Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

JURNAL REWIEV SISTEM KARDIOVASKULER

Oleh :
CINDY WANDA PRADITA
NIM. 201301014

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


STIKES KARYA HUSADA KEDIRI
2016/2017

BAB I
PENDAHULUAN
A.

LATAR BELAKANG
Obesitas merupakan suatu keadaan fisiologis akibat dari penimbunan lemak
secara berlebihan di dalam tubuh. Saat ini gizi lebih dan obesitas merupakan epidemik di
negara maju, seperti Inggris, Brasil, Singapura dan dengan cepat berkembang di negara
berkembang, terutama populasi kepulauan Pasifik dan negara Asia tertentu.
Prevalensi obesitas meningkat secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir dan
dianggap oleh banyak orang sebagai masalah kesehatan masyarakat yang utama
(LucyA.Bilaver,2009).
WHO menyatakan bahwa obesitas telah menjadi masalah dunia. Data yang
dikumpulkan dari seluruh dunia memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan prevalensi
overweight dan obesitas pada 10-15 tahun terakhir, saat ini diperkirakan sebanyak lebih
dari 100 juta penduduk dunia menderita obesitas. Angka ini akan semakin meningkat
dengan cepat. Jika keadaan ini terus berlanjut maka pada tahun 2230 diperkirakan 100%
penduduk

dunia

akan

menjadi

obes

(Sayoga

dalam

Rahmawaty,

2004).

Panama dan Kuwait tercatat sebagai dua negara dengan prevalensi obesitas tertinggi di
dunia, yakni sekitar 37%. Setelah itu Peru (32%) dan Amerika Serikat (31%). Di Brasil,

kenaikan

kasus

obesitas

terjadi

pada

anak-anak

sebesar

239%.

Di Eropa, Inggris menjadi negara nomor satu dalam kasus obesitas pada anak-anak,
dengan angka prevalensi 36%. Disusul oleh Spanyol, dengan prevalensi 27%
berdasarkan laporan Tim Obesitas Internasiona(Cybermed,2003).
Masalah obesitas meluas ke negara-negara berkembang: misalnya, di Thailand prevalensi
obesitas pada 5-12 tahun anak-anak telah meningkat dari 12,2% menjadi 15,6% hanya
dalam dua tahun (WHO, 2003). Tingkat prevalensi obesitas di Cina mencapai 7,1% di
Beijing dan 8,3% di Shanghai pada tahun 2000 (WHO, 2000). Prevalensi obesitas anakanak usia 6 hingga 11 tahun sudah lebih dari dua kali lipat sejak tahun 1960an (WHO, 2003). Selain itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, pada tahun
2005, secara global ada sekitar 1,6 miliar orang dewasa yang kelebihan berat badan atau
overweight dan 400 juta di antaranya dikategorikan obesitas. Pada Tahun 2015 diprediksi
kasus obesitas akan meningkat dua kali lipat dari angka itu.
Obesitas di Indonesia sudah mulai dirasakan secara nasional dengan semakin
meningginya angka kejadiannya. Selama ini, kegemukan di Indonesia belum menjadi
sorotan karena masih disibukkan masalah anak yang kekurangan gizi. Meskipun obesitas
di Indonesia belum mendapat perhatian khusus, namun kini sudah saatnya Indonesia

