Budidaya Ubi Kayu 1
Budidaya Ubi Kayu 1
1. Pendahuluan.............................................................................................
a. Latar Belakang................................................................................................................
b. Tujuan...............................................................................................................................
2. Kemitraan Terpadu.....................................................................................
a. Organisasi........................................................................................................................
b. Pola Kerjasama...............................................................................................................
c. Mekanisme Proyek Kemitraan Terpadu......................................................................
d. Perjanjian Kerjasama..................................................................................................
3. Aspek Pemasaran.....................................................................................
a. Permintaan Luar Negeri..............................................................................................
b. Permintaan Dalam Negeri..........................................................................................
4. Aspek Produksi........................................................................................
a. Kesesuaian Lahan.........................................................................................................
b. Tanah dan Bibit.............................................................................................................
c. Pemeliharaan Tanaman...............................................................................................
5. Aspek Keuangan......................................................................................
a. Kebutuhan Modal Usaha.............................................................................................
b. Sumber Dana................................................................................................................
c. Kelayakan Finansial......................................................................................................
6. Aspek Sosial Ekonomi dan Dampak Lingkungan...........................................
a. Aspek Sosial Ekonomi.................................................................................................
b. Dampak Lingkungan....................................................................................................
7. Penutup..................................................................................................
a. Kesimpulan....................................................................................................................
b. Saran...............................................................................................................................
LAMPIRAN...................................................................................................
1. Pendahuluan
a. Latar Belakang
Tanaman ubi kayu (Manihotutikisima) memiliki berbagai varitas atau klonyang
dapat langsung dikonsumsi sebagai makanan atau menjadi bahan baku bagi
industri tapioka dan gapiek (manihok) ataupun tepung gapiek, yang
selanjutnya dipergunakan untuk berbagai macam industri seperti makanan,
makanan ternak, kertas, kayu lapis dan tainnya. Berdasarkan potensi fisik
a. Organisasi
Proyek Kemitraan Terpadu (PKT) adalah suatu program kemitraan terpadu
yang melibatkan usaha besar (inti), usaha kecil (plasma) dengan melibatkan
bank sebagai pemberi kredit dalam suatu ikatan kerja sama yang dituangkan
dalam nota kesepakatan. Tujuan PKT antara lain adalah untuk meningkatkan
kelayakan plasma, meningkatkan keterkaitan dan kerjasama yang saling
menguntungkan antara inti dan plasma, serta membantu bank dalam
meningkatkan kredit usaha kecil secara lebih aman dan efisien.
Dalam melakukan kemitraan hubunga kemitraan, perusahaan inti (Industri
Pengolahan atau Eksportir) dan petani plasma/usaha kecil mempunyai
kedudukan hukum yang setara. Kemitraan dilaksanakan dengan disertai
pembinaan oleh perusahaan inti, dimulai dari penyediaan sarana produksi,
bimbingan teknis dan pemasaran hasil produksi.
Proyek Kemitraan Terpadu ini merupakan kerjasama kemitraan dalam bidang
usaha melibatkan tiga unsur, yaitu (1) Petani/Kelompok Tani atau usaha kecil,
(2) Pengusaha Besar atau eksportir, dan (3) Bank pemberi KKPA.
Masing-masing pihak memiliki peranan di dalam PKT yang sesuai dengan
bidang usahanya. Hubungan kerjasama antara kelompok petani/usaha kecil
dengan Pengusaha Pengolahan atau eksportir dalam PKT, dibuat seperti halnya
hubungan antara Plasma dengan Inti di dalam Pola Perusahaan Inti Rakyat
(PIR).
Petani/usaha
kecil
merupakan
plasma
dan
Perusahaan
Pengelolaan/Eksportir sebagai Inti. Kerjasama kemitraan ini kemudian menjadi
terpadu dengan keikut sertaan pihak bank yang memberi bantuan pinjaman
bagi pembiayaan usaha petani plasma. Proyek ini kemudian dikenal sebagai
PKT yang disiapkan dengan mendasarkan pada adanya saling berkepentingan
diantara semua pihak yang bermitra.
1. Petani Plasma
Sesuai keperluan, petani yang dapat ikut dalam proyek ini bisa terdiri atas (a)
Petani yang akan menggunakan lahan usaha pertaniannya untuk penanaman
dan perkebunan atau usaha kecil lain, (b) Petani /usaha kecil yang telah
memiliki usaha tetapi dalam keadaan yang perlu ditingkatkan dalam untuk itu
memerlukan bantuan modal.
Untuk kelompok (a), kegiatan proyek dimulai dari penyiapan lahan dan
penanaman atau penyiapan usaha, sedangkan untuk kelompok (b), kegiatan
dimulai dari telah adanya kebun atau usaha yang berjalan, dalam batas masih
bisa ditingkatkan produktivitasnya dengan perbaikan pada aspek usaha.
