Anda di halaman 1dari 16

SEJARAH HADIST PADA MASA AWAL ISLAM

KARYA ILMIAH

Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Matakuliah Ulumul Hadist
Pascasarjana UIN Ar-Raniry
Oleh:

HENDRA HALIM

2016

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sejarah perjalanan hadits tidak sama dengan perjalanan al-Quran. Jika al-Quran
sejak awalnya sudah diadakan pencatatan secara resmi oleh para pencatat wahyu atas perintah
dari Nabi dan tidak ada tenggang waktu antara turunya wahyu dengan penulisanya, maka
tidak demikian dengan hadits nabi. Jika al-Quran secara normatif telah ada garansi dari
Allah, dan tidak ada keraguan akan otentisitasnya, maka tidak juga demikian dengan hadits
nabi, yang mendapatkan perlakuan berbeda dari al-Quran. Dalam kitab-kitab hadits terdapat
larangan penulisan hadits.
Dengan perbedaan sejarah perjalanan hadits dan sumber hukum utama al-Quran.
Maka saya, dalam makalah ini akan membahas sejarah dan perkembangan hadits dari zaman
Rasulullah sampai pada zaman sahabat.
1.2. Rumusan Masalah
Dengan melihat latar belakang masalah di atas, ada lima permasalahan dalam
penelitian ini yang dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
5.

Bagaimanakah metode Rasul dalam menyampaikan hadist kepada sahabat?


Bagaimanakah cara-cara sahabat memperoleh hadist Nabi?
Bagaimanakah kehati-hatian sahabat dalam menerima periwayatan hadist?
Bagaimanakah cara-cara pemeliharaan hadist pada masa Nabi?
Bagaimanakah pencatatan hadist pada masa Nabi?

1.3. Tujuan Penelitian


Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah :
1.
2.
3.
4.
5.

Mengetahui metode Rasul dalam menyampaikan hadist kepada sahabat.


Mengetahui cara-cara sahabat memperoleh hadist Nabi.
Mengetahui kehati-hatian sahabat dalam menerima periwayatan hadist?
Mengetahui cara-cara pemeliharaan hadist pada masa Nabi?
Mengetahui pencatatan hadist pada masa Nabi?

1.4. Signifikasi Penelitian

Secara teoritis penelitian ini diharapkan menambah wawasan hasanah ilmu


pengetahuan, khususnya tentang sejarah hadist pada masa awal islam. Sedang secara praktis
hasil penelitian ini dapat membantu mengenali metode Rasul dalam menyampaikan hadist
kepada sahabat, cara-cara sahabat memperoleh hadist Nabi, kehati-hatian sahabat dalam
menerima periwayatan hadist, cara-cara pemeliharaan hadist pada masa Nabi, dan pencatatan
hadist pada masa Nabi.
1.5. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan seluruhnya atas dasar penelitian kepustakaan (library
research) dengan membaca serta menelaah karya-karya yang berkaitan dengan permasalahan
yang dibahas. Adapun langkah-langkah yang dipergunakan yaitu, 1) orientasi, investigasi dan
intensifikasi informasi berkenaan dengan permasalahan terkait, 2) mengklasifikasikan
informasi disesuaikan dengan urutan masalah. Kemudian setelah data terkumpul, sejauh yang
mungkin diusahakan menganalisisnya secara historis-analitik-argumentatif dengan pola yang
variatif antara deduksi dan induksi.3) Dengan metodologi penafsiran muqaran, yaitu
membandingkan pendapat ulama yang satu dengan lainnya dalam suatu masalah.

BAB II
KAJIAN TEORITIS
2.1. Metode Rasul dalam Menyampaikan Hadist kepada Sahabat
Sebaimana yang telah kita ketahui, bahwa hadist Rasul, ada yang berbentuk sabda,
perbuatan, hal ihwal dan taqrir, dan hadist hadist beliau disampaikan dalam beragam
peristiwa diantaranya.1
1. Pada Majelis-majelis Rasulullah
Rasulullah secara khusus dan teratur mengadakan majlis majlis yang berhubungan
dengan kegiatan pengajaran islam. Dan bukun hanya terkhusus untuk kaum pria saja tetapi
ada juga untuk kaum wanita.
Pada majlis inilah para saabat menerima hadist yang disampaikan Rasulullah,
kemudian setelah pengajian para sahabat kembali mengulang atau menghapal nya kembali.
Anas bin malik mengatakan: kami berada disis Rasulullah kami mendengengarkan
hadist dari beliau, apabila telah selesai, maka kami mempelajariny kembali dan menghapal
nya.2
2. Pada Peristiwa yang Rasulullah Alami kemudian Beliau Menerangkan
Hukumnya
Adakalanya Rasulullah menyaksikan suatu peristiawa kemudian beliau menjelaskan
hal hal yang berhubungan dengan peristiwa itu. Abu hurairah meriwayatkan, bahwa suatu
ketika Rasulullah lewat dimuka seorang saudagar bahan makanan. Rasullah bertanya
bagaimana barang itu dijual, kemudian penjual itu menjelaskan nya. Rasulullah lalu
menyuruh penjual untuk memasukkan tangan nya, maka penjual pun memasukkan nya
sehinngah tampak bahwa bagian bawah barang itu dicampur air. Menyaksikan hal demikian
Rasulullah bersabda:

