Anda di halaman 1dari 26

BAB 1.

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebutuhan energi global sangat tergantung pada bahan bakar fosil seperti
minyak, batubara dan gas alam. Ekstensif menggunakan bahan bakar fosil juga
telah menciptakan masalah lingkungan di mana emisi karbon dioksida selama
pembakaran bahan bakar fosil telah menyebabkan efek pemanasan global. Untuk
alasan-alasan ini, penelitian akan mencari bahan bakar alternatif yang memerangi
kedua masalah yang disebutkan. Hidrogen merupakan salah satu unsur yang
paling melimpah di alam semesta dalam bentuk ionik. Hidrogen adalah gas yang
tidak berbau, tidak berwarna, tidak berasa dan non-beracun.
Hidrogen merupakan sumber energi alternatif yang bisa diproduksi dari
sumber yang dapat diperbarui seperti biomassa. Selain sumbernya melimpah,
biohidrogen juga ramah lingkungan. Hidrogen dapat diproduksi dari mikrob
melalui dua cara, yaitu perubahan secara fotobiologis dan melalui teknik
fermentasi. Teknik yang pertama hanya dapat dilakukan pada siang hari, yaitu
ketika adanya matahari. Hal ini disebabkan mikrob fotosintetik menggunakan
energi dari sinar matahari sebagai sumber energi mereka, tetapi teknik yang kedua
dapat berlangsung pada siang maupun malam hari (dalam keadaan gelap). Hal ini
bergantung pada tipe mikrob yang digunakan dalam fermentasi (Sirait 2007).
Produksi hidrogen yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan teknik
fermentasi. Hal ini disebabkan produksi hidrogen secara fermentasi lebih cepat
daripada secara fotosintetik.
Produksi fermentasi hidrogen dipengaruhi oleh banyak parameter seperti
pH, suhu dan konsentrasi bahan baku serta sifat dari mikroba. pH sangat penting
karena dampaknya pada aktivitas hydrogenase, jalur metabolisme, dan mikroba.
produksi hidrogen biasanya disertai dengan produksi volatil asam lemak (VFA)
dan alkohol. Beberapa penelitian menemukan bahwa menurunkan pH sampai 4,5
atau di bawah dapat menggeser produksi VFA menjadi alkohol.

pH 5,6

merupakan kondisi optimal untuk produksi hidrogen, dan juga pH ambang batas
untuk produksi VFA dan jalur produksi alkohol.

Reaksi fermentasi dapat dilakukan pada kondisi mesofilik (25-40 C),


termofilik (40-65 C), ekstrim termofilik (65-80 C), atau hyperthermophilic (> 80
C) suhu. Sebagian besar penelitian tentang produksi hidrogen oleh bakteri
fermentatif gelap dilakukan pada 25-40 C, dengan beberapa pengecualian pada
60 C dan 55-70 C.
Penelitian ini dilakukan pada awalnya untuk menyelidiki kelayakan
menghasilkan hidrogen dari bubur beras yang merupakan limbah makanan umum
kaya karbohidrat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja, kondisi
operasional yang optimal dan kumpulan mikroba dari bubur acidophilic yang
memproduksi hidrogen, menggunakan teknik molekuler berbasis rDNA 16S,
termasuk PCR-DGGE, kloning, sekuensing dan analisis filogenetik.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penyusunan paper ini yakni sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh pH terhadap produksi hidrogen pada suhu 37 C ?
2. Bagaimana pengaruh suhu terhadap produksi hidrogen pada pH 4,5 ?
3. Bagaimana pengaruh konsentrasi bahan baku terhadap produksi hidrogen
pada pH 4,5 dan 37 C ?
4. Bagaimana analisis kumpulan mikroba dari bubur ?
1.3 Tujuan
Tujuan dalam penyusunan paper ini yakni sebagai berikut:
1. Mengetahui pengaruh pH terhadap produksi hidrogen pada suhu 37 C
2. Mengetahui pengaruh suhu terhadap produksi hidrogen pada pH 4,5
3. Mengetahui pengaruh konsentrasi bahan baku terhadap produksi hidrogen
pada pH 4,5 dan 37 C
4. Mengetahui analisis kumpulan mikroba dari bubur

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biohidrogen
Produksi hidrogen dari sumber energi terbarukan dengan metode
fermentasi lebih menjanjikan di antara proses produksi hidrogen yang lain. Sesuai
dengan pembangunan berkelanjutan dan masalah minimalisasi limbah produksi
hidrogen biologis telah menerima banyak perhatian dalam beberapa tahun terakhir
dikarenakan membutuhkan energi yang sedikit dan dapat dikombinasikan dengan
proses pengolahan limbah cair. Hidrogen tidak berbau, tidak berwarna, tidak
berasa, dan tidak beracun ketika digunakan sebagai bahan bakar karena tidak
menghasilkan polutan tetapi menghasilkan air sebagai produk tunggal. Hidrogen
menghasilkan energi sebesar 122 kJ/g, 2,75 kali lebih besar dibandingkan dengan
bahan bakar hidrokarbon. Biohidrogen adalah gas hidrogen yang dihasilkan oleh
aktivitas

mikroorganisme

seperti

ganggang

hijau,

cyanobacteria,

atau

mikroorganisme fermentasi (Chong, 2001).


Keuntungan penggunaan hidrogen diantaranya yaitu pembakaran hidrogen
yang lebih efisien dari pada bensin. Hidrogen juga mempunyai efisiensi konversi
sebesar 55-60% dibandingkan dengan gas metana yang hanya 33% (Groenestijn,
2002). fermentasi gelap dari limbah organik

merupakan metode produksi

hidrogen, metode yang paling menjanjikan dan ramah lingkungan adalah karena
menggabungkan proses produksi hidrogen dengan pengolahan limbah (Benemann
1996). Produksi hidrogen oleh mikroorganisme terungkap pada akhir tahun 1800.
Penelitian dasar bakteri penghasil H2 ditemukan pada akhir tahun 1920 dan
ganggang mikro pada awal tahun 1940. Penelitian mengenai produksi H 2 dengan
fermentasi gelap memperoleh perhatian lebih pada akhir tahun 1990 dengan
meningkatnya jumlah studi hingga sekarang (Koskinen, 2008).
2.2 Fermentasi anaerob
Fermentasi anerob merupakan proses yang dilakukan pada berbagai jenis
mikroorganisme dengan cara merombak bahan organik hingga membentuk
biogas. Proses ini akan berhasil jika pada proses terjadi pertukaran massa pada
setiap mikroorganisme yang terlibat berlangsung dengan kecepatan yang sama.

