Anda di halaman 1dari 4

Bayi Cacat

Respon psikologis terhadap anak-anak cacat bervariasi, tetapi sering kali berhubungan
dengan reaksi kesedihan yang mendalam dari 'kehilangan bayi yang diharapkan'. Orangtua
bisa saja mengalami mati rasa, dan ketidakmampuan menerima kecacatan, rasa bersalah, rasa
benci, dan menolak keadaan bayi. Bergantung pada seberapa besar bantuan fisik yang
dibutuhkan anak tersebut, beberapa orangtua menanggapinya dengan memberikan perhatian
dan asuhan anak yang terlalu berlebihan sehingga mengganggu aktivitas dan hubungan
dengan orang lain.

Persalinan : Gangguan suasana hati setelah kelahiran.


Berdasarkan pedoman dari National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE)
(2007), 90% perempuan mengalami kondisi emosional labil sementara. Dalam perspektif
nosologi, bila benar-benar parah kondisi ini dapat menyebabkan depresi. Alasannya sulit
diprediksi. Perempuan sering kali enggan menghadapi rasa takut kehilangan infant mereka,
tidak ingin menjadi ibu yang buruk, depresi karena merasa mereka tidak akan mendapat apaapa. 13% dari dari sekitar 13.000 perempuan dinilai tidak gila setelah mengalami depresi
postpartum, dinilai setidaknya setelah 2 minggu mengalami depresi (OHara & Swain 1996).
Akan tetapi, angkanya bervariasi sesuai dengan waktu dan metode penilaian, angka tertinggi
(14%) tercatat ketika penilaian laporan pribadi seperti dari the Edinburgh Postnatal
Depression Scale (Cox et al. 1987) juga digunakan atau disalahartikan sebagai alat
penialaian. Jumlah minggu depresi postpartum yang terlihat haruslah disetujui. (Cooper &
Murray 1995; Cooper et al. 1988). Edisi ke-4 dari Diagnostic andStatistical Manual of Mental
Disorders (DSM-IV; American Psychiatric Association 1994) menyatakan bahwa gejala
bermula dalam 4 minggu hingga dapat memenuhi syarat untuk dapat dianggap sebagai
penentu post-partum onset. Dalam praktik klinik dan penelitian banyak yang menggunakan
kerangka waktu hingga mencapai lebih dari 3 bulan (Wisner et al. 2002). Dampak jangka
panjang dari gangguan suasana hati pada ibu pada perkembangan keturunan masih belum
dapat dipastikan. (Cooper & Murray 1997; Martins & Gaan 2000; Murray 1992; Murray et
al. 2001, 2003). Meskipun menyusui dapat dianggap memiliki efek anxiolytic (Altemus et al.
1995), penyakit kegelisahan yang muncul sebelumnya cenderung memperparah depresi
postpartum. Antara 1-2% populasi menderita penyakit bipolar aktif (BPAD; Kessler et al.
1994), sementara kegilaan puerperal yang disebabkan oleh kelahiran dialami oleh 1 dari

1000 kelahiran. Terp and Mortensen (1998) mencatat risiko relatif 6.8 untuk peristiwa
pertama kegilaan depresi bipolar 2-28 hari setelah kelahiran. Ini lebih tinggi dari 2 minggu
perhitungan depresi postpartum. Gejala penyakit bipolar dan kegilaan puerperal hampir
mirip, yaitu kualitas tidur yang buruk, mudah marah, kegelisahan, halusinasi, dan delusi
(kahayalan). Perempuan yang menderita kegilaan puerperal afektif sangat berisiko
mengalami penyakit bipolar afektif (Davidson & Robertson 1985). Perempuan dengan BPAD
berpotensi 20-30% mengalami hal yang sama. (Kendell et al. 1987). Ini juga dapat 10-15%
terjadi dari keturunan keluarga yang juga mengalami hal yang sama. Menurut Jones and
Craddock (2001), perempuan yang keluarganya mengalami hal yang mengalami kegilaan
puerperal angkanya mencapai 57%. Ini dapat terjadi karena gen ataupun lingkungan. Variasi
serotonin pengankut gen membawa risiko penyakit bipolar puerperal (Coyle et al. 2000),
akan tetapi hal ini masih belum dikonfirmasi.