Luas lahan atau skala usaha bisa bervariasi sesuai luasan atau skala yang
dimiliki oleh masing-masing petani/usaha kecil. Pada setiap kelompok
tani/kelompok usaha, ditunjuk seorang Ketua dan Sekretaris merangkap
Bendahara. Tugas Ketua dan Sekretaris Kelompok adalah mengadakan
koordinasi untuk pelaksanaan kegiatan yang harus dilakukan oleh para petani
anggotanya, didalam mengadakan hubungan dengan pihak Koperasi dan
instansi lainnya yang perlu, sesuai hasil kesepakatan anggota. Ketua kelompok
wajib menyelenggarakan pertemuan kelompok secara rutin yang waktunya
ditentukan berdasarkan kesepakatan kelompok.
2. Koperasi
Para petani/usaha kecil plasma sebagai peserta suatu PKT, sebaiknya menjadi
anggota suata koperasi primer di tempatnya. Koperasi bisa melakukan
kegiatan-kegiatan untuk membantu plasma di dalam pembangunan
kebun/usaha sesuai keperluannya. Fasilitas KKPA hanya bisa diperoleh melalui
keanggotaan koperasi. Koperasi yang mengusahakan KKPA harus sudah
berbadan hukum dan memiliki kemampuan serta fasilitas yang cukup baik
untuk keperluan pengelolaan administrasi pinjaman KKPA para anggotanya.
Jika menggunakan skim Kredit Usaha Kecil (KUK), kehadiran koperasi primer
tidak merupakan keharusan
3. Perusahaan Besar dan Pengelola/Eksportir
Suatu Perusahaan dan Pengelola/Eksportir yang bersedia menjalin kerjasama
sebagai inti dalam Proyek Kemitraan terpadu ini, harus memiliki kemampuan
dan fasilitas pengolahan untuk bisa menlakukan ekspor, serta bersedia
membeli seluruh produksi dari plasma untuk selanjutnya diolah di pabrik dan
atau diekspor. Disamping ini, perusahaan inti perlu memberikan bimbingan
teknis usaha dan membantu dalam pengadaan sarana produksi untuk
keperluan petani plasma/usaha kecil.
Apabila Perusahaan Mitra tidak memiliki kemampuan cukup untuk mengadakan
pembinaan teknis usaha, PKT tetap akan bisa dikembangkan dengan
sekurang-kurangnya pihak Inti memiliki fasilitas pengolahan untuk diekspor,
hal ini penting untuk memastikan adanya pemasaran bagi produksi petani atau
plasma. Meskipun demikian petani plasma/usaha kecil dimungkinkan untuk
mengolah hasil panennya, yang kemudian harus dijual kepada Perusahaan Inti.
Dalam hal perusahaan inti tidak bisa melakukan pembinaan teknis, kegiatan
pembibingan harus dapat diadakan oleh Koperasi dengan memanfaatkan
bantuan tenaga pihak Dinas Perkebunan atau lainnya yang dikoordinasikan
oleh Koperasi. Apabila koperasi menggunakan tenaga Penyuluh Pertanian
Lapangan (PPL), perlu mendapatkan persetujuan Dinas Perkebunan setempat
dan koperasi memberikan bantuan biaya yang diperlukan.
Koperasi juga bisa memperkerjakan langsung tenaga-tenaga teknis yang
memiliki keterampilan dibidang perkebunan/usaha untuk membimbing
petani/usaha kecil dengan dibiayai sendiri oleh Koperasi. Tenaga-tenaga ini
bisa diberi honorarium oleh Koperasi yang bisa kemudian dibebankan kepada
petani, dari hasil penjualan secara proposional menurut besarnya produksi.
Sehingga makin tinggi produksi kebun petani/usaha kecil, akan semakin besar
pula honor yang diterimanya.
4. Bank
Bank berdasarkan adanya kelayakan usaha dalam kemitraan antara pihak
Petani Plasma dengan Perusahaan Perkebunan dan Pengolahan/Eksportir
sebagai inti, dapat kemudian melibatkan diri untuk biaya investasi dan modal
kerja pembangunan atau perbaikan kebun.
Disamping mengadakan pengamatan terhadap kelayakan aspek-aspek
budidaya/produksi yang diperlukan, termasuk kelayakan keuangan. Pihak bank
di dalam mengadakan evaluasi, juga harus memastikan bagaimana
pengelolaan kredit dan persyaratan lainnya yang diperlukan sehingga dapat
menunjang keberhasilan proyek. Skim kredit yang akan digunakan untuk
pembiayaan ini, bisa dipilih berdasarkan besarnya tingkat bunga yang sesuai
dengan bentuk usaha tani ini, sehingga mengarah pada perolehannya
pendapatan bersih petani yang paling besar.
