Anda di halaman 1dari 28

DAFTAR ISI

1. Pendahuluan.............................................................................................
a. Latar Belakang................................................................................................................
b. Tujuan...............................................................................................................................
2. Kemitraan Terpadu.....................................................................................
a. Organisasi........................................................................................................................
b. Pola Kerjasama...............................................................................................................
c. Mekanisme Proyek Kemitraan Terpadu......................................................................
d. Perjanjian Kerjasama..................................................................................................
3. Aspek Pemasaran.....................................................................................
a. Permintaan Luar Negeri..............................................................................................
b. Permintaan Dalam Negeri..........................................................................................
4. Aspek Produksi........................................................................................
a. Kesesuaian Lahan.........................................................................................................
b. Tanah dan Bibit.............................................................................................................
c. Pemeliharaan Tanaman...............................................................................................
5. Aspek Keuangan......................................................................................
a. Kebutuhan Modal Usaha.............................................................................................
b. Sumber Dana................................................................................................................
c. Kelayakan Finansial......................................................................................................
6. Aspek Sosial Ekonomi dan Dampak Lingkungan...........................................
a. Aspek Sosial Ekonomi.................................................................................................
b. Dampak Lingkungan....................................................................................................
7. Penutup..................................................................................................
a. Kesimpulan....................................................................................................................
b. Saran...............................................................................................................................
LAMPIRAN...................................................................................................

1. Pendahuluan
a. Latar Belakang
Tanaman ubi kayu (Manihotutikisima) memiliki berbagai varitas atau klonyang
dapat langsung dikonsumsi sebagai makanan atau menjadi bahan baku bagi
industri tapioka dan gapiek (manihok) ataupun tepung gapiek, yang
selanjutnya dipergunakan untuk berbagai macam industri seperti makanan,
makanan ternak, kertas, kayu lapis dan tainnya. Berdasarkan potensi fisik

seperti kesesuaian lahan, iklim, sumberdaya manusia, dan tingkat adaptasi


teknologi, tanaman ubi kayu banyak didapatkan dan bisa dibudidayakan di
banyak tempat/lokasi di Indonesia sehingga memungkinkan untuk diusahakan
oleh para petani secara luas.
Hasil olahan ubi kayu berupa tapioka dan gapiek (manihok) dalam bentuk
chips, pellet ataupun lainnya, telah lama menjadi komoditi ekspor yang sangat
penting dalam menyumbang pendapatan devisa, karenanya merupakan aset
yang sangat berharga dan perlu dijaga kelestariannya sehingga dapat
dimanfaatkan untuk pengembangan ekspor pada masa-masa selanjutnya.
Pengalaman petani menunjukkan bahwa penanaman ubi kayu sering tidak
membuahkan hasil yang cukup baik untuk keluarga, karena keadaan tata
niaga kayu yang banyak dipengaruhi oleh fluktusi harga sehingga merugikan
petani. Pada saat menjelang tanam, harga ubi kayu biasanya terlihat sangat
menarik sehingga banyak petani berusaha menanamnya. Akan tetapi pada
saat panen harga kayu kemudian jatuh sehingga banyak merugikan petani
(berdasarkan data yang ada kapasitas pabrik dan potensi ekspor masih lebih
besar dari jumlah produksi). Kondisi ini telah mendorong banyak petani untuk
mengalihkan perhatian dan berusaha menanam komoditi seperti kelapa sawit.
Di sisi lain, apabila hal ini terus dibiarkan, akan bisa berakibat turunnya
produksi yang dapat menekan pasokan ubi kayu baik untuk keperluan ekspor
ataupun konsumsi sawit dalam negeri.
Lemahnya posisi petani ubi kayu dalam menghadapi pengaruh fluktuasi harga,
terutama disebabkan karena ubi kayu memiliki daya simpan yang rendah,dan
produktifitasnya juga rendah akibat modal usaha yang sangat terbatas,
disamping kebutuhan keluarga yang sudah sangat mendesak. Pendapatan
petani ubi kayu akan makin rendah lag! karena pada saat dijual ke pabrik
mendapatkan mutu ubi kayunya rendah dan rafaksi yang ditentukan secara
sepihak oleh pabrik.
Berdasarkan keadaan yang ada, maka salah satu alternatif untuk meng
antisipasi masalah tersebut di atas, adalah dengan upaya mengadakan
kerjasama antara para petani produsen ubi kayu di satu pihak dengan
pengguna/pemakai ubi kayu (baik dengan kapasitas pabrik yang cukup besar,
maupun dengan kapasitas pabrik yang sedang) di pihak lain, sehingga dapat
diciptakan bentuk kerjasama kemitraan dengan tata niaga yang saling
menguntungkan bagi kedua belah pihak. Untuk mendukung kelancaran
kemitraan ini, para petani memerlukan dukungan permodalan untuk keperluan
penanaman ubi kayu, di mana bank pelaksana dapat berperan dengan
memberikan kredit dengan skim kredit yang sesuai.
Secara teknis upaya mengembangkan budidaya ubi kayu harus diikuti dengan
adanya upaya untuk mengubah/memperbaiki teknik budidaya yang selama ini
masih konvensional menjadi teknik budidaya yang intensif. Hal ini dapat
dicapai dengan lebih memantapkan penataan teknologi produksi mulai dari
persiapan
lahan,
pengolahan
lahan,
penggunaan
varietas
unggul,

pemeliharaan tanaman, Panen dan pasca panen serta distribusi pemasaran


hasil. Para petani diharapkan dapat meningkatkan keterampilan teknis
budidaya ini dengan adanya peran pembinaan yang diberikan oleh pihak mitra.
Dalam uraian selanjutnya yang akan dibahas dalam Model Kelayakan
Kemitraan Terpadu ini adalah pengembangan ubi kayu secara monokultur dan
dilakukan secara intensif, dan produknya sebagai bahan baku untuk
Perusahaan Tepung Tapioka ataupun Perusahaan eksportir gaplek/chips.
Dengan budidaya ubi kayu secara monokultur ini, diharapkan petani akan
betul-betui mengerjakan kebunnya dengan seintensif mungkin, karena hasil
ubi kayu ini akan merupakan satu-satunya komoditas andalannya, walaupun
sebenarnya pada saat vegetatif dapat dilakukan tumpang sari dengan
komoditas lain seperti dengan jagung, kedele, kacang tanah dan tanaman
palawija lainnya.
b. Tujuan
Tujuan pembuatan model kelayakan proyek kemitraan terpadu komoditas ubi
kayu ini adalah untuk : (1). Memberikan gambaran umum bagi perbankan
yang berminat untuk membiayai usaha budidaya ubi kayu, dengan skim kredit
yang sesuai dan cukup aman, karena pasar sudah terjamin, (2). Kredit yang
disalurkan dapat mencapai sasaran, dan (3). Pengembalian kredit diharapkan
akan lancar, karena adanya keterlibatan berbagai pihak terkait. Secara rinci
tujuan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Menyediakan suatu referensi bagi perbankan tentang kelayakan
budidaya tanaman ubi kayu yang ditinjau dari sisi prospek/kelayakan
pasar, kelayakan teknis budidaya yang dilaksanakan dengan penerapan
teknologi yang lebih maju, kelayakan dari sisi keuangan, terutama
bilamana sebagian dari biaya produksi yang diperlukan akan dibiayai
dengan kredit perbankan. Begitu juga pengorganisasian pelaksanaan
proyeknya dapat menjamin kelancaran pelaksanaan dan menjamin
keuntungan semua pihak;
2. Dengan demikian, tujuan dalam mengembangkan usaha kecil melalui
peningkatan mutu budidaya tanaman ubi kayu tercapai sasarannya yang
ditempuh melalui peningkatan realisasi kredit yang cocok untuk usaha
kecil, meningkatkan keamanan pelaksanaan kreditnya, meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan petani ubi kayu;
3. Mendorong perluasan budidaya ubi kayu serta meningkatkan produksi
tepung tapioka dan gaplek/chips secara nasional untuk keperluan Dalam
Negeri dan ekspor karena bahan baku ubi kayu dapat diusahakan cukup
tersedia secara berkesinambungan.
2. KEMITRAAN TERPADU