Keadaan ini membuat proses anaerobik lebih sensitif terhadap pengaruh bahan
toksik, pH, dan temperatur dibanding dengan proses aerobik.Beberapa hal yang
mempengaruhi fermentasi anaerob diantaranya adalah :
a. Temperatur
Reaksi fermentasi anaerob dapat dioperasikan pada temperatur yang
berbeda : mesofilik (25-40oC), termofilik (40-65 oC), ekstrim termofilik (6580 oC), atau hipertermofilik (>80 oC). Percobaan fermentasi anaerob biasanya
dilakukan pada temperatur sebesar 35-55 oC. Fermentasi anaerobik hidrogen
secara ekstrim termofilik dapat menghasilkan produksi hidrogen yang lebih
banyak dan laju produksi hidrogen yang lebih tinggi daripada fermentasi
hidrogen secara mesofilik. Pada kondisi ekstrim termofilik (70 oC), hasil
hidrogen mencapai maksimum yaitu 4 mol hidrogen per mol glukosa,
sedangkan pada kondisi mesofilik dan termofilik normalnya adalah kurang
dari 2 mol hidrogen per mol glukosa. Fermentasi dengan temperatur tinggi
lebih disukai secara termodinamik bagi reaksi penghasil hidrogen karena
temperatur yang tinggi menghasilkan peningkatan entropi, dan menjadikan
fermentasi anaerob hidrogen lebih berenergi. Bakteri ekstrim termofilik
menunjukkan toleransi yang lebih baik pada tekanan parsial hidrogen yang
tinggi (Suraya, 2008).
b. Derajat Keasaman (pH)
pH atau derajat keasaman memiliki efek terhadap aktivasi enzim
mikroorganisme, karena setiap enzim aktif hanya pada kisaran pH yang
bersifat spesifik dan mempunyai aktivitas maksimum pada pH optimalnya.
pH yang tidak optimal pda proses fermentasi hidrogen dapat mengakibatkan
adanya produksi pelarut atau memperlama fasa lag. Produksi laktat selalu
muncul dengan adanya perubahan parameter lingkungan yang terjadi secara
tiba-tiba, seperti pH, HRT, dan temperatur, yang mengindikasikan
berkemabangnya bakteri karena tidak beradaptasi dengan kondisi lingkungan
yang baru. Dari penelitian mengindikasi bahwa kebanyakan bakteri ekstrim
termofilik penghasil hidrogen lebih menyukai pH netral sebagai pH optimum.
Penelitian biakan campuran bakteri ekstrim termofilik yang diadaptasi dari
pupuk juga melaporkan bahwa pH optimum adalah 7. Biakan campuran

bakteri ekstrim termofilik penghasil hidrogen yang diadaptasi dari pupuk dan
pengolahan substrat HSW mempunyai pH optimum 7 (Suraya, 2008).
c. Tekanan Parsial
Tekanan parsial sangat berpengaruh pada fermentasi anaerob. Konsentrasi
hidrogen pada fasa cair berhubungan dengan tekanan parsial hidrogen yang
merupakan salah satu kunci faktor yang mempengaruhi produksi hidrogen.
Tekanan parsial H2 adalah faktor yang sangat penting terutama bagi sintesis
H2 secara kontinyu. Alur sintesis hidrogen bersifat sensitif bagi konsentrasi H 2
dan merupakan penghambat produk akhir karena meningkatnya konsentrasi
H2 menyebabkan sintesis H2 berkurang dan alur metabolik berganti menjadi
produksi substrat seperti laktat, etanol, aseton, butanol, atau alanin (Suraya,
2008).
d. Konsentrasi Asam Organik
Konsentrasi asam organik dapat menghasilkan penurunan gradien pH dan
menyebabkan penghambatan total dari fungsi keseluruhan metabolik sel.
Konsentrasi total antara asam asetat atau butirat dan bentuk tidak
terpisahkan dari asam-asam ini dapat menghambat proses fermentasi
anaerob

hidrogen.

Penghambatan

produksi

H2 dapat

disebabkan

menambahkan asam asetat untuk memberikan konsentrasi asam yang


terjadi pada pH 5,5. Alur fermentasi dapat berubah dari asam organik dan
hidrogen menjadi pelarut yang tidak terdeteksi. Konsentrasi keseluruhan
asetat adalah inhibitor yang kuat pada fermentasi hidrogen, dan
konsentrasi total asetat adalah penghambat utama bagi fermentasi ekstrim
termofilik hidrogen (Suraya, 2008).
2.3 Bubur Beras
Beras merupakan makanan pokok di tidak kurang 26 negara padat
penduduk (China, India, Indonesia, Pakistan, Bangladesh, Malaysia, Thailand,
Vietnam), atau lebih separuh penduduk dunia. Padi (Oryza sativa L.) merupakan
famili graminae dan genus Oryza. Padi jenis lain yaitu Oryza glaberrima,
merupakan tanaman liar, tetapi bila dibudidayakan tidak dapat menghasilkan beras
seperti Oryza sativa L. Beras yang ada di Indonesia secara umum dikategorikan
atas varietas bulu dengan ciri bentuk butiran agak bulat sampai bulat dan varietas