Bukanlah dari golongan kami, siapa yang menipu (H.R Ahmad)

3. Pada Peristiwa yang Dialami oleh Kaum Muslimin Kemudian Meraka


Menanyakan Hukumnya kepada Rasulullah.
1 Drs. M. Syuhudi Ismail, pengantar ilmu hadis, Bandung, Angkasa, 1994, Hal. 83
2 Ibid. Hal. 85

Adakalanya para sahabat mengalami suatu peristiwa yang berhubungan dengan


dirinya, dan adakala berhubungan dengan orang lain. Dan untuk menenangkan bathin nya,
maka mereka menanyakan hal yang mereka alami kepada Rasulullah. Sehingga beliau
mengeluarkan atau memberikan fatwa mengenai hukum nya.3
4. Pada Peristiwa yang Dialami Langsung oleh Para Sahabat Terhadap Apa yang
Terjadi atau Dilakukan Rasulullah
Banyak sekali yang menyangkut hal ini. Karena rasulullah dan para sahabat hidup
dalam kebersamaan di keseharian mereka. Umpanya yang berhubungan dengan ibadah puasa,
sholat, sedekah, haji dan lain sebagai nya.4
2.2. Cara-Cara Sahabat Memperoleh Hadist Nabi
Banyak terdapat berbagai macam hadis yang terhimpun di dalam kitab-kitab hadis.
Yang kita lihat sekarang ini adalah berkat kegigihan dan kesungguhan para sahabat dalam
menerima dan memelihara hadis pada masa dahulu.
Cara para sahabat menerima hadis pada masa Rasulullah Saw berbeda dengan cara yang
dilakukan oleh generasi setelah itu. Cara para sahabat menerima hadis dimasa Nabi
Muhammad Saw yaitu dilakukan oleh sahabat yang dekat dengan beliau, seperti Khaula
Faurra Syidan, dimasa Nabi para sahabat mempunyai minat yang besar untuk memperoleh
hadis dari pada Nabi Muhammad Saw. oleh karena itu mereka berusaha keras mengikuti Nabi
Muhammad Saw agar perkataan, perbuatan atau taqrir beliau dapat mereka terima atau
mereka lihat secara langsung.5 Jika diantara para sahabat ada yang berhalangan maka dicari
sahabat yang lain untuk dapat mendengar dan melihat apa yang disampaikan. Nabi
Muhammad Saw pokoknya setiap Nabi menyampaikan sesuatu hukum atau melakukan
ibadah apapun jangan sampai tidak ada sahabat yang melihatnya.
Sebagai contoh para sahabat sangat berminat untuk memperoleh hadis. Nabi
Muhammad Saw. Dapat kita lihat sebuah tindakan yang dilakukan oleh Umar Ibnu AlKhattab. Untuk dan mendapat hadis dari Nabi Muhammad Saw dengan tetangganya apabila
hari ini tetangganya yang mencari hadis pada Nabi maka esok harinya giliran Umar yang
bertindak. Dalam rangka mencari hadis pada Nabi Muhammad Saw. Siapa diantara sahabat