a. Organisasi
Proyek Kemitraan Terpadu (PKT) adalah suatu program kemitraan terpadu
yang melibatkan usaha besar (inti), usaha kecil (plasma) dengan melibatkan
bank sebagai pemberi kredit dalam suatu ikatan kerja sama yang dituangkan
dalam nota kesepakatan. Tujuan PKT antara lain adalah untuk meningkatkan
kelayakan plasma, meningkatkan keterkaitan dan kerjasama yang saling
menguntungkan antara inti dan plasma, serta membantu bank dalam
meningkatkan kredit usaha kecil secara lebih aman dan efisien.
Dalam melakukan kemitraan hubunga kemitraan, perusahaan inti (Industri
Pengolahan atau Eksportir) dan petani plasma/usaha kecil mempunyai
kedudukan hukum yang setara. Kemitraan dilaksanakan dengan disertai
pembinaan oleh perusahaan inti, dimulai dari penyediaan sarana produksi,
bimbingan teknis dan pemasaran hasil produksi.
Proyek Kemitraan Terpadu ini merupakan kerjasama kemitraan dalam bidang
usaha melibatkan tiga unsur, yaitu (1) Petani/Kelompok Tani atau usaha kecil,
(2) Pengusaha Besar atau eksportir, dan (3) Bank pemberi KKPA.
Masing-masing pihak memiliki peranan di dalam PKT yang sesuai dengan
bidang usahanya. Hubungan kerjasama antara kelompok petani/usaha kecil
dengan Pengusaha Pengolahan atau eksportir dalam PKT, dibuat seperti halnya
hubungan antara Plasma dengan Inti di dalam Pola Perusahaan Inti Rakyat
(PIR).
Petani/usaha
kecil
merupakan
plasma
dan
Perusahaan
Pengelolaan/Eksportir sebagai Inti. Kerjasama kemitraan ini kemudian menjadi
terpadu dengan keikut sertaan pihak bank yang memberi bantuan pinjaman
bagi pembiayaan usaha petani plasma. Proyek ini kemudian dikenal sebagai
PKT yang disiapkan dengan mendasarkan pada adanya saling berkepentingan
diantara semua pihak yang bermitra.
1. Petani Plasma
Sesuai keperluan, petani yang dapat ikut dalam proyek ini bisa terdiri atas (a)
Petani yang akan menggunakan lahan usaha pertaniannya untuk penanaman
dan perkebunan atau usaha kecil lain, (b) Petani /usaha kecil yang telah
memiliki usaha tetapi dalam keadaan yang perlu ditingkatkan dalam untuk itu
memerlukan bantuan modal.
Untuk kelompok (a), kegiatan proyek dimulai dari penyiapan lahan dan
penanaman atau penyiapan usaha, sedangkan untuk kelompok (b), kegiatan
dimulai dari telah adanya kebun atau usaha yang berjalan, dalam batas masih
bisa ditingkatkan produktivitasnya dengan perbaikan pada aspek usaha.
Luas lahan atau skala usaha bisa bervariasi sesuai luasan atau skala yang
dimiliki oleh masing-masing petani/usaha kecil. Pada setiap kelompok
tani/kelompok usaha, ditunjuk seorang Ketua dan Sekretaris merangkap
Bendahara. Tugas Ketua dan Sekretaris Kelompok adalah mengadakan

koordinasi untuk pelaksanaan kegiatan yang harus dilakukan oleh para petani
anggotanya, didalam mengadakan hubungan dengan pihak Koperasi dan
instansi lainnya yang perlu, sesuai hasil kesepakatan anggota. Ketua kelompok
wajib menyelenggarakan pertemuan kelompok secara rutin yang waktunya
ditentukan berdasarkan kesepakatan kelompok.
2. Koperasi
Para petani/usaha kecil plasma sebagai peserta suatu PKT, sebaiknya menjadi
anggota suata koperasi primer di tempatnya. Koperasi bisa melakukan
kegiatan-kegiatan untuk membantu plasma di dalam pembangunan
kebun/usaha sesuai keperluannya. Fasilitas KKPA hanya bisa diperoleh melalui
keanggotaan koperasi. Koperasi yang mengusahakan KKPA harus sudah
berbadan hukum dan memiliki kemampuan serta fasilitas yang cukup baik
untuk keperluan pengelolaan administrasi pinjaman KKPA para anggotanya.
Jika menggunakan skim Kredit Usaha Kecil (KUK), kehadiran koperasi primer
tidak merupakan keharusan
3. Perusahaan Besar dan Pengelola/Eksportir
Suatu Perusahaan dan Pengelola/Eksportir yang bersedia menjalin kerjasama
sebagai inti dalam Proyek Kemitraan terpadu ini, harus memiliki kemampuan
dan fasilitas pengolahan untuk bisa menlakukan ekspor, serta bersedia
membeli seluruh produksi dari plasma untuk selanjutnya diolah di pabrik dan
atau diekspor. Disamping ini, perusahaan inti perlu memberikan bimbingan
teknis usaha dan membantu dalam pengadaan sarana produksi untuk
keperluan petani plasma/usaha kecil.
Apabila Perusahaan Mitra tidak memiliki kemampuan cukup untuk mengadakan
pembinaan teknis usaha, PKT tetap akan bisa dikembangkan dengan
sekurang-kurangnya pihak Inti memiliki fasilitas pengolahan untuk diekspor,
hal ini penting untuk memastikan adanya pemasaran bagi produksi petani atau
plasma. Meskipun demikian petani plasma/usaha kecil dimungkinkan untuk
mengolah hasil panennya, yang kemudian harus dijual kepada Perusahaan Inti.
Dalam hal perusahaan inti tidak bisa melakukan pembinaan teknis, kegiatan
pembibingan harus dapat diadakan oleh Koperasi dengan memanfaatkan
bantuan tenaga pihak Dinas Perkebunan atau lainnya yang dikoordinasikan
oleh Koperasi. Apabila koperasi menggunakan tenaga Penyuluh Pertanian
Lapangan (PPL), perlu mendapatkan persetujuan Dinas Perkebunan setempat
dan koperasi memberikan bantuan biaya yang diperlukan.
Koperasi juga bisa memperkerjakan langsung tenaga-tenaga teknis yang
memiliki keterampilan dibidang perkebunan/usaha untuk membimbing
petani/usaha kecil dengan dibiayai sendiri oleh Koperasi. Tenaga-tenaga ini
bisa diberi honorarium oleh Koperasi yang bisa kemudian dibebankan kepada
petani, dari hasil penjualan secara proposional menurut besarnya produksi.

Sehingga makin tinggi produksi kebun petani/usaha kecil, akan semakin besar
pula honor yang diterimanya.
4. Bank
Bank berdasarkan adanya kelayakan usaha dalam kemitraan antara pihak
Petani Plasma dengan Perusahaan Perkebunan dan Pengolahan/Eksportir
sebagai inti, dapat kemudian melibatkan diri untuk biaya investasi dan modal
kerja pembangunan atau perbaikan kebun.
Disamping mengadakan pengamatan terhadap kelayakan aspek-aspek
budidaya/produksi yang diperlukan, termasuk kelayakan keuangan. Pihak bank
di dalam mengadakan evaluasi, juga harus memastikan bagaimana
pengelolaan kredit dan persyaratan lainnya yang diperlukan sehingga dapat
menunjang keberhasilan proyek. Skim kredit yang akan digunakan untuk
pembiayaan ini, bisa dipilih berdasarkan besarnya tingkat bunga yang sesuai
dengan bentuk usaha tani ini, sehingga mengarah pada perolehannya
pendapatan bersih petani yang paling besar.
Dalam pelaksanaanya, Bank harus dapat mengatur cara petani plasma akan
mencairkan kredit dan mempergunakannya untuk keperluan operasional
lapangan, dan bagaimana petani akan membayar angsuran pengembalian
pokok pinjaman beserta bunganya. Untuk ini, bank agar membuat perjanjian
kerjasama dengan pihak perusahaan inti, berdasarkan kesepakatan pihak
petani/kelompok tani/koperasi. Perusahaan inti akan memotong uang hasil
penjualan petani plasma/usaha kecil sejumlah yang disepakati bersama untuk
dibayarkan langsung kepada bank. Besarnya potongan disesuaikan dengan
rencana angsuran yang telah dibuat pada waktu perjanjian kredit dibuat oleh
pihak petani/Kelompok tani/koperasi. Perusahaan inti akan memotong uang
hasil penjualan petani plasma/usaha kecil sejumlah yang disepakati bersama
untuk dibayarkan langsung kepada Bank. Besarnya potongan disesuaikan
dengan rencana angsuran yang telah dibuat pada waktu perjanjian kredit
dibuat oleh pihak petani plasma dengan bank.
b. Pola Kerjasama
Kemitraan antara petani/kelompok tani/koperasi dengan perusahaan mitra,
dapat dibuat menurut dua pola yaitu :
a. Petani yang tergabung dalam kelompok-kelompok tani mengadakan
perjanjian kerjasama langsung kepada Perusahaan Perkebunan/
Pengolahan Eksportir.

