Anda di halaman 1dari 45

BAB I

Pendahuluan

I.1. Latar Belakang Masalah


Kepailitan dalam perusahaan diikuiti dengan proses penjualan harta
perusahaan, penagihan piutang, pelunasan utang, serta penyelesaian sisa harta atau
utang antara pemegang saham. Beberapa definisi tentang kepailitan telah di terangkan
didalam jurnal Penerapan Ketentuan Kepailitan Pada Bank Yang Bermasalah yang
ditulis oleh Ari Purwadi antara lain: Freed B.G Tumbunan dalam tulisannya yang
berjudul Pokok-Pokok Undang-Undang Tentang Kepailitan sebagaimana diubah oleh
Perpu No. 1 Tahun 1998 disebutkan bahwa Kepailitan adalah sita umum yang
mencakup seluruh kekayaan debitur untuk kepentingan semua krediturnya. Tujuan
kepailitan adalah pembagian kekayaan debitur oleh kurator kepada semua kreditur
dengan memperhatikan hak-hak mereka masing-masing. Berdasarkan pasal 1 angka
1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), Kepailitan adalah sita umum atas semua
kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator
di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang
ini.
Proses terjadinya kepailitan sangatlah perlu diketahui, karena hal ini dapat
menentukan keberlanjutan tindakan yang dapat dilakukan pada perseroan yang telah
dinyatakan pailit. Salah satu tahap penting dalam proses kepailitan adalah tahap
insolvensi. Yaitu suatu perusahaan yang sudah tidak mampu membayar hutanghutangnya lagi. Padah tahap insolvensi penting artinya karena pada tahap inilah nasib
debitur pailit ditentukan. Apakah harta debitur akan habis dibagi-bagi sampai
menutup utangnya, ataupun debitur masih dapat bernafas lega dengan diterimanya
suatu rencana perdamaian atau rekunstruksi utang. Apabila debitur sudah dinyatakan
insolvensi, maka debitur sudah benar-benar pailit, dan hartanya segera akan dibagi1

bagi, meskipun hal-hal ini tidak berarti bahwa bisnis dari perusahaan pailit tersebut
tidak bisa dilanjutkan.
Sebelum ada Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, pengaturan mengenai Pengunduran dan
Pembayaran atau Penundaan Pembayaran diatur dalam Undang-Undang Nomor 4
tahun 1998. Didalam undang-undang yang baru, PKPU diatur dalam Bab III yang
terdapat dua bagian, yaitu: Bagian pertama tentang Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang dan Akibatnya sedangkan Bagian kedua tentang Perdamaian.
Menurut pendapat Munir Fuady Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU) ini adalah suatu periode waktu tertentu yang diberikan oleh undang-undang
melalui putusan Pengadilan Niaga, dimana dalam periode waktu tersebut kepada
kreditor dan debitor diberikan kesempatan untuk memusyawarahkan cara-cara
pembayaran utang-utangnya dengan memberikan rencana perdamaian (composition
plan) terhadap seluruh atau sebagian utangnya itu, termasuk apabila perlu
merestrukturisasi utangnya tersebut.
Dari pendapat diatas maka maksud dari PKPU adalah memberi kesempatan
kepada debitur untuk memohon penundaan terhadap kewajiban pembayaran utang
kepada para debitur, dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang
meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utangnya.

I.2. Rumusan Masalah


1.
2.
3.
4.

Apa yang dimaksud dengan Hukum Kepailitan dan PKPU ?


Bagaimana proses terjadinya Hukum Kepailitan dan PKPU?
Bagaimana tanggung jawab pengurus terhadap kepilitan perusahaan?
Siapa saja pengurus dalam PKPU?

5. Bagaimana berakhirnya kepaiitan dan PKPU?


6. Bagaimana akibat hukum dari kepaiitan dan PKPU?

I.3. Tujuan Penelitian


1.
2.
3.
4.
5.
6.

Untuk mengetahui pengertian Hukum Kepailitan dan PKPU


Untuk mengetahui proses dan prosedur kepailitan dan PKPU
Untuk mengetahui tanggung jawab pengurus terhadap kepailitan
Untuk mengetahui siapa saja pengurus dalam PKPU
Untuk mengetahui kapan berakhirnya kepailitan dan PKPU
Untuk mengetahui akibat hokum yang terjadi akibat kepailitan dan PKPU

BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Hukum Kepailitan
1.1.

Pengertian Kepailitan

Kepailitan merupakan suatu proses dimana seorang debitur yang mempunyai


kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan,
dalam hal ini adalah pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat
membayar utangnya, Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai
dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit

yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan


Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Dasar Hukum (Pengaturan) Kepailitan di Indonesia:

UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran;
UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan
UU No. 42 Tahun 1992 Tentang Jaminan Fiducia
Pasal- Pasal yang Terdapat Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(BW) yaitu Pasal 1131-1134.


Dan beberapa Undang-Undang Lainnya yang mengatur Mengenai BUMN
(UU No.19 Tahun 2003), Pasar Modal( UU No. 8 Tahun 1995), Yayasan (UU
No.16 Tahun 2001 ) Koperasi (UU No. 25 Tahun 1992)

1.2.

Para Pihak yang Terlibat dalam Proses kepailitan

a) Pihak Pemohon Pailit


Salah satu pihak yang terlibat dalam perkara kepailitan adalah pihak pemohon pailit,
yaitu pihak yang mengambil inisiatif untuk mengajukan permohonan pailit
kePengadilan, yang dalam perkara biasa disebut sebagai pihak penggugat. Menurut
Undang-undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 (Pasal 2) maka yang dapat
menjadi pemohon dalam suatu perkara pailit adalah salah satu dari pihak berikut ini :

Pihak debitur itu sendiri.


Salah satu atau lebih dari pihak kreditur.
Pihak Kejaksaan jika menyangkut dengan kepentingan umum.
Pihak Bank Indonesia jika debiturnya adalah suatu bank.
Pihak Badan Pengawas Pasar Modal jika debiturnya adalah suatu perusahaan
efek.

Menteri Keuangan jika debiturnya yang bergerak di bidang kepentingan publik.


Misal :Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun atau

Badan Usaha Milik Negara.


b) Pihak Debitur Pailit.
Pihak debitur pailit adalah pihak yang memohon atau dimohonkan pailit
kePengadilan yang berwenang. Yang dapat menjadi debitur pailit adalah debitur
yangmempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang
yangtelah jatuh tempo dan dapat dilakukan penagihan.
c) Hakim Niaga
Perkara kepailitan diperiksa oleh Hakim Majelis (tidak boleh Hakim tunggal)
baik untuk tingkat pertama maupun untuk tingkat kasasi. Hanya untuk perkara
perniagaanlainnya yakni yang bukan perkara kepailitan untuk tingkat Pengadilan
pertama yang boleh diperiksa oleh Hakim tungal dengan penetapan Mahkamah
Agung (Pasal 302 Undang-undang Kepailitan). Hakim Majelis tersebut merupakan
Hakim-hakim padaPengadilan Niaga, yakni Hakim-hakim Pengadilan Negeri yang
telah diangkat menjadiHakim Pengadilan Niaga berdasarkan keputusan Mahkamah
Agung. Disamping ituterdapat juga Hakim Ad Hoc yang diangkat dari kalangan para
ahli dengan Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.
d) Hakim Pengawas.
Dalam pengawasan pelaksanaan pemberesan harta pailit, maka dalam keputusan
kepailitan, oleh Pengadilan harus diangkat seorang Hakim Pengawas di
samping pengangkatan Kurator.Di antara tugas dan wewenang dari Hakim Pengawas
menurut Undang-undang Kepailitan sebagai berikut :

Menetapkan

jangka

waktu

tentang

pelaksanaan

perjanjian

yang

masih berlangsung antara debitur dengan pihak krediturnya, jika antara pihak
kreditur dengan pihak Kurator tidak tercapai kata sepakat tersebut (Pasal 36

Undang-undang Kepailitan).
Memberikan putusan atas
yang berkepentingan

yang

permohonan
haknya

kreditur

ditangguhkan

atau
untuk

pihak

ketiga

mengangkat
5

penangguhanapabila Kurator menolak permohonan pengangkatan penanggunan


tersebutPasal 56 Undang-undang Kepailitan).
Memberikan
persetujuan
kepada
Kurator

apabila

pihak

Kurator

menjaminkanharta pailit kepada pihak ketiga atas pinjaman yang dilakukan


Kurator dari piahk ketiga tersebut (Pasal 69 ayar (3) Undang-undang Kepailitan).
Memberikan izin bagi pihak Kurator apabila ingin menghadap di muka

Pengadilan, kecuali untuk hal-hal tertentu (Pasal 69 ayat (5) Undang-undang


Kepailitan).
Menerima laporan dari pihak Kurator tiap tiga bulan sekali mengenai

keadaanharta pailit dan pelaksanaan tugasnya (Pasal 74 ayat (1)Undang-undang

Kepailitan).
Memperpanjang jangka waktu laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74

ayat (1) tersebut di atas (Pasal 74 ayat (3) Undang-undang Kepailitan).


Menawarkan kepada kreditur untuk membentuk panitia
setelah pencocokan

utang

selesai

dilakukan

(Pasal

80

kreditur

Undang-undang

Kepailitan).
Apabila dalam putusan pernyataan pailit telah ditunjuk panitia kreditur sementara,
mengganti panitia kreditur sementara tersebut atas permintaan kreditur konkuren
berdasarkan putusan kreditur konkuren dengan suara Simple majority (Pasal 80

ayat (2) (a) Undang-undang Kepailitan).


Apabila dalam putusan pernyataan

pailit

kreditur,membentuk panitia kreditur atas

belum

diangkat

panitia

permintaan kreditur konkuren

berdasarkan putusan kreditur konkuren dengan suara simple majority (Pasal 80


ayat (2) (b)Undang-undang Kepailitan).

1.3.