3 Ibid. Hal. 85
4 Ibid. Hal 85
5 Nawir Yuslem, Ulumul Hadist (Jakarta : PT.Mutiara Sumber Widya, 2001) h.88

yang bertugas menemui dan mengikuti Nabi serta mendapatkan hadis dari beliau, maka ia
segera menyampaikan untuk sahabat-sahabat yang lain.6
Dalam hal ini ada empat cara yang ditempuh oleh para sahabat untuk mendapatkan
hadis dari Nabi Muhammad Saw.
1. Para sahabat selalu mendatangi pengajian-pengajian yang disampaikan oleh
Rasulullah Saw. Rasulullah selalu menyediakan waktu bagi para sahabat untuk
menyampaikan berbagai ajaran agama Islam. Para sahabatpun selalu berusaha
mengikuti berbagai majelis yang disitu disampaikan berbagai pesan-pesan keagamaan
walaupun mereka mengikuti secara bergiliran. Jika ada sahabat yang tidak bisa hadir
maka disampaikan oleh sahabat-sahabat yang hadir.7
2. Rasulullah Muhammad Saw sendiri yang mengalami berbagai persoalan yang Nabi
sendiri yang menyampaikan persoalan tersebut kepada para sahabat, jika sahabat yang
hadir jumlahnya banyak maka apa yang disampaikan oleh Nabi dapat tersebar luas.
Dikalangan sahabat-sahabat yang lain jika yang hadir jumlahnya sedikit maka
Rasulullah Muhammad Saw memerintah kepada sahabat yang hadir untuk segera
menyampaikan berita tersebut kepada sahabat-sahabat yang tidak hadir. Contoh sebagaimana
peristiwa yang dialami oleh Nabi sendiri dengan seorang pedagang. Seperti yang termaktub
didalam sebuah hadis sebagai berikut:
:
. : , ,
()

Dari Abu Hurairah, r.a bahwa Rasulullah melewati seorang penjual makanan lantas
beliau bertanya bagaimana caranya engkau berjualan? maka si pedagang menjelaskannya
pada Rasulullah. Selanjutnya beliau menyuruh pedagang itu memasukkan tangannya ke
dalam tumpukan makanan tersebut, ketika tangannya ditarik keluar terlihat tangannya basah,
maka ketika itu Rasulullah bersabda, tidaklah termasuk golongan kami orang yang menipu.
(HR.Ahmad).8
Dari pengertian hadis tersebut diatas menunjukkan bahwa Rasulullah jika melihat para
sahabat melakukan kesalahan segera Rasul memperbaikinya. Sebagaimana diriwayatkan oleh
Umar Ibnu Khattab bahwa ia menyaksikan seseorang sedang berwudhu untuk melakukan
6 Muhammad Ajaj Al-Kharib, Assunnah Dablat-Tadwin (Beirut : Dar al-Fikr ,th.1981) h.20.
7 Nawir Yuslem, Ulumul Hadis. h.15.
8 Ajaj Al-Khatib, I-Sunnah Dabla Tadwin, h.60.

shalat, namun orang tersebut tidak membasahi bagian atas kuku kaki, lantas hal tersebut
dilihat oleh Rasulullah Saw, dan beliau segera memerintahkan kepada orang tersebut untuk
mengalami kembali wudhuknya itu. Dan orang tersebut juga segera mengulangi wudhuknya
itu dengan sempurna. Ini salah satu contoh beliau jika mengalami satu-satu persoalan segera
diperbaiki, walaupun persoalan tersebut dianggap kecil.9

3. Diantara para sahabat mengalami berbagai persoalan kemudian mereka menanyakan


langsung kepada Rasulullah Saw tentang bagaimana hukumnya terhadap persoalan
tersebut. Kemudian Rasulullah Muhammad Saw segera memberikan fatwa atau
penjelasan hukum tentang peristiwa tersebut. Kasus yang dialami sahabat apakah
kasus yang terjadi pada diri sahabat itu sendiri maupun terjadi pada sahabat yang
lain.10
Pokoknya jika diantara para sahabat mengalami satu-satu masalah, para sahabat tidak
merasa malu-malu untuk datang secara langsung menanyakan pada Rasulullah Saw.
Jika ada juga para sahabat yang malu bertanya langsung pada Rasulullah maka
sahabat mengutus sahabat yang lain yang berani menanyakan secara langsung tentang
peristiwa apa yang dialami sahabat pada waktu itu, sehingga tidak ada persoalan yang
tidak jelas hukumnya.11
4. Kadang-kadang ada juga sahabat yang melihat secara langsung Rasulullah Saw
melakukan satu-satu perbuatan, hal ini berkaitan dengan ibadah seperti shalat, zakat,
puasa, dan ibadah haji serta ibadah-ibadah lainnya.
Para sahabat yang menyaksikan hal tersebut segera menyampaikan untuk sahabat
yang lain atau generasi sesudahnya, diantaranya yaitu peristiwa yang terjadi antara
Rasulullah dengan malaikat Jibril mengenai masalah iman, Islam, ikhsan dan tandatanda hari kiamat.12