Dengan bentuk kerja sama seperti ini, pemberian kredit yang berupa
KKPA kepada petani plasma dilakukan dengan kedudukan Koperasi
sebagai Channeling Agent, dan pengelolaannya langsung ditangani oleh
Kelompok tani. Sedangkan masalah pembinaan harus bisa diberikan
oleh Perusahaan Mitra.
b. Petani yang tergabung dalam kelompok-kelompok tani, melalui
koperasinya mengadakan perjanjian yang dibuat antara Koperasi
(mewakili
anggotanya) dengan
perusahaan
perkebunan/pengolahan/eksportir.

Dalam bentuk kerjasama seperti ini, pemberian KKPA kepada petani


plasma dilakukan dengan kedudukan koperasi sebagai Executing Agent.
Masalah pembinaan teknis budidaya tanaman/pengelolaan usaha,
apabila tidak dapat dilaksanakan oleh pihak Perusahaan Mitra, akan
menjadi tanggung jawab koperasi.

Penyiapan Proyek Kemitraan Terpadu


Untuk melihat bahwa PKT ini dikembangkan dengan
proses kegiatannya nanti memperoleh kelancaran dan
dapat dilihat dari bagaimana PKT ini disiapkan.
mempergunakan KKPA untuk modal usaha plasma,
dari :

sebaiknya dan dalam


keberhasilan, minimal
Kalau PKT ini akan
perintisannya dimulai

a. Adanya petani/pengusaha kecil yang telah menjadi anggota koperasi


dan lahan pemilikannya akan dijadikan kebun/tempat usaha atau lahan

kebun/usahanya sudah ada tetapi akan ditingkatkan produktivitasnya.


Petani/usaha kecil tersebut harus menghimpun diri dalam kelompok
dengan anggota sekitar 25 petani/kelompok usaha. Berdasarkan
persetujuan bersama, yang didapatkan melalui pertemuan anggota
kelompok, mereka bersedia atau berkeinginan untuk bekerja sama
dengan perusahaan perkebunan/ pengolahan/eksportir dan bersedia
mengajukan permohonan kredit
(KKPA) untuk keperluan peningkatan usaha;
b. Adanya perusahaan perkebunan/pengolahan dan eksportir, yang
bersedia menjadi mitra petani/usaha kecil, dan dapat membantu
memberikan pembinaan teknik budidaya/produksi serta proses
pemasarannya;
c. Dipertemukannya
kelompok
tani/usaha
kecil
dan
pengusaha
perkebunan/pengolahan dan eksportir tersebut, untuk memperoleh
kesepakatan di antara keduanya untuk bermitra. Prakarsa bisa dimulai
dari salah satu pihak untuk mengadakan pendekatan, atau ada pihak
yang akan membantu sebagai mediator, peran konsultan bisa
dimanfaatkan untuk mengadakan identifikasi dan menghubungkan pihak
kelompok tani/usaha kecil yang potensial dengan perusahaan yang
dipilih memiliki kemampuan tinggi memberikan fasilitas yang diperlukan
oleh pihak petani/usaha kecil;
d. Diperoleh dukungan untuk kemitraan yang melibatkan para anggotanya
oleh pihak koperasi. Koperasi harus memiliki kemampuan di dalam
mengorganisasikan dan mengelola administrasi yang berkaitan dengan
PKT ini. Apabila keterampilan koperasi kurang, untuk peningkatannya
dapat diharapkan nantinya mendapat pembinaan dari perusahaan mitra.
Koperasi kemudian mengadakan langkah-langkah yang berkaitan
dengan formalitas PKT sesuai fungsinya. Dalam kaitannya dengan
penggunaan KKPA, Koperasi harus mendapatkan persetujuan dari para
anggotanya, apakah akan beritndak sebagai badan pelaksana
(executing agent) atau badan penyalur (channeling agent);
e. Diperolehnya rekomendasi tentang pengembangan PKT ini oleh pihak
instansi pemerintah setempat yang berkaitan (Dinas Perkebunan,
Dinas Koperasi, Kantor Badan Pertanahan, dan Pemda);
f.

Lahan yang akan digunakan untuk perkebunan/usaha dalam PKT ini,


harus jelas statusnya kepemilikannya bahwa sudah/atau akan bisa
diberikan sertifikat dan buka merupakan lahan yang masih belum jelas
statusnya yang benar ditanami/tempat usaha. Untuk itu perlu adanya
kejelasan dari pihak Kantor Badan Pertanahan dan pihak Departemen
Kehutanan dan Perkebunan.

c. Mekanisme Proyek Kemitraan Terpadu


Mekanisme Proyek Kemitraan Terpadu dapat dilihat pada skema berikut ini :

Bank pelaksana akan menilai kelayakan usaha sesuai dengan prinsip-prinsip


bank teknis. Jika proyek layak untuk dikembangkan, perlu dibuat suatu nota
kesepakatan (Memorandum of Understanding = MoU) yang mengikat hak dan
kewajiban masing-masing pihak yang bermitra (inti, Plasma/Koperasi dan
Bank). Sesuai dengan nota kesepakatan, atas kuasa koperasi atau plasma,
kredit perbankan dapat dialihkan dari rekening koperasi/plasma ke rekening
inti untuk selanjutnya disalurkan ke plasma dalam bentuk sarana produksi,
dana pekerjaan fisik, dan lain-lain. Dengan demikian plasma tidak akan
menerima uang tunai dari perbankan, tetapi yang diterima adalah sarana
produksi pertanian yang penyalurannya dapat melalui inti atau koperasi. Petani
plasma melaksanakan proses produksi. Hasil tanaman plasma dijual ke inti
dengan harga yang telah disepakati dalam MoU. Perusahaan inti akan
memotong sebagian hasil penjualan plasma untuk diserahkan kepada bank
sebagai angsuran pinjaman dan sisanya dikembalikan ke petani sebagai
pendapatan bersih.
d. Perjanjian Kerjasama
Untuk meresmikan kerja sama kemitraan ini, perlu dikukuhkan dalam suatu
surat perjanjian kerjasama yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak
yang bekerjasama berdasarkan kesepakatan mereka. Dalam perjanjian
kerjasama itu dicantumkan kesepakatan apa yang akan menjadi kewajiban
dan hak dari masing-masing pihak yang menjalin kerja sama kemitraan itu.

Perjanjian tersebut memuat ketentuan yang menyangkut kewajiban pihak


Mitra Perusahaan (Inti) dan petani/usaha kecil (plasma) antara lain sebagai
berikut :
1. Kewajiban
Perusahaan
Perkebunan/Pengolahan/Eksportir sebagai
mitra (inti)
a. Memberikan
bantuan
pembinaan
budidaya/produksi
dan
penaganan hasil;
b. Membantu petani di dalam menyiapkan kebun, pengadaan sarana
produksi (bibit, pupuk dan obat-obatan), penanaman serta
pemeliharaan kebun/usaha;
c. Melakukan pengawasan terhadap cara panen dan pengelolaan
pasca panen untuk mencapai mutu yang tinggi;
d. Melakukan pembelian produksi petani plasma; dan
e. Membantu petani plasma dan bank di dalam masalah pelunasan
kredit bank (KKPA) dan bunganya, serta bertindak sebagai avalis
dalam rangka pemberian kredit bank untuk petani plasma.
2. Kewajiban petani peserta sebagai plasma .
a. Menyediakan lahan pemilikannya untuk budidaya
b. Menghimpun diri secara berkelompok dengan petani tetangganya
yang lahan usahanya berdekatan dan sama-sama ditanami;
c. Melakukan pengawasan terhadap cara panen dan pengelolaan
pasca-panen untuk mencapai mutu hasil yang diharapkan;
d. Menggunakan sarana produksi dengan sepenuhnya seperti yang
disediakan dalam rencana pada waktu mengajukan permintaan
kredit;
e. Menyediakan sarana produksi lainnya, sesuai rekomendasi
budidaya oleh pihak Dinas Perkebunan/instansi terkait setempat
yang tidak termasuk di dalam rencana waktu mengajukan
permintaan kredit;
f. Melaksanakan pemungutan hasil (panen) dan mengadakan
perawatan sesuai petunjuk Perusahaan Mitra untuk kemudian
seluruh hasil panen dijual kepada Perusahaan Mitra ; dan
g. Pada saat pernjualan hasil petani akan menerima pembayaran
harga produk sesuai kesepakatan dalam perjanjian dengan
terlebih dahulu dipotong sejumlah kewajiban petani melunasi
angsuran kredit bank dan pembayaran bunganya.