Dalam pelaksanaanya, Bank harus dapat mengatur cara petani plasma akan
mencairkan kredit dan mempergunakannya untuk keperluan operasional
lapangan, dan bagaimana petani akan membayar angsuran pengembalian
pokok pinjaman beserta bunganya. Untuk ini, bank agar membuat perjanjian
kerjasama dengan pihak perusahaan inti, berdasarkan kesepakatan pihak
petani/kelompok tani/koperasi. Perusahaan inti akan memotong uang hasil
penjualan petani plasma/usaha kecil sejumlah yang disepakati bersama untuk
dibayarkan langsung kepada bank. Besarnya potongan disesuaikan dengan
rencana angsuran yang telah dibuat pada waktu perjanjian kredit dibuat oleh
pihak petani/Kelompok tani/koperasi. Perusahaan inti akan memotong uang
hasil penjualan petani plasma/usaha kecil sejumlah yang disepakati bersama
untuk dibayarkan langsung kepada Bank. Besarnya potongan disesuaikan
dengan rencana angsuran yang telah dibuat pada waktu perjanjian kredit
dibuat oleh pihak petani plasma dengan bank.
b. Pola Kerjasama
Kemitraan antara petani/kelompok tani/koperasi dengan perusahaan mitra,
dapat dibuat menurut dua pola yaitu :
a. Petani yang tergabung dalam kelompok-kelompok tani mengadakan
perjanjian kerjasama langsung kepada Perusahaan Perkebunan/
Pengolahan Eksportir.
Dengan bentuk kerja sama seperti ini, pemberian kredit yang berupa
KKPA kepada petani plasma dilakukan dengan kedudukan Koperasi
sebagai Channeling Agent, dan pengelolaannya langsung ditangani oleh
Kelompok tani. Sedangkan masalah pembinaan harus bisa diberikan
oleh Perusahaan Mitra.
b. Petani yang tergabung dalam kelompok-kelompok tani, melalui
koperasinya mengadakan perjanjian yang dibuat antara Koperasi
(mewakili
anggotanya) dengan
perusahaan
perkebunan/pengolahan/eksportir.
3. Aspek Pemasaran
a. Permintaan Luar Negeri
Ubi kayu kering diperlukan untuk bahan pakan ternak dan banyak lainnya,
yang jumlah kebutuhan selama ini makin meningkat sejalan dengan
peningkatan populasi konsumen akhir dari ubi kayu tersebut. Untuk
mempertahankan pasar luar negeri yang telah dikuasai Indonesia dengan
jumlah yang semakin besar, maka kebutuhan terhadap ubi kayu untuk masamasa mendatang diperkirakan masih akan terus meningkat.
Perkembangan Ekspor
Ekspor ubi kayu Indonesia dilakukan dalam bentuk ubi kayu kering (gapiek
atau lainnya) dan tepung tapioka. Perkembangan ekspor ubi kayu dalam
bentuk kering (gapiek, chips atau tepung) selama tahun 1990 sampai tahun
1998 terlihat pada Tabel 1. dan Tabel 2. Dalam periode tersebut ekspor
terbesar terjadi pada Tahun 1993, selanjutnya perkembangan ekspor ubi kayu
ada kecenderungan makin turun. Berbagai hal menyangkut masalah tata niaga
yang berkaitan dengan peraturan ekspor (diterapkannya pembagian quota)
dan pola penyerapan produksi ubi kayu petani, dirasakan telah mempengaruhi
laju ekspor yang selanjutnya adalah juga produktivitas ubi kayu petani.
Tabel 1.
Ekspor Ubi Kayu Indonesia Tahun 1990-1998
>Total Ekspor (Kg)
Tahun
1990
Gaplek
597.329.412
Pelet
570.456.989
Bentuk Lain
3.315.094
1991
492.507.502
364.264.420
1.850.820
1992
368.868.865
501.304.110
3.235.648
1993
516.585.171
408.446.685
10.852.244
1994
386.024.532
298.829.708
1.184.831
1995
426.894.318
53.281.008
1.307.822
1996
290.039.080
93.610.152
4.941.434
1997
184.154.743
59.315.873
3.530.003
1998
194.616.294
24.770.000
2.017.583
Sumber : Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia. Ekspor. BPS.
Dikumpulkan dari Buku Tahun 1990 - 1998
Tabel 2.
Nilai Ekspor Ubi Kayu Indonesia Tahun 1990-1998
10
Tahun
Gaplek
Tepung Tapioka
Bentuk Lain
1990
70.725.233
70.050.724
998.850
1991
53.728.693
50.476.797
755.643
1992
40.625.621
67.027.162
1.069.976
1993
47.906.448
42.625.199
1.084.136
1994
33.228.911
28.838.302
1.010.002
1995
59.763.831
6.123.001
633.576
1996
35.766.853
10.743.422
1.103.416
1997
16.172.507
5.564.969
991.832
1998
18.262.201
1.718.000
421.401
Berbeda dengan gapiek dan genusnya, total ekspor dalam bentuk tapioka
terlihat pernah mencapai titik tertinggi sebesar 82.191 ton dengan nilai
sebesar US 13,98 juta pada tahun 1993 (Tabel 3). Untuk tahun selanjutnya
jumlah ekspor kembali tidak menentu. Penurunan total ekspor yang drastis
pada tahun 1994 diimbangi dengan ekspor yang tinggi pada tahun 1995. Ini
terjadi mungkin karena adanya pergeseran masa panen akibat pengaruh iklim
dan adanya masalah penampungan ubi kayu petani dan pengolahannya yang
dikaitkan dengan kebijakan niaga pihak Pengusaha.