Proses Terjadinya Kepailitan

1) Prinsip-Prinsip umum dalam Proses terjadinya Kepailitan


Berdasarkan pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), Kepailitan
adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan

pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas


sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Berdasarkan pengertian yang ada
pada undang-undang kepailitan, para ahli hukum memberikan makna atau pengertian
yang jelas tentang kepailitan, salah satunya menurut Adrian Sutedi yang meberikan
pengertian suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan debitor untuk
kepentingan kreditor-kreditornya. Kepailitan harus memenuhi dan berlandaskan
pada asas:
a) Asas keseimbangan, tidak ada penyalahgunaan lembaga atau pranata dalam
kepailitan yang digunakan oleh debitor yang tidak jujur dan terdapat ketentuan
yang dapat mencegah kreditor melakukan itikad tidak baik.
b) Asas kelangsungan usaha, debitor yang pada proses kepailitannya atau telah
diputus kepailitannya tetap dapat menjalankan kegiatan usahanya
c) Asas keadilan, pada asas ini kepailitan dapat memberikan rasa keadilan bagi para
pihak yang memiliki kepentingan sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan
baik yang dilakakan oleh salah satu pihak.
d) Asas integrasi, dalam hal ini kepailitan harus berdasarkan hukum formil dan
materiil yang berlaku di Indonesia.
Kepailitan diatur dalam suatu kaedah hukum memiliki tujuan untuk menuju hukum
kepailitan yang progresif. Untuk mencapai tujuan terdapat syarat yang harus dipenuhi
dalam mengajukan permohonan pailit, yaitu:
Syarat untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debitur dapat dilihat
pada Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
PKPU, antara lain : Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak
membayarlunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,
dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri
maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.

Syarat-syarat permohonan pailit sebagaimana ditentukan dalam pasal 2 ayat (1)


Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut :

Syarat Adanya Dua Kreditor Atau Lebih (concursus Creditorium)

Syarat adanya dua kreditor atau lebih menunjukan bahwa pengajuan permohonan
pailit tidak dapat dilakukan apabila debitor hanya memiliki satu utang atau satu
kreditor saja, hal tersebut sesuai dengan tujuan kepailitan yang mengharapkan
pelunasan utang-utang debitor kepada para kreditor secara seimbang dan adil. Setiap
kreditor (konkuren) mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pelunasan yang
sama dari harta debitornya. Jika debitor hanya mempunyai satu utang saja, maka
seluruh harta kekayaan debitor otomatis menjadai jaminan atas pelunasan utang
debitor tersebut dan tidak diperlukan pembagian secara pro rata dan pari passu.
Dengan demikian, jelas bahwa debitor tidak dapat dituntut pailit, jika debitor tersebut
hanya mempunyai satu kreditor.

Syarat harus adanya utang

Berdasarkan Pasal 1 angka (6) Undang-Undang Kepailitan, utang adalah kewajiban


yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang
Indonesia, maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul
dikemudian hari atau kontingen, yang timbul karena perjanjian atau Undang-Undang
dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi member hak kepada
kreditor untuk mendapatkan pemenuhannya dari harta kekayaan debitor. Syarat ini
diperlukan karena tanpa adanya utang, maka debitor tidak memiliki kewajiban yang
harus dibayar kepada para kreditor, sehingga tidak dapat dimintakan permohonan
pailit.

Syarat cukup satu utang yang telah jatuh tempo dam dapat ditagih

Seperti dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang kepailitan yang menyatkan
bahwa yang dimaksud dengan utang yang telah jatuh tempo adalah kewajiban untuk
membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena diperjanjikan, karena percepatan
waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda
oleh instansi yang berwanang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau
majelis arbitrase. Syarat bahwa utang harus telah jatuh tempo dan dapat ditaguh
menunjukan bahwa kreditor sudah mempunyai hak untuk menuntut debitor untuk
memenuhi prestasinya.

Debitor berada dalam keadaan insolvent, yaitu keadaan dimana debitor


tidak lagi mampu membayar utang-utangnya pada para kreditor

Keadaan insolvent atau keadaan dimana debitor tidak mampu membayar utangutangnya pada para kreditor, menunjukkan bahwa debitor tidak lagi mampu untuk
memenuhi kewajibannya kepada kerditor dan kreditor terancam tidak dapat menerima
hak berupa pembayaran utang dari debitornya. Ketidakmampuan debitor tersebut
merupakan hak yang sangat penting didalam kepailitan karena dengan adanya
ketidakmampuan tersebut kreditor dapat melakukan eksekusi terhadap kekayaan
debitor melalui putusan pengadilan sehingga kreditor dapat menerima haknya

2) Prosedur Kepailitan
Proses pengajuan permohonan pailit diajukan oleh pengadilan yang berwenang yaitu
pengadilan niaga yang berdomisili daerah tempat kedudukan debitur itu berada.
Pengajuan permohonan pailit diajukan oleh kreditur sebagaimana yang diatur pada
pasal 2 UU No 37 Tahun 2004 yang telah dibahas sebelumnya oleh penulis.
Permohonan pengajuan pailit diajukan kepada pengadilan melalui panitera.

Pengajuan selain dapat dilakukan oleh kreditur atau lembaga yang diberikan
kewenangan yaitu debitur itu sendiri. Debitur yang melakukan permohonan kepailitan
pada Perseroan Terbatas harus memenuhi syarat sebagai berikut:

Surat permohonan bermaterai ditujukan kepada ketua pengadilan niaga


Akta pendafataran perusahaan yang dilagalisir oleh kantor perdagangan
Putusan sah Rapat umum Pemegang Saham (RUPS)
Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga
Neraca keuangan terakhir
Nama serta alamat debitur dan kreditur

Syarat yang harus dilakukan oleh kreditur yang melakukan permohonan kepailitan
adalah:

Surat permohonan yang bermaterai yang ditanda tangani oleh Ketua

Pengadilan Niaga
Akta pendaftaran perusahaan yang dilegalisir oleh ketua perdagangan
Surat perjanjian utang yang ditanda tangani kedua belah pihak
Perincian utang yang tidak terbayar
Nama dan alamat masing-masing kreditur/debitur

Panitera mendaftarkan permohonan kepailitan kepada ketua pengadilan niaga dalam


jangka waktu paling lambat 1 hari terhitung sejak tanggal permohonan didaftarkan.
Dalam jangka waktu paling lambat 2 hari terhitung sejak tanggal permohonan
pernyataan pailit didaftarkan pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan
hari sidang. Sidang pemeriksaan atas permohonan kepailitan diselenggarakan paling
lambat 20 hari sejak permohonan di mana dalam hal ini terjadi rapat verifikasi atau
pencocokan utang antara debitur dengan kreditur. Dalam rapat verifikasi atau
pencocokan utang seorang debitor wajib datang sendiri agar dapat memberikan
keterangan yang diminta oleh hakim pengawasmengenai sebab kepailitan dan
keadaan harta pailit. Pada rapat pencocokan utang setelah semua pihak hadir baik
debitor, kurator, maupun kreditor, hakim pengawasakan membacakan daftar piutang
yang diakui sementara dan daftar yang dibantah oleh kurator. Tahap putusan atas

10

permohonan kepailitan dikabulkan atau diputus oleh hakim apabila fakta atau
keadaan secara sederhana terbukti memenuhi persyaratan pailit. Fakta dua atau lebih
kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar sedangkan
perbedaan besarnya utang didalihkan oleh permohonan pailit dan termohon pailit
tidak menghalangi jatuhnya putusan pailit. Putusan pailit harus diucapkan paling
lambat 60 hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan dimana
berdasarkan pada asas peradilan, cepat, sederhana, dan biaya murah, putusan tersebut
wajib diajukan kepada jurusita.
Pada proses pengurusan harta pailit ada beberapa pihak yang melakukan
kepengurusan yaitu:
a) Hakim pengawas yang melakukan pengawasan pada pengurusan dan
pemberesan harta pailit, diatur pada pasal 65 UU No 37 Tahun 2004
b) Kurator, memiliki tugas melakukan pemberesan harta pailit.
1.4.

Tanggung Jawab Pengurus Terhadap Kepailitan

1) Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan Terbatas (PT)


Pasal 97 ayat (1) UUPT mewajibkan setiap anggota direksi untuk wajib dengan itikad
baik dan penuh tanggung jawab untuk melakukan pengawasan perseroan untuk
kepentingan dan usaha (tujuan perseroan). Sehingga Direksi bertanggung jawab atas
pengurusan dan perwakilan terhadap perseroan dalam rangka untuk kepentingan dan
tujuan perseroan. Tanggung jawab direksi atas kepailitan PT dijelaskan dalam
ketentuan pasal 104 UUPT, antara lain:
a. Direksi tidak berwenang mengajukan permohonan pailit atas perseroan sendiri
kepada Pengadilan Niaga sebelum memperoleh persetujuan RUPS, dengan tidak
mengurangi ketentuan sebagaimana diatur dalam UU kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.
b. Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta
pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban perseroan dalam kepailitan

11

tersebut, setiap anggota direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas
seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut.
c. Tanggung jawab tersebut berlaku juga bagi anggota direksi yang salah atau lalai
yang pernah menjabat sebagai anggota direksi dalam jangk waktu 5 (lima) tahun
sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.
d. Anggota direksi tidak bertanggung jawab atas kepailitan perseroan apabila dapat
membuktikan:
Kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan
penuh tanggung jawab untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan

maksud dan tujuan perseroan;


Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak

langsung atas tindakan pengurusan yang dilakukan.


Telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan;
e. Ketentuan tersebut berlaku juga bagi direksi dari perseroan yang dinyatakan
pailit berdasarkan gugatan pihak ketiga.
Diketahui bahwa berdasarkan pasal 104 ayat (2) dan ayat (3) UUPT, setiap
anggota direksi bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kepailitan
perseroan, jika kepailitan perseroan tersebut disebabkan oleh kesalahan atau
kelalaian anggota direksi dan juga bagi anggota direksi yang salah/lalai yang
pernah menjabat sebagai anggota direksi dalam jangka waktu lima tahun
sebelum putusan pailit diucapkan.
Pada ayat (4) memberikan kesempatan kepada anggota direksi untuk tidak
bertanggung jawab atas kepailitan perseroan, jika anggota direksi dapat
membuktikan. Dengan demikian beban pembuktian ada pada anggota direksi
yang bersangkutan. Pembuktian adanya unsur kesalahan atau kelalain menjadi
kunci utama dalam menuntut pertanggungjawaban anggota direksi. Menurut
Schreuder, pengertian kesalahan menurut hukum pidana menuntut adanya 3
(tiga) unsur berupa:

Kelakuan yang bersifat melawan hukum;


12

Dolus (kesengajaan) atau culpa (kelalaian);


Kemampuan bertanggung jawab pelaku.

