Biohidrogen
Biohidrogen
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebutuhan energi global sangat tergantung pada bahan bakar fosil seperti
minyak, batubara dan gas alam. Ekstensif menggunakan bahan bakar fosil juga
telah menciptakan masalah lingkungan di mana emisi karbon dioksida selama
pembakaran bahan bakar fosil telah menyebabkan efek pemanasan global. Untuk
alasan-alasan ini, penelitian akan mencari bahan bakar alternatif yang memerangi
kedua masalah yang disebutkan. Hidrogen merupakan salah satu unsur yang
paling melimpah di alam semesta dalam bentuk ionik. Hidrogen adalah gas yang
tidak berbau, tidak berwarna, tidak berasa dan non-beracun.
Hidrogen merupakan sumber energi alternatif yang bisa diproduksi dari
sumber yang dapat diperbarui seperti biomassa. Selain sumbernya melimpah,
biohidrogen juga ramah lingkungan. Hidrogen dapat diproduksi dari mikrob
melalui dua cara, yaitu perubahan secara fotobiologis dan melalui teknik
fermentasi. Teknik yang pertama hanya dapat dilakukan pada siang hari, yaitu
ketika adanya matahari. Hal ini disebabkan mikrob fotosintetik menggunakan
energi dari sinar matahari sebagai sumber energi mereka, tetapi teknik yang kedua
dapat berlangsung pada siang maupun malam hari (dalam keadaan gelap). Hal ini
bergantung pada tipe mikrob yang digunakan dalam fermentasi (Sirait 2007).
Produksi hidrogen yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan teknik
fermentasi. Hal ini disebabkan produksi hidrogen secara fermentasi lebih cepat
daripada secara fotosintetik.
Produksi fermentasi hidrogen dipengaruhi oleh banyak parameter seperti
pH, suhu dan konsentrasi bahan baku serta sifat dari mikroba. pH sangat penting
karena dampaknya pada aktivitas hydrogenase, jalur metabolisme, dan mikroba.
produksi hidrogen biasanya disertai dengan produksi volatil asam lemak (VFA)
dan alkohol. Beberapa penelitian menemukan bahwa menurunkan pH sampai 4,5
atau di bawah dapat menggeser produksi VFA menjadi alkohol.
pH 5,6
merupakan kondisi optimal untuk produksi hidrogen, dan juga pH ambang batas
untuk produksi VFA dan jalur produksi alkohol.
2.1 Biohidrogen
Produksi hidrogen dari sumber energi terbarukan dengan metode
fermentasi lebih menjanjikan di antara proses produksi hidrogen yang lain. Sesuai
dengan pembangunan berkelanjutan dan masalah minimalisasi limbah produksi
hidrogen biologis telah menerima banyak perhatian dalam beberapa tahun terakhir
dikarenakan membutuhkan energi yang sedikit dan dapat dikombinasikan dengan
proses pengolahan limbah cair. Hidrogen tidak berbau, tidak berwarna, tidak
berasa, dan tidak beracun ketika digunakan sebagai bahan bakar karena tidak
menghasilkan polutan tetapi menghasilkan air sebagai produk tunggal. Hidrogen
menghasilkan energi sebesar 122 kJ/g, 2,75 kali lebih besar dibandingkan dengan
bahan bakar hidrokarbon. Biohidrogen adalah gas hidrogen yang dihasilkan oleh
aktivitas
mikroorganisme
seperti
ganggang
hijau,
cyanobacteria,
atau
hidrogen, metode yang paling menjanjikan dan ramah lingkungan adalah karena
menggabungkan proses produksi hidrogen dengan pengolahan limbah (Benemann
1996). Produksi hidrogen oleh mikroorganisme terungkap pada akhir tahun 1800.
Penelitian dasar bakteri penghasil H2 ditemukan pada akhir tahun 1920 dan
ganggang mikro pada awal tahun 1940. Penelitian mengenai produksi H 2 dengan
fermentasi gelap memperoleh perhatian lebih pada akhir tahun 1990 dengan
meningkatnya jumlah studi hingga sekarang (Koskinen, 2008).
2.2 Fermentasi anaerob
Fermentasi anerob merupakan proses yang dilakukan pada berbagai jenis
mikroorganisme dengan cara merombak bahan organik hingga membentuk
biogas. Proses ini akan berhasil jika pada proses terjadi pertukaran massa pada
setiap mikroorganisme yang terlibat berlangsung dengan kecepatan yang sama.
