Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Keberhasilan pembangunan telah banyak membawa perubahan dalam
kehidupan masyarakat di pedesaan. Berkembangnya sarana infrastruktur
perekonomian, transportasi, komunikasi, dan industri menjadi bukti keberhasilan
pembangunan. Di sektor pertanian, kemajuan yang dicapai dalam meningkatkan
produksi pangan nasional telah menjadikan Indonesia menjadi negara yang
mampu berswasembada beras. Walaupun kemudian prestasi tersebut tidak bisa
dipertahankan dan kembali menjadi negara pengimpor beras (Hidayat, 2010).
Guna memenuhi kebutuhan beras bagi sekitar 275 juta penduduk pada
tahun 2020, Indonesia harus meningkatkan produksi beras 1,52% per tahun
(Anonim, 2004). Potensi Indonesia untuk mencapai kemandirian beras masih
cukup besar. Produksi padi masih dapat ditingkatkan dengan memanfaatkan
lahan-lahan marginal, seperti halnya lahan rawa pasang surut (Sutami, 2005).
Pembangunan pertanian yang dilaksanakan di lahan rawa pasang surut
berimplikasi terhadap berbagai perubahan sosial di masyarakat terutama sejak
dikembangkannya inovasi pertanian melalui penggunaan mekanisasi dan sarana
produksi pertanian. Menurut Abbas (1999) walaupun berdampak terhadap
peningkatan produksi, tetapi modernisasi pertanian juga memunculkan dampak
ikutan lain, seperti pada aspek ekonomi meliputi struktur biaya dan resiko tinggi,
aspek sosial meliputi ketimpangan dalam penerimaan keuntungan relatif antar
golongan petani, kesempatan kerja, dan pengurangan tenaga kerja karena

penggunaan mekanisasi, konsumsi energi meningkat karena peningkatan sarana


produksi, dan aspek lingkungan berupa kerusakan ekologi. Menurut Sutanto
(2001) modernisasi juga akan mereduksi sistem pertanian tradisional dan
mengubur kearifan lokal.
Modernisasi pertanian di Kalimantan Tengah dilaksanakan seiring dengan
program peningkatan produksi pangan nasional. Tanaman padi adalah komoditas
pangan utama yang menjadi salah satu sumber pendapatan keluarga dan sebagian
besar masih diusahakan petani secara tradisional. Areal persawahan padi di
Kalimantan Tengah berkembang sebagai sawah rawa pasang surut. Program
modernisasi pertanian semakin dikembangkan ketika pemerintah pada tahun 1996
menetapkan program Pengembangan Lahan Gambut (PLG) sejuta hektar di
provinsi Kalimantan Tengah sebagai lahan alternatif lumbung pangan di luar
pulau Jawa akibat telah menyusutnya lahan pertanian subur untuk keperluan
pembangunan di luar sektor pertanian, seperti perumahan, jalan, dan industri.
Banyak inovasi pertanian yang telah diperkenalkan kepada petani di lahan
rawa pasang surut terutama yang berkaitan dengan peningkatan produksi pangan.
Selain ditentukan oleh proses adopsi inovasi, keberhasilan dalam meningkatkan
produksi pangan nasional di lingkungan petani juga terjadi berkat adanya
dukungan sistem komunikasi pembangunan yang dikembangkan pemerintah, oleh
karena pendekatan pembangunan pertanian yang mengacu pada pencapaian
produktivitas pada saat program modernisasi pertanian berlangsung sangat
memperhatikan pada persuasi dan propaganda, maka pemerintah mengacu kepada
model komunikasi satu arah dan berbentuk vertikal dari atas ke bawah (top down).

Komunikasi pada saat itu dianggap sebagai suatu fungsi linier yang
mengindentifikasi elemen-elemen utama proses komunikasi pembangunan, yaitu
sumber, pesan, saluran, penerima, dan efek sebagai aliran satu arah (Jahi, 1988).
Sejak pasca swasembada pangan tahun 1990-an, kemudian terjadi
kecenderungan melambatnya adopsi inovasi di tingkat petani dalam meningkatkan
produksi pertanian. Pendekatan model komunikasi pertanian yang cenderung
menerapkan secara luas dan seragam program ketahanan pangan nasional yang
bertumpu pada keunggulan inovasi teknologi telah mengakibatkan terjadinya
stagnasi produktivitas komoditas pangan pertanian serta menurunnya pendapatan
petani. Selain itu, adopsi inovasi teknologi melalui mekanisasi pertanian tanpa
memperhatikan faktor manusia mengakibatkan hilangnya kemandirian petani dan
terjadinya kesenjangan sosial dalam penguasaan lahan serta tumbuhnya partisipasi
semu di masyarakat. Petani menjadi tergantung pada uluran tangan pihak lain
terutama pemerintah dalam pengambilan keputusan inovasi untuk mengelola
usaha pertaniannya yang sesuai dengan keberadaan dan potensi lokal. Dengan
ketergantungan itu berbagai potensi, kreatifitas, kemandirian, dan kearifan lokal
petani menjadi tidak dapat dimanfaatkan (Untung, 2007; Hadiyanto, 2009).
Menurut Jahi (1988) setelah model komunikasi linier satu arah dianggap
kurang sempurna dan tidak memberikan manfaat tumbuhnya kemandirian dan
partisipasi petani pandangan mulai ditujukan pada komunikasi partisipatif.
Komunikasi partisipatif yang bertumpu pada model konvergen berusaha menuju
pengertian yang bersifat timbal balik diantara partisipan komunikasi dalam
perhatian, pengertian, dan kebutuhan bersama yang setiap saat memberikan