Prof. Sutan Remy Sjahdeini menyatakan bahwa beliau sependapat dengan sikap
pengadilan Amerika Serikat, bahwa seorang anggota direksi perseroan dalam
menjalankan tugasnya hanya bertanggung jawab apabila kelalaian yang
dilakukan adalah kelalaian berat (gross negligence). Meskipun demikian tidaklah
mudah untuk membedakan mana perbuatan hukum direksi yang bersifat
kelalaian ringan dan mana perbuatan direksi yang bersifat kelalaian berat, karena
penilaian tersebut merupakan sesuatu yang bersifat subjektivitas.
Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan terhadap Direksi selaku pengurus
perseroan terbatas antara lain:
1. Melakukan penahanan terhadap direksi selaku pengurus perseroan terbatas
(pasal 93 sampai dengan pasal 95 UU Kepailitan) ,
Pengadilan dengan putusan pernyataan pailit atau setiap waktu setelah itu, atas
usul hakim pengawas, permintaan kurator, atau atas permintaan seorang kreditor
atau lebih dan setelah mendengar hakim pengawas, dapat melakukan penahanan
terhadap terhadap direksi selaku pengurus perseroan pailit baik di rumah tahanan
negara (rutan) maupun di rumah Direksi tersebut, dibawah pengawasan jaksa
yang ditunjuk oleh hakim pengawas. Masa penahanan yang berlaku palin lama 30
hari terhitung sejak penahanan dilaksanakan dan dapat diperpanjang selama 30
hari oleh pengadilan atas usul hakim pengawas atau atas permintaan kurator atau
seorang kreditor lebih setelah mendengar hakim pengawas. Biaya penahanan
dibebankan kepada harta pailit sebagai utang harta pailit sebagai utang harta
pailit.
Pengadilan juga berwenang melepaskan direksi dari tahanan atas usul hakim
pengawas atau atas permohonan direksi (mewakili debitur pailit), dengan jaminan
13

uang dari pihak ketiga bahwa direksi (mewakili debitur pailit) setiap waktu akan
menghadap atas panggilan pertama.
2. Meminta kehadiran Direksi pada sesuatu perbuatan yang berkaitan dengan
harta pailit (pasal 96 UU Kepailitan)
Jika direksi yang ditahan, dalam hal diperlukan kehadiran kehadiran direksi pada
sesuatu perbutaan yag berkaitan dengan harta pailit maka direksi dapat diambil
dari tempat tahan tersebut atas perintah hakim pengawas. Perintah hakim
pengawas tersebut dilaksanakan oleh kejaksaan.
3. Direksi tidak boleh meninggalkan domisilinya (pasal 97 UU Kepailitan)
Selama kepailitan, direksi selaku pengurus PT tidak boleh meninggalkan
domisilinya tanpa izin dari hakim pengawas.
4. Direksi wajib menghadap hakim pengawas, kurator atau panitian kreditor
apabila dipanggil (pasal 110 ayat (1) UU Kepailitan)
Direksi selaku pengurus perseroan wajib menghadap hakim pengawas,
kurator/panitia kreditor apabila dipanggil untuk memberikan keterangan.
5. Direksi wajib hadir dalam rapat pencocokan piutang (pasal 121 ayat (1) dan
(2) UU Kepailitan)
Direksi selaku pengurus perseroan wajib hadir sendiri dalam rapat pencocokan
piuang agar dapat memberikan keterangan yang diminta oleh hakim pengawas
mengenai sebab kepailitan dan keadaan harta pailit. Kreditor juga dapat meminta
keterangan dari Direksi selaku pengurus PT mengenai hal-hal yang dikemukakan
melalui hakim pengawas.

14

2) Tanggung Jawab Dewan Komisaris atas Kepailitan Perseroan Terbatas


Pasal 115 mengatur sejauh mana tanggung jawab anggota DK atas kepailitan
Perseroan. Sekiranya Perseroan dinyatakan Pailit oleh Pengadilan Niaga, baik hal itu
terjadi atas permintaan sendiri oleh Direksi setelah mendapat persetujuan RUPS
melalui proses voluntary petition maupun oleh pihak ketiga melalui proses
involuntary petition.
a) Faktor yang menyebabkan anggota Dewan Komisrais Bertanggung Jawab
Atas Kepailitan Perseroan
Pasal 115 UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan bahwa
ikutnya anggota Dewan Komisaris bertanggung jawab atas Kepailitan Perseroan,
apabila terpenuhi persyaratan atau digantungkan pada faktor berikut:

Kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalian pengawasan yang


dilakukan Dewan Komisaris , Syarat atau faktor pertama yang dapat
menyeret anggota Dewan Komisaris selanjutnya disebut dengan DK ikut
memikul tanggung jawab atas kepailitan terjadi sebagai akibat kesalahan atau
kelalaian DK melaksanakan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada

pengurusan yang dilaksanakan Direksi.


Harta kekayaan perseroan tidak mencukupi membayar seluruh kewajiban ,
Syarat kedua ternyata harta pailit perseroan tidak mencukupi membayar
seluruh kewajiban Perseroan kepada para kreditor. Dalam hal demikian, setiap
anggota DK ikut bertanggung jawab scara tanggung renteng untuk membayar
kewajiban yang belum terlunasi dari harta kekayaan Perseroan. Tanggung
jawab secara tanggung renteng yang dijelaskan diatas berlaku juga bagi
anggota DK yang sudah tidak menjabat 5 (lima) tahun sebelum putusan
pernyataan pailit diucapkan, asal terpenuhi syarat yang dijelaskan diatas.

15

b) Faktor yang dapat menggugurkan tanggung jawab anggota Dewan


Komisaris atas kepailitan Perseroan
Pasal 115 ayat (3) memberi kemungkinan kepada anggota DK membebaskan diri dari
keikutsertaan bertanggungjawab pribadi dan solider atas kepailitan Perseroan. Syarat
yang dapat membebaskannya digantungkan pada faktor kemampuan membuktikan
hal-hal berikut ini:
a. Kepalilitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya
b. Telah melakukan tugas pengawasan dengan iktikad baik dan kehati-hatian untuk
kepentingan Perseroan dan sesuai maksud dan tujuan Perseroan
c. Tidak mempunyai kepentingan pribadi, langsung/tidak langsung atas tindakan
pengurusan oleh direksi yang mengakibatkan kepailitan
d. Telah memberikan nasihat ke direksi untuk mencegah terjadinya kepailitan
Syarat pembebasan tanggung jawab pribadi ini bersifat kumulatif bukan bersifat
alternatif. Oleh karena itu supaya dapat bebas dan lepas memikul tanggungjawab
kepailitan itu, anggota DK yang bersangkutan harus mampu membuktikan hal- hal
yang disebutkan pada a sampai dengan d.

1.5.

Akibat Hukum Putusan Pengadilan

Zainal Asikin, menguraikan beberapa akibat hukum dari putusan pailit. Hal yang
utama adalah dengan telah dijatuhkannyaputusan kepailitan, si debitur (si pailit)
kehilangan hak untuk melakukan pengurusan dan penguasaan atas harta bendanya.
Pengurusan dan penguasaan harta benda tersebut beralih ke tangan curator/Balai
Harta Peninggalan.
Namun, tidak semua harta bendanya akan beralih penguasaan dan pengurusannya ke
curator/ Balai Harta Peninggalan. Dikecualikan dari hal ini (kepalitan) adalah:
a) Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan sehubungan dengan
pekerjaannya, perlengkapannya yang dipergunakan oleh debitur dan keluarganya,
dan bahkan makanan untuk tiga puluh hari bagi debitur dan keluarganya.

16

b) Segala sesuatu yang diperoleh debitur dari pekerjaannya sendiri sebagai


penggajian suatu jabatan atau jasa, upah, uang tunggu, dan uang tunjangan, sejauh
yang dientukan oleh Hakim Pengawas
c) Uang diberikan kepada debitur untuk memenuhi kewajibannya member nafkah.
(pasal 22 UU No. 37 tahun 2004)
Si pailit masih diperkenankan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum apabila
dengan perbuatan hukum tersebut akan menambah harta kekayaannya. Apabila
ternyata di kemudian hari, perbuatan hukum itu merugikan kekayaan pailit, curator/
Balai Harta Peninggalan dapat mengumukakan pembatalan perbuatan hukum
tersebut. Pasal 36 UU No. 37 Tahun 2004 menentukan sebagai berikut:
a) Dalam hal pada saat penyataan pailit diucapkan, terdapat perjanjian timbale balik
yang belum atau sebagian dipenuhi, pihak yang mengadakan perjanjian dengan
debitur dapat meminta kepada curator untuk memeberikan kepastian tentang
kelanjutan pelaksanaan perjanjian tersebut dalam jangka waktu yang disepakati
oleh curator dan pihak tersebut.
b) Dalam hal tidak tercapainya kesepakatan antara pihak tersebut dengan curator
mengenai jangka waktu di atas, Hakim Pengawas yang akan menetapkan jangka
waktu tersebut.
c) Apabila dalam jangka waktu yang telah ditetapkan curator menyatakan
kesanggupannya, curator wajib memberikan jaminan atas kesanggupannya untuk
melaksanakan perjanjian tersebut. Sebaliknya, jika curator tidak memberikan
jawaban atau tidak bersedia melanjutkan pelaksanaan perjanjian, maka perjanjian
tersebut dinyatakan berakhir dan pihak yang bersangkutandapat menuntut ganti
rugi dan akan diberlakukan sebagai kreditor konkuren.
d) Apabila dalam perjanjian sebagaimana dimaksudkan di atas, telah diperjanjikan
untuk menyerahkan benda dagangan yang biasa diperdagangkan dalam jangka
waktu tertentu, dan pihak yang harus menyerahkan benda dagangan yang biasa
diperdagangkan dalam jangka waktu tertentu, dan pihak yang harus menyerahkan
benda tersebut belum menyerahkannya setelah putusan pailit dikeluarkan,