Artinya : Dari Abu Hurairah r.a dia berkata, adalah Nabi Saw tampak pada suatu hari
ditengahtengah manusia, maka datang seorang laki-laki seraya bertanya, apakah iman itu?
Rasulullah Saw menjawab, Iman itu adalah engkau beriman. Akhirnya Rasulullah Saw

9 Khudri Bek, Tarikh Tasyri Al-Islam (Kairo : Dar Al-Fikr, 1967) h.110.
10 M.Ajjaz Al-Khatib, Ushul Al-Hadist. Juz I.h.42
11 Ibid, h.18.
12 Nawir Yuslem, Ulumul Hadist, h.93.

mengatakan kepada para sahabat, Dia malaikat Jibril yang mengajari manusia tentang
masalah agama (HR.Bukhari).13
Setelah mendapatkan hadis dengan cara-cara diatas, para sahabat menghafal sebagaimana
halnya dengan al-quran.
2.3. Kehati-hatian Sahabat dalam Menerima Periwayatan Hadist
Selain sebagai seorang yang cinta kepada Nabi saw, para sahabat dan tabiin juga
sebagai pecinta hadits-hadits Nabi saw. Untuk itulah mereka demikian antusias dan merasa
bertanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan sumber ilmu dan hukum Islam kedua
tersebut. Ada beberapa cara yang telah dilaksanakan para sahabat dan tabiin untuk menjaga
kelestarian hadits, diantaranya:14
1. Taqlil ar-riwayah
Para sahabat sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits rasul saw, karena
khawatir terjerumus pada kesalahan serta takut akan adanya kesalahan masuk ke dalam
sunnah. Dari kehati-hatian tersebut, bahkan ada diantara sahabat memilih membatasi diri dari
periwayatan hadits (Taqlil al-Riwayah) karena alasan menghormatinya, bukan karena enggan
terhadapnya. Mereka tidak akan meriwayatkan hadits kecuali sangat mendesak. Seusai
meriwayatkan hadis, mereka akan mengatakan , atau kata yang sejenisnya.15
Secara khusus, dalam pemerintahan Abu Bakar dan Umar, ditemukan kesan adanya
upaya meminimalisasi riwayat Hadis. Upaya tersebut semakin kuat ketika Umar memegang
tampuk kekhalifahan. Umar memberlakukan hukuman dera bagi siapa saja yang
memperbanyak periwayatan hadis. Hal ini sebagaimana pengakuan Abu Hurairah ketika
ditanya kenapa beliau tidak banyak meriwayatkan hadis pada era pemerintahan Umar. Jika
aku memberitakan hadis pada masa Umar sebagai yang aku beritakan kepada kamu (saat ini),
niscaya ia akan memukulku. Demikian jawaban Abu Hurairah. Dalam masa berikutnya,
kendatipun tidak ada lagi tekanan dari Umar, Abu Hurairah tetap tidak mau memperbanyak
periwayatan. Hal ini merupakan kesadaran sendiri dari diri beliau untuk mengikuti sunnah
dua Khalifah al-Rasyidin, Abu Bakar dan Umar. Namun, dalam suatu saat sebagaimana yang
dikemukakan al-Bukhari, beliau membaca dua ayat Al-Quran surah al-Baqarah ayat 159 dan
160. Sejak saat itu barulah beliau memperbanyak periwayatannya.
13 Husen Al-Majid, Imam Bukhari Muhaddisan Wafaqiahn (Kairo : Dar Qaumiyah Al-Thaibahah
AL-Azhar,tt)h.12
14 M. Muhammad Ab Zahw, Al-Hadits Wa Al-Muhadditsun Aw Inayah Al Ummah Al-Islamiyah
Bi Al-Sunnah Al-Nabawiyah(Mesir: Dr al-Fikr al-Arab, tt), 67-77.
15 Muhammad Ajjj Al-Khathb, Ushl al-Hadts: Pokok-pokok Ilmu Hadits. Terjemahan oleh H.M
Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), 77