kontribusi pada transaksi pesan, meskipun dalam derajat yang berbeda (Rogers
dan Kincaid, 1981), sehingga model komunikasi ini dipergunakan dalam
pembangunan pertanian dan membuka jalan tumbuhnya kreativitas serta
kompetensi masyarakat dalam mengkomunikasikan gagasannya.
Pendekatan komunikasi partisipatif dapat menjebatani gap yang terjadi
antara kebutuhan inovasi dari lembaga penghasil teknologi dengan pengetahuan
yang terdapat di petani. Dimana pengembangan modernisasi pertanian selanjutnya
akan menjadi sangat tergantung kepada manfaat optimal dari inovasi yang
diperoleh petani dan hubungan timbal balik antara petani dan pemberi informasi.
Inovasi teknologi pertanian yang dihasilkan harus mampu menyesuaikan diri
dengan perkembangan global dan kebutuhan di tingkat petani, yaitu berdaya saing,
berkelanjutan dan ramah lingkungan. Akses petani untuk memperoleh informasi
dari berbagai sumber teknologi juga harus dapat terbuka luas, sehingga
diharapkan petani menjadi bagian dari masyarakat informasi yang dapat bersamasama memanfaatkan inovasi pertanian yang berbasis pada pengetahuan lokalnya.
Dalam pertanian masyarakat tradisional, inovasi sebenarnya telah lama
berkembang walaupun sebatas pada pemikiran lokal. Hubungan masyarakat
dengan lingkungan dan sumberdaya alam dapat dikatakan berkesesuaian dengan
sistem ekologi setempat, sehingga memungkinkan masyarakat mengembangkan
pemahaman terhadap sistem pertanian melalui serangkaian uji coba. Kehidupan
masyarakat tergantung dari dipertahankannya integrasi ekosistem mendapatkan
kebutuhan hidup. Pemahaman petani tentang sistem alam yang terakumulasi
biasanya diwariskan secara komunikasi lisan sebagai bentuk pengetahuan lokal.

Pengetahuan lokal dipahami sebagai pengetahuan yang dimiliki oleh sekelompok


masyarakat yang hidup di wilayah tertentu, baik masyarakat asli dan pendatang
berkembang dalam lingkup lokal dapat menyesuaikan dengan kondisi kebutuhan
masyarakat dan menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, budaya serta
diekspresikan dalam jangka waktu yang cukup lama (Sunaryo dan Joshi, 2003).
Penyebaran (difusi) inovasi pertanian di lahan rawa pasang surut dengan
pendekatan top-down telah mengalami kegagalan khususnya dalam memanfaatkan
lahan rawa gambut Kalimantan Tengah sebagai sumber pertumbuhan baru
produksi pertanian, hal ini disebabkan karena belum dimanfaatkannya sistem
pengetahuan lokal dalam inovasi pertanian, yaitu belum adanya proses
memadukan antara teknologi petani dengan inovasi sebagai hasil rekayasa
penelitian secara adaptif dan berkelanjutan. Pengembangan sains atau inovasi di
bidang pertanian pada lahan rawa pasang surut seyogyanya dikembangkan dari
sistem pengetahuan lokal masyarakat setempat. Menurut Hidayat (2010)
pengembangan sistem tata air mikro untuk mengatasi kemasaman tanah yang
tinggi pada lahan rawa pasang surut merupakan salah satu bentuk pengembangan
sains dengan mengadopsi sistem pertanian sawah yang dilakukan oleh petani lokal
suku Banjar di lahan rawa pasang surut, yaitu sistem tata air mikro H.Idak.
Selain itu, pada pengembangan model sistem pertanian sawit dupa di
Kalimantan Selatan merupakan suatu bentuk perpaduan antara pengetahuan lokal
dengan inovasi di bidang pertanian yang bertujuan untuk meningkatkan produksi
padi. Dalam model ini petani tetap dapat mengusahakan komoditas padi lokal
yang memang kualitasnya (terutama rasa dan teksturnya yang sesuai dengan

selera masyarakat setempat) dan harga yang tinggi serta sekaligus juga
memproduksi padi unggul yang memiliki potensi produksi tinggi dari padi
varietas lokal (Abbas, 1999). Hal ini memperlihatkan bahwa pengetahuan lokal
bersifat dinamis dan mampu beradaptasi dengan kondisi yang ada serta
dikembangkan melalui pengalaman petani, sehingga dapat berkelanjutan. Untuk
mengetahui perbedaan antara pengetahuan lokal dan inovasi pertanian di lahan
pasang surut disajikan karakteristik dari masing-masing pengetahuan tersebut.
Tabel 1.1. Komparasi antara Pengetahuan Lokal dan Inovasi Pertanian
Pengetahuan Lokal
Adaptif dan berkelanjutan

Inovasi Pertanian
Produktivitas dan efisiensi

- Sistem pertanian yang didasarkan pada


- Sistem usaha pertanian yang semakin
pengetahuan lokal cenderung ramah
tergantung pada teknologi pertanian
lingkungan dan mampu menjaga
modern yang tidak ramah lingkungan
kesetabilan dalam pengelolaan lahan rawa - Introduksi berbagai varietas unggul padi
- Produktivitas padi yang dihasilkan masih
nasional yang memiliki potensi hasil
tergolong rendah (1,8 -3,1 ton/ha)
tinggi (4-7 ton/ha)
Lingkungan Biofisik (ekosistem) Lokal
Lingkungan Global
Sistem budidaya pertanian disesuaikan
- Strategi pembangunan yang terfokus
dengan kondisi, ekologi, budaya, dan
pada pertumbuhan ekonomi tinggi
skala lokal dengan siklus serta
menimbulkan degradasi produksi
keseimbangan ekosistem di alam yang
maupun kualitas lingkungan hidup,
bersifat spesifik lokasi.
akibat pengunaan bahan pertanian
an-organik (pupuk dan pestisida)
Orientasi pada sistem dan
Orientasi pada sistem ekonomi,
norma sosial masyarakat
politik, dan birokrasi
- Sistem organisasi sosial kelembagaan
- Memenuhi produksi kebutuhan pangan
Handil (sistem tata air di tingkat petani)
dan bahan baku industri, memperluas
untuk menciptkan kebersamaan dalam
lapangan pekerjaan, meningkatkan
pengelolaan lahan rawa berkelanjutan
kesejahteraan masyarakat, dan
- Sistem kerjasama dan gotong royong
pembangunan wilayah pedesaan.
(handipan) dalam kegiatan penanaman
- Pembangunan sebagai proses perubahan
- Sistem kerja harian dan borongan
sosial (nilai/norma, interaksi sosial,
dalam kegiatan tanam.
perilaku, lembaga sosial) untuk mencapai
pertumbuhan ekonomi (produksi,
pendapatan dan kesejahteraan)
Kemampuan dalam menyimpan dan
Kemampuan dalam menyimpan dan
mewariskan pengetahuan lemah, sulit
mewariskan pengetahuan tinggi,
diidentifikasi, melalui komunikasi lisan.
sistematis, melalui komunikasi tercetak.
Sumber : Sunaryo dan Joshi (2003); Tjiptoheriyanto (2004); Taufik (2010)