17

perjanjian tersebut menjadi hapus, dan dalam hal pihak lawan (yang mengadakan
perjanjian) dirugikan karena penghapusan perjanjian tersebut, yang bersangkutan
dapat mengajukan diri sebagai kreditor konkuren untuk mendapatkanganti rugi.
e) Dalam hal debitur telah menyewa suatu benda, baik curator maupun pihak yang
menyewakan barang/benda dapat menghentikan perjanjian sewa, dengan syarat
pemberitahuan penghentian dilakukan sebelum berakhirnya perjanjian sesuai
dengan adat istiadat setempat dalam jangka waktu paling singkat Sembilan puluh
hari. Jika pembayaran uang sewa telah dilakukan, pemberitahuan perjanjian sewa
tidak bisa dilakukan sebelum habisnya jangka waktu pembayaran sewa tersebut.
Sejak diputuskannya keadaan pailit, uang sewa dinyatakan sebagai boedel pailit.
f) Pekerja/buruh yang bekerja pada debitur dapat memutuskan hubungan kerja, atau
curator dapat menghentikan hubungan kerja dengan mengindahkan perjanjian
kerja dan peraturan yang berlaku, dengan pengertian bahwa hubungan kerja
tersebut dapat diputuskan dengan memberitahukan paling singkat 45 hari
sebelumnya. Sejak tanggal putusan pailit ditetapkan, upah kerja/buruh yang
terutang sebelum maupun sesudah pernyataan pailit dinyatakan sebagai utang
boedel pailit.
g) Warisan dan hibah yang selama kepailitan jatuh kepada debitur pailit, oleh curator
tidak

dapat

diterima

dengan

izin

Hakim

Pengawas,

kecuali

apabila

menguntungkan harta pailit.


h) Pembayaran suatu utang yang sudah jatuh tempo hanya dapat dibatalkan apabila
dibuktikan bahwa penerima pembayaran mengetahui bahwa permohonan
pernyataan pailit debitur sudah didaftarkan, atau dalam hal pembayaran utang
tersebut merupakan akibat dari persengkokolan antara debitor dengan kreditor
dengan maksud menguntungkan kreditor tersebut melebihi kreditor lainnya. Jika
pembayaran yang sudah diterima oleh pemegang surat pengganti atau surat atas
tunjuk karena memang sudah jatuh tempo, pembayaran tersebut tidak dapat
diambil kembali.
Selain itu, hal yang terpenting sebagai akibat hukum dijatuhkannya putusan
kepailitan, adalah hal-hal yang berkaitan dengan sebagai berikut:

18

a) Penghibahan. Dalam hal ini ditentukan bahwa hibah yang dilakukan debitur dapat
dimintakan pembatalan apabila curator dapat membuktikan bahwa pada saat
hibah tersebut dilakukan, debitur mengetahui atau patut mengetahui bahwa
tindakan tersebut akan mengakibatkankerugian bagi kreditor (pasal 44 UU No. 37
Th 2004
b) Pembayaran utang yang belum dapat ditagih (belum jatuh tempo), atau debitur
melakukan perbuatan yang tidak wajiib, perbuatan itu dapat dibatalkan demi
keselamatan harta pailit. Hal tersebut harus dibuktikan bahwa pada waktu
dilakukannya perbuatan tersebut, baik debitur maupun pihak ketiga mengetahui
bahwa perbuatannya (debitur) itu akan merugikan pihak kreditor (pasal 45 UU
No. 37 Th 2004).
1.6.

Berakhirnya Kepailitan

Dalam hal kepailitan terdapat upaya yang dapat dilakukan yaitu perlawanan, kasasi
ke Mahkamah Agung, dan Peninjauan Kembali terhadap keputusan pailit yang
mempunyai kekuatan hukum tetap. Proses pengurusan kepailitan dianggap telah
berakhir apabila telah terjadi hal-hal seperti berikut:
a) Akur atau perdamaian
Debitur pailit berhak untuk menawarkan suatu perdamaian kepada semua
kreditor. Rencana perdamaian tersebut wajib dibicarakan dan diambil keputusan
segera setelah selesainya pencocokan piutang. Keputusan rencana perdamaian
diterima apabila disetujui dalam rapat kreditor oleh lebih dari seperdua jumlah
kreditor konkuren yang hadir dalam rapat dan yang mewakili paling sedikit dua
pertiga dari jumlah seluruh piutang konkuren yang diakui atau untuk sementara
diakui oleh kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut.
Apabila lebih dari seperdua jumlah kreditor yang hadir dalam rapat kreditor dan
mewakili paling paling sedikit seperdua dari jumlah piutang kreditor yang
mempunyai hak suara menyetujui untuk menerima rencana perdamaian, dalam jangka

19

waktu paling sedikit delapan hari setelah pemungutan suara pertama diadakan, harus
diselenggarakan pemungutan suara kedua. Pada pemungutan suara kedua kreditor
tidak terikat pada suara yang dikeluarkan pada pemungutan suara pertama.
Dalam setiap rapat kreditor wajib dibuatkan berita acara yang ditandatangani oleh
Hakim Pengawas dan panitera pengganti.
Berita acara rapat tersebut harus memuat:

Isi perdamaian
Nama kreditor yang hadir dan berhak mengeluarkan suara dan menghadap
Suara yang dikeluarkan
Hasil pemungutan suara
Segala sesuatu yang terjadi dalam rapat (pasal 154 UU No. 37 Th 2004)

Setiap orang yang berkepentingan dapat melihat dengan Cuma-Cuma berita acara
rapat yang disediakan paling lambat tujuh hari setelah tanggal berakhirnya rapat di
Kepaniteraan Pengadilan.
Isi perdamaian yang termuat dalam berita acara perdamaian harus dimohonkan
pengesahan kepada pengadilan yang megeluarkan keputusan kepailitan. Pengadilan
harus mengeluarkan penetapan pengesahan paling lambat tujuh hari sejak dimulainya
sidang pengesahan.
Namun demikian, pengadilan wajib menolak pengesahan apabila:

Harta debitur, termasuk benda untuk mana dilaksanakan hak untuk menahan suatu

benda, jauh lebih besar daripada jumlah yang disetujui dalam perdamaian
Pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin

Perdamaian itu terjadi karena penipuan, atau persengkongkolan dengan satu atau
lebih kreditor, atau karena pemakaian upaya lain yang tidak jujur dan tanpa
menghiraukan apakah debitur atau pihak lain bekerja sama untuk mencapai
perdamaian. (pasal 159 ayat (2) UU No.37 Th 2004).

20

Selanjutnya, dalam hal permohonan pengesahan perdamaian ditolak, baik kreditor


yang menyetujui rencana perdamaian maupun debitur pailit, dalam jangka waktu
delapan hari setelah putusan pengadilan diucapkan dapat mengajukan kasasi.
Sebaliknya, dalam hal rencana perdamaian sisahkan atau dikabulkan, dalam jangka
waktu delapan hari setelah putusan pengadilan diucapkan dapat diajukan kasasi oleh:

Kreditor yang menolak perdamaian atau yang hadir pada saat pemungutan suara
Kreditor yang menyetujui perdamaian setelah mengetahui bahwa perdamaian
tersebut dicapai berdasarkan alasan yang tercantum dalam pasal 159 ayat (2) UU
No. 37 Th 2004 diatas

b) Insolvensi atas pemberesan harta pailit


Insolvensi merupakan fase terakhir kepailitan. Insolvensi adalah suatu kejadian di
mana harta kekayaan (boedel) pailit harus dijual lelang di muka umum, yang hasil
penjualannya akan dibagikan kepada kreditor sesuai dengan jumlah piutangnya yang
disahkan dalam akor.
Dengan adanya insolvensi tersebut, Zainal Asikin menulis bahwa curator/Balai Harta
Peninggalan mulai mengambil tindakan yang menyangkut pemberesan harta
pailit,yaitu:

Melakukan pelelangan atas seluruh harta pailit dan melakukan penagihan


terhadap piutang-piutang si pailit yang mungkin ada di tangan pihak ketiga, di
mana penjualan terhadap harta pailit itu dapat saja dilakukan di bawah tangan

sepanjang mendapat persetujuan dari Hakim Komisaris


Melanjutkan pengelolaan perusahaan si pailit apabila dipandang menguntungkan,

namun pengelolaan itu harus mendapat persetujuan Hakim Komisaris


Membuat daftar pembagian yang berisi: jumlah uang yang diterima dan
dikeluarkan selama kepailitan, nama-nama kreditor dan jumlah tagihan yang

disahkan, pembayaran yang akan dilakukan terhadap tagihan tersebut


Melakukan pembagian atas seluruh harta pailit yang telah dilelang atau
diuangkan itu.

21

Dengan demikian, apabila insolvensi sudah selesai dan para kreditor sudah
menerima piutangnya sesuai dengan yang disetujui, kepailitan itu dinyatakan
berakhir. Debitur kemudian akan kembali dala keadaan semula, dan tidak lagi
berada di bawah pengawasan curator/Balai Harta Peninggalan.

Akibat hukum secara umum yang terjadi yang disebabkan oleh putusan pailit adalah
terhadap harta debitur akan dilakukan sitaan umum, perikatan debitur yang dibuat
setelah putusan pailit tidak dapat dibayarkan oleh harta pailit, dan perbuatan hukum
yang dilakukan debitor sebelum putusan pailit diucapkan dapat dibatalkan oleh
pengadilan berdasarkan pada pasal 41 UU No 37 Tahun 2004.