Sahabat-sahabat lain, juga terkesan menyedikitkan riwayat. Abu Ubaidah, Abbas bin
Abd al-muth-thalib, mereka tidak banyak meriwayatkan hadis, tidak seimbang jumlah hadis
yang mereka riwayatkan dengan kedekatan keseharian mereka dengan Rasul saw. Demikian
pula misalnya dengan Said bin Zaid, salah seorang sahabat yang dijamin Rasul masuk surga,
tidak meriwayatkan hadis kecuali hanya sekitar dua sampai tiga hadis.16
Jika diamati, mengapa sahabat membatasi periwayatan, maka ditemukan jawaban di
sekitar hal ini yang bersifat kondisional dan bersifat kehati-hatian.17
Pertama, pada masa Abu Bakar, pusat perhatian tertuju pada pemecahan masalah
politik, khususnya konsolidasi dan pemulihan kesadaran terhadap perlunya menjalankan roda
khilafah Islam. Oleh sebab itu, gerakan periwayatan dengan sendirinya terbatas.
Kedua, sahabat masih dekat dengan era Nabi, dimana umumnya mereka mengetahui
sunnah. Sehingga persoalan-persoalan hukum dan sosial telah mendapat jawaban dengan
sendirinya pada diri mereka.
Ketiga, para sahabat lebih menfokuskan diri pada kegiatan penulisan dan kodifikasi
Al-Quran. Kegiatan ini bukanlah pekerjaan mudah, sebab sahabat-sahabat mesti menyeleksi
tulisan-tulisan dan hafalan di antara mereka untuk dibukukan dalam satu mushaf. Zaid bin
Tsabit, pernah berkata ketika ditunjuk oleh khalifah memimpin penyusunan kembali tulisan
Al-Quran bahwa ia lebih suka disuruh memindahkan gunung Uhud ketimbang melakukan
pekerjaan ini.
Keempat, adanya kebijaksanaan yang dilakukan penguasa, khususnya Umar, agar
sahabat menyedikitkan riwayat. Ini disebabkan kecenderungannya yang sangat selektif,
berhati-hati, dan diiringi sikap ketegasannya. Dalam kaitan ini kemungkinan Umar ingin
melakukan penyebaran Al-Quran lebih diprioritaskan ketimbang Sunnah. Sebab, andaikata
gerakan sunnah lebih diutamakan, maka kemungkinan masyarakat yang baru memeluk Islam
akan melupakan Al-Quran dan lebih memprioritaskan Sunnah. Dengan demikian, regenerasi
penghafal Al-Quran tentu tidak akan mencapai kesuksesan, karena perhatian kepada Sunnah.
Padahal diketahui bahwa Umar merupakan pemarkasa penulisannya Al-Quran dengan alasan
kekhawatirannya yang besar atas wafatnya sahabat-sahabat Nabi penghafal Al-Quran dalam
memerangi kaum murtad di masa Abu Bakar.
Kelima, sahabat khawatir terjadinya pemalsuan hadis yang dilakukan oleh mereka
yang baru masuk Islam, sebab sunnah belum terlembaga pengumpulannya sebagaimana AlQuran.
16 Ibid, 67
17 Artikel uin-malang.ac.id/.../hadits-pada-masa-sahabat-dan-tabiin diakses 20 Maret 2011

Keenam, sahabat takut terjerumus ke dalam dosa kalau-kalau mereka salah dalam
meriwayatkan Sunnah.
2. Tatsabbut Fi Ar-Riwayah
Adanya gerakan pembatasan riwayat di kalangan sahabat tidaklah berarti bahwa
mereka sama sekali tidak meriwayatkan Sunnah pada masanya. Maksud dari pembatasan
tersebut hanyalah menyedikitkan periwayatan dan penyeleksiannya. Konsekuensi dari
gerakan pembatasan tersebut, muncullah sikap berhati-hati menerima dan meriwayatkan
Sunnah. Para sahabat melakukan penyeleksian riwayat yang mereka terima dan memeriksa
sunnah yang mereka riwayatkan dengan cara mengkonfirmasikan dengan sahabat lainnya.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang memerintahkan untuk cermat dalam
menerima berita, melarang dusta dan memerintah mengatakan yang benar, diantaranya:

Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita,
Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu
kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu
itu. (Q.S Al-Hujuraat: 6)

Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah Perkataan
yang benar. Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu
dosa-dosamu. dan Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, Maka Sesungguhnya ia telah
mendapat kemenangan yang besar. (Q.S Al-Ahzab: 70-71)

Artinya: Dan jauhilah perkataan-perkataan dusta. (Q.S Al-Hajj: 30)