Penyebaran inovasi pertanian di suatu wilayah seharusnya tidak hanya


berlandasakan pada manfaat nilai produktivitas ekonomis saja, tetapi juga nilai
tambah sosial secara adil. Masyarakat dipandang sebagai faktor penting yang
diletakan dalam proses kesetaraan. Kegiatan yang menitik beratkan pada
penguatan peran partisipasi masyarakat sebagai subyek pembangunan sejak dari
penggalian kebutuhan, perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil dan penilaian.
Penyebaran inovasi pertanian semestinya dilakukan melalui pendekatan
komunikasi yang dapat mengkondisikan masyarakat untuk dapat menyampaikan
umpan balik, berpendapat, berekspresi, dan mengungkapkan diri secara terbuka
satu sama lainnya, yaitu suatu bentuk komunikasi yang menjadikan masyarakat
memiliki kemampuan dalam memecahkan masalahnya sendiri, memungkinkan
adanya pertukaran informasi antara lembaga penghasil dan penyampai teknologi
dengan petani sebagai pengguna teknologi dalam proses komunikasi yang
berupaya terjadinya pengertian bersama dan tumbuhnya empati.
Pendekatan komunikasi partisipatif lebih berorientasi kepada khalayak
penerima pesan ketimbang kepada sumber teknologi. Proses ini dapat berlangsung
ketika yang menjadi titik masuknya bukan hanya pada masalah pembangunan itu
sendiri, tetapi sasaran dan tujuan ditentukan bersama ditingkat komunitas (Servaes,
2007). Artinya proses komunikasi disesuaikan dengan kelompok sosial tertentu
baik menyangkut isi pesan, budaya, maupun media komunikasi yang digunakan,
bukan mengunakan teknik media dan pesan yang sama untuk kelompok yang
memiliki budaya dan kondisi sosial yang berbeda (Dagron, 2001).

Indikasi belum adanya proses komunikasi dalam penyebaran inovasi


pertanian di lahan rawa pasang surut adalah terletak pada penggalian kebutuhan
masyarakat dan perencanaan program yang belum matang dilakukan pemerintah,
karena tanpa melibatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan,
serta pada tahapan implementasi kurang memahami karekteristik lahan rawa
gambut, padahal gambut merupakan ekosistem yang rapuh dan mudah rusak,
sehingga pemanfaatannya sebagai lahan pertanian produktif memerlukan
kecermatan

dan

kehati-hatian.

Apabila

salah

dalam

pengelolaan

akan

menimbulkan kerugian lingkungan yang berat dan perlu waktu yang lama untuk
merehabilitasinya. Selain itu program-program pembangunan masyarakat yang
dikembangkan di kawasan PLG cenderung masih berorientasi pada subsektor,
masing-masing instansi terkait memiliki kegiatan sendiri-sendiri, tidak terintegrasi
dan terpadu satu sama lainnya. Penyuluhan pertanian yang dilakukan juga masih
berorientasi pada pendekatan komoditas, tidak berlandaskan pada kebutuhan
masyarakat setempat, sehingga adopsi inovasi pertanian menjadi kurang efektif.
Paradigma penyuluhan pertanian dewasa ini telah mengalami reorientasi
dari pendekatan monologis kepada pendekatan dialogis, yaitu penyuluhan
partisipatif yang berupaya memprioritaskan kebutuhan petani dan menumbuhkan
partisipasi. Penelitian Chambers (1993) menyatakan pendekatan pembangunan
yang mendahulukan kepentingan petani dikenal dengan farmer first, yaitu
pendekatan penyuluhan yang bercirikan memberdayakan petani. Penyuluhan ini
bertujuan mengubah petani bukan mengubah cara bertani (Sudono, 2008).

Pengalaman pembangunan yang telah dilaksanakan selama ini memang


terbukti menjadikan kesadaran masyarakat tumbuh dan mampu berpartisipasi
apabila kebutuhan dan kepentingan masyarakat mendapat tempat pada program
pembangunan yang akan dilaksanakan. Peran serta masyarakat dapat ditingkatkan
apabila dalam perencanaan program pembangunan dilakukan melalui proses
komunikasi pembangunan yang partisipatif, yaitu kegiatan pembangunan yang
dimulai dari proses perencanaan, pelaksanaan maupun pemanfaatan hasilnya
selalu melibatkan peran serta masyarakat. Perencanaan bukan hanya menjadi
tugas pemerintah, masyarakat lokal juga dapat membuat suatu perencanaan
pembangunan yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapinya.
Lionberger dan Gwin (1982) menyatakan perencanaan partisipatif sebagai
perencanaan yang dilakukan masyarakat lokal bagi program-program yang
memenuhi kebutuhan lokal. Program tidak direncanakan secara top down oleh
pemerintah, tetapi direncanakan masyarakat dan hasilnya benar-benar menjadi
kebutuhan masyarakat. Paradigma perencanaan partisipatif ini ditandai dengan
terakomodasinya aspirasi pihak atas (pemerintah) dan pihak bawah (masyarakat)
dalam program pembangunan wilayah. Menurut Sumardjo (1999) pendekatan
partisipatif lebih menempatkan keberadaan masyarakat dengan aspek kepentingan
dan kemampuannya menjadi lebih dikenali dan dihargai, sehingga lebih
mendorong terjadinya peran serta aktif masyarakat yang lebih luas.
Pengelolaan sumberdaya alam yang top down oriented terbukti telah
memposisikan masyarakat pada ketidakberdayaan, maka dalam pemanfaatan
lahan rawa pasang surut untuk aktifitas pembangunan pertanian dibutuhkan suatu