3. Aspek Pemasaran
a. Permintaan Luar Negeri
Ubi kayu kering diperlukan untuk bahan pakan ternak dan banyak lainnya,
yang jumlah kebutuhan selama ini makin meningkat sejalan dengan
peningkatan populasi konsumen akhir dari ubi kayu tersebut. Untuk
mempertahankan pasar luar negeri yang telah dikuasai Indonesia dengan

jumlah yang semakin besar, maka kebutuhan terhadap ubi kayu untuk masamasa mendatang diperkirakan masih akan terus meningkat.
Perkembangan Ekspor
Ekspor ubi kayu Indonesia dilakukan dalam bentuk ubi kayu kering (gapiek
atau lainnya) dan tepung tapioka. Perkembangan ekspor ubi kayu dalam
bentuk kering (gapiek, chips atau tepung) selama tahun 1990 sampai tahun
1998 terlihat pada Tabel 1. dan Tabel 2. Dalam periode tersebut ekspor
terbesar terjadi pada Tahun 1993, selanjutnya perkembangan ekspor ubi kayu
ada kecenderungan makin turun. Berbagai hal menyangkut masalah tata niaga
yang berkaitan dengan peraturan ekspor (diterapkannya pembagian quota)
dan pola penyerapan produksi ubi kayu petani, dirasakan telah mempengaruhi
laju ekspor yang selanjutnya adalah juga produktivitas ubi kayu petani.
Tabel 1.
Ekspor Ubi Kayu Indonesia Tahun 1990-1998
>Total Ekspor (Kg)
Tahun
1990

Gaplek
597.329.412

Pelet
570.456.989

Bentuk Lain
3.315.094

1991

492.507.502

364.264.420

1.850.820

1992

368.868.865

501.304.110

3.235.648

1993

516.585.171

408.446.685

10.852.244

1994

386.024.532

298.829.708

1.184.831

1995

426.894.318

53.281.008

1.307.822

1996

290.039.080

93.610.152

4.941.434

1997

184.154.743

59.315.873

3.530.003

1998
194.616.294
24.770.000
2.017.583
Sumber : Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia. Ekspor. BPS.
Dikumpulkan dari Buku Tahun 1990 - 1998
Tabel 2.
Nilai Ekspor Ubi Kayu Indonesia Tahun 1990-1998

10

Total Ekspor (Kg)

Tahun
Gaplek

Tepung Tapioka

Bentuk Lain

1990

70.725.233

70.050.724

998.850

1991

53.728.693

50.476.797

755.643

1992

40.625.621

67.027.162

1.069.976

1993

47.906.448

42.625.199

1.084.136

1994

33.228.911

28.838.302

1.010.002

1995

59.763.831

6.123.001

633.576

1996

35.766.853

10.743.422

1.103.416

1997

16.172.507

5.564.969

991.832

1998

18.262.201

1.718.000

421.401

Berbeda dengan gapiek dan genusnya, total ekspor dalam bentuk tapioka
terlihat pernah mencapai titik tertinggi sebesar 82.191 ton dengan nilai
sebesar US 13,98 juta pada tahun 1993 (Tabel 3). Untuk tahun selanjutnya
jumlah ekspor kembali tidak menentu. Penurunan total ekspor yang drastis
pada tahun 1994 diimbangi dengan ekspor yang tinggi pada tahun 1995. Ini
terjadi mungkin karena adanya pergeseran masa panen akibat pengaruh iklim
dan adanya masalah penampungan ubi kayu petani dan pengolahannya yang
dikaitkan dengan kebijakan niaga pihak Pengusaha.
Tabel 3.
Ekspor Tapioka (Pati Ubi Kayu) Indonesia Tahun 1990-1997

Tahun

Total Ekspor
Gaplek

Pelet

1990

6.702.500

1.426.072

1991

4.506.500

1.320.175

1992

21.598.013

5.217.332

11

1993

82.191.450

13.982.712

1994

30.870.431

10.548.950

1995

17.923.865

5.575.430

1996
7.336.226
2.668.590
Sumber : Statistik Perdagangan Luar Negari Indonesia. Ekspor. BPS.
Dikumpulkan dari Buku Tahun 1990 - 1998
Jangkauan ekspor ubi kayu Indonesia telah mencapai berbagai Negara di Asia
dan Eropa, dengan ekspor terbesar ke Korea dan China (Tabel 4). Luasnya
negara tujuan ekspor di beberapa Negara Asia dan Eropa, menunjukkan bahwa
ekspor komoditi ini sebenarnya cukup potensial dan dapat dimanfaatkan untuk
pengembangan ekspor produksi ubi kayu pada masa yang akan datang.
Tabel 4.
Ekspor Tapioka (Pati Ubi Kayu) Indonesia Tahun 1997
Total Ekspor
(Dari Berbagai
Negara Tujuan

Bentuk) (kg)

Nilai Ekspor (FOB)


(US$)

Korea

120.797.083

12.125.792

China

67.502.292

5.473.891

Philppine

558.000

107.884

Malaysia

2.342.962

436.884

Vietnam

697.920

41.875

20.400.000

1.371.550

3.000.000

165.000

570.000

85.500

4.500.000

328.000

Japan

762.000

154.570

Singapore

247.000

53.106

Netherlands
Switzerlands
Taiwan
Germany

United Kingdom
26.600
57.399
Sumber: Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia. Ekspor. BPS 1997

12

b. Permintaan Dalam Negeri


Konsumsi Dalam Negeri ubi kayu dalam bentuk gapiek ataupun tapioka di
Indonesia, terutama diperlukan untuk kebutuhan pakan ternak, tekstil,
kerupuk dan berbagai bahan campuran bagi produk makanan lainnya yang
dibuat dari tepung. Bisa dibayangkan bahwa kebutuhan tepung ubi kayu
ataupun tapioka akan terus meningkat di Indonesia, sesuai dengan
peningkatan populasi konsumen.
Pemasaran Hasil Produksi Petani
Banyak masalah yang selama ini sering dihadapi para petani ubi kayu dalam
memasarkan produksinya, terutama sekali menyangkut harga, peran dan
tingkah para pengumpul, dan kebijakan yang dilakukan sendiri oleh para
Pengusaha Pabrik Pengolahan Ubi Kayu dan Eksportir.
a. Harga Jual Ubi Kayu
Harga jual ubi kayu ditingkat petani p@ Ubi Kayu/Eksportir yang mungkin juga
dipengaruhi oleh adanya kebijakan Pemerintah tentang kuota ekspor, serta
naik turunnya nilai dolar terhadap rupiah. Disamping itu bisa dipahami pula
bahwa bagi daerah-daerah penghasil ubi kayu untuk industri, para petani di
dalam mengadakan penanaman tidak mampu mengantisipasi daya serap pihak
pabrik pengolahan.
Melalui kemitraan antara Petani Ubi Kayu dengan Pengusaha Pabrik Pengolahan
dan Eksportir, para Pengusaha akan bisa menentukan kepastian jumlah
produksi yang mungkin ditampung dan luas tanam ubi kayu yang akan
dilaksanakan bersama mitra petaninya. Keadaan ini akan dapat mencegah
terjadinya produksi yang melimpah, dan apabila harga pasar yang terjadi lebih
tinggi dari tingkat harga itu disepakati untuk penentuan harga dasar bisa
dibuatkan kesepakatan yang tidak merugikan petani, dan apabila harga pasar
lebih tinggi dari kesepakatan harga itu akan dipergunakan sama dengan harga
pasar setempat.
b. Pedagang Pengumpul Perantara
Karena lokasi lahan petani yang terpencar jauh dari Pabrik Pengolahan Ubi
Kayu, maka banyak petani yang terpaksa menjual hasil panen ubi kayu kepada
para Pengumpul atau para Perantara yang datang ke tempat itu. Para
Pengumpul ini dengan kendaraan truk mengambil hasil panen petani untuk
dibawa ke pabrik dan ditimbang untuk menentukan beratnya. Banyak masalah
dalam penentuan berat timbangan ini, yang sering tidak memuaskan dan
dapat merugikan petani. Sementara pihak Pengumpul atau Perantara itu
sendiri sangat mengupayakan keuntungan dari peranannya itu.
Kejadian yang sangat merugikan petani adalah kalau dalam kondisi yang serba
tidak kecukupan, petani terpaksa memenuhi kebutuhannya dengan meminta