cere dengan ciri bentuk butiran lonjong sampai sedang. Sebagai bahan pangan
pokok bagi sekitar 90% penduduk Indonesia, beras menyumbang antara 40 80%
kalori dan 45 55 % protein. Bubur merupakan istilah umum untuk mengacu
pada campuran bahan padat dan cair, dengan komposisi cairan yang lebih banyak
daripada padatan dan keadaan bahan padatan yang tercerai-berai. Bubur beras
sendiri merupakan bubur yang berasal dari bahan baku beras (Astawan, 2000).
Beras akan mengalami perubahan aroma dan rasa khususnya, jika
disimpan pada suhu di atasd 15o C. Setelah 3 4 bulan disimpan, akan terjadi
perubahan rasa dan aroma. Suhu dari pendaringan dan gudang di Indonesia
biasanya lebih tinggi dari 15 o C, hal inilah yang mengakibatkan kerusakan aroma
dan penyimpangan rasa beras selama penyimpanan. Semakin lama disimpan,
semakin menurun rasa dan aroma nasinya. Bau penguk atau yang lebih dikenal
sebagai bau apek dari beras giling yang telah lama disimpan ternyata disebabkan
oleh beberapa senyawa karbonil yang bersifat tengik, yaitu senyawa-senyawa
hasil oksidasi lemak yang terdapat pada permukaan beras oleh oksigen. Salah
satunya dikenal sebagai 1-heksanal. Semakin lama beras disimpan, jumlah
senyawa ini semakin banyak terbentuk (Koswara, 2009).
Sifat pati dalam beras sangat berpengaruh terhadap rasa nasi. Pati beras
terdiri dari molekul-molekul besar yang tersusun atau dirangkai dari unit-unit gula
sederhana berupa glukosa. Kalau rangkaiannya lurus disebut amilosa dan kalau
rangkaiannya bercabang disebut amilopektin. Rasio amilosa/amilopektin dapat
menentukan tekstur, pera tidaknya nasi, cepat tidaknya mengeras serta lekat
tidaknya nasi. Rasio amilosa/amilopektin tersebut dapat pula dinyatakan sebagai
kadar amilosa saja. Semakin kecil kadar amilosa atau semakin tinggi kadar
amilopektin, semakin lekat nasinya. Karena itu, beras ketan kadar amilosanya
sangat rendah (1- 2%), sedangkan beras yang kadar amilosanya lebih besar dari 2
% disebut beras bukan ketan atau beras biasa. Berdasarkan kandungan
amilosanya, beras (bukan ketan) digolongkan menjadi 4 golongan, yaitu beras
beramilosa tinggi (25 33 %), beras beramilosa sedang (20-25%), beras
beramilosa rendah (9-20 %) dan beras dengan kadar amilosa sangat rendah (29%).

Tabel 2.3.1 Kadar amilosa beras


(Koswara, 2009).
2.4 Tahap Pembentukan Biohidrogen
a. Pretreatment
Pretreatment membantu mempercepat tahapan hidrolisis, sehingga mengurangi
laju tahapan dan meningkatkan pencernaan anaerobik untuk memperbesar
produksi gas hidrogen. Beberapa prosedur pre treatment di antaranya ialah dengan
pemanasan, penggunaan bahan kimia seperti asam atau alkali, pembekuan, dan
sebagainya dilakukan terhadap biakan campuran untuk menyeleksi bakteri
asidogenik penghasil H2(Aryati, 2010).
b. Hidrolisis
Bahan organik secara enzimatis diuraikan oleh enzim ekstraselular (selulosa,
amilase, proteinase, dan lipase) mikroorganisme. Bakteri mendekomposisi rantai
panjang karbohidrat, protein dan lemak menjadi bagian yang lebih pendek.
Sebagai contoh, polisakarida diubah menjadi monosakarida. Protein dibagi
menjadi peptida dan asam amino(Aryati, 2010).
c. Asidifikasi
Bakteri penghasil asam, terlibat dalam langkah kedua, menkonversi hasil
fermentasi menjadi asam asetat (CH3COOH), hidrogen (H2) dan karbon dioksida
(CO2). Bakteri ini bersifat anaerobik dan dapat tumbuh di bawah kondisi asam.
Untuk menghasilkan asam asetat, mereka membutuhkan oksigen dan karbon.
Untuk ini, mereka menggunakan oksigen larut dalam larutan atau oksigen terikat..
Setelah itu, terjadi penguraian senyawa dengan berat molekul yang rendah
menjadi alkohol, asam organik, asam amino, karbon dioksida, hidrogen sulfida,
dan metana (Aryati, 2010).
2.5 Analisis Sekuening 16S RNA
Identifikasi mikroorganisme penyebab infeksi memegang peranan yang
sangat penting. Identifikasi mikroorganisme penyebab infeksi secara konvensional
dilakukan melalui metode pembiakan dan dilanjutkan dengan pemeriksaan
karakteristik fisiologis dan biokimia. Metode ini membutuhkan waktu yang lebih
lama. Terlebih lagi pada beberapa mikroorganisme yang sulit untuk dibiakkan
seperti mycobacterium dan virus tertentu. Saat ini dikembangkan metode

identifikasi berbasis molekuler yang lebih cepat dengan tingkat sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi, yaitu dengan analisis sekuensing gen 16S rRNA (16S
ribosomal Ribonucleic acid/Asam ribonukleat pengkode ribosom 16S, S
menyatakan Svedberg, yaitu satuan ukuran ribosom). Gen 16S rRNA juga sering
disebut sebagai 16S rDNA (16S ribosomal deoxyribose nucleatic acid), namun
menurut konsensus dari American Society for Microbiology (ASM), istilah 16S
rRNA dinilai lebih tepat1,2 . Gen pengkode RNA ribosomal (rRNA) adalah gen
yang paling lestari (conserved). Porsi sekuens rDNA dari tiap organisme yang
secara genetik berkorelasi umumnya adalah sama(Lau, 2002).
Organisme yang memiliki jarak kekerabatan tertentu dapat disejajarkan
sehingga lebih mudah untuk menentukan perbedaan dalam sekuens yang menjadi
ciri khas organisme tersebut. Gen pengkode rRNA digunakan untuk menentukan
taksonomi, filogeni (hubungan evolusi) serta memperkirakan jarak keragaman
antar spesies (rates of species divergence) bakteri. Perbandingan sekuens rDNA
dapat menunjukkan hubungan evolusi antar organisme. Penggunaan sekuens 16S
rRNA dipelopori oleh Carl Woese, yang juga menemukan klasifikasi 3 domain
terbesar makhluk hidup, yaitu bakteri, archaea dan eukaria. Gen pengkode rRNA
adalah gen yang mampu mempertahankan kelestariannya selama jutaan tahun
keanekaragaman evolusi. Sebagian besar prokariot memiliki 3 jenis rRNA, yaitu
5S, 16S dan 23S.