mulai melirik masalah obesitas pada anak. Jika dibiarkan, akan mengganggu sumber daya
manusia (SDM) di kemudian hari.
Prevalensi obesitas di Indonesia mengalami peningkatan mencapai tingkat yang
membahayakan. Berdasarkan data SUSENAS tahun 2004 prevalensi obesitas pada anak
telah mencapai 11%. Di Indonesia hingga tahun 2005 prevalensi gizi baik 68,48%, gizi
kurang 28%, gizi buruk 88%, dan gizi lebih 3,4% (Data SUSENAS, 2005).
Sedangkan berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi
nasional obesitas umum pada penduduk berusia 15 tahun adalah 10,3% terdiri dari
(laki-laki 13,9%, perempuan 23,8%). Sedangkan prevalensi berat badan berlebih anakanak usia 6-14 tahun pada laki-laki 9,5% dan pada perempuan 6,4%. Angka ini hampir
sama dengan estimasi WHO sebesar 10% pada anak usia 5-17 tahun.
Menurut penelitian DR. Dr. Damayanti Rusli Sjarif, SpA(K) dari FKUI/RSCM
bersama koleganya pada tahun 2002 melakukan penelitian di 10 kota-kota besar yaitu
Medan, Padang, Palembang, Jakarta, Semarang, Solo, Jogkakarta, Surabaya, Denpasar,
dan Manado dengan subyek siswa sekolah dasar. Hasilnya memperlihatkan prevalensi
obesitas pada anak sebesar 17,75 persen di Medan, Padang 7,1 persen, Palembang 13,2
persen, Jakarta 25 persen, Semarang 24,3 persen, Solo 2,1 persen, Jogjakarta 4 persen,
Surabaya 11,4 persen, Denpasar 11,7 persen, dan Manado 5,3 persen .

Obesitas sendiri sekarang dikenal sebagai ajang reuni berbagai macam penyakit. Salah
satunya Penyakit jantung koroner (PJK) yang merupakan kelainan pada satu atau lebih
pembuluh arteri koroner dimana terdapat penebalan dinding dalam pembuluh darah
(intima) disertai adanya aterosklerosis yang akan mempersempit lumen arteri koroner dan
akhirnya akan mengganggu aliran darah ke otot jantung sehingga terjadi kerusakan dan
gangguan pada otot jantung.
Penyakit jantung koroner kerap diidentikkan dengan penyakit akibat hidup
enak, yaitu terlalu banyak mengkonsumsi makanan mengandung lemak dan kolesterol.
Hal ini semakin menjadi dengan kian membudayanya konsumsi makan siap saji alias
junk food dalam kurun waktu satu dekade ini. Tak dapat dimungkiri, junk food telah
menjadi bagian dari gaya hidup sebagian masyarakat di Indonesia.Lihat saja berbagai
gerai yang terdapat di mal-mal, selalu penuh oleh pengunjung dengan beragam usia, dari
kalangan anak-anak hingga dewasa.Padahal junk food banyak mengandung sodium,
lemak jenuh dan kolesterol. Soium merupakan bagian dari garam. Bila tubuh terlalau
banyak mengandung sodium,dapat meningkatkan aliran dan tekanan darah sehingga
menyebabkan tekanan darah tinggi. Tekanan darah tinggi lah yang dapat berpengaruh
munculnya gangguan penyakit jantung. Lemak jenuh berbahaya bagi tubuh karena
merangsang hati untuk memproduksi bnnyak kolesterol yang juga berperan akan

munculnya penyakit jantung. Karena kolesterol yang mengendap lama-kelamaan akan


menghambat aliran darah dan oksigen sehingga menggangu metabolisme sel otot jantung.
Dalam hal ini akan diuraikan pada kajian ini tentang apa yang disebut
obesitas,apa penyebabnya, bagaimana konsekwensi obesitas pada penyakit jantung
koroner, dan bagaimana mengatasinya. Selain itu akan dibahas lebih lanjut mengenai
hubungan obesitas terhadap kejadian Penyakit Jantung

Koroner

(PJK).

BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.

HASIL
Berdasarkan Data yang kami peroleh dari jurnal yang berjudul HUBUNGAN
ANTARA OBESITAS SENTRAL DENGAN ADIPONEKTIN PADA PASIEN
GERITARI DENGAN PENYAKIT JANTUNG KORONER
Penelitian ini untuk mengkaji faktor determinan PJK dengan yaitu faktor sosiodemografi,
faktor risiko perilaku, dan hasil pemeriksaan darah..Adapun hasil yang diperoleh,dapat
diuraikan sebagai berikut :
Empat puluh lima subyek dapat dikumpulkan dan dilakukan pemeriksaan selama
bulan Oktober 2004 sampai dengan Mei 2005. Semua subyek berumur antara 60 74
tahun dengan nilai rerata 63,73 3,74 tahun. Subyek terdiri dari 35 laki-laki, 10 wanita
dengan 23 angina pectoris tidak stabil, 14 infark miokard akut, dan 8 angina pectoris
stabil.