Tabel 3.
Ekspor Tapioka (Pati Ubi Kayu) Indonesia Tahun 1990-1997
Tahun
Total Ekspor
Gaplek
Pelet
1990
6.702.500
1.426.072
1991
4.506.500
1.320.175
1992
21.598.013
5.217.332
11
1993
82.191.450
13.982.712
1994
30.870.431
10.548.950
1995
17.923.865
5.575.430
1996
7.336.226
2.668.590
Sumber : Statistik Perdagangan Luar Negari Indonesia. Ekspor. BPS.
Dikumpulkan dari Buku Tahun 1990 - 1998
Jangkauan ekspor ubi kayu Indonesia telah mencapai berbagai Negara di Asia
dan Eropa, dengan ekspor terbesar ke Korea dan China (Tabel 4). Luasnya
negara tujuan ekspor di beberapa Negara Asia dan Eropa, menunjukkan bahwa
ekspor komoditi ini sebenarnya cukup potensial dan dapat dimanfaatkan untuk
pengembangan ekspor produksi ubi kayu pada masa yang akan datang.
Tabel 4.
Ekspor Tapioka (Pati Ubi Kayu) Indonesia Tahun 1997
Total Ekspor
(Dari Berbagai
Negara Tujuan
Bentuk) (kg)
Korea
120.797.083
12.125.792
China
67.502.292
5.473.891
Philppine
558.000
107.884
Malaysia
2.342.962
436.884
Vietnam
697.920
41.875
20.400.000
1.371.550
3.000.000
165.000
570.000
85.500
4.500.000
328.000
Japan
762.000
154.570
Singapore
247.000
53.106
Netherlands
Switzerlands
Taiwan
Germany
United Kingdom
26.600
57.399
Sumber: Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia. Ekspor. BPS 1997
12
13
uang terlebih dahulu sebelum panen dari para Pengumpul atau para Perantara
ini. Dalam keadaan seperti ini, pada saat panen petani bisa jatuh berada pada
posisi yang lemah dalam hal penentuan harga dan berat timbangan hasil
panennya yang sering kali sangat merugikan petani ubi kayu, ditambah juga
dengan penentuan rafraksinya yang tidak transparan.
Untuk
memastikan
tingkat
pendapatan
petani
ubi
kayu
dalam
mempertimbangkan pemberian fasilitas kredit, jaminan mengenai kepastian
harga dan tingkat produksi tanaman petani diharapkan akan dapat diperoleh
melalui kemitraan yang didukung dengan perjanjian kerjasama dalam
mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pembinaan produksi, penanganan
hasil panen dan harga jual ubi kayu petani yang mantap.
c. Kebijakan Pengusaha Pabrik Pengolahan Ubi Kayu Tentang Harga Beli UbiKayu
Petani
Sering kali dialami bahwa kebijakan harga beli ubi kayu pada saat panen raya
sangat merugikan petani. Beberapa yang sering dikemukakan oleh pihak
Pengusaha adalah terbatasnya daya tampung fasilitas pabrik, dan kuota ekspor
yang diterapkan oleh Pemerintah.
Untuk menjaga agar jangan sampai terjadi produksi yang melimpah, melalui
kemitraan dalam rangka budidaya ubi kayu ini oleh Petani/Kelompok
Tani/Koperasi/KUD diharapkan bisa dipertimbangkan besarnya luas cakupan
kemitraan yang menyangkut luas tanam, jumlah petani peserta dan
produktivitas lahan, sehingga masalah harga bisa dijaga dan ditentukan harga
dasarnya sesuai kemampuan daya tampung produksi dan fasilitas ekspor yang
ada secara lokal dan nasional.
d.Pemasaran Ubi Kayu Petani Dalam Rangka Kemitraan
Dengan kemitraan terpadu antara para Petani dengan Pengusaha
Pengolahan/Ekspotir Ubi Kayu, para Petani menggunakan modal untuk
bercocok tanam ubi kayu dari fasilitas kredit. Kredit ini diberikan oleh Badan
pemberi kredit atas adanya peran serta pihak mitra Pengusaha yang ikut
menjamin keberhasilan usaha dan pelunasan kredit.
Untuk memastikan arus pelunasan kredit dan pembayaran bunganya, para
petani diharuskan melalui kesepakatan bersama menjual produksi ubi kayunya
kepada Pabrik Pengolahan milik mitra dengan harga yang ditetapkan dengan
mempertimbangkan terciptanya keuntungan bagi kedua belah pihak secara
wajar. Dari penjualan ini, Petani melalui Pengusaha mitra menyisihkan
sejumlah hasil penjualan ubi kayu yang harus dipergunakan untuk melunasi
kredit dan bunganya. Mekanisme ini diatur dalam Perjanjian Kerjasama seperti
contoh tertampir.