Keadaan ini membuat proses anaerobik lebih sensitif terhadap pengaruh bahan
toksik, pH, dan temperatur dibanding dengan proses aerobik.Beberapa hal yang
mempengaruhi fermentasi anaerob diantaranya adalah :
a. Temperatur
Reaksi fermentasi anaerob dapat dioperasikan pada temperatur yang
berbeda : mesofilik (25-40oC), termofilik (40-65 oC), ekstrim termofilik (6580 oC), atau hipertermofilik (>80 oC). Percobaan fermentasi anaerob biasanya
dilakukan pada temperatur sebesar 35-55 oC. Fermentasi anaerobik hidrogen
secara ekstrim termofilik dapat menghasilkan produksi hidrogen yang lebih
banyak dan laju produksi hidrogen yang lebih tinggi daripada fermentasi
hidrogen secara mesofilik. Pada kondisi ekstrim termofilik (70 oC), hasil
hidrogen mencapai maksimum yaitu 4 mol hidrogen per mol glukosa,
sedangkan pada kondisi mesofilik dan termofilik normalnya adalah kurang
dari 2 mol hidrogen per mol glukosa. Fermentasi dengan temperatur tinggi
lebih disukai secara termodinamik bagi reaksi penghasil hidrogen karena
temperatur yang tinggi menghasilkan peningkatan entropi, dan menjadikan
fermentasi anaerob hidrogen lebih berenergi. Bakteri ekstrim termofilik
menunjukkan toleransi yang lebih baik pada tekanan parsial hidrogen yang
tinggi (Suraya, 2008).
b. Derajat Keasaman (pH)
pH atau derajat keasaman memiliki efek terhadap aktivasi enzim
mikroorganisme, karena setiap enzim aktif hanya pada kisaran pH yang
bersifat spesifik dan mempunyai aktivitas maksimum pada pH optimalnya.
pH yang tidak optimal pda proses fermentasi hidrogen dapat mengakibatkan
adanya produksi pelarut atau memperlama fasa lag. Produksi laktat selalu
muncul dengan adanya perubahan parameter lingkungan yang terjadi secara
tiba-tiba, seperti pH, HRT, dan temperatur, yang mengindikasikan
berkemabangnya bakteri karena tidak beradaptasi dengan kondisi lingkungan
yang baru. Dari penelitian mengindikasi bahwa kebanyakan bakteri ekstrim
termofilik penghasil hidrogen lebih menyukai pH netral sebagai pH optimum.
Penelitian biakan campuran bakteri ekstrim termofilik yang diadaptasi dari
pupuk juga melaporkan bahwa pH optimum adalah 7. Biakan campuran
bakteri ekstrim termofilik penghasil hidrogen yang diadaptasi dari pupuk dan
pengolahan substrat HSW mempunyai pH optimum 7 (Suraya, 2008).
c. Tekanan Parsial
Tekanan parsial sangat berpengaruh pada fermentasi anaerob. Konsentrasi
hidrogen pada fasa cair berhubungan dengan tekanan parsial hidrogen yang
merupakan salah satu kunci faktor yang mempengaruhi produksi hidrogen.
Tekanan parsial H2 adalah faktor yang sangat penting terutama bagi sintesis
H2 secara kontinyu. Alur sintesis hidrogen bersifat sensitif bagi konsentrasi H 2
dan merupakan penghambat produk akhir karena meningkatnya konsentrasi
H2 menyebabkan sintesis H2 berkurang dan alur metabolik berganti menjadi
produksi substrat seperti laktat, etanol, aseton, butanol, atau alanin (Suraya,
2008).
d. Konsentrasi Asam Organik
Konsentrasi asam organik dapat menghasilkan penurunan gradien pH dan
menyebabkan penghambatan total dari fungsi keseluruhan metabolik sel.
Konsentrasi total antara asam asetat atau butirat dan bentuk tidak
terpisahkan dari asam-asam ini dapat menghambat proses fermentasi
anaerob
hidrogen.
Penghambatan
produksi
H2 dapat
disebabkan
cere dengan ciri bentuk butiran lonjong sampai sedang. Sebagai bahan pangan
pokok bagi sekitar 90% penduduk Indonesia, beras menyumbang antara 40 80%
kalori dan 45 55 % protein. Bubur merupakan istilah umum untuk mengacu
pada campuran bahan padat dan cair, dengan komposisi cairan yang lebih banyak
daripada padatan dan keadaan bahan padatan yang tercerai-berai. Bubur beras
sendiri merupakan bubur yang berasal dari bahan baku beras (Astawan, 2000).