Prevalensi obesitas sentral didapatkan sangat tinggi yaitu 51,1% (23 orang).

Sedangkan prevalensi hipoadiponektinemia didapatkan juga tinggi yaitu 53,3% (24


orang).
Dari data karakteristik stelah dilakukan uji homogenitas kosmogorov smirnov
distribusi data yang tidak normal hanya didapatkan pada kadar adiponektin
Terdapat perbedaan nilai rerata yang bermakna pada IMT, tekanan darah sistolik,
kolesterol total, kolesterol HDL dan log adiponektin. Pada variable lainnya perbedaan
rerata menunjukan tidak bermakna. Tetapi secara keseluruhan pada obesitas sentral
mempunyai rerata tekanan darah, gula darah, kolesterol total, LDL dan trigliserida lebih
tinggi dan kolesterol HDL, adiponektin yang lebih rendah.
bahwa kadar adiponektin mempunyai nilai rerata yang sangat berbeda antara
penderita yang menderita angina stabil, angina tidak stabil dan infark miokard akut.
Makin berat penyakit koroner yang diderita kadar adiponektinnya makin rendah.
Perbedaan ini bermakna dengan tingkat kemaknaan p<0.05. Apabila kita melakukan
evaluasi dengan membandingkan antara obesitas sentral dengan obesitas yang diukur
dengan IMT sebagai risiko hipoadiponektinemia dapat dilihat di table 4. Ternyata obesitas
sentral lebih bermakna dengan ratio prevalence 5 berarti obesitas sentral

Hubungan Antara Obesitas Sentral Dengan Adiponektin Pada Pasien Geritari Dengan
Penyakit Jantung Koroner mempunyai risiko hipoadiponektinemia 5 kali lebih besar
dibandingkan dengan non obesitas sentral.
PEMBAHASAN
Prevalensi obesitas sentral pada subyek dengan PJK usia lanjut didapatkan sangat
tinggi yaitu 51,1% dibandingkan dengan penelitian sebelumnya. Prevalensi obesitas
sentral pada usia lanjut di Desa Sembiran didapatkan 23,5% pada wanita dan 9,3% pada
laki-laki. Sedangkan prevalensi obesitas sentral pada populasi orang dewasa di kota
Denpasar didapatkan juga tinggi 56,1%. Prevalensi obesitas sentral pada populasi
pedesaan memang lebih rendah dibandingkan dengan perkotaan. Masih tingginya
prevalensi obesitas sentral pada usia lanjut akan membawa konsekuensi peningkatan
risiko terjadinya PJK. Hal ini berkaitan dengan 2 mekanisme yaitu mekanisme langsung
melalui efek metabolic protein yang disekresikan oleh jaringan lemak seperti interleukin
(IL) 1, IL 6, TNF , adiponektin dan masih banyak proein lainnya terhadap endotel
pembuluh darah dan efek tidak langsung akibat factor-faktor lain yang muncul sebagai
risiko PJK akibat dari obesitas sentral tersebut. Faktor-faktor lain yang berhubungan
dengan obesitas sentral sebagai factor risiko kejadian PJK digolongkan sebagai sindrom
metabolic.9-12 Penelitian sebelumnya didapatkan obesitas sentral berhubungan dengan
gula darah puasa, trigliserid, kolesterol HDL, dan tekanan darah. Tetapi pada penelitian
ini dengan populasi penyakit jantung koroner usia lanjut sedikit berbeda. Perbedaan rerata
bermakna antara obesitas sentral dan non obesitas sentral hanya didapatkan pada
kolesterol HDL, kolesterol total dan tekanan darah sistolik. Sedangkan pada uji korelasi
obesitas sentral tidak berhubungan dengan berhubungan dengan tekanan darah sistolik
dan kolesterol HDL. Obesitas sentral didapatkan berhubungan secara langsung dengan
kadar adiponektin plasma.13