14
4. Aspek Produksi
Walaupun dalam budidaya tanaman ubi kayu ini pada umumnya dapat
dilakukan dengan menggunakan pola tumpang sari, dimana jagung, kacang
kedelai ataukacang-kacangan lainnya dmal. Ubi kayu merupakan tanaman
yang relatif lebih mudah ditanam dan tahan kekeringan dibandingkan dengan
tanaman pangan lainnya, sehingga apabila tujuannya untuk memaksimalkan
produksi ubi kayu, kesulitan mendapatkan waktu tanam yang cocok untuk
semua komoditi dalam pola tumpang sari dapat dihindarkan.
a. Kesesuaian Lahan
Ubi kayu merupakan tanaman yang mudah ditanam, dapat tumbuh di berbagai
lingkungan agroklimat tropis, walaupun tentunya tingkat produksinya akan
bervariasi menurut tingkat kesuburan dan ketersediaan air tanah. Ubi kayu
merupakan tanaman yang tahan di lahan kering, sedangkan pada lahan-lahan
dengan tingkat kesuburan tinggi, akan menyerap unsur hara yang banyak.
Produksi yang optimal akan dapat dicapai apabila tanaman mendapat sinar
matahari yang cukup, berada pada ketinggian sampai dengan 800 m dpi,
tanah gembur, dan curah hujan di antara 750 - 2.500 mm/tahun dengan bulan
kering sekitar 6 bulan.
Mengierupa umbi, maka hampir tidak ada kontribusinya terhadap struktur dan
kandungan unsur hara tanah, karena akar/umbi tanaman dicabut. Dengan
demikian kelestarian perkebunan ubi kayu memerlukan upaya khusus untuk
menjaga kelestarian lahan dengan memberikan kembali unsur hara tanah
berupa pupuk organik di samping pupuk buatan. Sisa tanaman sebaiknya
dicacah untuk dimasukkan kembali ke dalam tanah.
Mengingat nilai produksl dan kemudahan di dalam budidayanya, pola usaha ubi
kayu sering tidak menghasilkan pendapatan yang berarti bagi petani, apalagi
jika ditan bukan merupakan usaha pokok. Bagi petani yang tidak memiliki
modal usaha yang cukup, dengan hanya bermodalkan tenaga untuk mengolah
tanah, petani sudah dapat menanam ubi kayu karena bibitnya mudah didapat
dan murah. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa tanaman ubi kayu
dapat tumbuh di berbagai jenis tanah, tidak memerlukan persyaratan tanah
tertentu.
b. Tanah dan Bibit
Dalam pengolahan tanah diusahakan agar tanah tersebut menjadi cukup
gembur, karena pada tanah yang gembur, perakaran/umbi akan tumbuh
dengan optimal, akar akan mudah menembus tanah. Secara garis besar
persiapan lahan untuk tanaman ubi kayu dilakukan sebagai berikut:
15
Varietas
Umur
Rata-rata
(Bulan)
Hasil
(Ton/ha)
Basah
Tinggi
Kadar
Warna
Batang
Tepung
Daging
(m)
(%)
Umbi
Rasa
16
Adira 1
- 10
22
1- 2
45
Kuning
Enak
Adira 2
- 12
22
2- 3
41
Putih
Agak Pahit
Agak Pahit
10,5 -
Adira 4
35
1.5 - 2.0
20
Putih
Enak
11,5
Malang 1
- 10
36.5
1.5 -3.0
34
Putih
Kekuningan
Malang 2
8 - 10
31.5
Darul
8 - 12
102
1. 5 -3.0
3.65
34
28
Enak
Hidayah
Sumber : J. Wargiono. Ahli Peneliti Utama pada Puslitbang Tanaman Pangan
c. Pemeliharaan Tanaman
Kegiatan dalam pemeliharaan tanaman adatah menyulam, menyiang,
memupuk, membumbun, mengairi dan mengendalikan hama serta penyakit.
Secara rinci kegiatan pemeliharaan adalah sebagai berikut :
Penyulaman segera dilakukan pada umur 2 minggu setelah tanam. Apabila
bibit yang digunakan cukup baik, tanaman yang perlu disulam relatif sedikit,
kurang dari 5%. Adanya penyulaman yang tepat, akan memberikan
pertumbuhan tanaman yang lebih serempak/seragam.
Penyiangan paling banyak dilakukan cukup 2 kali, terutama pada saat tajuk
dari tanaman belum saling menutup. Penyiangan pertama dilakukan pada
umur kurang lebih sebulan setelah tanam, dan penyiangan kedua dilakukan
dua bulan kemudian. Kegiatan lainnya yang cukup penting adalah pemupukan
yang diberikan setelah tanam. Pemupukan pertama dilakukan setelah
penyiangan
pertama
bersama
dengan
mengadakan
pembumbunan.
