Anda di halaman 1dari 2

MENYULAP LIMBAH JADI BETON UNGGUL

Tak selamanya limbah terbuang percuma. Tailing (limbah pertambangan) PT


Freeport Indonesia (PT FI), misalnya, bisa disulap jadi beton. Bahkan dari uji
laboratorium terbukti, bahan buangan itu juga memenuhi syarat sebagai bahan
pembuatan semen.
Kini, untuk membuat beton tak harus mengandalkan bahan-bahan beton konvensional yakni
pasir, kerikil, dan semen. Berkat keuletan sejumlah peneliti, berbagai limbah bisa
dimanfaatkan untuk itu. Di antaranya, yang sudah diteliti, fly ash (abu terbang), limbah nickle
slag (ampas bijih nikel), dan kerak baja.
Memang tidak sembarang limbah bisa. Sebab, untuk dapat dijadikan bahan konstruksi ada
syaratnya. Limbah itu tidak mengandung bahan berbahaya yang bisa mengganggu
kesehatan, dan unsur-unsur yang dikandungnya tidak menimbulkan reaksi yang
bertentangan dengan semen sebagai bahan perekatnya.
Kalau syarat kedua dipenuhi, maka limbah itu harus diberi perlakuan tertentu lebih dulu untuk
mengatasi bahan berbahayanya.
Bahan beton dan semen
Belakangan jenis limbah lain yang terbukti bisa untuk bahan konstruksi ialah limbah
pertambangan yang populer disebut tailling. Salah satunya limbah buangan PT FI yang
disalurkan melalui Sungai Aghawagon dan Sungai Otomona menuju Sungai Akjwa, dan
beristirahat di daerah pengendapan Akjwa (DPA). Limbah ini bagian tak berguna dari proses
pengolahan batuan bijih untuk diambil tembaga, emas, dan peraknya. Ujudnya berupa pasir
dan bebatuan kecil berwarna abu-abu keperakan.
Oleh sementara pihak tailling dianggap telah mengganggu lingkungan. Pasalnya, limbah itu
telah mengubah ekosistem di sepanjang sungai yang dilalui hingga ke Laut Arafura. Namun,
pihak lain (terutama si pembuang) tidak memandangnya sebagai sesuatu yang mengganggu
dan membahayakan. Dari situlah muncul pro-kontra.
Namun, di tengahnya ada kelompok "netral" yang tidak ingin terlibat dalam arus pro-kontra
itu. Kelompok itu tidak mengutuk kegelapan, tetapi justru mulai menyalakan lilin. Mereka
mencoba mencari jalan tengah yang tidak merugikan kelompok mana-mana. Malah
sebaliknya menguntungkan dengan melakukan penelitian ... dan berhasil. Dari penelitian itu
terbukti, tailling berpotensi besar untuk bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku beton!
Kelompok "poros tengah" itu adalah sejumlah peneliti yang tergabung dalam tim peneliti
pemanfaatan tailling PT FI, di bawah payung Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri (LAPI)
ITB. Tim material itu ada tiga orang yakni Prof. Ir. H. Djuanda Suraatmadja, Dr. Ir. Dicky
Rezardi Munaf, dan Ir. Budi Lationo, M.Sc.
Beton dari limbah pertambangan itu di antaranya bisa dimanfaatkan untuk jalan beton dan
buis beton. Bahkan, saat ini tim yang sama juga sedang menguji penggunaan tailling sebagai
bahan pembuatan beton pracetak untuk jembatan.
Menurut Budi, jenis beton baru ini tak tertutup kemungkinannya untuk dipakai dalam
pembangunan perumahan. Tentu saja bagian-bagian rumah itu perlu dicetak terlebih dahulu,
dari pondasi, balok, dinding, hingga bagian lainnya. Setelah itu baru disusun menjadi sebuah
rumah.
Bukan hanya itu. Saat ini juga sedang dikaji (dalam skala laboratorium) penggunaan tailling
sebagai bahan baku semen. Unsur-unsur dalam limbah pertambangan itu diketahui sudah
memenuhi syarat. Tinggal menambah kapur (CaO) saja. Selama ini semen yang kita kenal
dibuat dari tiga bahan baku yakni kapur, pasir besi, dan tanah liat. Sebagai bahan baku
semen, tailling menggantikan pasir besi dan tanah liat. Diperkirakan, biaya produksi semen
dari limbah ini lebih murah karena bahan kapurnya banyak terdapat di Irian Jaya.
Lebih unggul dari beton biasa
Penelitian pemanfaatan tailling sebagai bahan konstruksi sudah dimulai pada 1997, menyusul
penandatanganan Perjanjian Kerjasama antara PT FI dan LAPI ITB tahun 1996. Dari
penelitian terbukti, limbah itu bisa dijadikan beton mortar (beton yang tidak menggunakan
batu kerikil sebagai salah satu bahannya). Namun, limbah pertambangan Freeport ada
kelemahannya. Di antaranya kandungan magnesium di dalamnya. Kandungan ini membuat