10

pendekatan program pembangunan yang menekankan pada proses komunikasi


dan partisipasi, sehingga pengetahuan lokal petani dapat dihargai yang selanjutnya
dapat mendorong tumbuhnya inisiatif dari bawah. Kebijakan pemanfaatan lahan
rawa pasang surut memerlukan banyak usaha dan dukungan, antara lain melalui
penelitian. Sistem pertanian padi yang telah lama dilakukan petani dan bagaimana
kegiatan penyuluhan dilakukan dalam melibatkan peran serta petani untuk
memanfaatkan inovasi pertanian yang berbasis pada pengetahuan lokalnya perlu
dikaji lebih lanjut. Upaya ini penting untuk memperbaiki sistem pengetahuan
lokal yang telah dilakukan petani agar dapat diperoleh dan dipertahankan sistem
usahatani padi di lahan rawa pasang surut yang produktif dan berkelanjutan.

1.2. Rumusan Masalah


Pembangunan pertanian di lahan rawa pasang surut diupayakan menuju
pertanian berkelanjutan (sustainable agricultural development) yang selalu
mengintegrasikan pada tiga aspek utama, yaitu pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan, pembangunan sosial yang berkelanjutan, dan pengelolaan kualitas
lingkungan hidup yang berkelanjutan. Konsep tersebut merupakan revisi terhadap
konsep revolusi hijau (green revolution) yang diterapkan pada era pemerintahan
Orde Baru, yaitu orientasi pembangunan pertanian yang lebih mengutamakan
produktivitas dengan menerapkan keunggulan inovasi dan mekanisasi pertanian.
Sebagai bagian dari potensi lahan rawa pasang surut di Indonesia yang
luasnya 39,4 juta hektar, lahan gambut di Kalimantan Tengah diupayakan menjadi
salah satu opsi untuk meningkatkan produksi pangan nasional dan pendapatan
petani yang dikaitkan dengan program transmigrasi. Fakta empiris menunjukkan

11

walaupun program pengembangan lahan gambut ditentang ilmuwan dan pemerhati


lingkungan, pemerintah tetap berketetapan untuk melaksanakannya. Akibat
pemanfaatan yang berlebihan terhadap lahan gambut dan kekeliruan pada
pendekatan sosialisasi dan komunikasi selama program berlangsung, sehingga
lahan yang semula dicanangkan sebagai salah satu sentra penghasil beras Nasional
justru berubah menjadi daerah penghasil asap karena lahan gambut yang mudah
terbakar pada musim kemarau.
Lahan gambut dianggap sebagai lahan bermasalah karena mempunyai sifat
lahan marginal yang kurang subur apabila dikembangkan sebagai lahan pertanian
produktif. Pemanfaatan lahan rawa gambut untuk pertanaman padi memerlukan
pengetahuan khusus, karena sifatnya yang khas dengan berbagai kendala
diantaranya adalah kondisi luapan dan genangan air yang sangat variatif dari satu
wilayah ke wilayah lain, jenis tanah yang sangat beragam dengan tingkat
kesuburan yang rendah dan variatif. Kemasaman tanah dan potensi racun pirit
yang tinggi dapat mematikan tanaman, ketebalan dan tingkat kematangan gambut
yang berbeda, serta kondisi petani yang masih lemah baik dari penguasaan
teknologi dan permodalan, sehingga pemanfaatannya memerlukan kecermatan
dan kehati-hatian dalam perencanaan dan pelaksanaan pengembangannya.
Apabila salah dalam pengelolaan akan menimbulkan kerugian lingkungan yang
lebih besar serta waktu yang lama dalam rehabilitasinya (Adhi et al, 1992).
Secara tradisional lahan gambut telah dimanfaatkan sejak dulu oleh
penduduk lokal sebagai sistem usaha pertanian terpadu khususnya padi. Upaya
petani yang telah menggeluti usahatani dan berinteraksi dengan lahan gambut

12

selama ratusan tahun menghasilkan pengetahuan lokal yang selaras dengan kaidah
keseimbangan dan kelestarian alam.
Masuknya inovasi pertanian kedalam sistem sosial masyarakat yang
memiliki pengetahuan lokal akan mengalami proses adaptasi dan integrasi, seperti
dikemukakan oleh Rogers (1995) bahwa petani akan mempertimbangkan
sejauhmana karakteristik dari inovasi tersebut, diantaranya: a) keuntungan relatif,
yaitu sejauhmana teknologi memberikan keuntungan dari segi ekonomis, b)
kesesuaian dengan cara atau kondisi yang ada pada masyarakat, c) kerumitan,
sejauhmana inovasi teknologi mudah untuk diterapkan, d) kemungkinan untuk
dicoba, dan e) kemungkinan untuk diamati. Kesesuaian antara inovasi dengan
kondisi masyarakat sangat terkait dengan pengetahuan lokal. Karena jika inovasi
tersebut tidak sesuai dan bertentangan dengan cara-cara dan sistem pengetahuan
lokal, maka akan sulit untuk bisa diterima oleh masyarakat bersangkutan.
Beberapa kajian akademik menunjukkan bahwa usaha yang dilakukan
selama ini dalam mengatasi permasalahan pembangunan pertanian di lahan rawa
pasang surut banyak didasarkan pada hasil-hasil penelitian ilmiah dan kurang
mengikutsertakan pengetahuan lokal masyarakat, sehingga secara teknis
seringkali mengalami kegagalan. Transfer inovasi pertanian ke lahan petani yang
disampaikan melalui proses penyuluhan pertanian seringkali hanya diadopsi
sebagian atau bahkan tidak diadopsi petani.