II.2 Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)


2.1. Pengertian PKPU
PKPU adalah suatu masa yang diberikan oleh Hakim Pengadilan Niaga kepada
debitur dan kreditur untuk menegosiasikan cara-cara pembayaran utang debitur, baik
sebagian maupun selurunya termasuk apabila perlu merustrukturisasi utang tersebut.
Menurut Munir Fuady, PKPU adalah suatu periode waktu tertentu yang diberikan
oleh undang-undang melalui putusan pengadilan niaga, dimana dalam periode waktu

22

tersebut kepada kreditor dan debitur diberikan kesepakatan untuk memusyawarahkan


cara-cara pembayaran utang-utangnya dengan memberikan rencana perdamaian
(composition plan) terhadap seluruh atau sebagian utangnya itu, termasuk apabila
perlu merestrukturisasi utangnya tersebut
Pasal 212 Perpu Nomor 1 Tahun 1998 yang telah ditetapkan menjadi Undang-undang
Nomor 4 tahun 1998 (selanjutnya disebut UUK 1998) menyebutkan bahwa:
Debitur yang tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat
melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih,
dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud pada
umumnya untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran
seluruh atau sebagian utang kepada kreditur konkuren.
Dalam Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUKPKPU 2004) pasal 222 ayat
(2) dan (3) pada prinsipnya mengatur hal yang sama dengan UUK 1998, hanya dalam
UUK 1998 langsung menunjuk pada kreditur konkuren tetapi dalam UUKPKPU
2004 menunjuk pada Kreditur saja yang kemudian mencakup seluruh kreditur baik
yang diutamakan maupun tidak.
PKPU pada dasarnya adalah penawaran perdamaian dari debitur kepada para kreditur
dan PKPU itu merupakan pemberian kesempatan kepada debitur untuk melakukan
restrukturisasi utang-utangnya, yang meliputi pembayaran seluruh atau sebagian
utang kepada kreditur konkuren (Kartini Mulyadi, 1998: 1)
PKPU dapat diperintahkan oleh Hakim kepada debitur yang merasa tidak dapat
melakukan pembayaran utangnya yang sudah tiba waktu pelunasannya tetapi sanggup
bila waktu pembayarannya diperpanjang atau sanggup meneruskan pembayaran
setelah beberapa waktu yang akan datang (Andi Hamzah, 1986: 256).

23

PKPU adalah wahana Juridis Ekonomis yang disediakan bagi debitur untuk
menyelesaikan kesulitan finansialnya agar dapat melanjutkan kehidupannya.
Sesungguhnya PKPU adalah cara untuk menghindari kepailitan yang lazimnya
bermuara ada likuidasi harta kekayaan debitur. Bagi perusahaan, PKPU bertujuan
memperbaiki keadaan ekonomis dan kemampuan debitur membuat laba.
PKPU atau dikenal juga dengan istilah moratorium adalah suatu istilah hukum yang
digunakan untuk menunjukkan keadaan seorang debitur yang tidak mampu
melakukan pembayaran utangnya.
Dalam putusan PKPU terdapat dua tahap yaitu:

PKPU sementara
Pengadilan Niaga harus mengabulkan. Diberikan untuk jangka waktu maksimum
45 hari

PKPU tetap
PKPU tetap diberikan untuk jangka waktu maksimum 270hari, apabila hari ke 45
atau hari rapat kreditur tersebut belum dapat memberikan suara mereka terhadap
rencana tersebut.

2.2. Pihak-Pihak dalam PKPU


Para pihak yang terkait dalam PKPU antara lain adalah sebagai berikut :

Debitor Berdasarkan pada ketentuan pasal 1 angka 1 UU No. 37 Tahun


2004, yang dimaksud dengan debitor adalah orang yang mempunyai hutang
karena perjanjian atau Undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih
dimuka pengadilan. Sesuai dengan pasal 222 UU No. 37 tahun 2004, debitor
yang mempunyai lebih dari satu kreditor dapat mengajukan PKPU bila ia

24

tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar


utang-utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Maksud pengajuan
oleh debitor ini ialah untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi
tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor. Debitor
yang mengajukan ini dapat berupa debitor perorangan ataupun debitor badan

hukum
Kreditor , Berdasarkan pada ketentuan pasal 1 angka (2) UU No. 37 Tahun
2004, yang dimaksud dengan kreditor adalah orang yang mempunyai
piutang karena perjanjian atau Undang-undang yang dapat ditagih di
muka pengadilan.Kreditor dalam PKPU adalah :
a) Kreditor separatis , Diatur dalam pasal 56 UU No. 37 Tahun 2004. Yang
dimaksud dengan kreditor separatis adalah kreditur yang memiliki
jaminan hutang kebendaan (hak jaminan), seperti pemegang hak
tanggungan, hipotik, gadai, fidusia, dll.
b) Kreditor preferen , Berdasarkan pada pasal 1139 dan pasal 1149
KUHPer, yang dimaksud dengan kreditor preferen adalah kreditor yang
memiliki hak istimewa atau hak prioritas sesuai dengan yang diatur oleh
Undang-undang yang bersangkutan.
c) Kreditor konkuren , Berdasarkan pada Pasal 1131 jo. Pasal 1132 KUH
Perdata. Kreditor golongan ini adalah semua Kreditor yang tidak masuk
Kreditur separatis dan tidak termasuk Kreditur preferen. Berdasarkan pada
pasal 222 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004, kreditor yang memperkirakan
bahwa debitor tidak dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang
sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat memohon agar kepada debitor
diberi penundaan kewajiban pembayaran utang, untuk memungkinkan
debitor

mengajukan

rencana

perdamaian

yang

meliputi

tawaran

pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditornya.


Bank Indonesia Apabila debitor adalah sebuah bank, maka bank Indonesia
yang berwenang mengajukan PKPU. (Pasal 223 UU No. 37 Tahun 2004)

25

Badan pengawas pasar modal Apabila yang menjadi pihak debitor adalah
Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjamin, Lembaga

Penyimpanan dan Penyelesaian (Pasal 223 UU No. 37 Tahun 2004)


Menteri Keuangan Apabila yang menjadi debitor adalah perusahaan
asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, dan BUMN yang bergerak di

bidang kepentingan publik. (Pasal 223 UU No. 37 Tahun 2004)


Hakim pengawas , Selain mengangkat pengurus, setelah putusan PKPU
sementara dikabulkan oleh pengadilan maka pada saat itu juga diangkat
Hakim Pengawas. Tugas Hakim Pengawas ini pada dasarnya juga sama
dengan tugas Hakim Pengawas dalam kepailitan, yaitu mengawasi jalannya
proses PKPU. Apabila diminta oleh pengurus, Hakim pengawas dapat
mendengar saksi atau memerintahkan pemerinsaan oleh ahli untuk
menjelaskan keadaan yang menyangkut PKPU, dan saksi tersebut dipanggil
sesuai dengan ketentuan dalam Hukum Acara Perdata. Hakim Pengawas
setiap waktu dapat memasukkan ketentuan yang dianggap perlu untuk
kepentingan Kreditor berlangsungnya penundaan kewajiban pembayaran

utang tetap, berdasarkan:


a) Prakarsa Hakim Pengawas
b) Permintaan pengurus; atau
c) Permintaan satu atau lebih Kreditor.
Pengurus , Adapun dengan mengacu pada ketentuan yang terkandung dalam
pasal 234 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004, yang dapat menjadi pengurus
adalah : Perorangan yang berdomisili di Indonesia yang memiliki keahlian
khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus harta debitur. Telah terdaftar
pada departemen yang bersangkutan Pengurus harus independen dan tidak
memiliki benturan kepentingan dengan debitor atau kurator. (Pasal 234 ayat

(1) UU No. 37 Tahun 2004)


Panitia kreditor, Menurut Pasal 231, Pengadilan harus mengangkat panitia
kreditor apabila :
a) Permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang meliputi utang yang
bersifat rumit atau banyak kreditor; atau

26

b) Pengangkatan tersebut dikehendaki oleh kreditor yang mewakili paling


sedikit (satu per dua) bagian dari seluruh tagihan yang diakui. Dalam
menjalankan tugas dan kewajibannya, pengurus harus meminta saran dari

panitia kreditor ini.


Ahli, Setelah PKPU dikabulkan Hakim Pengawas dapat mengangkat satu atau
lebih ahli untuk melakukan pemeriksaan dan menyusun laporan tentang
keadaan harta Debitor dalam jangka waktu tertentu berikut perpanjangannya
yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas. Laporan ahli harus memuat pendapat
yang disertai dengan alasan lengkap tentang keadaan harta Debitor dan
dokumen yang telah diserahkan oleh Debitor serta tingkat kesanggupan atau
kemampuan Debitor untuk memenuhi kewajibannya kepada Kreditor, dan
laporan tersebut harus sedapat mungkin menunjukkan tindakan yang harus
diambil untuk dapat memenuhi tuntutan Kreditor

2.3. Prosedur Pengajuan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran


Utang (PKPU)
Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 peraturan kepailitan sudah lebih
lengkap mengatur masalah penundaan kewajiban debitur untuk membayar utangutangnya dengan maksud debitur yang memiliki itikad baik untuk menyelesaikan
seluruh atau sebagian utang-utangnya dengan cara damai. Keadaan tersebut disebut
keadaan surseance, yaitu dimana yang pailit dapat mengajukan permohonan
kepada pengadilan (niaga atau komersial) untuk suatu pengunduran umum dari
kewajibannya untuk membayar utang-utangnya dengan maksud untuk mengajukan
rencana perdamaian, baik seluruh atau sebagian utang kepada kreditur, keadaan
surseance dapat diajukan:
a. Harus persetujuan lebih setengah kreditur konkuren yang haknya diakuinya
atau sementara diakui. Hal ini diatur dalam pasal 229 UUK.

27

b. Hadir dan mewakili paling sedikit dua pertiga dari tagihan yang diakui atau
sementara diakui.
c. Persetujuan lebih dari setengah jumlah kreditur yang piutangnya dijamin
dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak anggunan
atas kebendaan lainnya yang hadir dan mewakili paling sedikit dua pertiga
bagian seluruh tagihan kreditur atau kuasanya yang hadir dalam sidang.
d. Diumumkan di dua Koran dan Berita Negara RI.
e. Apabila PKPU tetap disetujui, penundaan trsebut berikut perpanjangannya
tidak boleh melebihi 270 hari setelah putusan penundaan kewajiban
pembayaran hutang sementara diucapkan. Hal ini diatur dalam pasal 228 ayat
6 UUK.

Sedangkan keadaan insolventie, seperti dimaksud pasal 290 UU No.37 tahun 2004
adalah suatu keadaan debiur sudah sungguh-sungguh pailit atau tidak mampu lagi
untuk membayar utang-utangnya. Untuk hal ini kreditur diberi waktu dua bulan untuk
menggunakan hak khususnya terhadap keadaan insolventie tersebut.
1. Pengajuan permohonan PKPU dapat dilakukan oleh :
a. Debitur yang memiliki dua atau lebih kreditur dan memiliki setidaknya satu
utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih ;
b. Kreditur ;
c. Bank Indonesia dalam hal debitur adalah bank ;
d. Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM), dalam hal debitur adalah
perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian

e. Menteri Keuangan, dalam hal debitor adalah Perusahaan Asuransi,


Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) yang bergerak di bidang kepentingan publik.

