Jumlah
Presentase
29
4
33
87,88
12,12
100
Mereka yang mengikuti program rujuk balik tersebut direkomendasikan oleh Dokter
Spesialis RSUP Fatmawati untuk rujuk balik selama 3 bulan (50%) dan selamanya
(50%). Dari 4 pasien yang pernah dirujuk balik, 3 pasien tidak datang ke RSUP
Fatmawati lagi sebelum berakhirnya masa rujuk balik, sedangkan 1 orang kembali ke
RSUP Fatmawati dengan alasan puskesmas jauh dari rumah, di puskesmas hanya
terima obat dan tidak ada pemeriksaan. Dari 4 pasien yang dirujuk balik ini, 3 pasien
menyatakan bahwa pelaksanaan rujuk balik masih tidak baik dikarenakan prosesnya
yang terlalu rumit.
Program rujuk balik sudah semestinya dilakukan di RSUP Fatmawati sebagai
upaya rehabilitatif (penyembuhan), yakni pasien penyakit kronis (penyakit jantung
koroner, hipertensi dan diabetes mellitus dll) dirujuk balik ke puskesmas. Puskesmas
sebagai Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama memiliki kewajiban untuk pelayanan
medis, salah satunya adalah kasus medis rujuk balik (Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Program
Jaminan Kesehatan Nasional). Pasien tersebut dirujuk balik karena memang
kondisinya telah stabil dan memerlukan pengobatan dalam jangka waktu yang lama,
sehingga dalam pelaksanaannya pasien tidak menumpuk di rumah sakit (Irwanto,
2013). Rumah sakit sebagai Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut menerima peserta
rujukan yang kemudian diberlakukan program rujuk balik apabila (1) sudah
melakukan pemeriksaan medis, diobati dan dirawat tetapi penyembuhan selanjutnya
perlu di follow up oleh rumah sakit/puskesmas/polindes/poskesdes pengirim, (2)
sudah melakukan pemeriksaan medis, diselesaikan tindakan kegawatan klinis, tetapi
pengobatan
dan
perawatan
selanjutnya
dapat
dilakukan
di
rumah
Jumlah
Presentase
14
42,42
12,12
9,09
6,06
15
4,45
10
30,30
Jumlah
25
4
Presentase
86,21
13,79
*4 orang sudah di rujuk balik
tidak lengkap, merasa sudah cocok dengan dokter RSUP Fatmawati, dokter di
puskesmas kurang ahli, sudah terbiasa dan nyaman di RSUP Fatmawati, peralatan di
puskesmas kurang memadai, di puskesmas tidak ada dokter spesialis, obat di
puskesmas tidak lengkap dan sering kali berbeda, pemeriksaan di puskesmas tidak
lengkap dan tidak mau ribet dan bingung. Meskipun demikian, 13,79% pasien
hipertensi bersedia untuk melakukan rujuk balik dengan alasan puskesmas lebih
dekat, obat yang diberikan di puskesmas sama dengan yang diberikan RSUP
Fatmawati dan bersedia jika memang kondisi stabil serta disarankan oleh dokter.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar pasien tidak bersedia
untuk melakukan rujuk balik, namun ada beberapa pasien yang bersedia melakukan
rujuk balik. Perlu ada edukasi dan komunikasi yang jelas antara dokter dengan
pasien, sehingga pasien mengerti dan mau melakukan rujuk balik ketika kondisi
pasien telah stabil.
1.1.3
Diagnosis Medis
Variabel diagnosis medis menggambarkan jenis penyakit yang dinyatakan oleh
dokter spesialis atau subspesialis berdasarkan hasil pemeriksaan. Pada penelitian ini
jenis penyakit yang diderita pasien dikelompokkan menjadi 3 macam, yakni pasien
yang hanya menderita hipertensi, pasien yang menderita hipertensi dan komplikasi
lain serta pasien yang menderita penyakit lain. Berikut ini adalah tabel 6.4 yang
menunjukkan distribusi responden berdasarkan diagnosis medisnya.
