S2 2015 274738 Chapter1
S2 2015 274738 Chapter1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Keberhasilan pembangunan telah banyak membawa perubahan dalam
kehidupan masyarakat di pedesaan. Berkembangnya sarana infrastruktur
perekonomian, transportasi, komunikasi, dan industri menjadi bukti keberhasilan
pembangunan. Di sektor pertanian, kemajuan yang dicapai dalam meningkatkan
produksi pangan nasional telah menjadikan Indonesia menjadi negara yang
mampu berswasembada beras. Walaupun kemudian prestasi tersebut tidak bisa
dipertahankan dan kembali menjadi negara pengimpor beras (Hidayat, 2010).
Guna memenuhi kebutuhan beras bagi sekitar 275 juta penduduk pada
tahun 2020, Indonesia harus meningkatkan produksi beras 1,52% per tahun
(Anonim, 2004). Potensi Indonesia untuk mencapai kemandirian beras masih
cukup besar. Produksi padi masih dapat ditingkatkan dengan memanfaatkan
lahan-lahan marginal, seperti halnya lahan rawa pasang surut (Sutami, 2005).
Pembangunan pertanian yang dilaksanakan di lahan rawa pasang surut
berimplikasi terhadap berbagai perubahan sosial di masyarakat terutama sejak
dikembangkannya inovasi pertanian melalui penggunaan mekanisasi dan sarana
produksi pertanian. Menurut Abbas (1999) walaupun berdampak terhadap
peningkatan produksi, tetapi modernisasi pertanian juga memunculkan dampak
ikutan lain, seperti pada aspek ekonomi meliputi struktur biaya dan resiko tinggi,
aspek sosial meliputi ketimpangan dalam penerimaan keuntungan relatif antar
golongan petani, kesempatan kerja, dan pengurangan tenaga kerja karena
Komunikasi pada saat itu dianggap sebagai suatu fungsi linier yang
mengindentifikasi elemen-elemen utama proses komunikasi pembangunan, yaitu
sumber, pesan, saluran, penerima, dan efek sebagai aliran satu arah (Jahi, 1988).
Sejak pasca swasembada pangan tahun 1990-an, kemudian terjadi
kecenderungan melambatnya adopsi inovasi di tingkat petani dalam meningkatkan
produksi pertanian. Pendekatan model komunikasi pertanian yang cenderung
menerapkan secara luas dan seragam program ketahanan pangan nasional yang
bertumpu pada keunggulan inovasi teknologi telah mengakibatkan terjadinya
stagnasi produktivitas komoditas pangan pertanian serta menurunnya pendapatan
petani. Selain itu, adopsi inovasi teknologi melalui mekanisasi pertanian tanpa
memperhatikan faktor manusia mengakibatkan hilangnya kemandirian petani dan
terjadinya kesenjangan sosial dalam penguasaan lahan serta tumbuhnya partisipasi
semu di masyarakat. Petani menjadi tergantung pada uluran tangan pihak lain
terutama pemerintah dalam pengambilan keputusan inovasi untuk mengelola
usaha pertaniannya yang sesuai dengan keberadaan dan potensi lokal. Dengan
ketergantungan itu berbagai potensi, kreatifitas, kemandirian, dan kearifan lokal
petani menjadi tidak dapat dimanfaatkan (Untung, 2007; Hadiyanto, 2009).
Menurut Jahi (1988) setelah model komunikasi linier satu arah dianggap
kurang sempurna dan tidak memberikan manfaat tumbuhnya kemandirian dan
partisipasi petani pandangan mulai ditujukan pada komunikasi partisipatif.
Komunikasi partisipatif yang bertumpu pada model konvergen berusaha menuju
pengertian yang bersifat timbal balik diantara partisipan komunikasi dalam
perhatian, pengertian, dan kebutuhan bersama yang setiap saat memberikan
kontribusi pada transaksi pesan, meskipun dalam derajat yang berbeda (Rogers
dan Kincaid, 1981), sehingga model komunikasi ini dipergunakan dalam
pembangunan pertanian dan membuka jalan tumbuhnya kreativitas serta
kompetensi masyarakat dalam mengkomunikasikan gagasannya.
Pendekatan komunikasi partisipatif dapat menjebatani gap yang terjadi
antara kebutuhan inovasi dari lembaga penghasil teknologi dengan pengetahuan
yang terdapat di petani. Dimana pengembangan modernisasi pertanian selanjutnya
akan menjadi sangat tergantung kepada manfaat optimal dari inovasi yang
diperoleh petani dan hubungan timbal balik antara petani dan pemberi informasi.
Inovasi teknologi pertanian yang dihasilkan harus mampu menyesuaikan diri
dengan perkembangan global dan kebutuhan di tingkat petani, yaitu berdaya saing,
berkelanjutan dan ramah lingkungan. Akses petani untuk memperoleh informasi
dari berbagai sumber teknologi juga harus dapat terbuka luas, sehingga
diharapkan petani menjadi bagian dari masyarakat informasi yang dapat bersamasama memanfaatkan inovasi pertanian yang berbasis pada pengetahuan lokalnya.