2. Permohonan PKPU diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga di daerah


tempat kedudukan hukum Debitur dengan ketentuan :
28

a. Apabila debitur meninggalkan Negara Kesatuan Republik Indonesia,


maka pengadilan yang berhak untuk menjatuhkan

putusan atas

permohonan PKPU adalah pengadilan tempat kedudukan hukum


debitur terakhir menetap.
b. Apabila debitur merupakan persero suatu firma, maka yang dapat
menjatuhkan putusan atas permohonan PKPU adalah pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi kedudukan persero suatu firma tersebut.
c. Apabila debitur tidak berkedudukan di Negara Kesatuan Republik
Indonesia, tetapi bekerja dalam lingkup Negara Kesatuan Republik
Indonesia maka pengadilan yang berwenang adalah pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau kantor pusat
debitur bekerja.
d. Apabila debitur merupakan badan hukum, maka mennetukan
kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran
dasarnya sehingga dapat menentukan pengadilan yang berwenang
3.

untuk menjatuhakn putusan atas permohonan PKPU.


Permohonan PKPU ditandatangani oleh pemohon dan kuasa hukumnya
dengan memperhatikan ketentuan, sebagai berikut :
a. Apabila pemohon adalah debitur, maka permohonan harus disertai
daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang debitur beserta
surat bukti yang cukup.
b. Apabila pemohonan adalah kreditur, maka Pengadilan Niaga wajib
memanggil debitur melalui juru sita dengan surat kilat tercatat paling
lambat 7 (tujuh) hari sebelum siding. Pada siding tersbut, debitur
wajib mengajukan daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan
utang debitur beserta surat bukti yang cukup serta rencana perdamaian
jika ada.
c. Pada surat

permohonan

tersebut

dapat

dilampirkan

rencana

perdamaian.

29

Pemohonan PKPU dapat diajukan debitur, pada saat sebelum atau sesudah adanya
permohonan kepailitan terhadap debitur ke Pengadilan Niaga. Sehubungan dengan
hal ini ada kemungkinan bahwa permohonan kepailitan telag diterima oleh PN namun
belum diperiksa atau sedang dalam tahap diperiksa, muncul permohonan untuk PKPU
yang artinya Pengadilan Niaga menerima dua permohonan untuk debitur yang sama.
Untuk hal demikian, maka permohonan PKPU harus diputus terlebih dahulu.

Apabila situasi diatas terjadi, maka proses pemeriksaan permohonan kepailitan harus
ditunda oleh Hakim Pengadilan Negeri. Sehingga permohonan PKPU yang diajukan
setelah adanya permohonan kepailitan hanya bisa diputus apabila belum ada putusan
kepailitan yang diucapkan oleh Pengadilan Niaga. Sehingga apabila PKPU
diputuskan ditolak, sidang pemeriksaan permohonan Kepailitan tidak perlu diteruskan
dan debitur langsung dinyatakan pailit.
Masa jangka waktu PKPU sementara berakhir karena hal-hal berikut:
1. Kreditor konkuren tidak menyetujui pemberian PKPU tetap;
2. Pada saat batas waktu tiba, belum terjadi persetujuan tentang Rencana
Perdamaian antara debitur dan kreditur, dan bila ketentuan pasal 216
dikaitkan

dengan

pasal

217,

maka

diketahui

bahwa

selama

berlangsungnya sidang untuk memperoleh putusan PKPU tetap, PKPU


sementara terus berlaku (Sutan Remi Sjahdeini, 2002:333)
Pemberian PKPU dapat ditetapkan oleh pengadilan apabila:
1. Persetujuan lebih dari jumlah kreditor konkuren yang hadir dan
mewakili paling sedikit 2/3 bagian dari tagihan kreditur konkuren yang
hadir tersebut.

30

2. Persetujuan lebih dari jumlah kreditor dengan jaminan hak kebendaan


(gadai, fidusia, hak tanggungan, atau hipotik) yang hadir, dan mewakili
2/3 bagian tagihan kreditur yang hadir tersebut.
Pada hakikatnya, PKPU Tetap disetujui atau tidak, bukan tergantung pada Pengadilan
Niaga, melainkan berdasarkan kesepakatan antara debitur dan kreditur mengenai
rencana perdamaian. Pengadilan Niaga hanyalah memberikan keputusan untuk
mengesahkan dan mengkonfirmasi kesepakatan tersebut.
2.4.

Akibat Hukum dari Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Sejak diterimanya pemohonan penundaan kewajiban pembayaran hutang oleh


debitur, maka terjadilah beberapa akibat hukum terhadap debitur yang bersangkutan.
Akibat hukum tersebut adalah sebagai berikut :

Debitor Kehilangan Independensinya , Berbeda dengan kepailitan dimana


debitor menyerahkan kewenangan pengurusan harta kekayaan kepada kurator.
Dalam PKPU, kewenangan dalam kepengurusan harta tersebut masih berada
di tangan debitor itu sendiri. Hanya saja kebebasan debitor memang dibatasi
dengan keberadaan pengurus selaku pengawas (Pasal 240 UU No. 37 Tahun

2004).
Jika Debitur Telah Minta Dirinya Pailit, Dia Tidak Dapat Lagi Minta
Penundaan Pembayaran Hutang , Apabila dalam persidangan debitur sudah
langsung meminta dirinya untuk dipailitkan, maka ia tidak bisa lagi meminta

PKPU untuk dilaksanakan.


Jika Penundaan Pembayaran Hutang Berakhir, Debitur Langsung Pailit,
Berdasarkan pada Pasal 230 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004, Pengadilan
Niaga harus menyatakan debitur pailit selambat-lambatnya hari berikutnya
(tanpa hak untuk mengajukan kasasi atau peninjauan kembali) apabila :
Jangka waktu PKPU sementara berakhir karena kreditur konkuren tidak
menyetujui pemberian PKPU secara tetap. Perpanjangan PKPU telah
diberikan, akan tetapi sampai dengan tanggal batas terakhir penundaan
31

pembayaran hutang (maksimum 270 hari) belum juga tercapai persetujuan

terhadap rencana perdamaian.


Debitur Tidak Dapat Dipaksa Membayar Hutang dan Pelaksanaan
Eksekusi Ditangguhkan , Sesuai dengan ketentuan Pasal 242 ayat (1) UU
No. 37 Tahun 2004 bahwa selama berlangsungnya PKPU, maka debitur tidak
dapat dipaksa untuk membayar hutang-hutangnya serta semua tindakan
eksekusi yang telah dimulai guna mendapatkan pelunasan hutang tersebut

juga harus ditangguhkan.


Perkara yang Sedang Berjalan Ditangguhkan , Berdasarkan pada Pasal
243 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004, sebenarnya secara prinsip
PKPU tidak menghentikan perkara yang sudah mulai diperiksa ataupun
menghalangi pengajuan perkara yang baru. Akan tetapi, terhadap perkara yang
semata-mata mengenai tuntutan pembayaran suatu piutang yang telah diakui
oleh debitur, sementara kreditur tidak mempunyai kepentingan untuk
mendapatkan suatu putusan guna melaksanakannya kepada pihak ketiga
setelah dicatatnya pengakuan tersebut, maka hakim dapat menangguhkan

pengambilan keputusan mengenai hal tersebut hingga berakhirnya PKPU.


Debitur Tidak Boleh Menjadi Penggugat atau Tergugat, Berdasarkan pada
Pasal 243 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004, Debitur yang telah ditunda
kewajibannya pembayaran hutangnya tidak boleh beracara di peradilan baik
sebagai penggugat ataupun sebagai tergugat dalam perkara yang berhubungan

dengan harta kekayaannya, kecuali dengan bantuan dari pihak pengurus.


Penundaan Pembayaran Hutang Tidak Berlaku Bagi Kreditur Preferens,
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 244 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004
bahwa PKPU tidak berlaku bagi tagihan dari kreditur separatis, atau terhadap
tagihan yang diistimewakan terhadap barang-barang tertentu milik debitur.
Maka jelas bahwa terhadap debitur dengan hak istimewa, debitur juga harus
membayar hutangnya secara penuh. Apabila pembayaran hutang tidak
mencukupi dari jaminan tersebut, kreditur preferen masih mendapatkan

32

haknya sebagai kreditur konkuren, termasuk di dalamnya hak untuk

mengeluarkan suara selama PKPU.


Hak Retensi yang Dipunyai oleh Kreditur Tetap Berlaku, Bahwa terhadap
barang-barang yang ditahan oleh pihak kreditur wajib dikembalikan ke dalam
harta pailit dengan membayar terhadap hutang yang bersangkutan jika hal

tersebut menguntungkan harta pailit. (Pasal 245 UU No. 37 tahun 2004)


Dapat Dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja , Pasal 252 UU No. 37
Tahun 2004 mengatur tentang pemutusan hubungan kerja dalam hal PKPU.
Adapun ini ditujukan untuk membantu debitor dalam melangsungkan kegiatan
usahanya selama PKPU dilakukan.

2.5.

Berakhirnya PKPU

PKPU dapat berakhir, atas permintaan Hakim Pengawas, satu atau lebih Kreditur,
atau atas prakarsa Pengadilan dalam hal :
A. Karena kesalahan debitur
Sekalipun PKPU secara tetap telah disetujui baik oleh kreditur separatis maupun
konkuren, PKPU tersebut dalam prosesnya dapat diakhiri oleh pengadilan atas
inisiatif atau permohonan dari :
1) Hakim Pengawas
2) Pengurus Satu atau lebih kreditur
3) Pengadilan Niaga
Dengan alasan sebagai berikut :

Debitur melakukan pengurusan harta kekayaan dengan itikad buruk


Debitur mencoba merugikan kreditur
Debitur melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 226 ayat (1) UU No.
37 Tahun 2004, yaitu Karena melakukan pengurusan harta tanpa diberikan

kewenangan oleh pengurus


Debitur lalai melaksanakan tindakan-tindakan yang diwajibkan oleh pengadilan
niaga pada saat atau setelah PKPU ataupun lalai dalam melaksanakan tindakantindakan yang disyaratkan oleh para pengurus.