Masalah pengobatan
Keberhasilan pengobatan pada perempuan pasca melahirkan tidak sama dengan perempuan
yang tidak mengandung. Namun, khusus untuk mereka yang menyusui harus ada bimbingan
khusus dari para ahli (see NICE Guidelines 2007). Umumnya menurut pengobatan
farmakologi, perempuan harus ditangani dengan dosis rendah. Bila mereka ingin melanjutkan
menyusui, mereka harus mengonsumsinya sesuai level yang dianjurkan. Rekomendasi
pengobatan dapat dilihat di pedoman terbaru NICE (2007). Pencegahan kambuhnya depresi
pasca melahirkan sebagian sudah dimuat, namun tidak semua obat antidperessan.

Menopause
Survey epidemiologikal skala besar tidak membantu dugaan secara nosologi untuk
membedakan involutional melancholia

(Avis et al. 1994; Kaufert et al. 1992;Woods

&Mitchell1996). Dalam Massachusetts Womens Health Study, prospektif, 5 tahun percobaan


observasional, investigator berusaha memastikan perubahan status menopause memiliki efek
depresi pada 2565 perempuan usia 45-55 tahun (Avis et al. 1994). Tidak ada hubungan antara
menopause alami dengan risiko depresi. Namun, perempuan yang mengalami perimenopause
yang panjang memiliki angka gejala depresi yang meningkat, meskipun depresinya hanya
sementara.

Hasil yang sama dilaporkan dari the Seattle Midlife Womens Health Study (Woods &
Mitchell 1996) and the Manitoba Project (Kaufert et al. 1992). Dalam kedua penelitian, tidak
ditemukan hubungan yang konsisten antara status menopause dan depresi atau perasaan
depresi. Status menopause tidak membedakan perempuan dengan pola perasaan depresi
dengan mereka yang tidak memiliki perasaan depresi.
Studi ini juga menunjukkan bahwa faktor psikososial dan budaya berpengaruh lebih
pada suasana hati tertekan dan depresi di kalangan perempuan saat menopause. Pola perasaan
depresi yang multifaktorial dan terkait dengan konteks kehidupan stres, masa lalu dan atau
status kesehatan saat ini, serta faktor sosial pada usia paruh baya, selain itu riwayat depresi
juga sangat mempengaruhi. Hunter (1990) melaporkan bahwa depresi masa lalu, bersama
dengan faktor-faktor kognitif dan sosial, mempengaruhi 51% mood perempuan yang sedang
menopause. Kehidupan yang penuh dengan masalah dapat membuat stres, misalnya penyakit
atau kematian orang tua, anak-anak yang selalu pergi meninggalkan rumah, perubahan karir,
perceraian, atau masalah keuangan yang mungkin terjadi pada usia paruh baya.
Insiden pada gangguan mood lebih tinggi pada perempuan perimenopause
dibandingkan pada perempuan post menopause dan tampaknya lebih sering terjadi pada
perempuan dengan menopause yang memanjang (27 bulan). Schmidt et al. (1997)
mengatakan bahwa gejala vasomotor pada ovarian steroid withdrawal, seperti hot flashes dan
keringat malam, yang terjadi pada periode perimenopause dan awal masa post menopause
terkait dengan gejala mood. Gejala vasomotor berhubungan dengan susah tidur, iritabilitas,
depresi, dan kehilangan kesadaran diri.
Banyak perempuan mengalami perubahan suasana hati saat menopause dan beberapa
perempuan mungkin lebih cenderung mengembangkan depresi de-novo yang berhubungan
dengan gejala menopause berat. Perempuan dengan riwayat depresi sebelumnya, PMDD atau
depresi pasca melahirkan lebih mungkin mengalami depresi saat menopause.
Gangguan psikotik diduga lebih sering terjadi pada perempuan pasca-menopause dan
gejala paraphrenia bisa saja hadir pada gangguan yang khas. Beberapa peneliti menyatakan
bahwa skizofrenia akan memburuk ketika pasca-menopause (mis Grigoriadis & Seeman
2002). Namun, data ini

masih dipengaruhi oleh faktor-faktor yang sama seperti pada

gangguan mood dan belum memiliki data epidemiologi. Onset menggambarkan puncak
kedua insiden schizophreniform pada wanita usia sekitar 45 tahun (Puri et al. 1998), tapi ini
belum dikaitkan dengan perubahan status hormon ovarium. Perpindahan fase gangguan

bipolar yang cepat juga memburuk ketika menopause, walaupun data yang ada tidak
konsisten (lihat Liebenluft 1997). Harvard Study of Moods (Harlow et al. 2003) menyatakan
bahwa menopause dini (<40 tahun) / kegagalan siklus ovulasi bisa saja lebih sering terjadi
pada perempuan yang memiliki riwayat depresi.

Anda mungkin juga menyukai