Para petani umumnya memiliki

sumber daya terbatas dengan kondisi sosial ekonomi atau budaya yang berbeda
dengan kondisi di laboratorium penelitian. Transfer inovasi yang umumnya
melalui pendekatan top down mengakibatkan keikutsertaan masyarakat dalam

13

program pembangunan bukan dalam pengertian partisipasi, tetapi lebih pada


dimobilisasi yang akhirnya menimbulkan sikap petani yang rendah terhadap
program pemanfaatan inovasi pertanian. Dalam konteks partisipasi menjadikan
petani kurang percaya diri, tidak mandiri, tidak kreatif, dan kurang inovatif.
Petani biasanya melakukan berbagai perubahan inovasi atau modifikasi
terhadap berbagai paket teknologi anjuran yang telah disampaikan melalui
kegiatan penyuluhan. Perubahan terhadap inovasi disesuaikan dengan kondisi
ekosistem setempat dan sosial ekonomi petani. Menurut Rogers (1995) perubahan
yang dilakukan oleh masyarakat yang telah menerima inovasi dikenal dengan
konsep reinvensi, yang didefinisikan sebagai sejauhmana suatu inovasi diubah
oleh seorang pemakai dalam proses adopsi dan implementasi atau sejauhmana
penggunaan ide baru oleh seseorang menyimpang dari versi asli pada saat
dipromosikan atau mengenal suatu inovasi.
Terdapat beberapa alasan yang menjadi penyebab mengapa petani
seringkali kurang berpartisipasi, melakukan reinvensi bahkan menolak terhadap
inovasi yang telah dibuktikan dan dikembangkan secara ilmiah dari hasil
penelitian, yaitu: (1) inovasi yang direkomendasikan seringkali belum menjawab
masalah yang dihadapi petani, (2) inovasi yang ditawarkan sulit diterapkan petani
dan mungkin tidak lebih baik dibandingkan teknologi lokal yang sudah ada, (3)
inovasi justru menciptakan masalah baru bagi petani karena kurang sesuai dengan
kondisi sosial, ekonomi, dan budaya setempat, (4) penerapan inovasi
membutuhkan biaya tinggi sementara imbalan yang diperoleh kurang memadai,
(5) sistem dan strategi penyuluhan yang masih lemah, sehingga tidak mampu

14

menyampaikan pesan dengan tepat, (6) adanya ketidakpedulian petani terhadap


tawaran inovasi, (7) seringkali akibat pengalaman kurang baik di masa lalu, dan
(8) adanya ketidakpastian dalam penguasaan sumber daya seperti lahan dan modal
(Sunaryo dan Joshi, 2003).
Gagalnya petani mengadopsi inovasi anjuran bukan dikarenakan mereka
konservatif, tetapi lebih dikarenakan rancang bangun inovasi cenderung belum
sesuai dengan kondisi sosial ekonomi dan ekologi masyarakat tani. Inovasi
seringkali sulit dikonseptualisasikan dan dipahami petani dalam kerangka
tradisional. Sebaliknya di masyarakat petani sendiri terdapat pengetahuan lokal
sebagai milik masyarakat yang sudah diterapkan dan menyatu dengan budaya
mereka.

Pengetahuan tersebut sudah berdasarkan pengalaman dan percobaan

yang berulang-ulang sesuai kemampuan masyarakat. Petani dengan mudah


menerapkan teknologi tersebut karena inputnya relatif rendah, resiko kecil,
sedangkan inovasi teknologi umumnya menggunakan input tinggi, resiko besar
dan sering kurang/tidak ramah lingkungan.
Selain itu, rekomendasi inovasi pertanian yang dihasilkan berdasarkan
penelitian ilmiah umumnya dikemas dalam satu paket, juga telah disebutkan pula
bahwa banyak program pembangunan dengan paket teknologi ditujukan ke petani
kurang berhasil. Akan tetapi banyak fakta empiris yang menunjukkan bahwa
terlepas dari ditolaknya inovasi, ternyata para petani juga tertarik pada bagian dari
paket inovasi teknologi tersebut. Ketertarikan akan dilanjutkan dengan uji coba
dan jika hasilnya seperti harapan mereka barulah diadopsi. Para petani seringkali

15

melakukan reinvensi (perubahan atau modifikasi) inovasi yang disesuaikan


dengan pengetahuan, keperluan, dan kebutuhan yang mereka miliki.
Selain belum adanya proses memadukan antara inovasi dengan
pengetahuan lokal kegagalan petani dalam menerapkan inovasi juga disebabkan
oleh pendekatan dan strategi komunikasi pembangunan pertanian yang pada
umumnya terletak pada tingkat implementasi program dimana model pendekatan
dari komunikator (sumber informasi) yang keliru, sehingga mengakibatkan
kurangnya partisipasi petani dalam program tersebut. Inovasi yang dikembangkan
seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat pengguna dan pendekatan
komunikasi teknologi pertanian belum mempertimbangkan aspek lokalitas untuk
meningkatkan keefektifan, efisiensi, dan kecepatan prosesnya dari alih teknologi
serta ketidaktepatan dalam mengemas pesan dan pemilihan saluran merupakan
salah satu penyebab kegagalan adopsi inovasi di tingkat petani.
Adopsi inovasi yang mengikutsertakan potensi pengetahuan lokal
dianggap sebagai salah satu cara untuk memotivasi dan memfasilitasi petani untuk
membangun dan meningkatkan produksi pertanian di wilayahnya. Tujuan ini
dapat tercapai bila dilakukan melalui proses komunikasi partisipatif yang secara
timbal balik (reciprocal) dilakukan antara penyuluh pertanian sebagai agen
perubahan dan masyarakat petani, dimana masyarakat diajak untuk turut bersamasama

merencanakan

apa

yang

menjadi

kebutuhan

dan

keinginannya,

melaksanakan dan memberikan penilaian terhadap apa yang akan dan telah
dilaksanakannya. Melalui penyuluhan pertanian, inovasi dikomunikasikan kepada
masyarakat sekaligus menghilangkan berbagai hambatan terutama dalam hal