Dengan demikian, para sahabat dan tabiin serta generasi sesudahnya sangat teliti dan
cermat terhadap hadits. Mereka berusaha menempuh segala cara yang memberikan jaminan
bagi mereka akan keshahihan yang diriwayatkan dan kapasitas pembawanya, dengan cara
mencari hadits dari perawi lain, memadukan jalur-jalurnya dan kadang-kadang merujuk pula
kepada tokoh-tokoh yang kompeten dalam bidangnya.18
Selain hal tersebut Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan yang dilakukan
para sahabat, disebabkan mereka khawatir terjadinya kekeliruan antara al-Quran dan Hadits,
sehingga

membuat

sepekulasi

pembentukan

panitia

dalam

pengumpulan

hadits. Sebagaimana riwayat yang menceritakan, bahwasanya Ketika Abu Musa al-Asyari
dia mengucapkan salam sampai tiga kali. Umar mendengar tapi tidak menjawabnya, karena
beliau mengira Abu Musa akan masuk walau tidak dijawab, ternyata dugaan beliau salah.
Karena setelah mengucapkan salam sampi tiga kali dan tidak mendapatkan jawaban Abu
Musa meninggalkan Rumah Umar. Melihat hal tersebut, Umar mengejar Abu Musa dan
menanyakan mengapa dia berbuat demikian, Abu Musa menjelaskan Bahwa Rasulullah
pernah bersabda, Apabila seseorang mengucapkan salam sampai tiga kali dan tidak
mendapat jawaban, maka gendaklah dia pulang. Umar tidak puas mendengar jawaban itu.
Bahkan Umar mengancam dengan hukuman apabila Abu Musa tidak mendatangkan saksi.
Pada saat itu tampilah Ubay ibn Kaab memberikan penjelasan mengenai kebenaran
periwayatan tersebut sehingga Umar menerimanya, seraya berkata, Aku tidak bermaksud
menuduhmu yang bukan-bukan, tetapi aku khawatir kalau orang-orang berbicara tentang
Rasul dengan mengada-ada.19
3. Manu Ar-Ruwat Min At-Tahdits Bima Yalu Ala Fahm Al Ammah
Ditemukan pula adanya gerakan pelarangan riwayat karena dikhawatirkan terjadinya
kesalahpahaman terhadap riwayat tersebut. Larangan ini khusus terhadap riwayat yang dapat
mengundang kesalahpahaman dan meriwayatkannya kepada orang lain dengan pemahaman
yang keliru tersebut. Misalnya, hadits yang menjelaskan tentang syahadat. Nabi bersabda,
Tidak seorang pun yang bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dengan kesungguhan di
dalam hatinya, kecuali Allah mengharamkannya dari api neraka. Muaz berkata, Wahai
utusan Allah, aku akan memberitahukannya kepada para manusia, maka niscaya mereka akan
bergembira. Umar bin al-Khattab melarang Abu Hurairah untuk menyebarkan hadis yang
dikemukakan kepada Muaz tersebut. Ia bergegas menemui Rasul saw seraya berkata, Wahai
18 Muhammad Ajjj Al-Khathb, Ushl al-Hadts: Pokok-pokok Ilmu Hadits. Terjemahan oleh H.M
Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), 81
19 Muhammad, Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah Qabl al-Tadwin,(Beirut: Darl Fikr, 1981), 112-114

Rasulullah, engkau telah mengatakan kepada Abu Hurairah begini dan begitu, Nabi saw
menjawab,Benar, Umar berkata,Jangan engkau lakukan itu, aku takut manusia akan
berpegang padanya dan mencederai mereka dalam bertindak. Nabi saw mengakuinya, dan
berkata,Mereka akan rusak. Diriwayatkan oleh Muslim dalam bab iman.
Pelarangan ini dipahami bukanlah sebagai perbuatan negatif untuk menyembunyikan
ilmu, melainkan untuk menutupi pintu keburukan yang besar. Sebab, masyarakat umum tidak
memiliki tingkat kecerdasan yang sama. Riwayat seperti ini dapat menjerumuskan mereka
untuk meninggalkan syariat Allah. Oleh sebab itu, sangat bijak jika Ibn Abbas
berkata,Ceritakanlah hadis kepada manusia sesuai dengan kecerdasan mereka. Apakah kamu
menghendaki mereka mendustakan Allah dan Rasul. Disebabkan salah memahami satu
hadis mereka mendustakan seluruh syariat yang dibawa oleh Rasulullah saw. Muslim
meriwayatkan di dalam mukaddimahnya bahwa Ibn Masud mengatakan, Orang yang
menyampaikan hadis di luar jangkauan kecerdasan mereka, maka akan menjadi fitnah bagi
kaum tersebut.
2.4. Cara-cara Pemeliharaan Hadist Pada Masa Nabi
Rangkaian kegiatan untuk menghimpun hadits-hadits Nabi oleh para periwayat di
awali dengan proses rihlah (perjalanan mencari hadits). Bagi para periwayat hadits,
perjalanan mencari hadits adalah suatu hal yang sangat memuaskan, walaupun menghadapi
berbagai kendala. Untuk memperoleh hadits yang banyak, perawi melakukan perjalanan ke
daerah yang dipandang sebagian sentral hadits. Dalam hal ini, Madinah adalah daerah sasaran
pertama mereka, sebab kota ini tempat Nabi hijrah dan di sini pula berakhir kehidupannya.
Penduduk kota ini banyak meriwayatkan hadits Nabi, 20 sehingga sangat layak jika kota ini
menjadi sasaran utama rihlah.
Selain Madinah, daerah yang dipandang sebagai sentral hadits lainnya adalah Mekah,
Mesir, Syam, dan Basrah.21 Para periwayat hadits melawat ke daerah-daerah sentral hadits,
terkadang hanya untuk menemui seorang periwayat, seperti yang pernah dilakukan oleh Abu
al-Ayyub yang berangkat ke Mesir hanya untuk menemui Uqbah. 22 Kenyataan ini
menunjukkan betapa gigihnya para perawi dalam melakukan perlawatan ke daerah-daerah
tersebut. Perjalanan mencari hadits ini jika dikaitkan dengan periodisasi sejarah pertumbuhan
20 Subhi Shalih, Ulum al-Hadits wa Musthalahahu, terj. Tim Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1993), 54
21 Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), 75
22 Abu al-Ayyub mencari hadits yang berbunyi: Barang siapa menutupi kesukaran seorang muslim
di dunia ini, Allah akan menutupi kesukarannya pada hari kiamat. Hasbi al-Shiddieqi, Pokokpokok, 71

