemiri (Aleurites muluccana), jengkol
(Pithecellobium jiringa), petai (Perkia speciosa), kayu manis, dadap,
lamtoro, gamal, durian (Durio zibethinus), alpukat (Persea americana),
nangka (Artocarpus heterophyllus), dll.
3.2.2 Teras gulud
Teras gulud adalah barisan guludan yang dilengkapi dengan salurana air
dibagian belakang gulud. Metode ini dikenal pula dengan istilah guludan
bersaluran. Bagian-bagian dari teras gulud terdiri atas guludan, saluran air, dan
bidang olah. Fungsi dari teras gulud hampir sama dengan teras bangku, yaitu
untuk menahan laju aliran permukaan dan meningkatkan penyerapan air ke dalam
tanah. Saluran air dibuat untuk mengalirkan aliran permukaan dari bidang olah ke
saluran pembuangan air. Untu meningkatan efektivitas teras gulud dalam
menanggulangi erosi dan aliran permukaan, guludan diperkuat dengan tanaman
penguat teras. Jenis tanaman yang dapat digunakan sebagai kompensasi dari
kehilangan luas bidang olah, bidang teras gulud dapat pula ditanami tanaman
bernilai ekonomi (cash crops), misalnya tanaman katuk dan cabai rawit.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan teras gulud:
a. Teras gulud cocok diterapkan pada lahan dengan kemiringan 10-40% .
b. Guludan digunakan pada permeabilitas tinggi dibuat menurut arah kontur
dan
c. Guludan digunakan pada permeabilitas rendah dibuat mirip terhadap
konture. Hal ini dianjurkan agar air yang tidak segera terinfiltrasi ke dalam
tanah sehingga dapat tersalurkan ke luar ladang dengan kecepatan rendah.

14

Gamabar 3. Teras Gulud (Jurnal Idjudin ,2011)


3.3 Rekomendasi Faktor Pembatas Drainase
3.3.1

Penambahan Bahan Organik Tanah

Ketika penurunan kandungan air dengan cara pembuatan rorak atau parit
telah dilaksanakanmakan maka bahan organik sangat perlu diberikan pada lahan
tersebut untuk treatment selanjutnya. Bahan organik menjadi sangat penting
dikarenakan teksture pada lahan tersebut berteksture lempung berdebu sehingga
daya infiltrasi air akan sulit masuk ke dalam tanah sehingga air menjadi jenuh
dipermukaan. Bahan organik yang ditambahkan akan dapat memperbaiki agregat
tanah sehingga daya serah tanah akan menjadi lebih baik. Bahan organik ini selain
menambah kandungan unsur- unsur hara serta C-Organik dalam tanah juga untuk
memperbaiki drainase guna terjaminnya oksigen untuk kelangsungan hidup
tanaman. Menurut Jamilah (2003) dalam Simangunsong (2011) menyatakan dosis
pupuk kandang untuk memperbaiki sifat fisik tanah minimal 15 ton/ha.
Pada lahan yang berdrainase terhambat umumnya memiliki pH masam.
Karakteristik nilai pH tanah yang rendah dapat dilakukan perbaikan dengan
melakukan pengapuran pada lahan. Efek dari pengapuran ini menurut Buckman
dan Brady (1982) dalam Hidayat (2006) akan memberikan efek fisik, kimia, dan
biologi. Efek fisik, yaitu meningkatkan pembutiran (granulasi), efek terhadap
gaya biotik terutama yang ada hubungannya dengan dekomposisi bahan organik
tanah dan sintesa humus. Dalam hubungan ini efek menstimulasi kapur terhadap

15

tumbuh-tumbuhan berakar dalam, terutama leguminose, tidak dapat diabaikan.


Efek kimia, yaitu dengan penambahan kapur akan menaikkan nilai pH menjadi
lebih sesuai. Dimana konsentrasi ion-ion H akan menurun, konsentrasi ion-ion
OH akan meningkat, kelarutan besi, aluminium dan mangan akan menurun,
tersediaannya fosfor, kalsium, dan magnesium akan bertambah besar, serta
persentase Kejenuhan Basa akan meningkat.
3.3 2 Penerapan Metode Konservasi Mekanik
Termasuk dalam metode mekanik untuk konservasi tanah dan air di
antaranya pengolahan tanah. Pengolahan tanah adalah setiap manipulasi mekanik
terhadap tanah yang diperlukan untuk menciptakan keadaan tanah yang baik bagi
pertumbuhan tanaman termasuk pembuatan rorak (saluran pembuangan air) dan
pembuatan terasering. Tujuan pokok pengolahan tanah adalah menyiapkan tempat
tumbuh bibit, menciptakan daerah perakaran yang baik, membenamkan sisa-sisa
tanaman dan memberantas gulma (Arsyad, 2000 dalam Kustantini dan BBPPBP
Surabaya (2014).