Tabel 6. 4 Distribusi Diagnosis Medis pada Pasien Hipertensi di RSUP Fatmawati
Tahun 2016
Diagnosa medis
Hanya hipertensi
Hipertensi dan komplikasi lain
Penyakit lain
Total
Jumlah
8
22
3
33
Presentase
24,24
66,67
9,09
100
kesalahan pada saat memasukan diagnosis pasien di sistem informasi rekam medis
atau pasien memang tidak mengetahui dengan jelas penyakit yang ia derita. Untuk
mengatasi permasalahan tersebut diperlukan perhatian lebih bagi RSUP Fatmawati
dalam
memasukkan
diagnosis
pasien,
sebab
rekam
medis
merupakan
pendokumentasian penyakit pasien yang harus ditulis dengan benar. Selain itu, dokter
juga harus menjelaskan kepada pasien terkait diagnosis penyakitnya agar pasien
mengetahui dengan jelas penyakit yang sebenarnya ia derita.
1.1.4
Jumlah
28
5
33
Presentase
84,85
15,15
100
informasi yang baik dan jelas akan menambah pemahaman pasien, sehingga pasien
bisa mengerti tentang pemanfaatan program rujuk balik.
1.1.5 Hasil dan Pembahasan Penelitian Kualitatif di RSUP Fatmawati
1.1.5.1 Kebijakan atau Prosedur
Berdasarkan wawancara mendalam yang dilakukan, semua informan
menyatakan bahwa telah ada Standar Prosedur Operasional (SPO) tentang pelayanan
rujuk balik di RSUP Fatmawati. SPO tersebut dibuat oleh Bidang Pelayanan Medik
RSUP Fatmawati, namun Instalasi Rawat Jalan (IRJ) sebagai pelaksana dari
pelayanan rujuk balik dapat mengusulkan inti dari SOP ini. Setelah SOP dibuat, maka
SOP akan disebarluaskan ke Instalasi Rawat Jalan, khususnya kepada orang-orang
yang berkaitan dengan pelayanan rujuk balik seperti dokter spesialis, perawat dan
manajemen IRJ. Berikut ini adalah contoh petikan pernyataannya:
Ada. Seharusnya bagian umum yang mendistribusikan ke dokter dan ke IRJ
sebagai pelaksananya. SOP mereka (IRJ) bisa mengusulkan inti-intinya apa, tapi
biasanya pembuatan SOP itu dari Bidang Pelayanan Medik (I1).
Ada, di rawat jalan. yang membuat rawat jalan diiniin sama rumah sakit, Bidang
Pelayanan Medik (I2).
Ada SOP di Bidang Pelayanan Medik. Saya ga megang (I3).
.Sudah. SOP rumah sakit, bukan SMF. Kalau rujuk baliknya yang menentukan
rumah sakit, yang menyediakan Bidang Pelayanan Medik (I4).
Pembuatan SOP tersebut tentu harus mengacu pada kebijakan atau peraturan
yang terkait seperti Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 01 Tahun 2012
tentang Pelayanan Rujukan Berjenjang dan Panduan Rujuk Balik bagi Peserta JKN
dari BPJS. SOP yang dibuat harus mengacu kpada Panduan dari BPJS mengingat
90% pasien di RSUP Fatmawati adalah peserta JKN-BPJS, yangmana peserta JKN
yang menderita penyakit kronis dianjurkan untuk melakukan rujuk balik ketika
kondisinya telah stabil (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Tanpa tahun).
SOP yang telah dibuat oleh Bidang Pelayanan Medik sudah semestinya
disosialisasikan kepada pihak-pihak yang berkaitan dengan rujuk balik, misalnya
kepada dokter spesialis, perawat dan manajemen IRJ RSUP Fatmawati, namun tidak
menutup kemungkinan bahwa seluruh pegawai di IRJ RSUP Fatmawati harus
mengetahui bahwa telah ada SOP rujuk balik dan rujuk balik merupakan salah satu
indikator di IRJ RSUP Fatmawati. Menurut keterangan dari informan, diketahui
bahwa telah ada sosialisasi terkait SOP rujuk balik. Sosialisasi tersebut dilakukan
oleh Bidang Pelayanan Medik (BYM) kepada dokter spesialis di IRJ dan manajemen
IRJ RSUP Fatmawati. SOP tersebut ada yang disosialisasikan individu kepada dokter
spesialis yang bersangkutan dan ada yang melalui rapat. Berikut ini adalah petikan
pernyataannya:
.Kepada dokter sudah di rapat KSM, sosialisasi sudah pernah. SPO kan artinya
gini kita yang membuat distribusinya ada bagian lain, yakni bagian umum. Mungkin
ada yang kelewat atau apa. Sudah didistribusikan mungkin, KSM nya terima tapi
tidak dibaca oleh dokter kan bisa juga. Banyak hal yang bisa menghambat atau
terkendala sehingga merasanya belum menerima atau mengetahui SOP rujuk balik
(I1).