16

tukar-menukar informasi maupun berbagai kesenjangan dalam adopsi inovasi dan


pengetahuan lokal petani serta dapat membuka ruang partispasi masyarakat untuk
terlibat langsung dalam program usahatani padi di lahan rawa pasang surut.
Partisipasi petani sebagai subyek pembangunan pertanian dalam penelitian ini
dilihat dari penguatan peran masyarakat sejak dari penumbuhan ide atau
penggalian permasalahan usahatani, perencanaan inovasi, pelaksanaan program
inovasi, dan pemantauan-evaluasi hasil inovasi.
Kegiatan penyuluhan pertanian dalam upaya menyebarluaskan inovasi
padi di lahan rawa pasang surut dapat berperan dalam mendorong terjadinya
komunikasi partisipatif antara petani dan penyuluh dan pemanfaatan media
informasi komunikasi oleh petani dapat memperkuat persepsi petani terhadap
inovasi, yang kemudian dapat membentuk sikap petani untuk menerapkan inovasi.
Penerapan komunikasi partisipatif dalam penyebaran inovasi padi yang
memadukan pada pengetahuan lokal petani ini menarik untuk dikaji dengan
memperhatikan faktor-faktor adopsi inovasi yang mempengaruhi.
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dikemukakan,
maka pertanyaan mendasar yang muncul adalah, apakah komunikasi partisipatif
dan faktor-faktor adopsi lainnya, seperti karakteristik inovasi, kegiatan
penyuluhan pertanian dan media informasi komunikasi telah dijadikan dasar
dalam membentuk sikap dan perilaku petani untuk menerapkan dan melakukan
modifikasi inovasi padi, dan sejauhmana faktor-faktor adopsi inovasi tersebut
mempengaruhinya ? Secara lebih rinci, permasalahan penelitian (research
question) dirumuskan sebagai berikut:

17

1.

Bagaimana bentuk-bentuk pengetahuan lokal petani dan inovasi padi di lahan


rawa pasang surut Kalimantan Tengah ?

2.

Bagaimana pandangan petani terhadap karakteristik inovasi padi, penyuluhan


pertanian, komunikasi partisipatif petani, pemanfaatan media informasi
komunikasi, sikap petani dan modifikasi inovasi padi yang dilakukan petani
di lahan rawa pasang surut Kalimantan Tengah ?

3.

Sejauhmana pengaruh karakateristik inovasi padi, penyuluhan pertanian,


komunikasi partisipatif petani, pemanfaatan media informasi komunikasi, dan
sikap petani terhadap modifikasi inovasi padi yang dilakukan petani di lahan
rawa pasang surut Kalimantan Tengah ?

1.3. Tujuan Penelitian


Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka tujuan penelitian:
1. Mendeskripsikan

proses

pembentukan

dan

bentuk-bentuk

kongkrit

pengetahuan lokal petani padi dan inovasi padi di lahan rawa pasang surut
Kalimantan Tengah.
2. Mengkaji pandangan petani mengenai karakteristik inovasi padi, penyuluhan
pertanian, komunikasi partisipatif, pemanfaatan media informasi komunikasi,
sikap petani, dan modifikasi inovasi padi yang dilakukan petani di lahan rawa
pasang surut Kalimantan Tengah.
3. Menganalisis pengaruh karakteristik inovasi padi, penyuluhan pertanian,
komunikasi partisipatif, pemanfaatan media informasi komunikasi, dan sikap
petani terhadap tindakan petani untuk melakukan modifikasi inovasi padi di
lahan rawa pasang surut Kalimantan Tengah.

18

1.4. Kegunaan Penelitian


Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.

Secara teoritis diharapkan dapat memberikan: (1) kontribusi terhadap studi


yang berkaitan dengan konsep difusi inovasi pertanian, yaitu tentang
bagaimana menghasilkan dan menyebarluaskan inovasi tepat guna untuk
petani melalui pengembangan pengetahuan lokal; (2) memberikan kontribusi
pada pola pendekatan baru dalam mengenalkan inovasi pada masyarakat dari
yang bersifat satu arah kepada proses belajar bersama (partisipatif) antara
masyarakat dengan institusi/lembaga penelitian dan pembangunan.

2.

Secara praktis menjadi acuan dalam pelaksanaan penyuluhan pertanian


partisipatif di lahan rawa pasang surut Kalimantan Tengah.

3.

Secara implikatif sebagai bahan pertimbangan bagi penentu-penentu


kebijakan di daerah dalam perencanaan pembangunan pertanian yang
berbasis pada pengembangan pengetahuan lokal.

1.5. Keaslian Penelitian


Penelitian mengenai komunikasi partisipatif dari berbagai aspek telah
dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Kajian terdahulu banyak dilakukan
pada efektivitas komunikasi dari aspek pemberdayaan, partisipasi, adopsi inovasi,
rekayasa kelembagaan, dan strategi komunikasi. Namun penelitian yang mengkaji
aspek komunikasi partisipatif petani dengan penyuluh dalam modifikasi inovasi
yang berdasarkan pada pengetahuan lokal petani sebagai tema penelitian baru
belum banyak dikaji. Beberapa penelitian sebelumnya, disajikan sebagai berikut :