Teras saluran sebagai cabang dari metode konservasi mekanik


Lebih dikenal dengan rorak atau parit buntu adalah teknik konservasi

tanah dan air berupa pembuatan lubang-lubang buntu yang dibuat untuk
meresapkan air ke dalam tanah serta menampung sedimen-sedimen dari bidang
olah. Rorak juga bisa diartikan sebagai lubang-lubang buntu dengan ukuran
tertentu yang dibuat pada bidang olah dan sejajar dengan garis kontur. Fungsi
rorak adalah untuk menjebak dan meresapkan air ke dalam tanah serta
menampung sedimen-sedimen dari bidang olah.
Ukuran dan jarak rorak yang direkomendasikan cukup beragam. Arsyad
(2000) dalam Kustantini dan BBPPBP Surabaya (2014) merekomendasikan
dimensi rorak: dalam 60 cm, lebar 50 cm dengan panjang berkisar antara satu
meter sampai 5 meter. Jarak ke samping disarankan agar sama dengan panjang
rorak dan diatur penempatannya di lapangan dilakukan secara berselang-seling
seperti pada gambar agar terdapat penutupan areal yang merata. Jarak searah

16

lereng berkisar dari 10 sampai 15 meter pada lahan yang landai (3% 8%) dan
agak miring (8% 15%), 5 sampai 3 meter untuk lereng yang miring (15%
30%).

Gambar 4. Penempatan rorakberselang seling. Sumber: Arsyad (2006) dalam


Kustantini dan BBPPBP Surabaya (2014).

Pembutan Parit
Karakteristik drainase tanah dapat diperbaiki dengan pembuatan parit-parit

yang dalam dan sempit. Biasanya untuk pengendalian hilangnya air dari tanah
berat sebelum air masuk ke dalam tanah (Buckman dan Brady, 1982 dalam
Hidayat, 2006)

Gambar 5 . Parit-pari oleh (Buckman dan Brady, 1982 dalam Hidayat, 2006),

17

3.3.3

Penerapan Sumur Resapan

Konsep dasar sumur resapan pada hakekatnya adalah suatu sistem drainase
dimana air hujan yang jatuh di atap atau lahan kedap air ditampung pada suatu
sistem resapan air. Beberapa dengan cara konservasional dimana air hujan
dibuang/ dialirkan ke sungai terus ke laut, cara ini mengalirkan air hujan ke dalam
sumur-sumur resapan yang di buat di halaman rumah. Sumur resapan ini
merupakan sumur kosong dengan maksud kapasitas tampungnya cukup besar
sebelum air meresap ke dalam tanah. dengan adanya tampungan, maka air hujan
mempunyai cukup waktu untukmeresap ke dalam tanah, sehingga pengisian tanah
menjadi optimal (Suripin, 2002).
Menurut (Yassir, 2008) prinsip kerja sumur resapan adalah menyalurkan
dan menampung air hujan ke dalam lubang atau sumur agar air dapat memiliki
waktu tinggal di permukaan tanah lebih lama sehingga sedikit demi sedikit air
dapat meresap ke dalam tanah. air hujan yang masuk ke dalam tanah atau meresap
ke dalam tanah dan sedikit yang mengalir sebgai aliran permukaan (run off).
Semakin banyak air yang mengalir ke dalam tanah berarti akan banyak
dimanfaatkan kembali melalui sumur-sumur atau mata air yang dapat diekploitasi
setiap saat. Jumlah aliran akan menurun karena adanya sumur resapan. Pengaruh
posifitnya bahaya banjir dapat dihindari karena terkumpul air permukaan yang
berlebihan disuatu tempat yang dihindari. Prinsip kerja sumur resapan dapat
dilihat pada gambar berikut.

Sumber: Jurnal SMARtek Vol. 6 (1)


18

Sumur resapan yang dibuat harus memenuhi syarat-syarat agar daya


kerjanya dapat dipertanggung jawabkan serta tidak menimbulkan dampak baru
terhadap lingkungan diantaranya (Kusnaedi, 2000 dalam Yassir, 2008).
a. Model dan ukuran sumur resapan harus memperhaikan faktor lingkungan
danketersediaan lahan di kawasan tersebut.
b. Bahan-bahan yang dipakai harus murah dan mudah didapat di lokasi
sehingga mudah diterima dan diterapkan oleh masyarakat.
c. Harus memperhatikan jarak minimum.
d. Pada lahan yang tertutupi bangunan, volume sumur resapan dibuat lebih
besar dibandingkan lahan yang terbuka luas.
e. Untuk lahan dengan permukaan air dalam tinggi sumru resapan 2 m, lebar 1
m dan panjang 1 m
f. Untuk lahan dengan permukaan air dangkat dibuat memanjang dengan
kedalaman 1 m.
g. Untuk lokasi terendah pada suatu kawasan dapat dibuat sumur resapan
kolektif agar supaya air dengan mudah mengalir dari semua tempat dalam
kawasan tersebut. Alternatifmodel sumur resapan kolektif sesuai dengan
kondisi lingkungan:
1. Kolam resapan dangkal dengan kedalaman muka air tanah dangkal (<
5 m) dan ketersediaan lahan luas.
2. Sumur dalam dengan kedalaman muka air tanah (> 5 m) untuk lahan
sempit.
3. Parit dalam dengan kedalaman muka air tanah (< 5 m) dengan
ketersediaan lahan.