.Secara ini ada SOP nya (I2).
.Sudah pernah, waktu itu sih saya taunya dari BYM. Waktu itu sih nggak bareng.
Semua dokter atau nggaknya saya ga tau sudah di sosialisasi SOP atau belum
(I3).
.Pernah ada di rapat SMF. Rapat koordinasi SMF (I4).
SOP yang ada memang sudah seharusnya diinformasikan kepada orang yang
berkaitan dengan pelaksanaan rujuk balik, namun petugas kesehatan yang lain seperti
perawat juga perlu mendapatkan sosialisasi. Hal ini mengingat perawatlah yang selalu
mendampingi dokter ketika melakukan pemeriksaan kepada pasien, sehingga perawat
dapat mengingatkan dokter untuk merujuk balik pasien apabila kondisinya telah
stabil. Pihak lain yang harus mengerti tentang rujuk balik ini adalah pegawai rumah
sakit. Berdasarkan wawancara singkat yang dilakukan kepada pegawai rumah sakit,
sebagian besar mereka tidak mengetahui implementasi rujuk balik di RSUP
Fatmawati. Padalah pegawai RSUP Fatmawati tersebut juga perlu mengetahuinya
agar pelaksanaan rujuk balik dapat berjalan dengan lancar.
Implementasi SOP rujuk balik di RSUP Fatmawati pada kenyataannya tidak
berjalan dengan lancar. Banyak faktor yang menghambat pelaksanaan SOP tersebut,
baik dari dokter spesialis yang merekomendasikan rujuk balik maupun pasiennya.
Berikut ini adalah petikan pernyataannya.
.Mungkin pertama, faktor dari dokter atau SDM nya dulu. Dokternya tidak
mengetahui adanya program rujuk balik, mengetahui tapi tidak tahu harus
bagaimana caranya, ketiga dia tahu tapi tidak melakukannya, artinya mungkin lihat
formulirnya saja dokternya sudah males buat nulis-nulis. Kedua dari sarana,
formnya sendiri tidak selalu ada di dekat dokter. Jadi kalau ga ada formulir dia tidak
melakukannya. Kan pasiennya banyak, waktnya terbatas. Jadi kalau nulis mungkin
butuh waktu lebih lama gitu. Ketiga, perlu ada seseorang yang perlu care artinya
perhatian dan ini diharapkan dari dokternya. BPJS seharusnya kan edukasi pasien,
pasien selanjutnya ke puskesmas saja yang terdekat ditambah perawat harusnya
mengingatkan dokternya. Dok ini kalau sudah selesai apa nggak di rujuk balik?
(I1).
.Pasien biasaya sempat keberatan. Tapi beberapa yang sudah dijelaskan mau,
beberapa lagi minta di Fatmawati. Ada juga yang sudah balik, balik lagi ke
Fatmawati. Alasannya obatnya sering tidak ada. Jadi kadang-kadang di sini kita
berikan obat A ternyata di tempat rujuk baliknya tidak ada. Obatnya sih sebenarnya
bisa diganti, kadang-kadang pasien tidak diedukasi dengan baik di tempat rujuk
baliknya jadi pasien tetep minta balik ke sini (I3).
Kedua pernyataan ini sesuai dengan hasil dari penelitian kuantitatif.