13

uang terlebih dahulu sebelum panen dari para Pengumpul atau para Perantara
ini. Dalam keadaan seperti ini, pada saat panen petani bisa jatuh berada pada
posisi yang lemah dalam hal penentuan harga dan berat timbangan hasil
panennya yang sering kali sangat merugikan petani ubi kayu, ditambah juga
dengan penentuan rafraksinya yang tidak transparan.
Untuk
memastikan
tingkat
pendapatan
petani
ubi
kayu
dalam
mempertimbangkan pemberian fasilitas kredit, jaminan mengenai kepastian
harga dan tingkat produksi tanaman petani diharapkan akan dapat diperoleh
melalui kemitraan yang didukung dengan perjanjian kerjasama dalam
mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pembinaan produksi, penanganan
hasil panen dan harga jual ubi kayu petani yang mantap.
c. Kebijakan Pengusaha Pabrik Pengolahan Ubi Kayu Tentang Harga Beli UbiKayu
Petani
Sering kali dialami bahwa kebijakan harga beli ubi kayu pada saat panen raya
sangat merugikan petani. Beberapa yang sering dikemukakan oleh pihak
Pengusaha adalah terbatasnya daya tampung fasilitas pabrik, dan kuota ekspor
yang diterapkan oleh Pemerintah.
Untuk menjaga agar jangan sampai terjadi produksi yang melimpah, melalui
kemitraan dalam rangka budidaya ubi kayu ini oleh Petani/Kelompok
Tani/Koperasi/KUD diharapkan bisa dipertimbangkan besarnya luas cakupan
kemitraan yang menyangkut luas tanam, jumlah petani peserta dan
produktivitas lahan, sehingga masalah harga bisa dijaga dan ditentukan harga
dasarnya sesuai kemampuan daya tampung produksi dan fasilitas ekspor yang
ada secara lokal dan nasional.
d.Pemasaran Ubi Kayu Petani Dalam Rangka Kemitraan
Dengan kemitraan terpadu antara para Petani dengan Pengusaha
Pengolahan/Ekspotir Ubi Kayu, para Petani menggunakan modal untuk
bercocok tanam ubi kayu dari fasilitas kredit. Kredit ini diberikan oleh Badan
pemberi kredit atas adanya peran serta pihak mitra Pengusaha yang ikut
menjamin keberhasilan usaha dan pelunasan kredit.
Untuk memastikan arus pelunasan kredit dan pembayaran bunganya, para
petani diharuskan melalui kesepakatan bersama menjual produksi ubi kayunya
kepada Pabrik Pengolahan milik mitra dengan harga yang ditetapkan dengan
mempertimbangkan terciptanya keuntungan bagi kedua belah pihak secara
wajar. Dari penjualan ini, Petani melalui Pengusaha mitra menyisihkan
sejumlah hasil penjualan ubi kayu yang harus dipergunakan untuk melunasi
kredit dan bunganya. Mekanisme ini diatur dalam Perjanjian Kerjasama seperti
contoh tertampir.

14

4. Aspek Produksi
Walaupun dalam budidaya tanaman ubi kayu ini pada umumnya dapat
dilakukan dengan menggunakan pola tumpang sari, dimana jagung, kacang
kedelai ataukacang-kacangan lainnya dmal. Ubi kayu merupakan tanaman
yang relatif lebih mudah ditanam dan tahan kekeringan dibandingkan dengan
tanaman pangan lainnya, sehingga apabila tujuannya untuk memaksimalkan
produksi ubi kayu, kesulitan mendapatkan waktu tanam yang cocok untuk
semua komoditi dalam pola tumpang sari dapat dihindarkan.
a. Kesesuaian Lahan
Ubi kayu merupakan tanaman yang mudah ditanam, dapat tumbuh di berbagai
lingkungan agroklimat tropis, walaupun tentunya tingkat produksinya akan
bervariasi menurut tingkat kesuburan dan ketersediaan air tanah. Ubi kayu
merupakan tanaman yang tahan di lahan kering, sedangkan pada lahan-lahan
dengan tingkat kesuburan tinggi, akan menyerap unsur hara yang banyak.
Produksi yang optimal akan dapat dicapai apabila tanaman mendapat sinar
matahari yang cukup, berada pada ketinggian sampai dengan 800 m dpi,
tanah gembur, dan curah hujan di antara 750 - 2.500 mm/tahun dengan bulan
kering sekitar 6 bulan.
Mengierupa umbi, maka hampir tidak ada kontribusinya terhadap struktur dan
kandungan unsur hara tanah, karena akar/umbi tanaman dicabut. Dengan
demikian kelestarian perkebunan ubi kayu memerlukan upaya khusus untuk
menjaga kelestarian lahan dengan memberikan kembali unsur hara tanah
berupa pupuk organik di samping pupuk buatan. Sisa tanaman sebaiknya
dicacah untuk dimasukkan kembali ke dalam tanah.
Mengingat nilai produksl dan kemudahan di dalam budidayanya, pola usaha ubi
kayu sering tidak menghasilkan pendapatan yang berarti bagi petani, apalagi
jika ditan bukan merupakan usaha pokok. Bagi petani yang tidak memiliki
modal usaha yang cukup, dengan hanya bermodalkan tenaga untuk mengolah
tanah, petani sudah dapat menanam ubi kayu karena bibitnya mudah didapat
dan murah. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa tanaman ubi kayu
dapat tumbuh di berbagai jenis tanah, tidak memerlukan persyaratan tanah
tertentu.
b. Tanah dan Bibit
Dalam pengolahan tanah diusahakan agar tanah tersebut menjadi cukup
gembur, karena pada tanah yang gembur, perakaran/umbi akan tumbuh
dengan optimal, akar akan mudah menembus tanah. Secara garis besar
persiapan lahan untuk tanaman ubi kayu dilakukan sebagai berikut:

Pembabatan tanaman perdu dan semak-semak serta rumput-

15

rumputan/alangalang dan gulma lainnya. Hal ini dikerjakan terutama


pada lahan yang baru dibuka, sedangkan pada lahan yang sudah biasa
ditanami dengan palawija, tanah dapat langsung dicangkul/dibajak.
Pengumpulan dan penyisihan batang tebangan, sedangkan bekas
rerumputan dicacah dan dimasukkan kedalam tanah.
Pembajakan/pencangkulan atau pentraktoran pertama
Pembajakan/pencangkulan
atau pentraktoran kedua dan
penggemburan
Pembuatan saluran pemasukan dan saluran pembuangan
Pembuatan guludan

Bibit dan Penanaman


Bibit dan Kegiatan produksi ubi kayu hendaknya tidak terlepas dari Panca
Usaha Pertanian, yaitu berupa penggunaan varitas unggul, bercocok tanam
yang baik, pemakaian pupuk, pemeliharaan tanaman, pengendaliahama dan
penyakit, serta penanganan panen dan pasca panen yang tepat.
Varitas unggul untuk produksi ubi kayu sebagai bahan industri tapioka dan
pellet/gapiek pada umumnya memiliki ciri produktivitas tinggi, rasa umbi pahit
dan kandungan patinya tinggi. Beberapa varitas ini yang sudah banyak
dikembangkan adalah varitas nasional Aldira II, Aldira IV dan varitas dari
Thailand Kasetsart 50. Sifat beberapa varitas ubi kayu Indonesia seperti pada
Tabel5. Kasetsart 50 pada uji coba di Umas Jaya, Lampung, mampu
memberikan hasil sampai 38,9 ton/ha. Sedangkan Malang-1 dan Ardira-4 pada
pengujian yang sama menghasilkan berturut-turut 41,7 ton/ha dan 36,9
ton/ha. Varitas-varitas unggul lainnya dapat dipilih dari varitas-varitas yang
telah dilepas oleh pihak Departemen Pertanian/Ditjen Tanaman Pangan, sesuai
anjuran Dinas Pertanian Tanaman Pangan setempat.
Setelah lahan diolah dengan sempurna, bibit berupa stek batang dengan
panjang kurang lebih 30 cm, ditanam dengan jarak tanam sekitar 100 x 80
cm, sehingga populasi tanaman untuk luasan 1 Ha mencapai sekitar 12.500
tanaman. Waktu penanaman dilakukan pada saat kelembaban tanah dalam
keadaan mencapai kapasitas lapang, yaitu biasanya pada saat musim hujan,
karena selama masa fase pertumbuhan tersebut ubi kayu memerlukan air
yang cukup.
Tabel 5.
Sifat Beberapa Varitas Ubi Kayu.