19

3.3.4

Penerapan Konservasi Secara Kimiawi (Soil conditioner)

Struktur tanah merupakan salah satu sifat tanah yang sangat menentukan
kepekaan tanah terhadap ancaman erosi. Oleh karena itu sejak tahun 1950-an telah
dimulai adanya usaha-usaha untuk memperbaiki kemantapan struktur tanah
melalui pemberian preparat-preparat kimia yang secara umum disebut pemantap
tanah (soil conditioner). Bahan pemantap tanah yang baik harus mempunyai sifatsifat sebagai beriku (seta, 1987 dalam Suripin, 2002):
a. Mempunyai sifat yang adhesif serta dapat bercampur dengan tanah secara
merata.
b. Dapat merubah sifat hidrophobik atau hidrophilik tanah, yang dengan
demikian dapat merubah kurva penahan air tanah.
c. Daya meningkatka kapasitas tukar kation tanah,

yang

berarti

mempengaruhi kemampuan tanah dalam menahan air.


d. Daya tahan sebagai pemantap tanah cukup memadai, tidak terlalu singkat
dan tidak terlalu lama.
e. Tidak bersifat racun (phytotoxix) dan harganya terjangkau.
Cara kerja bahan pemantap tanah tersebut dapat digambarkan dengan contoh
penggunaan Polyacrylamide (PAM). PAM adalah polymer non-hydrophobic
mempunyai bagian aktif amide yang mengakibatkan bagian-bagian OH pada
butir liat melalui ikatan hidrogen. Yang kemudian mengikat bagian-bagian negatif
liat, dan mengikat atom-atom oksigen pada permukaan liat melalui ikatan
hidrogen.
Cara pemakaiannya adalah dengan mencampurkan PAM dam air dengan
perbandingan volume 1:3 kemudian disemprotkan ke permukaan tanah yang
diperbaiki dan diaduk-aduk dengan cangkul dan/atau skop dan garu.

BAB IV

20

PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan

penentuan

klasifikasi

kemampuan

lahan

didapat

kelas

kemampuan lahan yaitu:


-

Lereng permukaan (%):


Kepekaan erosi
:
Tingkat erosi
:
Kedalaman Tanah (cm):
Tekstur Lapisan Atas :
Tekstur Lapisan Bawah:
Permeabilitas (cm/jam):
Drainase
:
Krikil/batuan
:
Ancaman Banjir
:

IV-l3
II-KE3
III-e0
I-K0
I-t2
I-sda
I-t3
IV-d4
I-b0
I-o0

Berdasarkan hasil penentuan kelas kesesuaian lahan didapatkan faktor


pembatas adalah Lereng dengan kelas kemampuan lahan IV-l3 dan drainase
dengan kelas kemampuan lahan IV-d4. Untuk itu agar lahan dengan kondisi faktor
pembatas lereng dan drainase bisa digunkan untuk kegiatan pertanian maka lahan
tersebut harus terlebih dahulu dilakukan konservasi dengan beberapa cara yaitu,
merekomendasikan untuk faktor pembatas lereng wanatani yang terdiri dari
beberapa metode (pertanaman sela, pertanaman lorong, tanaman pelindung) dan
teras gulud. Penerapn faktor pembatas dranase yaitu (penambahan bahan organik
tanah, penerapan metode konservasi mekanik seperti rorak, sumur resapan, dan
penerapan konservasi kimiawi (Soil Conditioner)
1.1 Saran
Penulis menyarankan bagi pengguna lahan dengan kondisi faktor pembatas
yang tertera di atas untuk menggunakan teknik wanatani yang terdiri dari
beberapa metode (pertanaman sela, pertanaman lorong, tanaman pelindung dan
teras gulud). (penambahan bahan organik tanah, penerapan metode konservasi
mekanik seperti rorak, sumur resapan, dan penerapan konservasi kimiawi (Soil
Conditioner) untuk menaikkan kelas kemampuan lahan untuk faktor pembatas
lereng dan drainase. Namun untuk lebih efektif dalam melakukan penaikan kelas

21

paktor pembatas tersebut penulis menyarankan untuk menggabungkan teknik


vegetaf dan teknik mekanik pada lahan dengan kemiringan 18% (agak curam)
yaitu dengan tanaman penutup tanah yang bernilai ekonomi dan teknik teras
gulud.

22

Anda mungkin juga menyukai