Anda di halaman 1dari 2

rofessor Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Saya tidak tahu apakah penggunaan ungkapan buih sebagai simbol
kebatilan dan air sebagai lambang kebenaran cukup tepat untuk membaca situasi te
rkini di Indonesia yang telah membelah publik menjadi dua.
Mana yang mewakili buih dan mana pula yang mewakili air, saya tidak bisa memasti
kannya karena masing-masing pihak merasa sama-sama berada di jalan kebenaran.
Baik yang mengatakan bahwa seseorang telah menghina Alquran atau pun pihak yang
mengatakan bahwa penghinaan tidak terbukti.
Pihak pertama telah menggelar dua gelombang demo yang kabarnya akan diikuti oleh
gelombang ketiga.
Pihak kedua lebih banyak berkomunikasi secara intensif melalui berbagai media un
tuk saling menguatkan pendirian yang telah dipilih.
Untuk memberikan landasan teologis terhadap masalah krusial ini, saya mencoba be
rkonsultasi dengan Alquran ayat 17 surat al- Ra d/guruh/petir (13) yang maknanya:
Dia telah menurunkan air dari langit, maka lembah-lembah menjadi banjir menurut u
kurannya. Lalu air banjir itu mengandung buih yang mengapung. Dan dari apa [loga
m] yang mereka bakar dalam api untuk membuat perhiasan atau perkakas, ada pula b
uih semisal itu. Demikianlah Allah meragakan kebenaran dan kebatilan. Maka adapu
n buih itu akan sirna dengan sia-sia; dan adapun apa yang memberi manfaat kepada
manusia, maka ia akan tetap di bumi; demikianlah Allah menerangkan beberapa per
umpamaan.
Dalam kutipan makna ayat di atas, kepada manusia dijelaskan tentang buih yang ti
dak punya hakekat, dan dipertentangkan dengan air yang melambangkan hakekat kebe
naran.
Buih itu terlihat di saat banjir atau ketika pandai besi sedang membuat perhiasa
n atau perkakas yang dibakar di atas api.
Air sebagai lambang kebenaran untuk sementara bisa saja tertutup oleh buih, teta
pi hanya sementara untuk kemudian buih menghilang tanpa bekas.
Begitu halnya logam murni ketika dipanaskan bisa saja ditutupi oleh buih, tetapi
juga hanya buat sementara, dan buih pasti menghilang karena tidak ada manfaatny
a.
Sekali lagi, saya tidak bisa mengatakan mana pendapat yang mewakili buih dan man
a pula pendapat yang mewakili air.
Kebenaran mutlak hanyak milik Allah, milik manusia siapa pun mereka adalah keben
aran relatif.
Di ranah yang serba relatif inilah kita beradu argumen sejujur mungkin, setulus
mungkin, dengan menggunakan otak yang sehat dan hati yang bening.
Kita harus bersama-sama berusaha sebagai pencari kebenaran dengan membuang jauhjauh rasa benci, rasa sayang, dan rasa marah terhadap seseorang yang dapat mendo
rong kita kepada sikap yang tidak adil.
Lalu ujungnya di mana? Berdasarkan pemahaman saya terhadap ayat di atas, kita ha
rus sabar menunggu sampai banjir itu usai, sehingga air terlihat jelas karena bu
ih yang menutupi telah sirna.
Dalam suasana banjir perdebatan dan silang pendapat yang saling mengklaim kebena
ran dengan tensi yang tinggi, akan sulit kita berfikir tenang, jernih, dengan da
da yang lapang.
Selama musim banjir ini, teriakan bernada hujatan, cacian, tuduhan, dan hinaan k
ita hentikan sekali dan untuk selama-lamanya, karena cara-cara semacam itu tidak
patut dan tidak layak dilakukan oleh makhluk beradab.
Siapa tahu, di ujung lorong sana akan terlihat titik cahaya kebenaran, entah mil
ik siapa, kita belum bisa memastikan. Biarlah waktu yang akan memberi tahu.
Bagi seorang beriman, Alquran pasti benar secara mutlak, tetapi tafsiran manusia
terhadap ayat-ayat Kitab Suci ini tidak pernah mencapai posisi serba mutlak itu
.
Dengan demikian, pihak-pihak yang mencoba memonopoli kebenaran, sama artinya den
gan mengambilalih peran Tuhan sebagai sumber kebenaran tertinggi dan sejati.
Dan sikap semacam ini sungguh berbahaya dan menyesatkan, seperti yang terlihat d
alam teologi ISIS dan Boko Haram yang menghukum siapa pun yang berbeda dengan pa
ndangan mereka darahnya menjadi halal.
Teologi semacam ini muncul ke permukaan pada saat orang merasa berada dalam posi

si tak berdaya.
Karena tidak berdaya, akhirnya menjadi kalap dalam suasana mental yang sangat la
bil dan memilukan.
Sebagian dunia Muslim sedang berkubang dalam suasana mentalitas kalah ini. Buih
disangka air. Amat memprihatinkan, memang.
Jalan ke luar yang benar hanyalah tunggal: mengucapkan selamat tinggal kepada su
asana mentalitas yang serba tak berdaya ini dengan cara bersedia mengoreksi kesa
lahan fundamental kita selama ini dengan menjadikan Alquran sebagai al-Furqn (kri
terium pembeda antara yang benar dan yang salah). Jalan lain, pasti akan menggir
ing kepada kebuntuan peradaban.
Bagi saya, inti ajaran Islam qur ani dan Islam kenabian tersimpul dalam ungkapan s
ingkat dan padu ini:
Dan tidaklah Kami mengutus engkau [Muhammad] kecuali sebagai rahmat bagi alam sem
esta. (Lih. Alquran surat al-Anbiy ayat 107).
Maka, praktik Islam yang berada di luar payung teologis yang maha benar ini harusl
ah ditolak dengan keras karena pasti akan menghancurkan peradaban dan nilai-nila
i kemanusiaan yang luhur.
Islam datang adalah membangun peradaban yang adil, asri, dan menawan.
Red: Maman Sudiaman

Anda mungkin juga menyukai