Varietas

Umur

Rata-rata

(Bulan)

Hasil
(Ton/ha)
Basah

Tinggi

Kadar

Warna

Batang

Tepung

Daging

(m)

(%)

Umbi

Rasa

16

Adira 1

- 10

22

1- 2

45

Kuning

Enak

Adira 2

- 12

22

2- 3

41

Putih

Agak Pahit
Agak Pahit

10,5 -

Adira 4

35

1.5 - 2.0

20

Putih
Enak

11,5
Malang 1

- 10

36.5

1.5 -3.0

34

Putih
Kekuningan

Malang 2

8 - 10

31.5

Darul

8 - 12

102

1. 5 -3.0
3.65

34
28

Enak

Kuning Muda Kenyal spt


ketan
Putih

Hidayah
Sumber : J. Wargiono. Ahli Peneliti Utama pada Puslitbang Tanaman Pangan
c. Pemeliharaan Tanaman
Kegiatan dalam pemeliharaan tanaman adatah menyulam, menyiang,
memupuk, membumbun, mengairi dan mengendalikan hama serta penyakit.
Secara rinci kegiatan pemeliharaan adalah sebagai berikut :
Penyulaman segera dilakukan pada umur 2 minggu setelah tanam. Apabila
bibit yang digunakan cukup baik, tanaman yang perlu disulam relatif sedikit,
kurang dari 5%. Adanya penyulaman yang tepat, akan memberikan
pertumbuhan tanaman yang lebih serempak/seragam.
Penyiangan paling banyak dilakukan cukup 2 kali, terutama pada saat tajuk
dari tanaman belum saling menutup. Penyiangan pertama dilakukan pada
umur kurang lebih sebulan setelah tanam, dan penyiangan kedua dilakukan
dua bulan kemudian. Kegiatan lainnya yang cukup penting adalah pemupukan
yang diberikan setelah tanam. Pemupukan pertama dilakukan setelah
penyiangan
pertama
bersama
dengan
mengadakan
pembumbunan.
Pemupukan kedua dilakukan pada waktu setelah penyiangan kedua, yang juga
terus diikuti dengan pembumbunan. Dosis pemupukan adalah sebagai
berikut :

TSP/SP 36 : 100 kg
KCl : 50 kg
Urea : 200 kg

Pengairan, mengingat ubi kayu ditanam di lahan kering, pada umumnya


pengairan hanya mengandalkan dari curah hujan, hanya kadang-kadang

17

apabila setelah terjadi hujan yang cukup deras, perlu memperhatikan


drainasinya.
Kegiatan pemeliharaan yang lain yaitu pengendalian hama dan penyakit,
namun sampai dengan saat ini khusus pada tanaman ubi kayu belum terjadi
adanya serangan hama dan penyakit yang serius, sehingga dapat dikatakan
tidak diperlukan pemberantasan hama dan penyakit.
d. Panen dan Pasca Panen
Jika dalam mencabut tersebut dirasakan susah, maka sebelumnya tanah
disekitar batang ubi kayu sebagian terlebih dahulu digali dengan cangkul, baru
setelah itu batang dicabut sampai umbinya terangkat semuanya. Kalau
masiada umbi yang tertinggal, karena patah/putus pada waktu pencabutan,
maka sisa umbi tadi diambil dengan digali dengan cangkul. Cara lain yaitu
dengan menggunakan tali/tambang yang dililitkan pada batang, lalu diungkit.
Umbi yang telah dicabut, lalu dipotong dari batangnya dengan parang/golok,
serta bagian tanah yang menempel dibuang akhirnya umbi tersebut ditumpuk
disatukan dengan umbi lainnya, dan siap diangkut ke tempat penyimpanan
atau langsung dipasarkan. Umur ubi kayu yang cocok dipanen berkisar antara
10 - 14 bulan setelah tanam. Kurang dari 10 bulan rendemen kadar patinya
rendah, begitu juga bila lebih dari 14 bulan akan mengayu dan juga kadar
patinya menurun pula. Hasil rata-rata per ha, dengan asumsi tiap batang
menghasilkan antara 2,5 - 4,0 kg, maka akan diperoleh hasil bersih antara 30
ton - 40 ton per ha umbi basah.
Batang umbi kayu setelah panen sebagian disiapkan sebagai bibit untuk
penanaman selanjutnya, sedangkan batang ubi kayu yang tidak dijadikan bibit,
hendaknya dipotong-potong/dicincang untuk dikembalikan lagi ke dalam
tanah/ dibenam agar lapuk dan terurai menjadi hara tanah dan memperbaiki
struktur tanah, sehingga kesuburan tanah relatif dapat dipertahankan. Karena
ubi kayu diambil hasilnya yang berupa umbi, maka praktis dengan dicabutnya
umbi tidak ada bagian tanaman yang berupa bahan organik tertinggal di dalam
tanah. Keadaan ini ditambah dengan sifat ubi kayu yang banyak menyerap
hara, maka apabila tidak ada upaya untuk mengembalikan sisa-sisa tanaman
ke dalam tanah, maka pengurasan hara tanah akan berjalan terus menerus
dan bisa mengakibatkan pengurusan tanah. Oleh karena itu sangat dianjurkan
diadakannya upaya mengembalikan sisa-sisa tanaman yang ada ke dalam
tanah dengan terlebih dahulu dicacah. Upaya lain dengan menghentikan
kegiatan tanam setelah lahan dipergunakan untuk tanaman ubi kayu lebih dari
2 kali, lahan bisa ditanami dengan tanaman kacang-kacangan atau diberakan
untuk memulihkan kesuburannya.

5. Aspek Keuangan
a. Kebutuhan Modal Usaha
Aspek keuangan untuk budidaya ubi kayu dihitung dengan asumsi :

18

Setiap pengusaha kecil memiliki dua hektar lahan yang siap dibudidayakan dan
bukan lahan hutan, sehingga tidak memerlukan biaya untuk land clearing.
Skim kredit yang digunakan dalam analisis ini didasarkan pada skim Kredit
Usaha Tani (KUT) dengan tingkat suku bunga 10,5% per tahun, KKPA dengan
tingkat suku bunga 16% per tahun, dan kredit umum yang dalam hal ini
dihitung menggunakan suku bunga 28% per tahun.
Khusus untuk skim kredit KKPA dan kredit komersil diberikan grace period
selama satu tahun atau tiga bulan, sebagai masa konstruksi.
Varietas ubi kayu yang digunakan adalah varietas unggul dengan produksi
rata-rata per hektar per tahun sekitar 35 ton.
Dalam analisis ini dibedakan atas biaya investasi untuk kegiatan pra-operasi
untuk keperluan sertifikasi lahan (yang mungkin masih diperlukan) yang
biasanya diminta oleh pihak Bank sebagai jaminan pinjaman, dan modal kerja
untuk kegiatan penanaman ubi kayu (persiapan lahan, pengadaan sarana
produksi, tanam dan pemeliharaan tanaman). Oleh karena proyek yang akan
dikembangkan ini akan memanfaatkan pendekatan Proyek Kemitraan Terpadu
(PKT), maka dalam perhitungan biaya dimasukkan management fee sebesar
3,5% untuk skim KUT dan 5% untuk skim kredit tainnya. Rincian kebutuhan
pembiayaan menjadi sebagai berikut :
a.Biaya Pra-operasi :
-

Sertifikasi Tanah Rp 300.000,00 ditambah management fee b Modal


Kerja Untuk Pembiayaan Pertamanan :

Persiapan Lahan
Rp 468.000,00
Penanaman Rp 245.000,00
Pemeliharaan Tanaman
Rp2.124.000,00 +
Jumlah Modal Kerja(PerTahun)
Rp2.837.000,00
Ditambah dengan management fee

b. Sumber Dana
Sumber dana untuk membiayai proyek ini diperhitungkan dari kredit
perbankan. Petani pengusaha kecil dipandang hanya memiliki tanah yang
dalam proyek ini tidak diperhitungkan sebagai salah satu komponen modal
dalam analisis finansial. Kredit Bank yang dipergunakan dianalisa berdasarkan
3 alternatif, masing-masing menggunakan skim KUT dengan tingkat suku
bunga 10,5% pertahun, skim KKPA dengan tingkat suku bunga 16% per tahun
dan skim kredit umum yang dalam analisis ini dipergunakan suku bunga 28%
per tahun.

