Anda di halaman 1dari 2

Hari ini ada dua isu yang menjadi pembahasan pada group WA INC 2, saya belum

sempat manjat di group INC (induk):


1.Mengenai penggunaan bahasa asing pada akta Notaris
2.yayasan yang hingga kini belum menyesuaikan dengan UU Yayasan

Pendapat saya untuk masalah pertama, penggunaan bahasa dalam akta notaris diatur
Pada Pasal 43 UUJN. Pada Pasal 43 ayat (1) UUJN, akta Notaris wajib menggunakan
bahasa Indonesia, namun pada ayat (3) nya akta Notaris dapat dibuat dalam bahasa
asing bila para pihak menginginkannya.
Dengan adanya ketentuan Pasal 43 ayat (3) UUJN, kewajiban penggunaan Bahasa
Indonesia dalam akta Notaris bukanlah suatua hal yang absolute, akan tetapi dapat
disimpangi berdasarkan Pasal 43 ayat (3) UUJN.
Lantas bagaimana dengan Pasal 31 ayat (1) UU No. 24/2009 yang mewajibkan
menggunakan bahasa idonesia dalam setiap perjanjian. Sebenarnya ketentuan tersebut
sama dengan Pasal 43 ayat (1) UUJN. Akan tetapi baik Pasal 31 ayat (1) UU No.
24/2009 dan Pasal 43 ayat (1) UUJN dapat disimpangi berdasarkan Pasal 43 ayat (3)
UUJN, yakni para penghadap diperkenankan membuat akta dalam bahasa asing, alias
bukan bahasa Indonesia. Ketentuan Pasal 43 ayat (3) UUJN merupakan Lex spesialis
dan Lex posterior terhadap Pasal 31 ayat (1) UU No. 24/2009.
Jika kita pakai kaca mata globalisasi, maka penggunaan bahasa asing dalam sebuah
akta Notaris merupakan suatu kebutuhan di era yang less border.
Lalu, akta Notaris dikenal dalam bentuk Minuta, Salinan dan Originali. Apakah akta
Notaris berupa Minuta, Salinan dan originali boleh dibuat dalam bahasa asing. Kembali
ke Pasal 43 ayat (3) UUJN, rumusan pasal ini tidak mengatur itu, artinya baik Minuta,
Salinan maupun originali boleh dibuat dalam bahasa asing.
Ada pula yang berargumentasi, bahwa ada akta Notaris yang dibatalkan oleh hakim
gara-gara dituangkan dalam Bahasa Asing. Kita perlu telaah lagi apa yang menjadi
pertimbangan hakim sehingga memutuskan seperti itu. Bila kita kaji secara yuridis
undang-undang penggunaan bahasa asing pada akta Notaris sudah dipayungi oleh
Pasal 43 ayat (3) UUJN.
Pandangan saya atas persoalan kedua, pasca diundangkannya PP No. 2/2013.
Yayasan yang melanggar Pasal 71 UU Yayasan alias tidak berbadan hukum dan tidak
dapat menggunakan kata yayasan kembali dapat hidup kembali sebagai Yayasan yang
sah. Ada dua cara untuk menghidupkannya:

1.dengan cara pendirian (lihat Pasal 15A)


2.dengan cara penyersuaian (lihat Pasal 37A)
Cara pendirian yayasan baru berdasarkan Pasal 15A PP No. 2/2013 merupakan cara
yang paling tepat dan efektif. Tepat karena pendirian yayasan baru berdasarkan Pasal
15A PP No. 2/2013 selaras dengan Pasal 71 UU Yayasan, karena Semua Yayasan
yang tidak menyesuaikan dengan UU Yayasan 3 tahun setelah diundangkannya UU No.
28/2004 (UU Yayasan) tidak dapat menggunakan kata Yayasan di depan namanya dan
kehilangan status badan hukumnya, artinya ketentuan Pasal 71 UU Yayasan telah
mematikan status badan hukum dan menegaskan yayasan yang tidak disesuaiakan
dengan UU Yayasan dalam waktu 3 tahun pasca diundangkannya UU 28/2004 bukan
lagi sebagai Yayasan.
Dengan adanya Pasal 15A PP No. 2/2013 yang memberikan jalan keluar mendirikan
Yayasan baru, maka saya berpendapat hal ini sangat selaras dengan Pasal 71 UU
Yayasan. Selain itu secara tekhnis, pendirian Yayasan berdasarkan Pasal 15A
dirasakan sangat mudah karena dalam pendaftarannya kepada Kemenkumham sudah
dilakukan secara online, kurang dari sehari bahkan hitungan menit, SK badan hukum
yayasan yang didirikan berdasarkan Pasal 15A PP No. 2/2013 dapat segera didapatkan
Cara kedua dengan menggunakan Pasal 37A PP No. 2/2013 yakni dengan cara
penyesuaian Anggaran Dasar. Untuk melakukan penyesuaian berdasarkan Pasal 37A,
secara tekhnis Notaris akan menghadapi masalah waktu yang lebih lama karena
pelaporannya masih dengan sistem manual, belum lagi syarat yang diminta lebih
compilicated dari pada pendirian berdasarkan Pasal 15A PP No. 2/2013.
Misal harus melampirkan neraca Yayasan yang ditandatangani oleh semua anggota
organ Yayasan atau laporan akuntan publik mengenai kekayaan Yayasan pada saat
penyesuaian. Untuk menyewa seorang akuntan public tentu klien harus merogoh kocek
lagi untuk memenuhi syarat ini.
Belum lagi lampiran pengumuman surat kabar mengenai ikhtisar laporan tahunan bagi
Yayasan yang sebagian kekayaannya berasal dari bantuan negara, bantuan luar
negeri, dan/atau sumbangan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72
Undang-Undang.
Hal diatas baru masalah tekhnis, bila kita tinjau secara yuriridis ketentuan Pasal 37A
telah mengangkangi Pasal 71 UU Yayasan. Pasal 37A mengizinkan melakukan
penyesuaian yayasan sesuai dengan UU Yayasan,padahal Pasal 71 UU Yayasan telah
membatasi waktunya. Kesimpulannya Pasal 37A cacat secara yuridis karena
bertentangan dengan Pasal 71 UU Yayasan.

Anda mungkin juga menyukai