beton yang dihasilkan akan retak bila perekatnya cuma semen. Tapi ini bukan masalah besar.
Agar tidak retak, ramuan beton itu ditambahi polimer khusus.
"Polimer yang digunakan di sini adalah selulosa asetat yang dimodifikasi dengan beberapa
bahan supaya bisa mengantisipasi masalah keretakan awal. Jadi, polimer ini akan
memperkuat semen. Sebenarnya, tailling bisa diikat dengan semen, tapi lama-lama akan
retak karena tailling banyak mengandung magnesium. Jadi, dalam hal ini bisa dikatakan
semennya berfungsi sebagai matriks pengikat, sementara polimernya sebagai komatriks
pengikat," jelas Budi. Selain mendongkrak kekuatan beton yang dihasilkan, penambahan
polimer juga untuk menetralisasi unsur berbahaya dalam limbah itu.
Dalam ramuan beton, bahan terbanyak memang tailling. Untuk menghasilkan beton 1 m3
dibutuhkan 1.500 kg tailling, 500 kg semen, dan 10 kg polimer. Mengingat kombinasi tiga
bahan itu, beton itu dinamai copper tailling polymer modified concrete (CTPMC).
Dalam pengujian, menurut Budi, beton mortar berbahan tailling memiliki kekuatan tekan lebih
tinggi dibandingkan dengan beton konvensional. Karena itu, CTPMC digolongkan ke dalam
highstrength concrete, sedangkan beton konvensional termasuk normalstrength concrete.
CTPMC juga memiliki durability (ketahanan atau keawetan terhadap asam, basa, dan garam)
lebih dibanding yang konvensional. Nilai lebih lainnya, ketika menyangga beban sampai
beban puncaknya, dia tidak langsung runtuh, tapi perlahan-lahan. "CTPMC lebih ulet. Beton
konvensional tidak memiliki kemampuan seperti itu, kecuali beton konvensional yang diberi
fiber. Karena kekuatan dan kelebihannya, beton tailling ini boleh dibilang sebagai
highperformance concrete," tutur Budi bangga.
Ada lagi keunggulannya, bila CTPMC digunakan untuk membuat jalan, proses
pengeringannya lebih cepat, sehingga bisa segera dilalui kendaraan. Dari penelitian, jalan
beton tailling sudah bisa dilalui kendaraan setelah berumur tujuh hari. Sementara, beton
konvensional perlu 28 hari untuk bisa dilalui kendaraan. Jadi, waktu pemakaiannya bisa
dipersingkat empat kali lipat.
"Ini terjadi karena polimernya ikut memacu semen cepat melakukan dehidrasi. Selama proses
pembuatan, air dari dalam beton cepat keluar ke permukaan, sehingga selama proses
pengeringan kita tidak perlu memberi air ke permukaannya agar tidak retak sepeti pada beton
konvensional. Dia bisa merawat dirinya sendiri," jelas peneliti muda ini.
Dari sisi ekonomi, beton tailling juga lebih "menguntungkan" bila dijadikan jalan beton untuk
lalu lintas berat. Dengan beton biasa diperlukan besi beton, sedangkan beton mortar
berbahan baku tailling tidak butuh pertulangan. Hanya saja untuk volume tertentu, beton
mortar memerlukan semen lebih banyak ketimbang beton konvensional. "Secara kasar untuk
membuat jalan beton biasa perlu biaya AS $ 119 per m3. Bila menggunakan beton tailling
cuma AS $ 80 per m3," ungkap Budi. Tapi perhitungan biaya ini berdasarkan kondisi di Timika.
Dari sisi ketersediaannya, tailling boleh dibilang berlimpah di DPA. Menurut Budi Lationo, saat
ini setiap harinya tak kurang 30.000 truk limbah dikirim ke tempat itu.
Bila setiap kilometer jalan dengan lebar 12 m volume dan ketebalan pondasi jalannya 75 cm,
maka volume pondasi itu 9.000 m3 (dengan bahan tailling seluruhnya). Sementara itu dengan
ketebalan 15 cm, lapisan pengerasannya (dari beton tailling) memiliki volume 1.800 m3. Maka
setiap kilometer jalan memerlukan sekitar 1.900 truk limbah (dengan asumsi tiap truk
berkapasitas 9 m3 atau 3 ton). Artinya, dari limbah yang dibuang per hari bisa dibangun jalan
sepanjang 15,8 km. Dalam setahun (365 hari), jalan yang bisa dibangun menggunakan
tailling sudah sejauh 5.763 km atau sekitar tujuh kali panjang jalan Jakarta Surabaya lewat
Pantura.
Kini, beton tailling hasil temuan trio ilmuwan dari ITB itu sudah dipatenkan. Patennya
diberikan untuk ide, proses pembuatan beton, dan pembuatan beton pracetak yang mereka
hasilkan. Paten dikeluarkan di Indonesia atas nama ketiga penemu itu.
Apakah kelak semen berbahan tailling juga bisa mendapatkan paten? Kita tunggu saja
tanggal mainnya. Sementara kalau pabrik semen berbahan tailing berhasil didirikan di sana,
limbah pertambangan yang melahirkan kontroversi itu tak lagi jadi bahan perdebatan. (I Gede
Agung Yudana)