Berdasarkan hasil penelitian kuantitatif diketahui bahwa dukungan dokter untuk
menganjurkan pasiennya dirujuk balik masih sangat kurang. Sebanyak 90,91% pasien
hipertensi tidak dianjurkan atau disarankan oleh dokter RSUP Fatmawati untuk
mengikuti program rujuk balik. Faktor-faktor yang telah disebutkan di atas mungkin
mempengaruhi keputusan dokter dalam merujuk balik pasiennya di samping
pertimbangan kondisi pasien. Hambatan lain dalam implementasi SOP rujuk balik
juga datang dari pasiennya. Salah satu alasan pasien tidak mau melakukan rujuk balik
adalah karena tidak tersediannya obat di FKTP. Hal ini sesuai dengan penelitian
kuantitatif yang menunjukkan bahwa 6,06% obat di FKTP tidak lengkap. Alasan lain
yang juga turut mempengaruhi kemauan pasien untuk melakukan rujuk balik sangat
beragam. Berikut adalah pernyataan salah satu informan terkait hal tersebut:
.Pasien tidak mau dirujuk balik, sudah tua kan jadinya mereka arisan. Sesama
orang tua tuh suka ngobrol. Kalau di puskesmas mencar, beda wilayah. Jadi dia di
Fatmawati nyaman. Itu yang ga ter-record. Kalau diagnosanya ga jelas kita padahal
ga diganti BPJS (I1).
.Pasien banyak nggak maunya. Sudah nyaman di sini. Yang tau penyakit saya
dokter. Kalau saya dirujuk balik satu obatnya tidak lengkap, kemudian yang kedua
kadang-kadang tidak diperiksa, hanya diberikan obat. Ketiga dokternya tidak pintar
karena bukan dokter spesialis. Terus yang keempat merasa sudah familiar di sini
(I3).
Pernyataan informan di atas sejalan dengan alasan pasien ketika
diwawancarai oleh peneliti via telepon. Jadi, sebenarnya pihak rumah sakit pun telah
mengetahui alasan mengapa pasien tidak bersedia melakukan rujuk balik.
Aspek selanjutnya terkait isi dari SOP rujuk balik. SOP rujuk balik di RSUP
Fatmawati telah mencantumkan alur rujuk balik. Hal ini digunakan untuk
mempermudah proses rujuk balik di RSUP Fatmawati. Berikut ini adalah pernyataan
dari informan terkait alur rujuk balik di RSUP Fatmawati:
.Pasien bawa rujukan tuh dari puskesmas atau RSUD di bawah Fatmawati.
Kemudian dia ke Fatmawati, di Fatmawati dokter jantung sini bilang ini harus
berobat misalnya 6 bulan. 6 bulan ke depan berlaku di sini. Kalau sudah habis kita
stempel. Di surat rujukan RSUD nanti kita stempel. Kita tulis tanggalnya. BPJS
ngasih print out. Kita kembaliin lagi ke BPJS. Ada pencatatan juga, tapi ibu belum
melihat form dari fatmawati. Nanti di catat sama TU. Dia juga dicatat sama BPJS
terus dia kembali ke FKTP (I2).
.Pada saat pasien sudah kita periksa dinyatakan tidak adaaa, tidak perlu kontrol
lagi di RS Fatmawati kita berikan eee kita isi formulir untuk rujuk balik disitu tertulis
juga pemeriksaan yang sudah dilakukan sama obat-obat yang masih dikonsumsi
pasien. Formulirnya dari BPJS yang print out itu. Kalau memang yang sudah stabil
pasien essensial hipertensi murni tidak memerlukan eeeee tindakan atau pemeriksaan
lebih lanjut biasanya kita kembalikan ke layanan kesehatan yang primer atau tipe B
yang di bawahnya Fatmawati. Jadi kalau pasien itu udah selesai surat rujukannya
dikasih stempel rujuk balik (I3).
Berdasarkan keterangan informan di atas dapat disimpulkan bahwa rujuk
balik dapat dilakukan ketika kondisi pasien telah stabil. Pasien yang telah memiliki
kondisi stabil akan dikembalikan ke FKTP dengan menyertakan form rujuk balik dari
BPJS yang diisi oleh dokter spesialis di IRJ dan stempel segitiga rujuk balik. Setelah
itu pasien mendaftarkan diri sebagai pasien rujuk balik di BPJS Centre. Alur yang
disebutkan oleh kedua informan ini telah sesuai dengan SPO Pelayanan Rujuk Balik
RSUP Fatmawati dengan nomor dokumen HK.03.05/II.1/1340/2014013/BYM.