Pemupukan kedua dilakukan pada waktu setelah penyiangan kedua, yang juga
terus diikuti dengan pembumbunan. Dosis pemupukan adalah sebagai
berikut :
TSP/SP 36 : 100 kg
KCl : 50 kg
Urea : 200 kg
17
5. Aspek Keuangan
a. Kebutuhan Modal Usaha
Aspek keuangan untuk budidaya ubi kayu dihitung dengan asumsi :
18
Setiap pengusaha kecil memiliki dua hektar lahan yang siap dibudidayakan dan
bukan lahan hutan, sehingga tidak memerlukan biaya untuk land clearing.
Skim kredit yang digunakan dalam analisis ini didasarkan pada skim Kredit
Usaha Tani (KUT) dengan tingkat suku bunga 10,5% per tahun, KKPA dengan
tingkat suku bunga 16% per tahun, dan kredit umum yang dalam hal ini
dihitung menggunakan suku bunga 28% per tahun.
Khusus untuk skim kredit KKPA dan kredit komersil diberikan grace period
selama satu tahun atau tiga bulan, sebagai masa konstruksi.
Varietas ubi kayu yang digunakan adalah varietas unggul dengan produksi
rata-rata per hektar per tahun sekitar 35 ton.
Dalam analisis ini dibedakan atas biaya investasi untuk kegiatan pra-operasi
untuk keperluan sertifikasi lahan (yang mungkin masih diperlukan) yang
biasanya diminta oleh pihak Bank sebagai jaminan pinjaman, dan modal kerja
untuk kegiatan penanaman ubi kayu (persiapan lahan, pengadaan sarana
produksi, tanam dan pemeliharaan tanaman). Oleh karena proyek yang akan
dikembangkan ini akan memanfaatkan pendekatan Proyek Kemitraan Terpadu
(PKT), maka dalam perhitungan biaya dimasukkan management fee sebesar
3,5% untuk skim KUT dan 5% untuk skim kredit tainnya. Rincian kebutuhan
pembiayaan menjadi sebagai berikut :
a.Biaya Pra-operasi :
-
Persiapan Lahan
Rp 468.000,00
Penanaman Rp 245.000,00
Pemeliharaan Tanaman
Rp2.124.000,00 +
Jumlah Modal Kerja(PerTahun)
Rp2.837.000,00
Ditambah dengan management fee
b. Sumber Dana
Sumber dana untuk membiayai proyek ini diperhitungkan dari kredit
perbankan. Petani pengusaha kecil dipandang hanya memiliki tanah yang
dalam proyek ini tidak diperhitungkan sebagai salah satu komponen modal
dalam analisis finansial. Kredit Bank yang dipergunakan dianalisa berdasarkan
3 alternatif, masing-masing menggunakan skim KUT dengan tingkat suku
bunga 10,5% pertahun, skim KKPA dengan tingkat suku bunga 16% per tahun
dan skim kredit umum yang dalam analisis ini dipergunakan suku bunga 28%
per tahun.
19
32,393
-------------- +
Total Modal Kerja
2.869.393
Sumber Dana
- Modal Sendiri
1.943.893
925,500
Jumlah kredit bank sebesar Rp 925.500 per hektar merupakan jumlah yang
sementara ini ditapkan oleh Departemen Pertanian, Ditjen Tanaman Pangan
c.q. Sekretariat Bimas, Badan Pengendali Bimas. Ini berarti bahwa apabila
Petani menggunakan KUT, kekurangan biaya yang diperlukan untuk budidaya
sebesar Rp. 1.943.893 harus bisa disediakan sendiri oleh Petani. Di antara
kebutuhan biaya tersebut termasuk Rp. 1.554.000 untuk 259 HOK tenaga
kerja, yang pada umumnya bisa dipenuhi sendiri oleh keluarga tani. KUT
biasanya dipergunakan terutama untuk sarana produksi seperti pupuk, bibit,
obat-obatan dan lainnya. Sedangkan kekurangannya yang berupa tenaga
kerja, diusahakan untuk bisa dipenuhi sendiri oleh Petani terutama dalam
kegiatan penyiapan lahan dan pemeliharaan tanaman.
b. Penggunaan Kredit Bank :
Pra-operasi
- Biaya Sertifikasi Tanah
300.000
15.000
------------ +
315.000
20
2.837.000
141.850
------------ +
2.978.850
------------ +
3.293.850
3.293.850
- IDC
306.137
------------ +
menggunakan
kredit
3.599.987
lain
dengan
3.293.850
637.282
------------ +
Total
3.931.132
IDC diperhitungkan berdasarkan tahapan penarikan per-triwulan, dengan
tingkat Bunga 14% per tahun bagi KKPA.
Uraian secara rinci kebutuhan modal per hektar tanaman ubi kayu berdasarkan
sumber dana disajikan dalam Tabel Biaya Budidaya (Tabel la, lb, dan lc).
Sedangkan perincian kebutuhan tenaga dan sarana untuk masing-masing
kegiatan dapat dilihat pada Tabel Biaya Pemeliharaan (2, 3 dan 4).
