Anda di halaman 1dari 4

Efektivitas Penegakan Hukum Presiden

Jokowi

22
Shares

Palu pengadilan.

Oleh Abdul Hakim G Nusantara


KOMPAS.com - GEBRAKAN hukum Presiden Joko Widodo, yakni
menenggelamkan kapal-kapal pencuri ikan dan menolak grasi para terpidana mati
pengedar narkoba disambut antusias oleh sebagian masyarakat.
Namun, penolakan grasi atas terpidana mati pengedar narkoba terus dipersoalkan
legitimasinya oleh pembela hak asasi manusia karena melanggar hak hidup sebagai
HAM konstitusional universal. Gebrakan hukum Jokowi itu menyampaikan pesan

yang jelas kepada rakyat Indonesia dan dunia bahwa dia serius dalam menegakkan
daulat hukum.
Namun, ini baru permulaan kisah yang belum dapat disimpulkan. Efektivitas
penegakan hukum dalam makna konsistensi prinsip, kebijakan, dan tindakan hukum,
berkurangnya secara signifikan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, serta
bentuk kejahatan umum lainnya masih harus dibuktikan dalam masa
kepresidenan Jokowi.
Dalam sistem daulat hukum demokrasi konstitusional Indonesia, Presiden punya
tanggung jawab penegakan hukum melalui tiga institusi. Pertama, institusi pejabat
tata usaha negara (PTUN) non atau kuasi yudisial, seperti kementerian dan
jajarannya, lembaga pemerintah non- kementerianbaik sipil maupun militer, dan
jajarannya, pemda dan jajarannya. Mereka inilah, menurut Roger Cotterrel (Cotterrel
2012 : 337-349 ), para agen penyelenggara hukum yang mengelola kebijakan dan
perizinan bagi berbagai aktivitas ekonomi, sosial, politik, keamanan, dan budaya
yang dilakukan oleh individu atau kelompok masyarakat.
Penegakan hukum di sektor ini jelas dimaksudkan untuk menghilangkan atau
setidaknya meminimalkan korupsi dan bersamaan dengan itu memaksimalkan
pelayanan publik, pendapatan negara, dan melindungi aset publik. Di sektor ini, dari
mulai pemerintahan Megawati sampai Susilo Bambang Yudhoyono tak berhasil
mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif.
Kedua, institusi Polri sebagai penyidik yang punya wewenang penyelidikan dan
penyidikan segala rupa perkara pidana, mulai dari urusan rumah tangga sampai
urusan publik. Reformasi Polri selama lebih dari satu dasawarsa belum berjaya
membersihkan dirinya dari praktik korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan
kekerasan berlebihan. Bahkan, saat ini acap terjadi bentrokan antara oknum polisi
dan oknum TNI.
Ketiga, institusi kejaksaan sebagai penuntut belum sepenuhnya tuntas menjalankan
reformasi. Kejaksaan belum berhasil pula membersihkan dirinya dari praktik korupsi
dan penyalahgunaan wewenang, mengakibatkan rendahnya kepercayaan
masyarakat atas integritas para jaksa.
Koordinasi dan sinergi
PTUN non atau kuasi yudisial, polisi, dan jaksa punya tugas dan wewenang
termasuk diskresiuntuk menegakkan hukum di lingkungan masing-masing dengan

beragam sasaran. Walaupun tugas, wewenang, dan diskresi para penyelenggara


hukum itu berbeda, sesungguhnya berhubungan. Misalnya, PTUN di bidang
kesehatan memastikan semua pemangku kepentingan mematuhi standar dan
persyaratan yang ditetapkan. Setiap pelanggaran pasti dikenai sanksi administratif
atau, apabila ada unsur pidana, akan diselidiki dan disidik oleh pegawai penyidik dan
atau polisi, yang kemudian bisa jadi akan diikuti dengan penuntutan oleh jaksa.
Keputusan-keputusan untuk melakukan tindakan hukum atas suatu kasus di sektor
tertentu tak terhindarkan mengundang pertimbangan dan diskresi dari setiap
penyelenggara hukum itu, yang bisa pula mengundang perbedaan pendapat dan
benturan yang membawa dampak pada efektvitas penegakan hukum.
Karena itu, PTUN non atau kuasi yudisial, polisi, dan jaksa sebagai subsistem dalam
sistem penyelenggaraan dan penegakan hukum di bawah presiden harus mampu
berkoordinasi dan bersinergi untuk mencapai tujuan penegakan hukum yang
kebijakannya ditetapkan oleh presiden. Persis di situ letak kelemahan penegakan
hukum di Indonesia, yaitu presiden gagal mengoordinasi dan menyinergikan
pelaksanaan tugas penegakan hukum yang semestinya dilakukan, yang berakibat
rendahnya efektivitas penegakan hukum di Indonesia.
Efektivitas penegakan hukum ditentukan pula oleh faktor-faktor, seperti kejelasan
hukum, pengetahuan, dan pemahaman atas hukum yang berlaku, situasi kasus yang
dihadapi, kecerdasan, dan keberanian penegak hukum untuk mengambil keputusan,
sumber daya yang memadai, dan peran serta masyarakat.
Maka, efektivitas penegakan hukum Presiden Jokowi akan ditentukan oleh, pertama,
konsistensi prinsip, kebijakan, dan tindakan hukum berkenaan kejelasan wilayah
prioritas penegakan hukum. Kedua, mengoordinasikan dan menyinergikan PTUN
non atau kuasi yudisial, polisi, jaksa sebagai subsistem dari sistem penegakan
hukum. Ketiga, keberanian dan kecerdasan mengambil putusan atas berbagai kasus
yang dihadapi, termasuk penggunaan diskresi yang bertanggung jawab. Keempat,
sumber daya yang cukup dan dukungan masyarakat luas. Kelima, pengadilan yang
bersih, responsif, dan progresif terhadap tuntutan keadilan publik.
Akhirnya, perlu dikemukakan bahwa efektivitas penegakan hukum di bawah
Presiden Jokowi harus diukur dengan indikator, antara lain konsistensi dalam prinsip,
kebijakan dan tindakan hukum, menurunnya secara signifikan korupsi dan
penyalahgunaan kekuasaan di jajaran PTUN, Polri, dan jaksa, serta kejahatan umum
lainnya; meningkatnya kualitas dan aksesibilitas pelayanan publik; rasa aman dan
nyaman dalam kehidupan di kalangan masyarakat luas; meluasnya budaya

kepatuhan hukum; serta meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan


masyarakat.
Dengan demikian, jika semua indikator itu dapat dipenuhi pada era
kepemimpinan Jokowi, kita bersama akan berada dalam kehidupan hukum yang
lebih baik daripada zaman sebelumnya.
Abdul Hakim G Nusantara
Ketua Komnas HAM 2002-2007; Advokat/Arbiter

Anda mungkin juga menyukai