19

Untuk penggunaan KUT, keperluan mendapatkan kredit tidak disertai biaya


pra-operasi untuk pembuatan sertifikat tanah, dan analisis finansial hanya
akan mengikutsertakan KUT sebagai kredit modal kerja. Sedangkan untuk
skim KKPA dan Kredit Umum, diperhitungkan biaya pembuatan sertifikat tanah
untuk keperluan penyediaan jaminan bagi Bank. Pembebanan biaya sertifikasi
tanah sebesar Rp. 300.000,- ditambah keperluan manajemen sebesar 5%
akan dipandang sebagai pengeluaran investasi yang pelunasannya akan
diangsur mulai panen tahun ke-1 (grace period 1 tahun). Untuk ini kredit perlu
ditambah dengan IDC (bunga dalam masa pembangunan). Bunga selama
masa tenggang (IDC) dikapitalisasikan sebagai pokok pinjaman dengan tingkat
sub bunga yang sama dengan pokok pinjaman, kecuali skim KKPA yakni 16%
per tahun. Rincian kebutuhan modal per hektar tanaman ubi kayu berdasarkan
sumber dana menjadi sebagai berikut :
a. Penggunaan KUT
Jumlah Biaya Efektif :
- Modal Kerja Pertanaman

2.837.000 - Management Fee (3,5%)

32,393

-------------- +
Total Modal Kerja

2.869.393

Sumber Dana
- Modal Sendiri

1.943.893

- Kredit Bank (KUT)

925,500

Jumlah kredit bank sebesar Rp 925.500 per hektar merupakan jumlah yang
sementara ini ditapkan oleh Departemen Pertanian, Ditjen Tanaman Pangan
c.q. Sekretariat Bimas, Badan Pengendali Bimas. Ini berarti bahwa apabila
Petani menggunakan KUT, kekurangan biaya yang diperlukan untuk budidaya
sebesar Rp. 1.943.893 harus bisa disediakan sendiri oleh Petani. Di antara
kebutuhan biaya tersebut termasuk Rp. 1.554.000 untuk 259 HOK tenaga
kerja, yang pada umumnya bisa dipenuhi sendiri oleh keluarga tani. KUT
biasanya dipergunakan terutama untuk sarana produksi seperti pupuk, bibit,
obat-obatan dan lainnya. Sedangkan kekurangannya yang berupa tenaga
kerja, diusahakan untuk bisa dipenuhi sendiri oleh Petani terutama dalam
kegiatan penyiapan lahan dan pemeliharaan tanaman.
b. Penggunaan Kredit Bank :
Pra-operasi
- Biaya Sertifikasi Tanah

300.000

- Management Fee (5%)

15.000
------------ +

Total Investasi Rp 315.000

315.000

20

Modal Kerja Efektif


- Persiapan Lahan

2.837.000

- Management Fee (5%)

141.850
------------ +

Total Modal Kerja Efektif

2.978.850
------------ +

Jumlah kredit yang diperlukan

3.293.850

Kredit Bank Menjadi :


Apabila Menggunakan KKPA
- Pokok Pinjaman

3.293.850

- IDC

306.137
------------ +

Total Kredit (KKPA) Rp 3.599.987


Apabila

menggunakan

kredit

3.599.987
lain

dengan

Perhitungan Tk. Bunga 28%


- Pokok Pinjaman
- IDC

3.293.850
637.282
------------ +

Total
3.931.132
IDC diperhitungkan berdasarkan tahapan penarikan per-triwulan, dengan
tingkat Bunga 14% per tahun bagi KKPA.
Uraian secara rinci kebutuhan modal per hektar tanaman ubi kayu berdasarkan
sumber dana disajikan dalam Tabel Biaya Budidaya (Tabel la, lb, dan lc).
Sedangkan perincian kebutuhan tenaga dan sarana untuk masing-masing
kegiatan dapat dilihat pada Tabel Biaya Pemeliharaan (2, 3 dan 4).
Management fee diperlukan untuk keperluan kegiatan pembinaan yang
dilaksanakan oleh pihak Perusahaan Mitra. Sedangkan dengan penggunaan
KUT, pembinaan dilaksanakan oleh pihak Bimas dan para PPL (Penyuluh
Pertanian Lapangan).

21

c. Kelayakan Finansial
Pendekatan yang umum digunakan untuk melihat kelayakan proyek dari segi
finansial adalah dengan menggunakan kriteria investasi yang meliputi proyeksi
arus kas, proyeksi rugi laba, Net Present Value (NPV), dan Benefit Cost Ratio
(B/C) . Nilai IRR tidak dihitung untuk usaha budidaya tanaman semusim yang
hanya memerlukan modal kerja dan hasil panennya pada tahun itu langsung
memberikan pendapatan pada tahun itu juga, kecuali apabila ada pengeluaran
yang berupa investasi untuk dimulainya proyek itu (TabelArus Kas).
Kelayakan Finansial Apabila Menggunakan KUT
Khusus untuk budidaya ubi kayu dengan menggunakan KUT sebagai modal
kerja, perhitungan kelayakan finansial dibuat dengan sistem pengembalian
kredit pada tahun yang sama, akhir masa turn over project (1 tahun). Untuk
analisis kegiatan usaha selama 5 tahun menunjukkan dicapainya nilai NPV Rp.
3.583.022 (tingkat bunga 10,5%) dengan B/C = 2,25. Dari hasil panen,
setelah dipergunakan untuk pelunasan pokok pinjaman, pembayaran bunga,
dan pajak, petani pada akhir tahun diharapkan masih akan dapat menerima
pendapatan bersih sebesar Rp. 1.699.200 per 1 ha lahan budidaya.
a. Kelayakan Finansial Menggunakan KKPA
Apabila menggunakan KKPA dengan pembiayaan sertifikasi lahan sebagai
investasi, analisis usaha untuk waktu 5 tahun sebelum pembayaran pajak
menghasilkan nilai NPV Rp. 4.119.850 / ha dengan B/C (gross) = 1,46. IRR
dihitung dengan memandang investasi berupa pembiayaan Rp. 300.000/ha
untuk pembuatan sertifikat tanah dalam rangka mendapatkan kredit Bank,
menunjukkan nilai IRR 43,5% sampai akhir tahun ke-5.
Kredit investasi dan modal kerja tahun pertama direncanakan agar dapat
dilunasi pada akhir tahun ke-5. Pendapatan bersih petani (di luar upah kerja
apabila pekerjaan lapangan dilakukan sendiri), akan berkisar Rp.
333.140/ha/th pada tahun pertama, yang akan naik pada tahun ke-2, ke-3,
ke-4, sampai pada tahun ke-5 mencapai sekitar Rp. 747.858/ha/th.
Pendapatan bersih ini setelah pembayaran pajak dan keperluan tanam
berikutnya, akan menjadi lebih dari Rp. 1.571.535ha/th setelah kredit lunas
pada akhir tahun ke-5.
b. Kelayakan Finansial Menggunakan Kredit Umum (tingkat suku bunga 28%)
Dengan menggunakan kredit umum, yang apabil tingkat suku bunga
dipergunakan 28%, analisis usaha budidaya ubi kayu ini untuk waktu 10 tahun
memberikan pendapatan (setelah pembayaran pajak) dengan nilai NPV = Rp.
1.434.259 dengan B/C (gross) 1,36. Nilai ini lebih kecil sedikit apabila
menggunakan KKPA, akibat dipergunakannya kredit dengan tingkat bunga
yang lebih tinggi. Nilai IRR = 40,5% (setelah diperhitungkan pajak) sampai
akhir tahun ke-10.