Tabel 2.5.1 Jenis rRNA pada prokariot


(Claridge, 2004)
Penggunaan 5S rRNA juga sudah dipelajari namun gen ini terlalu kecil
untuk digunakan dalam penentuan filogenetik. Gen 16S dan 23S rRNA memiliki
ukuran yang cukup untuk dianalisis. Gen 16S rRNA berukuran sekitar 1550
pasang basa dan sekitar 500 basa di bagian ujung sekuens merupakan daerah yang
disebut dengan hypervariable region. Daerah ini merupakan bagian yang
membedakan antar organisme. Primer yang digunakan dalam amplifikasi sekuens
akan mengenali daerah yang lestari dan mengamplifikasi hypervariable region,
dengan demikian akan diperoleh sekuens yang khas pada organisme tersebut.

Tabel 2 menunjukkan sekuens DNA dari Beberapa organisme mewakili tiga


kelompok besar, yaitu bakteri, eukariot dan archea. Sekuens tersebut
menunjukkan adanya kesamaan dan perbedaan sejumlah basa (Claridge, 2004).
Gen 16S rRNA adalah salah satu gen yang telah dikarakterisasi dengan
baik sehingga digunakan dalam identifikasi mikroorganisme. Ribuan sekuens dari
berbagai isolat klinis dan dari lingkungan telah terkumpul di satu database yaitu
National Center for Biotechnology Information (NCBI) serta Ribosomal Database
Project. Database ini juga menyediakan aplikasi yang dapat digunakan untuk
membandingkan sekuens yang diperoleh dengan sekuens yang telah terdaftar di
database tersebu . Sifat yang conserved dari gen 16S rRNA disebabkan karena
peran yang sangat esensial dari gen ini terhadap fungsi sel. Pada gen-gen yang
mengkode enzim, mutasi dapat terjadi lebih sering dan umumnya dapat ditolerir
oleh sel karena hanya menyebabkan perubahan struktur dan biasanya tidak
memegang peranan yang krusial seperti halnya rRNA. Pada bakteri, jika terdapat
gen yang mengkode enzim yang dibutuhkan untuk penggunaan laktosa, maka
bakteri dapat menggunakan gula lain atau protein sebagai sumber energi. Metode
sekuensing telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Perkembangan
teknologi saat ini telah memungkinkan dilakukannya analisis terhadap jutaan
sekuens DNA per tahun. Kualitas analisis sekuensing sangat tergantung pada
faktor kecepatan prosedur kerja dan teknologi yang digunakan. Identifikasi
mikroorganisme penyebab infeksi dilakukan dengan menumbuhkan bakteri dari
berbagai spesimen klinis pada media tertentu (Rinanda,2011).
Langkah analisis sekuensing dimulai dengan mengisolasi DNA dari kultur
bakteri, baik kultur padat maupun cair. DNA yang diperoleh akan dijadikan
sebagai cetakan dalam tahap amplifikasi dengan PCR. Primer yang digunakan
dalam PCR adalah primer 16S rRNA yang bersifat universal berukuran sekitar
1500 pb, sehingga dapat mengamplifikasi daerah 16S rRNA dari seluruh bakteri.
Produk PCR dimurnikan terlebih dahulu dengan menggunakan kit komersial
untuk menghilangkan sisa-sisa primer serta fragmen nukleotida2,3,4 . Produk
PCR yang telah dimurnikan ditentukan urutan nukleotidanya dengan metode
sekuensing. Pada tahap sekuensing produk PCR dengan ukuran tertentu
digunakan sebagai cetakan. Primer pada tahap PCR juga digunakan dalam

sekuensing, hanya saja masing-masing primer digunakan secara terpisah dalam


satu siklus sekuensing (forward saja atau reverse saja). Berbeda dengan PCR,
produk yang dihasilkan dari sekuensing memiliki ukuran yang berbeda-beda. Hal
ini disebabkan karena pada sekuensing ditambahkan ddNTP (dideoxyribonuclease
Triphosphat) atau dNTP terminator yang dilabel dengan zat warna. Terminator ini
pada satu siklus akan berikatan secara acak dan menghentikan proses pembacaan.
Pada tiap basa terminator (ddATP, ddGTP, ddCTP, atau ddTTP), terdapat zat
warna fluoresen yang dapat menyerap panjang gelombang yang berbeda sehingga
basa terminator akan dapat dibaca dengan fluorometri (Rinanda,2011).
Sekuens DNA terbentuk dari hasil pensejajaran pembacaan primer reverse
dan forward dan umumnya disebut sebagai sekuens konsensus (consensus
sequence). Sekuens konsensus ini kemudian dibandingkan dengan data sekuens
yang tersedia di database menggunakan software tertentu. Beberapa sistem dapat
menentukan urutan nukleotida melalui pembacaan satu primer, namun pembacaan
dengan dua primer memberikan hasil yang lebih akurat. Beberapa database yang
dapat digunakan untuk membandingkan sekuens 16S rRNA antara lain GenBank,
Ribosomal Database Project (RDP-II), Ribosomal Database Project European
Molecular Biology Laboratory, Smart Gene IDNS dan Ribosomal Differentiation
of Medical Microorganisms. Sekuensing keseluruhan gen dapat digunakan untuk
membedakan strain dari suatu mikroorganisme. Dalam penemuan spesies baru,
sekuensing keseluruhan gen 16S rRNA sangat diperlukan. Pada sebagian besar
isolat klinis bakteri, fragmen pendek, yaitu 500 pb di bagian awal gen 16S rRNA
dinilai sudah cukup informatif dalam mengidentifikasi. Kattar et al menyatakan
bahwa spesies dari Bordetella sp dapat ditentukan dari sekuens DNA di bagian
awal gen 16S rRNA yang dimilikinya (Rinanda, 2011).