Pengukuran obesitas dengan mennggunakan lingkar

pinggang sehingga didapatkan obesitas sentral jauh lebih baik dibandingkan dengan
pengukuran obesitas berdasarkan IMT. Beberapa penelitian
J Peny Dalam, Volume 7 Nomor 2 Mei 2006 1 06
sebelumnya telah menunjukan bahwa lemak abdominal/visceral merupakan lemak jahat
yang banyak dihubungkan dengan kejadian penyakit jantung koroner. Laporan dari
National Cholesterol Education Program (NCEP) pada expert panel on detection,
evaluation and treatment of high cholesterol in adult (adult treatment Panel III / ATPIII)
menyatakan lingkar pinggang sebagai bagian dari sindrom metabolic yang mendapat
perhatian lebih serius. Pada penelitian sebelumnya dari populasi dewasa di pedesaan dan
perkotaan di Bali didapatkan bahwa lingkar pinggang merupakan predictor sindrom
metabolic yang sangat baik dimana lingkar pinggang berhubungan kuat dengan
komponen sindrom metabolic lainnya. Lingkar pinggang jauh lebih baik digunakan
sebagai predictor sindrom metabolic dibandingkan dengan IMT. Pada penelitian ini
dengan populasi PJK usia lanjut didapatkan lingkar pinggang tidak berhubungan dengan
komponen sindrom metabolic lainnya, tetapi berhubungan kuat dengan kadar adiponektin
plasma. Obesitas sentral mempunyai ratio prevalence 5 kali lebih tinggi untuk
mendapatkan hipoadiponektinemia dibandingkan dengan non obesitas sentral. Tidak
demikian halnya dengan IMT.11,13,14

Pada penelitian ini didapatkan bahwa terdapat

hubungan negatif yang bermakna antara obesitas sentral dengan kadar adiponektin
plasma. Makin tinggi tingkat obesitas sentral maka kadar adiponektin akan semakin
rendah. Keadaan hipoadiponetinemia sering dihubungkan dengan peningkatan risiko
terjadinya kejadian penyakit jantung koroner. Rendahnya kadar adiponektin ternyata juga
didapatkan berhubungan dengan semakin beratnya manifestasi klinis PJK yang terjadi
pasien tersebut. Pada penelitian ini kadar rerata adiponektin terendah didapatkan pada
kelompok infark miokard akut kemudian angina tidak stabil dan angina stabil. Perbedaan
rerata ini bermakna secara uji anova. Penurunan kadar adiponektin akan mengakibatkan

semakin rendahnya mekanisme proteksi anti inflamasi dan antithrombosis sehingga


manifestasi PJK menjadi
semakin berat. Penelitian pada kultur jarungan mendapatkan beberapa mekanisme
adiponektin menekan proses aterosklerosis yaitu: menghambat tranformasi makrofag
menjadi sel busa, menekan ekspresi TNF, menghambat ekspresi molekul adesi dan
menekan proliferasi otot-otot arteri. Pencegahan terhadap kejadian obesitas sentral sangat
diperlukan

untuk

menghambat

kejadian

dan

progresifitas

dari

arterosklerosis

tersebut.6,7,15
KESIMPULAN
Prevalensi obesitas sentral pada penderita PJK usia lanjut sangat tinggi. Obesitas sentral
berhubungan dengan kadar adiponektin yang merupakan factor kardioprotektif.
Perbedaan kadar adiponektin darah dapat juga menunjukan berat ringannya manisfestasi
PJK yang didapat. Makin tinggi tingkat obesitas sentral akan menurunkan kadar
adiponektin dalam darah dan memperberat manifestasi PJK yang muncul pada pasien
tersebut. Pencegahan terhadap kejadian obesitas sentral pada usia lanjut masih sangat
diperlukan untuk menghambat kejadian dan progresifitas dari arterosklerosis tersebut.

Anda mungkin juga menyukai