Salah satu informan menyebutkan terkait mekanisme rujukan dan rujuk balik
pasien hipertensi di RSUP Fatmawati. Berikut ini adalah petikan pernyataannya:
.Di IRJ itu kan 1 pelayanan 1 hari. Di rujuk ke sini untuk tindak lanjut hipertensi,
adakah komplikasi, ada pemeriksaan komplit istilahnya. Hari ini pasien ketemu
dokternya hanya untuk konsultasi, dokternya kan kalau ada hipertensi mau melihat
fungsi ginjalnya gimana, apakah kalau sakit dada atau angina pasiennya harus
treatmil, pasiennya ada Hipertensi Heart Disease apa nggak berarti ada echo.
Sebelum echo pastinya rongsen dulu, harusnya lab dulu. Lab-rongsen-echo habis
echo tratmil. Kok kalau dipikir pasien hipertensi datang sampai lima kali. Pertama
konsultasi, kedua lab, ketiga rongsen, keempat echo kelima treatmil. Itu baru di
dalam kardionya saja. Kalau treatmilnya positif menanjak lagi CAG, positif itu
tanda-tanda coroner. Berarti nanti datang lagi untuk CAG, kalau ada penyempitan
pasang cincin PTCA. Nah yang tadinya hipertensi biasa bisa dateng berkali-kali
kalau hasil tapisannya atau filternya itu menunjuk adanya komplikasi. Lain kalau
dari awal diagnosanya cuma HHD, maka ditabras cuma echonya aja. Kalau
hipertensi esensial di echo dia normal, maka dia dikembalikan. Kalau misalkan
periksa lab kreatininnya tinggi, maka dia ada komplikasi pada target organ. Kalau
dari 5 tahapan itu normal, dia bisa dikembalikan ke rujuk balik itu. Tapi kalau ada
HHD berarti sudah meningkat kan, artinya pasien ini harus dikonsulkan. Kita mau
berapa bulan, kalau tensinya naik turun kita sampai enam bulan. Kalau sudah
selesai dan normal baru dikembalikan (I4).
Jika dilihat lebih lanjut dari petikan di atas, diketahui bahwa proses rujuk
balik pada pasien hipertensi cukup panjang. Karena pemeriksaan yang dilakukan
cukup banyak. Berdasarkan hasil penelitian kuantitatif diketahui bahwa pasien
hipertensi murni sebagian besar telah mengalami komplikasi. Tentunya komplikasi
tersebut didapatkan setelah pasien mengikuti kelima tahapan dari penapisan pasien
hipertensi. Ketika kondisi pasien telah stabil barulah pasien tersebut akan dirujuk
balik.
Komplikasi yang terjadi pada pasien hipertensi akan menjadi salah satu
pertimbangan dokter spesialis untuk merujuk balik pasien tersebut. Hal inilah yang
kemudian menyebabkan pasien hipertensi yang melakukan rujuk balik sangat sedikit,
yakni kisaran 3 sampai 8 orang tiap bulan (Instalasi Rawat Jalan RSUP Fatmawati,
2016). Berikut ini adalah pernyataan salah satu informan ketika peneliti mencoba
menanyakan kenapa pasien hipertensi yang dirujuk balik sedikit.
Satu biasanya mungkin tidak murni hipertensi kondisinya, jadi ada penyakit
penyulit, ada penyulit lain yang mungkin tidak bisa dikerjakan di layanan kesehatan
di bawahnya, Cuma kalau yang murni hipertensi saya rasa sedikit sekali yang tidak
dirujuk balik. Sebagian besar gitu. Cuma biasanya ada pasien yang fanatik kan. Jadi
memang dia tetep minta di sini. Satu mungkin karena rumahnya deket sini. Jadi kalau
misalnya rujukan pertamanya malah lebih jauh dia (I3).
Berdasarkan keterangan informan di atas dapat disimpulkan bahwa banyak
sekali pertimbangan dalam merujuk balik pasien hipertensi. Meskipun demikian,
rujuk balik harus tetap dilakukan ketika kondisi pasien telah stabil. Hal ini sesuai
dengan Bab IV Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014
tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional yang berbunyi:
seperti dokter spesialis, perawat dan dokter umum di FKTP dapat mengedukasi
pasien tentang informasi ini. Tujuannya agar pasien mengerti tentang alur untuk
mendapatkan obat bagi peserta PRB dan pasien tidak kembali lagi ke FKTRL dengan
alasan obat di FKTP tidak ada. Hasil ini sama dengan penelitian yang dilakukan
Primasari tahun 2014 tentang sistem rujukan di RSUD Ajidarmo. Pada penelitian
tersebut dijelaskan bahwa tidak berjalannya rujukan di RSUD Ajidarmo karena cara
mendapatkan obat yang dinilai kurang efektif. Sebab saat pasien dirujuk kembali ke
PPK I, tidak semua obat yang diperlukan tersedia di PPK I dan untuk
mendapatkannya pasien harus menuju ke apotik yang bekerjasama dengan BPJS,
sehingga pasien yang telah melakukan rujuk balik akhirnya kembali lagi ke RS untuk
memperoleh obat yang dibutuhkan karena dinilai lebih praktis. Permasalahan ini
dapat di atasi dengan memberikan edukasi kepada pasien tentang mekanisme rujuk
balik.