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Percobaan Batch dari Produksi Hidrogen


Beras, makanan yang paling umum di seluruh dunia, dipilih sebagai
model limbah makanan kaya karbohidrat setelah mengepul di 100 oC selama 30
menit. Beras terdiri dari karbohidrat (78,3%), protein (6,6%), lipid (3,2%) dan air
(11,9%). Sebuah digester anaerobik lumpur, sampel dari sebuah pabrik
pengolahan air limbah kota setempat, digunakan sebagai benih. Pra-bubur
dipanaskan pada 100oC selama 30 menit untuk menonaktifkan metanogen
hydrogenotrophic sebelum digunakan untuk benih reaktor. Tiga serangkaian
percobaan batch yang dilakukan dalam rangkap dalam botol serum 280mL. air
limbah tersebut disusun dengan menggunakan nutrisi berikut (semua dalam mg /
L): NaHCO3 1250; NH4Cl 2500; KH2PO4 250; K2HPO4 250; CaCl2 500; NiSO4
32; MgSO4 . 7H2O 320; FeCl3 20; Na2BO4 . H2O7.2; Na2MoO4 . 2H2O 14.4; ZnCl2
23; CoCl2 . 6H2O 21; CuCl2 . H2O 10; MnCl2 . 4H2O 30; ekstrak ragi 50.

Seri I adalah untuk mengetahui pengaruh pH pada produksi hidrogen. Percobaan


dilakukan dari pH 4,0-7,0 dengan skala 0,5 pada 37 oC dan 5,5 gram karbohidrat /
L. Seri II adalah untuk membandingkan produksi hidrogen pada 37 dan 55 oC
bubur beras pada pH 4,5 dan 5.5gram karbohidrat / L. Setelah pH dan suhu
optimal yang diidentifikasi sebagai 4,5 dan 37 oC, masing-masing, Seri III
adalah untuk menyelidiki lebih lanjut pengaruh konsentrasi bahan baku , dengan
variasi sebesar 2,7; 5,5; 8,3; 11,0; 13,8 dan 22.1gram karbohidrat / L. Dalam
semua batch, bubur beras 150ml dicampur dengan 85 mg lbubur yang diukur
dengan padatan tersuspensi yang mudah menguap (VSS). Campuran minuman
keras pertama dibersihkan dengan nitrogen selama 20 menit dan ditutup rapat
dengan karet untuk menjaga kondisi anaerob. Reaktor ini kemudian ditempatkan
di shaker reciprocating pada 100 rpm dikendalikan pada suhu. pH minuman keras

dicampur secara berkala disesuaikan baik menggunakan 1M HCl atau 1M NaOH


untuk mempertahankan nilai-nilai yang diinginkan

3.2 Analisis kimia


Jumlah biogas yang dihasilkan di masing-masing reaktor diukur dengan
menggunakan jarum suntik kaca. Biogas dari 50 mikro L sampel digunakan untuk
menganalisis isi hidrogen, karbon dioksida dan metana oleh kromatografi gas
(GC) (Hewlett-Packard 5890 II, USA) yang dilengkapi dengan detektor
konduktivitas termal dan 2m x 2mm (diameter) stainless steel kolom dikemas
dengan Porapak N (80-100 mesh). Injector, detektor dan kolom suhu disimpan di
57, 180 dan 50 oC, respectively.Argon digunakan sebagai gas pembawa pada
tingkat mengalir dari 30mL / min. Konsentrasi VFA dan alkohol dalam minuman
keras campuran dianalisis oleh GC kedua model yang sama dilengkapi dengan
detektor flame ionisasi dan kolom kapiler menyatu-silika 10 m x 0.53 mm
HPFFAP. VFA dianalisis termasuk asetat, propionat, butirat, i-butirat, valerat,
ivalerate dan kaproat, sedangkan alkohol termasuk metanol, etanol, propanol dan
butanol. sampel minuman keras campuran dari 1mL adalah pertama disaring
melalui 0,2 m membran, acidi fi ed oleh asam format dan diukur untuk asam
bebas. Suhu awal kolom adalah 70 oC untuk 3 menit berjalan dari 10 oC/ min dan
suhu akhir 180 oC untuk 4.5 min. Suhu injektor dan detektor yang 200 dan 250 oC,
masing-masing. Helium digunakan sebagai gas pembawa pada tingkat mengalir
dari 25 mL/menit.

3.3 Pemodelan Kinetik

Produksi hidrogen kumulatif dalam percobaan batch yang mengikuti


modifikasi persamaan Gompertz:

di mana H adalah produksi kumulatif hidrogen (mL), jeda waktu (h), P potensi
produksi hidrogen (mL) .

3.4 DGGE, kloning, sekuensing dan analisis filogenetik


Bubur pada pH 4,5-6,5 yang sampel pada 130H ketika produksi
hidrogen berhenti untuk analisis mikroba. Selain itu, lumpur pada pH 4,5 adalah
sampel dari 0 sampai 130H untuk analisis pergeseran populasi mikroba. DNA
diekstraksi dari lumpur, diikuti oleh PCR menggunakan primer set 341FGC (5CGCCCGCCGCGCGCGGCGGGCGGGGCGGGGGCACGGGGGGCCTACGG
GAGGCAGCAG-3) dan 518R (5-ATTACCGCGGCTGCTGG-3) pada suhu suatu
proses 'neal' dari 55 oC otomatis dalam thermal cycler ( GenAmp) PCR 9700,
Perkin-Elmer, Foster City, CA) . Produk