19

Penelitian

Kusmayadi

(1996)

mengungkapkan

pemahaman

yang

mendalam tentang konsekuensi dari komunikasi sosial dan pengambilan


keputusan adopsi inovasi usaha peternakan sapi perah oleh masyarakat petani
hortikultura, fenomenanya dilihat sebagai suatu proses perubahan sosial di sektor
pertanian sebagai akibat adanya adopsi dan difusi, yaitu bagaimana kekuatan dari
faktor luar desa ataupun luar pertanian mempengaruhi sikap masyarakat.
Penelitian Musyafak dan Ibrahim (2005) tentang strategi komunikasi dan
percepatan adopsi dan difusi inovasi pertanian. Hasil kajian menyimpulkan bahwa
faktor yang mempengaruhi percepatan adopsi adalah sifat dari inovasi itu sendiri
dan strategi yang tepat untuk memilih inovasi, yaitu inovasi harus dapat dirasakan
sebagai suatu kebutuhan oleh banyak petani, inovasi harus memberikan
keuntungan kongkrit bagi petani, inovasi harus mempunyai keselarasan, inovasi
harus

dapat

mengatasi

faktor-faktor

pembatas,

inovasi

harus

dapat

mendayagunakan, inovasi harus terjangkau, inovasi harus sederhana, dan tidak


rumit serta inovasi harus mudah untuk diamati.
Penelitian Yuniarti (2003) mengkaji tentang efektivitas penerapan prinsipprinsip komunikasi dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa berupa
jaminan akses masyarakat terhadap informasi (acces), adanya wadah untuk
mengakomodasikan pendapat masyarakat (voice), dan adanya jaminan bagi peran
aktif masyarakat melalui kontrol (control). Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa efektivitas pemanfaatan akses terhadap informasi pembangunan didukung
oleh adanya interaksi aktif antara pemerintahan desa dengan lembaga
kemasyarakatan dalam mengakomodir kebutuhan masyarakat terhadap informasi

20

pembangunan baik secara formal maupun informal. Sedangkan akses terhadap


kesempatan menyampaikan pendapat ditujukan melalui terbukanya kesempatan
dalam menyampaikan tanggapan pada saat perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi hasil. Sementara efektivitas peran kontrol masyarakat ditujukan dari
adanya partisipasi mekanisme pemeliharaan, penggunaan, dan pembuatan
keputusan lain dalam pemanfaatan hasil pembangunan.
Penelitian Yahya (2005) menunjukkan tingkat partisipasi petani dalam
perencanaan penyuluhan partisipatif mulai dari perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, dan monitoring evaluasi penyuluhan di Kabupaten Kulon Progo
secara keseluruhan tergolong dalam partisipasi sedang. Faktor mempengaruhinya
adalah kekosmopolitan, motivasi, pendidikan dan layanan tim penyuluh pertanian.
Penelitian partisipasi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya juga
dilakukan oleh beberapa peneliti, seperti Anwaruddin (2009) mengkaji aspek
partisipasi petani dalam usaha agribisnis pedesaan menunjukkan bahwa partisipasi
dipengaruhi penguatan pengembangan kelembagaan kelompok-kelompok tani
yang ada di pedesaan. Penelitian Supendy (1999) mengenai partisipasi dalam
penerapan teknologi produksi kakao di Kabupaten Kaloka menunjukkan bahwa
partisipasi dipengaruhi oleh pendidikan, pengalaman, jumlah anggota keluarga,
dan motivasi berusaha tani. Penelitian Muldyanto (2002) mengkaji partisipasi
anggota kelompok tani terhadap proyek konservasi tanah dan rehabilitasi di
Kabupaten Kulon progo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipasi petani
dipengaruhi oleh umur, pendidikan, luas lahan garapan, dan pendapatan.

21

Hasil penelitian Supadi (2007) tentang dinamika partisipasi petani padi


sawah peserta program peningkatan mutu intensifikasi menunjukkan bahwa
keberadaan kelompok tani kooperator yang telah dibentuk belum berhasil
mewujudkan partisipasi aktif petani dalam peningkatan mutu intensifikasi.
Terdapat kecenderungan penurunan penerapan teknologi rekomendasi setelah
proyek selesai dan ditinggalkan petani. Penurunan kualitas partisipasi dikarenakan
karakteristik kelembagaan kelompok tani yang belum mantap dan belum
optimalnya pelayanan penyuluhan. Sampai saat ini penyelenggaraan penyuluhan
masih dominan pada teknis budidaya belum pada aspek pemberdayaan petani.
Hasil penelitian Lingani, et al (2011) mengenai partisipasi masyarakat
lokal dalam praktek pengelolaan hutan lestari di Burkina Faso Afrika Selatan,
menunjukkan bahwa partisipasi dalam pengambilan keputusan pengelolaan hutan
dipengaruhi oleh faktor gender, ukuran rumah tangga, sumber pendapatan, status
kepemilikan lahan, dan program bantuan teknis bagi petani. Pengelolaan hutan
lestari dapat ditingkatkan dengan mengubah struktur administrasi kelompok
dengan mengikutsertakan peran serta perempuan. Dengan demikian, kebijakan
untuk memperbaiki struktur kelompok pengelolaan hutan dapat membentuk
mekanisme pembagian manfaat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat lokal
dalam program pengelolaan hutan secara partisipatif.
Peneltian

Hendayana

(1998)

mengenai

keputusan

petani

untuk

mengadopsi inovasi terutama ditentukan oleh faktor internal yaitu, karakteristik


petani yang ditunjukkan oleh umur, pendidikan formal, jumlah anggota keluarga,
penguasaan lahan usahatani, dan tujuan petani dalam melakukan usahatani,

22

pertimbangan selain meningkatkan pendapatan ada juga yang hanya sekedar


mencukupi kebutuhannya (subsisten). Tujuan tersebut erat kaitannya dengan
tanggapan terhadap resiko. Selain itu juga masih ada lagi yang perlu
dipertimbangkan, yaitu: adanya faktor eksternal, mencakup kemungkinan
dukungan dari aspek kelembagaan dan pemasaran. Kelembagaan yang utama
adalah perkeditan untuk memenuhi kebutuhan modal usahatani. Sedangkan aspek
ekonomi yang penting adalah rasio antara harga input dengan harga output.
Keputusan adopsi akan berhenti apabila rasio nilai masukan dengan nilai keluaran
relatif kecil, berarti pendapatan yang akan diperoleh dari mengadopsi teknologi
akan kecil juga. Disamping itu dengan mahalnya upah buruh tani akan mendorong
petani untuk menerapkan teknologi usahatani yang hemat kerja.
Penelitian Istiana (1998) menyimpulkan bahwa salah satu penyebab
lambatnya transfer inovasi teknologi ke petani adalah: (1) adanya kesenjangan
pengetahuan antara penyuluh dan peneliti, (2) jumlah penyuluh yang belum
proporsional berada di wilayah kerjanya, 3) Balai Penyuluhan Pertanian sebagai
sumber informasi belum dimanfaatkan dengan baik oleh petani, dan (4)
keterbatasan sumberdaya yang dimiliki petani berupa pengetahuan, keterampilan
berusahatani dan modal usahatani.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mundy (2000) mengenai adopsi
inovasi juga menunjukkan bahwa seiring dengan perkembangan waktu dan tingkat
pemanfaatan inovasi cenderung melambat bahkan menurun, diperlukan waktu
sekitar dua tahun sebelum teknologi baru Badan Litbang Pertanian diketahui oleh
50% dari penyuluh pertanian dan perlu waktu enam tahun sebelum 80% penyuluh