Salah satu penyebab tidak tersedianya obat di puskesmas adalah karena
dokter spesialis menuliskan resep untuk obat di PPK II (RS tipe D,C dan B non
pendidikan), sedangkan puskesmas merupakan PPK I. Berdasarkan pasal 23
Permenkes Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada JKN, saat ini
pengadaan obat mengacu pada formularium nasional dengan tidak terbatas pada jenis
obat. Jadi, puskesmas hanya menyediakan obat sesuai fornas PPK I. Menurut
informan kondisi ini seringkali menyebabkan pasien komplain. Berikut adalah
petikan pernyataannya.
Ada pasien yang komplain (I3).
Menurut peneliti harus ada sistem yang jelas dalam merujuk balik pasien.
Sebaiknya sistem rujuk balik juga dilakukan secara berjenjang dari RS tipe A
kemudian ke RS tipe B, C, D baru ke Puskesmas, sehingga pasien mau mengikuti
prosedur rujuk balik. Jika pasien beralasan tidak tersedia obat di puskesmas karena
resep obat di PPK II, maka di PPK II tentu obat tersebut pasti tersedia. Pemikiran
peneliti ini sejalan dengan wawancara dengan salah satu informan. Berikut ini adalah
petikannya:
Artinya BPJS harus mengatakan kapan di Puskesmas kapan di RSUD. Kalau di
rujuk balik obatnya tingkat dua harusnya ke RSUD jangan ke puskesmas. Jangan
perlu kontrol lagi di sini berapa bulan. Saya rasa sih kalau formulir sudah cukup
(I3).
Berdasarkan pernyataan informan di atas, hanya satu informan yang
mengetahui keberadaan form rujuk balik dari RSUP Fatmawati. Menurut peneliti
harus ada sistem yang jelas dalam pencatatan informasi di form rujuk balik, apakah
akan menggunakan form dari rumah sakit atau form dari BPJS. Agar tidak terjadi
duplikasi, maka lebih baik hanya salah satu form yang digunakan. Kondisinya saat ini
dokter mengisi form yang dari BPJS, maka form tersebut yang dapat digunakan,
namun RSUP Fatmawati juga harus memiliki data tentang informasi pasien yang
melakukan rujuk balik. Jadi, pasien yang dirujuk balik selain ke BPJS mereka akan ke
TU IRJ untuk meminta cap. Ketika di TU IRJ tersebut, petugas TU bisa merekap
pasien yang melakukan rujuk balik, sehingga tetap ada catatan tentang rujuk balik di
RSUP Fatmawati.
Pertanyaan berikutnya yang ditanyakan peneliti kepada informan adalah
terkait keberadaan buku kontrol peserta PRB. Berdasarkan panduan BPJS telah
disebutkan bahwa pasien akan menerima buku tersebut, namun ketika peneliti
menanyakannya kepada salah satu informan, ia tidak mengetahuinnya. Berikut ini
adalah petikan pernyataannya:
Ada bukunya ya? Ibu belum lihat. Pasiennya juga belum pernah lihatin. Kalau
lembaran rujuk balik pernah lihat. Kayaknya kayak kartu itu dulu (I2).
Menurut peneliti pencatatan kondisi pasien yang melakukan rujuk balik akan
lebih efektif ketika menggunakan buku PRB, sebab buku tersebut dapat menjadi alat
komunikasi antara FKTRL dan FKTP. Bentuk buku tentu akan lebih aman
dibandingkan lembaran form. Apabila memang buku tersebut tidak tersedia, maka
dapat menggunakan form rujuk balik dari BPJS maupun surat rekomendasi DPJP.