PCR-ampli kemudian disaring

menggunakan DGGE untuk mengetahui variasi populasi mikroba di bawah


interval pH dan waktu yang berbeda menggunakan 8% gel dengan 30-70%
denaturant gradien . Elektroforesis dilakukan dalam 1 x TAE larutan buffer di
200V dan 60 oC untuk 4 jam. 16S rDNA band pada gel kemudian diwarnai dengan
perak nitrat . DNA dari sampel lumpur dari pH 4,5 pada 130H selanjutnya
dianalisis. Pertama, DNA adalah penguat menggunakan primer set EUB8F (5AGAGTTTGATCMTGGCTCAG-3)

dan

UNIV1392R

(5

-ACGGGCGGTGTGTRC-3) suhu pada proses neal 54 oC. Produk PCR-ampli


kemudian digunakan untuk membangun sebuah perpustakaan clone dengan TA

Cloning Kit (Invitrogen, Carlsbad, CA) seperti yang dijelaskan sebelumnya.


Sebanyak 28 klon dipilih untuk memulihkan insert DNA dalam plasmid dengan
keseluruhan

-cell

PCR

menggunakan

primer

set

M13F

(5

-CAGGAAACAGCTATGAC-3) dan M13R (5 -GTTTGATCCTGGCTCAG-3)


suhu pada proses neal 54 oC. PCR produk ini digunakan sebagai template untuk
PCR dengan primer set 341FGC / 518R. PCR produk menggunakan primer set
341FGC / 518R digunakan untuk skrining DGGE untuk mengidentifikasi urutan
yang unik didasarkan pada posisi pita. Akhirnya sembilan urutan yang unik, yaitu
operasional unit taksonomi (Otus), disekuensing menggunakan primer 1392R dan
EUB8F, sebuah sequencer otomatis (ABI Model 377A, Perkin-Elmer), dan
dRhodamine Terminator Cycle Sequencing FS Siap Reaksi Kit (Perkin-Elmer).
Urutan panjang hampir penuh setiap OTU kemudian secara manual diedit dengan
Bioedit , diperiksa menggunakan program TARIF-Chimera untuk menghapus
kemungkinan artefak chimeric, jika ada, dan dibandingkan dengan referensi
mikroorganisme yang tersedia di GenBank dengan pencarian BLAST . Urutan
DNA yang diperoleh 16S rDNA referensi mikroorganisme diambil dari GenBank
yang selaras dan diperiksa secara manual menggunakan Bioedit . Pohon
filogenetik kemudian dibangun menggunakan metode tangga-bergabung dengan
MEGA 2.1. Bootstrap re-sampling analisis untuk 500 ulangan dilakukan untuk
memperkirakan kepercayaan diri dari topologi pohon.

3.5 Nomor Aksesi

Sembilan urutan nukleotida data yang dilaporkan dalam makalah ini


telah ditetapkan nomor aksesi berikut untuk database GenBank, EMBL dan
DDBJ: AY862509-17.

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Hasil
Biogas yang dihasilkan mengandung hidrogen

sebesar 45-56% dan

karbon dioksida sebesar 44-55%, tidak termasuk sisa nitrogen yang diperoleh dari
pencucian awal. Biogas yang dihasilkan bebas dari metana karena kurangnya
aktivitas mentanogenik didalam endapan.
4.2 Pembahasan
4.2.1 Pengaruh pH Terhadap Produksi Hidrogen pada Suhu 37oC
Hasil persamaan (1) dari data pH mulai 4,0 sampai 7,0 pada treatment
bubur beras yang mengandung 5,5 g karbohidrat/L pada suhu 37oC diperoleh
grafik sebagai berikut:

Gambar 4.2.1 Grafik pengaruh waktu terhadap akumulasi hidrogen


pada pH 4,0-7,0
Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa hasil hidrogen maksimum diperoleh
sebesar 346 mL/g karbohidrat yang terjadi pada pH 4,5. Dibawah pH ini hidrogen
terus meningkat setelah mengalami jeda yang panjang (36 jam) dan hasil
kumulatif meningkat dengan bertambahnya waktu sebelum waktu maksimum.
Berikut adalah tabel rangkuman tiga parameter kinetik ditambah hasil hidrogen
dan produksi rata-rata hidrogen spesifik maksimum yaitu:
Tabel 1. Parameter Kinetik untuk Produksi Hidrogen pada pH 4,0-7,0

Tabel 1 menunjukkan bahwa jeda waktu sangat dipengaruhi oleh pH yang


sangat bervariasi dari yang paling rendah yaitu 11 jam pada pH 6,0 sampai 40 jam
pada pH 4,0. Tingkat pengaruh pH pada produksi hidrogen spesifik maksimum
tidak signifikan pada kisaran pH 4,5-7,0, dimana hasil tertinggi sebesar 4,0 L/(gVSS d) terjadi pada pH 6,5. Namun, produksi hidrogen spesifik maksimum
sebesar 0,2 L/(g-VSS d) pada pH 4,0 jauh lebih rendah dibandingkan 2,1-4,0 L/(gVSS d) yang ditemukan pada pH lebih tinggi. Tabel 1 juga menunjukkan bahwa
hasil hidrogen meningkat tajam dari 212 mL/g-karbohidrat pada pH 4,0 menjadi
346 mL/g-karbohidrat pada pH 4,5, kemudian mengalami penurunan tajam
dengan seiring peningkatan pH menjadi 160 mL/g-karbohidrat pada pH 7,0.
Pada stoikiometri, setiap gram polisakarida menghasilkan maksimal 553
mL hidrogen dengan asumsi bahwa asetat menjadi satu-satunya produk tunggal.
Hasil hidrogen maksimum yang sebesar 346 mL/g-karbohirat merupakan 62,6%
dari hasil teoritis. Berikut tabel perbandingan dari hasil hidrogen yaitu:

Tabel 2. Perbandingan dari Hasil Hidrogen

Tabel 2 menunjukkan bahwa hasil tersebut jauh lebih tinggi diandingkan


280 mL/g-sukrosa yang dilaporkan pada suhu 36oC pada reaktor tangki pengaduk
secara kontinyu dan 193 mL/g-selulosa dari bubur kompos pada 60 oC dalam bak
eksperimen. Secara keseluruhan, pH 4,5 pada percobaan ini diidentifikasi sebagai
pH optimum untuk produksi hidrogen. Hasil ini lebih asam dibandingkan pH
optimum untuk produksi hidrogen dari air limbah yang mengandung sukrosa dan
glukosa yaitu sebesar 5,5. Perbedaan hasil ini belum jelas penyebabnya, namun
dapat dikaitkan dengan pemilihan bubur benig yang dipilih.
Pada penelitian ini sejumlah kecil metanol terdeteksi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa peningkatan pH tidak berpengaruh signifikan terhadap total
VFA dan konsentrasi alkohol. Hasil ini dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3. VFA dan Produksi Alkohol pada pH 4,0-7,0

Tabel 3 merupakan rangkuman distribusi dari kunci VFA/alkohol yang


dihasilkan dalam bak pada beberapa variasi pH. Hasil menunjukkan bahwa asetat

(27,3-48,4%) dan butirat (42,3-69,6%) merupakan dua produk utama yang


dihasilkan pada semua bak, diikuti sejumlah kecil metanol dan propionat. Sebuah
proses produksi hidrogen, bisa saja terjadi pergeseran dari produksi VFA menjadi
produksi alkohol ketika pH diturunkan 4,5 atau lebih rendah dari 4,5. Namun,
peningkatan pH mengakibatkan peningkatan asetat dari 30,4% pada pH 4,0
menjadi 48,4% pada pH 7,0 dan penurunan butirat 69,6% menjadi 42,3%.
Tabel 3 menunjukkan bahwa rasio asetat/butirat meningkat dari 0,41 pada
pH 4,5 menjadi 1,15 pada pH 7,0 yang menunjukkan terjadinya pergeseran jalur
metabolisme pH berubah. Hasil ini konsisten dengan penelitian sebelumnya
dimana rasio asetat/butirat meningkat dari 0,51 pada pH 4,5 menjadi 1,09 pada pH
7,0 untuk produksi hidrogen dari sukrosa pada 36oC dalam penelitian
berkelanjutan. Namun, hasil ini juga berbeda dengan hasil lain sebelumnya,
dimana rasio asetat/butirat sebesar 3-4 pada pH 5,5-5,7. Produk sampingan yang
sebagian besar berupa VFA dapat dikonversi menjadi metana atau hidrogen
melalui fermentasi lebih lanjut.
4.2.2 Pengaruh Suhu Terhadap Produksi Hidrogen pada pH 4,5
Persamaan (1) dengan data produksi hidrogen pada pH 4,5 melalui
treatment 5,5 g-karbohidrat/L bubur beras pada 37 dan 55 oC menghasilkan grafik
sebagai berikut:

Gambar 3.2.2 Grafik pengaruh waktu terhadap akumulasi hidrogen

pada pH 4,5
Parameter terbaik ialah pada: 36 jam, Rm 7,3 mL/jam, dan P 286 mL pada
37oC; 44 jam, Rm 2,9 mL/jam, dan P 174 mL pada 55oC. Jeda fase yang panjang
kemungkinan besar dibutuhkan oleh bakteri untuk menyesuaikan kondisi
fisiologis bakteri tersebut terhadap kondisi lingkunga asam yang baru pada pH
4,5. Berdasarkan nilai P dan Rm, rata-rata produksi hidrogen spesifik maksimum
dan hasil hidrogen pada 37oC dihitung sebesar 2,1 L/(gVSS d) dan 346 mL/gkarbohidrat. Data ini sesuai dengan nilai pada 55 oC sebesar 0,8L/(gVSS d) dan
210 mL/g-karbohidrat. Hasil ini menunjukkan bahwa lumpur mesofilik lebih
efektif dibandingkan dengan lumpur termofilik dalam treatment sampah makanan
yang kaya karbohidrat.
4.2.3 Pengaruh Konsentrasi Bahan Baku Terhadap Produksi Hidrogen pada pH
4,5 dan 37oC
Parameter kinetik yang dapat dilihat pada engaruh konsentasi bubur beras
yang digunakan terhadap produksi hidrogen dapat dirangkum dalam tabel berikut:
Tabel 4. Parameter Kinetik pada pH 4,5 dan variasi konsentrasi beras

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat parameter kinetik seperti , R m, dan


P, ditambah rata-rata produksi hidrogen spesifik maksimum dan hasil hidrogen
untuk percobaan pada pH 4,5 dan 37oC yang dilakukan treatment terhadap bubur
beras pada konsentrasi dari 2,7-22,1 g-karbohidrat/L. Hal ini menunjukkan waktu
jeda yang sangat sensitif terhadap konsentrasi, menurun dari 38 jam pada 2,7 gkarbohidrat/L menjadi 12 jam pada 22,1 g-karbohidrat/L. Disisi lain, tingkat

produksi hidrogen spesifik maksimum meningkat dari 0,3 L/(g-VSS d) pada 2,7
g-karbohidrat/L menjadi 2,1 L/(g-VSS d) pada 5,5 g-karbohidrat/L dan kemudian
menurun menjadi 0,4 L/(g-VSS d) pada 22,1 g-karbohidrat/L. Konsentrasi 5,5 gkarbohidrat/L juga memberikan hasil hidrogen tertinggi sebesar 346 mL/gkarbohidrat. Hasil hidrogen menurun secara pasti pada konsentrasi diatas 5,5 gkarbohidrat/L, yang mungkin diperoleh dari adanya peingkatan konsentrasi VFA
dan alkohol. Peningkatan signifikan konsentrasi total VFA dan alkohol terhadap
peningkatan konsentrasi bahan baku, dari 1772 mg/L pada 2,7 g-karbohidrat/L
menjadi 10.587mg/L pada 22,1 g-karbohidrat/L. Hasil ini ditunjukkan pada tabel
berikut:
Tabel 5. Produksi VFA dan Alkohol pada pH 4,5 dan Variasi konsentrasi beras

Sebelumnya telah diketahui bahwa peningkatan konsentrasi dari VFA dan


alkohol dapat menghambat produksi hidrogen lebih lanjut. Asetat (28,3-43,0%
dari total VFA dan alkohol) dan butirat (51,4-70,9%) merupakan dua produk
utama dalam semua bak, diikuti oleh sejumlah kecil kaproat, propionat, metanol,
dan propanol. Peningkatan konsentrasi beras mengakibatkan terjadinya sedikit
penurunan dari asetat dan peningkatan butirat.