Management fee diperlukan untuk keperluan kegiatan pembinaan yang
dilaksanakan oleh pihak Perusahaan Mitra. Sedangkan dengan penggunaan
KUT, pembinaan dilaksanakan oleh pihak Bimas dan para PPL (Penyuluh
Pertanian Lapangan).
21
c. Kelayakan Finansial
Pendekatan yang umum digunakan untuk melihat kelayakan proyek dari segi
finansial adalah dengan menggunakan kriteria investasi yang meliputi proyeksi
arus kas, proyeksi rugi laba, Net Present Value (NPV), dan Benefit Cost Ratio
(B/C) . Nilai IRR tidak dihitung untuk usaha budidaya tanaman semusim yang
hanya memerlukan modal kerja dan hasil panennya pada tahun itu langsung
memberikan pendapatan pada tahun itu juga, kecuali apabila ada pengeluaran
yang berupa investasi untuk dimulainya proyek itu (TabelArus Kas).
Kelayakan Finansial Apabila Menggunakan KUT
Khusus untuk budidaya ubi kayu dengan menggunakan KUT sebagai modal
kerja, perhitungan kelayakan finansial dibuat dengan sistem pengembalian
kredit pada tahun yang sama, akhir masa turn over project (1 tahun). Untuk
analisis kegiatan usaha selama 5 tahun menunjukkan dicapainya nilai NPV Rp.
3.583.022 (tingkat bunga 10,5%) dengan B/C = 2,25. Dari hasil panen,
setelah dipergunakan untuk pelunasan pokok pinjaman, pembayaran bunga,
dan pajak, petani pada akhir tahun diharapkan masih akan dapat menerima
pendapatan bersih sebesar Rp. 1.699.200 per 1 ha lahan budidaya.
a. Kelayakan Finansial Menggunakan KKPA
Apabila menggunakan KKPA dengan pembiayaan sertifikasi lahan sebagai
investasi, analisis usaha untuk waktu 5 tahun sebelum pembayaran pajak
menghasilkan nilai NPV Rp. 4.119.850 / ha dengan B/C (gross) = 1,46. IRR
dihitung dengan memandang investasi berupa pembiayaan Rp. 300.000/ha
untuk pembuatan sertifikat tanah dalam rangka mendapatkan kredit Bank,
menunjukkan nilai IRR 43,5% sampai akhir tahun ke-5.
Kredit investasi dan modal kerja tahun pertama direncanakan agar dapat
dilunasi pada akhir tahun ke-5. Pendapatan bersih petani (di luar upah kerja
apabila pekerjaan lapangan dilakukan sendiri), akan berkisar Rp.
333.140/ha/th pada tahun pertama, yang akan naik pada tahun ke-2, ke-3,
ke-4, sampai pada tahun ke-5 mencapai sekitar Rp. 747.858/ha/th.
Pendapatan bersih ini setelah pembayaran pajak dan keperluan tanam
berikutnya, akan menjadi lebih dari Rp. 1.571.535ha/th setelah kredit lunas
pada akhir tahun ke-5.
b. Kelayakan Finansial Menggunakan Kredit Umum (tingkat suku bunga 28%)
Dengan menggunakan kredit umum, yang apabil tingkat suku bunga
dipergunakan 28%, analisis usaha budidaya ubi kayu ini untuk waktu 10 tahun
memberikan pendapatan (setelah pembayaran pajak) dengan nilai NPV = Rp.
1.434.259 dengan B/C (gross) 1,36. Nilai ini lebih kecil sedikit apabila
menggunakan KKPA, akibat dipergunakannya kredit dengan tingkat bunga
yang lebih tinggi. Nilai IRR = 40,5% (setelah diperhitungkan pajak) sampai
akhir tahun ke-10.
22
23
Karena ubi kayu relatif mudah dibudidayakan pada lahan-lahan kering dan
memiliki ketahanan yang baik terhadap kekeringan, maka usaha ini
merupakan alternatif yang bisa ditempuh bagi para petani untuk meningkatkan
pendapatannya di daerah yang tidak ada pengairan.
b. Dampak Lingkungan
Dampak terhadap Komponen Lingkungan Fisik
Dampak kegiatan budidaya ubi kayu terhadap lingkungan fisik disebabkan oleh
kegiatan budidaya tanaman yang bersifat mono kultur. Dampak budidaya
tanaman yang berskala besar terhadap lingkungan fisik diantaranya adalah
meningkatnya laju erosi tanah (terutama pada tahap konstruksi/persiapan
lahan) dan menurunnya tingkat kesuburan tanah pada tahap pasca konstruksi
sebagai akibat dari pembudidayaan yang kurang intensif. Penurunan kesuburan
tanah terutama disebabkan oleh rakusnya tanaman ini terhadap unsur hara
tanah jika dibandingkan dengan tanaman lainnya. Besarnya dampak
penurunan kesuburan tanah ini masih digolongkan tidak penting, karena skala
usaha proyek ini hanya 25 ha untuk satu kelompok tani. Penggunaan pupuk
organik dan setiap habis panen mengembalikan kembali cacahan sisa
tanaman, merupakan upaya untuk mempertahankan struktur tanah yang baik,
disamping pemberian pupuk buatan untuk menjaga kesuburan lahan.