dan perkembangan hadits, berlangsung pada awal-awal abad II H. Paling tidak, ada beberapa
alasan mengapa para periwayat hadits melakukan lawatan antar sentral hadits, antara lain
adalah karena mencari hadits adalah bagian dari ibadah dan secara sosiologis terdapat
kecenderungan untuk diakui sebagai ulama hadits jika melakukan lawatan.
Lawatan yang dilakukan pada abad ke II H itu baru dalam batas-batas mengumpulkan
hadits berdasarkan kemampuan hafalan. Pelanggaran mengenai larangan penulisan hadits,
sebagaimana yang disampaikan Nabi dalam salah satu hadisnya, oleh sebagian periwayat
masih dianggap sebagai perbuatan yang kurang bermoral, sebagai akibat pemahaman yang
sederhana terhadap hadits tersebut.
Meskipun demikian, pandangan kurang bermoral ini kurang diterapkan secara nyata
mengingat ditemukannya shahifah milik Abu Hurairah berjumlah 140 hadits. 23 Hal yang sama
terjadi pada Hasan bin Ali yang berwasiat kepada budaknya menjelang kematiannya, agar
membakar seluruh kitab miliknya kecuali satu yang tertinggal. 24 Hanya saja, pencatatan
hadits oleh sahabat-sahabat tertentu pada saat itu masih bersifat rahasia.
2.5. Pencatatan Hadist pada Masa Nabi
Kegiatan membaca dan menulis sebenarnya sudah dikenal sejak zaman Jahiliyah,
walaupun masih dalam sangat yang terbatas. Pada dasarnya pada masa Rasulullah sudah
banyak umat Islam yang membaca dan menulis, bahkan Rasul sendiri memiliki sampai 40
orang penulis wahyu disamping para penulis urusanurusan lainnya.25
Oleh karenanya argumen yang menyatakan kurangnya umat Islam yang bisa baca tulis
adalah penyebab yang tidak ditulis secara resmi pada masa Rasulullah Saw adalah dugaan
yang sangat keliru, karena berdasarkan keterangan diatas terlihat banyak sekali umat Islam
yang mampu membaca dan menulis, cuma kenapa hadis tidak ditulis pada masa itu secara
resmi, ini bukan persoalan tidak adanya yang bisa menulis, akan tetapi ada faktor-faktor lain
yang oleh Rasulullah sendiri melarang menulis hadis tersebut.26 Sehingga kita temukan
berbagai hadis yang sebagian membenarkan bahkan menambahkan sebagian yang lain
melarang untuk menulisnya.
Untuk lebih jelasnya tentang masalah tersebut maka coba penulis kutip beberapa
hadis Nabi Muhammad Saw, yang kontrofersial tentang perbedaan tersebut, diantaranya :

23 Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahzib al-Tahzib, jil. XII (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), 71
24 Muhammad bin Saad, Thabaqat al-Qubra, jil. VI (Beirut: Dar al-Shadr, t.th), 259
25 M.Ajjaj Al-Khatib, Ushul Al-Hadist, h.150-152.
26 Ibid.h.166.