Beras akan mengalami perubahan aroma dan rasa khususnya, jika
disimpan pada suhu di atasd 15o C. Setelah 3 4 bulan disimpan, akan terjadi
perubahan rasa dan aroma. Suhu dari pendaringan dan gudang di Indonesia
biasanya lebih tinggi dari 15 o C, hal inilah yang mengakibatkan kerusakan aroma
dan penyimpangan rasa beras selama penyimpanan. Semakin lama disimpan,
semakin menurun rasa dan aroma nasinya. Bau penguk atau yang lebih dikenal
sebagai bau apek dari beras giling yang telah lama disimpan ternyata disebabkan
oleh beberapa senyawa karbonil yang bersifat tengik, yaitu senyawa-senyawa
hasil oksidasi lemak yang terdapat pada permukaan beras oleh oksigen. Salah
satunya dikenal sebagai 1-heksanal. Semakin lama beras disimpan, jumlah
senyawa ini semakin banyak terbentuk (Koswara, 2009).
Sifat pati dalam beras sangat berpengaruh terhadap rasa nasi. Pati beras
terdiri dari molekul-molekul besar yang tersusun atau dirangkai dari unit-unit gula
sederhana berupa glukosa. Kalau rangkaiannya lurus disebut amilosa dan kalau
rangkaiannya bercabang disebut amilopektin. Rasio amilosa/amilopektin dapat
menentukan tekstur, pera tidaknya nasi, cepat tidaknya mengeras serta lekat
tidaknya nasi. Rasio amilosa/amilopektin tersebut dapat pula dinyatakan sebagai
kadar amilosa saja. Semakin kecil kadar amilosa atau semakin tinggi kadar
amilopektin, semakin lekat nasinya. Karena itu, beras ketan kadar amilosanya
sangat rendah (1- 2%), sedangkan beras yang kadar amilosanya lebih besar dari 2
% disebut beras bukan ketan atau beras biasa. Berdasarkan kandungan
amilosanya, beras (bukan ketan) digolongkan menjadi 4 golongan, yaitu beras
beramilosa tinggi (25 33 %), beras beramilosa sedang (20-25%), beras
beramilosa rendah (9-20 %) dan beras dengan kadar amilosa sangat rendah (29%).
identifikasi berbasis molekuler yang lebih cepat dengan tingkat sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi, yaitu dengan analisis sekuensing gen 16S rRNA (16S
ribosomal Ribonucleic acid/Asam ribonukleat pengkode ribosom 16S, S
menyatakan Svedberg, yaitu satuan ukuran ribosom). Gen 16S rRNA juga sering
disebut sebagai 16S rDNA (16S ribosomal deoxyribose nucleatic acid), namun
menurut konsensus dari American Society for Microbiology (ASM), istilah 16S
rRNA dinilai lebih tepat1,2 . Gen pengkode RNA ribosomal (rRNA) adalah gen
yang paling lestari (conserved). Porsi sekuens rDNA dari tiap organisme yang
secara genetik berkorelasi umumnya adalah sama(Lau, 2002).
Organisme yang memiliki jarak kekerabatan tertentu dapat disejajarkan
sehingga lebih mudah untuk menentukan perbedaan dalam sekuens yang menjadi
ciri khas organisme tersebut. Gen pengkode rRNA digunakan untuk menentukan
taksonomi, filogeni (hubungan evolusi) serta memperkirakan jarak keragaman
antar spesies (rates of species divergence) bakteri. Perbandingan sekuens rDNA
dapat menunjukkan hubungan evolusi antar organisme. Penggunaan sekuens 16S
rRNA dipelopori oleh Carl Woese, yang juga menemukan klasifikasi 3 domain
terbesar makhluk hidup, yaitu bakteri, archaea dan eukaria. Gen pengkode rRNA
adalah gen yang mampu mempertahankan kelestariannya selama jutaan tahun
keanekaragaman evolusi. Sebagian besar prokariot memiliki 3 jenis rRNA, yaitu
5S, 16S dan 23S.
di mana H adalah produksi kumulatif hidrogen (mL), jeda waktu (h), P potensi
produksi hidrogen (mL) .
dan
UNIV1392R
(5
-cell
PCR
menggunakan
primer
set
M13F
(5
karbon dioksida sebesar 44-55%, tidak termasuk sisa nitrogen yang diperoleh dari
pencucian awal. Biogas yang dihasilkan bebas dari metana karena kurangnya
aktivitas mentanogenik didalam endapan.