22

Tabel arus dana (cash flow) yang mempertimbangkan penggunaan dana


pinjaman bank, apabila menggunakan tingkat bunga 28% akan dapat
diperhitungkan lunas selama 7 tahun. Setelah angsuran pelunasan dan
pembayaran pajak serta penyediaan modal kerja tahun berikutnya, petani dari
setiap ha lahan usaha akan menerima pendapatan bersih rata-rata Rp.
302.341/th. Selama 5 tahun pertama, yang akan naik menjadi Rp. 726.903/th
dan Rp. 868.424/th pada tahun ke-6 dan ke-7. Di samping pendapatan ini,
petani masih akan menerima pendapatan upah kerja apabila melakukan
sendiri pekerjaan lapangan. Setelah kredit lunas pada akhir tahun ke-7,
pendapatan petani akan menjad lebih dari Rp. 1.571.535/ha/th. Penyediaan
modal kerja untuk tahun berikutnya, diambil terlebih dahulu dari hasil setiap
panen untuk memungkinkan kontinuitas kegiatan usaha.

6. Aspek Sosial Ekonomi dan Dampak Lingkungan


a. Aspek Sosial Ekonomi
Manfaat Sosial Ekonomi
Proyek Kemitraan Terpadu budidaya ubi kayu ini akan membutuhkan tenaga
kerja setidaknya 78 HOK untuk pekerjaan persiapan lahan, 20 HOK untuk
pekerjaan penanaman, dan masing-masing 76 HOK untuk pekerjaan
pemeliharaan tanaman serta 85 HOK pada waktu panen per hektar budidaya
tanaman.
Keberadaan Proyek Kemitraan Terpadu budidaya ubi kayu diharapkan akan
merangsang masyarakat untuk penciptaan bidang usaha lainnya sebagai
pengaruh ganda (multiplier effect).
Manfaat Regional
Dari sudut pengembangan wilayah, keberadaan proyek akan menjadi salah
satu pusat kegiatan perekonomian subsektor tanaman pangan yang tentunya
akan memberikan dampak positif bagi perkembangan kegiatan pembangunan
wilayah.
Keberhasilan usaha budidaya ubi kayu akan meningkatkan pendapatan daerah.
Pajak yang diperoleh dari hasil usaha setiap tahunnya merupakan kontribusi
yang cukup besar bagi usaha menunjang pembangunan daerah pada
umumnya.
Ubi kayu merupakan bahan baku utama untuk industri tapioka dan manihok
yang diandalkan sebagai komoditas ekspor, sehingga dengan demikian akan
memberikan kontribusi bagi pendapatan devisa negara.
Ubi kayu juga dapat merupakan bahan baku bagi home industri seperti industri
kerupuk dan makanan lainnya.

23

Karena ubi kayu relatif mudah dibudidayakan pada lahan-lahan kering dan
memiliki ketahanan yang baik terhadap kekeringan, maka usaha ini
merupakan alternatif yang bisa ditempuh bagi para petani untuk meningkatkan
pendapatannya di daerah yang tidak ada pengairan.
b. Dampak Lingkungan
Dampak terhadap Komponen Lingkungan Fisik
Dampak kegiatan budidaya ubi kayu terhadap lingkungan fisik disebabkan oleh
kegiatan budidaya tanaman yang bersifat mono kultur. Dampak budidaya
tanaman yang berskala besar terhadap lingkungan fisik diantaranya adalah
meningkatnya laju erosi tanah (terutama pada tahap konstruksi/persiapan
lahan) dan menurunnya tingkat kesuburan tanah pada tahap pasca konstruksi
sebagai akibat dari pembudidayaan yang kurang intensif. Penurunan kesuburan
tanah terutama disebabkan oleh rakusnya tanaman ini terhadap unsur hara
tanah jika dibandingkan dengan tanaman lainnya. Besarnya dampak
penurunan kesuburan tanah ini masih digolongkan tidak penting, karena skala
usaha proyek ini hanya 25 ha untuk satu kelompok tani. Penggunaan pupuk
organik dan setiap habis panen mengembalikan kembali cacahan sisa
tanaman, merupakan upaya untuk mempertahankan struktur tanah yang baik,
disamping pemberian pupuk buatan untuk menjaga kesuburan lahan.
Kendati pun dampak kegiatan budidaya ini berdampak tidak penting terhadap
komponen lingkungan fisik, namun untuk menghindari terjadi akumulasi
dampak (bahkan jika dikembangkan dalam skala besar) perlu diupayakan
pengelolaan lingkungannya seperti sistem persiapan lahan yang baik,
pemupukan yang tepat, dan pengelolaan sistem tanam yang cenderung mono
kultur sepanjang tahun, namun dilakukan secara tumpang gilir.
Diadakan rotasi tanaman, atau dipergunakannya pola tanam tumpang sari
dengan tanaman kacang-kacangan sangat dianjurkan dalam upaya menjaga
kesuburan lahan.
Dampak terhadap Komponen Flora
Dampak kegiatan budidaya terhadap komponen flora hanya terjadi sebagai
akibat dari kegiatan persiapan lahan. Hilangnya ekosistem flora, terutama
pada lahan hutan primer/sekunder bisa terjadi sebagai akibat pembukaan
lahan berskala besar. Oleh karena proyek ini berskala kecil maka dampak
terhadap komponen flora tergolong tidak penting.Berdasarkan skala usaha
yang akan dikembangkan dan prakiraan dampak yang mungkin terjadi,
sebagaimana diuraikan di atas, pengembangan budidaya ubi kayu pola PKT
untuk usaha kecil dan menengah tidak perlu mempersyaratkan analisis
mengenai dampak lingkungan (AMDAL)

7. Penutup

24

a. Kesimpulan
1. Peluang pasar komoditas yang menggunakan ubi kayu sebagai bahan
bakunya, seperti tepung tapioka dan gapiek, baik untuk ekspor ataupun
untuk keperluan dalam negeri masih terus terbuka, sehingga secara
tidak langsung memberikan peluang bagi diadakannya pengembangan
dan peningkatan produksi ubi kayu pada umumnya di Indonesia.
2. Secara teknis, sumber daya lahan dan sumber daya manusia untuk
pengembangan produksi ubi kayu di Indonesia masih banyak tersedia di
berbagai wilayah, terutama di daerah-daerah lahan kering Luar Jawa.
3. Beberapa kendala yang dihadapi oleh para petani dalam pengembangan
budidaya ubi kayu adalah masalah penyertaan modal, penyediaan
saprodi, pemasaran hasil dan keadaan harga jual umbi pada waktu
panen yang sering tidak menguntungkan petani. Hal ini menjadi
perhatian dalam mempertimbangkan pengamanan pemberian kredit
dari pihak Bank kepada petani, yang hasilnya dilaporkan dalam bentuk
Model Kelayakan Proyek Kemitraan Terpadu (MK-PKT) Usaha Budidaya
Ubi Kayu.
4. Berdasarkan analisis finansial, pemberian KUT, KKPA ataupun skim
kredit lainnya (sampai dengan tingkat bunga 28%), terlihat masih
memiliki landasan kelayakan finansial apabila pelaksanaan usahanya
menggunakan Pola Kemitraan Terpadu seperti dibahas dalam Model
Kelayakan ini.

b. Saran
1. Untuk penggunaan Pola Kemitraan Terpadu ini, antara Petani Plasma
dengan Mitra Usaha Besar sebagai Perusahaan Inti yang akan membeli
hasil ubi kayu para Petani Plasma, hendaknya dibuat Nota Kesepakatan
tertulis yang isinya mengatur kerjasama antara keduanya dengan
berdasarkan kedudukan hukum dan kepentingan serta dapat
memberikan saling keuntungan yang sama antara kedua belah pihak.
2. Untuk menjaga kelestarian lahan dan keberlanjutan usaha, aspek teknis
budidaya ubi kayu ini agar mendapatkan perhatian dengan menyertakan
pemberian pupuk organik di samping pupuk anorganik (seperti urea)
dan mengembalikan sisa-sisa tanaman ke dalam tanah. Diadakannya
tumpangsari dengan tanaman kacang-kacangan atau diadakannya rotasi
bergilir dengan tanaman lain, akan dapat membantu mencegah
terkurasnya unsur hara tanah.
3. Guna mencegah biaya angkut yang tinggi, proyek pengembangan
budidaya ubi kayu sebaiknya dilaksanakan pada lokasi yang tidak jauh
di sekitar Pabrik Pengolahan ubi kayu atau gudang pengumpulan gapiek
milik mitra Pengusaha Besar yang bersangkutan.

25

4. Untuk mengantisipasi fluktuasi harga jual ubi kayu hasil panen petani,
jadual dan luas tanam sebaiknya disesuaikan dengan permintaan dari
Perusahaan mitra pengguna ubi kayu tersebut.

26

LAMPIRAN

27

Anda mungkin juga menyukai