1. Nabi Muhammad Saw, melarang penulisan hadis yang dilakukan oleh para sahabat,
apakah hasil melihat atau mendengar dari Rasulullah Saw. Sebagai bukti terdapat
sebuah hadis sebagai berikut :

Artinya : Dari Said Al-Khudri bahwasanya Rasulullah Saw bersabda Jangan kamu
menuliskan sesuatu dari-Ku, dan siapa yang menuliskan sesuatu dari selain Al-quran
maka hendaklah ia menghapuskannya (HR.Muslim).27
Dari keterangan riwayat diatas dapat kita pahami bahwa Rasulullah Saw, melarang
para sahabat untuk menulis hadis sebelum beliau, bahkan beliau sempat menyuruh
menghapus hadis-hadis yang sudah sempat ditulis oleh para sahabat.28

BAB III
PENUTUP
27 Muslim Ibnu Hajjaj Al-Naisaburi,Sahih Muslim,(Beirut:Dar Al-Fikr, 1414 H/1993 M) Juz.2,
h.710
28 Nawir Yuslem (8) Ulumul Hadis, h.82.

3.1 Kesimpulan
Akhirnya, paparan di atas sampailah pada kesimpulan sebagai berikut :
1. Perkembangan Hadits adalah masa atau periode-periode yang telah dilalui oleh Hadits
semenjak dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan
pengamalan umat dari generasi ke generasi.
2. Para sahabat menerima hadits dari Rasul saw. ada kala langsung dari beliau sendiri,
yakni mereka langsung mendengar sendiri dari Nabi,adakala tidak langsug yaitu
mereka menerima sesama sahabat yang telah menerima dari Nabi, atau mereka
menyuruh seseorang bertanya kepada Nabi, jika mereka sendiri malu untuk bertanya.
3. Pada masa sahabat ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan
penyebaran Al-Quran, maka pernyataan hadits belum berkembang. Oleh karena itu,
masa ini oleh para ulama dianggap sebagai masa yang menunjukkan adanya
pembatasan periwayatan (al-tasabbut wa al-iqlal min al-riwayah).

3.2 Saran
Dari temuam penelitian di atas peneiiti memberi masukan kepada :
1. Untuk kalangan akademisi, hendaknya penelitian ini dijadikan pijakan untuk
mengembangkan penelitian lebih lanjut, yakni mengenali metode Rasul dalam
menyampaikan hadist kepada sahabat, cara-cara sahabat memperoleh hadist Nabi,
kehati-hatian sahabat dalam menerima periwayatan hadist, cara-cara pemeliharaan
hadist pada masa Nabi, dan pencatatan hadist pada masa Nabi.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Asqalani, Ibnu Hajar. Tahzib al-Tahzib, jil. XII. Beirut: Dar al-Fikr, 1978
Al-Hajjaj Al-Naisaburi Muslem, Sahih Muslim,Beirut : Dar Al-Fikr 1414 / 1993, Juz.2.
Al-Khatib, M.Ajjaj. Al-Sunnah Qabla al-Tadwin. Beirut : Dar al-Fikr, 1981.
Al-Shalih, Subhi. Ulum al-Hadits wa Musthalahahu, terj. Tim Pustaka Firdaus. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1993
Ash-Shiddieqy, Hasbi. Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits. Jakarta: Bulan Bintang, 1976
Husen Al-Majid, Imam Bukhari Muhaddisan Wafaqiahn (Kairo : Dar Qaumiyah AlThaibahah AL-Azhar, tt)h.12.
Ismail. Drs. M. Syuhudi. 1994. Pengantar Ilmu Hadis. Bandung: Angkasa. Hal. 83
Khudri Bek. Tarikh TasyaiAl-Islam, Kairo : Dar al-Fikr, 1962.
M. Muhammad Ab Zahw, Al-Hadits Wa Al-Muhadditsun Aw Inayah Al Ummah AlIslamiyah Bi Al-Sunnah Al-Nabawiyah(Mesir: Dr al-Fikr al-Arab, tt), 48.
Muhammad Ajjj Al-Khathb, Ushl al-Hadts: Pokok-pokok Ilmu Hadits. Terjemahan oleh
H.M Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), 77
Muhammad bin Saad. Thabaqat al-Qubra, jil. VI. Beirut: Dar al-Shadr, t.th
Yuslem Nawir, Ulumul Hadist, Jakarta : PT.Mutiara Sumber Widya, 2001.

Anda mungkin juga menyukai