23

mendengar teknologi baru tersebut. Tenggang waktu sampainya informasi dan


dilakukannya adopsi oleh petani tentunya memerlukan waktu lebih lama lagi
Hasil penelitian Chapman (2002) mengenai pengetahuan lokal yang
berperan dalam membangun budaya pertanian agraris di beberapa dunia ketiga,
menunjukkan bahwa pengetahuan lokal tidak tersebar secara merata dalam
masyarakat. Sikap setiap individu dalam menyimpan pengetahuan tradisional dan
kemampuan menghasilkan pengetahuan baru juga berbeda. Masing-masing
individu menguasai hanya sebagian dari pengetahauan lokal masyarakat.
Pengetahuan yang bersifat khusus seringkali hanya dikuasasi kalangan terbatas.
Pada banyak kasus petani tidak mendokumentasikan pengetahuannya, sehingga
tidak mudah untuk diakses oleh orang luar di lingkungan sistem sosialnya. Selain
itu pengetahuan lokal sulit terdeteksi karena sudah menyatu dalam praktek bertani.
Penelitian Luwihono (2007) tentang optimalisasi partisipasi masyarakat
lokal dalam pengelolaan lingkungan hidup menunjukkan bahwa partisipasi
masyarakat lokal sebagai instrumen komunikasi antara kelompok hanya bisa
diwujudkan dengan partisipasi bersifat kemitraan. Dengan kemitraan masyarakat
dengan pemerintah mempunyai posisi, kedudukan dan kapasitas yang sama dalam
proses pengambilan keputusan rencana pemanfaatan lingkungan. Penerapan
pendekatan partisipatif yang bersifat kemitraan memposisikan masyarakat yang
akan terkena dampak suatu kebijakan sebagai bagian dari pengambil keputusan.
Dengan konsep ini akan terbangun komunikasi dan hubungan sosial yang
seimbang yang dapat menekan potensi konflik menyeimbangkan akses terhadap
lingkungan. Pelibatan masyarakat dilakukan lebih awal, yaitu dalam tahapan

24

perencanaan, sehingga masyarakat dapat terlibat dalam proses pengambilan


keputusan sejak dini. Apabila proses pelibatan masyarakat benar-benar untuk
tujuan mencapai hasil yang optimal tidak hanya bagi pemrakarsa tetapi juga bagi
masyarakat, maka upaya penguatan pengetahuan akan memperkuat posisi
masyarakat dalam berkomunikasi dengan pihak pemrakarsa pembangunan.
Penelitian Noorginayuwati, et al (2007) menggali kearifan budaya lokal
dalam pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian menyimpulkan bahwa
pengetahuan lokal merupakan repleksi dari kebudayaan masyarakat setempat
didalamnya terkandung tata nilai, estetika, norma, aturan, dan keterampilan dari
suatu masyarakat dalam memenuhi tantangan hidupnya. Upaya petani lahan rawa
di Kalimantan yang telah berinteraksi di lahan gambut selama ratusan tahun telah
banyak menghasilkan kearifan lokal yang selaras dengan keseimbangan dan
kelestarian alam. Kearifan lokal tersebut seperti usaha petani dalam meningkatkan
kesuburan lahan dan menghindari kebakaran lahan, pola penataan dan
pengelolaan lahan gambut, teknologi budidaya, pola tanam, dan pengetahuan
fenomena alam sebagai pedoman dalam berusahatani di lahan gambut.
Penelitian Winarto (2005) menyajikan dinamika pengetahuan petani padi
tentang pengendalian hama terpadu di Subang menunjukkan bagaimana
pengetahuan lokal itu berubah dan berkembang. Perubahan yang konstruktif bagi
pengayaan pengetahuan petani dan kemampuan adaptasinya dalam menghadapi
berbagai masalah justru lebih berkembang dalam konteks pengalihan pengetahuan,
yaitu bagaimana pemilihan varietas padi oleh petani, selain itu dijelaskan bahwa

25

pengetahuan bukanlah faktor satu-satunya pengambilan keputusan petani, tetapi


ada seperangkat faktor yang relevan dalam situasi setempat.
Dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang lebih menitik beratkan
pada aspek sosial ekonomi dan antropologi, maka penelitian ini menekankan pada
proses komunikasi pembangunan partisipatif antara petani dengan penyuluh
dalam mengintegrasikan inovasi pertanian dengan pengetahuan lokal serta
identifikasi pada perilaku petani dalam melakukan modifikasi inovasi akibat
adanya introduksi inovasi yang masuk dalam sistem sosial sebagai konsekuensi
dari pembangunan, serta sejauhmana proses komunikasi pembangunan partisipatif
tersebut berpengaruh terhadap keputusan petani untuk mengadopsi inovasi atau
melakukan reinvensi (modifikasi inovasi). Secara spesifik penelitian ini
mengandung keaslian mengingat penelitian dilakukan pada lokasi dengan
karakteristik wilayah pengembangan lahan gambut, permasalahan penelitian,
kondisi sosial budaya masyarakat, dan konteks perubahan sosial dalam
pembangunan pertanian.

Anda mungkin juga menyukai