4.2.4 Analisis Kumpulan Mikroba dari Bubur

Gambar 4.2.3 Profil DGGE untuk kumpulan produksi hidrogen pada pH 4,5-6,5
Gambar diatas merupakan ilustrasi gambar DGGE yang memiliki variasi
populasi mikroba pada keadaan pH yang berbeda. Gambar tersebut menunjukkan
bahwa keanekaragaman hayati menurun jauh ketika pH diturunkan dari pH 6,5
menjadi 4,5, seperti yang ditunjukan pada pita pertama. pH 4,5 merupakan pH
optimal untuk produksi hidrogen dari bubur beras, dimana kumpulan mikroba
bubur pada pH 4,5 dapat dianalisa lebih lanjut.

Gambar 4.2.4 Profil DGGE pH 4,5 selama 130 jam dan hubungannya dengan
akumulasi hidrogen.

Gambar diatas merupakan ilustrasi pergeseran kumpulan mikroba selama


130 jam pada pH 4,5. Gambar tersebut menunjukkan bahwa keragaman mikroba
menurun terhadap waktu, dan salah satu pita menjadi dominan pada waktu 48
jam. Gambar diatas juga menggambarkan akumulasi hidrogen selama periode
waktu yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa produkdi hidroge meningkat
secara substansial setelah 38 jam selama waktu jeda untuk selanjutnya bertahap
mendatar setelah 90 jam karena substrat menjadi habis. Hasil ini memeberi sugesti
kuat bahwa populasi dominan yang ditunjukkan pada gambar diatas memegang
tanggung jawab yang tinggi untuk produksi hidrogen. Ilustrasi morfologi dari
bakteri produksi hidrogen pada pH 4,5 dengan sel-sel bakteri memiliki morfologi
berbentuk batang yang khas spesies Clostridium.

ditunjukkan oleh gambar

berikut:

Gambar 4.2.5 Penampakan SEM dari bakteri produksi hidrogen pada pH 4,5
Bakteri yang memproduksi hidrogen dapat diklasifikan menjadi empat
kelompok utama yaitu; anaerob ketat, anaerob fakultatif, aerob, dan bakteri
fotosintetik. Penelitian ini, Clostridium anaerob ketat ditemukan paling melimpah
di bubur. Banyak spesies Clostridium mampu menghasilkan hidrogen, termasuk
C. acetobutylicum, C. butylicum, C. butyricum, C. kluyveri, dan C. pasteurianum,

yang beberapa dikenal sebagai jenis acidophilic. Telah dilaporkan bahwa C.


acetobutylicum dapat tumbuh pada pH 4,3 dan C. butyricum pada pH 4,0. Dua
bakteri asam toleran anaerobik, C. akagii CK58T dan C. acidisoli CK74T, telah
diisolasi dari asam tanaman beech dan asam tanah gambut di rawa. Pertumbuhan
C. akagii CK58T dan C. acidisoli CK74T pada glukosa dihasilkan hidrogen,
buturat, laktat, asetat, format, dan CO2 pada pH 3,7-7,1 dan 3,6-6,9. Selain
Clostridium, sebuah Enterobacter aerogenes acidophilic regangan HO-39 mampu
menghasilkan hidrogen pada pH 4,0 juga telah terisolasi. Namun, tidak satupun
dari jenis acidophilic yang memproduksi hidrogen terdeteksi dalam penelitian ini.
Hal ini mengindikasikan bahwa bakteri acidophilic yang memproduksi hidrogen
yang ditemukan pada penelitian ini tidak diketahui. Studi lebih lanjut, termasuk
isolasi dan karakterisasi sangat diperlukan.

BAB 5. PENUTUP
5.1 KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
Aryati. 2010. Biogas Production Using Anaerobic Biodigester From Cassava
Starch Effluent With Ruminant Bacteria As Bicatalyst. Semarang :
Universitas Diponegoro.
Chong Mei Ling. 2009. Biohydrogen Production by Clostridium butyricum from
Palm Oil Mill Effluent. Japan : International Journal of Hydrogen Energy.
Clarridge JE. 2004. Impact of 16S rRNA Gene Sequence Analysis for
Identification of Bacteria on Clinical Microbiology and Infectious
Diseases.USA : Clin. Microbiol.
Koskinen Perttu. 2008. The Development and Microbiology of Bioprocesses for
the Production of Hydrogen and Ethanol by Dark Fermentation. Tamper e :
Tampere University of Technology.
Koswara Sutrisno, M.Si. 2009. Teknologi Pengolahan Beras.
http://ebookpangan.com [diakses pada 13 oktober 2016]

Lau SKP. 2002. Identification by 16S Ribosomal RNA Gene Sequencing of


Arcobacter butzleri Bacteraemia in a Patient with Acute Gangrenous
Appendicitis.China : J Clin Pathol.
Made Astawan, 2000. Beras dan Tepung Beras. Jakarta : Majalah Femina
Rinanda Tristia. 2011. Analisis Sekuensing 16s Rrna di Bidang Mikrobiologi.
Aceh : Universitas Syiah Kuala
Suraya Irma. 2008. Pembuatan biohidrogen dari limbah cair pabrik kelapa sawit
dengan fermentasi anaerobik pada kondisi termofilik untuk kapasitas
produksi 371,3771 ton/hari. Medan : Universitas Sumatera Utara.

Anda mungkin juga menyukai