Dalam pertanian masyarakat tradisional, inovasi sebenarnya telah lama
berkembang walaupun sebatas pada pemikiran lokal. Hubungan masyarakat
dengan lingkungan dan sumberdaya alam dapat dikatakan berkesesuaian dengan
sistem ekologi setempat, sehingga memungkinkan masyarakat mengembangkan
pemahaman terhadap sistem pertanian melalui serangkaian uji coba. Kehidupan
masyarakat tergantung dari dipertahankannya integrasi ekosistem mendapatkan
kebutuhan hidup. Pemahaman petani tentang sistem alam yang terakumulasi
biasanya diwariskan secara komunikasi lisan sebagai bentuk pengetahuan lokal.
selera masyarakat setempat) dan harga yang tinggi serta sekaligus juga
memproduksi padi unggul yang memiliki potensi produksi tinggi dari padi
varietas lokal (Abbas, 1999). Hal ini memperlihatkan bahwa pengetahuan lokal
bersifat dinamis dan mampu beradaptasi dengan kondisi yang ada serta
dikembangkan melalui pengalaman petani, sehingga dapat berkelanjutan. Untuk
mengetahui perbedaan antara pengetahuan lokal dan inovasi pertanian di lahan
pasang surut disajikan karakteristik dari masing-masing pengetahuan tersebut.
Tabel 1.1. Komparasi antara Pengetahuan Lokal dan Inovasi Pertanian
Pengetahuan Lokal
Adaptif dan berkelanjutan
Inovasi Pertanian
Produktivitas dan efisiensi
dan
kehati-hatian.
Apabila
salah
dalam
pengelolaan
akan
menimbulkan kerugian lingkungan yang berat dan perlu waktu yang lama untuk
merehabilitasinya. Selain itu program-program pembangunan masyarakat yang
dikembangkan di kawasan PLG cenderung masih berorientasi pada subsektor,
masing-masing instansi terkait memiliki kegiatan sendiri-sendiri, tidak terintegrasi
dan terpadu satu sama lainnya. Penyuluhan pertanian yang dilakukan juga masih
berorientasi pada pendekatan komoditas, tidak berlandaskan pada kebutuhan
masyarakat setempat, sehingga adopsi inovasi pertanian menjadi kurang efektif.
Paradigma penyuluhan pertanian dewasa ini telah mengalami reorientasi
dari pendekatan monologis kepada pendekatan dialogis, yaitu penyuluhan
partisipatif yang berupaya memprioritaskan kebutuhan petani dan menumbuhkan
partisipasi. Penelitian Chambers (1993) menyatakan pendekatan pembangunan
yang mendahulukan kepentingan petani dikenal dengan farmer first, yaitu
pendekatan penyuluhan yang bercirikan memberdayakan petani. Penyuluhan ini
bertujuan mengubah petani bukan mengubah cara bertani (Sudono, 2008).
10
11
12
selama ratusan tahun menghasilkan pengetahuan lokal yang selaras dengan kaidah
keseimbangan dan kelestarian alam.
Masuknya inovasi pertanian kedalam sistem sosial masyarakat yang
memiliki pengetahuan lokal akan mengalami proses adaptasi dan integrasi, seperti
dikemukakan oleh Rogers (1995) bahwa petani akan mempertimbangkan
sejauhmana karakteristik dari inovasi tersebut, diantaranya: a) keuntungan relatif,
yaitu sejauhmana teknologi memberikan keuntungan dari segi ekonomis, b)
kesesuaian dengan cara atau kondisi yang ada pada masyarakat, c) kerumitan,
sejauhmana inovasi teknologi mudah untuk diterapkan, d) kemungkinan untuk
dicoba, dan e) kemungkinan untuk diamati. Kesesuaian antara inovasi dengan
kondisi masyarakat sangat terkait dengan pengetahuan lokal. Karena jika inovasi
tersebut tidak sesuai dan bertentangan dengan cara-cara dan sistem pengetahuan
lokal, maka akan sulit untuk bisa diterima oleh masyarakat bersangkutan.
Beberapa kajian akademik menunjukkan bahwa usaha yang dilakukan
selama ini dalam mengatasi permasalahan pembangunan pertanian di lahan rawa
pasang surut banyak didasarkan pada hasil-hasil penelitian ilmiah dan kurang
mengikutsertakan pengetahuan lokal masyarakat, sehingga secara teknis
seringkali mengalami kegagalan. Transfer inovasi pertanian ke lahan petani yang
disampaikan melalui proses penyuluhan pertanian seringkali hanya diadopsi
sebagian atau bahkan tidak diadopsi petani.
sumber daya terbatas dengan kondisi sosial ekonomi atau budaya yang berbeda
dengan kondisi di laboratorium penelitian. Transfer inovasi yang umumnya
melalui pendekatan top down mengakibatkan keikutsertaan masyarakat dalam
13
14
15
merencanakan
apa
yang
menjadi
kebutuhan
dan
keinginannya,
melaksanakan dan memberikan penilaian terhadap apa yang akan dan telah
dilaksanakannya. Melalui penyuluhan pertanian, inovasi dikomunikasikan kepada
masyarakat sekaligus menghilangkan berbagai hambatan terutama dalam hal
16
17
1.
2.
3.
proses
pembentukan
dan
bentuk-bentuk
kongkrit
pengetahuan lokal petani padi dan inovasi padi di lahan rawa pasang surut
Kalimantan Tengah.
2. Mengkaji pandangan petani mengenai karakteristik inovasi padi, penyuluhan
pertanian, komunikasi partisipatif, pemanfaatan media informasi komunikasi,
sikap petani, dan modifikasi inovasi padi yang dilakukan petani di lahan rawa
pasang surut Kalimantan Tengah.
3. Menganalisis pengaruh karakteristik inovasi padi, penyuluhan pertanian,
komunikasi partisipatif, pemanfaatan media informasi komunikasi, dan sikap
petani terhadap tindakan petani untuk melakukan modifikasi inovasi padi di
lahan rawa pasang surut Kalimantan Tengah.
18
2.
3.
19
Penelitian
Kusmayadi
(1996)
mengungkapkan
pemahaman
yang
dapat
mengatasi
faktor-faktor
pembatas,
inovasi
harus
dapat
20
21
Hendayana
(1998)
mengenai
keputusan
petani
untuk
22
23
24
25