Kendati pun dampak kegiatan budidaya ini berdampak tidak penting terhadap
komponen lingkungan fisik, namun untuk menghindari terjadi akumulasi
dampak (bahkan jika dikembangkan dalam skala besar) perlu diupayakan
pengelolaan lingkungannya seperti sistem persiapan lahan yang baik,
pemupukan yang tepat, dan pengelolaan sistem tanam yang cenderung mono
kultur sepanjang tahun, namun dilakukan secara tumpang gilir.
Diadakan rotasi tanaman, atau dipergunakannya pola tanam tumpang sari
dengan tanaman kacang-kacangan sangat dianjurkan dalam upaya menjaga
kesuburan lahan.
Dampak terhadap Komponen Flora
Dampak kegiatan budidaya terhadap komponen flora hanya terjadi sebagai
akibat dari kegiatan persiapan lahan. Hilangnya ekosistem flora, terutama
pada lahan hutan primer/sekunder bisa terjadi sebagai akibat pembukaan
lahan berskala besar. Oleh karena proyek ini berskala kecil maka dampak
terhadap komponen flora tergolong tidak penting.Berdasarkan skala usaha
yang akan dikembangkan dan prakiraan dampak yang mungkin terjadi,
sebagaimana diuraikan di atas, pengembangan budidaya ubi kayu pola PKT
untuk usaha kecil dan menengah tidak perlu mempersyaratkan analisis
mengenai dampak lingkungan (AMDAL)
7. Penutup
24
a. Kesimpulan
1. Peluang pasar komoditas yang menggunakan ubi kayu sebagai bahan
bakunya, seperti tepung tapioka dan gapiek, baik untuk ekspor ataupun
untuk keperluan dalam negeri masih terus terbuka, sehingga secara
tidak langsung memberikan peluang bagi diadakannya pengembangan
dan peningkatan produksi ubi kayu pada umumnya di Indonesia.
2. Secara teknis, sumber daya lahan dan sumber daya manusia untuk
pengembangan produksi ubi kayu di Indonesia masih banyak tersedia di
berbagai wilayah, terutama di daerah-daerah lahan kering Luar Jawa.
3. Beberapa kendala yang dihadapi oleh para petani dalam pengembangan
budidaya ubi kayu adalah masalah penyertaan modal, penyediaan
saprodi, pemasaran hasil dan keadaan harga jual umbi pada waktu
panen yang sering tidak menguntungkan petani. Hal ini menjadi
perhatian dalam mempertimbangkan pengamanan pemberian kredit
dari pihak Bank kepada petani, yang hasilnya dilaporkan dalam bentuk
Model Kelayakan Proyek Kemitraan Terpadu (MK-PKT) Usaha Budidaya
Ubi Kayu.
4. Berdasarkan analisis finansial, pemberian KUT, KKPA ataupun skim
kredit lainnya (sampai dengan tingkat bunga 28%), terlihat masih
memiliki landasan kelayakan finansial apabila pelaksanaan usahanya
menggunakan Pola Kemitraan Terpadu seperti dibahas dalam Model
Kelayakan ini.
b. Saran
1. Untuk penggunaan Pola Kemitraan Terpadu ini, antara Petani Plasma
dengan Mitra Usaha Besar sebagai Perusahaan Inti yang akan membeli
hasil ubi kayu para Petani Plasma, hendaknya dibuat Nota Kesepakatan
tertulis yang isinya mengatur kerjasama antara keduanya dengan
berdasarkan kedudukan hukum dan kepentingan serta dapat
memberikan saling keuntungan yang sama antara kedua belah pihak.
2. Untuk menjaga kelestarian lahan dan keberlanjutan usaha, aspek teknis
budidaya ubi kayu ini agar mendapatkan perhatian dengan menyertakan
pemberian pupuk organik di samping pupuk anorganik (seperti urea)
dan mengembalikan sisa-sisa tanaman ke dalam tanah. Diadakannya
tumpangsari dengan tanaman kacang-kacangan atau diadakannya rotasi
bergilir dengan tanaman lain, akan dapat membantu mencegah
terkurasnya unsur hara tanah.
3. Guna mencegah biaya angkut yang tinggi, proyek pengembangan
budidaya ubi kayu sebaiknya dilaksanakan pada lokasi yang tidak jauh
di sekitar Pabrik Pengolahan ubi kayu atau gudang pengumpulan gapiek
milik mitra Pengusaha Besar yang bersangkutan.
25
4. Untuk mengantisipasi fluktuasi harga jual ubi kayu hasil panen petani,
jadual dan luas tanam sebaiknya disesuaikan dengan permintaan dari
Perusahaan mitra pengguna ubi kayu tersebut.
26
LAMPIRAN
27