33

B. Keadaan harta debitor sudah tidak memungkinkan untuk melanjutkan


PKPU
Keadaan debitur sudah sedemikian rupa sehingga tidak bisa diharapkan lagi untuk
memenuhi kewajiban kepada kreditur.
C. Dicabut karena keadaan harta debitor sudah membaik Berdasarkan pada
pasal 259 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004,
Apabila selama berlangsungnya PKPU debitur sudah merasa bahwa keadaan
hartanya sudah membaik sehingga dia sudah dapat melakukan pembayaranpembayaran atas hutang-hutangnya, maka debitur tersebut dapat mengajukan
kepada pengadilan niaga agar penangguhan kewajiban pembayaran hutang
dicabut. Tetapi dalam pencabutannya, Pengadilan niaga juga akan memanggil
pengurus berkenaan dengan pengabulan permohonan pencabutan tersebut.
D. Karena tercapai perdamaian
Diatur dalam pasal 281 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004. Terjadi apabila rencana
persetujuan telah disetujui oleh kreditur konkuren dan kreditur separatis dan telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
E. Karena rencana perdamaian ditolak Diatur dalam pasal 289 UU No. 37 Tahun
2004. Terjadi apabila rencana perdamaian ditolak oleh kreditor separatis dan
kreditor konkuren.
F. Karena perdamaian tidak disahkan oleh pengadilan niagaDiatur dalam pasal
285 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004. Hal ini dapat terjadi apabila : Harta debitur,
termasuk hak retensi, jauh lebih besar dari jumlah yang disetujui dalam
perdamaian
G. Apabila pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin Perdamaian itu
tercapai karena adanya penipuan atau persekongkolan antara satu dengan lain
debitur, atau karena upaya-upaya tidak jujur yang lain Biaya yang telah
dikeluarkan oleh pengurus dan para ahli belum dibayar atau tidak diberikan
jaminan yang cukup untuk membayarnya.

34

H. Karena PKPU dibatalkan Diatur dalam pasal 291 ayat (2) UU No. 37 Tahun
2004. Terjadi karena debitur lalai dalam melaksanakan isi perdamaian yang telah
disepakati.
I. Masa PKPU terlampaui Diatur dalam pasal 230 ayat (1) UU No. 37 Tahun
2004. Apabila hingga batas waktu maksimal PKPU (270 hari), perdamaian belum
juga memperoleh kekuatan yang pasti
J. Tidak tercapai perdamaian Diatur dalam pasal 230 ayat (1) UU No. 37 Tahun
2004. Apabila sampai denga hari yang ke-270, rencana perdamaian belum juga
disetujui oleh para kreditur.
K. Karena PKPU secara tetap tidak disetujui oleh kreditur Diatur dalam pasal
230 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004. Proses PKPU dapat juga diakhiri apabila
setelah jangka waktu 45 hari (jangka waktu untuk penundaan sementara
kewajiban pembayaran hutang) para kreditur konkuren tidak menyetujui
diberikannya PKPU secara tetap.
Dalam hal PKPU diakhiri berdasarkan alasan-alasan tersebut maka demi hukum
debitur harus dinyatakan pailit dalam putusan yang sama. Dengan demikian pasal 11,
12, 13, dan pasal 14 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 berlaku mutatis
mutandis terhadap putusan pernyataan pailit sebagai akibat putusan pengakhiran
PKPU. Putusan pernyataan pailit sebagai akibat putusan pengakhiran PKPU harus
diumumkan sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam pasal 15 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.

II.3. Perbedaan antara Putusan Pengadilan atas PKPU dan Putusan Kepailitan
Tabel perbedaan putusan PKPU dan Kepailitan:
35

PERBEDAAN
Upaya hukum

PKPU
KEPAILITAN
Terhadap putusan PKPU Terhadap putusan atas
tidak

dapat

upaya

hukum

diajukan permohonan pernyataan


apapun pailit, dapat diajukan

(Pasal 235 ayat [1] UU kasasi ke Mahkamah


Kepailitan).

Agung (Pasal 11 ayat


[1] UU Kepailitan).

Putusan

berakhirnya

PKPU dapat diajukan Selain

itu

terhadap

kasasi pada MA. (pasal putusan


256)

atas

permohonan pernyataan
pailit

yang

memperoleh

telah
kekuatan

hukum tetap,
dapat

diajukan

peninjauan kembali ke
Mahkamah
(Pasal

Agung
14

UU

Kepailitan).
Hasil Putusan

Debitur akan diberikan Debitur diputus PAILIT


PKPU

tetap:

permohonan

apabila Debitur

dapat

PKPU memberikan tangkisan

diterima.

berupa:

Debitur akan diputuskan 1. Tidak ada utang


PAILIT :
apabila

PKPU

tetap 2. Utang belum jatuh

ditolak, jangka waktu

tempo

270hr selesai dan belum

36

tercapai

perdamaian, 3. Tidak

rencana

perdamaian

terdapat

lain

ditolak.
Yang melakukan

Pengurus

(Pasal

225 Kurator (Pasal 1 angka

pengurusan harta

ayat [2] dan ayat [3] UU 5, Pasal 15 ayat [1], dan

debitur

Kepailitan)

Pasal

16

UU

Kepailitan)
Jangka
penyelesaian

waktu Dalam
dan

PKPU,

PKPU Dalam

kepailitan,

perpanjangannya setelah

diputuskannya

tidak boleh melebihi 270 pailit oleh Pengadilan


(dua ratus tujuh puluh) Niaga, tidak ada batas
hari

setelah

PKPU
diucapkan

putusan waktu tertentu untuk


sementara penyelesaian

(Pasal

seluruh

228 proses kepailitan.

ayat [6] UU Kepailitan).

37

II.4. Tugas dan Kewenangan Kurator


4.1. Pengertian Kurator
Menurut UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (UUK dan PKPU), kurator adalah profesional yang diangkat oleh
Pengadilan Niaga untuk melakukan pengurusan dan pemberesan.Maksud pengurusan
disini yaitu mencatat, menemukan, mempertahankan nilai, mengamankan, dan
membereskan harta dengan cara dijual melalui lelang.
4.2. Tugas Kurator
Menurut Undang-Undang Kepailitan, yang menjadi hak, kewajiban, tanggung jawab
dan kewenangan khusus dari kurator sangat banyak, antara lain yang terpenting di
antaranya adalah sebagai berikut:
1) Tugas kurator secara umum adalah melakukan pengurusan dan/atau pemberesan
harta pailit (Pasal 67 ayat (1)) , Tugas ini sudah dapat dijalankannya, sejak tanggal
putusan pernyataan pailit dijatuhkan. Meskipun putusan tersebut belum inkracht,
yakni meskipun terhadap putusan tersebut masih diajukan kasasi dan/atau
peninjauan kembali (Pasal 112 ayat (1))
2) Seorang kurator yang ditunjuk untuk tugas khusus beradasarkan putusan
pernyataan pailit, berwenang untuk bertindak sendiri sebatas tugasnya (pasal 70A
ayat (3))
3) Dapat melakukan pinjaman (mengambil loan) dari pihak ketiga dengan syarat
bahwa pengambilan pinjaman tersebut semata-mata dilakukan dalam rangka
meningkatkan harta pailit (Pasal 67 ayat (2))
4) Terhadap pengambilan pinjaman dari pihak ketiga, dengan persetujuan Hakim
Pengawas, pihak kurator berwenang pula untuk membebani harta pailit dengan
hak tanggungan, gadai dan hak agunan lainnya (Pasal 67 ayat (3))
5) Kurator dapat menghadap pengadilan dengan seizin Hakim Pengawas kecuali
untuk hal-hal yang disebut dalam Pasal 36,38,39 dan 57 ayat (2) yang tidak
memerlukan izin dari Hakim Pengawas (Pasal 67 ayat (2) (5); Menjadi penggugat

38

atau tergugat berkenaan dengan gugatan yang berhubungan dengan harta pailit
(Pasal 24 ayat (1)); Mengambil alih perkara yang sedang berjalan (Pasal 26 ayat
(1) dan (27));
6) Kewenangan yang dimaksud dalam pasal 36 (perjanjian timbal balik);
7) Kewenangan untuk menjual agunan dari kreditur separatis setelah dua bulan
insolvensi (Pasal 57 ayat (2)); atau kurator menjualnya dalam masa stay (Pasal 56
ayat (3)). Ataupun membebaskan barang agunan dengan membayar kepada
kreditur separatis yang bersangkutan jumlah terkecil antara harga pasar dan
jumlah hutang yang dijamin dengan barang agunan tersebut (Pasal 57 ayat (3));
8) Kewenangan untuk melanjutkan usaha debitur yang dinyatakan pailit (atas
persetujuan panitia kreditur atau Hakim Pengawas jika tidak ada panitia kreditur)
walaupun terhadap putusan pernyataan pailit tersebut diajukan kasasi atau
peninjauan kembali (Pasal 95 ayat (1))
9) Kurator berwenang untuk mengalihkan harta pailit sebelum verifikasi (atas
persetujuan Hakim Pengawas) (Pasal 98);
10) Kewenangan untuk menerima atau menolak permohonan pihak kreditur atau
pihak ketiga untuk mengangkat penangguhan atau pasar barang agunan dan julah
uang dijamin dengan barang agunan tersebut (Pasal 57 ayat (3));
11) Hak kurator atas imbalan jasa (fee) yang ditetapkan dalam putusan pernyataan
pailit oleh hakim yang berlandaskan pada pedoman yang ditetapkan oleh Menteri
Kehakiman (Pasal 69 juncto Pasal 67D);
12) Kurator bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalainanya dalam
melaksanakan tugas-tugas pengurusan dan/atau pemberesan yang menyebabkan
kerugian terhadap harta pailit (Pasal 67C);
13) Kurator harus independen dan terbebas dari setiap bantuan kepentingan dengan
debitur atau kreditur (Pasal 13 ayat (3));
14) Kewajiban menyapaikan laporan tiga bulan kepada Hakim Pengawas mengenai
keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya (Pasal 70B);
15) Apabila telah ditetapkan hari pelelangannya, pelalangan dilanjutkan oleh kurator
atas beban harta pailit dengan kuasa dari Hakim Pengawas (Pasal 34).
16) Kurator dapat menghentikan ikatan sewa menyewa (Pasal 38); Sewa menyewa
yang dapat dihentikan karena debitur menyatakan pailit adalah jika debitur pailit