beton yang dihasilkan akan retak bila perekatnya cuma semen. Tapi ini bukan masalah besar.
Agar tidak retak, ramuan beton itu ditambahi polimer khusus.
"Polimer yang digunakan di sini adalah selulosa asetat yang dimodifikasi dengan beberapa
bahan supaya bisa mengantisipasi masalah keretakan awal. Jadi, polimer ini akan
memperkuat semen. Sebenarnya, tailling bisa diikat dengan semen, tapi lama-lama akan
retak karena tailling banyak mengandung magnesium. Jadi, dalam hal ini bisa dikatakan
semennya berfungsi sebagai matriks pengikat, sementara polimernya sebagai komatriks
pengikat," jelas Budi. Selain mendongkrak kekuatan beton yang dihasilkan, penambahan
polimer juga untuk menetralisasi unsur berbahaya dalam limbah itu.
Dalam ramuan beton, bahan terbanyak memang tailling. Untuk menghasilkan beton 1 m3
dibutuhkan 1.500 kg tailling, 500 kg semen, dan 10 kg polimer. Mengingat kombinasi tiga
bahan itu, beton itu dinamai copper tailling polymer modified concrete (CTPMC).
Dalam pengujian, menurut Budi, beton mortar berbahan tailling memiliki kekuatan tekan lebih
tinggi dibandingkan dengan beton konvensional. Karena itu, CTPMC digolongkan ke dalam
highstrength concrete, sedangkan beton konvensional termasuk normalstrength concrete.
CTPMC juga memiliki durability (ketahanan atau keawetan terhadap asam, basa, dan garam)
lebih dibanding yang konvensional. Nilai lebih lainnya, ketika menyangga beban sampai
beban puncaknya, dia tidak langsung runtuh, tapi perlahan-lahan. "CTPMC lebih ulet. Beton
konvensional tidak memiliki kemampuan seperti itu, kecuali beton konvensional yang diberi
fiber. Karena kekuatan dan kelebihannya, beton tailling ini boleh dibilang sebagai
highperformance concrete," tutur Budi bangga.
Ada lagi keunggulannya, bila CTPMC digunakan untuk membuat jalan, proses
pengeringannya lebih cepat, sehingga bisa segera dilalui kendaraan. Dari penelitian, jalan
beton tailling sudah bisa dilalui kendaraan setelah berumur tujuh hari. Sementara, beton
konvensional perlu 28 hari untuk bisa dilalui kendaraan. Jadi, waktu pemakaiannya bisa
dipersingkat empat kali lipat.
"Ini terjadi karena polimernya ikut memacu semen cepat melakukan dehidrasi. Selama proses
pembuatan, air dari dalam beton cepat keluar ke permukaan, sehingga selama proses
pengeringan kita tidak perlu memberi air ke permukaannya agar tidak retak sepeti pada beton
konvensional. Dia bisa merawat dirinya sendiri," jelas peneliti muda ini.
Dari sisi ekonomi, beton tailling juga lebih "menguntungkan" bila dijadikan jalan beton untuk
lalu lintas berat. Dengan beton biasa diperlukan besi beton, sedangkan beton mortar
berbahan baku tailling tidak butuh pertulangan. Hanya saja untuk volume tertentu, beton
mortar memerlukan semen lebih banyak ketimbang beton konvensional. "Secara kasar untuk
membuat jalan beton biasa perlu biaya AS $ 119 per m3. Bila menggunakan beton tailling
cuma AS $ 80 per m3," ungkap Budi. Tapi perhitungan biaya ini berdasarkan kondisi di Timika.
Dari sisi ketersediaannya, tailling boleh dibilang berlimpah di DPA. Menurut Budi Lationo, saat
ini setiap harinya tak kurang 30.000 truk limbah dikirim ke tempat itu.
Bila setiap kilometer jalan dengan lebar 12 m volume dan ketebalan pondasi jalannya 75 cm,
maka volume pondasi itu 9.000 m3 (dengan bahan tailling seluruhnya). Sementara itu dengan
ketebalan 15 cm, lapisan pengerasannya (dari beton tailling) memiliki volume 1.800 m3. Maka
setiap kilometer jalan memerlukan sekitar 1.900 truk limbah (dengan asumsi tiap truk
berkapasitas 9 m3 atau 3 ton). Artinya, dari limbah yang dibuang per hari bisa dibangun jalan
sepanjang 15,8 km. Dalam setahun (365 hari), jalan yang bisa dibangun menggunakan
tailling sudah sejauh 5.763 km atau sekitar tujuh kali panjang jalan Jakarta Surabaya lewat
Pantura.
Kini, beton tailling hasil temuan trio ilmuwan dari ITB itu sudah dipatenkan. Patennya
diberikan untuk ide, proses pembuatan beton, dan pembuatan beton pracetak yang mereka
hasilkan. Paten dikeluarkan di Indonesia atas nama ketiga penemu itu.
Apakah kelak semen berbahan tailling juga bisa mendapatkan paten? Kita tunggu saja
tanggal mainnya. Sementara kalau pabrik semen berbahan tailing berhasil didirikan di sana,
limbah pertambangan yang melahirkan kontroversi itu tak lagi jadi bahan perdebatan. (I Gede
Agung Yudana)

Anda mungkin juga menyukai