4.2 Pembahasan
4.2.1 Pengaruh pH Terhadap Produksi Hidrogen pada Suhu 37oC
Hasil persamaan (1) dari data pH mulai 4,0 sampai 7,0 pada treatment
bubur beras yang mengandung 5,5 g karbohidrat/L pada suhu 37oC diperoleh
grafik sebagai berikut:
pada pH 4,5
Parameter terbaik ialah pada: 36 jam, Rm 7,3 mL/jam, dan P 286 mL pada
37oC; 44 jam, Rm 2,9 mL/jam, dan P 174 mL pada 55oC. Jeda fase yang panjang
kemungkinan besar dibutuhkan oleh bakteri untuk menyesuaikan kondisi
fisiologis bakteri tersebut terhadap kondisi lingkunga asam yang baru pada pH
4,5. Berdasarkan nilai P dan Rm, rata-rata produksi hidrogen spesifik maksimum
dan hasil hidrogen pada 37oC dihitung sebesar 2,1 L/(gVSS d) dan 346 mL/gkarbohidrat. Data ini sesuai dengan nilai pada 55 oC sebesar 0,8L/(gVSS d) dan
210 mL/g-karbohidrat. Hasil ini menunjukkan bahwa lumpur mesofilik lebih
efektif dibandingkan dengan lumpur termofilik dalam treatment sampah makanan
yang kaya karbohidrat.
4.2.3 Pengaruh Konsentrasi Bahan Baku Terhadap Produksi Hidrogen pada pH
4,5 dan 37oC
Parameter kinetik yang dapat dilihat pada engaruh konsentasi bubur beras
yang digunakan terhadap produksi hidrogen dapat dirangkum dalam tabel berikut:
Tabel 4. Parameter Kinetik pada pH 4,5 dan variasi konsentrasi beras
produksi hidrogen spesifik maksimum meningkat dari 0,3 L/(g-VSS d) pada 2,7
g-karbohidrat/L menjadi 2,1 L/(g-VSS d) pada 5,5 g-karbohidrat/L dan kemudian
menurun menjadi 0,4 L/(g-VSS d) pada 22,1 g-karbohidrat/L. Konsentrasi 5,5 gkarbohidrat/L juga memberikan hasil hidrogen tertinggi sebesar 346 mL/gkarbohidrat. Hasil hidrogen menurun secara pasti pada konsentrasi diatas 5,5 gkarbohidrat/L, yang mungkin diperoleh dari adanya peingkatan konsentrasi VFA
dan alkohol. Peningkatan signifikan konsentrasi total VFA dan alkohol terhadap
peningkatan konsentrasi bahan baku, dari 1772 mg/L pada 2,7 g-karbohidrat/L
menjadi 10.587mg/L pada 22,1 g-karbohidrat/L. Hasil ini ditunjukkan pada tabel
berikut:
Tabel 5. Produksi VFA dan Alkohol pada pH 4,5 dan Variasi konsentrasi beras
Gambar 4.2.3 Profil DGGE untuk kumpulan produksi hidrogen pada pH 4,5-6,5
Gambar diatas merupakan ilustrasi gambar DGGE yang memiliki variasi
populasi mikroba pada keadaan pH yang berbeda. Gambar tersebut menunjukkan
bahwa keanekaragaman hayati menurun jauh ketika pH diturunkan dari pH 6,5
menjadi 4,5, seperti yang ditunjukan pada pita pertama. pH 4,5 merupakan pH
optimal untuk produksi hidrogen dari bubur beras, dimana kumpulan mikroba
bubur pada pH 4,5 dapat dianalisa lebih lanjut.
Gambar 4.2.4 Profil DGGE pH 4,5 selama 130 jam dan hubungannya dengan
akumulasi hidrogen.
berikut:
Gambar 4.2.5 Penampakan SEM dari bakteri produksi hidrogen pada pH 4,5
Bakteri yang memproduksi hidrogen dapat diklasifikan menjadi empat
kelompok utama yaitu; anaerob ketat, anaerob fakultatif, aerob, dan bakteri
fotosintetik. Penelitian ini, Clostridium anaerob ketat ditemukan paling melimpah
di bubur. Banyak spesies Clostridium mampu menghasilkan hidrogen, termasuk
C. acetobutylicum, C. butylicum, C. butyricum, C. kluyveri, dan C. pasteurianum,
BAB 5. PENUTUP
5.1 KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Aryati. 2010. Biogas Production Using Anaerobic Biodigester From Cassava
Starch Effluent With Ruminant Bacteria As Bicatalyst. Semarang :
Universitas Diponegoro.
Chong Mei Ling. 2009. Biohydrogen Production by Clostridium butyricum from
Palm Oil Mill Effluent. Japan : International Journal of Hydrogen Energy.
Clarridge JE. 2004. Impact of 16S rRNA Gene Sequence Analysis for
Identification of Bacteria on Clinical Microbiology and Infectious
Diseases.USA : Clin. Microbiol.
Koskinen Perttu. 2008. The Development and Microbiology of Bioprocesses for
the Production of Hydrogen and Ethanol by Dark Fermentation. Tamper e :
Tampere University of Technology.
Koswara Sutrisno, M.Si. 2009. Teknologi Pengolahan Beras.
http://ebookpangan.com [diakses pada 13 oktober 2016]