39

tersebut menyewa suatu barang dari pihak lain. Dalam hal ini baik kurator
ataupun pihak yang menyewakan barangnya sama-sama dapat memutuskan
hubungan sewa menyewa tersebut. untuk hal tersebut Undang-Undang
mensyaratkan agar dilakukan suatu pemberitahuan pengakhiran sewa (notice),
dengan jangka waktu sebagai berikut :
Jangka waktu dilihat kepada kebiasaan setempat, dan
Jangka waktu dilihat kepada pengaturannya dalam kontrak, atau
Jangka waktu dilihat kepada kelaziman untuk kontrak seperti itu, atau
Setidak-tidaknya jangka waktu tiga bulan dianggap sudah cukup.
Akan tetapi, jika sudah dibayar uang sewa di muka, sewa menyewa tersebut tidak
dapat diakhiri sampai dengan berakhirnya jumlah uang sewa yang dibayar di
muka tersebut.Sejak pernyataan pailit, segala uang sewa harus dibayar oleh
debitur merupakan hutang harta pailit (estate debt). Ketentuan tentang sewa
menyewa di atas berlaku jika yang menyewa barang tersebut adalah debitur pailit.
Akan tetapi, jika debitur pailit justru sebagai pihak yang menyewakan barangnya,
tidak ada pengaturannya dalam Undang-Undang Kepailitan, sehingga yang
berlaku adalah kontrak yang bersangkutan dan peraturan sewa menyewa pada
umumnya.

17) Kurator dapat memutuskan hubungan kerja dengan karyawannya (Pasal 39). Jika
setelah diputuskan pernyataan pailit, ada karyawan yang belerka pada debitur
pailit, maka baik karyawan maupun kurator sama-sama berhak untuk
memutuskan hubungan kerja. Namun demikian, untuk pemutusan hubungan kerja
tersebut diperlukan suatu pemberitahuan PHK (notice) dengan jangka waktu
pemberitahuan sebagai berikut :

40

Jangka waktu Pemberitahuan PHK yang sesuai dengan perjanjian kerja, atau
Jangka waktu tersebut sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku di

bidang ketenaga kerjaan, atau


Dapat di PHK dengan pemberitahuan minimal dalam jangka waktu enam
minggu.

Di samping itu, sama dengan uang sewa yang belum dibayar, maka sejak debitur
dinyatakan pailit, upah karyawan dianggap hutang harta pailit (estate debt),
sebagaimana diatur dalam pasal 39 Undang-Undang Kepailitan.
Ketentuang tentang PHK seperti tersebut di atas hanya berlaku jika pihak
karyawan yang bekerja pada debitur pailit. Jika debitu pailit yang menjadi
karyawan pada pihak lain, tidak ada pengaturannya dalam perundang-undangan
tentang kepailitan, sehingga untuk hal yang demikian sepenuhnya berlaku
perjanjian kerja dan perundang-undangan dibidang ketenagakerjaan.
18) Kurator dapat menerima waisan tetapi jika diterima, harus dilakukan pendaftaran
mengenai warisan tersebut (pasal 40 ayat (1)).
19) Kurator dapat menolak warisan dengan kuasa dari Hakim Pengawas (Pasal 40
ayat (2));
20) Barang-barang Berharga Milik Debitur Disimpan Oleh Kurator. Adalah wajr jika
kurator sangat berkepentingan terhadap barang-barang berharga milik debitur
pailit. Karena itu, kurator dianggap berwenang untuk menyimpannya dengan cara
yang dianggap paling aman. Misalnya emas, berlian, surat berharga disimpan oleh
kurator dalam safe deposit pada bank-bank. Akan tetapi Hakim Pengawas
berwenang pula untuk menentukan cara-cara penyimpanan oleh kurator tersebut,
vide Pasal 99 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan.
21) Kurator berkewajiban menjual harta pailit dalam rangka pemberesan, menjual
asset asset debitur pailit sebenarnya merupakan salah satu tugas utama dari
kreditur sesuai dengan prinsip Cash is the King. Penjualan asset debitur ini
(setelah insolvensi dan tidak dilakukan pengurusan harta debitur) tidak
memerlukan persetujuan siapa-siapa. Kecuali ditentukan lain dalam undang41

undang, seperti yang terdapat dalam Pasal 98 ayat (1) Undang-Undang


Kepailitan. Pasal 88 ayat (1) ini mensyaratkan adanya persetujuan Hakim
Pengawas dalam hal pengalihan aset debitur pailit untuk tujuan tujuan tertentu
dalam masa sebelum insolvensi.
Bagaimana cara menjual harta debitur pailit juga hal yang harus selalu
diperhatikan dalam proses pemberesan harta pailit. Untuk itu harus dilakukan
pertimbangan pertimbangan sebagai berikut :

Pertimbangan Yuridis , Tentunya agar pihak kurator yang menjual harta


debitur pailit tidak disalahkan, yang pertama sekali harus diperhatikan adalah
apa persyaratan yuridis terhadap tindakan tersebut. misalnya kapan dia harus
menjualnya, bagaimana prosedur menjual, apakah memerlukan izin tertentu,

undang-undang mana dan pasal berapa yang mengaturnya, dan sebagainya.


Pertimbangan Bisnis , Selain dari pertimbangan yuridis, kurator yang menjual
aset debitur juga harus memperhatikan pertimbangan bisnis. Bila perlu dapat
disewa para ahli untuk memberikan masukan masukan untuk bahan
pertimbangan bagi kurator. Fokus utama dari pertimbangan bisnis disini
adalah apakah dengan penjualan tersebut dapat dicapai harga yang setinggitingginya.

BAB III
Penutup
III.1. Kesimpulan
Kepailitan merupakan suatu proses dimana seorang debitur yang mempunyai
kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan,
dalam hal ini adalah pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat
membayar utangnya, Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai
dengan peraturan perundangan yang berlaku. Proses pengajuan permohonan pailit
42

diajukan oleh pengadilan yang berwenang yaitu pengadilan niaga yang berdomisili
daerah tempat kedudukan debitur itu berada. Pengajuan permohonan pailit diajukan
oleh kreditur sebagaimana yang diatur pada pasal 2 UU No 37 Tahun 2004.
Pengurus perseroan bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kepailitan
perseroan, jika kepailitan perseroan tersebut disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian
dari pengurus perseroan.
PKPU adalah suatu masa yang diberikan oleh Hakim Pengadilan Niaga kepada
debitur dan kreditur untuk menegosiasikan cara-cara pembayaran utang debitur, baik
sebagian maupun selurunya termasuk apabila perlu merustrukturisasi utang
tersebut.Permohonan PKPU diajukan oleh pemohon, apabila pemohon tersebut
adalah debitur maka bertujuan untuk suatu pengunduran umum dari kewajibannya
untuk membayar utang-utangnya dengan maksud untuk mengajukan rencana
perdamaian, baik seluruh atau sebagian utang kepada kreditur.
Perbedaan putusan pailit dengan putusan PKPU yaitu:
a. Dalam hal melakukan upaya hukum, terhadap putusan atas permohonan
pernyataan pailit, dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung (Pasal 11 ayat [1]
UU Kepailitan). Selain itu terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat diajukan peninjauan
kembali ke Mahkamah Agung (Pasal 14 UU Kepailitan). Sedangkan terhadap
putusan PKPU tidak dapat diajukan upaya hukum apapun (Pasal 235 ayat [1] UU
Kepailitan).
b. Dalam hal Kewenangan debitur, sejak tanggal putusan pernyataan pailit
diucapkan, debitur kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus
kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit (Pasal 24 ayat [1] UU Kepailitan).
Sedangkan dalam PKPU, debitur masih dapat melakukan pengurusan terhadap
hartanya selama mendapatkan persetujuan dari pengurus (Pasal 240 UU
Kepailitan).

43

c. Dalam hal jangka waktu penyelesaian, dalam kepailitan, setelah diputuskannya


pailit oleh Pengadilan Niaga, tidak ada batas waktu tertentu untuk penyelesaian
seluruh proses kepailitan. Sedangkan dalam PKPU, PKPU dan perpanjangannya
tidak boleh melebihi 270 (dua ratus tujuh puluh) hari setelah putusan PKPU
sementara diucapkan (Pasal 228 ayat [6] UU Kepailitan).

III.2. Saran
2. Permohonan PKPU dan kepailitan diajukan oleh pemohon hendaknya dengan
memiliki itikad yang baik, sehingga dapat menimbulkan saling percaya dalam
melakukan suatu kegiatan kerjasama yang dapat menguntungkan.
3. Prosedur pengajuan permohonan PKPU dan kepailitan dilakukan lebih sederhana
lagi agar tidak menimbulkan sengketa antar para pihak.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50c3529a6061f/perbedaan-antarakepailitan-dengan-pkpu, diakses pada tanggal 23 April 2014 pukul 06:04 WIB.


http://notariatundip2011.blogspot.com/2012/02/pengertian-pkpu-danpelaksanaannya.html, diakses pada tanggal 20 April 2014 pukul 10.00 WIB
http://sesukakita.wordpress.com/2012/05/30/kepailitan-dan-penundaan-kewajibanpembayaran-utang-pkpu, diakses pada tanggal 22 April 2014 pukul 20.00 WIB

44

http://click-gtg.blogspot.com/2009/12/prosedur-penundaan-kewajibanpembayaran.html, diakses pada tanggal 22 April 2014 pukul 20.00 WIB


http://bahankuliyah.blogspot.co.id/2014/05/hukum-kepailitan.html
http://rohanskasim.blogspot.co.id/2013/03/para-pihak-dalam-kepailitan.html , diakses
pada tanggal Kamis, 21 Maret 2013
http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-kurator-tugas-kewajiban.html

45

Anda mungkin juga menyukai